Anda di halaman 1dari 26

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PIMPINAN MEDIA

ATAS HAK INGKAR

PROPOSAL

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat


Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Program Studi Ilmu Hukum

Oleh:

DYCE ARDYAN PUTRA


NPM. 0806200320

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
MEDAN
2012

1
2

A. Judul : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PIMPINAN MEDIA

ATAS HAK INGKAR

B. Latar Belakang

Media sebagai lembaga kemasyarakatan (social institution) yang

merupakan subsistem dari kemasyarakatan tempat ia beroperasi, bersama-sama

dengan subsistem lainnya. Media menjadi penghubung antara masyarakat dengan

berbagai masalah yang ada di seluruh dunia. Media massa dapat berperan penting

dan menentukan pilihan dalam melihat pemerintahan ke masa depan. Tidak

banyaknya literatur yang meneliti peran dan efektivitas media dalam memenuhi

fungsi ini, meski menurut institusi hal itu masuk di akal. Memang ada literatur

yang memusatkan perhatian pada pentingnya disebut the fourt estate dalam proses

pembuatan kebijakan.

Tentulah media massa tak mungkin memikul semua tanggung jawab dalam
penyebaran tentang kebenaran. Media hanya mungkin mengatakan banyak
tentang kebenaran sehingga publik mengetahui kejadian kejadian atau
kegiatan-kegiatan yang sedang berlangsung. Tujuan umum media massa
ialah membuat rakyat di seluruh dunia bisa memperoleh isi komunikasi
yang memungkinkan mereka memiliki sebuah masyarakat yang damai dan
produkuktif dan juga yang memberikan mereka kepuasan pribadi.1

Media mendapatkan semua berita berdasarkan peran masyarakat. Peran

masyarakat sebagai wahana komunikasi ke dalam maupun ke luar, ke dalam

berusaha menyelenggarakan ke dalam tubuh organisasi, ke luar memberikan

informasi kepada masyarakat dan lingkungan. Penyelenggaraan berfungsi

1
H.A. Muis 1999. Jurnalistik Hukum dan Komunikasi Massa. Jakarta: Dharu Anuttama, halaman
28
3

menjaring, mengelola, dan menyajikan informasi yang diperlukan sehingga sesuai

dengan kebutuhan komunikasi dan kelompok sasaran yang dituju.

Pengertian tentang kebebasan media, khususnya menurut ukuran dan

konsepsi negara negara barat, maka penelitian prealabel tentang arti luas dan arti

sempit mempunyai peranan yang menetukan, oleh karena pengertian tersebut

dapat membawa akibat hukum yang berlainan.

Meskipun demikian mungkin saja media yang independen berpihak atau

media tersebut tak mampu memberikan laporan yang dapat dipercaya. Mengingat

potensi yang dimilikinya dalam mempengaruhi perilaku banyak orang atau

pemain utama, media dapat meningkatkan atau mengurangi arti suatu berita di

mata publik dan karenanya memengaruhi sebaran manfaatnya di klangan

masyarakat. Pengaruh seperti ini perlu dibatasi oleh mekanisme pengecekan dan

penyeimbang. Media berkualitas memiliki kemampuan yang lebih besar untuk

mempengaruhi konsumen informasi.

Sebagian besar negara punya beragam bentuk media, bukan jaminan

bahwa media media itu merupakan wahana efektif dan kritis dalam menyoroti

tindak tanduk pemerintah. Media perlu informasi yang riil menegenai tindak

tanduk pemerintah untuk berita yang akan mereka cetak atau siaaarkan. Semua ini

tergantung seberapa jauh media itu dikenai regulasi, dibelenggu, atau ditindas

oleh berbagai tindakan pemerintah, mulai daari kebijakan menegnai izin dan

kepemilikan sampai sogokan dan ancaman. Banyak negara yang secara resmi

dinyatakan sebagai negara demokratis ternyata membatasi kebebasan pers.


4

Kriteria bahwa suatu negara memberikan jaminan kepada kebebasan pers atau

tidak, dapat ditentukan dengan tiga syarat:

1. Tidak ada kewajiban menurut hukum untuk meminta surat ijin terbit bagi

suatu penerbitan pers kepada pemerintah;

2. Tidak ada wewenang menurut hukum pada pemerintah untuk melakukan

penyensoran sebelumnya terhadap berita atau karangan yang akan dimuat

dalam suatu penerbitan pers;

3. Tidak ada wewenang menurut hukum pada pemerintah untuk melakukan

pemberangusan terhadap suatu penerbitan pers, baik untuk selama

lamanya maupun jangka waktu tertentu.2

Pemenuhan ketiga syarat itu dapat dilihat pada tingkat praktek politik UU

No.40 Tahun 1999 pasal 9 (1) (2) menegaskan bahwa setiap warganegara berhak

membentuk penerbitan pers dan perusahaan pers harus berbentuk badan hukum

Indonesia.. Pasal 4 (2) menetukan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan

sensor dan prembreidelan. Bahkan pasal 4 (1) menentukan bahwa kebebasan pers

adalah hak asasi warganegara yang dijamin dengan undang undang.

Jurnalistik atau pemberitaan media massa berkewajiban menciptakan

sebuah masyarakat yang bebas, damai dan produktif serta menjamin kepuasan

pribadi. Pengertian tersebut sangat filosofis. Namun tidak sulit dijabarkan dalam

penyelenggaraan jurnalistik. Disamping itu menurut Harold D. Lasswell

pemberitaan media massa juga bisa berperan melakukan pewarisan sosial dari satu

generasi ke generasi berikutnya.

2
Hasyim Asy’ari. 2009. Prembredelan TEMPO 1994 Wajah Hukum Pers Sebagai Alat Represi
Politik Negara Orde Baru. Jakarta:Pensil-324. Hal 63
5

Agar informasi yang dihasilkan, media efektif, diperlukan tanggapan

kolektif yang layak. Tanggapan ini bisa diperoleh bahkan di negara yang otokratis,

tapi jelas lebih mungkin terjadi di negara yang memiliki lembaga demokrasi,

seperti pemilihan umum yang bebas. Dalam sebuah demokrasi warga butuh

informasi yang dapat mereka gunakan untuk memilih politikusnya berdasarkan

informasi yang diperoleh dari media.

Pers sebagai media dalam menginformasikan suatu berita bukan berarti

tidak memiliki suatu hak dan kewajiban yang tertera pada kode etik pers. Seorang

pers wajib dan berhak mendapatkan sesuatu atas dasar kode etik mereka.

Pers memiliki beberapa hak, antara lain:

1. Hak tolak / hak ingkar adalah hak wartawan karena profesinya, untuk

menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber

berita yang harus dirahasiakannya.

2. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk

memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta

yang merugikan nama baiknya

3. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan

kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik3

4. Hak Publik adalah hak masyarakat untuk memperoleh informasi,

merupakan hak asasi manusia yang paling mendasar, yaitu hak tiap orang

untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan

pribadi dan lingkungan sosialnya; hak untuk mencari, memperoleh,

3
UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers Pasal 1 point 11, 12, dan 13
6

memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan

menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.4

Sedangkan kewajiban bagi seorang persdalam kode etik wartawan,

1. Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan

menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta

asas praduga tak bersalah.

2. Pers wajib melayani Hak Jawab.

3. Pers wajib melayani Hak Koreksi.

4. Kewajiban Koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat

terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar

yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan.5

Dari beberapa bentuk kewajiban dan hak seorang pers dilihat dari kode

etik mereka. Ada satu hak seorang pers dalam menjalankan profesinya, yaitu hak

tolak atau hak ingkar, dimana seorang pers berhak untuk bungkam di depan umum

ketika mereka ditanyakan asal muasal suatu berita yang didapat, dikarenakan

dalam kode etik yang juga diatur dalam Undang Undang No. 40 Tahun 1999

tentang pers, dilindungi secara sah. Hal ini membuat beberapa orang merasa

dirugikan akibat berita yang ada, misalnya menjelang akhir Februari 1993 lalu

Onky Alexander, yang sejak tiga bulan sebelumnya dinyatakan buron oleh polisi,

menepati janji berjumpa dengan wartawan. Buronan itu dalam wawancara sekitar

dua jam membentangkan panjang lebar tentang kusut masainya peristiwa-

4
http://pwi.or.id/index.php/Pressedia/H-dari-Ensiklopedia-Pers-Indonesia-EPI.html Kamis, 23
Pebruari 2012
5
UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers Pasal 1 point 13, Pasal 5
7

peristiwa yang dialaminya sehubungan dengan tuduhan sebagai pelaku penipuan

yang dibebankan padanya. Ia memang sedang mencoba membela diri secara

publik, dan hal itu tampil dalam sajian liputan wawancara yang kemudian dimuat.

Polisi, dalam hal ini pihak Polres Jakarta Barat, langsung menilai: seharusnya

wartawan memberitahukan kejadian itu pada mereka sebagai wujud partisipasi

dan tanggung jawab masyarakat.6

Inilah yang melahirkan kembali perdebatan tentang hak-hak istimewa wartawan,

terutama karena pernyataan polisi menimbulkan berbagai tanggapan, baik dari

kalangan wartawan maupun para ahli hukum. Hak tolak wartawan, khususnya

yang dirumuskan dalam Pasal 15 ayat 1 Undang-undang No. 21 Tahun 1982

tentang Perubahan atas Undang-undang No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-

ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4

Tahun 1967, dianggap dapat menjadi perisai menghadapi tuntutan polisi.

Pemerintah sendiri waktu memberikan pengantar RUU tersebut sudah

mengutarakan maksudnya, yakni untuk lebih memperjelas pengakuan dan jaminan

terhadap hak tolak wartawan di dalam menjalankan fungsinya. Pada intinya pasal

itu meliputi hak-hak wartawan sebagai berikut: Pertama, untuk dibebaskan dari

kewajiban memberi keterangan sebagai saksi dalam sidang pengadilan Kedua,

untuk menolak memberikan keterangan yang diminta penyidik, yakni keterangan

tentang nama, jabatan, alamat, kecuali dalam hal menyangkut ketertiban dan

keamanan negara yang ditentukan dengan keputusan tersendiri oleh hakim atas

permintaan wartawan. Keputusan itu harus segera diberikan, dan selama

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1993/03/20/KL/mbm.19930320.KL2771.id.html .
6

Kamis, 23 Februari 2012


8

keputusan belum ada, wartawan yang telah mengajukan permohonan dimaksud

tetap mempunyai hak tolak.

Prof. Moeljatno dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana, berpandangan

bahwa: “orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada waktu

melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat dapat dicela karenanya,

yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu

mengetahui makna (jelek) perbuatan tersebut, dengan kata lain perbuatan tersebut

memang sengaja dilakukan. Selain itu orang juga dapat dicela karena melakukan

perbuatan pidana (tindakan pidana menurut UU dan Sudarto) meskipun tak

sengaja dilakukan tapi terjadinya perbuatan itu dimungkinkan karena dia alpa atau

lalai terhadap kewajiban kewajiaban yang dalam hal tersebut, oleh masyarakat

dipandang seharusnya dijalankan olehnya. Dalam hal ini celaan bukan disebabkan

oleh kenapa melakukan perbuatan padahal mengerti sifat jeleknya perbuatan

seperti dalam hal kesengajaan, tetapi disebabkan oleh kenapa tidak menjalankan

kewajiban kewajiban yang seharusnya dilakukan olehnya, sehingga karenanya

masyarakat dirugikan. Dengan kata lain perbuatan tersebut terjadi karena

kealpaan. Selain itu, orang juga dapat melakukan tindak pidana walaupun tanpa

adanya kesengajaan ataupun kealpaan, sehingga tidak dapat dicela.

Setelah memberikan pemaparan yang singkat di atas dan seorang pers atau

media mendapatkan kebebasan dikarenakan memiliki hak untuk tidak memberi

suatu informasi sumber berita bagi siapapun oleh sebuah berita yang dibuat dan

dimuat dalam sebuah media, sehingga saya memiliki ketertarikan untuk


9

mengangkat proposal skripsi yang berjudul: Pertanggungjawaban Pidana

Pimpinan Media Atas Hak Ingkar.

1. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang akan di bahas dalam proposal ini adalah:

a. Bagaimana kedudukan hak ingkar dalam Undang Undang Nomor 40 Tahun

1999 tentang pers?

b. Bagaimana pertanggungjawaban pidana atas penggunaan hak ingkar?

c.Apakah konsekuensi atas hak ingkar?

2. Manfaat Penelitian

Manfaat yang akan didapatkan dari judul di atas antara lain:

a. Secara teoritis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut untuk

memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum pidana

khususnya terhadap tanggung jawab media terhadap hak ingkar.

b. Secara praktis

Sebagai bahan informasi untuk semua pihak yang berkaitan dalam hukum

pidana khususnya dalam bidang pers.

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian adalah:

1. Untuk mengetahui bentuk tanggungjawab pidana terhadap pimpinan media

yang melakukan hak ingkar.

2. Untuk mengetahui akibat hukum pidana atas hak ingkar yang dilakukan

pimpinan media.
10

3. Untuk mengetahui tanggungjawab terhadap hak ingkar dilihat dari UU Pers

No. 40 Tahun 1999.

D. Defenisi Operasional

1. Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban terhadap suatu

perbuatan yang menyangkut publik yang bersifat efek jera bagi

pelakunya.7

2. Pimpinan Media adalah pejabat tertinggi di bidang atau bagian

keredaksian. Pemimpin Redaksi sebagai pimpinan media yang

bertanggung jawab atas operasi sehari-hari bagian redaksi sehingga yang

bersangkutan biasanya sekaligus sebagai penanggung  isi media massa

yang dikelola serta dipimpinnya apabila terjadi masalah yang berkaitan

dengan kode etik dan hukum.

3. Hak ingkar / hak tolak adalah hak (vermeend) untuk melindungi sumber

dari pemberitaan. Hak Tolak adalah hak wartawan karena profesinya,

untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari

sumber berita yang harus dirahasiakannya.8

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Pimpinan Media dan Hak Ingkar

Membicarakan masalah media maka akan berhubungan dengan pers dan

hukum, di dalam pembicaaran di sini mungkin akan sedikit menunjukkan fokus

kepada masalah masalah apa saja.

7
EY Kanter dan SR Sianturi. 2003. Azas-azas Hukum Pidana di Indonesia.jakarta: Storia Grafika.
halaman 102
8
Hasyim Asy’ari. Op. Cit. halaman 127
11

Dalam suatu perusahaan atau industri media massa, lazim terdapat jabatan

yang akrab disebut pemimpin redaksi atau biasa disingkat pemred, yakni pejabat

tertinggi di bidang atau bagian keredaksian. Pemimpin Redaksi sebagai pimpinan

media yang bertanggung jawab atas operasi sehari-hari bagian redaksi sehingga

yang bersangkutan biasanya sekaligus sebagai penanggung  isi media massa yang

dikelola serta dipimpinnya apabila terjadi masalah yang berkaitan dengan kode

etik dan hukum. Dalam mengelola redaksi pemimpin redaksi dibantu oleh jajaran

wakil pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, redaktur, asisten redaktur, para

wartawan serta staf lainnya yang fungsinya mendukung jalannya roda organisasi

redaksi.

Pimpinan media bersama unsur pimpinan puncak perusahaan lainnya

bertugas merumuskan kebijakan redaksional sesuai dengan visi dan misi

perusahaan media bersangkutan. Dengan demikian kebijakan redaksional tersebut

bukan semata-mata hasil rumusan seorang pemimpin redaksi, melainkan juga

merupakan rumusan yang sudah disepakati bersama di tingkat pimpinan

perusahaan yang terdiri atas direksi dan unsur pimpinan lainnya. Tak jarang

kebijakan redaksional juga dirumuskan dan disepakati oleh dewan redaksi, yang

di dalamnya terdapat unsur direksi, pemimpin redaksi, dan unsur atau figur lain

yang dinilai memahami masalah keredaksian.

Dalam era persaingan bisnis media massa yang sangat tajam dewasa ini,

seorang pimpinan media tidak saja dituntut mahir menyajikan isi media yang

berkualitas, tetapi juga harus mampu memahami keinginan pasar sehingga

medianya diminati masyarakat luas atau laku di pasar. pimpinan media tidak
12

hanya memahami aspek keredaksian, tetapi juga harus memahami aspek bisnis

media sehingga dia mampu memadukan antara tujuan idiil dan komersial sebuah

perusahaan media massa.

Pemimpin redaksi harus rajin membaca atau mencermati isi medianya

sendiri maupun media pesaing. Dengan demikian ia dapat segera mengetahui

berbagai kekurangan, kelemahan atau kesalahan yang dilakukan oleh medianya,

dan di lain pihak juga mampu mengetahui plus-minus tampilan media pesaing.

Jika dalam pencermatannya ternyata ditemukan kesalahan yang berat atau bahkan

fatal, maka seorang pemred biasanya tak segan untuk segera mengadakan rapat

secara mendadak untuk mencari solusi terbaik.

Di tengah kesibukannya pemimpin redaksi masih harus menulis tajuk

rencana. Akan tetapi dalam perkembangan bisnis media massa dewasa ini, dan

sejalan pula dengan perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi, maka

pemimpin redaksi merasa perlu membentuk sebuam tim untuk menulis tajuk

rencana yang topiknya memang setiap hari selalu berubah. Hal ini dimaksudkan

agar tajuk rencana ditulis oleh unsur pimpinan redaksi atau wartawan yang sangat

memahami masalah yang akan ditulis sebagai tajuk rencana tersebut. Hak ingkar

atau disebut juga sebagai hak tolak adalah hak (vermeend) untuk melindungi

sumber dari pemberitaan. Hak Tolak adalah hak wartawan karena profesinya,

untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber

berita yang harus dirahasiakannya9 Ia merupakan suatu asspek

“strafprocesrechtelijk” dari persoalan pers dan timbul karena ada suatu

controverse antara pertimbangan pertimbangan ethis dari pers, yang tidak bersedia
9
UU No.40 Tahun 1999 tentang pers Pasal 1 point 10
13

untuk menyebut “zegsmen”nya dan pertimbangan pertimbangan yudicial, yang

menghendaki agar supaya seorang saksi dalam suatu proses pidana harus

memberikan keterangannya sebagai saksi.

Tiga kemungkinan dapat dihadapi dalam hal demikian:

a. Ia menimbulkan suatu impase, tanpa memberikan pemecahan

persoalan dan menempatkan ke dua belah pihak dalam posisi yang

berhadapan satu sama lain, kadang kadang secara bermusuhan.

b. Kebijakasanaan yang diambil oleh pengadilan pengadilan yang tidak

mau memaksa pers untuk meninggalkan apa yang dinamakan kode

etiknya untuk tidak menyebutkan sumber informasinya. Konflik

secara terang terangan dengan demikian dapat dihindari.

c. Mengakui hak ingkar tersebut.10

2. Hak Ingkar dan Kebebasan Pers

Konsep kebebasan pers yang dianut oleh suatu negara akan dipengaruhi

oleh tiga hal yaitu kerangka sosial pollitik, sosial ekonomi dan sosial budayayang

berlaku dalam masyarakat. Ketiga lingkungan itu, dalam suatu negara hukum

ditentukan dalam sistem konstitusi. Konstitusi sendiri dapat dipandang dari tiga

arah: latar belakang sejarah, norma hukum, dan praktek politik, yang kemudian

dapat dilihat dalam hubungan-hubungan kekuasaan secara nyata.

Pasal 2 ayat 2 Kode Etik Wartawan menentukan bahwa wartawan

Indonesia dilarang menyiarkan hal-hal yang bersifat destruktif dan dapat

merugikan kepentingan bangsa dan negara, hal-hal yang dapat menimbulkan

10
Oemar Seno Adji. 1990. Perkembangan Delik Pers di Indonesia. Jakarta: Erlangga. halaman
87-88
14

kekacauan dan menyinggung perasaan orang lain karena masalah susila, agam

kepercayaan dan golongan.

Ketetapan MPRS No. XXXII/MPR/1966 tentang Pembinaan Pers

menentukan bahwa kebebasan pers harus dapat dipertanggungjawabkan kepada

Tuhan Yang Maha Esa, kepentingan rakyat, keselamatan negara, kelangsungan

penyelesaian revolusi, moral, dan tata susila dan kepribadian bangsa yang

dikaitkan dengan pertanggungjawaban pidana.

Melihat ketentuan hukum dan kode etik wartawan tersebut di atas,

kebebasan pers yang diakui di Indonesia adalah bersifat kompromistis antara

kebebasan individu untuk mencarai dan menyiarkan pendapat dengan menjaga

kepentingan negara. Apakah jaminan atas kebebasan pers akan benar-benar

terwujud, akan terlihat pada praktek politik.

Beberapa konsep normatif tersebut melahirkan pendapat tentang

kebebasan pers. Oemar Seno Adji berpendapat bahwa esensi dari pers bebas

adalah tidak diperkenankannya langkah ataupun tindakan preventif dalam

kehidupan hukum kita: larangan sensor, prembreidelan pers, penghapusan SIT.11

Berdasarkan pada TAP MPRS tentang pembinaan pers, ia lebih setuju jika

kebebasan pers dipertanggungjawabkan secara hukum melalui peradilan.

Kehidupan bermasyarakat dan bernegara tidak ada kebebasan yang mutlak

sifatnya. Kebebasan seseorang berhenti apabila melanggar kebebasan orang lain

ataupun melanggar kepentingan umum. Oleh akrena itu, dalam menjalankan

kebebasan pers, wartawan harus bertanggungjawab pada hati nurani, sesama

11
Ibid halaman 11
15

warganegara yang juga memiliki hak-hak asasi, kepentingan umum yang diwakili

oleh pemerintah, dan tanggungjawab pada rekan seprofesi.

Keberatan terhadap kebebasan pers dalam arti fungsionalhistoris adalah

bahwa kebebasan pers sebetulnya tidak lagi tegas sebagai kebebasan yang

esensial. Kalau berpegang pada kebebasan fungsional, persoalannya adalah

siapakah yang menentukan fungsi-fungsi yang memperbolehkan kebebasan

tersebut.

Kebebasan pers bukan semata mata kebebasan yang bersifat fungsional-

historis namun juga kebebasan yang bersifat etis. Dalil umum etika berbunyi:

suatu nilai etis tidak pernah merupakan hasil dedukasi dari perkembangan empiris.

Kalau benar bahwa kebebasan pers adalah sesuatu nilai yang bersifat etis, tidak

pernah dapat membatalkan kebebasan pers, kecuali jika suatu negara menolak

adanya martabat orang per orang dan hanya mengahargai martabat kolektif seperti

negara misalnya.

Negara hukum dan kebebasan pers, mereka merupakan 2 unsur, yang

“inter-connected” satu sama lain. “Free opinion, free expression” yang menjadi

sumber bagi kebebasan pers, sebagai hak azasi adalah essentieel bagi suatu negara

hukum.

Konsep negara hukum manapun, apakah ia sadarkan atas doktrin “rule of

law” ataukah kita mengikuti prinsip “socialist legality”, yang digariskan oleh

negara-negara sosialis, mereka menunjukkan suatu similatarity, bahwa dalam

prinsipnya hak azasi ia disebut “pilitical rigts and freedoms” di U.S.S.R, diakui

dilindungi, dan merupakan “safeguard”.12


12
Ibid. halaman 70-71
16

3. Fungsi Media

Tugas pertama jurnalistik (pers) menurut F.Fraser Bond ialah untuk

menerima keterangan keterangan yang sifatnya paling lekas dan paling tepat

tentang kejadian kejadian pada waktu tertantu. Kemudian dengan segera pula

memberitakannya guna menjadikan peristiwa peristiwa itu sebagai milik bangsa di

mana pers itu berada. Keberadaan pers adalah karena tugasnya mengungkapkan

kejadian kejadian pada waktu tertentu (the press lives by disclosures). Apapun

yang memasuki daerah pemeliharaannya akan menjadi bagian pengetahuan dan

sejarah pada zaman kita. Tugas atau kewajiban pers adalah bicara. Tugas

wartawan sama dengan tugas sejarahwan. Yaitu berupa menemukan kebenaran, di

atas segalanya, dan menyajikan kepada pembacanya. Kewajiban lain ialah

mengutamakan kejujuran atau keterbukaan. Penulis yang lebih baik dan koran

koran yang lebih baik berupaya menjauhi sikap berpihak atau berat sebelah.

Kewajiban selanjutnya ialah pers harus berkata benar. Watak yang baik

tidaklah mudah diperoleh atau dipertahankan tanpa perjuangan. Pers adalah

sebuah bisnis atau usaha yang selalu mengalami perubahan dalam berhubungan

dengan publik. Mudahnya terjadinya penggeseran demikian adalah masalah yang

menuntut keputusan yang cepat dari jurnalistik. Meskipun demikian sifat jjujur

tetap harus bertahan baik di dalam penyiaran berita maupun iklan.

Peran media untuk menghadirkan kedisiplinan paling relevan dalam situasi

tindak tersembunyi. Misalnya seorang politikus berniat memberi atau menerima

terjadinya sogokan. Terungkapnya hal ini kepada publik tergantung keampuhan


17

media itu, semakin tinggi biaya sampingan yang harus dibayar oleh politikus

bersangkutan sehingga memaksanya untuk mengurungkan niatnya.

4. Delik Pers

Ciri pokok delik delik pers yang disebut law of seditious libel (haatzaai

dellition) adalah ciri formal. Ada semboyan tentang hukum pidana itu, bahwa

semakin besar keberanian isi kritik semakin besar pula kadar penghinaannya (the

greater the truth the greater the libel). Artinya, penulis atau wartawan yang

dituntut atas tuduhan melanggar undang undang penyebar kebencian tidak berhak

membuktian tentang tidak adanya akibatnya “kebencian” yang ditimbulkannya

atau tentang kebenaran isi tulisannya (delik formal). Dari sudut pandang teori

“kebutuhan dan kebebasan komunikasi” yang dijelaskan di muka, rumusan delik

delik penyebar kebencian tersebut dapat berakibat mematikan kebebasan

komunikasi dan informasi. Itulah sebabnya dalam kasus dramatis

wartawan/penerbit mingguan “The Journal”, John Peter Zenger di New York

hampir 3 abad silam (1734), yuri mengesampingkan berlakunya “Sedition Act”.

Undang undang “kebencian dan penghinaan kepada penguasa” itu dibawa oleh

Inggris ke New York sebagai penjajah dari Eropa. Wartawan itu menuduh

Gubernur New York, Wiliam Cosby, melakukan korupsi dan menyengsarakan

rakyat. Pembelanya seorang lansia berusia 80 tahun, Andrew Hamilton, dari

philadelpia. Pledoinya mengguncang emosi Dewan Yuri. Ia berkata, bahwa yang

malang itu, melainkan hak rakyat Amerika untuk menyatakan pendapat tentang

kebenaran. Dewan Yuri menyatakan wartawan itu “not guilty”. Kasus delik
18

penyebar kebencian itu disebut “Landmark Case” karena kasus itu merupakan

tonggak sejarah mengakhiri berlakunya delik pers yang mengerikan di Amerika.

Ada teori yang menyatakan, bahwa undang undang hukum pidana yang

diadakan untuk menindas gerakan gerakan politik tertentu akan tetapi digunakan

jika gerakan gerakan politik tertentu akan tetap digunakan jika gerakan gerakan

politik teretentu akan tetap digunakan jika gerakan gerakan politik itu

memeproleh kewenangan. Tujuannya sama dengan tujuan pertama, yaitu untuk

“mengantisipasi” gerakan gerakan politik berikutnya (W.PJ. Pompe dalam Hang

Bing bing Siong, 1964:9)13

Tetapi, apapun alasannya, pasal pasal hukum pidana tersebut dengan

rumusan yang berwatak formal tidak lagi layak untuk dipertahankan. Pertama,

pasal pasal teresebut sifatnya tidak demokratis dan menyerupai tindakan

mencegah orang berkomunikasi (sensor dan sejenisnya), jadi bertentangan dengan

asas kebebasan komunikasi manusia. Kedua undang undang tersebut bersifat

melindungi kepentingan orang orang yang sedang berkuasa. Ketiga, pasal pasal

tersebut memperkuat peranan pasal 33H Permenpen 01/84 tentang pembatalan

SIUPP yang berwatak preventif terhadap kebebasan pers. Sekaligus bertentangan

dengan Permenpen 01/1998 yang mencabut Permenpen 01/1984 tersebut.

Keempat, tururt melemahkan fungsi informasi, kritik, koreksi, dan kontrol

konstruktif14 pers nasional. Tetapi justru watak formal pasal pasal penebar

kebencian ini tidak wajib membuktikan hal itu. Yang diperlukan hanyalah kata

13
H.A. Muis. Op. Cit. halaman 79

14
Arti konstruktif disini adalah bahwa berita, kritik, kontrol dan koreksi itu bersifat, “fair, true and
accurate” (Nelson & Teeter Jr 1982)
19

kata yang digunakan oleh wartawan atau penulisnya: apakah “kasar”, menusuk

perasaan bagi peuasa atau pemerintah yang dikritik. Ternyata ketentuan mengenai

SIUPP dan era pembatalannya sangat senada dengan watak pasal passal penyebar

kebencian dalam buku II KUHP. Sama sama memiliki sifat pembredelan atau

prior restraint dan pre-publication penalty. Ketentuan mengenai SIUPP juga

ternyata mencampuradukkan UU Publikasi atau isi media massa (code of the

publication). Padahal menurut Fernand Terrou dan Lucian Sosial (1950) keduanya

harus terpisah agar tidak mematikan kebebasan pemberitaan. SIUPP menurut

kedua ahli hukum media massa tersebut seharusnya hanya mengatur bidang

perusahaan media massa, seperti administrasinya, personalianya, pembukuannya,

pengupahan wartawan, pajaknya dan sebagainya. Ketentuan mengenai SIUPP

tersebut mematikan ketentuan Pasal 4 UU Pers, mengenai “tidak ada sensor dan

pembredelan” bagi pers nasional, sangat kontroversional.

Karena tanggungjawab bagi kebebasan pers terlampau besar maka timbul

beban psikologi yang berat bagi para wartawan dalam melaksanakan fungsi kritik,

koreksi dan kontrol terhadap pemerintah. Ada ketakutan akan mealnggar ranjau

ranjau pers meskipun sudah diupayakan membuat berita atau tulisan yang disebut

“fair coment and critism”. Akibatnya budaya komunikasi eufemisme yang

berlebihan dapat menimbulkan masalah keterbukaan dan kebebasan menyatakan

pendapat. Juga dapat menimbulkan masalah bagi pelaksanaan fungsi fungsi pers

dalam UU Pers.

Untuk menjauhi ranjau ranjau hukum pers pada masa Orde Baru banyak

penerbitan pers mencari penyaluran kebebasan pada fungsi hiburan. Akibatnya


20

pasal 282, 532, dan 533 KUHP sering “terserempet” dengan tulisan tulisan dan

gambar gambar yang berselera rendah. Dengan hanya “menyentuh” pasal pasal

KUHP Pornografi tersebut penerbitan pers merasa aman dari ledakan ranjau

ranjau pers dan pembatalan SIUPP.

F. Metode Penelitian

Penulisan yang baik diperlukan ketelitian, kecermatan dan usaha gigih

hingga diperoleh hasil maksimal yang sesuai dengan standar penulisan ilmiah,

menyusun dan mengimplementasikan data yang berkaitan dengan fenomena yang

di selidiki maka digunakan penelitian meliputi:

1. Sifat dan Materi Penelitian

Materi dari penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini

bersumber dari data sekunder dan tersier, maka sifat dari penelitian ini adalah

deskriktif analisis yang mengarah kepada penelitian hukum yuridis normatif.

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan terdiri atas 2 (dua) macam, pertama data

sekunder yakni dengan melakukan pengumpulan data yang berkaitan dengan

objek atau materi penelitian, melalui kepustakaan (Library research) seperti buku

bacaan mengenai Hukum Pers. Kedua, bahan hukum tersier berupa kamus hukum,

ensiklopedia, kamus bahasa indonesia dan bahan hukum dari internet.

3. Alat Pengumpul Data

Alat yang dipergunakan dalam mengumpulan data penelitian adalah

memalui studi dokumen berdasarkan studi pustaka yang dilakukan (library

research) sebagai data penelitian.


21

4. Analisis Data

Untuk dapat memberikan penilaian terhadap penelitian maka dimanfaatkan

data yang terkumpul. Data tersebut ditelaah dan dijadikan acuan pokok dalam

pemecahan yang akan diuraikan dengan mempergunakan atau dengan analisis

kualitatif yaitu menjelaskan dan memaparkan hasil penelitian serta menarik

kesimpulan.

G. Jadwal Penelitian

Langkah langkah penelitian yang timbul dalam penulisan ini meliputi tahap

tahap sebagai berikut:

a. Tahap Persiapan

Tahap ini dilakukan persiapan mulai dari urusan administrasi hingga

pembuatan proposal ini, diperlukan waktu 1 (satu) bulan.

b. Tahap Pengumpulan Data

Dalam tahap ini dilakukan pembuatan literatur dan bahan bahan lain yang

berkenaan dengan penelitian sebagai lanjutan tahap persiapan. Diperlukan waktu

1 (satu) bulan.

c. Tahap Pengolahan Data

Tahap ini melakukan pengolahan terhadap semua data yang diperoleh dan

melanjutkan penelitian. Diperlukan waktu 1 (satu) bulan.

d. Tahap Akhir

Dalam tahap ini dilakukan penyelesaian dari penelitian, sehingga menjadi

skripsi dan akan memasuki tahap pemeriksaan Dosen Pembimbing hingga selesai.

Diperlukan waktu 1 (satu) bulan.


22
23

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdullah Dahlan dkk. 2010. Kebebasan Informasi Milik Siapa. Jakarta: Indonesia
Coruption Watch.

Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pdana Bagian 3. Jakarta: Rajawali Pers.

____________. 2010. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1. Jakarta: Rajawali Pers.

A.W. Widjaja. 1988. Ilmu Komunikasi Pengantar Studi. Jakarta: Bina Aksara..

Bambang Sadono. 1993. Penyelesaian Delik Pers Secara Politis. Jakarta: Karya
Uni Pers.

Hasyim Asy’ari. 2009. Prembredelan TEMPO 1994 Wajah Hukum Pers Sebagai
Alat Represi Politik Negara Orde Baru. Jakarta: Pensil-324.

H.A. Muis. 1999. Jurnalistik Hukum dan Komunikasi Massa. Jakarta: Dharu
Anuttama.

H. Samsul Wahidin. 2006. Hukum Pers. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Juniver Girsang. 2007. Penyelesaian Sengketa Pers. Jakarta: Gramedia Pustaka


Utama.

Moeljatno. 2008. Asas Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.

Oemar Seno Adji. 1977. Mass Media dan Hukum. Jakarta: Erlangga.

Onong Uchjana Efendy. 2004. Dinamika Komunikasi. Bandung: Remaja


Rosdakarya.

Prija Djatmika. 2004. Strategi Sukses Berhubungan dengan Pers dan Aspek Aspek
Hukumnya.. Malang: Bayumedia Publishing.
24

WBI Development Studies. Penerjemah M. Hamid. 2005.Hak Memberitakan


Peran Pers dalam Pembangunan Ekonomi. Jakarta: Temprint.

B. Perundang Undangan

R.Soesilo. 2007. Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bandung:Karya Nusantara.

Undang Undang No.40 Tahun 1999 Tentang Pers

C. Majalah, Makalah dan Karya Ilmiah

“Akhirnya Time Menang” melalui http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/


2009/04/20/HK/mbm.20090420.HK130107.id.html diakses tanggal 22
Mei 2012

“Delik Pers, Polemik, Hak Jawab dan Hak Koreksi, Mahluk Apa Itu?” melalui
http://www.phinisinews.com/read/2011/2/9/1124delik_pers__polemik
hak_jawa_dan_hak_koreksi__mahluk_apa_itu diakses tanggal 9 Mei 2012

“Pendapat Hukum Atas Kasus Harian Kursor” melalui http://anggara.org/


2007/02/21/pendapat-hukum-atas-kasus-harian-kursor/ diakses tanggal 25
April 2012

“Pasal-pasal Delik Pers Dalam KUHP” melalui www.dewankehormatanpwi.com


diakses tanggal 10 Januari 2012

“Tentang Hak Tolak Wartawan” melalui http://anggara.org/2006/12/14/tentang-


hak-tolak-wartawan/ diakses tanggal 18 Mei 2012

“Wartawan dan buronan” melalui http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/


1993/03/20/KL/mbm.19930320.KL2771.id.html. diakses tanggal 23
Februari 2012

“Wartawan, Profesi atau Bukan”, melalui hukumonline.com/berita/baca/


hol12455/wartawan-profesi-atau-bukan diakses tanggal 23 Februari 2012

Rosmi Hasibuan. 2010. Hukum Hak Asasi Manusia (Diktat I). Program Studi
Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Medan, tidak
diterbitkan.

Yan Pramadya Puspa. 1977.Kanus Hukum Edisi Lengkap Bahasa Belanda


Indonesia Inggris. Semarang: Aneka
25
26

KERANGKA SKRIPSI SEMENTARA

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Tujuan Penelitian

C. Metode Penelitian

D. Defenisi Operasional

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Media dan Hak Ingkar

B. Hak Ingkar dan Kebebasan Pers

C. Fungsi Media

D. Delik Pers

Bab III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kedudukan Hak Ingkar dalam Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999

B. Pertanggungjawaban Pidana Atas Penggunaan Hak Ingkar

C. Konsekuensi Atas Hak Ingkar

Bab IV : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai