Anda di halaman 1dari 12

MAHAR

(MAKALAH HADITS HUKUM KELUARGA)

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 5
M. ABUL HASAN AL-QADARI (0201161019)
MUHAMMAD ZULHAMZAH (0201161008)
HAPIZAH ALAWIYAH (0201161024)

DOSEN PEMBIMBING: HASBULLAH JA’FAR, MA

KELAS: AL-AHWAL AL-SYAKHSIYYAH .VA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERISUMATERA UTARA
MEDAN
T.A 2018-2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mahar perkawinan bisa juga disebut saduqatmenjadi salah satu hal yang harus
dipenuhioleh pihak lelaki yang ingin menikah untuk diberikan kepada pihak wanita sebagai
suatu pemberian. Dan hak-hak istri yang wajib dilaksanakan suami adalah salah satunya
adalah mahar. Mahar termasuk keutamaan agama Islam dalam melindungi dan memuliakan
kaum wanita dengan memberikan hak yang dimintanya dalam pernikahan berupa mahar
kawin yang besar kecilnya ditetapkan  atas persetujuan kedua belah pihak karena pemberian
itu harus diberikan secara ikhlas. Para ulama fiqh sepakat bahwa mahar wajib diberikan oleh
suami kepada istrinya baik secara kontan maupun secara tempo, pembayaran mahar harus
sesuai dengan perjanjian yang terdapat dalam akad pernikahan.

Di antara syarat nikah yang diyakini adalah mahar (mas kawin), setelah calon suami
istri, wali, saksi, serta ijab dan qabul. Mahar bukanlah hal yang baru dalam Islam. Pada
zaman pra-Islam juga telah dikenal istilah mahar. Dalam istilah ahli fiqh, disamping
perkataan “mahar” juga dipakai perkataan: “shadaq”, nihlah, dan faridhah, dalam bahasa
indonesia dipakai dengan perkataan maskawin.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Mahar?

2. Apa saja dasar hukum diberlakukannya Mahar?

3. Apa jenis dan syarat dari pemberian Mahar?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Mahar

Mahar secara etimologi, artinya maskawin. Sedangkan secara terminologi, mahar


adalah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon
suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya, atau
suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk
benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dan lain sebagainya).

Di antara syarat nikah yang diyakini adalah mahar (mas kawin), setelah calon suami
istri, wali, saksi, serta ijab dan qabul. Mahar bukanlah hal yang baru dalam Islam. Pada
zaman pra-Islam juga telah dikenal istilah mahar. Dalam istilah ahli fiqh, disamping
perkataan “mahar” juga dipakai perkataan: “shadaq”, nihlah, dan faridhah, dalam bahasa
indonesia dipakai dengan perkataan maskawin.

Menurut istilah syara’ mahar ialah suatu pemberian yang wajib diberikan oleh suami
kepada istri dengan sebab pernikahan. Pendapat Imam Syafi’i pula mengatakan bahwa mahar
adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat
menguasai seluruh anggota badannya.1

1. Mazhab Hanafi (sebagiannya) mendefinisikan, bahwa:” mahar sebagai sejumlah harta yang
menjadi hak istri, karena akad perkawinan, atau disebabkan terjadi senggama dengan
sesungguhnya”.
2. Mazhab Maliki mendefinisikannya: “sebagai sesuatu yang menjadikan istri halal untuk
digauli”.
3. Mazhab Hambali mengemukakan, bahwa mahar. “sebagai imbalan suatu perkawinan, baik
disebutkan secara jelas dalam akad nikah, ditentukan setelah akad dengan persetujuan kedua
belah pihak, maupun ditentukan oleh hakim”.

1
Dr. Armia, MA. Fikih Munakahat. (Medan: CV Manhaji, 2016), hal: 109-110
B. Dasar Hukum Mahar

1. Al-Quran
ۚ
‫ص ُدقَ ٰـتِ ِہ َّن نِ ۡحلَ ۬‌ةً فَإِن ِط ۡبنَ لَ ُكمۡ عَن َش ۡى ۬ ٍء ِّم ۡنهُ ن َۡف ۬ ًسا فَ ُكلُوهُ هَنِ ٓي ۬ـًٔا َّم ِر ٓي ۬ـًٔا‬ ْ ُ‫َو َءات‬
َ ‫وا ٱلنِّ َسآ َء‬

Artinya : ” Berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan . Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian
itu dengan senang hati.” (QS. An-Nisa :4)

2. Hadits

َ َ‫ْت نَ ْف ِسى ل‬
،‫ك‬ ْ َ‫ي ص َجائَ ْتهُ ا ْم َرأَةٌ َو قَال‬
ُ ‫ اِنِّى قَ ْد َوهَب‬،ِ‫ يَا َرسُوْ َل هللا‬:‫ت‬ َّ ِ‫ع َْن َسه ِْل ْب ِن َس ْع ٍد اَ َّن النَّب‬
‫ فَقَا َل‬.ٌ‫اجة‬ َ َ‫ ز َِّوجْ نِ ْيهَا اِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن ل‬،ِ‫ يَا َرسُوْ َل هللا‬:‫ال‬
َ ‫ك فِ ْيهَا َح‬ ْ ‫فَقَا َم‬
َ َ‫ فَق‬.ً‫ت قِيَا ًما طَ ِو ْيال‬
َ َ‫ال َر ُج ٌل فَق‬
ِ ‫ َما ِع ْن ِديْ اِالَّ اِز‬:‫ال‬
‫ فَقَا َل النَّبِ ُّي‬.‫َاريْ ه َذا‬ َ َ‫ هَلْ ِع ْندَكَ ِم ْن َش ْي ٍء تُصْ ِدقُهَا اِيَّاهُ؟ فَق‬:‫َرسُوْ ُل هللاِ ص‬
ْ‫ اِ ْلتَ ِمس‬:‫ال‬
َ َ‫ فَق‬.‫ َما اَ ِج ُد َش ْيئًا‬:‫ فَقَا َل‬.‫ فَ ْالتَ ِمسْ َش ْيئًا‬، َ‫َار لَك‬
َ ‫ اِ ْن اَ ْعطَ ْيتَهَا اِزَا َركَ َجلَسْتَ الَ اِز‬.‫ص‬
:‫ هَلْ َم َعكَ ِمنَ ْالقُرْ آ ِن َش ْيئٌ؟ قَا َل‬:‫ال لَهُ النَّبِ ُّي ص‬ َ ‫ فَ ْالتَ َم‬.‫َولَوْ خَ اتَ ًما ِم ْن َح ِد ْي ٍد‬
َ َ‫ فَق‬.‫س فَلَ ْم يَ ِج ْد َش ْيئًا‬
َ‫ قَ ْد َز َّوجْ تُ َكهَا بِ َما َم َعكَ ِمن‬:‫ فَقَا َل لَهُ النَّبِ ُّي ص‬.‫ سُوْ َرةُ َك َذا َو سُوْ َرةُ َك َذا لِ ُس َو ٍر يُ َس ِّم ْيهَا‬.‫نَ َع ْم‬
‫القُرْ آ ِن‬.ْ

Artinya: “Dari Sahl bin Sa’ad bahwa sesungguhnya Nabi SAW pernah didatangi seorang
wanita lalu berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku menyerahkan diriku untukmu”. Lalu
wanita itu berdiri lama. Kemudian berdirilah seorang laki-laki dan berkata, “Ya Rasulullah,
kawinkanlah saya dengannya jika engkau sendiri tidak berminat kepadanya”. Kemudian
Rasulullah SAW bertanya, “Apakah kamu mempunyai sesuatu yang dapat kamu pergunakan
sebagai mahar untuknya ?”. Ia menjawab, “Saya tidak memiliki apapun melainkan pakaian
ini”. Lalu Nabi bersabda, “Jika pakaianmu itu kamu berikan kepadanya maka kamu tidak
berpakaian lagi. Maka carilah sesuatu yang lain”. Kemudian laki-laki itu berkata, “Saya
tidak mendapatkan sesuatu yang lain”. Lalu Nabi  SAW bersabda, “Carilah, meskipun
cincin dari besi”. Lalu laki-laki itu mencari, tetapi ia tidak mendapatkannya. Kemudian Nabi
SAW bertanya kepadanya, “Apakah kamu memiliki hafalan ayat Al-Qur’an ?”. Ia menjawab,
“Ya. Surat ini dan surat ini”. Ia menyebutkan nama-nama surat tersebut, kemudian Nabi
SAW bersabda kepadanya, “Sungguh aku telah menikahkan kamu dengannya dengan apa
yang kamu miliki dari Al-Qur’an itu”. (HR. Bukhori dan Muslim).

C. Jenis-Jenis Mahar

Ulama fiqih sependapat mahar itu ada dua macam, mahar musama dan mahar mitsil
(sepadan), yaitu:

1. Mahar Musamma

Mahar musamma yaitu mahar yang sudah disebutkan atau dijanjikan kadar dan
besarnya ketika akad nikah. Waktu pemberiannya diberikan secara penuh ketika:

a. Telah bercampur (bersenggama)

b. Salah satu dari suami istri meninggal

Mahar musamma juga wajib dibayar sepenuhnya walau pernikahannya rusak karena
sebab tertentu jika telah bersenggama. Pernikahan yang rusak seperti istrinya adalah
mahramnya sendiri, istrinya berbohong dengan mengaku perawan ternyata janda, hamil atau
masih status istri orang lain. Namun apabila dicerai sebelum bercampur, maka hanya wajib
membayar setengahnya saja.2

2. Mahar Mitsil

Mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum atau ketika terjadi
pernikahan, atau mahar yang diukur dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga yang
terdekat seperti mahar saudara perempuan pengantin wanita (bibi). Mahar mitsil hukumnya
wajib bagi sang suami jika terjadi dalam keadaan berikut:

a. Mahar tidak disebutkan kadarnya ketika akad, kemudian suami bercampur dengan
istri maka suami wajib membayar mahar mitsil, atau istri meninggal sebelum bercampur
dengan suami. Abu daud meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’udyang dalam masalah ini
ialah ia berkata bahwa bagi perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya sebelum
disenggamai, ia berhak mendapat mahar seperti perempuan yang lain (mahar mitsil).

2
H.Abdurrahman Ghazali, Fikih Munakahat. (Jakarta, Prenada Media, 2003), hal: 93
b. Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan suami telah bercampur dengan istri
dan ternyata nikahnya rusak karena sesuatu. Nikah yang tidak disebutkan maharnya seperti
disebut nikah tafwidh.3

D. Syarat-Syarat Mahar

Mahar yang diberikan kepada calon istri, harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:

a. Harta/bendanya berharga
Tidak sah mahar yang dengan yang tidak memiliki harga apalagi sedikit, walaupun
tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar. Akan tetapi, apabila mahar sedikit tetapi
memiliki nilai, maka tetap sah. 
b. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat
Tidak sah mahar dengan khamar, babi, atau darah, karena semua itu haram dan tidak
berharga.
c. Barangnya bukan barang gasab
Gasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya, namun tidak
bermaksud untuk memilikinya karena berniat untuk  mengembalikan kelak. Memberikan
mahar dengan barang hasil gasab, adalah tidak sah, tetapi akadnya tetap sah.
d.Bukan barang yang tidak jelas keadaannya
Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak
disebutkan jenisnya.4
Mahar boleh berupa uang, perhiasan, perabotan rumah tangga, bidatang, jasa, harta
perdagangan, atau benda-benda lainnya yang mempunyai harga. Disyariatkan bahwa mahar
harus diketahui secara jelas dan detail. Kalau tidak bisa diketahui dari berbagai segi yang
memungkinkan diperoleh penetapan jumlah mahar, maka menurut seluruh madzhab kecuali
maliki, akad tetap sah, tetapi maharnya batal. Syarat lain adalah, hendaknya yang dijadikan
mahar itu barang yang halal dan dinilai berharga dalam syariat islam.

3
Ibid, hal:116
4
Slamet Abidin,Aminuddin. Fiqih Munakahat 1, (Bandung, CV PUSTAKA SETIA,1999)cet 1, hal:
108-109
E. Kadar Mahar

Mahar tidak mempunyai kadar minimum dan maksimumnya. Setiap sesuatu yang
dinamakan harta atau boleh ditukar dengan harta boleh dijadikan mahar, tidak tergantung
sedikit atau banyak, tunai atau hutang. Dapat pula berupa sesuatu yang bermanfaat seperti
kain, sajadah, uang, tempat tinggal atau mengajar sesuatu kemahiran. Rasulullah pernah
bertanya kepada sahabat tentang mahar yang diberinya kepada istrinya.

‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َوبِ ِه أَثَرُا‬


َ ‫ف َجا َء اِلَى النَّبِّى‬
ٍ ْ‫ك اَ َّن َع ْب َد الرَّحْ مٰ ِن ْب ِن عَو‬ ِ ‫ع َْن اَن‬
ِ ِ‫َس ْب ِن َمال‬
‫ار فَقَا َل‬
ِ ‫ص‬َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَا َ ْخبَ َرهُ اَنَّهُ تَ َز َّو َج اِ ْم َراَةً ِمنَ ْاالَ ْن‬
َ ِ‫ص ْف َر ِة فَ َسَٔالَهُ َرسُوْ ُل هللا‬
ُ ‫ل‬
ُ‫صلَّى هللا‬
َ ِ‫ب قَا َل َرسُوْ ُل هللا‬ ٍ َ‫ال ِزنَةَ نَ َوا ٍة ِم ْن َذه‬ َ َ‫صلَى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َك ْم ُس ْقتَ اِلَ ْيهَا ق‬
َ ِ‫َرسُوْ ُل هللا‬
‫َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم اَوْ لِ ْم َولَوْ بِ َشا ٍة‬

Artinya: “ Dari Anas Bin Malik dari Abdur Rahman Bin Auf, berkisah, bahwah dia datang
pada Rasulullah saw, dalam keadaan masih wangi, kemudian ia memberitahu beliau bahwa ia
telah menikah dengan seorang wanita Anshor. Tanya Rasulullah saw, berapa kamu beri mas
kawin istrimu? Jawabnya : “ sebuah perhiasan emas”. Rasulullah bersabda, “Rayakanlah
pernikahanmu walau dengan menyembelih seekor kambing.” (HR. An-Nasa’i)5

Rasulullah pernah bertanya tentang suatu mahar yang diberikan kepada seorang
perempuan.

َ ِ‫ت َع َل نَ ْعلَ ْي ِن فَقَ َل َرس َُل هللا‬


‫ص َّل‬ َ ‫َع ْن َع ِم ِرب ِْن َربِ ْي َعةً اَ َّن ا ْم َراَةً ِم ْن بَنِى فَ َز‬
ْ ‫ارةَ تَ َز َو َج‬
‫ك بِنَ ْعلَي ِْن ؟ قَالَ ْـ‬
ُ‫ فَا َ َج َزه‬. ‫ نَ َع ْم‬: ‫ت‬ ِ ‫ت ِم ْن نَ ْف ِس‬
ِ ِ‫ك َو َمل‬ ِ ‫ اَ َر‬: ‫هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬...
ِ ‫ض ْي‬
Artinya: “Dari ‘Amir bin Rabi’ah, bahwa sesungguhnya pernah ada seorang wanita dari
Bani Fazarah yang nikah dengan (mahar) sepasang sandal, lalu Rasulullah SAW  bertanya:
“Relakah kamu atas dirimu dengan (mahar) sepasang sandal ?”. Ia menjawab, “Ya”. Maka
Rasulullah SAW memperkenankanny.

5
Abu Abdurrahman Ahmad An-Nasa’i. Sunan An-Nasa’iy. (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1993), hal:524
‫ التمس َو َل ْو ِب َخات ٍِم َح ِديْد‬: ‫صلَّى هللاُ َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ ‫ َقا َل َر ُس ُل‬..
َ ‫هللا‬

Artinya: “Carilah mahar sekalipun hanya cincin dari besi” (HR. Muslim No. 142).6

Kalangan ulama sepakat secara bulat, Bahwa tidak ada batasan tertinggi mahar yang
diberikan mempelai pria kepada istrinya. Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan
begitu pula jumlah maksimum dari maskawin. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan
kemampuan manusia dalam memberikannya. Orang yang kaya mempunyai kemampuan
untuk memberi maskawin yang lebih besar jumlahnya kepada calon istrinya. Sebaliknya,
orang yang miskin ada yang hampir tidak mampu memberinya. Oleh karena itu, pemberian
mahar diserahkan menurut kemampuan yang bersangkutan disertai kerelaan dan persetujuan
masing-masing pihak yang akan menikah untuk menetapkan jumlahnya. Mukhtar Kamal
menyabutkan, “janganlah hendaknya ketidaksanggupan membayar maskawin karena besar
jumlahnya menjadi penghalang bagi berlangsungnya suatu perkawinan,

F. Gugur Atau Rusaknya Mahar

Mahar yang rusak bisa terjadi karena barang itu sendiri atau karena sifat-sifat barang
tersebut, seperti tidak diketahui atau sulit diserahkan, mahar yang rusak karena zatnya
sendiri, yaitu seperti khamar yang rusak karena sulit dimiliki atau diketahui, pada dasarnya
disamakan dengan jual beliyang mengandung lima persoalan pokok, yaitu:
a. Barangnya tidak boleh dimiliki;
b. Mahar digabungkan dengan jual beli;
c. Penggabungan mahar dengan pemberian;
d. Cacat pada mahar; dan
e. Persyaratan dalam mahar.
Dalam hal barangnya tidak boleh dimiliki seperti: khamar, babi, dan buah yang belum
masak atau unta yang lepas, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa akad nikahnya tetap sah
apabila telah memenuhi mahar mitsli. Akan tetapi, Imam Malik berpendapat tentang dua
riwayat yang berkenaan dengan persoalan ini. Pertama, akad nikahnya rusak dan harus
dibatalkan (fasakh), baik sebelum maupun sesudah dukhul. Pendapat ini juga dikemukakan
oleh Abu Ubaid. Kedua, apabila telah dukhul, maka akad nikah menjadi tetap dan istri
memperoleh mahar mitsli.

6
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri. Minhajul Muslim. (Madinah: Darul Haq, 2014) cet:2. hal: 937
          Mengenai penggabungan mahar dengan jual beli, ulama fikih berbeda pendapat seperti:
jika pengantin perempuan memberikan hamba sahaya kepada pengantin laki-laki, kemudian
pengantin laki-laki memberikan seribu dirham untuk membayar hamba dan sebagai mahar,
tanpa menyebutkan mana yang sebagai harga dan mana yang sebagai mahar, maka Imam
Malik dan Ibnul Qasim melarangnya, seperti juga Abu Saur. Akan tetapi Asyab dan Imam
Abu Hanifah membolehkan, sedangkan Abu Ilah mengadakan pemisahan dengan
mengatakan bahwa apabila dari jual beli tersebut masih terdapat kelebihan sebesar
seperempat dinar ke atas, maka cara seperti itu dibolehkan.
          Tentang penggabungan mahar dengan pemberian, ulama juga berselisih pendapat,
misalnya dalam hal seseorang yang menikahi wanita dengan mensyaratkan bahwa pada
mahar yang diberikannya terdapat pemberian untuk ayahnya (perempuan itu). Perselisihan itu
terbagi dalam tiga pendapat.
          Imam Abu Hanifah dan pengikutnya mengatakan bahwa syarat tersebut dapat
dibenarkan dan maharnya pun sah. Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar itu rusak, dan
istrinya memperoleh mahar mitsli. Adapun Imam Malik berpendapat bahwa apabila syarat itu
dikemukakan ketika akad nikah, maka pemberian itu menjadi milik pihak perempuan,
sedangkan apabila syarat itu dikemukakan setelah akad nikah, maka pemberiannya menjadi
milik ayah.
          Mengenai cacat yang terdapat pada mahar, ulama fiqih juga berbeda pendapat. Jumhur
ulama mengatakan bahwa akad nikah tetap terjadi. Kemudian, mereka berselisih pendapat
dalam hal apakah harus diganti dengan harganya, atau dengan barang yang sebanding, atau
juga mahar mitsli.
          Imam Syafi’i terkadang menetapkan harganya dan terkadang menetapkan mahar mitsli.
Imam Malik dalam satu pendapat menetapkan bahwa harus meminta harganya, dan pendapat
lain minta barang yang sebanding. Sedangkan Abu Hasan Al-Lakhimi berkata,”Jika
dikatakan, diminta harga terendahnya atau mahar mitsli, tentu lebih cepat. Adapu Suhnun
mengatakan bahwa nikahnya batal.7
         

7
Prof. Dr. H. MA. Tihami, M.A., M.M, dan Drs. Sohari, M.M., M.H, Fikih Munakahat, (Serang:Rajawali
Pers,2008), hal :48
Mengenai gugurnya mahar, suami bisa terlepas dari kewajiban untuk membayar
mahar seluruhnya apabila perceraian sebelum persetubuhan datang dari pihak istri, misalnya
istri keluar dari Islam, atau mem-fasakh karena suami miskin atau cacat, atau karena
perempuan tersebutsetelah dewasa menolak dinikahkan dengan suami yang dipilih oleh
walinya, Bagi istri seperti ini, hak pesangon gugur karena ia telah menolak sebelum suaminya
menerima sesuatu darinya.
          Begitu juga mahar dapat gugur apabila istri, yang belum digauli, melepaskan maharnya
atau menghibahkan  padanya. Dalam hal seperti ini, gugurnya mahar karena perempuan
sendiri yang menggugurkannya. Sedangkan mahar sepenuhnya berada dalam kekuasaan
perempuan.8

8
Ibid, hal:48
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan
hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon
suaminya.Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya,
baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dan lain sebagainya).
Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari
maskawin. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam
memberikannya. Orang yang kaya mempunyai kemampuan untuk memberi maskawin yang
lebih besar jumlahnya kepada calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir
tidak mampu memberinya.
DAFTAR PUSTAKA

Abu Abdurrahman Ahmad An-Nasa’i. Sunan An-Nasa’iy. (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1993),

Dr. Armia, MA. Fikih Munakahat. (Medan: CV Manhaji, 2016),

H.Abdurrahman Ghazali, Fikih Munakahat. (Jakarta, Prenada Media, 2003),

Prof. Dr. H. MA. Tihami, M.A., M.M, dan Drs. Sohari, M.M., M.H, Fikih Munakahat, (Serang:Rajawali
Pers,2008),

Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri. Minhajul Muslim. (Madinah: Darul Haq, 2014) cet:2.

Slamet Abidin,Aminuddin. Fiqih Munakahat 1, (Bandung, CV PUSTAKA SETIA,1999)cet


1

Anda mungkin juga menyukai