Anda di halaman 1dari 8

Larangan berbuat zalim

24 Larangan Berbuat Zalim
24. Larangan Berbuat Zalim
  َ‫الظ ْل َم عَ لى‬ُّ ‫ت‬ ُ ْ‫ يَا عِ بَادِي إِ ِّني حَ رَّ م‬:َ‫ فِ ْيمَا َيرْ ِو ْي ِه عَ نْ رَ ِّب ِه عَ َّز َوجَ َّل أَ َّن ُه َقال‬ ‫ عَ ِن ال َّن ِبيِّ صَ لَّى هللاُ عَ لَ ْي ِه َوسَ لَّ َم‬،ُ‫اري رَ ضِ يَ هللاُ عَ ْنه‬ َ
ِ ‫عَ نْ أ ِبي َذرٍّ ْال ِغ َف‬
‫ يَا عِ بَادِي ُكلُّ ُك ْم جَ ا ِئ ٌع إِالَّ َمنْ َأ ْطعَ مْ ُت ُه‬.‫ َفاسْ َت ْهد ُْونِي أَهْ ِد ُك ْم‬،ُ‫ ضَ ا ٌّل إِالَّ َمنْ هَدَ ْي ُته‬ ‫ يَا عِ بَادِي ُكلُّ ُك ْم‬.‫ َفالَ َت َظالَمُوا‬،ً‫َن ْفسِ ي َوجَ عَ ْل ُت ُه َب ْي َن ُك ْم مُحَ رَّ ما‬
،ً‫الذ ُن ْوبَ جَ ِميْعا‬ ِ ٍ َ‫ يَا عِ بَادِي ُكلُّ ُك ْم ع‬N.‫َفاسْ َت ْط ِعم ُْونِي أَ ْطعِمْ ُك ْم‬
ُّ ‫ يَا عِ بَادِي إِ َّن ُك ْم ُت ْخطِ ُئ ْونَ ِباللَّي ِْل َوال َّنهَار َوأَنا َ أَ ْغفِ ُر‬.‫ار إِالَّ َمنْ َكسَ ْو ُت ُه َفاسْ َت ْكس ُْونِي أَ ْك ُس ُك ْم‬

ِ ‫ يَا عِ بَادِي لَ ْو أَنَّ أَوَّ لَ ُك ْم َوآخِرَ ُك ْم َوإِ ْنسَ ُك ْم َو‬.‫ َولَنْ َتبْلُ ُغوا َن ْفعِي َف َت ْن َفع ُْونِي‬،‫ يَا عِ بَادِي إِ َّن ُك ْم لَنْ َتبْلُ ُغوا ضُرِّ ي َف َتضُرُّ ْونِي‬N،‫َفاسْ َت ْغ ِفر ُْونِي أَ ْغفِرْ َل ُك ْم‬
‫ج َّن ُك ْم‬
‫ح ٍد‬
ِ ‫ب رَ ج ٍُل َوا‬ ِ ‫ج َّن ُك ْم َكا ُنوا عَ لَى أَ ْفجَ ِر َق ْل‬
ِ ‫ يَا عِ بَادِي لَ ْو أَنَّ أَ َّولَ ُك ْم َوآخِرَ ُك ْم َوإِ ْنسَ ُك ْم َو‬.ً‫ح ٍد ِم ْن ُك ْم مَا َزادَ َذلِكَ فِي م ُْلكِي َشيْئا‬ ِ ‫ب رَ ج ٍُل َوا‬ِ ‫َكا ُنوا عَ لَى أَ ْت َقى َق ْل‬
‫ح ٍد َمسْ أَلَ َت ُه مَا‬
ِ ‫ْت ُك َّل َوا‬ ُ ‫ح ٍد َفسَ أَلُ ْونِي َفأَعْ َطي‬ِ ‫ج َّن ُك ْم َقامُوا فِي صَ ِع ْي ٍد َوا‬ ِ ‫ يَا عِ بَادِي َل ْو أَنَّ أَ َّولَ ُك ْم َوآخِرَ ُك ْم َوإِ ْنسَ ُك ْم َو‬.ً‫ِم ْن ُك ْم مَا َن َقصَ َذلِكَ مِنْ م ُْلكِي َشيْئا‬
ُ ُ ِ ‫ْط إِ َذا أُ ْد‬
َ ‫ يَا عِ بَادِي إِ َّنمَا هِيَ أَعَ مَالُ ُك ْم أحْ صِ ْيهَا َل ُك ْم ُث َّم أ ْوفِ ْي ُك ْم إِيَّاهَا َف َمنْ َوجَ دَ َخيْراً َف ْل َيحْ َم ِد‬. َ‫خ َل ْال َبحْ ر‬
‫هللا‬ ُ ‫خي‬
ِ ‫َن َقصَ َذلِكَ ِممَّا عِ ْندِي إِالَّ َكمَا َي ْنقُصُ ْال َم‬
‫و َمنْ َوجَ دَ غَ ْيرَ َذلِكَ َفالَ يَلُ ْومَنَّ إِالَّ َن ْفسَ ه‬.َ
]‫[رواه مسلم‬

Dari Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
meriwayatkan dari Allah ‘azza wa Jalla, sesungguhnya Allah telah berfirman: “Wahai hamba-Ku,
sesungguhnya Aku mengharamkan (berlaku) zhalim atas diri-Ku dan Aku menjadikannya di
antaramu haram, maka janganlah kamu saling menzhalimi. Wahai hamba-Ku, kamu semua sesat
kecuali orang yang telah Kami beri petunjuk, maka hendaklah kamu minta petunjuk kepada-Ku,
pasti Aku memberinya. Kamu semua adalah orang yang lapar, kecuali orang yang Aku beri makan,
maka hendaklah kamu minta makan kepada-Ku, pasti Aku memberinya. Wahai hamba-Ku, kamu
semua asalnya telanjang, kecuali yang telah Aku beri pakaian, maka hendaklah kamu minta
pakaian kepada-Ku, pasti Aku memberinya. Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kamu melakukan
perbuatan dosa di waktu siang dan malam, dan Aku mengampuni dosa-dosa itu semuanya, maka
mintalah ampun kepada-Ku, pasti Aku mengampuni kamu. Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kamu
tidak akan dapat membinasakan Aku dan kamu tak akan dapat memberikan manfaat kepada Aku.
Wahai hamba-Ku, kalau orang-orang terdahulu dan yang terakhir diantaramu, sekalian manusia dan
jin, mereka itu bertaqwa seperti orang yang paling bertaqwa di antaramu, tidak akan menambah
kekuasaan-Ku sedikit pun, jika orang-orang yang terdahulu dan yang terakhir di antaramu, sekalian
manusia dan jin, mereka itu berhati jahat seperti orang yang paling jahat di antara kamu, tidak akan
mengurangi kekuasaan-Ku sedikit pun juga. Wahai hamba-Ku, jika orang-orang terdahulu dan yang
terakhir di antaramu, sekalian manusia dan jin yang tinggal di bumi ini meminta kepada-Ku, lalu Aku
memenuhi seluruh permintaan mereka, tidaklah hal itu mengurangi apa yang ada pada-Ku, kecuali
sebagaimana sebatang jarum yang dimasukkan ke laut. Wahai hamba-Ku, sesungguhnya itu semua
adalah amal perbuatanmu. Aku catat semuanya untukmu, kemudian Kami membalasnya. Maka
siapa yang mendapatkan kebaikan, hendaklah bersyukur kepada Allah dan siapa mendapatkan
selain dari itu, maka janganlah sekali-kali ia menyalahkan kecuali dirinya sendiri”.
[HR. Muslim]
(Hadits seperti ini disebut hadits qudsi, yaitu hadits yang maknanya dari Allah dan redaksinya dari
Rasulullah)

Pelajaran yang terdapat dalam hadits /Mutiara Hadits:


1. Menegakkan keadilan di antara manusia serta haramnya kezaliman di antara mereka
merupakan tujuan dari ajaran Islam yang paling penting.
2. Wajib bagi setiap muslim untuk memudahkan jalan petunjuk dan memintanya kepada Allah
ta’ala.
3. Semua makhluk selalu tergantung kepada Allah dalam mendatangkan kebaikan dan
menolak keburukan terhadap dirinya baik dalam perkara dunia maupun akhirat.
4. Pentingnya istighfar dari perbuatan dosa dan sesungguhnya Allah ta’ala akan
mengampuninya.
5. Lemahnya makhluk dan ketidakmampuan mereka dalam mendatangkan kecelakaan dan
kemanfaatan, apalagi kepada Allah.
6. Wajib bagi setiap mu’min untuk bersyukur kepada Allah ta’ala atas ni’mat dan taufiq-Nya.
7. Sesungguhnya Allah ta’ala menghitung semua perbuatan seorang hamba dan
membalasnya.
8. Dalam hadits terdapat petunjuk untuk mengevaluasi diri (muhasabah) serta penyesalan atas
dosa-dosa.

Penjelasan:
Kalimat “Sesungguhnya Aku mengharamkan (berlaku) zalim atas diri-Ku dan Aku menjadikannya di
antaramu haram”, sebagian ulama mengatakan maksudnya ialah Allah tidak patut dan tidak akan
berbuat zhalim seperti tersebut pada firman-Nya: “Tidak patut bagi Tuhan yang Maha Pemurah
mengambil anak”. (QS. 19:92)
Jadi, zhalim bagi Allah adalah sesuatu yang mustahil. Sebagian lain berpendapat, maksudnya ialah
seseorang tidak boleh meminta kepada Allah untuk menghukum musuhnya atas namanya kecuali
dalam hal yang benar, seperti tersebut dalam firman-Nya dalam Hadits di atas: “Sungguh Aku
mengharamkan diri-Ku untuk berbuat zhalim”. Jadi, Allah tidak akan berbuat zhalim kepada hamba-
Nya. Oleh karena itu, bagaimana orang bisa mempunyai anggapan bahwa Allah berbuat zhalim
kepada hamba-hamba-Nya untuk kepentingan tertentu?
Begitu pula kalimat “janganlah kamu saling menzhalimi” maksudnya bahwa janganlah orang yang
dizhalimi membalas orang yang menzhaliminya.
Dan kalimat “Wahai hamba-Ku, kamu semua sesat kecuali orang yang telah Kami beri petunjuk,
maka hendaklah kamu minta petunjuk kepada-Ku, pasti Aku memberinya”, mengingat betapa kita ini
lemah dan fakir untuk memenuhi kepentingan kita dan untuk melenyapkan gangguan-gangguan
terhadap diri kita kecuali dengan pertolongan Allah semata. Makna ini berpangkal pada pengertian
kalimat: “Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah”. (QS. 18: 39)
Hendaklah orang menyadari bila ia melihat adanya nikmat pada dirinya, maka semua itu dari Allah
dan Allah lah yang memberikan kepadanya. Hendaklah ia juga bersyukur kepada Allah, dan setiap
kali nikmat itu bertambah, hendaklah ia bertambah juga dalam memuji dan bersyukur kepada Allah.
Kalimat “maka hendaklah kamu minta petunjuk kepada-Ku, pasti Aku memberinya” yaitu mintalah
petunjuk kepada-Ku, niscaya Aku memberi petunjuk kepadamu. Kalimat ini hendaknya membuat
hamba menyadari bahwa seharusnyalah ia meminta hidayah kepada Tuhannya, sehingga Dia
memberinya hidayah. Sekiranya dia diberi hidayah sebelum meminta, barangkali dia akan berkata:
“Semua yang aku dapat ini adalah karena pengetahuan yang aku miliki”.
Begitu pula kalimat “kamu semua adalah orang yang lapar, kecuali orang yang Aku beri makan,
maka hendaklah kamu minta makan kepada-Ku, pasti Aku memberinya”, maksudnya ialah Allah
menciptakan semua makhluk-Nya berkebutuhan kepada makanan, setiap orang yang makan
niscaya akan lapar kembali sampai Allah memberinya makan dengan mendatangkan rezeki
kepadanya, menyiapkan alat-alat yang diperlukannya untuk dapat makan. Oleh karena itu, orang
yang kaya jangan beranggapan bahwa rezeki yang ada di tangannya dan makanan yang disuapkan
ke mulutnya diberikan kepadanya oleh selain Allah. Hadits ini juga mengandung adab kesopanan
berperilaku kepada orang fakir. Seolah-olah Allah berfirman: “Janganlah kamu meminta makanan
kepada selain Aku, karena orang-orang yang kamu mintai itu mendapatkan makanan dari Aku. Oleh
karena itu, hendaklah kamu minta makan kepada-Ku, niscaya Aku akan memberikannya kepada
kamu”. Begitu juga dengan kalimat selanjutnya.
Kalimat “sesungguhnya kamu melakukan perbuatan dosa di waktu siang dan malam”. Kalimat
semacam ini merupakan nada celaan yang seharusnya setiap mukmin malu terhadap celaan ini.
Demikian pula bahwa sesungguhnya Allah menciptakan malam sebagai waktu untuk berbuat
ketaatan dan menyiapkan diri berbuat ikhlas, karena pada malam hari itulah pada umumnya orang
beramal jauh dari sifat riya’ dan nifaq. Oleh karena itu, tidaklah seorang mukmin merasa malu bila
tidak menggunakan waktu malam hari untuk beramal karena pada waktu tersebut umumnya orang
beramal jauh dari sifat riya’ dan nifaq. Tidaklah pula seorang mukmin merasa malu bila tidak
menggunakan malam dan siang untuk beramal karena kedua waktu itu diciptakan menjadi saksi
bagi manusia sehingga setiap orang yang berakal sepatutnya taat kepada Allah dan tidak tolong-
menolong dalam perbuatan menyalahi perintah Allah.
Bagaimana seorang mukmin patut berbuat dosa terang-terangan atau tersembunyi padahal Allah
telah menyatakan “Aku mengampuni semua dosa”. Disebutkannya dengan kata “semua dosa”
adalah karena hal itu dinyatakan sebelum adanya perintah kepada kita untuk memohon ampun,
agar tidak seorang pun merasa putus asa dan pengampunan Allah karena dosa yang dilakukannya
sudah banyak.
Kalimat “kalau orang-orang terdahulu dan yang terakhir diantaramu, sekalian manusia dan jin,
mereka itu bertaqwa seperti orang yang paling bertaqwa di antaramu, tidak akan menambah
kekuasaan-Ku sedikit pun” menunjukkan bahwa ketaqwaan seseorang kepada Allah itu adalah
rahmat bagi mereka dan manfaatnya untuk diri mereka sendiri. Hal itu tidak menambah kekuasaan
Allah sedikit pun.
Kalimat “jika orang-orang terdahulu dan yang terakhir di antaramu, sekalian manusia dan jin yang
tinggal di bumi ini meminta kepada-Ku, lalu Aku memenuhi seluruh permintaan mereka, tidaklah hal
itu mengurangi apa yang ada pada-Ku, kecuali sebagaimana sebatang jarum yang dimasukkan ke
laut”, berisikan peringatan kepada segenap makhluk agar mereka banyak-banyak meminta dan
tidak seorang pun membatasi dirinya dalam meminta dan tidak seorang pun membatasi dirinya
dalam meminta karena milik Allah tidak akan berkurang sedikit pun, perbendaharaan-Nya tidak akan
habis, sehingga tidak ada seorang pun patut beranggapan bahwa apa yang ada di sisi Allah menjadi
berkurang karena diberikan kepada hamba-Nya, sebagaimana disabdakan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pada hadits lain: “Tangan Allah itu penuh, tidak menjadi berkurang perbendaraan
yang dikeluarkan sepanjang malam dan siang. Tidakkah engkau pikirkan apa yang telah Allah
belanjakan sejak mula mencipta langit dan bumi. Sesungguhnya Allah tidak pernah kehabisan apa
yang ada di tangan kanannya”.
Rahasia dari perkataan ini ialah bahwa kekuasaan-Nya mampu mencipta selama-lamanya, sama
sekali Dia tidak patut disentuh oleh kelemahan dan kekurangan. Segala kemungkinan senantiasa
tidak terbatas atau terhenti. Kalimat “kecuali sebagaimana sebatang jarum yang dimasukkan ke laut”
ini adalah kalimat perumpamaan untuk memudahkan memahami persoalan tersebut dengan cara
mengemukakan hal yang dapat kita saksikan dengan nyata. Maksudnya ialah kekayaan yang ada di
tangan Allah itu sedikit pun tidak akan berkurang.
Kalimat “sesungguhnya itu semua adalah amal perbuatanmu. Aku catat semuanya untukmu,
kemudian Kami membalasnya. Maka siapa yang mendapatkan kebaikan, hendaklah bersyukur
kepada Allah” maksudnya janganlah orang beranggapan bahwa ketaatan dan ibadahnya
merupakan hasil usahanya sendiri, tetapi hendaklah ia menyadari bahwa hal ini merupakan
pertolongan dari Allah dan karena itu hendaklah ia bersyukur kepada Allah.
Kalimat “dan siapa mendapatkan selain dari itu”. Di sini tidak digunakan kalimat “mendapati
kejahatan (keburukan)”, maksudnya siapa yang menemukan sesuatu yang tidak baik, maka
hendaklah ia mencela dirinya sendiri. Penggunaan kata penegasan dengan “janganlah sekali-kali”
merupakan peringatan agar jangan sampai terlintas di dalam hati orang yang mendapati sesuatu
yang tidak baik ada keinginan menyalahkan orang lain, tetapi hendaklah ia menyalahkan dirinya
sendiri.

Takhrij Hadits

Hadits di atas derajadnya shahih, diriwayatkan oleh Imam Muslim dari sahabat Abu Dzar Al-Ghifari
Radhiallahu anhu. Hadits di atas tergolong hadits Qudsi, yaitu hadits yang Nabi Muhammad Saw
menyandarkannya kepada Allah Swt.   Perbedaannya dengan Al-Qur’an, kalau Al-Qur’an itu
kalamullah, seluruh teks kalimat dan maknanya berasal dari Allah Swt, sedangkan Hadits Qudsi teks
dan susunan redaksi kalimatnya dari Nabi Saw sedangkan makna pengertian pokoknya dari Allah
Swt. Sedangkan antara Hadits Qudsi dan Hadits Nabi tidak ada perbedaan pokok, kecuali Hadits
Qudsi jelas-jelas Nabi menyebutkan sandaran sanadnya dari Allah Swt.

Penjelasan

Hadits di atas secara tegas menyebutkan larangan perbuatan zalim. Bahkan Allah Swt sendiri  telah
mengharamkan perbuatan zalim untuk diri-Nya sendiri dan tentu mengharamkan perbuatan
kezaliman dilakukan oleh semua manusia pada umumnya.

Firman Allah dalam Al-Qur’an :

"KeputusanKu itu tidak dapat diubah atau ditukar ganti, dan Aku tidak sekali-kali berlaku zalim
kepada hambaKu" ( QS : Al-Qaf-29).

Keterangan di atas menunjukkan bahwa mustahil Allah Swt menzalimi hamba-hamba-Nya. Kalaulah
ada seseorang hamba terkena kezaliman, itu adalah karena ulah manusia sendiri, seperti firman-
Nya di dalam Al-Qur’an : Sesungguhnya Allah tidak menganiaya manusia sedikitpun, akan tetapi
manusia jualah yang menganiaya diri mereka sendiri. (QS : Yunus-44)

Bahkan dalam ayat lain Allah justru menjanjikan akan memberi pahala yang besar kepada hamba-
Nya yang melakukan amal kebajikan, walau hanya sebesar biji zarrah : Sesungguhnya Allah tidak
sekali-kali menganiaya (seseorang) sekalipun seberat zarah (debu). Dan kalaulah (amal yang
seberat zarrah) itu amal kebajikan, nescaya akan menggandakannya dan akan memberi, dari
sisiNya, pahala yang amat besar. ( QS : an-Nisa-40)

Makna Zalim
   
Perbuatan zalim  secara istilah mengandung pengertian “berbuat aniaya/mencelakakan terhadap diri
sendiri atau orang lain dengan cara-cara bathil yang melanggar syariat Agama Islam”.

Zalim merupakan perbuatan yang di larang oleh Allah SWT dan termasuk dari salah satu dosa-dosa
besar. Manusia yang berbuat zalim akan mendapatkan balasan di dunia dan siksa yang pedih di
akhirat kelak. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al Qur’an Surah Asy-Syura-42 :  
“Sesungguhnya dosa besar itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan
melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih“. 

Rasulullah menegaskan (seperti ditulis dalam kitab Bukhari dan Muslim)  dari Abdullah bin Umar
r.a,  Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya kezaliman itu merupakan kegelapan di hari akhirat”.

Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan hadits bahwa seseorang pelaku kezaliman akan mendapat
siksa dan adzab dari Allah Swt.  Dari Abu Musa al-Asy’ari, Rasulullah  Saw  bersabda:
“Sesungguhnya Allah menangguhkan(azab) bagi orang yang zalim, tetapi apabila Dia menyiksanya,
maka Dia tidak akan melepaskannya. Kemudian baginda Rasulullah membaca firman Allah yang
bermaksud;”Dan demikianlah azab Tuhanmu,apabila ia menimpa (penduduk) negeri-negeri yang
berlaku zalim.Sesungguhnya azab-Nya itu tidak terperi sakitnya, lagi amat keras
serangannya.”( QS : Hud-102)
   
Manusia menzalimi diri sendiri dan orang lain

Perbuatan zalim pada dasarnya terbagi dua, yaitu perbuatan zalim pada diri sendiri, dan perbuatan
zalim kepada orang lain. Perbuatan zalim pada diri sendiri / menzalimi diri sendiri ada beberapa
bentuk, yaitu syirik ( menyekutukan Allah) dan perbuatan maksiat, serta perbuatan mengandung
dosa-dosa yang pada  intinya merusakkan dirinya sendiri.
Perhatikanlah peringatan Allah dalam Al-Qur’an Surah Lukman

Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, semasa ia memberi nasihat kepadanya:"
Wahai anak kesayanganku, janganlah engkau mempersekutukan Allah (dengan sesuatu yang lain),
sesungguhnya perbuatan syirik itu adalah satu kezaliman yang besar." (QS : Luqman-13)
Sedangkan perbuatan menzalimi orang lain, yaitu perbuatan manusia yang menyakiti perasaan atau
fisik orang lain, melakukan aniaya, merugikan dan  tidak menunaikan hak orang lain yang wajib
ditunaikan.

Allah Swt memberikan banyak penjelasan dan mengancam perbuatan zalim dengan siksa dan
azab : Allah SWT tidak suka terhadap perbuatan zalim, perhatikan firman-Nya berikut ini : “Adapun
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, maka Allah akan
memberikan kepada mereka dengan sempurna pahala amalan-amalan mereka; dan Allah tidak
menyukai orang-orang yang zalim”. (QS Ali Imran - 57).

Kezaliman terhadap orang lain ini bisa terjadi atas seseorang kepada orang lain, bapak terhadap
anaknya ( atau sebaliknya), pemimpin kepada anak buahnya ( atau sebaliknya), majikan kepada
buruhnya (atau sebaliknya) dan penguasa-pemerintah kepada rakyatnya (atau sebaliknya).

Dalam konteks kekuasaan pemerintahan,  Abu Utsman berkata: “Nasihatilah penguasa,


perbanyakkan mendo’akan dengan kebaikan dan kebenaran bagi mereka dengan ucapan,
perbuatan dan hukum. Kerana apabila mereka baik, rakyat akan baik. Janganlah kamu mendo’akan
keburukkan dan laknat bagi penguasa, kerana keburukkan mereka akan bertambah dan bertambah
pula musibah bagi umat Islam. Do’akanlah mereka supaya bertaubat dan meninggalkan keburukkan
sehingga musibah hilang dari orang-orang beriman.” ( al-Baihaqi, Su’abul Iman, 6/26, penjelasan
hadis no. 7401)

Kezaliman penguasa-pemerintah inilah yang pada masa kini mesti harus menjadi perhatian kaum
Muslimin pada umumnya. Karena Kezaliman yang dilakukan penguasa-pemerintah ini akan bersifat
sistemik dan berdampak kepada kerusakan yang meluas dan terstruktur.
Menghentikan kezaliman penguasa inilah yang mesti diupayakan oleh kaum muslimin pada
umumnya untuk menghilangkan segala bentuk kemungkaran, dengan berbagai cara, sebagaimana
hadits Rasulullah : ”Daripada Abu Sa’iid Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, katanya: ‘Aku telah
mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: “Barangsiapa di kalangan kamu melihat kemungkaran
hendaklah mengubah dengan tangannya, jika tidak mampu, maka dengan lidahnya dan jika tidak
mampu, maka dengan hatinya dan yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.” (HR Muslim:
dalam kitab Al-Iman, hadith no.49).

Karena itu, setiap kegiatan yang dimaksudkan untuk  menghilangkan kezaliman penguasa
merupakan salah satu wujud aktivitas  yang sangat penting. Agar kaum muslimin terbebas dari
belenggu kezaliman kesengsaraan dan  ketertindasan penguasa-pemerintah.

Anda mungkin juga menyukai