Anda di halaman 1dari 6

1.

Tanggung jawab sosial media massa atau pers yang berupaya menunjukan pada suatu konsep
tentang kewajiban media untuk mengabdi terhadap kepentingan masyarakat. Dengan berbagai
macam perkembangan media massa (khusus media massa electronik/online), menuntut kepada
media massa untuk memiliki suatu tanggung jawab sosial yang baru. Teori tanggung jawab sosial
mempunyai asumsi utama, bahwa kebebasan pers mutlak, banyak mendorong terjadinya dekadensi
moral. Teori ini memandang perlu adanya pers dan sistem jurnalistik yang menggunakan dasar
moral dan etika. Tanggung jawab dan menjadikan itu landasan kebijaksanaan operasional mereka,
maka sistem akan dapat memuaskan kebutuhan masyarakat. Jika pers tidak mau menerima
tanggung jawabnya, maka harus ada badan lain dalam masyarakat yang menjalankan fungsi
komunikasi massa. Menurut Robert hutchins, commission ini merupakah 5 persyaratan bagi pers
yang bertanggung jawab kepada masyarakat,
 Media harus menyajikan berita dan peristiwa sehari-hari yang dapat dipercaya, lengkap dan
cerdas dalam konteks yang memberikan makna.
 Media harus berfungsi sebagai forum untuk bertukar komentar dan kritik.
 Media harus memproyeksikan gambaran yang benar-benar mewakili dari kelompok konstituen
dalam masyarakat.
 Media harus menjelaskan dan menyajikan tujuan dan nilai-nilai masyarakat.
 Media harus menyiapkan akses penuh terhadap informasi-infomasi yang tersembunyi pada
suatu saat.
Menurut Smith dalam MC Quail, Wujud pengembangan profesional dalam sebuah negara
diperlihatkan dari adanya instrumen pengawasan lembaga independen dan aturan yang berlaku
jujur dan adil seperti, kode etik jurnalistik, pengaturan periklanan, peraturan anti monopoli,
pembentukan dewan pers, tinjuan berkala oleh komisi pengkajian, pengkajian perlementer dan
sistem subsidi pers. Secara singkat dan umum kode etik jurnalistik berarti, himpunan atau
kumpulan mengenai etika di bidak jurnalistik yang dibuat oleh dari dan untuk jurnalistik sendiri
dan berlaku terbatas untuk kalangan jurnalistik saja. Tiada satu orang atau badan lain pun yang
diluar dutentukan kode etik jurnalistik tersebut terhadap para jurnalis (Wartawan), termasuk
menyatakan ada tidak pelanggaran etika berdasarkan kode etik jurnalistik itu. Setiap wartawan
wajib mengetahui dan memahami nilai dan norma yang di atur dalam menjalankan profesinya
sebagai wartawan. Dewan Pers telah menerbitkan Kode Etik Jurnalistik Indonesia (KEJI)
berdasarkan UU no.40 Tahun 1999 tentang pers untuk mengantur hak dan kewajiban wartawan
menjalankan tugasnya, berisi 11 pasal yakni :
 Pasal 1, wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan
tidak beriktikad buruk.
 Pasal 2, wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas
jurnalistik.
 Pasal 3, wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak
mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
 Pasal 4, wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
 Pasal 5, wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila
dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
 Pasal 6, wartawan Indonesia tidak menyalagunakan profesi dan tidak menerima suap.
 Pasal 7, wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia
diketahui identitas maupun keberadaanya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar
belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan.
 Pasal 8, wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau
diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin,
dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat
jasmani.
 Pasal 9, wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali
untuk kepentingan publik.
 Pasal 10, wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan
tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, atau pemirsa.
 Pasal 11, wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.

2. Urgensitas media massa diatur dalam kerangka hukum dalam rangka menegaskan bahwa negara
Indonesia adalah negara hukum. Pengertian negara hukum adalah negara yang penyelenggaraan
kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas hukum. Artinya semua problematikan kemasyarakatan
yang lahir akibat dari interaksi antar anggota masyarakat yang harus diselesaikan melalui mekanisme
hukum. Maka hukum diharapkan menjadi pemutus akhir mengatasi permasalahan-permasalahan dalam
hukum media massa.
Televisi adalah alat penangkap siaran bergambar, yang berupa audio visual dan penyiaran secara
broadcasting, Istilah ini berasal dari bahasa yunani yaitu tele (jauh) dan vision (melihat). Jadi secara
harfiah berarti "melihat jauh" karena pemirsa berada jauh dari studio. Fungsi media penyiaran tidak
berbeda dengan fungsi media massa yang lain. Fungsi media televisi yang paling dominan adalah
fungsi hiburan. Hal ini disebabkan televisi memiliki karakteristik yang komplit yaitu tidak hanya
mengirimkan pesan suara tetapi juga melalui gambar yang bergerak (moving image). Di Indonesia
telah disebutkan bahwa fungsi penyiaran antara lain adalah :
a) Sebagai media informasi
b) Pendidikan
c) Hiburan yang sehat
d) Kontrol dan perekat sosial
e) Fungsi ekonomi dan kebudayaan.

Dari sini dapat dipahami bahwa fungsi hiburan media bagi masyarakat adalah hal yang bisa diterima,
tetapi hiburan yang ditampilkan harus merupakan hiburan yang sehat. Sesuai dengan filosofi penyiaran
bagi Bangsa Indonesia, maka konten penyiaran yang disampaikan oleh media televisi Indonesia juga
harus mempertimbangkan bahwa televisi dalam penyiarannya menggunakan spektrum frekuensi radio
yang merupakan sumber daya alam terbatas milik publik. Oleh karena itu penggunaannya juga harus
dilaksanakan dengan cara yang bertanggung jawab. Selain itu dampak penyiaran mempunyai kadar
yang lebih tinggi dibandingkan dengan media massa yang lain karena sifat televisi sebagai teknologi
yang dapat mengirimkan pesan yang komplit. Sehingga penyiaran akan dapat memberikan dampak
yang besar dalam pembentukan pendapat, sikap dan perilaku khalayak. Dengan demikian maka industri
penyiaran wajib bertanggung jawab dalam menjaga nilai moral, tata susila, budaya, kepribadian dan
kesatuan bangsa. maka dapat diberikan beberapa saran :
a) Lembaga penyiaran mengikuti, menerapkan dan menjadikan Pedoman Perilaku Penyiaran dan
Standar Program Siaran (P3SPS) sebagai acuan untuk dasar, tujuan dan arah dalam setiap
melakukan kegiatan penyiaran agar terhindar dari berbagai macam pelanggaran dan dapat
menciptakan program acara yang kreatif, inovatif, mendidik dan menghibur.
b) Bagi pelaku pertelevisian diharapkan untuk terus melakukan fungsinya sebagai control sosial
berupa tanggung jawab sosial kepada masyarakat dengan cara menyugguhkan konten program
acara yang lebih mendidik dan menghibur bagi penonton terkhusus untuk anak-anak.
c) Bagi orang tua diharapkan dapat mengarahkan anak-anaknya agar mampu memilih tontonan
yang layak mereka konsumsi, selain itu orang tua juga diharapkan dapat mendampingi saat
anak-anak mereka menonton agar orang tua dapat mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai
yang terkandung dari suatu tayangan sehingga anak-anak dapat mengambil sisi positif dan
meninggalkan sisi negative dari tayangan yang di tonton.

3. Setiap kasus yang menimpa pers, UU Pers harus dijadikan acuannya. karena buat apa UU tersebut
dibuat kalau tidak untuk mengatur aspek hukum tertinggi dalam dunia pers? Tetapi dalam
kenyataannya, hal demikian tidak mudah untuk diwujudkan.
Bagi kalangan pers, UU Pokok Pers ditempatkan sebagai aturan tertinggi, di bawah UUD 1945, ingin
selalu mendasarkannya UU itu sebagai aturan yang berkaitan dengan proses pembuatan berita.
Sebagian anggota masyarakat menganggap bahwa UU Pers tidak cukup untuk memberikan sanksi jika
pers melakukan pelanggaran. UU tersebut hanya dijadikan alasan pembenar kesalahan yang
dilakukannya.
Pers dan UU Pokok Pers
UU Pokok Pers harus dijadikan dasar pijakan setiap kasus yang berkaitan dengan proses peliputan dan
penyiaran berita. Pengekangan pers oleh pemerintah Orde Lama dan Orde Baru menjadi pelajaran pahit
bagaimana dampak kerugian akibat tiadanya kebebasan pers.
Namun, harapan tersebut bukan tanpa hambatan dan tak ada masalah dalam penerapannya. ide UU
Pokok Pers yang dijadikan dasar untuk memproses kasus yang menimpa media banyak yang
mempersoalkan. Artinya, UU Pokok Pers memang bagus, namun dalam penerapannya menemui
banyak hambatan.
contoh kasus adalah Pencemaran Nama Baik.
Penjelasan pasal 5 ayat (1) ialah, "Pers nasional dalam menyiarkan informasi, tidak menghakimi atau
membuat kesimpulan kesalahan seseorang, terlebih lagi untuk kasusyang masih dalam proses
peradilan, serta dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan".
tetapi, beberapa menganggap pasal ini multiinterpretatif, bahkan kurang jelas dan kurang lengkap.
Alasannya, tidak rinci dan tegas menyebutkan ketentuan dan syarat-syarat yang tergolong melanggar
pasal 5 ayat (1).
Jadi, jika ada seseorang difitnah atau telah menganggap nama baiknya dicemarkan, menurut UU Pokok
Pers, media telah melanggar pasal 5 ayat (1) itu. Selanjutnya, mereka yang dirugikan dapat
menggunakan Hak Jawab (pasal 5 ayat 2) dan Hak Koreksi (pasal 5 ayat 3) yang wajib dipenuhi oleh
pers.
Sementara itu, Hak Tolak adalah hak wartawan karena profesinya untuk menolak mengungkapkan
identitas lainnya dari narasumber yang harus dirahasiakannya (off the record misalnya). Hak Jawab
adalah hak seseorang atau sekelompok untuk memberikan tanggapan terhadap pemberitahuan berupa
fakta yang merugikan nama baiknya. Sedangkan Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk
mengoreksi kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang
orang lain.
Bahkan Hak Tolak juga dilegitimasi oleh Pasal 170 KUHAP yang mengatakan, "Mereka yang karena
pekerjaan, harkat, atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat diminta dibebaskan dari
kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada
mereka". Hak Jawab sebenarnya termasuk dalam kode etik, bukan wilayah hukum. Wujud hak jawab
biasanya ada dalam surat pembaca.

Dewan Pers, dibentuk berdasarkan UU pers 1999, yang disetujui oleh DPR pada tanggal 13 september
1999 dan ditandatangani oleh presiden BJ Habibie sepuluh hari kemudian 23 september dan
diundangkan hari itu juga. Undang-undang itu pada pasal 15 ayat (1), menyatakan bahwa "Dalam
upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk
Dewan Pers yang independen."
Dalam melindungi kemerdekaan pers, utamanya dari pihak internal perusahaan pers sendiri, maka
penguatan kedudukan Dewan Pers perlu dilakukan, di antaranya melalui reformulasi kelembagaan,
khususnya soal keanggotaan. Perihal keanggotaan Dewan Pers yang unik dibanding lembaga negara
lain, yaitu dengan tidak melibatkan campur tangan DPR maupun presiden, memang patut
dipertahankan. Namun di sisi lain, perbaikan tetap perlu dilakukan. Jika jumlah anggota Dewan Pers
saat ini didominasi unsur organisasi pers, maka ke depan, hal itu perlu diimbangi dengan penambahan
jumlah unsur masyarakat. Pemilihan anggota dari unsur masyarakat, juga sebaiknya diserahkan
langsung kepada komponen masyarakat, misalnya melalui organisasi pemantau media yang terdaftar di
Dewan Pers. kelembagaan Dewan Pers yang menjadi domain organisasi pers dan masyarakat ke depan,
akan menjamin posisi Dewan Pers dalam melaksanakan fungsi sebagai perlindungan kemerdekaan
pers, sekaligus perlindungan kepentingan publik atas pers. Perbaikan format kelembagaan Dewan Pers,
selanjutnya perlu dibarengi dengan memberikan fungsi dan kewenangan yang memadai. Dewan Pers
perlu diberikan kewenangan quasi yudisial, yaitu untuk memeriksa, memutuskan, dan memberikan
sanksi atas pelanggaran di ranah pers. Kewenangan itu kemudian harus disokong dengan kewenangan
membentuk peraturan terkait tugas dan tanggung jawabnya secara mandiri, yang mengikat bagi
organisasi dan insan pers. Dengan begitu, Dewan Pers akan bisa membuat peraturan, misalnya soal
struktur dan tata kerja sebuah perusahaan pers pers, demi menjamin terwujudnya kemerdekaan pers
untuk kepentingan publik.
Pembenahan kehidupan pers secara menyeluruh, hanya bisa diwujudkan dengan merevisi UU No. 40
Tahun 1999 tentang Pers. Langkah ini perlu dilakukan seiring dengan tantangan baru dunia pers, juga
untuk menyelaraskan semangat baru perlindungan pers pasca amandemen konstitusi, yaitu lahirnya
Pasal 28F UUD Tahun 1945 pada amandemen kedua tahun 2000, yang lebih akomodatif bagi pers.
Salah satu poin perbaikan yang penting adalah merevitalisasi kedudukan serta memperkuat fungsi dan
kewenangan Dewan Pers. Dewan Pers didudukkan sebagai lembaga independen. Dewan Pers, tidak
lagi didikte oleh pemerintah dengan cara mendudukan Menteri Penerangan sebagai ketuanya.
Pemerintah pun tak bisa lagi mencampuri soal keanggotaan Dewan pers. Dewan Pers yang bebas dari
campur tangan pemerintah, memiliki peranan yang strategis dalam mengatur pola hubungan negara dan
pers. Pers diharapkan tidak lagi menjadi alat propaganda yang digunakan untuk mengelola tatanan
sosial-politik agar selalu seperti yang diharapkan penguasa.
Sumber :
BMP : SKOM4439 - Hukum Media Massa
https://id.wikisource.org/wiki/Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_40_Tahun_1999
http://www.kpi.go.id/download/regulasi/P3SPS_2012_Final.pdf
https://kominfo.go.id/content/detail/15458/jelaskan-fungsi-kpi-bukan-sensor-siaran-tapi-awasi-
program-siaran/0/berita_satker

85892

Anda mungkin juga menyukai