Anda di halaman 1dari 18

Makalah Hukum dan Etika Komunikasi

ASPEK HUKUM PERIZINAN

DISUSUN
O
L
E
H

NAMA : RISKI NURVALAH


NIM : 3012019012
SEMESTER : IV
UNIT : 2 (Dua)

DOSEN PEMBIMBING
RUSLI, S.Sos. MA

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) ZAWIYAH COT KALA LANGSA
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya bagi Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang.
Berkat limpahan karunia nikmat-Nya Penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “ASPEK HUKUM PERIZINAN” dengan lancar. Penyusunan makalah ini
dalam rangka memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum dan Etika Komunikasi yang
dibimbing oleh Bapak RUSLI, S.Sos. MA.
Dalam proses penyusunannya tak lepas dari bantuan, arahan dan masukan dari
berbagai pihak. Untuk itu saya ucapkan banyak terima kasih atas segala partisipasinya
dalam menyelesaikan makalah ini.
Demikian apa yang dapat saya sampaikan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
untuk masyarakat umumnya, dan untuk saya sendiri khususnya.

Langsa, April 2021


Penulis,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................. 3
A. Kelembagaan ....................................................................................... 2
B. Mekanisme Perizinan ........................................................................... 3
C. Biaya Penyelenggaraan Penyiaran ....................................................... 9
D. Sistem Stasiun Jaringan ....................................................................... 9
E. Perizinan Era Digitalisasi .................................................................... 12
BAB III KESIMPULAN ................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Regulasi Hukum Penyiaran di Indonesia berpangkal pada Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran). Pasal 33 ayat (1) mengatur secara
tegas bahwa:
“Sebelum menyelenggarakan kegiatannya lembaga penyiaran wajib memperoleh izin
penyelenggaraan penyiaran.”
Setiap orang atau pihak yang hendak menyelenggarakan penyiaran, wajib terlebih
dahulu memiliki Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP). Bilamana terdapat lembaga
penyiaran yang mengudara tanpa megantongi IPP, maka yang bersangkutan telah
melanggar UU Penyiaran dan karenanya aparat penegak hukum berkewajiban
melakukan tindakan hukum dan bagi pelaku tindak pidana penyiaran tersebut dapat
dikenakan hukuman pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana
dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk penyiaran televisi.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apa yang di maksud dengan kelembagaan ?
2. Bagaimanakah mekanisme perizinan ?
3. Bagaiamana biaya penyelenggaraan penyiaran ?
4. bagaiamanakah sistem stasiun jaringan ?
5. bagaiamanakah perizinan di era digitalisasi ?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kelembagaan
Berdasarkan UU Penyiaran, diketahui bahwa jasa penyiaran yang diregulasi hanya
penyiaran radio dan penyiaran televisi untuk menyelenggarakan jasa penyiaran tersebut,
UU penyiaran juga telah membagi lembaga penyiaran dalam empat jenis yaitu: lembaga
penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas dan
lembaga penyiaran berlangganan.
Lembaga penyiaran publik adalah lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum
yang didirikan oleh negara, bersifat independen, Netral, tidak komersial, dan berfungsi
memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat. LPP ini terdiri atas Radio
Republik Indonesia dan Televisi Republik Indonesia yang Stasiun pusat penyiarannya
berada di ibu kota negara Republik Indonesia. Di daerah provinsi, Kabupaten, atau kota
dapat didirikan lembaga penyiaran publik lokal, dengan catatan tidak atau belum
dilayani oleh RI maupun TVRI setempat. LPP lokal merupakan lembaga penyiaran
yang berbentuk badan hukum (berupa peraturan daerah) yang didirikan oleh pemerintah
daerah dengan persetujuan dewan perwakilan rakyat daerah atas usul masyarakat. selain
itu, ketersediaan kanal alokasi frekuensi serta sumber daya manusia yang dapat
menjamin stabilitas operasional adalah persyaratan lain bagi LPP lokal. lembaga
penyiaran publik di tingkat pusat diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia dan lembaga penyiaran pabrik-pabrik di tingkat daerah diawasi oleh Dewan
Perwakilan. Daerah sumber pembiayaan lembaga penyiaran publik berasal dari iuran
penyiaran. Anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) atau anggaran pendapatan
dan belanja daerah (APBD) , sumbangan masyarakat, siaran iklan, dan usaha lain yang
sah yang terkait dengan penyelenggaraan penyiaran. Setiap akhir tahun anggaran,
lembaga penyiaran publik wajib membuat laporan keuangan yang diaudit oleh akuntan
publik dan hasilnya diumumkan melalui media massa.
Lembaga penyiaran swasta (LPS) adalah lembaga penyiaran yang bersifat
komersial berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya
menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau televisi. Lembaga penyiaran swasta jasa
penyiaran radio dan jasa penyiaran televisi masing-masing hanya dapat

2
menyelenggarakan satu siaran dengan satu saluran siaran pada satu cukupan wilayah
siaran. LPS adalah lembaga yang bersifat profit oriented atau bisnis murni, dengan
modal awal dan pemegang sahamnya harus bersumber dari modal dalam negeri.
Lembaga penyiaran komunitas (LPK) adalah lembaga penyiaran yang berbentuk
badan hukum Indonesia, didirikan oleh komunitas tertentu, bersifat independen, dan
tidak komersial, dengan daya Pancar rendah, luas jangkauan wilayah terbatas, serta
untuk melayani kepentingan komunitasnya. LPK diselenggarakan tidak untuk mencari
laba atau keuntungan atau tidak merupakan bagian perusahaan yang mencari
keuntungan semata. juga dimaksudkan untuk mendidik dan memajukan masyarakat
dalam mencapai kesejahteraan, dengan melaksanakan program acara yang meliputi
budaya, pendidikan, dan informasi yang menggambarkan identitas bangsa. LPK
merupakan komunitas nonpartisan yang keberadaan organisasinya tidak mewakili
organisasi atau lembaga asing serta bukan komunitas internasional, tidak terkait dengan
organisasi terlarang dan tidak untuk kepentingan propaganda bagi kelompok atau
golongan tertentu. Dari sisi pembiayaan LPK dirikan atas biaya yang diperoleh dari
kontribusi komunitas tertentu dan menjadi milik komunitas tersebut, selain itu juga
dapat memperoleh sumber pembiayaan dari sumbangan, hibah, sponsor, dan sumber
lain yang sah dan tidak mengikat.
Lembaga penyiaran berlangganan (LPB) adalah penyelenggara penyiaran yang
bersifat komersial berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya
menyelenggarakan jasa penyiaran berlangganan. LPB diselenggarakan berdasarkan
klasifikasi penyiaran berlangganan melalui satelit, penyiaran berlangganan melalui
kabel, dan penyiaran berlangganan melalui teresterial. Dalam menjalankan siaran LPB
harus mempunyai izin atas setiap program siaran dalam setiap saluran melakukan
sensor internal terhadap semua isi siaran yang akan disiarkan atau disalurkan
menyediakan paling sedikit 10% dari kapasitas saluran untuk menyalurkan program
dari lembaga penyiaran publik dan lembaga penyiaran swasta.

B. Mekanisme Perizinan
Setiap lembaga penyiaran wajib terlebih dahulu memiliki izin penyelenggaraan
penyiaran Sebelum melaksanakan aktivitas penyiaran. Untuk itu terdapat beberapa
tahapan yang harus dilalui untuk memperoleh izin tersebut. Namun sebelum melakukan

3
proses perizinan, harus diperiksa terlebih dahulu apakah terdapat peluang untuk
menyelenggarakan lembaga penyiaran. Untuk mengetahui peluang tersebut, adalah
kewajiban menteri komunikasi dan Informatika untuk mengungkapkan secara terbuka
melalui media cetak dan atau elektronik peluang penyelenggaraan penyiaran LPS dan
LPB melalui teresterial secara periodik setiap lima tahun sekali untuk jasa penyiaran
radio dan 10 tahun sekali untuk jasa penyiaran televisi. Peluang penyelenggara
penyerahan dapat dibuka di luar periode tersebut berdasarkan pertimbangan aspek
ekonomi atau perkembangan teknologi, serta ketersediaan kenal spektrum frekuensi.
Sebagai catatan, sejak undang-undang Nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran dan
dikuatkan dengan PP nomor 11 tahun 2005 disahkan hingga buku di ini diterbitkan,
belum sekalipun pemerintah menyampaikan pengumuman tersebut diakibatkan masih
adanya permasalahan yang belum tuntas dalam menetapkan proses perizinan, terutama
akibat tarik ulang kepentingan antara kementerian dan Komisi penyiaran Indonesia
(KPI). Namun permasalahan tersebut lambat Laut telah berhasil diselesaikan dengan
lahirnya kesepakatan-kesepakatan antar kebudayaannya, terutama setelah menteri
komunikasi dan Informatika Menetapkan peraturan menteri nomor 28 tahun 2008
tentang tata cara dan persyaratan perizinan penyelenggaraan penyiaran.

Tahap pertama: pembentukan badan hukum


Setelah melihat peluang untuk pendirian lembaga penyiaran telah tersedia, maka
Langkah kedua bagi para pihak yang bermaksud mendirikan lembaga penyiaran adalah
membentuk badan hukum. Bagi LPP lokal, badan hukum yang berbentuk adalah
peraturan daerah yang dibuat oleh pemerintah daerah bersama dengan Dewan
Perwakilan Rakyat( DPR). Dasar ketetapan ini diberlakukan karena RPP lokal
merupakan lembaga penyiaran inisiatif publik dan menjadi milik publik yang dibiayai
oleh anggaran pendapatan belanja daerah (APBD). Bagi LPS dan LPB, badan
hukumnya harus berbentuk perseroan terbatas (PT) yang dibuat dengan akte notaris dan
disahkan oleh Departemen Hukum dan HAM. Hal terpenting dalam pembuatan akta
notaris tersebut adalah adalah badan hukum lembaga penyiaran merupakan badan
hukum tunggal, Sehingga dalam waktu harus disertakan bahwa maksud dan tujuan
pendirian Perseroan. Khusus bagi LPK badan hukumnya dapat berupa Yayasan
koperasi atau organisasi, atau perkumpulan yang telah di terdaftar secara resmi pada

4
pemerintahan setempat. Selain itu, harus disertai dengan keterangan berupa data dan
fotocopy kartu tanda pengenal paling sedikit 250 orang anggota komunitas yang
mendirikan LPK tersebut. Hal terpenting dalam LPK ini adalah komunitas yang
dimaksud dalam penyiaran merupakan komunitas berdasarkan "demokrasi" atau
bersifat lokalisasi bukan bersifat ideologis yang jarak ruang lingkup aktivitas anggota
komunitas sekitar 2,5 KM sesuai jarak terjauh layanan yang diizinkan.

Tahap Kedua: Membuat Permohonan dan Studi Kelayakan


Permohonan dibuat dalam dua rangkap, yang masing-masing permohonan ditujukan
kepada Menteri Komunikasi dan Informatika dan Ketua Komisi Penyiaran indonesia
(KPI). Permohonan tersebut dilengkapi dengan proposal Studi: Kelayakan yang dibuat
pemohon dengan menguraikan berbagai hal, antara lain latar belakang, maksud dan
tujuan, pendirian visi, misi, dan format siaran yang akan diselenggarakan, susunan dan
nama pengurus penyelenggara penyiaran, rencana kerja, aspek permodalan, proyeksi
pendapatan dan pendapatan lain yang sah terkait dengan penyelenggaraan penyiaran,
struktur organisasi mulai dari unit kerja tertinggi sampai unit kerja terendah, termasuk
uraian tata kerja yang melekat pada setiap unit kerja, program siaran yang terdiri dari
uraian tentang waktu siaran, sumber materi mata acara siaran kalayak sasaran, dan daya
saing, persentase mata acara siaran keseluruhan dan rincian siaran musik, serta pola
acara siaran harian dan mingguan, serta data teknik penyiaran. Permohonan dan
proposal disampaikan di sekretariat KPI daerah setempat.

Tahap ketiga: proses verifikasi


Permohonan yang diterima oleh KPID selanjutnya dibagi dalam dua bentuk verifikasi,
yaitu, verifikasi administratif dan verifikasi program siaran. KPID akan menyerahkan
proses verifikasi administrasi kepada pemerintah, yang bilamana diperlukan dapat
meminta bantuan kepada pemerintah untuk melaksanakan verifikasi administratif.
Verifikasi administratif dilakukan terhadap kelengkapan badan hukum studi kelayakan,
dan teknis. Sementara pemerintah melakukan verifikasi administratif KPID yang akan
melakukan verifikasi program siaran yang meliputi kelayakan program siaran
klasifikasi mata acara siaran, sasaran khalayak serta kelembagaan dalam pelaksanaan
program siaran yang diverfikasi berdasarkan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standart

5
Program Siaran (P3SPS). Baik verifikasi yang dilakukan pemerintah maupun verifikasi
yang dilakukan KPID berlangsung paling lama 30 (tiga puluh) hari, namun dapat
diperpanjang selama 15 (lima belas) hari jika terdapat hal-hal yang masih perlu
diperbaiki. Jika verifikasi oleh keduanya dinyatakan diterima maka proses dapat
dilanjutkan, namun bila dinyatakan ditolak maka permohonan akan dikembalikan
kepada pemohon.

Tahap Keempat: Proses Evaluasi Dengar Pendapat


Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) adalah proses dengar pendapat di hadapan publik
(public hearing) antara pemohon dan masyarakat sekitar yang menjadi target pemirsa
atau pendengar yang dilaksanakan oleh KPID. Proses EDP hanya dapat dilaksanakan
jika proses verifikasi administratif dan program siaran telah dilaksanakan dan bahwa
permohonan telah dinyatakan dapat diteruskan oleh pemerintah daerah dan KPID.
Dalam EDP tersebut, pemohon menyampaikan kepada publik berbagai hal terkait
rencana pendirian lembaga penyiaran, di antaranya visi dan misi, rencana program
siaran, rencana usaha dan kepemilikan modal sumber daya manusia, rencana bidang
teknis, dan kelengkapan administrasi lainnya. Publik akan menilai dan memberikan
respons yang akan menjadi bahan penilaian untuk memperoleh Rekomendasi
Kelayakan dari KPID.

Tahap kelima : Rekomendasi kelayakan


KPID akan melaksanakan rapat internal untuk membawa hasil EDPuntuk menetapkan
apakah dapat memberi surat rekomendasi kelayakan kepada pemohon atau tidak, jika
tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh KPID, terutama bila publik memberikan
respon negatif atau bahkan menolak rencana keberadaan lembaga penyiaran pemohon,
maka KPID akan menyampaikan bahwa Permohonan ditolak. Penolakan ini
memberikan konsekuensi bahwa badan hukum yang mengajukan permohonan tidak
dapat kembali mengajukan permohonan jika pihak-pihak yang terlibat masih
berkeinginan mengajukan permohonan, masih dapat dimungkinkan dengan badan
hukum baru dan memulai prosesnya kembali dari awal KPI wajib memberitahukan
secara tertulis kepada menteri kominfo tentang pemohon yang dinyatakan tidak lagi
menyelenggarakan penyiaran dengan melampirkan hasil evaluasi yang telah dilakukan

6
oleh KPI. Jika KPID menilai bahwa pemohon telah memenuhi syarat dari publik
memberikan respon yang baik, maka KPID akan menerbitkan surat rekomendasi
kelayakan yang ditunjukan kepada KPI pusat (KPIP) dan menteri komunikasi dan
Informatika (kominfo). Rekomendasi tersebut tidak diperuntukan bagi pemohon dan
tidak dapat dijadikan sebagai "izin" .

Tahap keenam : proses forum rapat bersama


Setelah KPID menerbitkan surat rekomendasi, maka menteri kominfo wajib
menyelenggarakan forum rapat bersama (FRB). Dalam proses perizinan penyelenggara
untuk LPS, LPB dan LPK, menteri dalam jangka waktu panjang lambat 15 hari kerja
dan 7 hari bagi LPP lokal, terhitung sejak diterimanya rekomendasi kelayakan
penyelenggaraan penyiaran dari KPI dengan persyaratan yang sudah lengkap
mengundang KPI dan instansi terkait untuk mengadakan FRB.
FRB dilaksanakan secara tertutup, dipimpin oleh menteri kominfo atau yang mewakili
serta didampingi oleh KPI. Agenda utama dalam FRB adalah memberikan persetujuan
atau penolakan permohonan izin penyelenggaraan penyiaran. Apabila pada satu wilayah
layanan siaran jumlah rekomendasi kelayakan yang disampaikan oleh KPI kepada
menteri kominfo tidak melebihi jumlah frekuensi yang ditetapkan dalam peluang
penyiaran, serta terpenuhinya persyaratan administrasi, program siaran, dan data teknik
penyiaran, makan FRB menyetujui pemberian izin penyelenggaraan penyiaran ( IPP).
Menteri kominfo akan Menyampaikan hasil FRB berupa IPP bagi pemohon yang
dinyatakan memenuhi persyaratan atau bagi yang lolos dalam Tim seleksi, demikian
pula, menteri kominfo akan menerbitkan surat penolakan permohonan IPP bagi
pemohon yang permohonan izin nya tidak disetujui dalam FRB, paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja setelah keputusan FRB. Surat penolakan tersebut disampaikan oleh
menteri kominfo kepada pemohon melalui KPI.

Tahap Ketujuh: Masa Uji Coba Siaran


Setelah FRB, Menteri Kominfo akan menerbitkan izin Prinsip Penyelenggaraan
Penyiaran (IPP Prinsip) bagi Pemohon yang permohonan izin nya disetujui dalam
FRB, paling lama 30 (tiga puluh) han kerja setelah keputusan FRB. IPP Prinsip ini
dapat digunakan oleh pemohon sebagai dokumen dan bukti untuk pengurusan izin-izin

7
atau rekomendasi administratif, sesuai dengan peraturan yang beriaku di deerah seperti
Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Izin Gangguan (HO), Surat Izin Tempat Usaha
(SITU) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP) dalam memenuhi kelengkapan persyaratan
IPP Tetap. Selain itu, IPP Prinsip merupakan dokumen dalam pelaksanaan
Pembangunan infrastruktur, untuk pengurusan proses penetapan frekuensi berupa Izin
Stasiun Radio (ISR), untuk evaluasi penyelenggaraan uji coba siaran.
Lembaga Penyiaran mengajukan permohonan tertulis kepada Menteri Kominfo untuk
dilakukan evaluasi atas penyelenggaraan uji coba siaran selambat-lambatnya 2 (dua)
bulan sebelum masa uji coba berakhir. Selama evaluasi uji coba siaran, LP
menyelenggarakan siaran sesuai usulan program siaran dan teknik penyiaran dengan
durasi paling sedikit 6 (enam) jam setiap hari untuk jasa penyiaran radio dan paling
sedikit (satu) jam setiap hari untuk jasa penyiaran televisi.

Tahap Kedelapan: Penetapan Izin Penyelenggaraan Penyiaran


Jika Lembaga Penyiaran dinyatakan lulus oleh Tim Evaluasi Uji Coba Siaran maka
Lembaga Penyiaran akan diberikan Izin Tetap Penyelenggaraan Penyiaran (IPP Tetap)
dengan terlebih dahulu membayar biaya IPP. Setelah pembayaran tersebut Menteri
Kominfo akan menerbitkan keputusan izin tetap penyelenggaraan penyiaran paling
lambat 14 (empar belas) hari kerja setelah uji coba siaran dinyatakan tulus. Izin Tetap
Penyelenggaraan Penyiaran yang berlaku 5 (lima) tahun untuk Jasa penyiaran radio dan
10 (tahun) untuk jasa penyiaran televisi dan dapat diperpanjang. Izin Tetap
Penyelenggaraan Penyiaran disampatkan kepada Pemohon melalui KPI. Sejak
diterbitkannya IPP Tetap tersebut, maka Lembaga Penyiaran secara resmi dan sah telah
dapat melaksanakan kegiatan penyiarannya.

Tahap Kesembilan: Penyelenggaraan Penyiaran dan Perpanjangan Izin


Penyelenggaraan Penyiaran
Setelah resmi dan sah untuk melaksanakan kegiatan penyiaran , Lembaga Penyiaran
wajib melaksanakan secara konsisten hal-hal yang telah disetujui selama masa proses
Pengajuan perizinan dan masa uji coba siaran. Bilamana terjadi perubahan dalam
perjalanannya, misalnya struktur permodalan, pemegang saham, direksi atau program
siaran, Lembaga Penyiaran wajib menyampaikan permohonan kepada Menteri Kominfo

8
dan KPI. Izin penyelenggaraan penyiaran dapat dicabut oleh Menteri kominfo apabila
Lembega Penyiaran Swasta melanggar ketentuan penggunaan spektrum frekuensi radio
dan/atau wilayah jangkauan siaran yang ditetapkan, atau atas laporan KPI dinyatakan
tidak melakukan kegiatan siaran lebih dari 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa
pemberitahuan, atau memindahtangankan izin penyelenggaraan penyiaran kepada pihak
lain, atau melanggar ketentuan rencana dasar teknik penyiaran dan persyaratan teknis
perangkat penyiaran, atau melanggar ketentuan mengenal standar program siaran yasg
dikeluarkan oleh KPI setelah adanya putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan
hukum tetap.

C. Biaya Penyelenggaraan Penyiaran


Izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) terbagi dalam dua jenis, yaitu izin prinsip
penyelenggaraan penyiaran ( IPP Prinsip) dan izin tetap penyelenggaraan penyiaran
( IPP Tetap ), kedua jenis izin tersebut, pemerintah telah menetapkan besaran biaya izin
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif Atas
Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen Komunikasi dan
Informatika.
Selain biaya IPP, lembaga penyiaran teresterial juga wajib membayar Biaya Hak
Penggunaan Frekuensi (BHPF) yang besaran biayanya ditetapkan dalam Peraturan
Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 19/Per.Kominfo/ 10/2005 tentang
Petunjuk Pelaksana Tarif Atas Penerimaan Negara bukan Pajak Dan Biaya Hak
Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio. Formula BHP spekcrum frekuensi radio
meliputi:
1. Harga Dasar Daya Pancar (HDDP);
2. Harga Dasar Lebar Pita (HDLP);
3. Daya Pancar (p);
4. Lebar Pita (b);
5. Indeks biaya pendudukan lebar pita (Ib);
6. lndeks biaya daya pemancaran frekuensi (Ip)
7. Zona
Pembayaran BHPF adalah syarat untuk  memperoleh Izin Stasiun Radio (ISR) yang
harus dimiliki pemohon lembaga penyiaran sebelum diterbitkannya IPP.

9
D. Sistem Stasiun Jaringan
Salah satu aspek penyiaran yang mengalami perubahan pasca lahirnya Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran adalah pengaturan tentang sistem
stasiun jaringan (SSJ). Pasal 31 mengatur bahwa " lembaga penyiaran yang
menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau stasiun penyiaran lokal" Aturan ini
otomatis menghentikan sistem operasional secara nasional yang selama ini dinikmati
oleh lembaga penyiaran televisi swasta, karena penyiaran Indonesia kemudian tidak lagi
mengenal sistem penyiaran nasional. Migrasi ini pada awalnya menuai penolakan dari
kalangan Industri televisi karena terkait investasi dan penanaman modal yang telah
mereka lakukan, serta proyeksi keuntungan yang akan terbagi.
Berdasarkan Pasal 70 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2005 tentang
Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Swasta diatur bahwa Lembaga Penyiaran
Swasta jasa penyiaran televisi yang sudah mempunyai stasiun relai di ibukota provinsi
wajib melepaskan kepemilikan atas stasiun relainya paling lambat 28 Desember 2007,
kecuali pemilik modal daerah belum mampu mendirikan stasiun penyiaran lokal atau
ada alasan khusus yang ditetapkan oleh Menteri Kominfo atau pemerintah Daerah
setempat. Penolakan kalangan industri mengakibatkan penerapan SSJ ditunda hingga
dua tahun. Akhirnya, berdasarkan Permen Kominfo Nomor 43 Tahun 2009 maka
Sistem Stasiun jaringan harus dilaksanakan mului 28 Desember 2009. Maka saat itu,
seluruh lembaga penyiaran televisi swasta yang selama ini bersiaran nasional mulai
melakukan perubahan dengan menerapkan sistem stasiun jaringan.
Dasar hukum pembentukan sistem stasiun jaringan yaitu: peraturan pemerintah
Nomor 50 Tahun 2005 tentang tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Swasta
diatur mengatur pada pasal 34 sebagai berikut :
1. Sistem stasiun jaringan terdiri atas Lembaga Penyiaran Swasta induk stasiun
jaringan dan Lembaga Penyiaran Swasta anggota stasiun jaringan yang
membentuk sistem stasiun janngan.
2. Lembaga Penyiaran Swasta Induk stasiun jaringan merupakan Lembaga
Penyiaran Swasta yang bertindak sebagai koordinator yang siarannya direlai
oleh Lembaga Penyiaran Swasta anggota stasiun jaringan dalam sistem stasiun
jaringan.

10
3. Lembaga Penyiaran Swasta anggota stasiun jaringan merupakan Lembaga
Penyiaran Swasta yang tergabung dalam suatu sistem stasiun jaringan yang
melakukan relai siaran pada waktu-waktu tertentu dari Lembaga Penyiaran
Swasta induk stasiun jaringan.
4. Lembaga Penyiaran Swasta anggota stasiun jaringan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) hanya dapat berjaringan dengan 1 (satu) Lembaga Penyiaran
Swasta Induk stasiun jaringan.
5. Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran radio dan atau jasa penyiaran
televisi yang menyelenggarakan ” siarannya melalui sistem stasiun jaringan
harus siaran lokal. (Yang dimaksud dengan harus memuat siaran lokal adalah
harus memberikan kesempatan kepada Lembaga Penyiaran Swasta di daerah
yang menjadi anggota stasiun jaringan untuk mengisi" siaran dengan muatan
lokal).
6. setiap penyelenggaraan siaran melalui sistem stasiun jaringan dan setiap
perubahan jumlah anggota stasiun jaringan yang terdapat dalam sistem stasiun
jaringan Wajib dilaporkan kepada menteri kominfo.

Kemudian Pasal 36 mengatur bahwa Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran


televisi dapat menyelenggarakan siaran melalui sistem stasiun jaringan dengan
jangkauan wilayah terbatas, diatur sebagai berikut :
1. Induk stasiun jaringan merupakan Lembaga Penyiaran Swasta yang terletak di
ibukota provinsi,
2. Anggota stasiun jaringan merupakan Lembaga Penyiaran Swasta yang terletak
di ibukota provinsi, kabupaten dan/ atau kota.
3. untuk kesamaan acara, siaran stasiun jaringan dapat dipancarluaskan melalui
stasiun relai ke seluruh wilayah dalam satu provinsi.
4. khusus untuk provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta tidak diizinkan mendirikan stasiun relai.
5. jangkauan wilayah siaran dari suatu sistem stasiun jaringan dibatasi paling
banyak 758 (tujuh puluh lima per seratus) dan jumlah provinsi di Indonesia.
6. Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf e
memungkinkan terjangkaunya wilayah siaran menjadi paling banyak 904

11
(sembulan puluh per seratus) dari Jumlah provinsi di Indonesia, hanya untuk
sistem stasiun jaringan Yang telah mengoperasikan sejumlah stasiun relai
Yang dimilikinya sehingga melebihi 75% (tujuh puluh lima per seratus) dari
jumlah provinsi sebelum ditetapkannya peraturan ini . Pengecualian dimaksud
adalah:
a. Apabilan lembaga penyiaran telah memiliki jangkauan Wilayah siaran
sebanyak 60% (enam puluh per seratus) dari jumlah Provinsi di Indonesia,
sesuai dengan ketentuan Pasal 36 huruf e jangkauan wilayah Siarannya
dapat menjadi sebanyak 75% (tujuh puluh lima per seratus)dari jumlah
provinsi di Indonesia.
b. Apabila Lembaga penyiaran telah memiliki jangkauan wilayah siaran
sebanyak 80% (delapan puluh per seratus) dari ju,lah provinsi di Indonesia,
jangkauan wilayah siarannya tetap sebanyak 80% (delapan puluh per
seratus) dari jumlah provinsi di Indonesia.
c. Apabila Lembaga penyiaran telah memiliki jangkauan wilayah siaran
sebanyak 98% dari jumlah provinsi di Indonesia,jangkauan wilayah
siarannya harus menjadi sebanyak 90% dari jumlah provinsi di Indonesia
sehingga jangkauan wilayah siarannya harus dikurangi sebanyak 8%.
7. paling banyak 80% dari jumlah sebagaimana dimaksud pada huruf e dan huruf
f terletak di daerah ekonomi maju yang lokasinya dapat dipilih oleh Lembaga
penyiaran yang bersangkutan, dan paling sedikit 20% sisanya berada di daerah
ekonomi kurang maju dan lokasinya ditetapkan oleh Menteri;
8. penentuan daerah ekonomi maju dan daerah ekonomi kurang maju
sebagaimana dimaksud pada huruf g ditetapkan dengan peraturan Menteri.

E. Perizinan Era Digitalisasi


Indonesia telah menetapkan kan melaksanakan migrasi penyiaran dari system
analog menjadi system digital. Sejalan dengan perkembangan teknologi dewasa ini.
Bahkan di beberapa tempat telah dilakukan uji coba penyiaran digital dan berencana
melakukan cut off atau migrasi secara keseluruhan sekitar tahun 2018. Selain mengatasi
persoalan teknis, ,enjadi hal yang perlu diperhatikan dalam upaya mengakomodasi
migrasi teknologi penyiaran ini adalah persoalan perizinan.

12
Perizinan akan menjadi permasalahan mengingat dalam penyelenggaraan system
digital, Lembaga penyiaran akan dibedakan dalam dua kapasitas. Yaitu sebagai
penyedia jasa infrastruktur penyiaran digital (network provider) dan sebagai penyedia
jasa program siaran (content provider). Sehingga akan terjadi perubahan mendasar,
tidak hanya dalam konteks teknologi, tetapi juga dalam hal hukum penyiaran, karena
selama ini Lembaga penyiaran adalah penyelenggara keduanya. Jika selama ini
Lembaga penyiaran menyalurkan program siaran menggunakan fasilitas sarana dan
infrastruktur sendiri, maka hal itu tidak akan berlaku pada era penyiaran digital karena
pemerintah menetapkan untuk memisahkan antara network provider dan content
provider.
Dengan demikian, Langkah pertama yang harus dilakukan adalah melakukan revisi
terbatas UU penyiaran untuk memberikan dasar hukum yang jelas tentang perbedaan
antara kedua institusi tersebut dan itu berarti harus meredefinisi pengertian Lembaga
penyiaran. Pengertian Lembaga penyiaran dalam UU penyiaran adalah “ penyelenggara
penyiaran”, baik Lembaga penyiaran public, Lembaga penyiaran swasta, Lembaga
penyiaran komunitas maupun Lembaga penyiaran berlangganan yang dalam
melaksanakan tugas, fungsi dan tanggungjawabnya berpedoman pada peraturan
perundang undangan yang berlaku. Pengertian “ penyelengara penyiaran” dalam
terminology UU penyiaran mengacu pada praktik Lembaga penyiaran analog. Tetapi
hal ini akan berbeda dalam konteks penyiaran digital. Jika terjadi perbedaan antara
penyedia infrastruktur dan penyedia program siaran, pertanyaan mana yang dimaksud
dengan “Lembaga penyiaran”? Perubahan pengertian ini berarti pula melakukan
perubahan secara menyeluruh pada aturan-aturan yang terkait dengan Lembaga
penyiaran. Persoalannya atauran UU penyiaran secara umum ditujukan bagi tentang
Lembaga penyiaran, sehingga revisi UU penyiaran adalah suatu hal yang mutlak
dilakukan dalam rangka menyongsong system digitalisasi penyiaran.
Perubahan ini juga akan berdampak pada mekanisme perizinan. Jika system digitalisasi
mengkategori penyelenggara dalam dua jenis, maka perizinan pun demikian halnya.
Tentu harus dibedakan bagaimana mekanisme perizinan untuk penyedia infrastruktur
dan bagaimana mekanisme penyedia program siaran. Akan menjadi persoalan kedepan
adalah bagaimana aturan-aturan yang berlaku terhadap hubungan antara penyedia
infrastruktur dan penyedia program siaran ? berbagai hal harus dicermati seperti

13
demokratisasi penyiaran, diversity of content, diversity of ownership, masalah otonomi
daerah, monopoli usaha, sampai dengan persoalan hal public.

BAB III
KESIMPULAN

Lembaga penyiaran publik adalah lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum
yang didirikan oleh negara, bersifat independen, Netral, tidak komersial, dan berfungsi
memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat.
Lembaga penyiaran swasta (LPS) adalah lembaga penyiaran yang bersifat
komersial berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya
menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau televisi.
Lembaga penyiaran komunitas (LPK) adalah lembaga penyiaran yang berbentuk
badan hukum Indonesia, didirikan oleh komunitas tertentu, bersifat independen, dan
tidak komersial, dengan daya Pancar rendah, luas jangkauan wilayah terbatas, serta
untuk melayani kepentingan komunitasnya.
Lembaga penyiaran berlangganan (LPB) adalah penyelenggara penyiaran yang
bersifat komersial berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya
menyelenggarakan jasa penyiaran berlangganan.
Setiap lembaga penyiaran wajib terlebih dahulu memiliki izin penyelenggaraan
penyiaran Sebelum melaksanakan aktivitas penyiaran. Untuk itu terdapat beberapa
tahapan yang harus dilalui untuk memperoleh izin tersebut :
 Tahap pertama: pembentukan badan hukum
 Tahap Kedua: Membuat Permohonan dan Studi Kelayakan
 Tahap ketiga: proses verifikasi
 Tahap Keempat: Proses Evaluasi Dengar Pendapat
 Tahap kelima : Rekomendasi kelayakan
 Tahap keenam : proses forum rapat bersama
 Tahap Ketujuh: Masa Uji Coba Siaran

14
 Tahap Kedelapan: Penetapan Izin Penyelenggaraan Penyiaran
 Tahap Kesembilan: Penyelenggaraan Penyiaran dan Perpanjangan Izin
Penyelenggaraan Penyiaran
Izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) terbagi dalam dua jenis, yaitu izin prinsip
penyelenggaraan penyiaran ( IPP Prinsip) dan izin tetap penyelenggaraan penyiaran
( IPP Tetap ).
DAFTAR PUSTAKA

Judhariksawan. 2013. Hukum penyiaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

15

Anda mungkin juga menyukai