Anda di halaman 1dari 19

KAJIAN FATWA-FATWA DAN IJTIHAD ULAMA PERSIS DAN

KAITANNYA DENGAN MAQASHID SYARI’AH

MUHAMMAD ROPII
Program Studi Hukum Islam
Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi
Jl. Gurun Aua, Kubang Putiah, Kec. Aur Birugo Tigo Baleh, Kota Bukittinggi,
Sumatera Barat 26181
Email: rofii.lubis19@gmail.com

Pendahuluan
Dewan Hisbah Persatuan Islam (PERSIS) sebagai motor penggerak ijtihad
dan fatwa di Indonesia yang menggali hukum Islam dengan metodologi (manhaj)
dan sistem (thuruq) memiliki karakter serta ideologi yang menerapkan konsep
kembali pada Al-Qur’an dan Al-Hadits secara utuh sebagaimana para ulama yang
memposisikan madhzab. Hanya sebagai perbandingan dan penguat pendapat saja.
Disamping itu, Dewan Hisbah PERSIS dalam berbagai putusan fatwa juga
menyerap serta mengimplementasikan paradigma filsafat hukum Islam. yang
sering dikenal dengan, maqashid syar’ah (hifd ad-din, hifd an-nafs, hifd al-aql,
hifd an-nasl dan hifdz al-mal), sehingga melahirkan keniscayaan maslahah dalam
setiap putusan fatwa, baik dari segi maslahah dlaruriyah, hajiyah dan tahsiniyah.
Allah Swt melalui rasulNya mewahyukan syariat yang memuat tatanan
nilai yang harus dijalankan oleh manusia. Berlakunya syariat tersebut bagi
manusia merupakan taklîfi. yaitu kewajiban melakukan apapun yang diperintahkan
dan meninggalkan segala yang di larang.
Mufti adalah seorang yang memiliki keahlian dalam istidlal dan menggali
hukum Islam (istinbath ahkam) sekaligus dibarengi kepakaran dalam ilmu tarjih
dan takhrij, kewajiban menyandarkan fatwanya pada hukum dan ilmu syar’i, serta
memperhatikan dengan serius kaidah-kaidah dari maqashid as-syari’ah dalam
berfatwa. Fatwa merupakan jawaban terhadap suatu kejadian (memberikan
jawaban yang tegas terhadap segala peristiwa yang terjadi dalam masyarakat).
Disamping itu, fatwa dapat juga diartikan sebagai jawaban pertanyaan atau hasil
ijtihad atau ketetapan hukum. Dalam hal ini, Imam Dzamakhsari dalam kitabnya
al-Kasyaf memberi pengertian secara sederhana bahwa fatwa adalah suatu jalan
yang lempang atau lurus (as-sirath al-mustaqim).
Untuk lebih jelasnya apa dan bagaimana Kajian Fatwa-Fatwa Dan Ijtihad
Ulama oleh karena itu di dalam makalah ini penulis akan jelaskan mengenai
Kajian Fatwa-Fatwa Dan Ijtihad Ulama Persis Dan Kaitannya Dengan Maqashid
Syari’ah.
Pengertian Fatwa
Fatwa merupakan salah satu produk pemikiran hukum Islam yang
merupakan respon dari suatu permasalahan Sedangkan permasalahan terus
bertambah seiring berkembangnya kehidupan manusia di segala bidang. Oleh
karena itu banyak persoalan baru yang memerlukan keputusan hukumnya atas
dasar syari’ah, atau dengan kata lain memerlukan fatwa.
Dalam fatwa, berlaku beberapa kaidah. Beberapa kaida fatwa yang antara
lain diintrodusir Yusuf al‐Qardawi dalam Fiqih Prioritasnya adalah:
1. Fatwa berubah sejalan dengan perubahan situasi dan kondisi;
Salah satu karakteristik fatwa adalah adanya pengakuan terhadap
perubahan yang terjadi pada manusia, apakah hal itu disebabkan perubahan
zaman. Perkembangan masyarakat ataupun karena munculnya berbagai
tuntutan baru. Dengan demikian perubahan fatwa diperbolehkan karena
perubahan ruang dan waktu, kebiasaan‐kebiasaan, dan kondisi masyarakat.
2. Fatwa bersifat meringankan, tidak memberatkan; memudahkan dan tidak
mempersulit.
Di antara pemberian kemudahan yang dituntut dalam hal fatwa ini adalah
pengakuan terhadap kebutuhan hidup yang mendesak, baik keperluan
individual maupun sosial. Untuk keperluan ini, syari’ah menurunkan hokum-
hukumnya yang spesifik. Dengan hukum‐hukum itu pula, sesuatu yang pada
hakikatnya diharamkan dapat dihalalkan. Misalnya, dalam kondisi darurat,
makanan, pakaian, perjanjian dan muamalah tertentu yang diharamkan menjadi
diperbolehkan.
3. Fatwa harus memperhatikan hukum penahapan.
Di antara pemberian kemudahan yang dituntut dalam menetapkan fatwa
adalah memperhatikan hukum penahapan. Sejalan dengan sunatullah dalam
penciptaan makhluk, serta metode penetapan syari’at Islam seperti dalam
menetapkan: kewajiban salat, puasa, dan lainya, ataupun larangan‐larangan.
Fatwa dapat diartikan sebagai jawaban atas permasalahan‐permasalahan
syari’ah ataupun perundang‐undangan yang belum jelas.1
Pengertian Maqashid Al- Syari’ah
Pengertian Maqashid dari segi bahasa, kata Maqashid berarti tujuan-tujuan
dan syari’ah adalah sebuah jalan yang ditunjukan oleh Allah SWT untuk meneti
kehidupan di dunia ini. Dengan demikian, Maqashid al Syari’ah adalah tujuan-
tujuan yang hendak dicapai dalam meniti jalan yang diinginkan oleh Allah Swt.2
Dan Ulama yang mematangkan konsep maqasid al-shari’ah, al-Shatibi,
tidak mendefinisikan maqasid al-shari’ah ini secara gamblang. Demikian yang
tergambar dari kitabnya, al-Muwafaqat, tetapi ia lebih menitik beratkan kepada isi
dari maqas}id al-shari’ah itu sendiri. Demikian pula ulama-ulama klasik lainnya.
Pendefinisian maqasid al-shari’ah baru dilakukan oleh sebagian ulama-ulama
kontemporer. Namun setidaknya kajian utama dari maqasid al-shari’ah atau
materi-materi yang menjadi inti dari semuanya sudah tergambar dalam beberapa
ungkapan dan pembahasan para ulama tersebut.
Alal al-Fas, mendefinisikan maqasid al-shari’ah sebagai sebuah al-ghyah
(tujuan akhir) dan (al-asrar) rahasia-rahasia yang diinginkan oleh Syari’ pada
setiap hukum yang ditetapkannya. Adapun Manshur al-Khalifiy mendefinisikan
maqasid al-shari’ah sebagai al-ma’ani (makna-makna) dan al-hikam (hikmah-

1
Muchamad Fauzi, Fatwa dan Problematika Pentapan Hukum Halal Di Indonesia, Jurnal
Ilmiah Ekonomi Islam, 4(01), 2018, hlm. 56
2
Busyro, Pengantar filsafat Hukum islam, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2020), hlm. 116
hikmah) yang dikehendaki oleh Syar’i dalam setiap penetapan hukum untuk
merealisasikan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Definisi yang agak
sempurna dikemukakan oleh Wahbah al-Zuhaili. Menurutnya maqasid al-shari’ah
adalah makna-makna dan tujuan yang dapat dipahami/dicatat pada setiap hukum
dan untuk mengagungkan hukum itu sendiri, atau bisa juga didefinisikan dengan
tujuan akhir dari syariat Islam dan rahasia-rahasia yang ditetapkan oleh al-Syari’
pada setiap hukum yang ditetapkan-Nya
Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa maqasid al-shari’ah
itu adalah rahasia-rahasia dan tujuan akhir yang hendak diwujudkan oleh al-Syari’
dalam setiap hukum yang ditetapkan-Nya, yang dalam hal ini adalah untuk
mewujudkan kemaslahatan bagi manusia di dunia dan akhirat. Dalam hal ini,
ulama sudah menyimpulkan bentuk-bentuk pemeliharaan untuk mewujudkan
kemaslahatan itu, yaitu kemaslahatan al-din (agama), al-nafs (jiwa), al-nasb
(keturunan), al-‘aql (akal), dan kemaslahatan al-mal (harta) yang diistilahkan oleh
ulama dengan al-d}aruriyyat al-khams. Pemeliharaan kelima hal di atas dibagi
pula sesuai dengan tingkat kebutuhan dan skala prioritas yang mencakup
pemeliharaan dalam bentuk al-daruriyah, sebagai prioritas utama, pemeliharaan
dalam bentuk al-hajiyah, sebagai prioritas kedua, dan pemeliharaan dalam bentuk
al-tahsiniyah, sebagai prioritas ketiga.
Mengetahui yang demikian akan sangat berguna bagi mujtahid dan juga bagi
orang-orang yang tidak mencapai derajat mujtahid. Bagi mujtahid, pengetahuan
terhadap maqasid al-shari’ah akan membantu mereka dalam mengistinbathkan
hukum secara benar dan sebagai ilmu yang penting untuk memahami teks-teks
ayat al-Qur`an dan Hadis Nabi Saw. Adapun bagi orang lain diharapkan mampu
memahami rahasia-rahasia penetapan hukum dalam Islam, sehingga akan
memotivasi mereka dalam melaksanakan hukum itu sendiri.3

3
Busyro, Bom bunuh diri dalam fatwa kontemporer Yusuf al-Qaradawi dan relevansinya
dengan maqasid al-Shari’ah, Ijtihad, Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Volume 16,
No. 1, Juni 2016: 85-103, hlm. 89-90
Dewan Hisbah Persatuan Islam (PERSIS)
Organisasi Persatuan Islam (PERSIS) adalah sebuah organisasi Islam di
Indonesia. PERSIS didirikan pada tanggal 12 September 1923 di Bandung oleh
sekelompok muslim yang memiliki minat kuat dalam pendidikan dan aktifitas
keagamaan, kelompok orang Islam ini dipimpin oleh Haji Zamzam dan Haji
Muhammad Yunus. PERSIS didirikan dengan tujuan untuk memberikan
pemahaman Islam sesuai dengan aslinya yang dibawa oleh Rasulullah Saw dan
memberikan pandangan berbeda dari pemahaman Islam tradisional yang dianggap
sudah tidak orisinil karena bercampur dengan budaya lokal (tradisi), dan beberapa
umat Islam yang memiliki sikap taklid buta, tidak kritis, dan tidak mau menggali
Islam lebih dalam dengan membuka kitab-kitab Hadits yang shahih. Oleh karena
itu, lewat para ulama PERSIS seperti Ahmad Hassan yang juga dikenal dengan
sebutan Hassan Bandung atau Hassan Bangil biasanya disingkat A. Hassan,
PERSIS mengenalkan Islam yang hanya bersumber dari Al-Quran dan Hadits as-
syarif.4
PERSIS telah tersebar di berbagai provinsi antara lain Jawa Barat, Jawa
Timur, DKI Jakarta, Banten, Lampung, Bengkulu, Riau, Jambi, Gorontalo, dan
masih banyak provinsi lain di Indonesia yang sedang dalam proses perintisan.
Sejak awal kali didirikan, PERSIS bukan organisasi keagamaan yang berorientasi
politik namun lebih fokus terhadap pengembangan pendidikan Islam dan dakwah,
serta berusaha menegakkan ajaran Islam secara utuh tanpa dicampuri khurafat,
syirik, dan bid'ah yang telah banyak menyebar di kalangan awam orang Islam.
PERSIS memiliki badan yang berwenang untuk mengeluarkan fatwa yang
disebut dewan hisbah. Dewan Hisbah merupakan ruh jihad dan ijtihad seluruh
gerak langkah PERSIS yang memiliki cita-cita tajdid untuk kembali pada Al-
Quran dan As-Sunnah. Sepak terjangnya selama ini membuktikan bahwa PERSIS
bukanlah organisasi yang hanya sekedar berdiri tanpa cita-cita yang jelas,

4
M. Isa Anshori, Manifes Perjuangan Persaatuan Islam, (Bandung: Pasifik,1958), hlm. 6
melainkan organisasi militan yang begitu teguh memegang cita-cita kembali dalam
Al Quran dan As-Sunah. Zaman boleh berubah, dan waktu berganti tapi prinsip
tidak boleh lekang hanya karena berubahnya orientasi zaman. Pendirian PERSIS,
termasuk dewan hisbah mendasarkan pada firman Allah Swt dalam Surah Ali
Imran ayat 103.

             

           

          
Artinya: Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah
kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan,
Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena
nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di
tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu
mendapat petunjuk. (QS.Ali Imron: 103).
Dewan Hisbah bukanlah pembuat hukum atau sumber hukum, karena
sumber hukum hanyalah Al-Qur'an dan As-Sunnah atau pembuat hukum hanyalah
Allah SWT dan rasul-Nya. Dewan hisbah hanyalah pengawas agar hukum syariat
diberlakukan, sekaligus mengawasi agar tidak terjadi praktik bid'ah, khurafat dan
takhayul di kalangan anggota PERSIS.
Metodologi Ijtihad Dewan Hisbah PERSIS
Dewan Hisbah telah menentukan manhaj dalam memutuskan atau
mengambil keputusan hukum dengan rumusan-rumusan sebagai berikut, Al-
Qur’an dan Hadis shahih sebagai sumber utama hukum Islam dan berijtihad
terhadap masalah yang tidak ada nasnya.
a. Beristidlal dengan Al-Qur’an.
1. Mendahulukan zahir Ayat al-Qur’an daripada ta’wil dan memilih cara-cara
tafwiedl (menerima apa adanya) dalam hal-hal yang menyangkut masalah
i’tiqadiyah (akidah); seperti firman Allah dalam surat Thaha ayat 5,
berbunyi:

    


“(yaitu) Tuhan yang maha pemurah, yang bersemayam di atas ‘Arsy.”.5
2. Menerima dan meyakini isi kandungan al-Qur’an sekalipun tampaknya
bertentangan dengan aqli dan ‘adiy, seperti masalah isra dan mi’raj.
3. Mendahulukan makna hakiki daripada makna majazi, kecuali jika ada
qarinah, seperti kalimat “aw lamastum an-nisa’” dengan pengertian jima'
(berhubungan badan).
4. Apabila ayat al-Qur’an tampaknya bertentangan dengan hadis bila tidak
ditemukan jalan untuk di-jama', didahulukan ayat al-Qur’an sekalipun hadis
tersebut muttafaq alaih, seperti dalam hal menghajikan orang lain atau badal
haji yang disebut badal haji.
5. Menerima adanya ayat-ayat nasikh dalam al-Qur’an tetapi tidak menerima
adanya ayat-ayat yang mansukh (Naskhu al-Kulli).
6. Menerima tafsir dari para sahabat dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an
(tidak hanya penafsiran Ahlul Bait), dan mengambil penafsiran sahabat yang
lebih ahli seperti Ibnu ‘Abbas atau Ibnu Mas’ud, jika terjadi perbedaan
penafsiran di kalangan sahabat.
7. Mengutamakan tafsir bi al-Ma’tsur (dengan hadis) daripada tafsir bi al-
Ra’yi (akal/logika).
8. Menerima hadis-hadis sebagai bayan terhadap al-Qur’an, kecuali ayat yang
telah diungkapkan dengan shighat hasr (bentuk pembatasan), seperti ayat
tentang empat macam makanan yang diharamkan.6
b. Beristidlal dengan Hadis.

5
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Karya Agung, 2006),
hlm.
6
PERSIS, Turuqul Istinbat Dewan Hisbah Persatuan Islam, (Bandung: PERSIS,2009),
hlm. 90
1. Menggunakan hadis shahih dan hasan dalam mengambil keputusan hukum.
2. Menerima kaidah:
“Hadis-hadis dha’if satu sama lain adalah saling menguatkan” Dengan
catatan apabila dha’if tersebut dari segi dhabth (hafalan) dan tidak
bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis lain yang shahih. Adapun jika
dha’if nya itu dari segi adalah seperti kadzdzab (pendusta), yadha'u al-hadis
(memalsukan hadis), fisq al-Rawi atau “tertuduh dusta” maka kaidah
tersebut tidak dipakai.
3. Tidak menerima kaidah “Hadis dha’if dapat diamalkan dalam hal keutamaan
amal” karena keutamaan amal juga termasuk sendi-sendi agama yang harus
berdasarkan hadis shahih. Masih banyak hadis-hadis shahih yang
menunjukkan tentang keutamaan amal.
4. Menerima hadis shahih sebagai tasyri’ (penetapan syari’ah) yang mandiri,
sekalipun tidak merupakan bayan dari al-Qur’an, seperti dalam masalah
aqiqah dan pengurusan jenazah.
5. Menerima hadis ahad sebagai dasar hukum selama hadis tersebut shahih,
termasuk masalah-masalah yang menyangkut akidah.
6. Hadis mursal shahabiy dan mauquf bi hukmi al-marfu’ dipakai sebagai
hujjah selama sanad hadis tersebut shahih dan tidak bertentangan dengan
hadis shahih yang lainnya.
7. Hadis mursal thabi’iy dijadikan hujjah apabila hadis tersebut disertai
qarinah yang menunjukkan ittishal nya hadis tersebut.
8. Menerima kaidah ”anggapan Jarh (cacat terhadap seorang perawi) harus
didahulukan daripada anggapan “adil/thiqah” dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. Jika yang menjarh (menyatakan kelemahan) menjelaskan jarh nya, maka
didahulukan jarh daripada ta’dil (yang menyatakan keadilan).
b. Jika yang menjarh tidak menjelaskan sebab jarh nya, maka didahulukan
ta’dil daripada jarh
c. Jika yang menjarh tidak menjelaskan sebab jarh nya, tetapi tidak ada
seorang pun yang menyatakan thiqah, maka jarh nya bisa diterima.
9. Menerima kaidah “Sahabat-sahabat Nabi itu semuanya dinilai adil (dalam
periwayatan Hadis).”
10. Riwayat orang yang suka melakukan tadlis (menyamarkan cara
menerima hadis dari guru) diterima jika ia menerangkan bahwa apa yang ia
riwayatkan itu jelas sighat tahamul nya (kata yang digunakan dalam
menerima hadis dari guru) menunjukkan ittishal (tersambung/Menerima
secara langsung), seperti menggunakan kata “haddatsani” (menceritakan
hadis secara langsung tanpa perantara).7
c. Ijtihad atas masalah yang tidak ada nash
Dalam hal ini ditempuh ijtihad jama’i (melalui Sidang Dewan Hisbah)
dengan rumusan-rumusan sebagai berikut:
1. Tidak menerima ijma’ secara mutlak kecuali ijma’ Sahabat atau ijma' lain
yang dasarnya nash qath’iy.
2. Tidak menerima qiyas dalam masalah ibadah mahdhah, dan menerima qiyas
masalah ibadah dalam ghayr mahdlah selama memenuhi persyaratan qiyas.
3. Dalam memecahkan “ta’arudh al-adillah” yang sama-sama kuat terlebih
dahulu diupayakan dengan cara:
a. Thariqah al-jam’i, selama masih dapat dilakukan, yaitu dengan cara
mencari makna yang menserasikan di antara keduanya.
b. Thariqah al-naskh, bila didapatkan tarikh waktu kejadian, kejadian yang
terdahulu mansukh dan kejadian yang terkemudian sebagai nasikh-nya

7
Ibid, hlm. 96
c. Thariqah al-tarjih, bila tidak dapat dilakukan thariqah al-jam’i maka
dilakukan thariqah al-tarjih dengan menilik dengan cermat berbagai
sudut dan seginya, misalnya:
1. Thabaqat sahabat yang menjadi sumber berita, apakah ia shahib al-
waqi'ah (pelaku kejadian) atau sumber kedua yang menerima berita
dari orang lain, maka shahib al-waqi'ah lebih didahulukan dari yang
lainnya.
2. Bila keduanya shahib al-waqi'ah (pelaku kejadian), maka thabaqat
(tingkatan) sahabat yang lebih tinggi, lebih didahulukan. Termasuk
menilik thabaqat rawi-rawi dibawahnya bila diperlukan.
3. Mendahulukan riwayat yang muttafaq alayh dari pada yang lainnya.
4. Mendahulukan hadis riwayat al-Bukhari dari pada Muslim kecuali
pada kasus-kasus tertentu dengan qarinah lain.
5. Mendahulukan hadis riwayat Muslim daripada riwayat lainnya.
6. Pada kasus tertentu banyak dan sedikitnya jalan periwayatan dapat
menjadi pertimbangan.
d. Thariqah al-tawaqquf bila ketiga jalan di atas telah ditempuh, yaitu
thariqah al-jam’i, thariqah al-naskh, dan thariqah al-tarjih tetapi tidak
menghasilkan istinbat hukum yang dicari, maka ditempuhlah thariqah al-
tawaqquf (ditangguhkan sementara waktu).
4. Meninggalkan sesuatu yang dikhawatirkan jatuh pada hukum bid’ah lebih
didahulukan daripada mengamalkan sesuatu yang diragukan Sunnah nya.
5. Dalam membahas masalah Ijtihad, Dewan Hisbah menggunakan kaidah-
kaidah Usuliyyah dan kaidah-kaidah fiqhiyah, sebagaimana lazimnya para
fuqaha dan ulama salaf terdahulu.
6. Dewan Hisbah tidak mengikatkan diri pada suatu mazhab. Pendapat imam
mazhab menjadi bahan pertimbangan dan masukan dalam mengambil
ketentuan hukum, sepanjang sesuai dengan jiwa al-Qur’an dan Sunnah
7. Dewan Hisbah menggunakan pula kaidah-kaidah istihsan, maslahah
mursalah, sadd al-dzari’ah, istishhab, syar'u man qablana, dan ‘uruf.8
Demikianlah rumusan-rumusan yang diambil dan digunakan oleh Dewan
Hisbah dan Dewan Hisbah menyadari bahwa sekalipun para ulama telah sepakat
dengan rumusan yang sama, tetapi tidak mustahil menghasilkan istinbath yang
berbeda, karena masih bergantung atas ketepatan, kejelian, keahlian, ketelitian
dalam mengambil suatu keputusan Istinbat (keputusan) dan dalam meninjau
berbagai aspeknya. Berbeda dengan Nahlatul ulama khusus dalam bidang fikih,
mengambil sikap dasar bermazhab yang diimplementasikan dengan merujuk
kepada, khususnya, kitab-kitab fikih dalam lingkungan mazhab Syafi’i. NU
bahkan mewajibkan umat Islam bermazhab kepada salah satu dari mazhab yang
empat, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.9
Maqashid Syari’ah dalam Fatwa Dewan Hisbah
Sebagai organisasi yang sejak awal kali didirikan telah siap menerima resiko
untuk berbeda dengan organisasi islam lainnya. Penamaan Persatuan Islam
(PERSIS) menggunakan bahasa yang biasa digunakan kolonial (bukan bahasa
arab), sementara sezaman dengannya. juga muncul beberapa organisasi Islam yang
sedikit memiliki karakter yang mirip yaitu pembaruan pemikiran agama (tajdîd)
dengan menggunakan nama-nama yang masih berbau khas bahasa arab, sebut saja
organisasi Muhammadiyah, al-Washliyah, Jami’atul Khair dan lainnya.
PERSIS dalam masalah agama tidak ada istilah kompromi. Apa yang
dipandang tidak benar menurut dalil al-Qur`an dan al-Sunnah secara tegas ditolak.
Sedangkan apa yang dianggap benar akan sampaikan walaupun pahit. Latar
belakang demikian itulah tampaknya yang membawa PERSIS ke alam perdebatan,
baik dalam rangka mempertahankan keyakinan keagamaannya maupun

8
Ibid, hlm. 74
9
Busyro, Fatwa Lajnah Bahtsul Masail (Lbm) Nahdhatul Ulama Tentang Kedudukan
Presiden Ri Sebagai Waliyul Amri Dharuri Bisy Syaukah, Al-Hurriyah, Vol. 12, No. 2, Juli-
Desember 2011, hlm. 52
menunjukkan bahwa keyakinan agama yang dipahami lawan dalam perdebatan itu
dianggap salah.
Dari penyampaian dakwah hukum Islam, PERSIS yang menggunakan
parameter mutlak bersandar pada dalil-dalil al-Qur‟an dan as-Sunnah. Dengan
mencermati apa yang tersurat dari manhaj istinbat Dewan Hibah, dapat diketahui
bahwa produk fatwa yang dihasilkan di dalamnya terkandung maqâshid syarî’ah
baik dalam hal aqidah, ibadah, muamalah, munakahah maupun jinayah.
Keputusan hukum Dewan Hisbah PERSIS berbanding lurus adanya dengan
konteks tujuan syarî’ah, yaitu: (1) Hifdz ad Dîn melalui fatwa tentang akidah-
ibadah; (2) Hifdz an Nafs melalui fatwa tentang pengurusan jenazah, penderita
AIDS agar tidak menular dan tentang aborsi; (3) Hifdz an Nasl melalui fatwa
tentang kawin mut‟ah; (4) Hifdz al Aql melalui fatwa tetang berobat, menjual dan
minum arak; (5) Hifdz al-Mâl melalui fatwa tetang zakat orang yang memiliki
hutang. Dalam hal ini, tentunya masih banyak fatwa Dewan Hisbah PERSIS yang
menyerap maqashid syari’ah untuk menetapkan hukum terhadap persoalan yang
terjadi di masyarakat.10
Produk Ijtihad Dewan Hisbah Yang Tidak Semata-Mata Mengambil Dari Al-
Qur’an Dan Al-Hadis
Kajian hukum Dewan Hisbah PERSIS, telah banyak melahirkan berbagai
pemikiran hukum Islam, walau sebagian dari yang dihasilkannya itu merupakan
produk lama, atau merevisi hasil lama. Hal ini sebagai jawaban dari persoalan
yang muncul, baik dari kalangan anggota jam’iyyah PERSIS sendiri maupun
masyarakat umum. Produk ijtihad yang dihasilkannya meliputi dua aspek, yaitu
aspek ibadah dan aspek mu’amalah.

10 Alamul Huda, Maqashid Syari’ah Dalam Fatwa Dewan Hisbah Persis, Jurnal Syariah
dan Hukum, Volume 6 Nomor 1, Juni 2014, hlm. 48-58
Dalam masalah ibadah, sebenarnya telah dibahas secara lengkap dalam buku
Pengajaran Salat.11 Atau Soal Jawab karya A. Hasan.12 Atau dalam buku Kata
Berjawab, karya dari ‘Abd. al-Qadir Hasan, putra dari A. Hasan, namun Dewan
Hisbah merasa perlu mengadakan kajian ulang terhadap ijtihad yang telah
dilakukan oleh para pendiri PERSIS itu, karena hukum akan berubah sesuai
dengan perkembangan ilmu, begitu juga dalam masalah mu’amalah.
Di antara produk ijtihad Dewan Hisbah yang berhubungan dengan maqhasid
syari;ah adalah: hukum salat dengan dua bahasa, hukum salat Jum’at bagi musafir,
mengangkat tangan ketika berdoa, posisi zakat dan pajak, dan wakaf uang.
1. Salat dengan dua bahasa.
Dewan Hisbah dalam sidangnya tertanggal 14 Agustus 2005, atau
bertepatan dengan tanggal 10 Rajab 1426 H, telah memutuskan bahwa salat itu
merupakan ibadah mahdhah yang kaifiyatnya sudah ditentukan dan jika bacaan
salatnya ditambah dengan terjemahan, maka salatnya dianggap tidak sah.
Kesimpulan ini didasarkan pada Firman Allah dalam Al-Qur’an Surah An-Nahl
ayat 44.
Dan juga Hadis baginda Nabi Muhammad Saw. Hadis yang diriwayatkan
Ibnu Abu Aufa menerangkan bahwa:
Seorang laki-laki menghadap Nabi saw. , lalu ia berkata, “Sesungguhnya aku
tidak dapat mengambil (menghapal) sedikit pun ayat al-Qur’an. Maka
ajarkanlah sesuatu kepadaku yang akan memadaiku dari baca al-Qur’an” Lalu
Nabi bersabda, “Ucapkanlah, subhanallah, la ilaha illa Allah, Allahu akbar,
dan la haula wa la quwwata illa billah”.13
Berdasarkan ayat dan hadis di atas, dapat difahami bahwa perintah untuk
mengerjakan salat itu adanya hanya dalam al-Qur’an, adapun kaifiyahnya
diajarkan Rasulullah saw, dalam arti bahwa ketentuan mengerjakan Salat itu
11
A. Hasan, Pengajaran Shalat: Cara Salat Beserta Dalil-dalilnya, (Bangil: Pustaka
Tamaam, 1991), hlm. 1
12
A. Hasan, Soal Jawab Masalah Agama, (Bandung: Diponegoro, 2007), hlm. 1
13
Al-Nasa’iy: Sunan al-Nasa’iy, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), hlm. 153
dengan mengikuti cara salat Rasulullah saw. Dengan mengikuti cara salat
sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw berarti tidak merubah
kaifiyahnya maupun bacaan atau bahasanya.
Dengan demikian, salat dengan menggunakan bahasa selain bahasa Arab,
hukumnya tidak sah, karena salat termasuk ta’abbudi yang diajarkan oleh
Rasulullah saw dan wajib untuk diikuti secara utuh, merubah atau menambah
atau mengurangi, baik gerakan maupun bacaannya, adalah termasuk bid’ah dan
aalat yang menggunakan bacaan yang diterjemahkan, maka salatnya tidak sah.
2. Hukum salat jum’at bagi musafir
Dalam masalah salat jum’at bagi musafir ini, Dewan Hisbah PERSIS
menetapkan bahwa musafir tidak dikecualikan dari kewajiban Jum’at, karena
hadis-hadis tentang empat golongan yang dikecualikan dari kewajiban Jum’at
adalah Sah dan hadis-hadis tentang musafir yang dikecualikan dari wajib
Jum’at semuanya dha’if.
Keputusan tentang kewajiban salat Jum’at bagi musafir tersebut dengan
dasar sebagai berikut; Firman Allah dalam surat Al-Jumu’ah ayat 9.

            

         


Artinya: Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat
Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
Mengetahui.(Q.S. Al-Jumu’ah: 9).
Ayat di atas menjelaskan tentang perintah untuk melaksanakan shalat
jum’at dan larangan untuk berjual beli pada saat pelaksanaan shalat jum’at,
yang mana larangan tersebut bersifat sebagai penguat dari perintah
melaksanakan shalat jum’at. Oleh sebab itu larangan berjual beli pada saat
tersebut menjadi tujuan kedua dari ayat tersebut.14 Begitu juga dengan musafir.
Dan juga Hadis baginda Nabi Muhammad Saw. Dalam riwayat Abu
Dawud yang berbunyi: Dari Thariq bin Syihab, dari Nabi saw beliau bersabda,
“Jum’at itu adalah hak yang wajib bagi setiap muslim secara berjama’ah
kecuali empat golongan; hamba sahaya, perempuan, anak-anak, dan yang
sakit”.15
Hadis di atas menjadi jelas tentang siapa yang wajib salat Jum’at dan
siapa yang tidak wajib salat Jum’at, dan dalam hadis di atas, musafir tidak
termasuk yang disebutkan, jadi musafir tetap wajib salat Jum’at dan hadis di
atas telah menerangkan hanya empat golongan saja yang tidak diwajibkan salat
Jum’at.
3. Posisi Zakat dan Pajak
Dewan Hisbah PERSIS dalam sidangnya pada hari Jumat 2 Jumadits
Tsaniyah 1421 H atau 1 September 2000 M di Sumedang, Jawa Barat telah
memutuskan dalam masalah posisi zakat dan pajak ini adalah sebagai berikut:
a. Bahwa terdapat perbedaan yang jelas di antara zakat dengan pajak dalam:
1. Dasar hukum; zakat berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah, sementara pajak
berdasar undang-undang atau peraturan pemerintah.
2. Status hukum; zakat merupakan kewajiban terhadap agama, sementara
pajak kepada negara.
3. Obyek hukum; zakat khusus bagi orang Islam, sementara pajak untuk
semua penduduk.
4. Kriteria nisab; besarnya prosentase zakat dan pajak tidak sama.

14
Busyro, “Menyoal Hukum Nikah Misyar dalam Potensinya Mewujudkan Maqashid al-
Ashliyyah dan al-Tab’iyyah dalam Perkawinan Umat Islam,” al-Manahij 9, no. 2 (Desember
2017):hlm. 218
15
PERSIS, Kumpulan Keputusan Sidang Dewan HIsbah Persatuan Islam tentang Akidah
dan Ibadah, (Bandung: PERSIS Pers, 2008), hlm. 247
5. Pos penggunaannya; zakat khusus bagi 8 asnaf, sementara pajak
digunakan untuk pos-pos yang sangat luas.
6. Hikmahnya, zakat mempunyai nilai/hikmah spiritual yaitu: menyucikan
jiwa.
b. Bahwa di zaman Nabi saw bagi ummat Islam (muzaki) diwajibkan zakat,
sementara bagi orang kafir (non musim) dikenakan kewajiban Jisyah dan
Kharaj.
c. Zakat bersifat ta’abbudi bukan ta’aqquli.16
Jadi zakat itu merupakan urusan agama, sedangkan pajak itu merupakan
urusan keduniaan, dan pajak itu diberlakukan bagi seluruh warga negara secara
umum, sedangkan zakat diberlakukan bagi ummat Islam saja.
4. Hukum Muslim Menerima Waris dari Kafir
Dewan Hisbah dalam sidang ke II Pasca Muktamar XIII di PC PERSIS
Banjaran, Bandung tertanggal 04 Rabiuts Tsani 1428 H atau 22 April 2007M
telah memutuskan hukum muslim menerima waris dari kafir adalah haram,
begitu pula sebaliknya, dan jika ada harta peninggalan kafir, maka harus
diambil oleh keluarganya yang muslim demi kepentingan Islam. Keputusan
tersebut dirasa agak janggal, sebab pada satu sisi muslim dilarang menerima
waris dari kafir, begitu pula kebalikannya. Namun pada poin kedua, jika ada
harta peninggalan kafir, maka harus diambil oleh keluarganya yang muslim
demi kepentingan Islam.
Adapun yang dijadikan sebagai dasar hukum oleh Dewan Hisbah PERSIS
adalah sebagai berikut:
Firman Allah dalam Surah An-Nisa’ ayat 13.

            

       

16
Ibid, hlm. 55
Artinya: (Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah.
barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah
memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-
sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan
yang besar. (Q.S. An-Nisa’: 13).
Dan juga Hadis baginda Nabi Muhammad Saw. Tentang ketentuan waris
“Tidak mewarisi orang kafir kepada muslim, demikian pula orang
Muslim kepada kafir.”
Kasus mendesak yang menimpa saat ini ialah banyaknya orang muslim
yang orang tuanya atau kerabatnya masih kafir, bahkan yang tinggal di negara
kafir. Ketika meraka meninggal, secara undang-undang anaknya berhak
menerima warisan orang tua atau kerabatnya, sementara dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim secara eksplisit disebukan, tidak
mewarisi orang kafir kepada muslim, demikian orang Muslim kepada kafir.
Inilah yang menjadi keyakinan jumhur al-ulama, mayoritas ulama, bahkan
sudah diberlakukan sejak masa Khulafa al-Rasyidin dan menjadi ageman para
Imam yang empat sampai sekarang. Walaupun demikian, para sahabat di
antaranya ‘Umar dari Khulafa al-Rasyidin, dalam kasus-kasus tertentu berbeda
dengan kebanyakan waktu itu, yaitu orang Muslim menerima waris dari
keluarganya yang kafir, walaupun masih diperselisihkan.
Seseorang yang baru masuk Islam yang disebut muallaf banyak yang
hidupnya “paspasan”, padahal harta orang tuanya atau saudaranya yang kafir itu
cukup banyak. Di satu sisi, ia amat memerlukan uang itu, di sisi lain Nabi
mengingatkan agar tidak diterima. Lalu, persoalan lainnya ialah bila uang itu
tidak diambil anaknya, negara akan memberikannya kepada lembaga-lembaga
keagamaan, LSM, mungkin misionaris, sebagai dana “pemurtadan umat”.
Karena itu, berdasarkan maslahat maka jika ada harta peninggalan kafir, maka
harus diambil oleh keluarganya yang muslim demi kepentingan Islam.17

17
Al-Daulah: Jurnal Hukum Dan Perundangan Islam Volume 6, Nomor 1, April 2016; Issn
2089-0109, hlm. 23
Kesimpulan
Setelah membahas mengenai Fatwa-Fatwa Dan Ijtihad Ulama Persis Dan
Kaitannya Dengan Maqashid Syari’ah. Maka penulis dapat membuat kesimpulan
sebagai berikut:
1. Ijtihad Dewan Hisbah dalam hukum Islam adalah dengan merumuskan asas
utama al-Qur’an dan hadis. Jika beristidlal dengan al-Qur’an, maka
mendahulukan zahir ayat atau makna hakiki, mendahulukan al-Qur’an dari
pada hadis, al-Qur’an dapat menaskh hadis (bukan sebaliknya), menerima tafsir
sahabat, hadis sebagai bayan dari pada al-Qur’an.
Sedangkan hadis yang diutamakan adalah hadis shahih dan hasan. Jika
terdapat suatu kelemahan pada hadis, maka dijelaskan letak kelemahannya,
hadis dha’if tidak dapat dijadikan sebagai fadhail al-a’mal, hadis dha’if yang
karena kurang kuat hafalannya dapat dikuatkan dengan hadis yang sederajat.
Dalam hal ijma Ulama Dewan Hisbah hanya menerima ijma’ sahabat atau
selainnya yang mempunyai dasar nash yang kuat. Sedangkan qiyas tidak boleh
digunakan dalam masalah ibadah mahdhah, dan Dewan Hisbah juga
menggunakan istihsân, mashlahah mursalah, dan lain sebagainya.
2. Dalam menetapkan hukum, terdapat beberapa putusan Dewan Hisbah yang
sebenarnya mirip dengan putusan pada majlis fatwa pada organisasi Islam
lainnya, sehingga bisa di pastikan juga menyerap aspek maqashid syari’ah.
Konsep istidlal yang digunakan pada manhaj PERSIS adalah cendrung murni
mendasarkan al-Qur‟an dan al-Sunnah yang maqbulah, yaitu dengan
“mengesampingkan” penggunaan ijma’ dan qiyas serta penafsiran-penafsiran
dengan metode dan atau manhaj istinbath hukum sebagaimana yang dilakukan
salafus shalih dan fuqaha’ mujtahidin.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Daulah: Jurnal Hukum Dan Perundangan Islam Volume 6, Nomor 1, April 2016;
Issn 2089-0109.
Al-Nasa’iy: Sunan al-Nasa’iy, Beirut: Dar al-Fikr, 1979.
Busyro, Fatwa Lajnah Bahtsul Masail (Lbm) Nahdhatul Ulama Tentang Kedudukan
Presiden Ri Sebagai Waliyul Amri Dharuri Bisy Syaukah, Al-Hurriyah, Vol.
12, No. 2, Juli-Desember 2011.
Busyro, “Menyoal Hukum Nikah Misyar dalam Potensinya Mewujudkan Maqashid
al-Ashliyyah dan al-Tab’iyyah dalam Perkawinan Umat Islam,” al-Manahij
9, no. 2 Desember 2017.
Busyro, Pengantar filsafat Hukum islam, Jakarta: Prenadamedia Group, 2020.
Busyro, Bom bunuh diri dalam fatwa kontemporer Yusuf al-Qaradawi dan
relevansinya dengan maqasid al-Shari’ah, Ijtihad, Jurnal Wacana Hukum
Islam dan Kemanusiaan, Volume 16, No. 1, Juni 2016: 85-103, hlm. 89-90
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Karya Agung, 2006.
Fauzi Muchamad, FATWA DAN PROBLEMATIKA PENTAPAN HUKUM
HALAL DI INDONESIA, Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 4(01), 2018.
Huda Alamul, Maqashid Syari’ah Dalam Fatwa Dewan Hisbah Persis, Jurnal
Syariah dan Hukum, Volume 6 Nomor 1, Juni 2014.
Hasan. A, Pengajaran Shalat: Cara Salat Beserta Dalil-dalilnya, Bangil:
PustakaTamaam, 1991.
Hasan. A, Soal Jawab Masalah Agama, Bandung: Diponegoro, 2007.
Isa. M Anshori, Manifes Perjuangan Persaatuan Islam, Bandung: Pasifik,1958.
PERSIS, Kumpulan Keputusan Sidang Dewan HIsbah Persatuan Islam tentang
Akidah dan Ibadah, Bandung: PERSIS Pers, 2008.
PERSIS, Turuqul Istinbat Dewan Hisbah Persatuan Islam, Bandung: PERSIS,2009.

Anda mungkin juga menyukai