2.1 Perkawinan
2.1.1 Pengertian Perkawinan
Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa Arab disebut
dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj, ini terpakai dalam kehidupan sehari-
hari orang Arab dan banyak terdapat dalam al-Quran dan hadis Nabi. Kata na-
ka-ha banyak terdapat dalam al-Quran dengan arti kawin, seperti dalam surat
an-Nisa’ ayat 3:
َ ِون َع لَ ى ْال ُم ْؤ ِم ن
ين َح َر ٌج فِ ي َ ض ٰى َز ْي ٌد ِم ْن هَ ا َو طَ ًر ا زَ وَّ جْ ن
َ َاك هَ ا لِ َك ْي اَل يَ ُك َ َفَ لَ مَّ ا ق
..... اج َأ ْد ِع يَ ا ِئ ِه ْم
ِ َأ ْز َو
Artinya: Maka takala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya
(menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada
keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak
angkat mereka.... (Amir 2006, 36 )
Secara arti kata nikah berarti “bergabung” berhubungan kelamin dan juga
berati “akad”, adanya dua kemungkinan arti ini karena banyak terdapat dalam
al-Quran memang mengandung dua arti tersebut. Meskipun ada dua
kemungkinan arti kata na-ka-ha namun kemungkinan itu mengandung pendapat
arti sebenarnya, terdapat beda pendapat antara golongan ulama Syafiiyah yang
15
berpendapat bahwa kata nikah itu berarti akad dalam arti yang sebenarnya,
16
menurut ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kata nikah itu mengandung arti
secara hakiki untuk berhubungan kelamin (Amir 2006, 37)
Dewasa ini kerap sekali dibedakan antara pernikahan dan perkawinan, akan
tetapi pada prinsipnya perkawinan dan pernikahan hanya berbeda dalam
menarik akar katanya saja (Mukhtar 1974, hal 62). Perkawinan adalah sebuah
ungkapan tentang akad yang sangat jelas dan di terangkan atas rukun-rukun dan
syarat-syarat. Arti nikah menurut syariat nikah juga berarti akad sedangkan
pengertian hubungan badan itu hanya metafora saja, arti dari pernikahan disini
adalah bersatunya dua insan dengan jelas yang berbeda yaitu laki-laki dan
perempuan yang menjalin suat ikatan dengan perjanjian atau akad. Dalam
kompilasi hukum Islam dijelaskan bahwa perkawinan adalah pernikahan yaitu
akad yang kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah (Muhammad 2017, 75).
Negara-negara muslim waktu merumuskan Undang-Undang perkawinan
melengkapi defenisi dengan penambahan hal-hal yang berkaitan dengan
kehidupan perkawinan itu. Undang-Undangg perkawinan yang berlaku di
Indonesia dirumuskannya dengan:
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antaraa seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanaan Yang Maha Esa.
(Pasal 1)
Ada beberapa hal dari rumusan tersebut yang perlu diperhatikan yaitu:
“Seorang pria dengan seorang wanita” mengandung arti bahwa
perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda, hal ini menolak
perkawinan sesama jenis yang sekarang telah dilegalkan oleh beberapa negara
barat. “sebagai suami istri” mengandung arti bahwa perkawanan itu adalah
bertemunya dua jenis kelamin yang berada dalam suatu rumah tangga, bukan
hanya dalam istiah“ hidup bersama”, dalam definisi tersebut disebutkan pula
17
tujuan perkawinan, yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal,
yaitu sekaligus perkawinan temporal sebagaimana yang berlaku dalam
perkawianan mut’ah dan perkawinan tahlil. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa menunjukkan bahwa perkawinan itu bagi Islam adalah peristiwa agama dan
dilakukan untuk memenuhi perintah agama. (Amir 2006, 40)
Di samping definisi yang diberikan oleh UU No.1 Tahun 1974, Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia memberikan defenisi lain yang tidak mengurangi arti-
arti defenisi UU tersebut namun bersifat menambah penjelas, dengan rumusan
sebabai berikut:
Perkawinan menurut Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat
atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah (pasal2). Akad yang sangat kuat atau
mitsaqan ghalizhan merupakan penjelasan dari ungkapan yang “ikatan lahir
batin” terdapaat dalam rumusan UU yang berarti akad perkawinan
bukanlah semata perjanjian bersifat keperdataan. Ungkapan untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, merupakan
penjelasan dari ungkapan “Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam
UU. Hal ini mejelaskan bahwa orang yang melaksanakan perkawinan
berarti telah melakukan perbuataan ibadah. (Amir 2006, 41).
2. Hadist
Dari begitu banyak suruhan Nabi kepada umatnya untuk melakukan
perkawinan diantaranya seperti dalam hadis Nabi dari Anas bin Malik menurut
riwayat Ahmad dan di sahkan oleh Ibnu Hibban, sabda Nabi:
19
B. Hukum Perkawinan
Perkawinan itu adalah perbuatan yang disenangi Allah dan Nabi untuk
dilakukan, dalam hal menetapkan hukum asal perkawinan terdapat perbedaan
pendaapat dikalangan ulama. Jumhur ulama berpendapt bahwa hukum
perkawinan itu adalah sunnah, karena begitu banyaknya suruhan Allah dalam
al-Quran dan suruhan Nabi dalm sunnahnya untuk melangsungkan perkawinan.
Namun suruhan dalam al-Quran dan sunnah tersebut tidak mengandung arti
wajib, tidak wajibnya perkawinan itu karena tidak ditemukan dalam ayat al-
20
Quran atau sunnah Nabi yang secara tegas memberikan ancaman kepada orang
yang menolak perkawinan. Meskipun ada sabda Nabi yang mengatakaan “siapa
yang tidak mengikuti sunnahku tidak termasuk dalam kelompokku” namun
demikian tidak kuat untuk menetapkan hukum wajib. Perintah atau al-amr itu
adalah wajib selama tidak ditemukan dalil jelas yang memalingkannya dari
hukum asal itu atau ancaman Nabi bagi orang yang tidak mau kawin dalam
beberapa hadis menguatkan pendapt golongan ini. (Amir 2006, hal 45)
Hukum perkawinan dalam pernikahan berlaku hukum taklifi yang 5 yaitu:
1. Wajib bagi orang yang sudah mampu menikah, sedangkan nafsunya telah
mendesak untuk melakukan pesetubuhan yang dikhawatirkan akan
terjerumus kedalam praktek perzinaan.
2. Haram bagi orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan nafkah lahir
dan batin kepada calon istrinya, sedangkan nafsunya belum mendesak.
3. Sunnah bagi nafsunya telah mendesak dan mempunyai kemampuan
untuk nikah, tetapi ia masih dapat menahan diri dari perbuatan haram.
4. Makruh bagi yang lemah syahwatnya dan tidak mampu memberikan
belanja calon istrinya.
5. Mubah bagi orang yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang
mewajibkan segera nikah atau karena alasan-alasan yang mengharapkan
untuk nikah. (Abdul 2010, hal.77)
Sedangkan dasar hukum perkawinan lainnya terdapat juga dalam
KUHPerdata dan UU Nomor 1 Tahun 1974, yang menjelaskan mengenai
pengertian dan asas-asas perkawinan. Dan untuk hukum perkawinan menurut
hukum adat tergantung dari keputusan ataupun peraturan perikatan adat,
namun dalam hal ini Negara tetap melakukan koordinasi dan pengawasan
terhadapnya.
ijab salah satu dari dua pembicara serta penerimaan yang lain. Seperti
ucapan scorang laki-laki: “Aku nikahkan engkau dengan putriku” adalah
ijab, sedangkan yang lain berkata: “Aku terima” adalah qabul. (Abidin
1999, hal.64-68)
Tentang jumlah rukun nikah ini, para ulama berbeda pendapat mazhab
malikyyah berpendapat bahwa rukun nikah ini ada lima macam yaitu:
a. Sighat
b. Calon Suami
c. Calon Isteri
d. Wali
e. Mahar
Imam Syafi’i berkata bahwa rukun itu ada lima macam:
a. Calon pengantin laki-laki
b. Calon pengantin perempuan
c. Wali
d. Dua orang saksi
e. Sighat akad nikah
Menurut mazhab Hambali rukun nikah hanya tiga, yaitu: Suami, isteri dan
Sighat. Bahkan bagi mazhab Hanafi, rukun nikah ini hanya ijab dan qabul
saja(yaitu akad yang dilakukan oleh pihak wali perempuan dan calon pengantin
laki-laki). (Hadi 2015, hal 105-106)
Sedangkan menurut segolongan yang lain rukun nikah itu ada empat, yaitu:
a. Sighat ijab dan qobul
b. Calon pengantin laki-laki
c. Calon pengantin perempuan
d. Wali dari calon pengantin perempuan
23
Pendapat yang menyatakan bahwa rukun nikah itu ada empat karena calon
pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan Digabung menjadi satu
rukun, seperti dibawah ini:
a. Dua orang yang saling melakukan akad perkawinan, yakni mempelai laki-
laki dan mempelai perempuan
b. Adanya wali
c. Adanya dua orang saksi
d. Dilakukan dengan sighat tertentu.
Adanya perbedaan pendapat menurut Imam Syafi’i dan Imam Maliki, Imam
Maliki mengatakan bahwa mahar (maskawin) merupakan salah satu rukun
nikah sedangkan saksi bukan bagaian dari rukun nikah dan sebaliknya Imam
Syafi’i mengatakan dua orang saksi merupakan rukun nikah sedangkan mahar
(maskawin)tidak terdapat di dalam rukun nikah (Amir 2006, hal, 61).
akad nikah. Tetapi menurut golongan hanafi saksi boleh satu orang laki-laki dan
dua orang perempuan. Ada yang berpendapat bahwa syarat-syarat saksi itu
adalah sebagai berikut:
a. Berakal, bukan orang gila
b. Baligh, bukan anak-anak
c. Merdeka, bukan budak
d. Islam
e. Kedua orang saksi itu mendengar.
f. Syarat-syarat Ijab Kabul (Abidin 1999, hal, 64).
Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab dan kabul dengan lisan. Inilah yang
dinamakan akad nikah (ikatan atau perjanjian perkawinan). Bagi orang bisu sah
perkawinannya dengan isyarat tangan atau kepala yang bisa dipahami. Dalam
perkawinan ijab dan kabul merupakan rukun utama dan persyaratan paling
terpenting. Tanpa adanya sebuah ijab dan kabul perkawinan itu tidak sah dan
menjadi batal, adapun syarat-syarat ijab kabul sebagai berikut:
a. Ijab dan kabul dilakukan di dalam satu majelis.
b. Tidak boleh ada jarak yang lama anatara ijab dan kabul yang Merusak
kesatuan akad nikah dan kelangsungan akad.
c. Ijab dan kabul dapat didengar dengan baik oleh kedua belah Pihak dan
dua orang saksi.
Di dalam suatu sigah dua elemen, pertama ucapan ijab dari wali atau
wakilnya dengan kata zawwajtuka atau ankahtuka, dan kedua sigah qabul dari
calon mempelai laki-laki yang bersambungan dengan sigah ijab, ucapanya bisa
dengan kata-kata tazawwajtu atau nakahtu." Adapun beberapa hukum yang
berkenan dengan pernikahan, adanya syarat yang harus dipenuhi pihak suami,
yaitu syarat yang manfaat dan faedahnya kembali kepada isteri. Misalnya
memberikan syarat kepada calon suaminya untuk tidak membawanya keluar
dari rumah atau kampungnya. Semua persyaratan tersebut harus dipenuhi oleh
26
calon suami, jika ia tidak memenuhi syarat tersebut, maka pihak wanita boleh
membatalkan pernikahan." Dalam hukum perkawinan nasional, tepatnya dalam
Undang-undang perkawinan dinyatakan bahwa untuk dapat melaksanakan
perkawinan secara sah harus memenuhi syarat-syarat perkawinan. Syarat-
syarat perkawina menurut Undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974
diatur dalam:
Pasal 6
1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2) Untuk melaksanakan perkawinan se yang belum mencapai umur 21
tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin
dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih
hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu untuk menyatakan keliendaknya, maka isin keliendaknya,
diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluaraga yang
mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama
mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan
kehendaknya.
5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut
dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih di
antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam
daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan
perkawinaan atas permintaan prang tersebut dapat memberikan izin
setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (213)
dan (4) pasal in tentang ketentuan tersebut ayat (1) sampai ayat (5) pasal
27
Berikut akan dijelaskan lebih lanjut tentang hak dan kewajiban masing-
masing suami-istri:
1. Kewajiban Suami
a. Memelihara keluarga dari api neraka
Suami berkewajiban untuk menjaga keluarga dengan membimbing istri
dan anak agar mengerjakan perintah Allah SWT dan meninggalkan
larangannya sehingga terhindar dari api neraka dan membekali keluarga
dengan ilmu, terutama ilmu tentang agama, karna ilmu adalah bagian yang
sangat penting. Dengan ilmu seorang Muslim dapat mengetahui tujuan
hidup dan keberadaannya di dunia ini. Selanjutnya, dengan ilmu dapat
membimbing keluarga menjadi pribadi yang berakhlak baik, mengajak
keluarga selalu taat pada Allah SWT, dan menjauhkan keluarga dari
berbuat maksiat. Selain taat kepada Allah, menjauhkan diri dari berbuat
maksiat merupakan salah satu perintah Allah dan Rasulullah SAW. Hal ini
ditegaskan dalam al-Qur'an Surat al-Nur Ayat 21.
b. Mencari dan memberi nafkah yang halal
Suami wajib memenuhi kewajiban setelah menikah yaitu dengan mencari
nafkah untuk keluarga dan memberikan nafkah yang halal untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari.
33
c. Memimpin keluarga
Setiap rumah tangga membutuhkan pemimpin yang mengatur istri beserta
anak-anaknya, pemimpin yang sesuai dengan ajaran islam adalah
pemimpin yang menjauhi istri dan anak-anaknya dari hal-hal yang dilarang
oleh Allah, serta mampu membimbing istri dan anak- anaknya untuk dekat
dengan Allah serta melakukan segala perintahnya dan yang mengangkat
laki-laki sebagai pemimpin tersebut adalah Allah Ta'ala sendiri.
d. Mendidik anak
Adapun peran suami dalam rumah tangga selain memberikan nafkah juga
yaitu berperan mendidik anak. Suami berkewajiban memberi contoh atau
tauladan yang baik dalam mendidik anak menjadi anak yang berakhlak
baik dan menciptakan kedekatan serta menjadi teman bermain atau
belajar bagi anaknya.
e. Memberi kebebasan berpikir dan bertindak pada istri sesuai dengan ajaran
agama. Selagi tidak melanggar perintah Allah SWT.
f. Memilih lingkungan yang baik.
Lingkungan berpengaruh juga terhadap keluarga, lingkungan sangat
penting karena berpengaruh besar dalam kehidupan beragama kita.
Lingkungan dan orang-orang yang bisa saling menguatkan dan saling
menasehati dalam kehidupan kita.
g. Berbuat adil.
Seorang suami wajib berlaku adil terhadap istri, tidak membanding-
bandingkan dengan orang lain apalagi dengan orang tua, sehingga
kewajiban sebagai anak terhadap orang tua, dengan cara yang sama, serta
perlihatkan kepada orang tua bahwa dalam pernikahan tidak akan berarti
jika istri merasa terabaikan. Maka suami harus bersikap jangan memihak,
jangan buat batasan yang jelas, dan tetap jadilah anak sekaligus suami yang
baik (Ghozali 2003, 161).
34
2. Hak suami
Adapun hak suami dalam keluarga adalah sebagai berikut;
a. Setelah akad terjadi maka kewajiban taat kepada suami menjadi hak yang
paling harus dipenuhi. Maka setelah iajab qabul suami berhak menegur
istrinya demi kemaslahatan seperti hal-hal yang bersifat maksiat, selagi
masih dalam ketentuan ajaran agama yang benar. Contohnya ketika
diperintahkan untuk menutup aurat dengan memakai baju muslimah dan
jilbab yang syar'i atau menyuruh istri untuk pergi menghadiri kajian islam
dan perintah-perintah lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan
agama (Yazid 2018, 103-104).
b. Suami mendapatkan hak dibantu dalam mengelola rumah tangga. Setelah
pernikahan suami memiliki istri yang siap untuk melaksanakan hak dan
juga kewajiban sebagai istri, istri berperan membantu mengelola rumah
tangga, semua keperluan yang akan dibutuhkan termasuk dalam hal
pengelolaan keuangan.
c. Suami berhak mendapatkan pelayanan dengan baik dari sang istri, istri
wajib mentaati suaminya selama tidak melanggar perintah Allah SWT.
d. Suami berhak menafkahi istrinya baik secara zahir maupun secara batin
oleh sebab itu istri tidak boleh menolak ajakan suami ke tempat tidur.
Seorang istri wajib mentaati suaminya begitu juga dengan mendapatkan
ketentraman lahir maupun bathin sehingga senantiasa memberikan
pelayanan terbaik kepadanya, seorang istri tidak boleh menolak ajakan
suami untuk tidur bersama, kecuali ada alasan yang dibenarkan agama.
e. Suami juga berhak mendidik istri agar selalu taat kepada Allah dan
menghindari dari sesuatu yang membuat rumah tangga hancur. Seperti
menjauhi diri dari mencampuri sesuatu yang dapat menyusahkan suami.
Seorang istri lebih baik menghindari segala yang dapat merugikan
35
suaminya kelak, istri juga harus menjaga nama baik suaminya dikala di
rumah maupun tidak, seorang istri harus menjauhkan diri dari perbuatan
yang mendatangkan kecurigaan suami.
f. Suami berhak mendapatkan perlakuan yang baik dari sang istri, maka dari
itu alngkah baiknya istri tidak bermuka masam di hadapan suami dan tidak
menunjukkan keadaan yang tidak disenangi oleh suami. Ketika bersama
suami, istri haruslah memperlihatkan wajah yang manis, istri diharuskan
untuk mengontrol emosi dengan baik sehingga dapat menyenangkan
suami agar betah berlama-lama dengan istri.
g. Suami berhak menuntut istri untuk menjaga kehormatan dirinya dan harta
keluarga. Seorang istri harus menjaga kehormatan dirinya dan suami
bertujuan supaya tidak mengundang fitnah dari orang lain sehingga akan
menimbulkan suatu aib bagi keluarga, fitnah adalah ancaman yang selalu
menghantui dalam setiap keluarga terutamapada wanita, Islam
menganjurkan wanita untuk menutup auratnya dengan menggunakan
jilbab, tujuannya untuk memelihara wanita dari fitnah (Junaedi 2007, 138).
Contohnya ketika istri tidak boleh keluar rumah tanpa seizin suami.
3. Kewajiban istri
a. Hormat, patuh dan taat pada suami sesuai norma agama dan susila.
Perempuan yang paling menyenangkan oleh suaminya adalah perempuan
yang taat kepada suami dan tidak menyelisihi suami pada diri dan
hartanya, tidak hanya hormat kepada suami, istri juga harus menghormati
keluarga suami.
b. Memberikan kasih sayang dan menjadi tempat curahan hati pada anggota
keluarga. Selain dalam mengurus rumah tangga istri memiliki peran yaitu
memberikan kasih sayang terhadap suami dan anak-anaknya kelak, agar
dalam keluarga terciptanya rasa tentram dan rasa aman apalagi jika sudah
36
mempunyai anak, istri juga akan menjadi tempat curahan hati ketika
terjadi sesuatu.
c. Mengatur dan mengurus rumah tangga. Istri memiliki kewajiban yaitu
mengatur urusan rumah tangga, baik dalam penataan ekonomi, keuangan,
maupun kebutuhan yang akan dibutuhkan dalam keluarga, seorang istri
yang membantu suaminya dalam mengurus rumah tangga akan diberikan
pahala oleh Allah SWT, ia berhak mendapatkan ucapan terimakasih dari
sang suami, dan merupakan sebuah perbuatan yang pantas untuk
dimotivasi oleh seorang suami.
d. Merawat, mendidik, dan melatih anak-anaknya sebagai amanah Allah SWT.
Disamping peran kedua orang tua untuk mendidik anak menjadi pribadi
yang berakhlak baik, pola pengasuhan anak yang dilakukan suami pasti
berbeda dengan pola asuh istri terhadap anak keduanya berperan penting
dalam hal mengasuh anak namun suamilebih kepada mencari nafkah,
sehingga peran istri lebih dominan dalam hal mendidik anak.
e. Memelihara, menjaga keharmonisan serta melindungi diri dari harta benda
keluarga. Kewajiban istri dalam islam juga termasuk dalam hal pengelolaan
harta termasuk harta bersama, seorang istri harus berupaya hemat dan
menabung demi menunjang kebutuhan dan keutuhan rumah tangga,
sehinga dibutuhkan keahlian dan komunikasi yang baik antara suami dan
istri.
f. Pandai mengambil hati suami melalui makanan dan minuman. Istri tidak
hanya perihal mengasuh anak namun juga harus jago di dapur,
memberikan makanan dan minuman yang sehat dan bergizi.
g. Bersikap sopan dan penuh senyum kepada suami. Seorang istri herus
menjaga adab dan etikanya kepada suami, menghormati suami sebagai
kepala rumah tangga serta selalu tersenyum kepada suami sehingga
37
Kewajiban istri juga diatur dalam pasal 83-84 Kompilasi Hukum Islam. Pasal
83 menjelaskan bahwa:
1. Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan bathin
kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam.
2. Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-
hari dengan sebaik-baiknya.
4. Hak istri
a. Mendapatkan nafkah yang halal. Istri berhak mendapatkan nafkah dari
suami ketika telah melangsungkan sebuah pernikahan. Memberikan uang
belanja keperluan rumah tangga yang dibebankan kepada suami,
karenanya suami memiliki peran tinggi yaitu sebagai pemimpin keluarga.
Yang dimaksud belanja (nafkah) di sini yaitu memenuhi semua
kebutuhan baik itu berupa makan, tempat tinggal, pengobatan, namun
bila suami orang kaya. Sedangkan jika tidak maka suami harus memenuhi
kebutuhan sesuai kemampuan.
b. Mendapatkan pendidikan dan pembinaan yang dapat membantunya
menyelesaikan kewajibannya sebagai seorang Ibu sekaligus istri dalam
keluarga. Ketika istri melakukan kesalahan atau durhaka maka suami
harus memberikan pelajaran agar dia kembali kepada jalan yang benar,
memberikan pembinaan kepada istri yang pertama adalah menasehati,
bila nasihat tidak berpengaruh maka suami akan melakukan tindakan
yaitu pisah kamar tidur, bila tidak bermanfaat juga maka barulah
dibolehkan memukul dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas,
namun jika cara pertama dengan diberi nasehat istri telah sadar dan
berubah maka cukup sampai disana dan jangan dijalankan cara yang
kedua dan ketiga tersebut.
39
b. Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
c. Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-
anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun
kecerdasannya dan pendidikan agamanya.
d. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.
Sedangkan Pasal 78 menjelaskan bahwa:
1. Suami atau istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
2. Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh suami
istri bersama (Ghozali 2003, 157).
pinta untuk mampu mengatasi masalah apapun yang terjadi didalam pernikahan
(Marlinda, 2020, hal. 11). Ada 5 dimensi dari religiusitas yang saling berkaitan
satu dengan yang lainnya untuk mengetahui tingkat religiusitas seseorang
terhadap agamanya, dimensi tersebut yaitu:
a. Dimensi ideologis, yaitu dimensi yang menunjukkan tingkat keyakinan
seseorang terhadap kebenaran agamanya, terutama terhadap ajaran-
ajaran agamanya.
b. Dimensi ritualistik, yaitu dimensi yang menunjukkan tingkat kepatuhan
seseorang dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual yang dianjurkan di
dalam agamanya. Kepatuhan ini ditunjukkan dengan kepatuhan seseorang
dalam melaksanakan ibadah termasuk patuh terhadap pasangan masing-
masing (suami istri) karna di dalam agama perkawinan adalah Ibadah
menyempurnakan separuh agama. yang terlama dan menyempurnakan
sepauh agama.
c. Dimensi Pengalaman, yaitu seberapa jauh seseorang dalam merasakan dan
mengalami perasaan atau pengalaman religiusnya. Misalnya seberapa
besar seseorang merasakan kedekatan dengan orang lain, kedamaian,
kejujuran, dan keyakinan.
d. Dimensi intelektual, yaitu menunjukkan kapasitas pengetahuan dan
pemahaman seseorang terhadap ajaran-ajaran agamanya. Terutama yang
termuat dalam kitab suci atau pedoman pokok agama, serta bagaimana
setiap pasangan menjaga komunikasi kepada semua anggota keluarganya
dan itu semua telah diatur didalam al-Qur'an.
e. Dimensi akibat, yaitu seseoang ketika beperilaku dapat temotifasi oleh
ajaran Islam, atau seseorang dapat menerapkan ajaran agamanya dalam
ketadepan sehari hais Cerys por ajar seme mengajarkan untuk saling
menolong sadul prota baik dan akan dapatkan pahala mak dia das berku
45
2. Kesehatan
Faktor kesehatan sangatlah penting untuk membangun keluarga. yang
harmonis, namun apabila dalam keluarga seringnya, tidak menjaga kesehatan
sehingga jatuh sakit maka akan banyak juga pengeluaran untuk kedokter,
pengobatan, dan bahkan biaya rumah salat yang tentu alcan menghambat
tercapainya kesejahteraan keluarga pentingnya menjaga kebersihan dan
kesehatan din. Pada suami-istri, kebersihan dan kesehatan juga berperang
sangat penting tak hanya berdampak positif bagi penampilan, tapi juga pada
keharmonisan rumah tangga. Contohnya ketika hari demi hari istri menjaga
penampilannya di depan suami maka akan meningkatkan rasa cinta dalam
keluarga.
3. Ekonomi
Faktor ekonomi tentu juga menjadi faktor keharmonisan dalam keluarga,
seiring perkembangan zaman faktor ekonomi menjadi hal yang sangat penting
yang menjadi perimbangan antara pengeluaran dan pendapatan keluarga.
Kemampuan keluarga dalam menyeimbangkan pemasukan dan pengeluaran,
kebutuhan keluarga yang tidak dapat terpenuhi oleh suami yang pada dasarnya
merupakan tanggung jawab sebagai kepala keluarga secara tidak langsung dapat
mendorong istri juga bekerja demi tercukupinya kebutuhan keluarga, sehingga
peran istri dalam keluarga secara mutlak didapat pada saat ia menikah seperti
menjadi ibu umah tangga dengan mengurus kebutuhan keluarga, mendidik anak,
melayani suami. Maka dari itu ekonomi merapakan salais san faktor dalam
upaya memelihara kelangsungan kehidupan lodluarga Faktor dasar fungsi ini
adalals untuk mempertahankan hidup yang baik secara maividu, kolektif,
46
4. Pendidikan
Alasan utama yang menyebabkan tingkat pendidikan akan
mempengaruhi suatu produktiitas, balk secara longsung maupun todak
langsung. Dalam pendidikan sebagai akibat dari perabahan pengetahuan dan
keterampilan serta dengan tingkat pendidikan yang sudah tinggi akan terbuka
harapan yang kuas. Pengenalan tentang rau, etika dan norma sostal dalam
kehidupan sehari-hari sehingga terbentuk kehidupan keluarga yang mempunyai
pikiran yang lebih luas dan mampu berpikir secara intelektual (Samsudin, 2015,
hal. 147-152).
5. Gaya Hidup
Gaya hidup merupakan pola hidup seseorang di dunia yang mengikuti
perkembangan zamannya akan berubah secara terus menerus. Gaya hidup
mencerminkan seluruh diri seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungan.
berdasarkan ini pola interaksi membentuk karakter seseorang serta mengubah
gaya hidupnya.
DAFTAR PUSTAKA
Supadie, Didiek Ahmad. Hukum Perkawinan Bagi Umat Islam Indonesia. Semarang,
2015.
Supriyadi. “Peran Istri Yang Bekeja Sebagai Pencari Nafkah Utama.” 2016.
Yazid. Hadia Istimewa Menuju Keluarga Sakinah. Jawa Barat, 2018.
Zuhaili, Wahbah az. al-Mu‘âmalât al-Mâlîyah al-Mu‘âshirah. Damaskus: Dar Al-fikr,
2006.