Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

JARIMAH ZINA DAN TUDUHAN ZINA (QADZAF)


JARIMAH ZINA
DAN TUDUHAN ZINA (QADZAF)

Di Susun Dalam Rangka Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Pada Mata Kuliah
Fikih Munakhat, Dengan Dosen Pembimbing,
TRY SA'ADURRAHMAN HM KAFRAWI, SH., MH

Di Susun Oleh Kelompok :.

Ayu wardani : 10200120204


Akbar pallawarukka : 10200120188
Syahrul Muarif : 10200120210
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT karena atas taufik dan rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan Makalah Qadzaf (Menuduh Zina) ini. Shalawat
serta salam senantiasa kita sanjungkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad
SAW, keluarga, sahabat, serta semua umatnya hingga kini. Dan Semoga kita
termasuk dari golongan yang kelak mendapatkan syafaatnya.

Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah berkenan membantu pada tahap penyusunan hingga selesainya
Makalah Qadzaf (Menuduh Zina) ini. Harapan penulis semoga makalah yang
telah tersusun ini dapat bermanfaat sebagai salah satu rujukan maupun pedoman
bagi para pembaca, menambah wawasan serta pengalaman, sehingga nantinya
saya dapat memperbaiki bentuk ataupun isi Makalah Qadzaf (Menuduh Zina) ini
menjadi lebih baik lagi.
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah


Dalam kehidupan bermasyarakat pada saat ini banyak sekali kita temukan
hal hal yang melanggar aturan agama, dimana mereka melakukan suatu perbuatan
tanpa memikirkan apa akibat dan dosa yang akan mereka dapatkan dengan
perbuatan mereka itu.
Perbuatan dosa yang pada saat era globalisasi saat ini yang sering terjadi
adalah Zina, dimana perbuatan ini dilakukan oleh orang yang tidak memiliki
hubungan perkawinan yang sah dan hanya menuruti kehendak  hawa nafsu dan
kenikmatan seasaat. Perbuatan ini terjadi disebabkan karena lemahnya iman dan
kurangnya pengetahuan akan agama, serta kurangnya kontrol dari orang tua
terhadap anak anak mereka sehingga anak anak itu berbuat sesuatu yang
melanggar aturan agama.
Selain permasalahan zina di atas tak kalah peliknya adalah
perbuatan menuduhkan seseorang berbuat zina yang mana hal ini amat dibenci
Allah dan pada kenyataannya sering dilakukan oleh masyarakat (Qazaf atau
fitnah). Dimana  perbuatan ini adalah menuduh seseorang melakukan perbuatan
zina tanpa adanya bukti yang kuat. Dan untuk pemaparan selanjutnya saya akan
membahasnya di bab selanjutnya.

B.     Rumusan masalah
A.    Jarima Zina.
B.     Tuduhan Zina (Qadzaf).
BAB II
PEMBAHASAN

A.  Jarima Zina


1. Pengertian jarimah
Menurut bahasa kata jarimah berasal dari kata "jarama" kemudian menjadi
bentuk masdar "jaramatan" yang artinya: perbuatan dosa, perbuatan salah atau
kejahatan. Pelakunya dinamakan dengan "jarim", dan yang dikenai perbuatan itu
adalah "mujaram 'alaihi". Menurut istilah para fuqaha', yang dinamakan jarimah
adalah :
"Segala larangan syara' (melakukan hal-hal yang dilarang dan atau
meninggalkan hal-hal yang diwajibkan) yang diancam dengan hukuman had atau
ta'zir".
Pengertian jarimah juga sama dengan peristiwa pidana, atau sama dengan
tindak pidana atau delik dalam hukum positif. Hanya bedanya hukum positif
membedakan antara kejahatan dan pelanggaran mengingat berat ringannya
hukuman, sedangkan syari'at Islam tidak membedakannya, semuanya disebut
jarimah atau jinayat mengingat sifat pidananya.

2. Pengertian Zina
Zina berarti hubungan kelamin antara seorang laki laki dengan seorang
perempuan tampa ikatan perkawinan. Tidak masalah apakah salah satu pihak atau
keduanya telah memiliki pasangan hidupnya masing masing ataupun belum
menikah sama sekali. Selain itu zina juga berarti  setiab persetubuhan yang terjadi
bukan karena persetubuhan yang sah, bukan karena syubhat, dan bukan pula
karena karena kepemilikan (budak).
Sedangkan pengertian zina menurut para imam Mazhab adalah:
         Malikiyah
Zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh seorang mukallaf terhadap
farji manusia (wanita) yang bukan miliknya secra disepakati dengan
kesengajaan.
  Hanafiyah
Zina adalah nama bagi persetubuhan yang haram dan qubul (kemaluan)
seorang perempuan yang masih hidup dalam keadaan ikhtiyar (tampa
paksaan) didalam negeri yang adil yang dilakukan oleh orang orang
kepadanya berlaku hukum islam, dan wanita itu bukan miliknya dan tidak
ada syubhat dalam miliknya.
  Syafi’iyah
Zina adalah memasukkan zakar kedalam farji yang diharamkan karena
zatnya tampa adanya syubhat  dan menurut tabiatnya menimbulkan
syhwat.
   Hanabilah
Zina adalah melakukan perbuatan keji  (persetubuhan), baik terhadap
qubul(farji) maupun dubur.

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa  jarimah zina yaitu


suatu  perbuatan dosa yang dilakukan melalui hubungan kelamin antara seorang
laki laki dengan seorang perempuan tampa ikatan perkawinan dan hal tersebut
sangat dilarang dan merupakan dosa yang amat besar, selain itu perbuatan
itu  juga akan memberikan peluang bagi berbagai perbuatan yang memalukan
lainnya yang akan menghancurkan landasan keluarga yang sangat mendasar, yang
akan mengakibatkan terjadinya banyak perselisihan dan pembunuhan,
menghancurkan nama baik dan harta benda, serta menyebarkan berbagai macam
penyakit baik jasmani maupun rohani.

3.  Dasar-dasar dilarangnya Zina


Ayat-ayat Al-Qur’an dibawah ini merupakan hukum yang menyatakan
secara tegas bahwa islam mengharamkan zina.
1)  An Nur ayat 2
Artinya :
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada
keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman
kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka
disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.”(An-Nur :2).

2)      An-nisa’ ayat 15

Artinya :
“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji (zina), hendaklah
ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian
apabila para saksi itu telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka
(wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai
Allah memberi jalan yang lain kepadanya.” (An-Nisa’ : 15).

3)      Al-isra’ ayat 32

Artinya :
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”
4)      Hadits Nabi SAW :

ِ ‫ اِنَّ َر ُجالً م َِن ْاالَعْ َرا‬:َ‫ْن َخالِ ٍد ْال ُج َهنِيّ اَ َّن ُه َما َقاال‬
‫ب اَ َتى‬ ِ ‫َعنْ اَ ِبى ه َُري َْر َة َو َز ْي ِد ب‬
‫ َو َقا َل‬.‫هللا‬ ِ ‫ب‬ ِ ‫ْت لِى ِب ِك َتا‬
َ ‫ضي‬َ ‫هللا ِاالَّ َق‬ َ ‫ك‬ ُ ‫هللا اَ ْن‬
َ ‫ش ُد‬ ِ ‫ َيا َرس ُْو َل‬:‫هللا ص َف َقا َل‬ ِ ‫َرس ُْو َل‬
‫ َف َقا َل‬.‫هللا َو ا ْئ َذنْ لِى‬
ِ ‫ب‬ ِ ‫ض َب ْي َن َنا ِب ِك َتا‬ِ ‫ َفا ْق‬،‫ َن َع ْم‬:ُ‫آلخ ُر َو ه َُو اَ ْف َق ُه ِم ْنه‬
َ ‫لخصْ ُم ْا‬
َ ‫ْا‬
‫ َو ِا ِّنى‬،ِ‫امْرأَ ِته‬
َ ‫هذا َف َز َنى ِب‬ َ ‫ان َعسِ ْي ًفا َع َلى‬ َ ‫ اِنَّ ا ْبنِى َك‬:‫ َقا َل‬،ْ‫ قُل‬:‫هللا ص‬ ِ ‫َرس ُْو ُل‬
،‫ت اَهْ َل ْالع ِْل ِم‬ ُ ‫ َف َسأ َ ْل‬ .‫ْت ِم ْن ُه ِبمِا َئ ِة َشا ٍة َو َولِ ْي َد ٍة‬ ُ ‫ت اَنَّ َع َلى ا ْبنِى الرَّ جْ َم َفا ْف َتدَ ي‬
ُ ْ‫ا ُ ْخ ِبر‬
.‫ َو اَنَّ َع َلى ام َْرأَ ِة ه َذا الرَّ جْ َم‬،‫َفا َ ْخ َبر ُْونِى اَ َّن َما َع َلى ا ْبنِى َج ْل ُد مِا َئ ٍة َو َت ْغ ِريْبُ َع ٍام‬
‫ ْا َلولِ ْي َدةُ َو ْال َغ َن ُم‬.‫هللا‬
ِ ‫ب‬ ِ ‫ َو الَّذِى َن ْفسِ ى ِب َي ِد ِه َألَ ْقضِ َينَّ َب ْي َن ُك َما ِب ِك َتا‬:‫هللا ص‬ ِ ‫َف َقا َل َرس ُْو ُل‬
‫ َفا ِِن‬،‫اغ ُد َيا أ ُ َنيْسُ ِا َلى ام َْرأَ ِة ه َذا‬
ْ ‫ َو‬.‫ِك َج ْل ُد مِا َئ ٍة َو َت ْغ ِريْبُ َع ٍام‬ َ ‫ َو َع َلى ا ْبن‬.‫َر ٌّد‬
،‫هللا ص‬ ِ ‫ َفا َ َم َر ِب َها َرس ُْو ُل‬،‫ت‬ ْ ‫ َفاعْ َت َر َف‬،‫ َف َغدَا َع َل ْي َها‬ :‫ َقا َل‬.‫ت َفارْ ُج ْم َها‬ْ ‫اعْ َت َر َف‬
1324 : 4 ْ ‫َف ُر ِج َم‬
‫ مسلم‬.‫ت‬
Artinya :
Dari Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid Al-Juhaniy, mereka berkata : Bahwa ada
seorang laki-laki Badui datang kepada Rasulullah SAW seraya berkata, “Ya
Rasulullah, Demi Allah, sungguh aku tidak meminta kepadamu kecuali engkau
memutuskan hukum untukku dengan kitab Allah”. Sedang yang lain berkata (dan
dia lebih pintar dari padanya), “Ya, putuskanlah hukum antara kami berdua ini
menurut kitab Allah, dan ijinkanlah aku (untuk berkata)”. Lalu Rasulullah SAW
menjawab, “Silakan”. Maka orang yang kedua itu berkata, “Sesungguhnya
anakku bekerja pada orang ini, lalu berzina dengan istrinya, sedang aku
diberitahu bahwa anakku itu harus dirajam. Maka aku menebusnya dengan
seratus kambing dan seorang hamba perempuan, lalu aku bertanya kepada
orang-orang ahli ilmu, maka mereka memberi tahu bahwa anakku hanya didera
seratus kali dan diasingkan selama setahun, sedang istri orang ini harus
dirajam”. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Demi Tuhan yang jiwaku di tangan-
Nya, sungguh aku akan putuskan kalian berdua dengan kitab Allah. Hamba
perempuan dan kambing itu kembali kepadamu, sedang anakmu harus didera
seratus kali dan diasingkan selama setahun”. Dan engkau hai Unais, pergilah
ke tempat istri orang ini, dan tanyakan, jika dia mengaku, maka rajamlah dia”.
Abu Hurairah berkata, “Unais kemudian berangkat ke tempat perempuan
tersebut, dan perempuan tersebut mengaku”. Lalu Rasulullah SAW
memerintahkan untuk merajamnya, kemudian ia pun dirajam. [HR. Muslim juz 3,
hal. 1324]

5)  Hukuman dan Syarat Hukuman untuk Pezina


Dalam kitab hadis-hadis seperti shahih Bukhari dan Muslim, banyak sekali
hadis-hadis tentang hukuman yang diperuntukkan bagi para pezina. Di dalam
Islam tidak ada istilah mantan pezina. Karena hukuman bagi para pezina dalam
Islam adalah sangat jelas, seorang pezina yang telah menikah (muhson) lebih
berat dari yang belum menikah (ghairu muhson) yaitu dibunuh dengan cara
dirajam sedangkan bagi orang yang belum menikah dihukum cambuk seratus kali
dan diasingkan selama setahun. Konsekuensinya bagi yang dijatuhi hukuman
rajam adalah kematian sedangkan bagi yang dicambuk, apabila masih dapat
bertahan hidup maka dia telah menjalani pertobatan dan semoga Allah
mengampuni dosa perzinahan di masa lalunya selama si pelaku tidak mengulangi
perbuatannya.

Ada beberapa syarat untuk dapat menerapkan hukum rajam dan hukum-
hukum hudud lainnya, antara lain :
1. Wilayah Hukum Resmi
Hukum rajam dan hukum-hukum syariah lainnya harus diberlakukan
secara resmi terlebih dahulu sebuah wilayah hukum yang resmi menjalankan
hukum Islam. Di dalam wilayah hukum itu harus ada masyarakat yang memeluk
hukum syariah, sadar, paham, mengerti dan tahu persis segala ketentuan dan jenis
hukuman yang berlaku. Ditambahkan lagi mereka setuju dan ridha atas
keberlakuan hukum itu.
2. Adanya Mahkamah Syar'iyah
Pelaksanaan hukum rajam itu hanya boleh dijalankan oleh perangkat
mahkamah syar'iyah yang resmi dan sah. Mahkamah ini hanya boleh dipimpin
oleh qadhi yang ahli di bidang syariah Islam. Qadhi ini harus ditunjuk dan
diangkat secara sah dan resmi oleh negara, bukan sekedar pemimpin non formal.
3. Peristiwa Terjadi di Dalam Wilayah Hukum
Kasus zina dan kasus-kasus jarimah lainnya hanya bisa diproses
hukumnya bila kejadiannya terjadi di dalam wilayah hukum yang sudah
menerapkan syariah Islam. Sebagai ilustrasi, bila ada orang Saudi berzina di
Indonesia, tidak bisa diproses hukumnya di wilayah hukum Kerajaan Saudi
Arabia. Dan sebaliknya, meski berkebangsaan Indonesia (orang Indonesia), tetapi
kalau berzina di wilayah hukum Kerajaan Saudi Arabia, harus dijatuhi hukum
rajam.
4. Kesaksian 4 Orang Atau Pengakuan Sendiri
Untuk bisa diproses di dalam mahkamah syar'iyah, kasus zina itu harus
diajukan ke meja hijau. Hanya ada dua pintu, yaitu lewat kesaksian dan
pengakuan diri sendiri pelaku zina. Bila lewat kesaksian, syaratnya para saksi itu
harus minimal berjumlah 4 orang, apabila saksi itu kurang dari empat maka
persaksian tersebut tidak dapat diterima. Hal ini apabila pembuktian nya itu hanya
berupa saksi semata-mata dab tidak ada bukti-bukti yang lain. Dasarnya adalah
sebagai berikut:
a.  Surah An-Nisa’ ayat 15 “perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi
diantara kamu (yang menyaksikannya). kemudian apabila mereka telah memberi
persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai
mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya”
b. Surah An-Nur ayat 4 ; “dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang
baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi,
Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan
janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka
Itulah orang-orang yang fasik”
c. Surah An-Nur ayat 13 “mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak
mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Olah karena mereka
tidak mendatangkan saksi-saksi Maka mereka Itulah pada sisi Allah orang- orang
yang dusta”
B.   Menuduh Zina (Qadzaf)
1.  Pengertian Qadzaf
Qadzaf dalam arti bahsa adalah ‫ال ر مي بالحج ارة ونحوها‬ artinya melempar
dengan batu dan lainnya.
Jadi dapat diartikan bahwa Qadzf  ialah menuduh orang lain berzina.
Misalnya seseorang mengatakan, “Wahai orang yang berzina,” atau lain
sebagainya yang dari pernyataan tersebut difaham bahwa seseorang telah
menuduh orang lain berzina.
Qadzaf dalam istilah syara’ ada dua macam yaitu:
1)  Qadzaf yang diancam dengan hukuman had
Menuduh orang yang muhshan dengan tuduhan berbuat zina atau dengan
tuduhan yang menghilangkan nasabnya.
2)  Qadzaf yang diancam hukuaman ta’zir
Menuduh dengan tuduhan selain berbuat zina atau selain
menghilangkan nasabnya, baik orang yang dituduh itu muhshan maupun ghair
muhshan.

Dari definisi qadzaf ini, Abdur Rahman Al-Jaziri mengatakan sebagai


berikut:
‫القذ ف عبارة أن يتهم شحص أخر بالزنا صريحا أودال لة‬

Qadzaf adalah suatu ungkapan tentang penuduhan seseorang kepada orang


lain dengan tuduhan zian, baik dengan menggunakan lafaz yang sharih (tegas)
atau secara dilalah (tidak jelas).
2.  Dasar Hukum Larangan Qadzaf
  An Nur : 4
Artinya:              
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina)
dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi maka deralah mereka (yang
menuduh itu ) delapan puluh kali dera dan janganlah kamu terima kesaksian
mereka buat selama-lamanya, dan mereka itulah orang-orang yang fasik”.  (Qs.
An-Nuur: 4).

         An Nur : 23

Artinya :
“Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah
lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la'nat di dunia dan akhirat, dan bagi
mereka azab yang besar.” (QS An-Nuur: 23)

         Hadits Nabi
‫ على‬J‫لم‬JJ‫ه وس‬JJ‫ لما نزل عذ ري قام رسول هللا صلي هللا علي‬:‫ قالت‬,‫عن عائشة رضي هللا عنه‬
‫د‬JJ‫( أخرجه أحم‬. ‫ الحد‬J‫ نزل أمر برجلين وامرأة فضربوا‬ ‫ فلما‬,‫ فذكر ذلك وتال القراَن‬,‫المنبر‬
      )‫واألربعة وأشارإليه البخاري‬
Artinya :
“Dari Aisyah. Ia berkata: Tak kala turun (ayat) pembebasanku. Rasulullah saw
berdiri di atas mimbar, lalu ia sebut yang demikian dan membaca Quran. Maka
tak kala turun dari mimbar ia perintah supaya (didera) dua orang laki-laki dan
seseorang perempuan, lalu dipukul mereka dengan dera”. (Riwayat oleh Ahmad
dan Imam  Empat, dan Bukhari telah menyebutnya dengan isyarat). 
3. Pembuktian Untuk Jarimah Qadzaf
1. Persaksian
Persaksian Jarimah Qadzaf dapat dibuktikan dengan persaksian dan
persyaratan persaksian dalam masalah qadzaf sama dengan persyaratan persaksian
dalam kasus zina.
Bagi orang yang menuduh zina itu dapat mengambil beberapa
kemungkinan, yaitu:
a. Memungkiri tuduhan itu dengan mengajukan persaksian cukup satu orang laki-
laki atau perempuan.
b. Membuktikan bahwa yang dituduh mengakui kebenaran tuduhan dan untuk ini
cukup dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan.
c.  Membuktikan kebenaran tuduhan secara penuh dengan mangajukan empat
orang saksi.
d. Bila yang dituduh itu istrinya dan ia menolak tuduhannya maka suami yang
menuduh itu dapat mengajukan sumpah li’an.
2. Pengakuan
Pengakuan Yakni si penuduh mengakui bahwa telah malakukan tuduhan
zina kepada seseorang. Menurut sebagian ulama, kesaksian terhadap orang yang
melakukan zina harus jelas, seperti masuknya ember ke dalam sumur
(kadukhulid dalwi ilal bi’ri). Ini menunjukkan bahwa jarimah ini sebagai jarimah
yang berat seberat derita yang akan ditimpahkan bagi tertuduh, seandainya
tuduhan itu mengandung kebenaran yang martabat dan harga diri seserang. Para
hakim dalam hal ini dituntut untuk ekstra hati-hati dalam menanganinya, baik
terhadap penuduh maupun tertuduh. Kesalahan berindak dalam menanganinya
akan berakibat sesuatu yang tak terbayangkan.
3. Sumpah
Dengan Sumpah Menurut Imam Syafi’i jarimah qadzaf bisa dibuktikan
dengan sumpah apabila tidak ada saksi dan pengakuan. Caranya adalah orang
yang dituduh (korban) meminta kepada orang menuduh (pelaku) untuk
bersumapah bahwa ia tidak melakukan penuduhan. Apabila penuduh enggan
untuk bersumpah maka jarimah qadzaf bisa dibuktikan dengan keengganannya
untuk sumpah tersebut. Demikian pula sebaliknya, penuduh (pelaku) bisa
meminta kepada orang yang dituduh (korban) bahwa penuduh benar malakukan
penuduhan. Apabila orang yang dituduh enggan melakukan sumpah maka
tuduhan dianggap benar dan penuduh dibebaskan dari hukuman had qadzaf.
Akan tetapi Imam Malik dan Imam Ahmad tidak membenarkan pembuktian
dengan sumpah, sebagaimana yang di kemukakan oleh madzhab Syafi’i.
sebagian ulama Hanafiyah pendapatnya sama dengan madzhab Syafi’i.
4.  Hukuman  Untuk Jarimah Qadzaf
Hukuman untuk jarimah qadzaf ada dua macam, yaitu sebagai berikut.
1. Hukuman Pokok, yaitu jilid atau dera sebanyak-banyaknya delapan puluh kali.
Hukuman ini adalah merupakan hukuman had yang telah ditentukan oleh syara’.
2.  Hukuman Tambahan, yaitu tidak diterima persaksiannya.
Jumlah jilid adalah 80 kali, tidak dikurangi dan tidak ditambah, bila ia
bertobat. Menurut Imam Abu Hanifah tetap tidak dapat diterima. Sedangkan
menurut Imam Ahmad, Imam Syafi’i, Imam Malik dapat diterima kembali
persaksiannya apabila telah tobat.  Perbedaan pendapat ini kembali kepada
perbedaan mereka dalam mengartikan Surat An-nur ayat 4tentang istisna
(eksepsi) apakah istisnanya kembali kepada kata yang terdekat ataukah kembali
kepada seluruhnya.
Di samping itu, menurut Imam Malik bila seseorang malakukan qadzaf
dan minum khamar maka sanksinya cukup satu kali, yaitu delapan puluh kali
jilid. Karena baik qadzaf maupun minum khamar sama-sama diancam dengan
delapan puluh kali jilid. Dan karena sanksi kedua tindak pidana ini memiliki
tujuan yang sama. Sedangkan menurut ketiga Imam lainnya sanksi qadzaf tidak
dapat bergabung dengan sanksi jarimah lainnya, masing-masing berdiri sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Audah, Abdul Qodir, At- Tasyri’ al-jina’i al-Islamiy Muqaranan Bil Qonunil


Wad’iy. Ensiklopedi Hukum Pidana Islam V.

Djazuli, A., Fiqih Jinayah, Jakarta: Raja Garfindo Persada, 1997.

Hanafi, Ahmad, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.

Hassan, A., Terjemah Bulughul-Marom Ibnu Hajar Al-asqolani. Bandung:


Diponegoro, 2002.

http://www.kompasiana.com/sulung/hukuman-cambuk-dan-rajam-harus-
dilaksanakan-bagi-pezina_551275908133114050bc6ce4 (Diakses 12 Maret 2016)

Jazuli, A., Fiqh Jinayat (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), Jakarta:


PT. Raja Grafindo Persada, 2000.

Marsum, Fiqh Jinayat (Hukum Pidana Islam), Yogyakarta: BAG. Penerbitan FH


UII, 1991.

Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika,2005.

Rahman, A., Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah, Jakarta: PT Raja


Grafindo Persada, 2002.

Rusyid, Ibnu, Bidayatul Mujtahid waNihaytul Mugtashid (terjemahan) Iman


Ghazali Said, Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqih Para Mujtahid, Jakarta: Pustaka
Amani, 2007.

 Marsum, Fiqh Jinayat (Hukum Pidana Islam), (Yogyakarta: BAG. Penerbitan FH


UII, 1991), hlm. 2
A. Jazuli, Fiqh Jinayat (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 11
 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993),
hlm. 1
 A Rahman, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002), hlm. 308
 Ibnu Rusyid, Bidayatul Mujtahid waNihaytul Mugtashid (terjemahan) Iman
Ghazali Said, Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqih Para Mujtahid, (Jakarta: Pustaka
Amani, 2007), hlm. 600
 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,2005), hlm.
6-7
 http://www.kompasiana.com/sulung/hukuman-cambuk-dan-rajam-harus-
dilaksanakan-bagi-pezina_551275908133114050bc6ce4
 Ahmad Wardi Muslich, Op.Cit., hlm. 60-61
 A. Hassan. Terjemah Bulughul-Marom Ibnu Hajar Al-asqolani. (Bandung:
Diponegoro,2002), hlm. 561
 Abdul Qodir Audah, At- Tasyri’ al-jina’i al-Islamiy Muqaranan Bil Qonunil
Wad’iy. Ensiklopedi Hukum Pidana Islam V, hlm. 17
 A. Djazuli, Fiqih Jinayah, (Jakarta: Raja Garfindo Persada, 1997), hlm. 68-69

Anda mungkin juga menyukai