Anda di halaman 1dari 22

BAB I

ABSTRAK

Pers merupakan lembaga yang bebas berfungsi sebagai media yang dapat
menunjang tersampaikannya informasi kepada rakyat dan juga berfungsi untuk
menaungi aspirasi rakyat melalui pers atau media massa. Namun tidak selamanya
pers berjalan sesuai dengan aturan hukum dan undang-undang yang berlaku.
Sering kali pers sedikit menyimpang dalam penyampaian informasi yang
menyebabkan pers bak seperti hakim yang memutuskan perkara bahwa seseorang
ini sudah pasti salah atau benar. Tindakan ini lah yang disebut dengan Trial by The
Press. Dari tindakan Trial by The Press ini dapat digunakan untuk memengaruhi
pandangan public atau membuat opini baru tentang suatu permaslahan yang
terkadang menyebabkan dampak-dampak yang dapat merugikan orang lain dan
hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja. Pers disini seakan-akan dengan
mudahnya menjatuhkan vonis atau tuduhan kepada seseorang yang belum tentu
dia benar atau salah dan bahkan pengadilan juga belum memutuskannya. Di
Indonesia, undang-undang tentang pers dan juga Kode Etik Jurnalistik (KEJ)
perlu ditinjau kembali dan dirancang lebih khusus lagi untuk mengembalikan
peran pers dalam pemberitaan dan menghindari terjadinya Trial by The Press.

Kata Kunci : Trial by The Press, Pers, Undang-undang dan Kode Etik
Jurnalistik

1
BAB II

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dengan banyaknya kasus yang terjadi di tengah masyarakat dapat


dipastikan bahwa akan ada pers yang ikut terlibat dalam melakukan peliputan atau
pemberitaan mengenai masalah tersebut. Pers menyiarkan berita dan informasi
melalui berbagai media massa. Akses penyampaian berita pun saat ini sudah
sangat mudah dan cepat dengan perkembangan teknologi yang pesat. Dari berita
yang disajikan oleh para kuli tinta sudah bisa dipastikan akan timbul suatu
persepsi dan opini-opini yang tercipta di kalangan masyarakat, entah itu opini
yang mendukung atau bahkan menjatuhkan pihak yang bersangkutan. Apabila
boleh dipergunakan untuk menyebut kasus pembentukan opini tersebut dapat
menimbulkan pembunuhan karakter pada seseorang dan berakibat fatal bagi
orang yang menimpanya.

Kalau sudah terjadi peristiwa semacam ini, hubungan pers yang mulanya
sebagai mitra masyarakat dalam penyampaian sebuah informasi akan berubah
menjadi berhadapan atau tidak lagi sejalan. Pers dan masyarakat akan tampak
seperti hakim dan terdakwa, karena adanya penilaian sepihak, penghakiman dini,
terasa mengalami under preasure yang mematikan.Hal itu, membuat masyarakat
lebih merasakan sebagai korban pemberitaan yang tertindas.Bahkan lebih terasa
sebagai tirani pers kepada masyarakat.Lalu dimanakah hak privasi masyarakat
yang seharusnya dilindungi oleh UU untuk merasakan ketenangan, kenyamanan
beraktivitas tanpa selamanya terusik media? Sudah selayaknya setiap individu
mendapatkan hak privasinya dalam melakukan segala sesuatu tanpa perlu merasa
terbebani oleh pemberitaan yang ada.
Dalamdunia jurnalistik pun dikenal dengan sebuah kebebasan pers.
Kebebasan pers itu sendiri tidak bersifat mutlak, namun dapat berkembang dan
menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Dengan adanya kebebasan dalam pers,
tetap ada suatu batasan yang diterapkan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang
tidak diinginkan. Salah satu pembatasnya adalah kode etik jurnalistik.Pasal-pasal
yang terdapat dalam kode etik jurnalistik merupakan saringan bagi kebebasan

2
pers. Dengan begitu, pers tidak dapat menyajikan berita sebebas-bebasnya, sesuai
dengan kehendaknya sendiri atau bahkan menyajikan berita yang tidak benar
adanya. Banyaknya kasus trial by the press di Indonesia pun menjadi latar
belakang yang menjadi bahan dalam penulisan makalah ini.

1.2 Landasan Teori


Trial by the press atau peradilan oleh pers. Disini peradilan oleh press
bukannya diartikan sebagai tindakan memfitnah seseorang atau sebagainya.
Tetapi, trial by the press merupakan suatu penyampaian berita atau informasi yang
dirasa kurang tepat karena masyarakat akan terhasut oleh pemberitaan yang hanya
dilihat dari salah satu sudut pandang saja, tanpa memerhatikan dari sudut pandang
lain. Dan akhirnya, karena adanya trial by the press itu akan mengadili seorang
terdakwa yang bahkan belum jelas statusnya terbukti bersalah atau tidak karena
belum atau tidak diputuskan secara sah oleh pengadilan. Tetapi, pers mencoba
menghakimi seorang terdakwa tersebut yang akan menimbulkan penilaian
sepihak.
Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia
yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk
memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan
meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan
pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa,
tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.
Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk
memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan
moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan
publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan
Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik yang terdiri dari 11
pasal.

Pers diberikan batasan agar tindakan atau kegiatan mereka tidak mengarah
pada perbuatan trial by the press, pers dibekali atau dibentengi oleh beberapa
peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang No. 32 Tahun 2002

3
tentang Penyiaran, dimana diatur dalama Pasal 36, Undang-Undang No. 40 Tahun
1999 Tentang Pers, Pasal 4 ayat 3 UU. No. 14/70, Pasal 8 UU. No. 14/70dan
diberikan batasan pula dengan adanya Kode Etik Jurnalistik, dalam Pasal 4.

1.3 Permasalahan

Dalam kegiatan peradilan yang dilakukan oleh pers atau trial by the press,
ditemukan beberapa permasa4lahan yang terkait dengan hal tersebut. Yang
pertama yakni apakah yang dimaksud dari pers? Bagaimana mekanisme
pemberitaan yang dilakukan oleh pers? Kode etik jurnalistik dan undang-undang
apa saja yang berlaku untuk pers di Indonesia? Apa itu pengertian Trial By The
Press dan bagaimana menurut sudut pandang hukum memandang hal itu? Di
Indonesia, kasus apa saja yang sudah terjadi dan bagaimana korban atau orang
yang terkena dampak dari Trial by The Press tersebut?

4
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Definisi Pers


Pasal 1 ayat (1) UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, mendefinisikan
bahwa Pers sebagai lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang
melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik data dan grafik
maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media
elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Definisi pers menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
usaha percetakan dan penerbitan, usaha pengumpulan dan penyiaran berita,
penyiaran berita melalui surat kabar, majalah, dan radio, orang yg bergerak dalam
penyiaran berita, medium penyiaran berita, seperti surat kabar, majalah, radio,
televisi, dan film.
Menurut Ensiklopedi Indonesia, pengertian pers merupakan nama seluruh
penerbitan berkala seperti yang kita kenal yaitu koran, majalah, dan kantor berita.
Pengertian Pers Menurut Prof. Oemar Seno Adji, pers dalam arti sempit
berarti penyiaran-penyiaran pikiran, gagasan, atau berita-berita dengan kata
tertulis. Sebaliknya, pers dalam arti luas berarti memasukkan di dalamnyasemua
media mass communications yang memancarkan pikiran dan perasaan seseorang
baik dengan kata-kata tertulis maupun dengan lisan. Maka dapat diketahui bahwa
pers dalam arti sempit merupakan manifestasi dari"freedom of the
press", sedangkan pers dalam arti luas merupakan manifestasi dari "freedom of
speech", dan keduanya tercakup oleh pengertian "freedom of expression".
Menurut Leksikon Komunikasi, pers berarti usaha percetakan dan
penerbitan , usaha pengumpulan dan penyiaran berita, penyiaran berita melalui
surat kabar, majalah, radio dan televisi, orang-orang yang bergerak dalam
penyiaran berita, media penyiaran berita yakni surat kabar, majalah, radio, dan
televisi.
Pengertian Pers Menurut UU No. 21 Tahun 1982 tentang ketentuan pokok
pers, pers adalah lembaga kemasyarakatan, alat penjualan nasional yang
mempunyai karya sebagai salah satu media komunikasi massa yang bersifat
umum, berupa penerbitan yang teratur waktu terbitnya, dilengkapi atau tidak di

5
lengkapi dengan alat-alat milik sendiri berupa percetakan, alat-alat, foto, klise,
mesin-mesin stensil, atau alat-alat teknik lainnya.
Pengertian Pers Menurut J.C.T Simorangkir, S.H dalam bukunnya yang
berjudul Hukum dan Kebebasan Pers, yang menyebutkan bahwa pers memiliki
pengertian yang terbagi menjadi dua, yaitu pengertian pers dalam arti sempit
adalah hanya terbatas pada surat-surat kabar harian, mingguan dan majalah.
Sedangkan pengertian pers dalam arti luas adalah pers tidak hanya sebatas surat
kabar, majalah, tabloid mingguan, tetapi pers mencakup juga radio, televisi dan
film.
Pengertian Pers yang diperinci dalam Peraturan Menteri Penerangan
No.01/PER/MENPEN/1998 yang dimaksudkan pers adalah sebagai penerbitan
pers, yaitu surat kabar harian, surat kabar mingguan, majalah, buletin,
berkalalainnya yang diselenggarakan oleh perusahaan pers dan penerbitan kantor
berita.

3.2 Mekanisme Pemberitaan di Media


Mekanisme pemberitaan di media merupakan suatu bentuk proses,
prosedur, atau metode pemberitaan dari media yang digunakan sebagai
standarisasi sistem pemberitaan tersebut. Menurut teori yang dikemukakan oleh
McNair (1994:39-58) terdapat tiga pendekatan yang menjelaskan isi media yang
merupakan substansi berita.
Pertama, pendekatan ekonomi politik, bahwa isi media lebih ditentukan
oleh kekuatan ekonomi dan politik. Mekanisme produksi media dilihat sebagai
bagian dari relasi ekonomi dan struktur produksi, sehingga pola dan jenis
pemberitaan ditentukan oleh kekuatan ekonomi yang dominan.
Kedua, pendekatan organisasi, bahwa pengelola media sebagai pihak yang
aktif dalam proses pembentukan dan produksi berita. Berita dilihat sebagai hasil
mekanisme dari ruang redaksi. Maka ideologis redaktur menjadi salah satu faktor
penentu dari kualitas pemberitaan yang berkaitan dengan kebenaran dan kebijakan
check and balance dari suatu berita. Jadi, produksi berita merupakan keredaksian
semata dan setiap organisasi memiliki pola dan mekanisme yang berbeda untuk
memberitakan suatu peristiwa. Media dianggap otonom dalam menentukan boleh
atau tidak boleh, baik atau buruk, layak atau tidak layak untuk memberitakan
suatu peristiwa. Tetapi kecenderungan ini berbeda dengan mekanisme

6
pemberitaan oleh media-media di Indonesia yang mempertimbangkan faktor
eksternal seperti pasar dan cara mempertahankan diri di dunia media agar tetap
eksis, survive, dan establish.
Ketiga, pendekatan kultural, bahwa proses produksi berita dilihat sebagai
mekanisme yang rumit dan lebih melibatkan faktor internal media, yaitu rutinitas
organisasi media, sekaligus juga faktor eksternal media. Masing-masing media
memiliki sistem dan mekanisme pemberitaan masing-masing yang berbeda.
Contoh mekanisme pemberitaan dalam suatu media adalah sebagai
berikut:
Proses pembuatan berita dimulai dari rapat redaksi yang merupakan pusat
dari operasional media pemberitaan. Rapat redaksi merupakan agenda rutin, yang
menjadi faktor pengembangan dan peningkatan kualitas berita yang dihasilkan.
Dalam rapat tersebut, reporter, juru kamera, redaktur bisa mengajukan usulan-
usulan topik liputan yang bersumber dari undangan liputan pihak dari luar,
konferensi pers, sistem pers, berita yang dimuat atau ditayangkan media lain, hasil
pengamatan pribadi jurnalis, masukan dari sumber informan, dan sebagainya.
Rapat redaksi menentukan topic yang akan diliput, pembagian tugas
reporter dan juru kamera yang harus meliput peristiwa tersebut, dan narasumber
yang harus diwawancarai. Selanjutnya, redaktur memberi briefing pada reporter
untuk diberikan informasi dan arahan. Setelah diberikan briefing, reporter
langsung menuju ke tempat kejadian. Apabila terjadi masalah atau hambatan di
lapangan atau tempat peristiwa yang akan diliput, seperti narasumber yang tidak
mau diwawancarai, atau peristiwa yang diliput tidak sesuai dengan yang dianalisis
dan dirapatkan sebelumnya, reporter langsung berkonsultasi pada redaktur yang
memberikan penugasan. Setelah selesai meliput, reporter kembali ke kantor untuk
melaporkan hasil liputannya kepada redaktur untuk dipertimbangkan kembali.
Setelah jelas berita tersebut akan dimuat di media yang telah dirapatkan
sebelumnya, reporter menuliskan kembali hasil beritanya, lalu dilakukan proses
penyuntingan oleh editor khusus untuk memeriksa gaya bahasa.

3.3 Kode Etik Jurnal


Kode Etik Jurnalistik adalah etika profesi wartawan. Etika jurnalis yang
sering dilanggar adalah menyiarkan informasi cabul, menerima suap, dan tidak
berimbang.

7
Wartawan itu kaum profesional, seperti dokter, pengacara, dan profesi lain
yang memerlukan keahlian (expertise) khusus. Sebagaimana layaknya kalangan
profesional, wartawan juga memiliki kode etik atau etika profesi sebagai pedoman
dalam bersikap selama menjalankan tugasnya (code of conduct).

Pasal 7 ayat (2) UU No. 40/1999 tentang Pers menyatakan "Wartawan


memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik". Dalam penjelasan disebutkan, yang
dimaksud dengan Kode Etik Jurnalistik adalah Kode Etik yang disepakati
organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers.

Pengertian Kode Etik Jurnalistik

Menurut UU No. 40/1999 tentang Pers, kode etik jurnalistik adalah


himpunan etika profesi wartawan.
Dalam buku Kamus Jurnalistik (Simbiosa Bandung 2009) saya mengartikan Kode
Etik Jurnalistik (KEJ) atau Kannos of Journalism sebagai pedoman wartawan
dalam melaksanakan tugasnya sebagai landasan moral atau etika profesi yang bisa
menjadi pedoman operasional dalam menegakkan integritas dan profesionalitas
wartawan.
Untuk wartawan Indonesia, kode etik jurnalistik pertama kali dikeluarkan
dikeluarkan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebagai organisasi tunggal
wartawan seluruh Indonesia pasa masa Orde Baru.

Kode Etik Jurnalistik PWI

KEJ pertama kali dikeluarkan dikeluarkan PWI (Persatuan Wartawan


Indonesia). Isi KEJ antara lain menetapkan.

1 Berita diperoleh dengan cara yang jujur.

2 Meneliti kebenaran suatu berita atau keterangan sebelum menyiarkan


(check and recheck).

3 Sebisanya membedakan antara kejadian (fact) dan pendapat (opinion).

8
4 Menghargai dan melindungi kedudukan sumber berita yang tidak mau
disebut namanya. Dalam hal ini, seorang wartawan tidak boleh memberi
tahu di mana ia mendapat beritanya jika orang yang memberikannya
memintanya untuk merahasiakannya.

5 Tidak memberitakan keterangan yang diberikan secara off the record (for
your eyes only).

6 Dengan jujur menyebut sumbernya dalam mengutip berita atau tulisan dari
suatu suratkabar atau penerbitan, untuk kesetiakawanan profesi.

Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI)


Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) dirumuskan, ditetapkan, dan
ditandatangani 6 Agustus 1999 oleh 24 organisasi wartawan Indonesia di
Bandung, lalu ditetapkan sebagai Kode Etik Jurnalistik yang berlaku bagi seluruh
wartawan Indonesia oleh Dewan Pers --sebagaimana diamanatkan UU No. 40
Tahun 1999 tentang Pers-- melalui SK Dewan Pers No. 1/SK-DP/2000 tanggal 20
Juni 2000.

KEWI meliputi tujuh hal sebagai berikut:

1 Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh


informasi yang benar;

2 Wartawan Indonesia menempuh tatacara yang etis untuk memperoleh dan


menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber
informasi;

3 Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak


mencampurkan fakta dengan opini, berimbang, dan selalu meneliti
kebenaran informasi serta tidak melakukan plagiat;

4 Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta,


fitnah, sadis, cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan
susila;

9
5 Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan
profesi;

6 Wartawan Indonesia memiliki Hak Tolak, menghargai ketentuan embargo,


informasi latar belakang, dan off the record sesuai kesepakatan;

7 Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam


pemberitaan serta melayani Hak Jawab.

Pengawasan dan penetapan sanksi atas pelanggaran kode etik tersebut sepenuhnya
diserahkan kepada jajaran pers dan dilaksanakan oleh organisasi yang dibentuk
untuk itu. Namun, jika pelanggarannya mengarah ke Delik Pers, maka proses
hukumlah yang diberlakukan. Delik pers yang banyak terjadi adalah Pencermaran
Nama Baik.

Kode Etik yang Sering Dilanggar

Menurut data Dewan Pers, wartawan sering melakukan pelanggaran kode etik
jurnalistik (Sumber). Bentuk pelanggarannya antara lain:

1 Berita tidak berimbang, berpihak, tidak ada verifikasi, dan menghakimi.

2 Mencampurkan fakta dan opini dalam berita

3 Data tidak akurat

4 Keterangan sumber berbeda dengan yang dikutip di dalam berita

5 Sumber berita tidak kredibel

6 Berita mengandung muatan kekerasan

3.4 UU Pers
Pasal-pasal dan kode etik jurnalistik terkait trial by the press
Berikut beberapa pasal yang berkaitan dengan trial by the press, yakni:
a. Pasal 5 UU Republik Indonesia 40/1999 Tentang Pers[2]

10
1. Pers nasional berkewajiban memberikan peristiwa dan opini
dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan
masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
2. Pers wajib melayani hak jawab.
3. Pers wajib melayani hak tolak.
b. Pasal 4 ayat 3 UU. No. 14/70:
Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak-pihak di luar
kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal yang disebut dalam
undang-undang.
c. Pasal 8 UU. No. 14/70:
Setiap orang yang disangka, ditangkap ditahan dituntut dan/atau
dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum
adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan
memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Untuk memberikan batasan kepada pers agar tindakan atau kegiatan
mereka tidak mengarah pada perbuatan trial by the press, pers dibekali atau
dibentengi oleh beberapa peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang
No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dimana diatur dalama Pasal 36 : ayat (5) Isi
siaran dilarang :

a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;


b. menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika
dan obat terlarang; atau
c. mempertentangkan suku, agama, ras, dan antar golongan.

Selain itu diatur juga dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang
Pers:

Pasal 5 UU Republik Indonesia 40/1999 Tentang Pers[2]


1. .Pers nasional berkewajiban memberikan peristiwa dan opini dengan
menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta
asas praduga tak bersalah.
2. Pers wajib melayani hak jawab.
3. Pers wajib melayani hak tolak.
Dan beberapa pasal terkait dengan tindakan Trial by The Pers atau peradilan
sepihak yang terdapat dalam:

11
1. Pasal 4 ayat 3 UU. No. 14/70:

Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak-pihak di luar


kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal yang disebut dalam
undang-undang.
2. Pasal 8 UU. No. 14/70:
Setiap orang yang disangka, ditangkap ditahan dituntut dan/atau
dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya
putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan
hukum yang tetap.

Untuk mencegah terjadinnya trial by the press, diberikan batasan pula


dengan adanya Kode Etik Jurnalistik, dalam Pasal 4: Wartawan Indonesia tidak
membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabull. Sehingga tidak terjadi penilaian
secara sepihak oleh pers.

3.5 Definisi Trial By The Press


Trial by the press adalah peradilan oleh pers, di mana pers berperan
sebagai Polisi, Jaksa, Hakim dan aparat hukum lainnya.[1]Di Indonesia belum
terdapat peraturan yang mengatur tentang trial by the press.Padahal, pemberitaan
yang sudah "memvonis" seseorang tersangka dilihat dari sudut tata negara sudah
merupakan trial by the press, karena sudah merupakan perusakan sistem
ketatanegaraan (Loqman, 1994:10).Dalam suatu negara hukum seperti Indonesia,
dilarang main hakim sendiri, karena itu tindakan pers yang menvonis tersangka
padahal hakim belum memberikan putusan yang mempunyai hukum tetap
merupakan pelanggarang terhadap fungsi kekuasaan kehakiman. Seharusnya
kekuasaan kehakiman yang menentukan kesalahan tersangka, tidak boleh
dipengaruhi apapun termasuk media massa.
Menurut Pahmo Wahyono ( dalam Loqman, 1994:10), trial by the press
dapat dilihat dari 2 sisi, yaitu:
1. Pers yang bebas menghakimi seseorang. Dalam hal ini bila dikaitkan
dengan pasal 24 UUD 1945, Maka kekuasaan kehakimandilakukan oleh
Mahkamah Agung dan badan kehakiman lainnya menurut undang-undang.
Karena itu tidak ada pemberian kekuasaan di luar kehakiman dalam

12
menghakimi seseorang. Jadi penghakiman oleh pers merupakan suatu
pelanggaran terhadap konstitusi.
2. Pers yang bebas ikut campur atau mempengaruhi kekuasaan kehakiman
yang merdeka. Hakim yang profesional dalam karirnya tidak akan
terpengaruh oleh tanggapan pers. Tetapi jika pemberitaan pers
mempengaruhi jalannya suatu proses pengadilan, maka hal itu merupakan
suatu masalah yang sifatnya konstitusional. Karena di satu pihak
kebebasan pers harus dihormati, di pihak lain kebebasan pers ini jangan
sampai menghakimi tersangka.
Di beberapa negara bila sampai terjadi penghakiman oleh pers, maka
media tersebut akan mendapatkan sanksi dengan dasar telah melakukan contempt
of court(kejahatan terhadap proses peradilan). Ini berarti media massa tersebut
dianggap telah melakukan trial by the press dan harus dipertanggungjawabkan
melalui peradilan.

3.6 Kasus Trial by The Press di Indonesia


1. Ketika sidang pengadilan terhadap mantan Wakil Perdana Menteri
Pemerintahan Orde Lama, Soebandrio (1996)
Peristiwa ini menjadi peristiwa trial by the press yang paling hitam dalam
sejarah pers Indonesia. Ketika berlangsung sidang ini, yaitu beberapa bulan
setelah Pemerintahan Orde Lama tumbang dan jabatan kepresidenan Soekarno
digantikan oleh Soeharto. Pemberitaan pers terhadap tertuduh saat itu bukan saja
tidak memperhatikan asas praduga tak bersalah dan prinsip penyajian yang adil,
jujur dan berimbang seperti yang dikehendaki kode eetik jurnalistik, tetapi juga
nyaris tidak mengindahkan etika sebagai pers yang beradab yang dituntut oleh hati
nurani siapapun.Terdakwa Soebandrio sebagai tokoh sentral kedua dalam
pemerintahan Orde Lama sampai-sampai disebut sebagai Dorna dalam
pemberitaan-pemberitaan pers waktu itu.

2. ABG Bunuh diri akibat pemberitaan pers di Aceh,


Menurut Fery, mantan pengurus Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan
Tindak Kekerasan)di Aceh ,pemberitaan di media yang langsung menuding kalau
PE sebagai pelacur, membuat dirinya malu kepada keluarga dan masyarakat.

13
Pemberitaan tersebut membuat dirinya tertekan dan frustasi, imbuhnya.Pria
yang pernah menjadi pengurus Kontras di Aceh ini menjelaskan, tertekan dan
frustasinya PE cukup beralasan. Pasalnya, dalam kultur masyarakat Aceh bila
seseorang tertangkap oleh Wilayatul Hisbah (sebuah lembaga pengawasan
pelaksanaan Syariat Islam di Provinsi Aceh),maka hal itu merupakan sebuah aib,
baik bagi keluarga maupun bagi kampungnya.Jika seseorang diketahui tertangkap
WH karena melanggar syariat, kata dia, maka orang tersebut akan dikucilkan
masyarakat dan lebih parahnya lagi orang itu akan diusir dari kampungnya.

3. Kasus Tempo dan PT Asian Agri


Kasus vonis hakim atas Toriq Hadad pimpinan redaksi Tempo melawan
PT Asian Agri di mana Tempo dijatuhi ganti rugi atas pencemaran nama baik
bosAsian Agridengan denda 50 juta rupiah serta permohonan maaf berturut
turut tiga hari di tiga media.
Pada kasus ini banyak pendapat yang menyayangkan vonis atas Tempo
dalam bentuk immateril bahkan ada yang berpendapat bahwa hal ini adalah
bentuk penghianatan terhadap kebebasan pers. AJI(Aliansi jurnalis Independen)
pun mengatakan bahwa kasus Asian Agri dan Tempo adalah terancam matinya
jurnalisme investigatif sehingga demokrasi dalam medapatkan informasi yang
beragam juga akan mati. Akan tetapi di sini yang kita lihat adalah posisi dominan
bagaimana proses masalah pers di lihat dalam persfektif hukum /yuridis dan
tentunya substansinya adalah tanggung jawab hukumnya., dan Tempo dalam hal
ini oleh hakim dalam vonisnya dikatakan bersalah dan secara perdata harus
memenuhi kewajiban atas vonis tersebut seperti mengutip Juniver Girsang SH
MH dalam judul bukunya mekanisme penyelesaian sengketa pers di jelaskan
bahwa : sebuah pemberitaan yang dianggap provokatif dan tendensius,dan
menyiarkan informasi yang bersifat dusta dan fitnah serta menjadikan medianya
sebagai sarana untuk menyebarluaskan pemberitaan/informasi yang bersifat
mendiskreditkan seseorang , dapat pula dijerat dengan hukum perdata berdasarkan
KUH perdata dengan dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum
sebagaimana diatur pasal 1365 KUH perdata.

14
4. Pemberitaan tentang Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum.
Pemberitaan pers terutama merujuk pada keterangan beberapa saksi di
Pengadilan Tipikor dalam kasus korupsi pembangunan Wisma Atlet di Palembang
untuk menempatkan keterlibatan Anas Urbaningrum dalam kasus itu sebagai
sasaran pemberitaan. Laporan pers bergeser dari substansi ke sasaran orang (ad
hominem).
Menurut catatan, kasus Trial by PressAkhir tahun 2011, LBH pers merilis
sekitar 30 kasus pers tahun 2011, seperti kasus hukum pidana, perdata, PHI, PMH
dan PTUN dan kasus wartawan karena dugaan penghinaan, pencemaran nama
baik, dan pemutusan hubungan industri. (LBH Pers, 2011) Divisi Etik Profesi
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia merilis data pengaduan masyarakat
terkait pelanggaran etika pemberitaan pers sebanyak 470 kasus periode Januari -
Oktober 2011. Tahun 2010, ada 514 kasus pelanggaran etika pemberitaan pers.
(AJI, 2011)

5. Kepala Badan (Kaban) Infokom Pemprov Sumut Drs H Eddy Syofian MAP
mengeluh pada saya, soal kecenderungan media massa yang terkadang sudah tak
bisa dipercaya, karena beberapa di antaranya suka seenaknya sendiri dalam
menyajikan berita.

Beberapa hari lalu, ada sebuah media menulis, saya menggelapkan dana Infokom
Rp 12 miliar, katanya. Padahal, tambah Eddy, anggaran Badan Infokom yang
dipimpinnya itu keseluruhannya tak mencapai angka Rp 12 miliar. Sungguh aneh,
bukan ?

Hal senada juga pernah saya alami. Saya diberitakan media massa menggelapkan
dana Rp 18 juta (jumlah yang relatif kecil). Tapi berita itu sungguh naif.
Bagaimana mungkin menggelapkan dana Rp 18 juta, sementara dana yang saya
terima dari Infokom cuma Rp 10 juta ?

15
6. Kasus Korupsi DPRD Provinsi Sumatera Barat

Pemberitaan mengenai Kasus Korupsi DPRD Provinsi Sumatera Barat


yang dikenal dengan istilah Korupsi berjamaah (Tahun 2004), atau deponering
pada kasus Bibit-Candra. Dalam hal pemberitaan, kadang kala Insan Pers
membuat suatu berita atau opini mengenai kasus yang sedang berjalan tanpa
berdasarkan fakta-fakta hukum yang ada sehingga mengabaikan asas Praduga Tak
Bersalah (presumption of innonce) tapi lebih mengedepankan praduga bersalah
(presumption of guilt) dan membuat opini publik yang menjadi opini masyarakat.
Akhirnya ibarat pengadilan kertas dimana para pengamat (atau setidaknya
mereka bilang seperti itu) mengeluarkan berbagai macam Dakwaan sehingga
hal ini menjadi bumerang bagi Hakim dalam mengambil keputusan.

3.7 Dampak Trial by The Press


Kebebasan pers adalah kebebasan media komunikasi baik melalui media cetak
maupun media elektronik. Dengan demikian kebebasan pers merupakan sesuatu
yang sangat fundamental dan penting dalam demokrasi karena menjadi pilar yang
ke 4 setelah lembaga eksekutif, lembaga legislatif, dan lembaga yudikatif. Jadi,
pers yang bebas berfungsi sebagai lembaga media atau aspirasi rakyat yang tidak
bisa diartikulasikan oleh lembaga formal atau resmi tetapi bisa diartikulasikan
melalui pers atau media massa.

Pers yang bebas tidak bertanggung jawab, sering menimbulkan dampak


yang tidak baik bagi masyarakat. Penggunaan pers atau media massa sebagai
sarana komunikasi sangatlah menguntungkan karena kita dapat mendapatkan
berita yang hangat dengan cepat tanpa perlu mengeluarkan uang yang banyak.
Media komunikasi modern seperti radio, televisi, dan lainnya dengan mudah dapat
kita gunakan, sehingga kapan saja dan dimana saja kita bisa mendapatkan
informasi dengan mudah. Dengan media komunikasi tersebut pertukaran nilai
budaya antar bangsa akan cepat terjadi. Program-program yang ditayangkan
seperti kejahatan, perang , dan hal-hal yang menjurus pada kemerosotan moral
masyarakat. hal tersebut tentu dapat membahayakan bangsa ini, karena dampak
yang ditimbulkan akan mengancam kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

16
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang cara menyalurkan
kebebasan berpendapat dan berbicara melalui media mssa harus dipatuhi oleh
semua pihak bukan saja insan pers. Meskipun pemerintah telah berusaha membuat
peraturan untuk mengatur kebebasan pers, namun kebebasan pers yang tidak
bertanggung jawab, dan penyalahgunaan kebebasan berpendapat dan berbicara
melalui media massa maupun media sosial masih sering terjadi.

Penyalahgunaan kebebasan berpendapat dan berbicara melalui media


massa selain membawa dampak negatif ada kalanya dapat menimbulakan
dampalk positif. Penyalahgunaan kebebasan berpendapat dan berbicara dpat
berdampak pada semua pihak baik dalam lingkup individu, masyarakat ataupun
Negara. Berikut adalah dampak yang terjadi dalam penyalahgunaan kebebasan
pers :

Bagi individu :

Dampak positif(+) : apabila suatu pemberitaan dapat meningkatkan nilai


positif pribadinya, sehingga akan mendorong masyarakat untuk
berpendapat bahwa dirinya adalah pribadi yang jujur dan benar
Dampak negatif(-) : adapun pemberitaan itu akan menghancurkan nilai
positif pribadinya di masyarakat sehingga mengakibatkan opini
masyarakat yang tidak baik terhadapnya. Hal itu akan berdampak pula
pada aspek bisnis, selain itu para korban akan mendapatkan dampak psikis
lainnya karena dikucilkan oleh masyarakat.

Karena jasa pers dalam kenyataan sering terjadi seseorang dapat


meningkat citra positifnya. Dapat juga terjadi reputasi seseorang hancur
karena jasa pers. Jadi, nama baik seseorang dapat dirugikan apabila terjadi
penyalahgunaan kebebasan berpendapat dan penyampaian informasi.
Kemungkinan opini public terpengaruh oleh tulisan media massa. Pihak yang
benar tampak salah, dan sebaliknya. Kesan berita pertama lebih mewarnai
kesan pembaca sehingga walaupun terjadi semacam ralat, hal itu tidak
berpengaruh untuk mengubah nama baik seseorang byang telah tercemar

Bagi masyarakat :

17
Dampak positif(+) : apabila dapat menumbuhkan kesetiakawanan sosial
dan mewujudkan persatuan dan kesatuan serta menjaga
keamanan,ketentraman serta ketertiban.
Dampak negatif(-) : apabila menyebabkan hal-hal yang bertentangan
dengan nilai luhur budaya bangsa, sehingga menyebabkan hilangnya rasa
kesetiakawanan sosial dan pecahnya persatuan dan gangguan terhadap
keamanan,ketentraman, dan ketertiban.

Tulisan dalam media massa yang kurang seimbang sumber


informasinya dapat mengakibatkan kesan yang berbeda dengan kenyataan
yang sebenarnya. Dengan bantuan media massa, fakta dapat ditutup- tutupi
dengan tulisan lain yang berkesan membenarkan. Masyarakat dalam hal
itu dapat tertipu karena mendapat informasi yang tidak benar. Misalnya,
suatu kebijakan seorang tokoh dalam masyarakat sebenarnya tidak tepat
secara ilmiah. Namun, karena informasi itu diberitakan secara berlebih dan
berulang- ulang serta diekspos secara besar- besaran, masyarakat menjadi
terpengaruh. Masyarakat tidak mengetahui apa- apa dan kurang
mendapatkan informasi yang seimbang

Bagi negara :

Dampak positif(+) : apabila dapat meningkatkan partisipasi, dukungan dan


keberpihakan rakyat kepada pemerintah, membantu pelaksanaan
pembangunan nasional agar berjalan lancar dan dapat meningkatkan
kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.
Dampak negatif(-) : apabila menyebabkan rakyat tidak percaya dan tidak
memberikan dukungan lagi terhadap pemerintah, kurang lancarnya
pembangunan nasional dan memburuknya kondisi keamanan negara serta
menurunnya tingkat kepatuhan masyarakat terhadap peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

18
Misalnya, tulisan-tulisan yang termuat dalam media masssa yang kurang
mempertimbangkan kepentingan nasional. Terlebih lagi, jika yang disampaikan
merupakan tulisan yang tidak berdasarkan fakta yang benar.

Hal semacam itu akan menimbulkan dampak sebagai berikut :

1 Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah berkurang karena


tidak percaya tehadap pemerintah. Masyarakat bersikap apatis dan acuh
tak acuh terhadap berbagai program pemerintah. Akibatnya lebih lanjut
adalah tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan, menjaga
keamanan dll juga menurun.

2 Kepercayaan Luar Negeri Luntur

Jika keadaan seperti itu benar- benar terjadi, dampak terburuknya adalah
tingkat kepercayaan Luar Negeri terhadap Indonesia berkurang. Akibatnya, minat
kerja sama terutama kerjasama ekonomi, penanaman investasi, pemberian
bantuan, pemberian pinjaman dsb juga akan menurun. Kepercayaan Negara lain
terhadap Negara kita merupakan sesuatu yang tidak ternilai harganya, sama
dengan harga diri kita sebagai bangsa. Jika tidak ada lagi kepercayaan Negara lain
terhadap kita, jatuhlah harga diri kita sebagai bangsa.

19
BAB IV

KESIMPULAN

Pers merupakan lembaga yang bebas berfungsi sebagai media atau yang
menaungi aspirasi rakyat yang tidak bisa diungkapkan melalui lembaga formal
atau resmi tetapi bisa diartikulasikan melalui pers atau media massa. Namun
dengan adanya pers yang tidak bertanggung jawab, seperti pers yang hanya
menyebarkan berita yang dapat menjatuhkan salah satu pihak akan memengaruhi
masyarakat dengan pembentukan opini yang sudah difokuskan oleh pers bahwa
seseorang ini salah atau benar dan hal ini sering menimbulkan dampak yang tidak
baik bagi masyarakat. Trial by the press merupakan peradilan oleh pers, di mana
pers dapat berperan sebagai Polisi, Jaksa, Hakim dan aparat hukum lainnya. Dan
di negara kita sendiri belum terdapat peraturan yang mengatur tentang trial by the
press meskipun sudah ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
Pers dan dunia jurnalistik. Tetapi, peraturan yang ada sering kali diabaikan oleh
wartawan yang melakukan pemberitaan. Dalam suatu negara hukum seperti
Indonesia, dilarang main hakim sendiri, karena itu tindakan pers yang memvonis
tersangka padahal hakim belum memberikan putusan yang mempunyai hukum
tetap merupakan pelanggarang terhadap fungsi kekuasaan kehakiman. Dengan
adanya pemberitaan yang sudah mengarah pada penjatuhan vonis kepada
seseorang tersangka dan apabila dilihat dari sudut tata negara sudah merupakan
trial by the press, karena sudah merupakan perusakan sistem ketatanegaraan.
Maka dari itu, perlu adanya peraturan perundang-undangan yang secara khusus
membahas tentang permasalahan Trial by The Press di Indonesia, sebab kasus ini
tidak hanya terjadi sekali dua kali dan tidak hanya di suatu tempat tertentu.

20
DAFTAR PUSTAKA

Irwan Abdullah,dkk.(2011). KODE ETIK JURNALISTIK DALAM PRAKTIK


FOTO JURNALISME KAMPANYE PEMILIHAN PRESEIDEN 2009
DI INDONESIA. Kawistara, Vol.1(2), 103-212.

Arismunandar, Satrio.(2013). Teknis dan Mekanisme Peliputan Jurnalistik.


Diakses
dari:https://www.academia.edu/5004646/Teknik_dan_Mekanisme_P
eliputan_Jurnalistik

Tim Edukatif HTS. Modul Kewarganegaraan. Surakarta : CV Hayati Tumbuh


Subur. Hal 3-4.

Utami, Sinung.(2012). Hukum Media, Dulu, Kini, dan Esok.Riptek, Vol.6(1), 49-
53.

Anggadha, Arrie dan Anggi Kusumadewi.2009.hindari trial by the press soal


kasus KPK,(online),
(http://politik.news.viva.co.id/news/read/103428-
hindari_trial_by_the_press_soal_kasus_kpk diakses tanggal 17
desember 2015 pukul 14.30 WIB)

Parlina,lin.2011.trial by the press,(online),


(http://www.kompasiana.com/natama/trial-by-the-
press_550087aaa33311a96f511688 diakses tangga 17 desember
2015 pukul 15.25 WIB)

21
WE ARE FROM

IKM B 2015

Dari kiri ke kanan : adam, rika, vita, icha, titin, nabylla, yunita

22

Anda mungkin juga menyukai