Anda di halaman 1dari 9

PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM ISLAM

Keharmonisan keluarga akan terwujud secara sempurna apabila suami istri


berpegang teguh pada ajaran yang sama. Perbedaan keyakinan antara suami istri
seringkali menimbulkan berbagai kesulitan di lingkungan keluarga dalam
pelaksanaan ibadah, pendidikan anak, pengaturan makanan serta yang menyangkut
tradisi keagamaan seperti Idul Fitri, Natalan, Nyepi dan tradisi keagamaan yang lain.
Rasulullah menekankan agar kualitas agama menjadi prioritas pilihan dalam
menentukan pasangan kejenjang pernikahan. Dijelaskan dalam Hadits “Wanita
dinikahi didasarkan pada empat hal: karena hartanya, kecantikannya, keturunannya,
dan agamanya. Utamakanlah kualitas agamanya agar kamu tidak celaka (HR.
Bukhori dan Muslim). Hadits ini menegaskan supaya memilih pasangan dalam
pernikahan dengan yang seagama. Meskipun pada realitanya, pernikahan beda agama
tetap berjalan ditengah masyarakat Indonesia.

Selain menjaga pandangan dan hawa nafsu, tujuan lain dari pernikahan
adalah melanjutkan keturunan dengan melahirkan anak, lalu menjaga dan
mendidiknya agar kelak bisa bermanfaat bagi kedua orang tua, agama dan bangsa.
Sebelum terlalu jauh membahas tentang nikah beda agama serta dampak yang akan
timbul khususnya bagi anak keturunan terlebih dalam hal pendidikan agamanya,
maka sedikit dijelaskan terlebih dahulu tentang pengertian nikah itu sendiri.

1. Pengertian Nikah
Menurut Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan, pernikahan
didefinisikan sebagai ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Tuhan yang maha esa.
Dalam kompilasi Hukum Islam Bab II Pasal 2 disebutkan: “perkawinan menurut
hukum Islam Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat untuk menaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Menurut imam syafi’I
pernikahan adalah suatu akad yang memberikan hak untuk melakukan hubungan
seksual dengan mengucapkan lafadz nikah, tazwij atau lafadz lain dengan makna
yang sama.

2. Dasar Hukum Nikah


Arrum ayat 21
‫اجا لِتَ ْس ُكنُوا ِإلَْي َها َو َج َعل َبْينَ ُك ْم َموَّدةً َوَرمْح َةً ۚ ِإ َّن يِف‬ ِ ِ ِِ ِ
ً ‫َوم ْن آيَاته َأ ْن َخلَ َق لَ ُك ْم م ْن َأْن ُفس ُك ْم َْأزَو‬
َ َ
‫ات لَِق ْوٍم َيَت َف َّكُرو َن‬
ٍ ‫ك آَل ي‬
َ َ ‫ذَل‬
ِٰ

“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-


pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum
yang berpikir”.

Dalam ayat ini Allah menjelaskan fungsi atau manfaat yang diperoleh dari
seorang pasangan, yaitu saling memberikan ketentraman dan saling berkasih sayang.
Ayat ini juga menunjukkan, untuk mewujudkan kebahagiaan dalam rumaah tangga,
dibutuhkan persamaan prinsip antara suami dengan istri. Ini berarti, pernikahan tidak
hanya mengikat perihal fisik dan materi, melainkan mencakup tataran ideal spiritual,
yaitu unsur-unsur ruhaniyah.
3. Hukum nikah
Hukum nikah tergantung pada niat pelaku. Penjelasan masing-masing hukum bisa
dilihat dari penjelasan berikut:
a. Wajib menikah
Menjadi wajib apabila seorang muslim telah cukup kemampuan untuk
melangsungkannya, baik secara finansial maupun lahir batin. Di sisi lain ia
memiliki hasrat seksual yang tinggi dan khawatir akan terjerumus ke dalam
perzinaan jika ia tidak menikah. Ia juga tidak mampu menjaga dirinya dari
perbuatan hina dengan cara lain seperti puasa.
Mengingat bahwa menjaga kesucian dan kehormatan adalah suatu
keharusan, begitu pula dengan menjauhi perbuatan yang dilarang agama.
Sehingga cara terbaik baginya adalah dengan menikah.
b. Sunnah menikah
Tidak menjadi wajib melainkan sunnah jika seseorang sudah mampu
dalam finansial dan pemenuhan lahir batin, tetapi tidak takut akan tergelincir
kepada perilaku yang dilarang. Dilatarbelakangi pula dengan umurnya yang
terbilang masih muda.
Orang dengan keadaan seperti ini sebatas dianjurkan untuk menikah,
tidak sampai diwajibkan. Lantaran ia mampu menjaga dirinya dari perbuatan
zina.
c. Makruh menikah
Bagi orang yang tidak punya penghasilan serta tidak mampu
memenuhi kebutuhan batiniah, tetapi calon istrinya rela dan memiliki harta
cukup untuk menghidupi mereka. Dengan kondisi seperti ini, maka menikah
adalah makhruh bila dipandang dalam Islam.
d. Mubah menikah
Di mana seseorang dalam kondisi stabil, tidak cemas akan terjerumus kepada
zina, dzalim atau membahayakan pasangannya jika tidak menikah. Tidak ada
pula dorongan maupun hambatan untuk melakukan atau meninggalkan
pernikahan. Dalam keadaan ini, hukum menikah bagi seseorang yakni boleh
(mubah).
e. Haram menikah
Apabila seseorang akan mendzalimi serta membahayakan
pasangannya jika menikah, seperti dalam kondisi tidak dapat memenuhi
kebutuhan pernikahan lahiriah dan batiniah, atau tidak mampu berbuat adil
terhadap istri-istrinya. Juga menjadi haram bila hendak melakukan penipuan.
Atau ada kasus di mana salah satu pasangannya menderita penyakit
yang bisa menghalangi kebahagiaan di antara mereka kelak, maka tidak halal
baginya untuk menyembunyikan hal itu. Kecuali telah memberitahukan
kekurangannya itu kepada calom pasangannya.

4. Pengertian nikah beda agama


Pernikahan beda agama adalah pernikahan yang dilakukan oleh orang yang
berlainan agama atau berbeda keyakinan, seperti pernikahan antara muslim dengan
musyrikah , dan musyrikah dengan muslim.
5. Nikah beda Agama dalam Al-Qur’an

A. Al-Baqarah: 221

ِ ِ ِ
ْ ‫َأَلمةٌ ُمْؤ ِمنَةٌ َخْيٌر ِم ْن ُم ْش ِرَك ٍة َولَ ْو‬
َ ‫َأع َجبَْت ُك ْم ۗ َواَل ُتْنك ُحوا الْ ُم ْش ِرك‬
‫ني‬ ِ ِ
َ ‫َواَل َتْنك ُحوا الْ ُم ْش ِرَكات َحىَّت ٰ يُْؤ م َّن ۚ َو‬
‫ك يَ ْدعُو َن ِإىَل النَّا ِر ۖ َواللَّهُ يَ ْدعُو ِإىَل اجْلَن َِّة‬
َ ‫َأع َجبَ ُك ْم ۗ ُأولَِٰئ‬
ْ ‫َحىَّت ٰ يُْؤ ِمنُوا ۚ َولَ َعْب ٌد ُمْؤ ِم ٌن َخْيٌر ِم ْن ُم ْش ِر ٍك َولَ ْو‬
ِ ‫َوالْ َم ْغ ِفَرِة بِِإ ْذنِِه ۖ َويَُبنِّي ُ آيَاتِِه لِلن‬
‫َّاس لَ َعلَّ ُه ْم َيتَ َذ َّكُرو َن‬

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka


beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-
orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga
dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-
perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.

Musyrik adalah orang yang melakukan perbuatan syirik. Secara harfiah syirik
artrinya persekutuan. Sedangkan secara istilah syirik adalah menjadikan sesuatu
selain Allah sebagai sesembahan bisa berbentuk fisik atau non fisik (roh, jin dll)
yang disembah karena diyakini mempunyai kekuatan untuk mendatangkan
manfaat dan menolak bahaya.

B. Al-Maidah: 5

‫ات ِم َن‬ ِ ِ َ‫ُأح َّل لَ ُكم الطَّيِّبات ۖ وطَعام الَّ ِذين ُأوتُوا الْ ِكت‬
ِ ‫الْيوم‬
ُ َ‫صن‬
َ ‫اب حلٌّ لَ ُك ْم َوطَ َع ُام ُك ْم حلٌّ هَلُ ْم ۖ َوالْ ُم ْح‬
َ َ َُ َ ُ َ ُ ََْ
ِِ ِ ِ ‫ات والْمحصنات ِمن الَّ ِذين ُأوتُوا الْ ِكت‬
ِ ِ
‫ني َغْيَر‬
َ ‫ُأج َورُه َّن حُمْصن‬ ُ ‫اب م ْن َقْبل ُك ْم ِإذَا آَتْيتُ ُم‬
ُ ‫وه َّن‬ َ َ َ َ ُ َ َ ْ ُ َ َ‫الْ ُمْؤ من‬
ِ ِ ِ ِ ‫يِف‬ ِ َ‫َّخ ِذي َأخ َد ٍان ۗ ومن ي ْك ُفر بِاِإْل مي‬
َ ِ‫ان َف َق ْد َحب‬ ِ ‫مسافِ ِحني واَل مت‬
َ ‫ط َع َملُهُ َوُه َو اآْل خَرة م َن اخْلَاس ِر‬
‫ين‬ ْ َ ْ ََ ْ ُ ََ َُ

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan)


orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal
(pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga
kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu,
bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya,
tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.
Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam)
maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi”.

Mayoritas Ulama membolehkan pria muslim menikahi ahlul kitab (Yahudi


atau kristen). Rasulullah pernah menikah dengan Ahlul Kitab, yakni Mariah
Qibtiyah yang beragama Nasrani. Sahabat Rasulullah, Hudzaifah bin Al-yaman
pernah menikah dengan wanita yahudi. Istilah Ahlul Kitab berasal dari dua kata
bahasa Arab yang tersusun dalam bentuk idhafah yaitu Ahlu dan kitab. Ahlu
berarti pemilik atau ahli. Sedangkan kitab berarti kitab suci. Jadi, Ahlul Kitab
berarti “Pemilik Kitab Suci”, yakni para umat nabi yang diturunkan kepada
mereka kitab suci (Wahyu Allah).
Dalam hal ini Imam Syafi’I menegaskan bahwa yang dimaksud Ahlul Kitab
hanya terbatas pada dua golongan saja, yaitu golongan Yahudi dan Nasrani dari
Bani Israil. Sedangkan diluar Bani Israil, sekalipun beragama Yahudi atau
Nasrani, menurut Imam Syafi’I bukan termasuk Ahlul Kitab.

C. Al-Baqarah: 221

ِ ِ ِ
ْ ‫َأَلمةٌ ُمْؤ ِمنَةٌ َخْيٌر ِم ْن ُم ْش ِرَك ٍة َولَ ْو‬
َ ‫َأع َجبَْت ُك ْم ۗ َواَل ُتْنك ُحوا الْ ُم ْش ِرك‬
‫ني‬ ِ ِ
َ ‫َواَل َتْنك ُحوا الْ ُم ْش ِرَكات َحىَّت ٰ يُْؤ م َّن ۚ َو‬
‫ك يَ ْدعُو َن ِإىَل النَّا ِر ۖ َواللَّهُ يَ ْدعُو ِإىَل اجْلَن َِّة‬
َ ‫َأع َجبَ ُك ْم ۗ ُأولَِٰئ‬
ْ ‫َحىَّت ٰ يُْؤ ِمنُوا ۚ َولَ َعْب ٌد ُمْؤ ِم ٌن َخْيٌر ِم ْن ُم ْش ِر ٍك َولَ ْو‬
ِ ‫َوالْ َم ْغ ِفَرِة بِِإ ْذنِِه ۖ َويَُبنِّي ُ آيَاتِِه لِلن‬
‫َّاس لَ َعلَّ ُه ْم َيتَ َذ َّكُرو َن‬

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka


beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-
orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga
dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-
perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.

Ulama telah sepakat, bahwa pernikahan antara seorang wanita muslimah


dengan pria nonmuslim adalah haram. Alasannya adalah dikhawatirkan wanita
muslim itu kehilangan Hak Asasi yakni kebebasan beragama kemudian terseret
kedalam ajaran suaminya. Demikian pula anak-anaknya yang lahir dari hasil
pernikahannya, dikhawatirkan mereka akan mengikuti agama ayahnya, sebab
sebagai kepala keluarga, tentu posisi ayah lebih strategis dan memiliki otoritas
terhadap anak-anak dibandingkan ibunya.

6. Dampak dari pernikahan beda agama


A. Terhadap kehidupan suami istri
Selain yang disebutkan dalam surah Al Baqaeah ayat 221, dampaklain terhadap
suami istri yang biasa ditemukan terhadap nikah beda agama adalah:
1. Perasaan dan suasana yang tidak nyaman hidup bersama dengan orang
yang menurut agama/pasangan “salah”. Permasalahan tidak nyaman itu
diakui atau tidak, lantaran pasangan yang akhirnya menikah itu tetap
mempertahankan agama sebagai kepercayaan masing-masing. Hal ini
bisa berdampak pada keharmonisan keluarga. Sebab, tujuan menikah salah
satunya karena ingin membangun keluarga yang sakinah, mawaddah wa
rahmah. Bagi pasangan yang beda agama tersebut, berpotensi hidup
bersama tanpa dibarengi dengan kenyamanan. Alasannya karena keduanya
masih merasa bahwa agama yang dianut masing-masing sama-sama benar.
Sehingga, keduanya tetap mempertahankan agama yang dipercayanya
masing-masing.
2. Pasangan nikah beda agama berpotensi memunculkan perasaan khawatir
jika anak suatu saat akan mengikuti atau tertarik dengan agama yang
dianut pasangan.
3. Rasa tidak nyaman secara sosial karena selalu menjadi sasaran pandang
masyarakat.
4. Memunculkan perasaan saling curiga. Misalnya, ketika salah satu pasangan
melakukan hal-hal yang baik dengan alasan karena dianjurkan oleh ajaran
agamanya. Hal itu menimbulkan potensi anggapan yang muncul dari
pasangan bahwa ada ‘upaya lain’ di balik tindakan baik pasangan tersebut.
B. Terhadap pendidikan agama anak
dampak yang terjadi-pun terhadap pendidikan agama anak setidaknya ada tiga:
1. Pada pasangan yang tidak terlalu kuat dalam beragama atau beragama
sekedar formalitas (agama KTP) maka akan berdampak terhadap
persepsi anak tentang agama sebagaimana orang tua memahami agama.
Secara generatif anak mengikuti keberagamaan orang tua. Agama sekedar
pakaian atau formalitas. Faktor lingkungan lebih dominan dalam
mempengaruhi agama anak, sedangkan orang tua kurang begitu signifikan
pengaruhnya.
2. Pada pasangan dimana salah satu pasangan lebih kuat dalam beragama atau
lebih aktif dalam mempengaruhi anak untuk masuk dalam agamanya, maka
anak akan cenderung mengikuti agama orang tua yang dominan. Dalam
keluarga semacam ini, biasanya salah satu pihak aktif berusaha untuk
mengenalkan agamanya kepada anaknya, sementara pihak yang lain
cenderung membiarkan atau mengalah. Hal ini dilakukan untuk
mencegah konflik rumah tangga. Tidak jarang pihak yang mengalah
justru mendorong anaknya supaya konsisten dalam beragama. Artinya,
anak diminta menjadi penganut agama dengan baik. Tidak jarang sikap
mengalah dan sportif pihak orang tua yang mengalah justru
mengundang simpati salah satu anak dan karenanya anak berkeinginan
untuk mengikuti agama selain yang diajarkan pihak orang tua yang
dominan.
3. Pada pasangan yang sama–sama kuat dalam beragama atau sama-sama aktif
dalam mengajak anak agar memeluk agama yang dipeluknya memiliki 2
(dua) kemungkinan, yaitu orang tua membuat kesepakatan, atau orang tua
tidak membuat kesepakatan. Bagi pasangan yang membuat kesepakatan
tertentu, maka komunikasi keluarga dalam hal agama akan lebih terarah
sesuai dengan kesepakatan tersebut, baik kesepakatan tentang agama anak
untuk mengikuti agama salah satu orang tua atau dibagi secara fair, sebagian
ikut agama ayah, sebagian ikut agama ibu. Atau bahkan anak diberi
kebebasan dalam menganut agama. Potensi konflik akan terjadi pada
pasangan yang tidak membuat kesepakatan tertentu karena terjadi
kompetesi terselubung dalam mempengaruhi agama anak.

Anda mungkin juga menyukai