Anda di halaman 1dari 39

BAB II

PEKAWINAN DAN KEHARMONISAN DALAM RUMAH TANGGA

2.1 Perkawinan
2.1.1 Pengertian Perkawinan
Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa Arab disebut
dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj, ini terpakai dalam kehidupan sehari-
hari orang Arab dan banyak terdapat dalam al-Quran dan hadis Nabi. Kata na-
ka-ha banyak terdapat dalam al-Quran dengan arti kawin, seperti dalam surat
an-Nisa’ ayat 3:

َ ‫اء َم ْث ن َٰى َو ثُ اَل‬


‫ث‬ ِ ‫اب لَ ُك ْم ِم َن النِّ َس‬ ْ َ‫َام ٰى ف‬
َ َ‫ان ِك ُح وا َم ا ط‬ َ ‫َو ِإ ْن ِخ ْف تُ ْم َأ اَّل تُ ْق ِس طُ وا فِ ي ْال يَ ت‬
ِ ‫اع ۖ فَ ِإ ْن ِخ ْف تُ ْم َأ اَّل تَ ْع ِد لُ وا فَ َو‬
ً‫اح َد ة‬ َ َ‫َو ُر ب‬
artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang
saja.
Demikian pula banyak terdapat kata za-wa-ja dalam al-Quran arti kawin
seperti pasa sutrat Al-Ahzab ayat 37:

َ ِ‫ون َع لَ ى ْال ُم ْؤ ِم ن‬
‫ين َح َر ٌج فِ ي‬ َ ‫ض ٰى َز ْي ٌد ِم ْن هَ ا َو طَ ًر ا زَ وَّ جْ ن‬
َ ‫َاك هَ ا لِ َك ْي اَل يَ ُك‬ َ َ‫فَ لَ مَّ ا ق‬
..... ‫اج َأ ْد ِع يَ ا ِئ ِه ْم‬
ِ ‫َأ ْز َو‬
Artinya: Maka takala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya
(menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada
keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak
angkat mereka.... (Amir 2006, 36 )
Secara arti kata nikah berarti “bergabung” berhubungan kelamin dan juga
berati “akad”, adanya dua kemungkinan arti ini karena banyak terdapat dalam
al-Quran memang mengandung dua arti tersebut. Meskipun ada dua
kemungkinan arti kata na-ka-ha namun kemungkinan itu mengandung pendapat
arti sebenarnya, terdapat beda pendapat antara golongan ulama Syafiiyah yang
15
berpendapat bahwa kata nikah itu berarti akad dalam arti yang sebenarnya,
16

menurut ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kata nikah itu mengandung arti
secara hakiki untuk berhubungan kelamin (Amir 2006, 37)
Dewasa ini kerap sekali dibedakan antara pernikahan dan perkawinan, akan
tetapi pada prinsipnya perkawinan dan pernikahan hanya berbeda dalam
menarik akar katanya saja (Mukhtar 1974, hal 62). Perkawinan adalah sebuah
ungkapan tentang akad yang sangat jelas dan di terangkan atas rukun-rukun dan
syarat-syarat. Arti nikah menurut syariat nikah juga berarti akad sedangkan
pengertian hubungan badan itu hanya metafora saja, arti dari pernikahan disini
adalah bersatunya dua insan dengan jelas yang berbeda yaitu laki-laki dan
perempuan yang menjalin suat ikatan dengan perjanjian atau akad. Dalam
kompilasi hukum Islam dijelaskan bahwa perkawinan adalah pernikahan yaitu
akad yang kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah (Muhammad 2017, 75).
Negara-negara muslim waktu merumuskan Undang-Undang perkawinan
melengkapi defenisi dengan penambahan hal-hal yang berkaitan dengan
kehidupan perkawinan itu. Undang-Undangg perkawinan yang berlaku di
Indonesia dirumuskannya dengan:
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antaraa seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanaan Yang Maha Esa.
(Pasal 1)
Ada beberapa hal dari rumusan tersebut yang perlu diperhatikan yaitu:
“Seorang pria dengan seorang wanita” mengandung arti bahwa
perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda, hal ini menolak
perkawinan sesama jenis yang sekarang telah dilegalkan oleh beberapa negara
barat. “sebagai suami istri” mengandung arti bahwa perkawanan itu adalah
bertemunya dua jenis kelamin yang berada dalam suatu rumah tangga, bukan
hanya dalam istiah“ hidup bersama”, dalam definisi tersebut disebutkan pula
17

tujuan perkawinan, yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal,
yaitu sekaligus perkawinan temporal sebagaimana yang berlaku dalam
perkawianan mut’ah dan perkawinan tahlil. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa menunjukkan bahwa perkawinan itu bagi Islam adalah peristiwa agama dan
dilakukan untuk memenuhi perintah agama. (Amir 2006, 40)
Di samping definisi yang diberikan oleh UU No.1 Tahun 1974, Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia memberikan defenisi lain yang tidak mengurangi arti-
arti defenisi UU tersebut namun bersifat menambah penjelas, dengan rumusan
sebabai berikut:
Perkawinan menurut Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat
atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah (pasal2). Akad yang sangat kuat atau
mitsaqan ghalizhan merupakan penjelasan dari ungkapan yang “ikatan lahir
batin” terdapaat dalam rumusan UU yang berarti akad perkawinan
bukanlah semata perjanjian bersifat keperdataan. Ungkapan untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, merupakan
penjelasan dari ungkapan “Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam
UU. Hal ini mejelaskan bahwa orang yang melaksanakan perkawinan
berarti telah melakukan perbuataan ibadah. (Amir 2006, 41).

2.1.2 Dasar hukum dan Hukum Perkawinan


A. Dasar Hukum
Perkawinan itu akad yang membolehkan laki-laki dan perempuan
melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak dibolehkan, dapat dikatakan bahwa
asal dari perkawinan itu adalah mubah atau boleh. Melangsungkan akad
perkawinan disuruh oleh agama dan dengan telah berlangsungnya perkawinan
itu, maka pergaulan laki-laki dengan perempuan menjadi mubah. Perkawinan
adalah suatu perbuatan yang disuruh oleh Allah dan juga disuruh oleh Nabi,
18

banyak suruhan-suruhan Allah dalam al-Qur’an untuk melaksanakan


perkawinan.
1. Al-Qur’an
Adapun dalil al-Qur’an mengenai perkawinan ini diantaranya:
a. QS. ar-Rum (30) : 21
ْ ‫ق لَ ُك ْم ِم ْن َأ ْن فُ ِس ُك ْم َأ ْز َو ا ًج ا لِ ت‬
ً ‫َس ُك نُ وا ِإ لَ ْي هَ ا َو َج َع َل بَ ْي ن َُك ْم َم َو دَّة‬ َ َ‫َو ِم ْن آيَ اتِ ِه َأ ْن خَ ل‬
ٍ َ‫َو َر حْ َم ةً ۚ ِإ َّن فِ ي ٰ َذ لِ كَ آَل ي‬
‫ات لِ قَ وْ ٍم يَ تَ فَ كَّ ُر و َن‬
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih
dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
b. Qs. az-Zariyat (51)
َ ‫َو ِم ْن ُك ِّل َش ْي ٍء َخ لَ ْق َن ا َز ْو َج ْي ِن لَ َع لَّ ُك ْم َت َذ َّك ُر‬
‫ون‬
Artinya: ”Dari segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasaangan supayaa kamu
mengingat kebesarn Allah”.

c. Qs. al-Hujurat (13)


‫ار فُ وا ۚ ِإ َّن‬ ُ ‫َو ُأ ْن َث ٰى َو َج َع ْل َن‬
ُ ‫اك ْم‬
َ ‫ش ُع و ًب ا َو َق َب اِئ َل ل َِت َع‬ ‫اك ْم ِم ْن َذ َك ٍر‬ ُ ‫اس ِإ َّن ا َخ لَ ْق َن‬ُ ‫الن‬َّ ‫َأ ُّي َه ا‬
ٌ ‫ِيم َخ ِب‬
‫ير‬ ٌ ‫َع ل‬ ُ ‫َأ ْك َر َم ُك ْم عِ ْن َد هَّللا ِ َأ ْت َق‬
َ ‫اك ْم ۚ ِإ َّن هَّللا‬
Artinya: “Hai manusia , sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah iyalah orang yang
paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui Lagi
Maha Mengenal”. (Sayyid 2012, 196)

2. Hadist
Dari begitu banyak suruhan Nabi kepada umatnya untuk melakukan
perkawinan diantaranya seperti dalam hadis Nabi dari Anas bin Malik menurut
riwayat Ahmad dan di sahkan oleh Ibnu Hibban, sabda Nabi:
19

Artinya: Kawinilah perempuan-perempuan yang dicintai yang subur, karena


sesungguhnya aku akan bangga karenaa banyak kaum di hari kiamat.
(Amir 2006, hal 44)
Dan tedapat juga dalam Hadis Riwayat Abu Daud dalam Shahih Muttafaq
Alaih anjuran untuk menikah.
Artinya: Dari Alqamah, dia berkata, “sesungguhnya saya berjalan besama
Abdullah bin Mas’ud di Mina kemudia Utsman betemu dengan Abdullah
bin Mas’ud. Utsman menghampiri Ibnu Mas’ud. Ketika Ibnu Mas’ud
melihat bahwa dia dia tidak berkeinginan untuk menikah , maka ia
berkata kepada Alqamah, kemarilah wahai Al-Qamah. Kemudia aku
mendatangi ibnu Mas’ud , Utsman berkata kepada Ibnu Mas’ud dengan
seorang gadis, semoga dengan demikian engkau mengingat kembali
masa lampaumu yang indah. Abdullah Bin Mas’ud berkata demikian,
saya telah mendengar Rasulullahb Saw besabda, barang siapa yang
telah mempunyai kemampuan , maka hendaklah ia menikah, karena
menikah akan membuat seseorang mampu menahan pandangannya,
lebih dapat memelihara kemaluannya. Barang siapa yang belum mampu
untuk menikah meeka hendaklah ia berpuasa, karena puasa mampu
menahan dan membentengi (gejolak syahwat). (Nasruddin 2002, hal
794)
Begitu banyak suruhan Allah dan Nabi untuk melaksanakan pekawinan itu,
maka perkawinan itu adalah perbuatan yang lebih disenangi Allah dan Nabi
untuk dilakukan.

B. Hukum Perkawinan
Perkawinan itu adalah perbuatan yang disenangi Allah dan Nabi untuk
dilakukan, dalam hal menetapkan hukum asal perkawinan terdapat perbedaan
pendaapat dikalangan ulama. Jumhur ulama berpendapt bahwa hukum
perkawinan itu adalah sunnah, karena begitu banyaknya suruhan Allah dalam
al-Quran dan suruhan Nabi dalm sunnahnya untuk melangsungkan perkawinan.
Namun suruhan dalam al-Quran dan sunnah tersebut tidak mengandung arti
wajib, tidak wajibnya perkawinan itu karena tidak ditemukan dalam ayat al-
20

Quran atau sunnah Nabi yang secara tegas memberikan ancaman kepada orang
yang menolak perkawinan. Meskipun ada sabda Nabi yang mengatakaan “siapa
yang tidak mengikuti sunnahku tidak termasuk dalam kelompokku” namun
demikian tidak kuat untuk menetapkan hukum wajib. Perintah atau al-amr itu
adalah wajib selama tidak ditemukan dalil jelas yang memalingkannya dari
hukum asal itu atau ancaman Nabi bagi orang yang tidak mau kawin dalam
beberapa hadis menguatkan pendapt golongan ini. (Amir 2006, hal 45)
Hukum perkawinan dalam pernikahan berlaku hukum taklifi yang 5 yaitu:
1. Wajib bagi orang yang sudah mampu menikah, sedangkan nafsunya telah
mendesak untuk melakukan pesetubuhan yang dikhawatirkan akan
terjerumus kedalam praktek perzinaan.
2. Haram bagi orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan nafkah lahir
dan batin kepada calon istrinya, sedangkan nafsunya belum mendesak.
3. Sunnah bagi nafsunya telah mendesak dan mempunyai kemampuan
untuk nikah, tetapi ia masih dapat menahan diri dari perbuatan haram.
4. Makruh bagi yang lemah syahwatnya dan tidak mampu memberikan
belanja calon istrinya.
5. Mubah bagi orang yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang
mewajibkan segera nikah atau karena alasan-alasan yang mengharapkan
untuk nikah. (Abdul 2010, hal.77)
Sedangkan dasar hukum perkawinan lainnya terdapat juga dalam
KUHPerdata dan UU Nomor 1 Tahun 1974, yang menjelaskan mengenai
pengertian dan asas-asas perkawinan. Dan untuk hukum perkawinan menurut
hukum adat tergantung dari keputusan ataupun peraturan perikatan adat,
namun dalam hal ini Negara tetap melakukan koordinasi dan pengawasan
terhadapnya.

2.1.3 Rukun dan Syarat Sah Perkawinan


21

Pengertian Rukun, Syarat dan Sah


Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya
suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan
itu, separti membasuh untuk wudhu dan takbiratul ihram untuk shalat atau
adanya calon pengantin laki-laki/perempuan dalam perkawinan. (Dadan 2006,
hal 59)
Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya
suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian
pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat atau menurut Islam, calon
pengantin laki-laki/perempuan itu harus beragama Islam. (Hakim 1976, hal 9)
Sah yaitu sesuatu pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat.
A. Rukun Perkawinan
Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu tediri atas:
a. Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan
b. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita, akad nikah akan
dianggap sah apabila ada seorang wali atau wakilnya yang akan
menikahkannya. Berdasarkan sabda Nabi SAW yang artinya:
“Perempuan mana saja yang menikah tampa seizin walinya, maka
pernikahannya batal”

c. Adanya dua orang saksi


Pelaksananya akad nikah akan sah apabila dua orang saksi yang
menyaksikan akad nikah tersebut, berdasarkan sabda Nabi SAW yang
artinya:
“Tidak ada nikah melainkan dengan wali dan dua saksi yang adil”
d. Sighat akad nikah, sighat akad adalah ijab dan qabul, keduanya menjadi
rukun akad, ijab diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak wanita,
dan qabul dijawab oleh calon pengantin laki-laki. Akad adalah gabungan
22

ijab salah satu dari dua pembicara serta penerimaan yang lain. Seperti
ucapan scorang laki-laki: “Aku nikahkan engkau dengan putriku” adalah
ijab, sedangkan yang lain berkata: “Aku terima” adalah qabul. (Abidin
1999, hal.64-68)
Tentang jumlah rukun nikah ini, para ulama berbeda pendapat mazhab
malikyyah berpendapat bahwa rukun nikah ini ada lima macam yaitu:
a. Sighat
b. Calon Suami
c. Calon Isteri
d. Wali
e. Mahar
Imam Syafi’i berkata bahwa rukun itu ada lima macam:
a. Calon pengantin laki-laki
b. Calon pengantin perempuan
c. Wali
d. Dua orang saksi
e. Sighat akad nikah
Menurut mazhab Hambali rukun nikah hanya tiga, yaitu: Suami, isteri dan
Sighat. Bahkan bagi mazhab Hanafi, rukun nikah ini hanya ijab dan qabul
saja(yaitu akad yang dilakukan oleh pihak wali perempuan dan calon pengantin
laki-laki). (Hadi 2015, hal 105-106)
Sedangkan menurut segolongan yang lain rukun nikah itu ada empat, yaitu:
a. Sighat ijab dan qobul
b. Calon pengantin laki-laki
c. Calon pengantin perempuan
d. Wali dari calon pengantin perempuan
23

Pendapat yang menyatakan bahwa rukun nikah itu ada empat karena calon
pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan Digabung menjadi satu
rukun, seperti dibawah ini:
a. Dua orang yang saling melakukan akad perkawinan, yakni mempelai laki-
laki dan mempelai perempuan
b. Adanya wali
c. Adanya dua orang saksi
d. Dilakukan dengan sighat tertentu.
Adanya perbedaan pendapat menurut Imam Syafi’i dan Imam Maliki, Imam
Maliki mengatakan bahwa mahar (maskawin) merupakan salah satu rukun
nikah sedangkan saksi bukan bagaian dari rukun nikah dan sebaliknya Imam
Syafi’i mengatakan dua orang saksi merupakan rukun nikah sedangkan mahar
(maskawin)tidak terdapat di dalam rukun nikah (Amir 2006, hal, 61).

2. Syarat Sahnya Perkawinan


Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan,
apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan menimbulkan
adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri. Syarat sah nikah adalah
yang membuat akad itu patut menimbulkan beberapa hukum. Jika satu syarat
tidak ada, maka akadnya rusak, adapun syarat sah akad ada tiga adanya
persaksian, wanita yang tidak haram untuk selamanya atau sementara bagi
suami, dan shighat akad hendaknya selamanya. (Azzam 2015, hal.100)
Syari’at Islam menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon
suami, calon istri, wali dan saksi berdasarkan ijtihad para ulama, yaitu:
1. Syarat-syarat pengantin pria
a. Calon suami beragama Islam
b. Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki
c. Orangnya diketahui dan tertentu
24

d. Calon mempelai laki-laki jelas halal kawin dengan calon Istri.


e. Calon mepelai laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul calon
istrinya halah baginya.
f. Calon suami rela (tidak dipaksa) untuk melakukan Perkawinan itu.
g. Tidak sedang melakukan ihram
h. Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon Istri
i. Tidak sedang mempunyai istri empat
2. Syarat-syarat calon pengantin perempuan
a. Beragama Islam atau ahli kitab
b. Terang bahwa ia wanita, bukan khuntsa (banci)
c. Wanita itu tentu orangnya
d. Halal bagi calon suami
e. Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak dalam iddah
f. Tidak dipaksa/ikhtiyar
g. Tidak dalam keadaan ihram haji dan umroh. (Islam 1985, hal.49-50)
3. Syarat-syarat Wali
Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai perempuan atau
wakilnya dengan calon suami atau wakilnya. Perkawinan yang dilangsungkan
tanpa adanya seorang wali maka perkawinan itu tidak sah. Adapun syarat-syarat
wali sebagai berikut:
a. Beragama Islam
b. Laki-laki
c. Baligh
d. BerakalTidak dalam keadaan dipaksa
e. Tidak sedang ihram haji
4. Syarat-syarat Saksi
Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki-laki, muslim
baligh, berakal, melihat dan mendengar serta memahami (paham) akan maksud
25

akad nikah. Tetapi menurut golongan hanafi saksi boleh satu orang laki-laki dan
dua orang perempuan. Ada yang berpendapat bahwa syarat-syarat saksi itu
adalah sebagai berikut:
a. Berakal, bukan orang gila
b. Baligh, bukan anak-anak
c. Merdeka, bukan budak
d. Islam
e. Kedua orang saksi itu mendengar.
f. Syarat-syarat Ijab Kabul (Abidin 1999, hal, 64).
Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab dan kabul dengan lisan. Inilah yang
dinamakan akad nikah (ikatan atau perjanjian perkawinan). Bagi orang bisu sah
perkawinannya dengan isyarat tangan atau kepala yang bisa dipahami. Dalam
perkawinan ijab dan kabul merupakan rukun utama dan persyaratan paling
terpenting. Tanpa adanya sebuah ijab dan kabul perkawinan itu tidak sah dan
menjadi batal, adapun syarat-syarat ijab kabul sebagai berikut:
a. Ijab dan kabul dilakukan di dalam satu majelis.
b. Tidak boleh ada jarak yang lama anatara ijab dan kabul yang Merusak
kesatuan akad nikah dan kelangsungan akad.
c. Ijab dan kabul dapat didengar dengan baik oleh kedua belah Pihak dan
dua orang saksi.
Di dalam suatu sigah dua elemen, pertama ucapan ijab dari wali atau
wakilnya dengan kata zawwajtuka atau ankahtuka, dan kedua sigah qabul dari
calon mempelai laki-laki yang bersambungan dengan sigah ijab, ucapanya bisa
dengan kata-kata tazawwajtu atau nakahtu." Adapun beberapa hukum yang
berkenan dengan pernikahan, adanya syarat yang harus dipenuhi pihak suami,
yaitu syarat yang manfaat dan faedahnya kembali kepada isteri. Misalnya
memberikan syarat kepada calon suaminya untuk tidak membawanya keluar
dari rumah atau kampungnya. Semua persyaratan tersebut harus dipenuhi oleh
26

calon suami, jika ia tidak memenuhi syarat tersebut, maka pihak wanita boleh
membatalkan pernikahan." Dalam hukum perkawinan nasional, tepatnya dalam
Undang-undang perkawinan dinyatakan bahwa untuk dapat melaksanakan
perkawinan secara sah harus memenuhi syarat-syarat perkawinan. Syarat-
syarat perkawina menurut Undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974
diatur dalam:
Pasal 6
1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2) Untuk melaksanakan perkawinan se yang belum mencapai umur 21
tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin
dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih
hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu untuk menyatakan keliendaknya, maka isin keliendaknya,
diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluaraga yang
mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama
mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan
kehendaknya.
5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut
dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih di
antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam
daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan
perkawinaan atas permintaan prang tersebut dapat memberikan izin
setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (213)
dan (4) pasal in tentang ketentuan tersebut ayat (1) sampai ayat (5) pasal
27

ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan


kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Pasal 7
1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umu 16 (enam
belas) tahun. (2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini
dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang
ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
2) Ketentua-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang
tua tersebut dalam pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku
juga dalam permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan
tidak mengurang yang dikmaksud dalam pasal 6 ayat (6).
Dalam Kompilasi hukum Islam (KHI) Bab IV disebutkan secara jelas rukun
dan syarat perkawinan. Rukun perkawinan dalam KHI pasal 14 terdiri dari lima
macam, yaitu:
a. Calon suami
b. Calon isteri
c. Wali nikah
d. Dua orang saksi
e. Ijab dan kabul
Dari penjelasan rukun dan syarat sah nya perkawinan dapat disimpulkan
bahwa rukun dan syarat sahnya perkawinan merupakan dasar bagi sahnya
perkawinan. Apabila syarat-syarat terpenuhi maka perkawinan itu sah dan
menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri, para Imam
madzhab pun juga menetapkan rukun dan syarat sahnya perkawinan yang tidak
jauh berbeda dengan yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sehingga
antara pendapat imam madzhab dan peraturan yang sudah diatur dalam KHI
tidak memiliki perbedaan yang berarti (Supadie 2015, hal.50)
28

2.1.4 Tujuan Perkawinaan


Berdasarkan defenisi perkawinan dalam konsep undang-undang
perkawinan, bahwa perkawinan tidak hanya dipahami sebagai hubungan
jasmani atau biologis semata, akan tetapi perkawinan juga merupaakaan
hubungan batin. Oleh karna itu daapat dipahami dalam perkawinan harus
mengetahui tujuan dari perkawinan tersebut, tujuan perkawinan secara tegas
disebutkan dalam undang-undang perkawinan itu sendiri, yaaitu “bahagia”, hal
ini berarti setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan dapat memperoleh
dan membentuk keluarga yang kekal dan bahagia. Berikut tujuan keluarga
menurut islam diantaraanya sebagai berikut:
1. Memuliakan keturunan
Berketurunan merupakan hal pokok, oleh karna itu pernikahan dilakukan
yang dimaksudkan iyalah menjaga keturunan dan melestarikan jenis manusia
didunia. Dengan perantaraan anak, akan mendekatkan seseorang pada empat
macam, keempat macam tersebut merupakan pokok yang diinginkan ketika
merasa aman dari keburukan syahwat, sehingga salah satunya tidak
menginginkan berjumpa dengan Allah dalam keadaan membujang:
Pertama mengikuti kecintan Allah dengan berusaha memperoleh anak agar
jenis manusia terpelihara.
Kedua, mengharaap cinta Rasulullah dalam memperbaanyak keturunan
sebagaai kebanggan Nabi.
Ketiga, mengharap keberkahan, dengan doa anak sholeh setelah
kematiannya.
Keempat, mencari syafaat dengan meninggalnya anak kecil jika ia meninggal
sebelumnya (As-Subki. 2012, hal.50)

2. Menjaga diri dari setan


29

Pernikahan menjadi sarana wadah syar’i yang bersih, langgeng dan


pelaksanaannya pada tempat yang benar dan mengarahan pada jalan yang
benar. Hubungan seksual yang diperintahkan antaraa suami dan istri dapat
menjaga dirinya dari tipu daya setan, melemahkan keberingasan , mencegah
keburukan-keburukan syahwat, memelihara pandangan dan menjaga kelamin,
berkaitan dengan hal ini, Nabi mengisyaratkan dengan sabdanya: Barang siapa
yang menikah sungguh ia telah menjaga setengah agamanya, maka bertakwalah
kepada Allah SWT. dan Nabi juga bersabda: Bagi kalian yang memiliki
kemampuan untuk menikah maka menikahlah, barang siapa yang tidak mampu
menikah maka berpuasalah, karena puasa itu sebagai penawar. Karena
pernikahan itu menjadi sebab penghalang keburukan syahwat dan merupakan
suatu yang penting dalam agama bagi setiap orang yang berada dalam
kelemahan untuk menikah.

3. Bekerja sama dalam menghadapi kesulitan hidup


Ikatan pernikahan adalah ikatan selamanya, pernikahan tidak sebatas
karena suatu hal yang terhenti karenanya, pernikahan membentuk keluarga
selamanya dengan tujuan keluarga adalah keteguhan dan ketenangan Allah
berfirman dalam surat (QS. Ar-Rum: 21):
‫ات ِه َأ ْن َخ لَ َق لَ ُك ْم ِم ْن َأ ْن فُ سِ ُك ْم َأ ْز َو اجً ا ل َِت سْ ُك ُن وا ِإ لَ ْي َه ا َو َج َع َل َب ْي َن ُك ْم‬ ِ ‫َو ِم ْن َآي‬
‫ۚ م َو َّد ًة َو َر ْح َم ًة‬
َ
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih
dan sayang.
Huruf lam pada kata litaskunu sebagai lam ta’lil (alasan/tujuan ) yaki tujuan
pernikahan adalah ketenangan dan kelanggengan, meskipun ketenangan
menjadi tujuan pada satu sisi, dan juga menjadi perantara pada sisi lainnya,
30

karena tujuan berketurunan tidak mencapai tampa kelanggengan dan kasih


sayang suami istri. Oleh karena itu bekerjaa sama dalam menanggung beban
hidup antara suami dan istri termasuk salah satu tujuan keluarga dalam islam.
(As-Subki. 2012, hal.51)

4. Melaksanakan Hak-Hak Keluarga


Melawan nafsu, melatihnya dengan tanggung jawab, kekuasaan,
melaksanakan hak-hak keluarga, sabar atas hak akhlak meereka, menanggung
keburukannya, berusaha memperbaikinya, menunjukkan mereka pada jalan
agama, bersungung-sungguh dalam melakukan pekerjaan yang halal,
melaksanakan pendidikan baginya dan anaak-anaknya. Keutamaan perlind
ungan sangatlah besar, seseorang yang beerhati-hati dalam perlindungan adalah
orang yang berhati-hati karena khawatir tidak mampu memenuhi hak-haknya.
Adapun hikmah yang ditemukan dalam perkawinan itu adalah menghalangi
mata melihat kepada hal-hal yang tidak diizinkan syara’ dan menjaga
kehormatan diri dari terjatuh pada kerusakan seksual. Sebagaimana yang
dinyataakan sendiri oleh Nabi dalam hadisnya yang muttafaq alaih yang berasal
dari Abdullah bin Mas’ud ucapan Nabi yaitu:
Wahai para pemuda, siapa yang diantaramu telah mempunyai kemampuan
untuk kawin, maka kawinlah, karena perkawinan itu lebih menghalangi
penglihatan(dari maksiat)dan lebih menjaga kehormatan (dari kerusakan
seksual). Siapa yang belum mampu hendaklah berpuasa, karena puasa itu baginya
akan mengekang syahwat. (As-Subki. 2012, hal.51)

2.1.5 Hak dan Kewajiban Suami Istri Dalam Perkawinan


Setiap anggota keluarga memiliki hak dan kewajibannya masing- masing.
Semuanya memiliki peran dalam keluarga sehingga bahu-membahu dalam
menegakkan rumah tangga tersebut, rumah tangga yang telah dimulai sejak
akad pernikahan dilangsungkan, hendaknya ajaran agama Islam dalam
31

menentukan hak-hak di antara suami-istri yang dengan menjalankan hak-hak


tersebut, maka akan terjadi ketentraman dalam rumah tangga. Agama kita
menyuruh agar keduanya menunaikan apa yang menjadi kewajibannya dan
tidak mempermasalahkan beberapa kesalahan kecil yang mungkin saja terjadi.
Pengertian Hak adalah kekuasaan untuk berbuat sesuatu karena telah
ditentukan oleh Undang-undang, aturan dan sebagainya. Adapun yang dimaksud
hak adalah sesuatu yang mutlak dan layak menjadi milik seseorang, dan
merupakan milik atau dapat dimiliki oleh suami atau istri yang diperolehnya
dari hasil perkawinannya, atau lebih tepatnya di sini adalah segala yang diterima
oleh seseorang dari orang lain (Amir 2006, 160). Hak ini juga dapat dihapus
apabila yang berhak rela jika haknya tidak dipenuhi atau dibayar oleh pihak lain.
Dalam hubungan suami-istri, dalam kehidupan rumah tangga suami mempunyai
hak dan begitu pula istri juga mempunyai hak.
Sedangkan yang dimaksud dengan "Kewajiban" adalah segala yang harus
dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain dengan penuh tanggung jawab.
Kata kewajiban itu sendiri memiliki kata dasar "Wajib" yang berarti harus
dilakukan, tidak boleh tidak melaksanakan keharusan tersebut, sama seperti
halnya hak, dalam sebuah hubungan suami istri, dalam rumah tangga suami juga
mempunyai beberapa kewajiban dan begitu pula si istri juga mempunyai
beberapa kewajiban yang harus dilakukan sebagai akibat adanya ikatan
perkawinan diantara mereka (Amir 2006, 159).
Keluarga dikatakan bahagia jika suami-istri tersebut menjalankan hak
dan kewajibannya masing-masing, suami-istri berkewajiban saling mencintai
satu sama lain dan memberi bantuan lahir dan bathin yang satu kepada yang
lainnya juga. Berikut hak dan kewajiban suami-istri antara lain adalah;
1. Menegakkan rumah tangga.
2. Menjaga keseimbangan dalam rumah tangga dan dalam pergaulan di
masyarakat.
32

3. Berhak melakukan perbuatan hukum.


4. Harus memiliki tempat kediaman yang tetap.
5. Wajib mencintai satu sama lain, menghormati, setia, dan memberikan
semua bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
6. Suami harus melindungi istri dan memberikan semua kebutuhan yang
diperlukan oleh rumah tangga sesuai dengan kesanggupannya.
7. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga semaksimal mungkin (Ashadie
2020, 7).

Berikut akan dijelaskan lebih lanjut tentang hak dan kewajiban masing-
masing suami-istri:
1. Kewajiban Suami
a. Memelihara keluarga dari api neraka
Suami berkewajiban untuk menjaga keluarga dengan membimbing istri
dan anak agar mengerjakan perintah Allah SWT dan meninggalkan
larangannya sehingga terhindar dari api neraka dan membekali keluarga
dengan ilmu, terutama ilmu tentang agama, karna ilmu adalah bagian yang
sangat penting. Dengan ilmu seorang Muslim dapat mengetahui tujuan
hidup dan keberadaannya di dunia ini. Selanjutnya, dengan ilmu dapat
membimbing keluarga menjadi pribadi yang berakhlak baik, mengajak
keluarga selalu taat pada Allah SWT, dan menjauhkan keluarga dari
berbuat maksiat. Selain taat kepada Allah, menjauhkan diri dari berbuat
maksiat merupakan salah satu perintah Allah dan Rasulullah SAW. Hal ini
ditegaskan dalam al-Qur'an Surat al-Nur Ayat 21.
b. Mencari dan memberi nafkah yang halal
Suami wajib memenuhi kewajiban setelah menikah yaitu dengan mencari
nafkah untuk keluarga dan memberikan nafkah yang halal untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari.
33

c. Memimpin keluarga
Setiap rumah tangga membutuhkan pemimpin yang mengatur istri beserta
anak-anaknya, pemimpin yang sesuai dengan ajaran islam adalah
pemimpin yang menjauhi istri dan anak-anaknya dari hal-hal yang dilarang
oleh Allah, serta mampu membimbing istri dan anak- anaknya untuk dekat
dengan Allah serta melakukan segala perintahnya dan yang mengangkat
laki-laki sebagai pemimpin tersebut adalah Allah Ta'ala sendiri.
d. Mendidik anak
Adapun peran suami dalam rumah tangga selain memberikan nafkah juga
yaitu berperan mendidik anak. Suami berkewajiban memberi contoh atau
tauladan yang baik dalam mendidik anak menjadi anak yang berakhlak
baik dan menciptakan kedekatan serta menjadi teman bermain atau
belajar bagi anaknya.
e. Memberi kebebasan berpikir dan bertindak pada istri sesuai dengan ajaran
agama. Selagi tidak melanggar perintah Allah SWT.
f. Memilih lingkungan yang baik.
Lingkungan berpengaruh juga terhadap keluarga, lingkungan sangat
penting karena berpengaruh besar dalam kehidupan beragama kita.
Lingkungan dan orang-orang yang bisa saling menguatkan dan saling
menasehati dalam kehidupan kita.
g. Berbuat adil.
Seorang suami wajib berlaku adil terhadap istri, tidak membanding-
bandingkan dengan orang lain apalagi dengan orang tua, sehingga
kewajiban sebagai anak terhadap orang tua, dengan cara yang sama, serta
perlihatkan kepada orang tua bahwa dalam pernikahan tidak akan berarti
jika istri merasa terabaikan. Maka suami harus bersikap jangan memihak,
jangan buat batasan yang jelas, dan tetap jadilah anak sekaligus suami yang
baik (Ghozali 2003, 161).
34

2. Hak suami
Adapun hak suami dalam keluarga adalah sebagai berikut;
a. Setelah akad terjadi maka kewajiban taat kepada suami menjadi hak yang
paling harus dipenuhi. Maka setelah iajab qabul suami berhak menegur
istrinya demi kemaslahatan seperti hal-hal yang bersifat maksiat, selagi
masih dalam ketentuan ajaran agama yang benar. Contohnya ketika
diperintahkan untuk menutup aurat dengan memakai baju muslimah dan
jilbab yang syar'i atau menyuruh istri untuk pergi menghadiri kajian islam
dan perintah-perintah lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan
agama (Yazid 2018, 103-104).
b. Suami mendapatkan hak dibantu dalam mengelola rumah tangga. Setelah
pernikahan suami memiliki istri yang siap untuk melaksanakan hak dan
juga kewajiban sebagai istri, istri berperan membantu mengelola rumah
tangga, semua keperluan yang akan dibutuhkan termasuk dalam hal
pengelolaan keuangan.
c. Suami berhak mendapatkan pelayanan dengan baik dari sang istri, istri
wajib mentaati suaminya selama tidak melanggar perintah Allah SWT.
d. Suami berhak menafkahi istrinya baik secara zahir maupun secara batin
oleh sebab itu istri tidak boleh menolak ajakan suami ke tempat tidur.
Seorang istri wajib mentaati suaminya begitu juga dengan mendapatkan
ketentraman lahir maupun bathin sehingga senantiasa memberikan
pelayanan terbaik kepadanya, seorang istri tidak boleh menolak ajakan
suami untuk tidur bersama, kecuali ada alasan yang dibenarkan agama.
e. Suami juga berhak mendidik istri agar selalu taat kepada Allah dan
menghindari dari sesuatu yang membuat rumah tangga hancur. Seperti
menjauhi diri dari mencampuri sesuatu yang dapat menyusahkan suami.
Seorang istri lebih baik menghindari segala yang dapat merugikan
35

suaminya kelak, istri juga harus menjaga nama baik suaminya dikala di
rumah maupun tidak, seorang istri harus menjauhkan diri dari perbuatan
yang mendatangkan kecurigaan suami.
f. Suami berhak mendapatkan perlakuan yang baik dari sang istri, maka dari
itu alngkah baiknya istri tidak bermuka masam di hadapan suami dan tidak
menunjukkan keadaan yang tidak disenangi oleh suami. Ketika bersama
suami, istri haruslah memperlihatkan wajah yang manis, istri diharuskan
untuk mengontrol emosi dengan baik sehingga dapat menyenangkan
suami agar betah berlama-lama dengan istri.
g. Suami berhak menuntut istri untuk menjaga kehormatan dirinya dan harta
keluarga. Seorang istri harus menjaga kehormatan dirinya dan suami
bertujuan supaya tidak mengundang fitnah dari orang lain sehingga akan
menimbulkan suatu aib bagi keluarga, fitnah adalah ancaman yang selalu
menghantui dalam setiap keluarga terutamapada wanita, Islam
menganjurkan wanita untuk menutup auratnya dengan menggunakan
jilbab, tujuannya untuk memelihara wanita dari fitnah (Junaedi 2007, 138).
Contohnya ketika istri tidak boleh keluar rumah tanpa seizin suami.

3. Kewajiban istri
a. Hormat, patuh dan taat pada suami sesuai norma agama dan susila.
Perempuan yang paling menyenangkan oleh suaminya adalah perempuan
yang taat kepada suami dan tidak menyelisihi suami pada diri dan
hartanya, tidak hanya hormat kepada suami, istri juga harus menghormati
keluarga suami.
b. Memberikan kasih sayang dan menjadi tempat curahan hati pada anggota
keluarga. Selain dalam mengurus rumah tangga istri memiliki peran yaitu
memberikan kasih sayang terhadap suami dan anak-anaknya kelak, agar
dalam keluarga terciptanya rasa tentram dan rasa aman apalagi jika sudah
36

mempunyai anak, istri juga akan menjadi tempat curahan hati ketika
terjadi sesuatu.
c. Mengatur dan mengurus rumah tangga. Istri memiliki kewajiban yaitu
mengatur urusan rumah tangga, baik dalam penataan ekonomi, keuangan,
maupun kebutuhan yang akan dibutuhkan dalam keluarga, seorang istri
yang membantu suaminya dalam mengurus rumah tangga akan diberikan
pahala oleh Allah SWT, ia berhak mendapatkan ucapan terimakasih dari
sang suami, dan merupakan sebuah perbuatan yang pantas untuk
dimotivasi oleh seorang suami.
d. Merawat, mendidik, dan melatih anak-anaknya sebagai amanah Allah SWT.
Disamping peran kedua orang tua untuk mendidik anak menjadi pribadi
yang berakhlak baik, pola pengasuhan anak yang dilakukan suami pasti
berbeda dengan pola asuh istri terhadap anak keduanya berperan penting
dalam hal mengasuh anak namun suamilebih kepada mencari nafkah,
sehingga peran istri lebih dominan dalam hal mendidik anak.
e. Memelihara, menjaga keharmonisan serta melindungi diri dari harta benda
keluarga. Kewajiban istri dalam islam juga termasuk dalam hal pengelolaan
harta termasuk harta bersama, seorang istri harus berupaya hemat dan
menabung demi menunjang kebutuhan dan keutuhan rumah tangga,
sehinga dibutuhkan keahlian dan komunikasi yang baik antara suami dan
istri.
f. Pandai mengambil hati suami melalui makanan dan minuman. Istri tidak
hanya perihal mengasuh anak namun juga harus jago di dapur,
memberikan makanan dan minuman yang sehat dan bergizi.
g. Bersikap sopan dan penuh senyum kepada suami. Seorang istri herus
menjaga adab dan etikanya kepada suami, menghormati suami sebagai
kepala rumah tangga serta selalu tersenyum kepada suami sehingga
37

mendapat berkah dan ridho dalam menjalani hubungan pernikahan dari


Allah SWT.
h. Tidak mempersulit suami dan selalu mendorong suami untuk maju. Ketika
suami sedang mengalami suatu masalah sebaiknya sebagai istri peran kita
adalah selalu mendukung suami dan memberikan semangat, tidak
mempersulit atau malah memperkeruh.
i. Istri pemberi dan pendukung suami dalam suka duka.
j. Ridha dan syukur terhadap apa yang diberikan suami. Istri harus selalu
bersyukur terhadap apapun yang diberikan oleh suami, baik dalam nafkah
maupun tentang memenuhi kebutuhan lainnya.
k. Selalu berhias, bersolek untuk atau hanya di hadapan suami. Disamping
kewajiban lainnya istri juga perlu menjaga penampilannya di hadapan
suami, hal itu juga dianjurkan oleh syari'at dan dapat membahagiakan
suami ketika memandangnya (Ghozali, 2003, 163- 164).

Kewajiban istri juga diatur dalam pasal 83-84 Kompilasi Hukum Islam. Pasal
83 menjelaskan bahwa:
1. Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan bathin
kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam.
2. Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-
hari dengan sebaik-baiknya.

Sedangkan Pasal 84 menjelaskan bahwa:


1. Istri dapat dianggap nusyuz jika tidak mau melaksanakan kewajiban-
kewajiban, sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1), kecuali
dengan alasan yang sah.
38

2. Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya tersebut


pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk
kepentingan anaknya.
3. Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah
istri tidak nusyuz.
4. Ketentuan ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus didasarkan atas
bukti yang sah (Ghozali 2003, 164).

4. Hak istri
a. Mendapatkan nafkah yang halal. Istri berhak mendapatkan nafkah dari
suami ketika telah melangsungkan sebuah pernikahan. Memberikan uang
belanja keperluan rumah tangga yang dibebankan kepada suami,
karenanya suami memiliki peran tinggi yaitu sebagai pemimpin keluarga.
Yang dimaksud belanja (nafkah) di sini yaitu memenuhi semua
kebutuhan baik itu berupa makan, tempat tinggal, pengobatan, namun
bila suami orang kaya. Sedangkan jika tidak maka suami harus memenuhi
kebutuhan sesuai kemampuan.
b. Mendapatkan pendidikan dan pembinaan yang dapat membantunya
menyelesaikan kewajibannya sebagai seorang Ibu sekaligus istri dalam
keluarga. Ketika istri melakukan kesalahan atau durhaka maka suami
harus memberikan pelajaran agar dia kembali kepada jalan yang benar,
memberikan pembinaan kepada istri yang pertama adalah menasehati,
bila nasihat tidak berpengaruh maka suami akan melakukan tindakan
yaitu pisah kamar tidur, bila tidak bermanfaat juga maka barulah
dibolehkan memukul dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas,
namun jika cara pertama dengan diberi nasehat istri telah sadar dan
berubah maka cukup sampai disana dan jangan dijalankan cara yang
kedua dan ketiga tersebut.
39

c. Mendapatkan perlindungan dan kedamaian jiwa. Istri mempunyai hak


mendapatkan perlindungan dari suami, suami akan melindungi, dan tak
akan membiarkan istrinya mengalami kesulitan sendiri. Menjaga istri
juga tidak hanya dari gangguan orang baik fisik menjaga, maupun moril,
tetapi juga menjaganya dari terjerumus dakam kemaksiatan kepada Allah
SWT. Maka dari itu suami berperan memberikan bimbingan kepada istri
untuk selalu berada di jalan yang diridhai Allah SWT.
d. Mendapatkan mahar atau maskawin. Istri berhak mendapatkan mahar
dari suami karena hal tersebut adalah kewajiban suami, dengan mahar
merupakan salah satu upaya Islam dalam mengangkat harkat dan
martabat wanita, yang tidak pernah diterima sebelum Islam datang
(Junaedi 2007, 108).

5. Hak Bersama Suami Istri


a. Kebutuhan seksual. Perbuatan ini adalah kebutuhan bersama suami istri
yang dihalalkan secara sah. Jadi, untuk suami halal melakukan hubungan
seksual begitupun sebaliknya, dan tidak boleh dilakukan secara sepihak.
Haram jatuhnya perkawinan: apabila istri dinikahi oleh ayah suaminya,
kakaknya, anaknya dan cucu-cucunya.
b. Saling memiliki hak mendapat waris akibat dari ikatan perkawinan yang
sah, jika salah seorang meninggal dunia setelah sempurnanya ikatan
perkawinan maka yang lain dalam keluarga dapat mewarisi hartanya,
sekalipun belum melakukan hubungan seksual.
c. Ketika telah memiliki anak dalam sebuah perkawinan maka anak
memiliki hubungan nasab bagi suami.
d. Kedua belah pihak wajib bergaul yang baik, sehingga dapat melahirkan
kemesraan dan kedamaian dalam hidup (Ghozali 2003, 155-156).
40

e. Munculnya hubungan suami dengan keluarga istrinya, begitupun


sebaliknya hubungan antara istri dengan keluarga suaminya, yang
merupakan hubungan mushaharah. (Amir 2006, 163).
Hak bersama suami-istri di atas, adalah hak-hak yang harus dilakukan
sebagai syarat terciptanya keluarga yang harmonis, yaitu keluarga yang sakinah,
mawaddah, dan wa rahmah. Halalnya suatu hubungan disebabkan pernikahan
yang sah menurut agama dan negara. Demikian juga perkawinan menimbulkan
hak bersama dalam hal waris, nasab anak kepada suami sebagai wali sah, dan
kesempatan untuk saling menikmati suka duka kehidupan bersama (suami-
istri).

6. Kewajiban Bersama Suami-Istri


Kewajiban bersama antara suami-istri setelah dilaksanakannya hubungan
perkawinan, yaitu:
1. Saling menghormati kedua belah pihak keluarga.
2. Saling memupuk rasa cinta, berkasih sayang dan saling percaya serta
selalu bermusyawarah ketika ada masalah demi kepentingan bersama.
3. Saling memberi hormat, sopan santun, penuh pengertian.
4. Bersikap dewasa ketika mengalami suatu masalah sehingga terhindar
dari sikap emosional dalam rumah tangga.
5. Saling melihara kepercayaan serta saling menjaga rahasia satu sama lain.
6. Sabar dan saling menerima kekurangan masing-masing (Junaedi 2007,
146)
Kewajiban suami istri juga diatur di dalam pasai 77 dan 78 Kompilasi Hukum
Islam. Pasal 77 menjelaskan bahwa:
a. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar
dari susunan masyarakat.
41

b. Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
c. Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-
anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun
kecerdasannya dan pendidikan agamanya.
d. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.
Sedangkan Pasal 78 menjelaskan bahwa:
1. Suami atau istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
2. Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh suami
istri bersama (Ghozali 2003, 157).

2.2 Keharmonisan Keluarga


2.2.1 Pengertian Keharmonisan keluarga
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia tahun 1999 kata
keharmonisan berasal dari kata harmonis yang berarti serasi. Sementara kata
keharmonisan dapat diartikan suatu hal atau keadaan selaras atau serasi di
dalam kehidupan keluarga terdapat anggota-anggota keluarga yang antara satu
dan lainnya memiliki peranan dan fungsi yang berbeda, misalnya seorang ayah
berkedudukan sebagai kepala rumah tangga yang fungsinya dan peranannya
mencari nafkah buat menghidupi semua keluarganya. sementara seorang ibu
berkedudukan sebagai ibu rumah tangga yang berperan dan berfungsi sebagai
pemelihara anak-anak, mengurus rumah, anak-anak berkedudukan sebagai
pihak yang diasuh dan dibesarkan dengan harapan nantinya menjadi generasi
penerus keluarga untuk meneruskan kelangsungan hidup orang tuanya kelak.
Pernikahan harmonis yaitu pernikahan antara dua orang yang dewasa,
saling menghargai, dan saling percaya satu sama lain dengan tujuan hidup yang
sama. Menurut Agustin mendeskripsikan bahwa ada beberapa aspek tentang
42

perkawinan yang harmonis, yaitu menciptakan kehidupan yang mempunyai


nilai agama dalam keluarga, menyediakan waktu bersama keluarga, mempunyai
komunikasi yang baik, saling menghargai sesama anggota keluarga, dan
mempunyai intensitas konflik yang relatif kecil, dengan adanya hubungan yang
erat antar anggota keluarga (Agustin, 2013, hal. 694).
Definisi keluarga yang harmonis dan berkualitas yaitu keluarga yang
rakun berbahagia, tertib, disiplin, saling menghargai, penuh pemaaf, tolong
menolong dalam kebajikan, memilih etos kerja yang baik, bertetangga dengan
saling menghormati, taat mengerjakan ibadah, berbakti pada yang lebih tua,
mencintai ilmu pengetahuan dan memanfaatkan waktu hang dengan hal yang
positif dan mampu memenuhi dasar keluarga
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Muslimah bahwa keluarga
harmonis merupakan keluarga yang penuh dengan ketenangan, ketentraman,
kasih sayang, keturunan, dan kelangsungan generasi masyarakat, belas kasih,
dan pengorbanan, saling melengkapi, dan menyempurnakan, serta saling
membantu dan bekerja sama. Selain itu, drajat juga berpendapat bahwa keluarga
adalah apabila kedua pasangan tersebut saling menghormati, saling menerima,
saling menghargai, saling mempercal, dan saling mencintai (Muslimah 2019, 32)
Keluarga merupakan satu organisasi sosial yang paling penting dalam
kelompok social dan keluarga merupakan lembaga di dalam masyarakat yang
paling utama bertanggung jawab untuk menjamin kesejahteraan social dan
kelestarian biologis anak manusia (Thomas 2009, 613-630). Sedangkan
keharmonisan keluarga itu akan terwujud apabila masing-masing unsur dalam
keluarga itu dapat berfungsi dan berperan sebagimana mestinya dan tetap
berpegang teguh pada nilai- nilai agama, maka interaksi sosial yang harmonis
antar unsur dalam keluarga itu akan dapat diciptakan.
Dalam kehidupan berkeluarga antara suami isteri dituntut adanya
hubungan yang baik dalam arti diperlukan suasana yang harmonis yaitu dengan
43

menciptakan saling pengertian, saling terbuka, saling menjaga, saling


menghargai dan saling memenuhi kebutuhan setiap orang tua bertanggung
jawab juga memikirkan dan mengusahakan agar senantiasa terciptakan dan
terpelihara suatu hubungan antara orang tua dengan anak yang baik, efektif dan
menambah kebaikan dan keharmonisan hidup dalam keluarga,Nsebab telah
menjadi bahan kesadaran para orangtua bahwa hanya dengan hubungan
yang baik kegiatan pendidikan dapat dilaksanakan dengan efektif dan dapat
menunjang terciptanya kehidupan keluarga yang harmonis.
Keluarga Harmonis dan berkualitas yaitu keluarga yang rukun bahagia,
tertib, disiplin, saling menghargai, penuh pemaaf, tolong menolong dalam
kebajikan, memiliki etos kerja yang baik, bertetangga dengan saling
menghormati, taat mengerjakan ibadah, berbakti pada yang lebih tua, mencintai
ilmu pengetahuan, dan memanfaatkan waktu luang dengan hal yang positif dan
mampu memenuhi dasar keluarga. pendapat lain juga mengatakan bahwa
keluarga bahagia adalah apabila seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang
ditandai oleh berkurangnya rasa ketegangan, kekecewaan, dan puas terhadap
seluruh keadaan dan keberadaan dirinya yang meliputi aspek fisik, mental,
emosi, dan sosial. (Muslimah 2019,33).
Jadi, keharmonisan rumah tangga adalah suatu hubungan yang saling
melengkapi dan saling menyayangi satu sama lain dalam sebuah keluarga
sehingga terciptanya kebahagiaan yang sakinah di dalamnya.

2.2.2. Faktor-Faktor Keharmonisan Rumah Tangga


Ada beberapa faktor pembentuk keharmonisan rumah tangga, yaitu:
1. Religiusitas
Jika masing-masing suami istri melaksanakan dan mempunyai iman dan
kepercayaan kepada Tuharu mereka pasti mempunyai hati untuk rela
menyesuaikan diri demi tujuan didalam pernikahan Siap seperti in merupakan
44

pinta untuk mampu mengatasi masalah apapun yang terjadi didalam pernikahan
(Marlinda, 2020, hal. 11). Ada 5 dimensi dari religiusitas yang saling berkaitan
satu dengan yang lainnya untuk mengetahui tingkat religiusitas seseorang
terhadap agamanya, dimensi tersebut yaitu:
a. Dimensi ideologis, yaitu dimensi yang menunjukkan tingkat keyakinan
seseorang terhadap kebenaran agamanya, terutama terhadap ajaran-
ajaran agamanya.
b. Dimensi ritualistik, yaitu dimensi yang menunjukkan tingkat kepatuhan
seseorang dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual yang dianjurkan di
dalam agamanya. Kepatuhan ini ditunjukkan dengan kepatuhan seseorang
dalam melaksanakan ibadah termasuk patuh terhadap pasangan masing-
masing (suami istri) karna di dalam agama perkawinan adalah Ibadah
menyempurnakan separuh agama. yang terlama dan menyempurnakan
sepauh agama.
c. Dimensi Pengalaman, yaitu seberapa jauh seseorang dalam merasakan dan
mengalami perasaan atau pengalaman religiusnya. Misalnya seberapa
besar seseorang merasakan kedekatan dengan orang lain, kedamaian,
kejujuran, dan keyakinan.
d. Dimensi intelektual, yaitu menunjukkan kapasitas pengetahuan dan
pemahaman seseorang terhadap ajaran-ajaran agamanya. Terutama yang
termuat dalam kitab suci atau pedoman pokok agama, serta bagaimana
setiap pasangan menjaga komunikasi kepada semua anggota keluarganya
dan itu semua telah diatur didalam al-Qur'an.
e. Dimensi akibat, yaitu seseoang ketika beperilaku dapat temotifasi oleh
ajaran Islam, atau seseorang dapat menerapkan ajaran agamanya dalam
ketadepan sehari hais Cerys por ajar seme mengajarkan untuk saling
menolong sadul prota baik dan akan dapatkan pahala mak dia das berku
45

pertolongan tersebut kepada siapapun yg meman Pertolongan tanpa


memandang perbedaan suku ras agama,dll (Purbowati, 2018, hal. 17-21).

2. Kesehatan
Faktor kesehatan sangatlah penting untuk membangun keluarga. yang
harmonis, namun apabila dalam keluarga seringnya, tidak menjaga kesehatan
sehingga jatuh sakit maka akan banyak juga pengeluaran untuk kedokter,
pengobatan, dan bahkan biaya rumah salat yang tentu alcan menghambat
tercapainya kesejahteraan keluarga pentingnya menjaga kebersihan dan
kesehatan din. Pada suami-istri, kebersihan dan kesehatan juga berperang
sangat penting tak hanya berdampak positif bagi penampilan, tapi juga pada
keharmonisan rumah tangga. Contohnya ketika hari demi hari istri menjaga
penampilannya di depan suami maka akan meningkatkan rasa cinta dalam
keluarga.

3. Ekonomi
Faktor ekonomi tentu juga menjadi faktor keharmonisan dalam keluarga,
seiring perkembangan zaman faktor ekonomi menjadi hal yang sangat penting
yang menjadi perimbangan antara pengeluaran dan pendapatan keluarga.
Kemampuan keluarga dalam menyeimbangkan pemasukan dan pengeluaran,
kebutuhan keluarga yang tidak dapat terpenuhi oleh suami yang pada dasarnya
merupakan tanggung jawab sebagai kepala keluarga secara tidak langsung dapat
mendorong istri juga bekerja demi tercukupinya kebutuhan keluarga, sehingga
peran istri dalam keluarga secara mutlak didapat pada saat ia menikah seperti
menjadi ibu umah tangga dengan mengurus kebutuhan keluarga, mendidik anak,
melayani suami. Maka dari itu ekonomi merapakan salais san faktor dalam
upaya memelihara kelangsungan kehidupan lodluarga Faktor dasar fungsi ini
adalals untuk mempertahankan hidup yang baik secara maividu, kolektif,
46

maupun indutri. Ekonomis menciptakan upaya pemenuhan kebutuhan pokok


sehari- hari bagi setiap anggota keluarganya (Samsudin, 2015, hal. 138).

4. Pendidikan
Alasan utama yang menyebabkan tingkat pendidikan akan
mempengaruhi suatu produktiitas, balk secara longsung maupun todak
langsung. Dalam pendidikan sebagai akibat dari perabahan pengetahuan dan
keterampilan serta dengan tingkat pendidikan yang sudah tinggi akan terbuka
harapan yang kuas. Pengenalan tentang rau, etika dan norma sostal dalam
kehidupan sehari-hari sehingga terbentuk kehidupan keluarga yang mempunyai
pikiran yang lebih luas dan mampu berpikir secara intelektual (Samsudin, 2015,
hal. 147-152).

5. Gaya Hidup
Gaya hidup merupakan pola hidup seseorang di dunia yang mengikuti
perkembangan zamannya akan berubah secara terus menerus. Gaya hidup
mencerminkan seluruh diri seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungan.
berdasarkan ini pola interaksi membentuk karakter seseorang serta mengubah
gaya hidupnya.

Ada beberapa bentuk gaya hidup, antara lain:


a. Gaya Hidup Mandiri
Kemandirian yaitu mampu hidup secara mandiri tanpa bergantung dengan
orang lain. Untuk itu diperlukannya kemampuan untukmengenali kelebihan
dan kekurangan dus sendin, serta berstrate Dengan kelebihan dan
kekurangan tersebut untuk mencapai tujuan.
b. Gaya Hidup Hidonis.
Gaya hidup hidonis adalah suatu pola hidup yang aktivitasnya untuk
mencari kesenangan Hanya ingin bersenang-senang seperti banyak
47

memanfaatkan waktu di luar ramais, lebin banyak bermain-main, zuka


membeli barang-barang yang mahal yang ia sukal sehingga selalu ingin
menjadi pusat perhatian (Supriyadi, 2016, hal. 44).

2.2.3. Upaya Membentuk Keharmonisan Rumah Tangga


Keluarga harmonis menurut Lestari adalah ketika semua anggota
keluarga merasakan kebahagiaan serta kenyamanan dan menerima segala
keadaan yang terjadi di dalam rumah tangga, namun yang lebih penting
sebenarnya adalah menjaga keintiman, dengan cara sebagai berikut:
1. Toleransi
Selalu memahami bahwa orang-orang yang kita cintai tersebut mungkin
mempunyai beberapa perbedaan dalam fikiran mereka tentang cara
menghadapi suatu peristiwa. Jadi dengan adanya toleransi dalam
keluarga tidak lagi meributkan hal-hal sepele, dan mencoba menyamakan
persepsi dan bekerja sama
2. Waktu bersama-sama, menggali kreatifitas dan mengambil manfaatnya
bagi keluarga, merencanakan waktu khusus, isi momen- momen
istimewa, ubah cara rutin dengan melibatkan seluruh keluarga, nikmati
bersama hobi anda dan libatkan diri dengan melibatkan anak dalam
kegiatan yang digemari.
3. Jatuh bangun (terus berusaha). Jangan menyerah terus mencoba
pendekatan baru untuk menjalin hubungan yang lebih mendalam dengan
anak, pasangan, dan sesuaikan dengan minat, usia, serta keadaan.
4. Kurangi menggurul, perbanyak mendengar, berusahalah untuk saling
menghormati dan menghargai satu sama lain dari sudut pandang dan
impian satu sama lain.
5. Sarana hidup sebagai penyimpanan keyakinan yang harus ditanamkan:
Hal ini dilakukan dengan membuat kotak, buku, dan sebagainya untuk
48

menyimpan gagasan, nilai, yang layak disimpan di kotak tersebut, namun


sebelumnya harus melalui komunikasi dengan keluarga, serta cara
penggunaannya diatur oleh keluarga.
6. Sedangkan menurut Muslimah mengatakan cinta menyeluruh,
menunjukkan cinta kasih kepada keluarga. Dalam ajaran agama Islam ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk membentuk keluarga. Yang
sakinah atau harmonis (Muslimah, 2019, hal. 41-47) antara lain:
a. Selalu bersyukur saat mendapatkan nikmat kalau kita mendapatkan
karunia dari Allah SWT berupa harta, ilinu, dil, bersyukurlah kepada-
nya atas segala nikmat yang telah diberikan tersebut supaya apa yang
ada pada genggaman kita itu selalu berkah.
b. Senantiasa sabar saat ditimpa kesulitan. Dalam kehidupan semua
orang selalu berharap hidupnya bahagia tanpa adanya hambatan
rintangan, namun pada hakikatnya tidaklah demikian, sangat
mungkin dalam kehidupan berkeluarga ditemukan berbagai macam
masalah dan konflik. Pondasi yang kita bangun agar keluarga tetap
bahagia walaupun banyak diterpa musibah kuncinya adalah selalu
sabar dalam keadaan apapun.
c. Bertawakal saat memiliki rencana. Allah SWT. Sangat suka kepada
orang-orang yang melakukan sesuatu secara terencana. Nabi
Muhammad SAW kalau melakukan sesuatu yang penting selalu
bermusyawarah dalam merencanakan hal-hal yang dianggap penting
dalam kehidupan berumah tangga. Dalam menyusun sebuah rencana
hendaknya berserah diri kepada Allah SWT, itulah yang disebut
tawakal.
d. Bermusyawarah. Seseorang pemimpin harus bera mengem
keputusan-keputusan yang strategis Alangkah mulia kalau sam
sebagai pemimpin selalu mengajak bermusyawarah kepada istes dan
49

anak-anaknya dalam mengambil keputusan-keputusan penting yang


menyangkut urusan keluarga Hindarkan diri dari sikap otoriter insya
Allah hasil musyawarah itu akan lebih baik.
e. Tolong menolong dalam kebaikan. Menurut Aisyah R.A. Rasulullah
sebagai suami selalu menolong isterinya Beliau tidak segan untuk
mengerjakan pekerjaan yang bisa dilakukan istri seperti mencuc
piring atau baju, menggendong anak, dil. Kalau kita ingin membangun
keluarga yang shaleh, maka suami harus berusaha meringkankan
beban istri, begitu juga sebaliknya, Jadikan tolong menolong sebagai
hiasan rumah tangga.
f. Senantiasa memenuhi janji, Memenuhi janji merupakan bukti
kemuliaan seseorang. Sedalam apapun ilmu yang diriliki seseorang
Setinggi apapun kedudukannya, tapi kalau sering menyalahi janji
tentu orang tidak lagi percaya. Bagaimana seseorang akan menjadi
suami yang dihargai istri dan anak-anak jika sering menyalahi janji
kepada mereka.
g. Segera bertaubat bila terlanjur melakukan kesalahan dalam
mengarungi bahtera rumah tangga, tak pernah suami istri terjerumus
pada kesalahan. Itu tidak dapat dipungkiri. Apabila suami atau istri
melakukan kesalahan, hendaklah segera bertaubat dari kesalahan itu.
h. Saling menasehati untuk membentuk keluarga yang shaleh, tentunya
dibutuhkan sikap lapang dada dari masing-masing pasangan untuk
dapat menerima nasihat kepada pasangannya tersebut sehingga
keluarga harmonis tetap terjaga. Suami harus dengan cara lemah
lembut, sembari mengingatkan bagaimana Allah memberikan
kewajibanntaat pada suami, suami pun harusmembimbing istri untuk
taat Suami pun bisa memberi nasihat dengan cara yang lebih keras.
50

Contohnya: dengan memberitahu bahwa adanya ancaman dari Allah


ka perempuan yang sudah sa menikah mendurhakar saminya.
i. Saling memberi maaf dan tidak segan untuk meminta maaf kalau
melakukan kekeliruan. Terlebih lagi apabila sudah mengetahu
berbuat kesalahan namun tidak meminta maaf maka akan
memunculkan sebuah konflik bagi keluarga dan bahkan akan
menyebabkan pertengkaran suami-istri.
j. Suami-istri selalu berprasangka baik, hendaknya selalu berprasangka
baik supaya lebih menentramkan hati, sehingga konflik dalam
keluarga lebih diminimalisir. Karena jika saling berprasangka buruk
(suuzon) maita tidak hanya mendatangkan konflik namun juga dapat
menghilangkan kepercayaan atau bahkan munculnya keraguan
dalam pernikahan tersebut.
k. Mempererat silaturrahmi dengan keluarga istri atau suami. Dalam
pernikahan tidak hanya menyatukan dua insan saja namun juga
menyatukan dua keluarga, maka dari itu penting untuk selalu
menjaga silaturrahmi antar keluarga, seperti sesekali bertamu
kerumah mertua.
l. Melakukan ibadah secara berjama'ah dengan melaksanakan ibadah
secara berjama'ah ikatan batin antara suami-istri akan lebih erat
Disamping itu pahala yang dijanjikan Allah pun begitu besar. Sebagai
mana yang diterangkan dalam hadist H.R. Mutafaq'Alaihi yang artinya
"Shalat berjama'ah lebih utama dua puluh tujuh derajat daripada
shalat sendiri-sendiri".
m. Mencintai keluarga istri atau suami sebagaimana mencintai keluarga
sendiri. Berlaku adil sehingga tidak membeda-bedakan keluarga atau
tidak berat sebelah adalah mesti dijalankan olehmasing-masing
51

pasangan agar tercipta sussana saling menghormati dalam rumah


tangga.
n. Memberi kesempatan kepada siapapun termasuk suami atau istri
untuk menambah ilmu (Lestari, 2015, hal. 24).
52

DAFTAR PUSTAKA

Abdul, Ghozali Rahman. Fikih Munakahat. Jakarta, 2010.


Abidin, Slamet. Fiqh Munakahat. Bandung, 1999.
Agustin, Maria. Hubungan Kemandirian Istri dan Keharmonisan Perkawinan. 2013.
Amir, Syarifuddin. Huku Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenadamedia
Group, 2006.
Ashadie. Hukum Keluarga(Menurut Hukum Positif diIndonesia. Depok, 2020.
As-Subki., Ali Yusuf. Fiqih Keluarga. 2012.
Dadan, Muttaqien. Cakap Hukum Bidang Perkawinan Dan Perjanjian. Yogyakarta,
2006.
Hadi, Abdul. Fikih Munakahant. Semarang, 2015.
Junaedi, Dedi. Keluarga Sakinah. Jakarta, 2007.
Lestari, Sri. Psikologi Keluaga. Jakarta, 2015.
M.Thalib. Perkawinan Menurut Islam. Surabaya, 1993.
Marlinda. “Faktor Kehamonisan Keluaga Pada Istri Yang Bekerja.” 2020.
Martyn. Family Intimacy, and Parent- adolescent Comunication. 2009.
Muhammad, Samad Yunus. “Hukum Pernikahan Dalam Islam.” ISTIQRA', 2017.
Mukhtar, Kamal. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. jakarta, 1974.
Muslimah. “Srategi Keluarga Jarak Jauh Dalam Menjaga Keharmonisan Rumah
Tangga.” 2019.
Nasruddin, Muhammad Al-Albani. Sahih Sunan Abu Daud. Jakarta, 2002.
Patrick. Counseling and Theraphy for Couples and Familias. 2007.
Purbasari, Indah. Hukum Islam Sebagai Hukum Positif Di Indoesia. Malang, 1017.
Purbowati, Astia. “Faktor-Faktor Pembentuk Keharmonisan Dalam Keluarga
Poligami.” 2018.
Qardhawi, Yusuf. Halal Dan Haram Dalam Islam. Jakarta, 1983.
—. Fiqih Sunnah. Jakarta, 2013.
Samad, Muhammad Yunus. “Hukum Pernikahan Dalam Islam.” ISTIQRA', 2017.
Samsudin. Sosiologi Keluaga. Jakarta, 2015.
Sayyid, Muhammad Sabiq. Fiqih Sunnah. Jakarta, 2012.
Schrodt. Family Comunication Patterns as Mediators of Communication Competence
in the Parent-child Relationship. 2009.
53

Supadie, Didiek Ahmad. Hukum Perkawinan Bagi Umat Islam Indonesia. Semarang,
2015.
Supriyadi. “Peran Istri Yang Bekeja Sebagai Pencari Nafkah Utama.” 2016.
Yazid. Hadia Istimewa Menuju Keluarga Sakinah. Jawa Barat, 2018.
Zuhaili, Wahbah az. al-Mu‘âmalât al-Mâlîyah al-Mu‘âshirah. Damaskus: Dar Al-fikr,
2006.

Anda mungkin juga menyukai