Anda di halaman 1dari 9

DESKRIPSI PENGERTIAN DAN PENERAPAN QOWAIDH AL-FIQHIYYAH

DALAM HUKUM ISLAM

Nurjanah

nurjanahnorfairuz00@gmail.com

Abstrak

Kaidah fiqih yang disusun oleh para ahli fiqih tidak muncul sekaligus, melainkan
secara bertahap melalui proses dan pemahaman terhadap hukum yang dikandung oleh
teks suci. Kaidah fiqih yang paling awal ditemukan dalam tulisan dan diungkapkan para
ulama fiqih abad ke-dua hijriyah. Namun tidak dapat diketahui siapa penyusun pertama
kaidah fiqih itu. Adapun kaidah fiqih salah satu ilmu tersendiri baru muncul abad ke
empat hijriyah yang tersebar dalam mazhab fiqih. Mazhab paling awal menetapkan
adalah mazhab hanafi. Adapun tujuan mempelajari qawaid al fiqiyah adalah  agar dapat
mengetahui prinsip-prinsip umum fiqih dan mengetahui pokok masalah yang mewarnai
fiqih dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqih

PENDAHULUAN
Pembahasan tentang qowaid fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah hal yang paling
utama dalam melakukan pembahasan hukum Islam, hal ini dikarenakan penguasaan
terhadap kaidah fiqh akan menjadi benang merah terhadap masalah-masalah fiqh yang
disesuaikan dengan tempat, waktu dan kebiasaan yang berlainan dalam pengaplikasian
hukum Islam, sehingga hal tersebut akan menjadikan hukum Islam selalu fleksibel dalam
menanggapi isu-isu sosial, ekonomi, politik, budaya dan hukum.(Thalib 2016)

Kaidah-kaidah fiqih adalah salah satu hal penting sebagai pedoman bagi umat Islam
untuk menyelesaikan masalah hukum yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Tanpa pedoman, mereka tidak dapat mengetahui batas-batas boleh-tidaknya sesuatu itu
dilakukan, mereka juga tidak dapat menentukan perbuatan yang lebih utama untuk
dikerjakan atau lebih utama untuk ditinggalkan. Dalam berbuat atau berprilaku mereka
terikat dengan rambu-rambu dan nilai-nilai yang dianut, baik berdasarkan ajaran agama
maupun tradisi-tradisi yang baik. Dalam Islam, pedoman yang dijadikan rujukan dalam
berbuat tersebut adalah petunjuk- petunjuk AlQur‟an dan Sunnah Nabi. Kita
diperintahkan untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya, tidak boleh berpaling dari keduanya,
seperti dipahami dari ungkapan imperatif Allah dalam surat Ali „Imran ayat 32, yang
artinya: “Katakanlah olehmu (hai Muhammad), ta‟atiah Allah dan Rasul-Nya. Jika kalian
berpaling, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.”Umat Islam hingga
sekarang tetap menjadikan kalam Tuhan dan Sunnah Nabi itu sebagai „umdah atau
sandaran utama dalam berperilaku dan dan berbuat. Tidak hanya itu, kedua sumber
hukum itu dijadikan rujukan utama dalam penyelesaian-penyelesaian Kaidah-kaidah
Fiqih berbagai masalah, baik secara langsung maupun tidak langsung, termasuk masalah
hukum.(Ibrahim, n.d.)Sudah menjadi sunnatullah, bahwa manusia dengan segala
kelebihan akalnya yang diberikan oleh Allah SWT, tentunya bersifat dinamis.

Banyak hal-hal yang pada masa Rasulullah SAW masih hidup belum ada,
ternyata hari ini terjadi dalam bidang hukum. Tentu saja umat Islam memerlukan
jawaban konkrit terkait dengan permasalahan hukum yang sifatnya kontemporer,
sementara pada sisi lain, baik Al-Qur‟an maupun Hadis, tidak memberikan kepastian
hukum terhadap dinamika yang muncul di masyarakat dalam konteks kekinian.
Sebenarnya kecemasan masyarakat muslim tersebut telah diberikan formulanya oleh para
ulama klasik terdahulu melalui ilmu ushul fikih dan juga ilmu kaidah-kaidah fikih. Dalam
istinbath hukum Islam, terdapat 4 (empat) ilmu penting yang saling berkaitan. Dua ilmu
yang pertama merupakan ilmu “pokok” yaitu fikih dan ilmu ushul al-fiqh. Ilmu fikih
obyeknya adalah perbuatan mukallaf dilihat dari segi yang kemudian dibagi menjadi
wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah.

Pada sisi lain ushul fikih merupakan metodologi istinbath hukum dan sekaligus
berfungsi sebagai standar terhadap deraja kebenaran istinbath. Ushul fikih berperan
dalam menentukan prosedur istinbath hukum.(Iqbal, 2018) Dengan demikian pola pikir
kita adalah berdasarkan paradigma para imam tersebut taqlid al-manhaj dan bukan
berdasarkan hasil pikir para imam tersebut (taqlid al-qaul). Untuk bisa memiliki
pemahaman seperti itu maka kita harus mengetahui seperti apa pola pikir mereka. Dalam
hal ini, kita harus mengetahui kaidah-kaidah yang mereka pergunakan dalam meng-
istinbath hukum. Kaidah-kaidah ini meliputi kaidah ushuliyyah (kaidah lughowiyyah)
dan kaidah fiqihiyyah. Topik tentang kaidah-kaidah ini masuk dalam kajian ushul fiqih
dan fiqih itu sendiri. (Kurahman & Al-Mansyur, 2014)

PEMBAHASAN

KAIDAH 1

ُ‫احة‬ ِ ‫الَأصْ ُل فِي ال َعا َدا‬


َ َ‫ت اِإل ب‬
“Hukum asal dalam setiap adat adalah mubah.”
Mubah di sini adalah tidak melanggar syariat serta tidak menyerupai (tasyabbuh)
dengan orang kafir dan fasik, maka boleh saja, bahkan kita diperintahkan bergaul dengan
masyarakat dan mencocoki (menyesuaikan) apa yang biasa ada pada masyarakat dalam
hal muamalah selama tidak melanggar syariat. Apabila hal itu melanggar syariat dan
menyerupai orang kafir atau fasik, maka hukumnya tidak boleh. Terlebih hal ini
dilakukan hanya untuk “mencari ridha” manusia atau sekedar membuat mereka senang
dengan cara yang salah.

Misalnya: Dengan maksud tujuan berdakwah tetapi memakai pakaian “gaul” yang
melanggar syariat atau memakai istilah “gaul” atau melakukan permainan “gaul” yang
melanggar syariat. Inilah yang disebut dengan “gaul yang kebablasan”Sehingga boleh
saja kita gaul selama masih dalam koridor syariat dan selama tidak ada larangan dalam
agama, bahkan kita diperintahkan untuk mencocoki atau menyesuaikan dengan
masyarakat di sekitar kita selama tidak melanggar syariat.

Para ulama’ ahli fiqih dalam setiap mazhab telah menjelaskan bahwa dalam
urusan perniagaan atau yang semisal, dan yang biasa disebut oleh para ahli fiqih dengan
adat (antonim ibadah) kita memiliki kebebasan yang sangat luas. Yang demikian itu
dikarenakan hukum asal dalam hal adat adalah halal, selain yang telah nyata-nyata
diharamkan dalam dalil.

Dengan demikian, maknanya adalah orang yang mengharamkan suatu transaksi


atau suatu perbuatan yang tecakup dalam kebiasaan berkewajiban untuk mendatangkan
dalil. Bila ia tidak dapat mendatangkan dalil, maka ucapannya tidak dapat diterima.
Terlebih-lebih bila kita memahami bahwa seluruh yang ada di dunia, baik itu makhluk
hidup atau benda mati, atau lainnya diciptakan untuk kepentingan manusia.

ِ ْ‫ق لَ ُكم َّما فِي اَألر‬


ً ‫ض َج ِميعا‬ َ َ‫هُ َو الَّ ِذي َخل‬
Dialah Allah Yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu…” (Qs. Al Baqarah:
29)

Ibnu Taimiyah berkata,

“Hukum asal adat (kebiasaan masyarakat) adalah tidaklah masalah selama tidak
ada yang dilarang oleh Allah di dalamnya” (Majmu’atul Fatawa, 4: 196).

“Adat adalah kebiasaan manusia dalam urusan dunia mereka yang mereka
butuhkan. Hukum asal kebiasaan ini adalah tidak ada larangan kecuali jika Allah
melarangnya.” (Majmu’atul Fatawa, 29: 16-17). Kebiasaan manusia yang dimaksudkan
adalah makan, minum, berpakaian, berjalan, berbicara, dan kebiasaan lainnya. Kebiasaan
tersebut barulah terlarang jika ada dalil tegas, dalil umum, atau adanya qiyas yang shahih.
sekaligus  sebagai dasar (legitimasi) penyelesaian persengketaan hukum , terutama dalam
bidang jual beli (transaksi atau akad). Prinsip ini ada dalam kaidah :(adat dapat dijadikan
dasar penetapan hukum). Hal ini disebabkan karena persoalan muamalah tidak semuanya
dan tidak mungkin diatur secara detail dalam nash (yang diatur secara rinci
dalam nash sangat terbatas, sebagian besar yang lain adalah prinsip-prisip dasarnya saja
yang diatur), tidak demikian halnya dalam masalah ibadah, sebagian besar diatur secara
detail termasuk teknis pelaksanaannya.

Salah satu prinsip penting lain yang digunakan dalam menetapkan hukum atau
menilai “sesuatu” adalah kemaslahatan atau kemanfaatan riil. Metode ini dalam hukum
Islam (Usul Fikih) disebut istishlah atau maslahah mursalah. Oleh karena itu salah satu
paramerter untuk menilai tradisi/kebiasaan/adat yang ada di masyarakat baik atau tidak,
boleh atau tidak boleh, bid’ah atau tidak bid’ah adalah apakah bermanfaat/ada
nilai maslahat (kebaikan) nya atau tidak. Apabila tradisi/kebiasaan/adat itu ada manfaat/
maslahatnya atau tidak mengakibatkan madharat (efek negatif), maka minimal hukumnya
boleh (ibahah). Sekali lagi selama tradisi/kebiasaan/adat tersebut tidak berkaitan dengan
ibadah atau masuk dalam sistem/teknis ibadah, dan selama tidak ada nash qath’iy yang
melarangnya, maka tidak dilarang.

KAIDAH 2

‫ف َم ْع ُم ْو ٌل بِ ِه ِإ َذا َو َر ْد‬
ُ ْ‫َوالعُر‬

ِ ْ‫ُح ْك ُم ِم َن ال َّشر‬
ِ ‫ع ال َّش ِري‬
‫ْف لَ ْم يُ َح ْد‬
Urf (kebiasaan setempat) itu boleh dipergunakan jika terdapat hukum syariat yang tidak
membatasi.”

Diterangkan oleh Syaikh As-Sa’di bahwa ‘urf itu boleh dipergunakan, maksudnya
adalah tetap ketika ada dalil syar’i yang menjelaskan suatu hukum, maka tetap dalil
dipakai. Jika tidak didapati dalil barulah beralih pada istilah ‘urf yang berlaku. Itulah
seperti istilah makruf pada firman Allah,

ِ ‫اشرُوهُ َّن بِ ْال َم ْعر‬


‫ُوف‬ ِ ‫َو َع‬
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut.”(QS. An-Nisaa’: 19). Kaedah ini
diungkapkan oleh para ulama lainnya dengan istilah,

ٌ‫ ُم َح َّك َمة‬Hُ‫ال َعا َدة‬


“Adat itu bisa dijadikan sandaran hukum.”Atau dengan kaedah,
‫شَرْ طًا‬ ‫ف عُرْ فًا َكالم ْشر ُْو ِط‬
ُ ‫الم ْعر ُْو‬

“Kesepakatan tidak tertulis di masyarakat itu statusnya bagaikan kesepakatan tertulis di


antara pelaku transaksi.”

Dalil ‘urf berlaku jika tidak ada dalil syari dan lughawi Dalam kita memahami dalil
hendaklah kita merujuk pada:Dalil syari dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jika tidak ada,
maka merujuk pada dalil lughawi (pengertian bahasa) Jika tidak ada, maka merujuk pada
‘urf. Maka ayat tentang shalat dipahami dengan pengertian dalil syari dahulu bukan
dibawa ke dalil lughawi, bukan dibawa ke dalam ‘urf.

Keberadaan ‘urf diakui oleh syariat Islam dan dijadikan sebagai referensi guna
menyelesaikan persoalan yang terjadi di tengah masyarakat, apabila memenuhi syarat-
syarat berikut:

a. ‘Urf telah berjalan secara kontinyu dan dilakukan oleh mayoritas masyarakat.
b. ‘Urf telah ada dan memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan status
hukumnya itu muncul. Terdapat kaidah “lā ‘ibrota lil ‘urf ath-thāri; ‘urf yang
datangnya kemudian tidak dapat dijadikan sebagai sandaran hukum kasus yang
lama”. Para ulama menegaskan bahwa nash-nash syara’ harus dipahami dalam
konteks kebahasaan dan kebiasaan saat nash tersebut muncul. Menurut alQarafi,
legitimasi ‘urf didahulukan atas legitimasi kebahasaan, sebab ‘urf meghapus unsur
bahasa, dan tentunya yang menghapus (nāsikh) lebih didahulukan atas yang dihapus
(mansūkh).
c. ‘Urf tidak kontradiktif dengan apa yang telah diungkapkan secara jelas. Contohnya:
bila terjadi transaksi jual beli antara dua belah pihak, dan tidak ditetapkan siapa di
antara keduanya yang mananggung beban biaya antar barang, maka kebiasaan yang
jamak berlaku di negara masing-masing itulah yangdijadikan pegangan. Tetapi, bila
kebiasaannya adalah bahwa biaya pemindahan barang ditanggung oleh pembeli
bukan oleh penjual sedangkan di saat akad pembeli mensyaratkan agar biaya tersebut
ditanggung penjual, maka syarat inilah yang jelas da berlaku. Karenanya, kaidah yang
berbunyi “al-’urf ka asy-syarth” baru berlaku jika dua belah pihak yang berakad
diam, tidak mensyaratkan sesuatu syarat pun yang sesuai dengan kebiasaan.
Adapapun bila keduanya membuat syarat yang jelas dan tidak sejalan dengan
kebiasaan yang ada, maka syarat itulah yang dijadikan pegangan.
d. ‘Urf tidak bertentangan dengan ketentuan nash syara’dan tidak memungkinkan untuk
dilakukan sinkronisasi antara keduanya. Sebab jika ketentuan ‘urf diberlakukan maka
akan menyalahi ketetapan yang ada di nash, dan ketentuan hukum yang tersandung di
dalam nash tidak bisa diterapkan. Oleh karena itu, suatu ‘urf yang mengingkari
ketentuan nash syara’ dikategorikan sebagai ‘urf fasid atau batil. Contohnya; jual beli
riba, jual beli hashash, jual beli munabadzah, jual beli mulamasah, jual beli habalul
habalah, dan lain sebagainya. Bila ke empat syarat di atas terpenuhi, maka ‘urf
tersebut dapat dijadikan sebagai hukum dalam bidang muamalah, pertukaran,
transaksi dan pemenuhan hak dan kewajiban. Dari masa ke masa, kebiasaan-
kebiasaan dalam masyarakat silih berganti, utntuk itu berkaitan dengan kebiasaan
tersebut, terbuka kemungkinan penggantian hukum dan fatwa oleh para ahli ijtihad

KAIDAH 3

‫ين َعلَى َم ْن َأ ْن َك َر‬


َ ‫ َو ْاليَ ِم‬،‫ْالبَيِّنَةَ َعلَى ْال ُم َّد ِعي‬
Bila ia tak bisa memberikan bukti apapun, maka tuduhannya tertolak sepenuhnya.

Bukti Wajib Didatangkan Oleh Orang yang Menuduh, Dan Sumpah Itu Wajib
Bagi Yang Mengingkari Tuduhan Itu, Hal Ini Berlaku Dalam Seluruh Persengketaan
Hak, Tuntutan, dan semisalnya. Kaidah yang mulia ini telah disebutkan oleh Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salah satu sabdanya. “Bukti itu harus didatangkan
oleh orang yang menuduh, dan sumpah itu wajib bagi orang yang mengingkari tunduhan
itu.” [HR. Baihaqi dengan sanad shahih dan asal hadits ini ada dalam As Shahihain . Para
ahli ilmu telah bersepakat tentang eksistensi kaidah ini. Di mana kaidah ini sangat
dibutuhkan oleh para qâdhi (hakim), mufti (pemberi fatwa), dan dibutuhkan pula oleh
setiap orang.

Contoh dari Kaidah ini diantaranya adalah:

a. Barangsiapa yang mengklaim bahwa barang yang ada di tangan orang lain adalah
miliknya, atau mengklaim bahwa orang lain punya hutang darinya, atau menyatakan
bahwa orang lain mempunyai kewajiban yang harus ia tunaikan kepadanya, maka ia
harus mendatangkan bukti atas tuntutannya tersebut. Adapun yang dimaksud dengan
bukti adalah setiap hal yang menunjukkan benarnya tuntutan orang tersebut. Yang
mana, kadar bukti tersebut berbeda-beda sesuai dengan perbedaan perkara yang
dipersengketakan.
b. Berkaitan dengan orang yang mengklaim bahwa dirinya berhak untuk memperoleh
bagian dalam wakaf atau warisan tertentu, maka wajib baginya untuk mendatangkan
bukti yang memastikan bahwa ia memang benar-benar berhak mendapatkan bagian
tersebut. Apabila ia tidak bisa mendatangkan bukti tersebut maka ia tidaklah berhak
menerima bagian dari wakaf atau warisan tersebut. Adapun yang dimaksud dengan
bayyinah (bukti) dalam persengketaan harta, hak-hak, serta kesepakatan-kesepakatan,
adakalanya terdiri atas dua orang laki-laki yang adil, atau seorang laki-laki dan dua
orang perempuan, atau seorang laki-laki dan sumpah si penuntut, atau dakwaan si
penuntut dan ketidaksediaan si tertuntut untuk mengucapkan sumpah.
c. Jika ada seseorang yang menemukan luqâthah (barang temuan). Kemudian setelah
berselang beberapa waktu datanglah kepadanya seseorang yang mendakwakan
mengaku bahwa barang yang ditemukan tersebut adalah miliknya, maka, orang yang
mengklaim tersebut harus mendatangkan bukti kebenarannya dengan menyebutkan
sifat barang tersebut secara tepat. Maka, pensifatan (penggambaran) merupakan bukti
dalam dakwaan jika pemegang harta tersebut tidak menganggap harta itu sebagai
miliknya.
d. Dalam masyarakat misalnya, Si A tak berhak sama sekali menuntut
agar jenazah orang-orang yang mati itu diotopsi guna membuktikan tuduhannya benar
sebab tak boleh merusak kehormatan jenazah berdasarkan tuduhan yang tak bisa
dibuktikan sama sekali. Si A haram hukumnya kemudian mewacanakan bahwa
keengganan untuk otopsi itu adalah hukti bahwa Si B adalah pembunuh sebab kalau si
B bukan pembunuh harusnya berani melakukan otopsi. Si A berhak dihukum bila
melakukan hal semacam ini. Andai si A berhasil membuktikan tuduhannya dengan
beberapa bukti valid, barulah B layak membalasnya dengan bukti otopsi. Nalar hukum
ini jangan sampai dibalik. Jangan sampai seseorang dibuat repot dengan tuduhan
orang lain yang hanya bermodal ucapan dan kemungkinan-kemungkinan saja.
e. Jika ada seseorang yang menuduh seseorang berbuat zina, maka dia harus
mendatangkan bukti berupa empat laki-laki yang menjadi saksi. Jika tidak, maka tidak
sah tuduhannya dan dia berhak mendapat hukuman delapan puluh cambukkan karena
menuduh orang lain berbuat zina tanpa bukti.
f. Jika ada seseorang yang berhutang pada orang lain, lalu dia mengaku sudah
membayarnya tapi diingkari oleh yang menghutangi, maka yang berhutang harus
mendatangkan bukti. Jika tidak, maka cukup bagi yang menghutangi untuk bersumpah
menepis klaim terhadapnya.

KAIDAH 4

‫اجبٌ فِي ُكلِّ َش ْي ِء َو ْالفَضْ ُل َم ْسنُ ْو ٌن‬


ِ ‫ل َو‬Hُ ‫ال َع ْد‬
Al-‘Adl (Keadilan) Itu Wajib Atas Segala Sesuatu Dan Al-Fadhl (Tambahan) Itu Sunnah

Sebelum membahas implementasi dan contoh penerapan kaidah ini, kita perlu
memahami tentang makna al-‘adl dan al-fadhl. Yang dimaksud dengan al-‘adl ialah jika
seseorang menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan sebagaimana ia menuntut apa
yang menjadi haknya. Sedangkan al-fadhl maknanya ialah seseorang berbuat ihsân sejak
awal atau memberikan tambahan dari yang wajib ia tunaikan.
Allah Azza wa Jalla berfirman:

Dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. [al-
Hujurât/49:9]

Implementasi dan contoh penerapan kaidah ini cukup banyak dalam syari’at ini,
baik berkaitan dengan ibadah maupun mu’amalah. Hal itu dapat kita ketahui dari contoh-
contoh berikut :

Apabila seseorang berbuat jahat kepada orang lain, maka orang yang dikenai kejahatan
diperbolehkan untuk membalas kejahatan tersebut dengan balasan yang seimbang, inilah
makna al-‘adl (keadilan).

ٌ‫سن ُ ْون‬
ْ ‫َم‬ ‫ل‬Hُ ْ‫اجبٌ فِي ُك ِّل َش ْي ِء َو ْالفَض‬
ِ ‫ال َع ْد ُل َو‬
Dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. [al-
Hujurât/49:9]

Contoh penerapan kidah ini cukup banyak dalam syari’at ini, baik berkaitan dengan
ibadah maupun mu’amalah. Hal itu dapat kita ketahui dari contoh-contoh berikut :

a. Apabila seseorang berbuat jahat kepada orang lain, maka orang yang dikenai
kejahatan diperbolehkan untuk membalas kejahatan tersebut dengan balasan yang
seimbang, inilah makna al-‘adl (keadilan). Namun demikian, Allah Azza wa Jalla
menganjurkan orang yang terkena kejahatan untuk memberi maaf atas kejahatan
tersebut, inilah makna al-fadhl (tambahan).

b. Berkaitan dengan akad hutang piutang, maka orang yang menghutangi boleh
menagih dan menerima pelunasan harta apabila orang yang berhutang memang
mempunyai kemampuan untuk membayar hutangnya ketika jatuh tempo
pembayarannya. Namun, apabila ternyata belum mampu untuk membayar, maka
Allah Azza wa Jalla memerintahkan supaya orang yang berhutang diberi tangguh
sehingga pembayarannya bisa ditunda. Inilah makna al-‘adl. Namun demikian, jika
orang yang menghutangi mau bersedekah dan menganggap lunas hutang tersebut,
maka itulah yang paling utama. Inilah makna al-fadhl dan hukumnnya sunnah.
Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla: “Dan menyedekahkan (sebagian atau
semua utang) itu, lebih baik bagimu”. [al-Baqarah2:280]

c. Apabila seseorang menjadi pengasuh anak yatim, maka ia diperbolehkan untuk


makan dan minum bersama-sama anak yatim tersebut dengan harta yang
dicampurkan dari hartanya dan harta anak yatim. Inilah makna al-‘adl. Sebagaimana
firman Allah Azza wa Jalla “Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim,
katakanlah: “Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu
menggauli mereka, maka mereka adalah saudaramu dan Allah mengetahui siapa
yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan”. [al-Baqarah/2:220]
Namun, apabila pengasuh anak yatim tersebut berhati-hati dan memberikan makan
dan minum kepada anak yatim tersebut dengan hartanya sendiri, maka inilah al-
fadhl.

d. Di dalam al-Qur’ân telah ditetapkan hukum qishâs. Yang mana jika seseorang
melakukan pembunuhan, maka keluarga korban berhak menuntut supaya si
pembunuh dihukum bunuh pula. Demikian pula jika seseorang mencederai anggota
badan orang lain, seperti mata, telinga, atau selainnya maka ada hukum qishâs di
sana. Inilah makna al-‘adl. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :”Dan kami
telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas)
dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi
dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qishâsnya”. [al-Mâidah/5:45] Namun demikian,
apabila keluarga korban atau orang yang dicederai tersebut memberi ma’af, maka itu
adalah perkara mulia yang dianjurkan.

REFERENSI

https://almanhaj.or.id/2509-kaidah-ke-10-bukti-wajib-didatangkan-oleh-orang-yang-
menuduh.html

https://almanhaj.or.id/2517-kaidah-ke-16-al-adl-keadilan-itu-wajib-atas-segala-ssesuatu-
dan-al-fadhl-tambahan-itu-sunnah.html

https://almanhaj.or.id/2517-kaidah-ke-16-al-adl-keadilan-itu-wajib-atas-segala-ssesuatu-
dan-al-fadhl-tambahan-itu-sunnah.html

https://muslim.or.id/18730-bawa-bukti-buktimu-bila-menuduh.html

https://muslim.or.id/45552-gaul-boleh-saja-tapi-jangan-kebablasan.html

https://rumaysho.com/21844-kaedah-fikih-23-merujuk-pada-urf.html

https://rumaysho.com/8197-kaedah-fikih-16-hukum-adat-kebiasaan-manusia-asalnya-
boleh.html

https://rumaysho.com/8197-kaedah-fikih-16-hukum-adat-kebiasaan-manusia-asal Read
more https://pengusahamuslim.com/1012-tanya-jawab-memisahkan-barang-kredit-
dan-tunai.html

Risalah fil Qowa’id Al Fiqhiyyah, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Pensyarh:
Dr. Su’ud bin ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman Al Ghorik, terbitan Dar At
Tadmuriyyah, cetakan pertama, tahun 1432 H.

Anda mungkin juga menyukai