Anda di halaman 1dari 10

Ringkasan Tentang Perkawinan

A. Pengertian dan dasar Hukum

Perkawinan menurut istilah bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata "kawin" yang
menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau
bersetubuh. Perkawinan disebut juga "pernikahan", yang berasal dari kata "nikah" yang menurut
bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh

Pengertian perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan


tercantum dalam Pasal 1 yang berbunyi “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga),
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Menurut Kompilasi Hukum Islam,
pengertian perkawinan tercantum dalam Pasal 2 yang berbunyi “Perkawinan menurut hukum Islam
adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah
Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.

Perkawinan adalah suatu aqad (perjanjian) yang suci untuk hidup sebagai suamiisteri yang
sah, membentuk keluarga bahagia dan kekal, yang unsurnya adalah sebagai berikut: a. Perjanjian
yang suci antara seorang pria dengan seorang wanita; b. Membentuk keluarga bahagia dan sejahtera
(makruf, sakinah, mawaddah, dan rahmah). Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa
perkawinan adalah suatu perjanjian antara seorang pria dan seorang wanita menjadi suami-isteri
yang sah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera sesuai dengan perintah Tuhan
Yang Maha Esa.

Pengaturan mengenai hukum perkawinan di Indonesia dapat dijumpai dalam Undang-Undang


No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dasar hukum perkawinan menurut Undang-Undang No.1
Tahun 1974 tentang Perkawinan tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) yang
rumusannya “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku”. Sedangkan dasar hukum perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam tertuang dalam
Pasal 2 dan 3 yang berbunyi “Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah”.

Dasar Hukum perkawinan dalam Al-Quran dan sunah Nabi

1. Dalam Al-Quran dasar hukum perkawinan terdapat dalam Qs. Annisa: 1, Annur:32 , An-Nahl;72
ٗ َ َُۡ ُ َ ْ ُ َ
ٗٓ َ َ ٗ َ ِ َ ‫َ ِ ۡ َ َز ۡو َ َ َو‬ َ َ َ َ َ
‫ٖ ٰ ِ ةٖ و‬
ۡ ّ ُ ََ َ
ِ ‫ُ ٱ ِي‬ ‫َ َ ٱ ُس ٱ ا ر‬
ۚ‫ِ و ِ ء‬ ِ‫ر‬
ُ َ َ َ َ َۡ َ ُ ٓ َ ْ ُ
ٗ ِ ‫َوٱ ا ٱ َ ٱ ِي َ َء ن ِ ِۦ َوٱ ۡر َ َم ۚ إِن ٱ َ ن ۡ ۡ َر‬
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari
seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang
dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah)

ََ ۡ ْ َ
hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (Q.S.Annisa;1)
ُ ‫َ ۡ ِ ِۦ َوٱ‬ ۡ ٓ َُ ْ ُ ٓ
ۗ ِ ُ ‫َ ِ ُ ۡ ۚ إِن َ ُ ا َ ا َء ُ ِ ِ ُ ٱ‬ ۡ ُ ِ‫ُ ۡ َوٱ ٰ ِ ِ َ ِ ۡ ِ َ د‬ ِ ٰ َ ٰ ‫َوأ ِ ُ ا ٱ‬
ٞ ِ َ ٌ ِ َٰ
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.
Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas

ُ َ ۡ َ َ َ َ َ َ َۡ ْٓ ُ ُ ۡ َ ّ ٗ َٰ ۡ َ ۡ ُ ُ َ ُ َ ََ َ َۡ ٓ
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. An-Nur;32)
َ َ َٰ ً ۡ ٗ َ
ٖ ٰ ِ ِ ‫َ دة َو َر َ ۚ إِن‬ ‫ا إِ و‬ ِ ‫أز‬ ِ ‫ِّ ۡ أ‬ ‫ِۦ أن‬ ِ ٰ ‫َو ِ ۡ َءا‬
َ َََ ۡ َّ
‫ُ ون‬ ٖ ِ
21. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-
tanda bagi kaum yang berfikir. Qs Rum;21)

2. Dalam Hadis Nabi

ْ َ ْ َ َ َ َ ْ ُ ُ ْ َ َ َ ْ َ َ َّ َ َ ْ َ َ ُْ َُ َ َ َ َ ُْ ْ َ ْ َ
،‫اءة فل َي َ َّوج‬ ‫اب م ِن استطاع ِمن م ا‬ ِ ‫ب‬‫ش‬ ‫ا‬ ‫ع‬ ‫م‬ ‫ا‬ ‫ي‬ :‫ص‬ ‫ﷲ‬
ِ ‫ا‬ ‫ل‬ ‫ قال رسو‬:‫ع ِن اب ِن سعو ٍد قال‬
ٌ ‫ َو َم ْن َ ْم َ ْس َتط ْع َ َعلَيْ ِه با َّص ْومِ فَاِنَّ ُه َ ُ و َج‬.‫فَاِنَّ ُه ا َ َغ ُّض ِلْ َب َ َو ا َ ْح َص ُن ِلْ َف ْر ِج‬
.‫اء‬ ِ ِ ِ ِ
Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Hai para pemuda,
barangsiapa diantara kamu yang sudah mampu menikah, maka nikahlah, karena
sesungguhnya nikah itu lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih dapat menjaga
kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena
berpuasa itu baginya (menjadi) pengekang syahwat”.

B. Syarat Perkawinan
Syarat Sah Perkawinan Syarat sahnya perkawinan menurut Pasal 2 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu (1) “Perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya itu”. (2) “Tiap-
tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Selanjutnya
dalam Pasal 6 sampai Pasal 12 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan syarat
sahnya perkawinan yaitu harus:
a. Didasarkan kepada persetujuan bebas antara calon suami dan calon isteri, berarti
tidak ada paksaan di dalam perkawinan;
b. Pada asasnya perkawinan itu adalah satu isteri bagi satu suami dan sebaliknya
hanya satu suami bagi satu isteri, kecuali mendapat dispensasi oleh Pengadilan
Agama dengan syarat-syaratnya yang berat untuk boleh beristeri lebih dari satu dan
harus ada izin dari isteri pertama, adanya kepastian dari pihak suami bahwa mampu
menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak serta jaminan bahwa
suami akan berlaku adil, terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c. Pria harus telah berumur 19 (sembilan belas) tahun dan wanita 19 (sembilan belas)
tahun (Pasal 7 UU No 16 Tahun 2019 Perubahan atas UU no 1 tahun 1974);
d. Harus mendapat izin masing-masing dari kedua orang tua mereka, kecuali dalam
hal-hal tertentu dan calon pengantin telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih,
atau mendapat dispensasi dari Pengadilan Agama apabila umur para calon kurang
dari 19 tahun
e. Tidak termasuk larangan-larangan perkawinan;
f. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain, kecuali dispensasi
oleh pengadilan;
g. Seorang yang telah cerai untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh
dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain;
h. Seorang wanita yang perkawinannya terputus untuk kawin lagi telah lampau
tenggang waktu tunggu;
i. Perkawinan harus dilangsungkan menurut tata cara perkawinan yang diatur oleh
Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 jo. Peraturan Menteri Agama No. 3 tahun
1975 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk.

Menurut Kompilasi Hukum Islam syarat sahnya perkawinan diatur dalam Pasal 4 yang
berbunyi “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”, Pasal 5 ayat (1) yang
berbunyi “Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus
dicatat”,

a. Calon suami;

b. Calon istri; Syarat – syarat calon mempelai:

1) Keduanya jelas identitasnya dan dapat dibedakan dengan yang lainnya, baik menyangkut
nama, jenis kelamin, keberadaan, dan hal lain yang berkenaan dengan dirinya;

2) Keduanya sama-sama beragama Islam;

3) Antara keduanya tidak terlarang melangsungkan perkawinan;


4) Kedua belah pihak telah setuju untuk kawin dan setuju pula pihak yang akan
mengawininya;

5) Keduanya telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan perkawinan.

c. Wali nikah dari mempelai perempuan; Syarat- syarat wali:

1) Telah dewasa dan berakal sehat;

2) Laki-laki. Tidak boleh perempuan;

3) Muslim;

4) Orang merdeka;

5) Tidak berada dalam pengampuan;

6) Berpikiran baik;

7) Adil;

8) Tidak sedang melakukan ihram, untuk haji atau umrah

d. Dua orang saksi; Syarat-syarat saksi:

1) Saksi itu berjumlah paling kurang dua orang;

2) Kedua saksi itu adalah bergama Islam;

3) Kedua saksi itu adalah orang yang merdeka;

4) Kedua saksi itu adalah laki-laki;

5) Kedua saksi itu bersifat adil;

6) Kedua saksi itu dapat mendengar dan melihat.

e. Ijab dan Qabul, Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah
penerimaan dari pihak kedua.Syaratnya

1) Akad harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul;

2) Materi dari ijab dan qabul tidak boleh berbeda;

3) Ijab dan qabul harus diucapkan secara bersambungan tanpa terputus walaupun sesaat;

4) Ijab dan qabul mesti menggunakan lafaz yang jelas dan terus terang.
Pencatatan Perkawinan

Mengenai pencatatan perkawinan, dijelaskan pada Bab II Pasal 2 Peraturan Pemerintah


Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yang mangatur mengenai pencatatan perkawinan. Bagi mereka yang melakukan perkawinan
menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di KUA. Sedangkan untuk mencatatkan perkawinan
dari mereka yang beragama dan kepercayaan selain Islam, menggunakan dasar hukum Pasal 2
ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi “Pencatatan perkawinan dari mereka yang
melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam,
dilakukan oleh Pegawai Pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud
dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan”

C. Syarat Pendaftaran Nikah Di Kantor KUA


Adapun syarat pendaftaran nikah di kantor KUA sesuai dengan PMA nomor 20 tahun 2019
tentang pencatatan pernikahan dan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
Nomor 473 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pencatatan Pernikahan adalah
sebagai berikut
1. N1- Surat Pengantar Nikah (Didapat dari kelurahan/desa)
2. N2- Formulir Permohonan Kehendak nikah
3. N4- Formulir Persetujuan Calon Pengantin
4. N5- Formulir surat izin dari Orang tua/wali (Jika calon pengantin umurnya dibawah 21 tahun)
5. Surat Akta cerai dari pengadilan (jika calon pengantin sudah pernah menikah dan bercerai)
6. N6- Formulir Surat Keterangan kematian / Surat akta kematian dari catatan sipil (jika calon
pengantin duda/janda ditinggal mati)
7. Surat Izin dari Komandan (Jika calon pengantin TNI/Polri)
8. Izin/Dispensasi dari Pengadilan Agama apabila;
a. Calon Suami kurang dari 19 Tahun (UU Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019)
b. Calon Istri Kurang dari 19 Tahun
c. Izin Poligami
9. Izin dari Kedutaan Besar untuk Warga Negara Asing (WNA)
10. Fotocopy Identitas Diri (KTP/paspor) atau surat keterangan dari Catatan Sipil untuk kedua Calon
Pengantin
11. Fotocopy Kartu Keluarga (KK) Kedua Calon Mempelai
12. Fotocopy Akta Kelahiran Kedua Calon Mempelai
13. Surat Rekomendasi Nikah dari KUA Kecamatan (Jika nikah dilaksanakan diluar wilayah tempat
tinggal Catin)
14. Pasphoto Berwarna latar belakang Biru ukuran 2x3 cm sebanyak 4 lembar dan Pasphoto Ukuran
4x6 sebanyak 3 lembar (baiknya disediakan pula dalam bentuk soft file)
15. Tambahan Dokumen yang penting untuk disiapkan
a. Fotocopy KTP Orang Tua Kedua Calon Pengantin
b. Fotocopy KTP Wali Nikah
c. Fotocopy KTP 2 orang saksi
d. Fotocopy Ijazah Terakhir untuk kedua Catin
e. Nomor HP dan e-mail Aktif
16. Uang Rp.600.000,- jika Nikah akan dilaksanakan di Luar Kantor ataupun Diluar Jam Kantor
(PMA Nomor 20 tahun 2019)

D. Perkawinan Campuran

Terdapat dalam UU Perkawinan no 16 tahun 2019 (Pasal 7 tentang batas usia perkawinan)
perubahan atas UU no 1 tahun 1974 (pada pernikahan campuran) Menurut Undang-Undang No 1
tahun 1974.

a. Pengertian Perkawinan Campuran ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu
pihak berkewarganegaraan Indonesia. (pasal 57)

b. Ruang Lingkup.

Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, adalah hasil Badan Legislatif
Negara Republik Indonesia dalam menciptakan Hukum Nasional yang berlaku bagi seluruh
warga negara Indonesia. Dalam hal perkawinan campuran diatur dalam pasal 57 UU
Perkawinan yang menetapkan sebagai berikut:

"Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undangundang ini ialah perkawinan
antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.”

Berdasarkan pasal 57 yang dimaksud perkawinan campuran adalah:

1). Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang

berlainan.

2) Perkawinan karena perbedaan kewarganegaraan.

3). Perkawinan karena salah satu pihak berkewar ganegaraan Indonesia.


Untuk dapat melangsungkan perkawinan campuran itu supaya perkawinanya sah, maka
ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 2 UU Perkawinan harus dipenuhi artinya perkawinan bagi
mereka yang beragama Islam harus sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Begitu pula bagi mereka
yang beragama selain Islam, maka bagi mereka harus sesuai dengan ketentuan hukum agamanya
dan kepercayaannya itu sedangkan perkawinan campuran yang dilangsungkan menurut agamanya
dan kepercayaannya selain agama Islam dilaksanakan pencatatannya di Kantor Catatan Sipil.

Tatacara Perkawinan Campuran

Bagi Warga Negara Asing yang akan melakukan perkawinan campuran di Indonesia, maka
yang bersangkutan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

1) Fotokopi paspor yang sah

2) Surat izin menikah dari kedutaan negara pemohon

3) Surat Status dari catatan sipil negara pemohon

4) Pasfoto ukuran 2x3 sebanyak 5 lembar dan 4x6 3 lembar

5) Kepastian kehadirin wali atau menyerahkan wakalah wali bagi WNA Wanita.

6) Membayar biaya pencatatan.

Bagi pihak WNI harus memenuhi mekanisme pelayanan pernikahan pada Kantor Urusan
Agama Kecamatan.

1) Calon pengantin datang ke kantor kepala desa/ kelurahan untuk mendapatkan :

a. N1- Surat Pengantar Nikah (Didapat dari kelurahan/desa)


b. N2- Formulir Permohonan Kehendak nikah
c. N4- Formulir Persetujuan Calon Pengantin
d. N5- Formulir surat izin dari Orang tua/wali (Jika calon pengantin umurnya dibawah 21 tahun)

2) Calon Pengantin datang ke Puskesmas untuk mendapatkan :

a) Imunisasi Tetanus Toxsoid 1 bagi calon pengantin wanita,

b) Kartu imunisasi,

c) Imunisasi Tetanus Toxoid II,


Setelah proses pada poin (1) dan (2) selesai, calon pengantin datang ke KUA kecamatan,
untuk :

1). Mengajukan pemberitahuan kehendak nikah secara Tertulis , apabila calon pengantin
berhalangan pemberitahuan nikah dapat dilakukan oleh wali atau wakilnya;

2). Membayar biaya pencatatan nikah sebesar Rp.600.000 jika nikah di luar jam kerja dan diluar
kantor atau gratis bila dilakukan di jam kerja di kantor KUA

3). Dilakukan pemeriksaan kelengkapan syarat-syarat pernikahan olehpenghulu.

a) Surat Pengantar nikah menurut N.1 (dari desa/kelurahan)

b) N2- Formulir Permohonan Kehendak nikah

c) Formulir Persetujuan Calon Pengantin

d) Formulir Surat Izin tertulis dari orang tua bagi calon mempelai yang belum mencapai usia
21 tahun menurut model N5.

e) Dalam hal tidak ada izin dari kedua orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud angka 5
di atas diperlukan izin dari pengadilan.

f) Pasfoto latar biru masing-masing 3x2 sebanyak 5 lembar dan 4x6 3 lembar

g) Dispensasi dari pengadilan bagi calon suami/istri yang belum mencapai umur 19 tahun

h) Jika calon mempelai anggota TNI/ polri diperlukan surat izin dari atasanya atau kesatuannya.

i) Izin pengadilan bagi suami yang hendak beristri lebih dari seorang.

j) Akta cerai atau kutipan buku pendaftaran talak/ cerai

k) Akta kematian atau surat keterangan kematian suami/ istri dibuat oleh kepala desa/ lurah
atau pejabat yang berwenang

l) Surat ganti nama bagi warganegara Indonesia keturunan.

4). Penghulu sebagai PPN memasang pengumuman kehendak nikah selama 10 hari sejak saat
pendaftaran.

5). Catin wajib mengikuti kursus calon pengantin minimal selama 1 hari.

6). Calon pengantin memperoleh sertifikat kursus calon pengantin.

7). Pelaksanaan akad nikah dipimpin oleh penghulu.


8). Penghulu segera menyerahkan buku nikah kepada pengantin setelah pelaksanaan akad nikah.

9). Pendaftaran kehendak nikah diajukan kepada KUA kecamatan minimal 10 hari kerja sebelum
pelaksanaan pernikahan.

Referensi tambahan
Bagian Ketiga
Perkawinan Campuran (UU No 1 Tahun 1974)

Pasal 57
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan
antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Pasal 58
Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran,
dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan
kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang
kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.

Pasal 59
(1)Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan
menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun mengenai hukum
perdata.
(2)Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-
undang Perkawinan ini.
Pasal 60
(1)Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat
perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi.
(2)Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan
karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka
yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan,
diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.
(3)Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka
atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara
serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat
keterangan itu beralasan atau tidak.
(4)Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu
menjadi pengganti keterangan yang tersebut ayat (3).
(5)Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi
jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu
diberikan.
Pasal 61
(1)Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang.
(2)Barang siapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan lebih dahulu
kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti
keterangan yang disebut dalam Pasal 60 ayat (4) Undang-undang ini dihukum dengan hukuman
kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan.
(3)Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetahui
bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman
kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan.

Pasal 62
Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1)
Undang-undang ini.

Anda mungkin juga menyukai