Anda di halaman 1dari 10

1

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WARTAWAN SEBAGAI HAK ASASI


MANUSIA 1

Oleh :

Manunggal K. Wardaya2

I. PENDAHULUAN

Salah satu kebebasan dasar manusia dalam diskursus hak asasi manusia adalah kebebasan
berpendapat  dan berekspresi (freedom of opinion and expression). Setiap manusia berhak
atas kebebasan ini termasuk didalamnya kebebasan untuk mencari, menerima, dan
menyampaikan informasi dan pemikiran  apapun bentuknya tanpa memandang batas-
batas. Dinyatakan dalam Article 19 The Universal Declaration of Human Rights (UDHR)
dan Article 19 The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR),
kebebasan ini menjadi syarat yang mutlak ada bagi terwujudnya prinsip transparansi dan
akuntabilitas suatu pemerintahan yang pada gilirannya akan membawa pada pemajuan
dan perlindungan hak asasi manusia (HAM).

Pada level domestik, jaminan atas kebebasan berkomunikasi dan memperoleh informasi
sebagai bagian dari kebebasan berekspresi dijumpai dalam amandemen konstitusi. Pasal
28F UUD 1945 menegaskan  komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai
negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dengan mengakui hak setiap orang
untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, serta hak setiap orang untuk mencari, memperoleh, memiliki,

1
Makalah disampaikan dalam Konferensi Nasional Hak Asasi Manusia diselenggarakan oleh Pusat Studi
Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya (Pusham-UBAYA) Bekerjasama dengan Serikat Pengajar Hak
Asasi Manusia (SEPAHAM), di Surabaya, 20-22 September 2011. Penulis mengucapkan terimakasih pada
Dr. Andari Yurikosari (Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta) atas masukannya dalam penulisan
makalah ini.
2
Dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto, koordinator Serikat
Pengajar Hak Asasi Manusia (SEPAHAM) Indonesia. Sarjana Hukum Fakultas Hukum UNSOED (1998)
dan Master of Laws (LL.M) Monash University, Melbourne, Australia (2005). Penulis dapat dihubungi
pada alamat email manunggal.wardaya@gmail.com
2

menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis


saluran yang tersedia. Dalam level undang-undang, kebebasan ini pula dijamin dalam
Pasal 14 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Adalah
kewajiban negara menurut Pasal 40 ICCPR untuk melaporkan kebijakan hukum, praktik-
praktik administrasi dan berbagai kebijakan sektoralnya kepada Human Rights Committe3
terkait dengan pemenuhan kebebasan ini maupun pemulihannya jika kebebasan ini
terlanggar. Dengan demikian, secara formal, segenap cabang kekuasaan negara baik itu
legislatif, eksekutif, maupun yudisial, serta aktor-aktor non-negara terikat untuk
menghormati kebebasan ini pada level apapun.

Kebebasan berekspresi memiliki makna yang penting, karena kebebasan itu


memungkinkan orang untuk eksis dan berkembang sebagai manusia yang utuh dan
beradab. Informasi memungkinkan orang melakukan pilihan-pilihan dalam hidupnya,
mengembangkan diri dengan ilmu pengetahuan, dan bertukar pikiran dengan sesama
warga lainnya. Tanpa informasi, orang akan berada dalam kegelapan, mengakibatkan
kehidupan yang tak berkwalitas sebagai manusia.

Dalam negara yang berpaham kedaualatan rakyat, keputusan politik rakyat dalam
mengontrol jalannya kekuasaan amat tergantung pada informasi yang diterima. Semakin
transparan kekuasaan terawasi, semakin demokratis dan berkeadilanlah suatu negara
dapat diharapkan, vice versa. Tak mengherankan, sejarah rejim-rejim yang menindas
selalu lekat dengan berbagai sensor terhadap pers, buku, karya tulis dan seni demi
mengekalkan kuasa. Pers yang bebas, informasi yang mengalir bebas dipercaya akan
membahayakan kekuasaan dan oleh karenanya hukum-hukum yang mengekang terhadap
kebebasan pers dan kebebasan berekspresi pada umumnya tersedia untuk itu, memberi
dasar pembenar pada tirani kekuasaan untuk memberangusnya.

Dalam negara yang berpaham kedaulatan rakyat, laporan media menjadi bahan bagi
lembaga perwakilan dan elemen-elemen masyarakat yang berkesadaran untuk
melakukan kontrol, koreksi, dan pengawasan kekuasan kekuasaan agar selalu berjalan di
rel konstitusi. Sekalipun peradaban manusia kini telah sampai pada era di mana setiap

3
Human Rights Committee adalah badan yang mengawasi pelaksanaan ICCPR oleh state parties.
3

warga dapat menjadi pewarta, sebuah era yang disebut dengan citizen journalism,
jurnalis/wartawan  tetap memainkan peranan penting lagi tak dapat diabaikan dalam
distribusi informasi demi terkawalnya kekuasaan.

Kerapkali bersinggungan dengan kekuasaan mengakibatkan profesi wartawan menjadi


rawan akan kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi4. Sepanjang sejarahnya, begitu
banyak wartawan teraniaya bahkan terbunuh dikarenakan karya jurnalistik yang
dihasilkannya. Committe to Protect Journalist mencatat selama tahun 2011 telah 25
Jurnalis terbunuh, dan 871 jurnalis terbunuh sejak 1992. Di tanah air, Lembaga Bantuan
Hukum Pers mencatat bahwa di tahun 2011 saja, sejak Januari hingga Juli 2011 telah
terjadi 61 kekerasan terhadap wartawan di Indonesia. Kriminalisasi terhadap jurnalis
mewarnai kehidupan pers tanah air, tidak saja di dalam suasana bernegara yang
autoritarian seperti di era Orde Baru, namun juga di era Reformasi sekalipun.

Sebagaimana dinyatakan oleh Human Rights Committee kerja jurnalis memanglah rawan
akan ancaman, intimidasi, dan serangan5. Oleh karenanya dinyatakan oleh HRC, bahwa
serangan seperti itu haruslah diselidiki dan terhadap pelakunya harus dilakukan
penuntutan, dan bahwa korbannya harus mendapat upaya pemulihan layak. Berbagai
resiko yang mengancam pekerjaan wartawan sebagaimana diuraikan di atas sudah barang
tentu merupakan hal yang mengancam terkawalnya demokrasi. Rasa tidak aman dan
terancam dan resiko yang sedemikian besar dapat mendegradasi hingga bahkan
menghilangkan kekritisan dan keberanian jurnalis dalam melakukan kegiatan
jurnalistiknya dalam mengawal kekuasaan.

Pada titik ini perlindungan dan jaminan hukum terhadap wartawan dalam menjalankan
profesinya menjadi amat penting untuk dipastikan untuk ada tidak saja dalam tataran
formal namun pula dalam implementasi. Terlindunginya jurnalis merupakan hal yang
esensial bagi terlindunginya hak seluruh warga negara atas informasi yang dapat reliable

4
Kekerasan ini menurut Bagir Manan dikarenakan penguasa maupun perusahaan merasa terusik dengan
pemberitaan media. Lihat Suara Pembaruan, “Masih Ada Ancaman Kebebasan Pers”, dalam
http://www.suarapembaruan.com/home/masih-ada-ancaman-kebebasan-pers/3401#Scene_1, diakses pada 4
September 2011.
5
Lihat General Comment No. 34, para. 23.
4

dan dan adalah hak jurnalis untuk menyampaikan informasi tersebut tanpa rasa takut6.
Hanya dalam kondisi demikianlah cita negara yang mengabdi pada kesejahteraan rakyat
banyak akan diharapkan dapat terwujud. Dalam kerangka berfikir demikian, tulisan ini
menyoroti perlindungan hukum profesi wartawan di Indonesia. Tulisan ini akan pula
secara ringkas membahas perlindungan hukum terhadap wartawan terkait hubungan
hukumnya dengan perusahaan media. Pada akhirnya tulisan ini hendak memberi saran
perbaikan bagi hukum media khususnya bagi lebih terlindunginya hak-hak wartawan.

II. PEMBAHASAN

1) Kemerdekaan Pers dan Reformasi

Kemerdekaan pers adalah salah satu dari agenda reformasi selain amandemen UUD,
penghapusan Dwi Fungsi ABRI. Kemerdekaan pers dirasakan penting untuk diwujudkan
karena belajar dari pengalaman pada masa Orde Baru, pers yang tidak bebas dan hukum
yang kerap mengkriminalisasi pers pada gilirannya mengaibatkan bencana hukum dan
politik. Legislasi di bidang pers dan juga penyiaran yang demokratis oleh karenanya
dirasakan sebagai kebutuhan yang tak dapat ditunda bagi transisi demokrasi.
Sebagaimana dinyatakan oleh Atmakusumah, dekriminalisasi pers kini telah menjadi
sesuatu yang tak terelakkan, dimana kita tak lagi dapat menarik sejarah kebebasan ke
masa lalu7.

Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang lahir ketika periode peralihan
baru mulai berjalan dapat dikatakan sangat demokratis. Tegas dinyatakan di dalamnya
kemerdekaan pers sebagai perwujudan dari prinsip kedaulatan rakyat. Dikantonginya ijin
untuk mendirikan perusahaan pers kini tak lagi menjadi kewajiban. Instrumen ijin inilah
yang pada masa lalu digunakan sebagai alat kontrol negara terhadap warganya dalam
penikmatan kebebasan pers, memungkinkan perampasan hak warga negara untuk
mendapatkan informasi: dengan mencabutnya jika kegiatan pers dinilai mengancam
eksistensi kekuasaan. Harian Indonesia Raya, Majalah TEMPO, tabloid EDITOR adalah

6
UNESCO, The Safety of Journalist and The Danger of Impunity: Report by The Director-General To The
Intergovernmental Council of the IDPC, hal.3.
7
Atmakusumah, “Dekriminalisasi Pers Tuntutan Jaman”, dalam Harian KOMPAS, 12 Maret 2005.
5

sekedar menyebut nama beberapa media yang pernah dicabut ijinnya, sesuatu yang
populer dengan istilah bredel pers. Kini  UU Pers menegaskan bahwa terhadap pers
nasional tidak dikenakan bredel, sensor, dan pelarangan penyiaran8, memberi garis
demarkasi yang jelas dari perilaku rejim terdahulu terhadap media9.

2) Perlindungan Hukum Terhadap Wartawan

Dalam kaitannya dengan perlindungan wartawan, UU Pers dengan tegas menyatakan


bahwa dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapatkan perlindungan hukum 10.
Lebih lanjut dari penjelasan UU Pers diketahui bahwa perlindungan hukum yang
dimaksud adalah jaminan perlindungan pemerintah dan atau masyarakat kepada
wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku11. Dari frasa “sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku” tulisan ini menyimpulkan bahwa sepanjang tidak dijumpai pengaturannya
di dalam UU Pers, maka perlindungan terhadap wartawan akan menggunakan sarana
hukum lain di luar UU Pers. Dalam terjadinya tindak pidana penganiayaan maupun
pembunuhan yang kerap menimpa wartawan misalnya, KUHP lah yang akan berbicara.

Namun begitu sampai di sini dapat dikritisi apakah wartawan dalam menjalankan
profesinya telah benar-benar terlindungi secara hukum sebagaimana dinyatakan dalam
UU Pers? Alih-alih protektif, kerapkali peraturan pidana justeru digunaan untuk
mengkriminalisasi jurnalis, suatu fenomena yang biasanya dijumpai di berbagai negara
yang tak demokratis. Apa yang dialami oleh Pemimpin Redaksi Majalah TEMPO
Bambang Harymurti yang dipidana 1 tahun menggunakan pasal pencemaran nama baik
(Pasal 310 dan 311 KUHP) terhadap pengusaha Tommy Winata menjadi contoh

8
Pasal 4 ayat (2). Pelanggaran terhadap pasal ini diancam dengan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal
18 ayat (1) yakni pidana penjara paling lama 2 tahun dan atau denda paling banyak 500 juta rupiah.
9
Sebagaimana diketahui pada masa Orde Baru, kendati ditegaskan bahwa breidel tidak dikenal, SIUPP
dapat saja dicabut oleh Menteri Penerangan dengan Peraturan Menteri Penerangan No. 1 Tahun 1984.
Namun begitu pula dapat disimpulkan bahwa UU Pers kita masih diskriminatif terhadap pers non-nasional
alias pers asing. Dengan jaminan tidak dikenakannya bredel, sensor, dan pelarangan penyiaran terhadap
pers nasional, secara implisit dapat disimpulkan bahwa rejim UU Pers masih mengenal bredel, sensor dan
pelarangan penyiaran terhadap pers asing, terlepas bahwa apakah hal itu secara teknis dapat dilakukan atau
tidak.
10
Lihat Pasal 8.
11
Lihat penjelasan Pasal 8.
6

fenomenal aplikasi hukum yang tak ramah pada kebebasan pers 12. Dikriminalisasinya
karya jurnalistik seperti yang dialami oleh Erwin Ananda dari majalah Playboy akibat
pengadilan yang tunduk pada tekanan kelompok ekstrim pula menunjukkan bahwa
kemerdekaan pers di Indonesia masih amatlah mahal. Selain itu masih terdapat rancangan
undang- undang yang jika disahkan akan mengancam kebebasan pers 13 dan tiadanya
keharusan hukum untuk menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa yang dikenal
dalam dalam UU Pers seperti hak jawab dan hak koreksi telah memberi celah bagi pihak
yang merasa dirugikan oleh pemberitaan untuk mengadukan insan pers termasuk
wartawan secara pidana14. Impak dari kesemua hal di atas tentu tidaklah remeh:
langgengnya kriminalisasi atas karya jurnalistik. Kendati telah memiliki UU Pers lebih
dari satu dasawarsa, kemerdekaan pers di Indonesia tak juga mencapai titik maksimal.
Freedom House, sebuah NGO yang mengawasi kebebasan di seluruh dunia
menempatkan kebebasan pers Indonesia di tahun 2011 pada peringkat ke 108. Posisi ini
sejajar dengan dengan Sierra Leone, Lebanon, Marituania15.

Hal lain terkait dengan perlindungan hukum terhadap wartawan adalah terkait dengan
pertanyaan: apakah misalnya, kebutuhan khusus wartawan telah cukup diatur dengan
berbagai ketentuan di luar UU Pers misalnya KUHP? Orang bisa memberi jawaban “ya”

12
Bambang Harymurti dijatuhi pidana karena pencemaran nama baik kepada Tommy Winata atas laporan
investigasi karya Ahmad Taufik dan Teuku Iskandar Ali yang dimuat TEMPO tertanggal 16 September
2004 berjudul “Terbakar”. Diindikasikan dalam karya jurnalistik tersebut bahwa pengusaha Tommy
Winata menangguk keuntungan dari terbakarnya Pasar Tanah Abang di Jakarta. Bambang akhirnya
dinyatakan bebas oleh Mahkamah Agung dalam putusan kasasi. Namun begitu, putusan Mahkamah Agung
sekalipun amat ambigu karena pada satu sisi menyatakan bahwa dalam kasus pers jika dirasa tidak perlu
sebaiknya menggunakan pendekatan dalam hukum pers. Selengkapnya mengenai ini bacalah International
Federation of Journalist & Aliansi Jurnalis Independen, Dekriminalisasi Pencemaran Nama Baik: Sebuah
Acuan Kampanye IFJ Untuk Penghapusan Pasal Pencemaran Nama Baik, 2005, hal. 23-26. Bambang
Harymurti sendiri mengkritik ketidakpastian hukum soal apakah UU Pers merupakan Lex Speciali ataukah
tidak. Hal ini karena implikasi dari keyakinan itu amat besar. Banyak jurnalis dipidana ketika hakim yang
mengadilinya tidak meyakini bahwa UU Pers merupakan Lex Speciali. Lihat Bambang Harymurti,
13
RUU Rahasia Negara misalnya mengancam adanya pidana penjara maupun denda pada pers.
14
Majalah TEMPO diadukan oleh Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia terkait ilustrasi sampul
depan majalah TEMPO edisi 28 Juni – 4 Juli 2010 yang menggambarkan seorang polisi sedang
menggembala celengan berbentuk babi, dengan judul “Rekening Gendut Perwira Polisi”. Kendati
kemudian menempuh mediasi, kasus ini memberi contoh betapa kepolisian selaku penegak hukum
sekalipunlebih memilih pendekatan hukum pidana ketimbang pendekatan yang dikenal dalam dunia
jurnalistik yakni dengan menggunakan hak jawab dan atau hak koreksi.Baca Manunggal K. Wardaya,
“Kriminalisasi TEMPO”, dalam Suara Merdeka, 2 Juli 2010.
15
Lihat Global Freedom Ranking,
http://www.freedomhouse.org/images/File/fop/2011/FOTP2011GlobalRegionalTables.pdf, diakses pada 10
September 2011.
7

untuk pertanyaan ini, akan tetapi tulisan ini meyakini bahwa perlindungan terhadap
wartawan demikian lebih kepada perlindungan yang represif, yakni manakala telah
terjadi peristiwa pelanggaran pidana terhadap wartawan. Akan halnya perlindungan
preventif dengan memenuhi kebutuhan wartawan dalam kaitannya dengan keselamatan
selama menjalankan tugas misalnya, tidak ditemukan pengaturannya dalam UU Pers.

Ketentuan mengenai perlindungan wartawan hanya ditemukan dalam Peraturan Dewan


Pers No. 5/Peraturan-DP/IV/ Tahun 2007. Peraturan tersebut memuat ketentuan yang
amat baik mengatur mengenai perlindungan wartawan. Disebutkan di sana bahwa
wartawan dilindungi dari kekerasan, pengambilan, penyitaan, dan atau perampasan alat
kerja serta tidak boleh dihambat dan diintimidasi oleh pihak manapun. Disebutkan pula
dalam peraturan dewan pers tersebut bahwa wartawan yang ditugaskan di daerah konflik
harus dibekali surat penugasan, peralatan keamanan yang memenuhi syarat,  dan
asuransi.

Persoalannya kemudian adalah peraturan dewan pers ini bukanlah suatu produk hukum
yang mengikat dan mempunyai kekuatan memaksa. Ia berada di ranah etik saja, yang
kepatuhannya mendasarkan kepada kebaikan hati perusahaan media. Dengan kata lain,
semisal perusahaan tidak memberikan alat keselamatan maupun tak memberikan tanda
pengenal sebagai wartawan yang penting dimiliki sebagai identitas di kala konflik, maka
hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai pelanggaran hukum yang bersanksi yang oleh
karenanya dapat memaksa perusahaan pers untuk mematuhinya. Sekalipun kalangan
perusahaan pers pernah menyatakan bahwa peraturan dewan pers mengenai standar
perlindungan wartawan dan berbagai peraturan dewan pers lainnya akan menjadi
kebijakan perusahaan pers, suatu pernyataan yang dimuat dalam apa yang disebut sebagai
Piagam Palembang16 namun tetap saja piagam itu lebih kepada moral saja pemenuhannya
yang kalaulah tidak dipenuhi, tidak mengandung sanksi yang berarti bagi perusahaan
pers.

Identitas Kewartawanan, Relasi Wartawan-Media, dan Impaknya Terhadap


Perlindungan Wartawan

16
Disepakati oleh perusahaan pers pada 9 Februari 2010.
8

Selain pada akhirnya terpulang pada ‘kebaikan hati’ perusahaan pers, derajat
perlindungan hukum terhadap wartawan juga erat kaitannya dengan identitas
kewartawanan seseorang dan hubungan hukum seorang wartawan dan perusahaan media.
Pasal 1 butir 4 UU Pers menyebutkan bahwa wartawan adalah orang yang teratur
melakukan kegiatan jurnalistik. Dari ketentuan tersebut dapatlah disimpulkan bahwa
mereka yang tidak terbilang sebagai wartawan tidak akan mendapat perlindungan sebagai
wartawan. Perdebatan kemudian muncul, mempersoalkan siapa yang dimaksud dengan
wartawan dan siapa yang bukan wartawan? Tentu saja perdebatan ini bukannya tak
penting terkait dengan hak dan kewajiban sebagai wartawan, terlebih jika dikaitkan
dengan perkembangan teknologi informasi yang berimpak pula pada dunia jurnalistik
dengan fenomena seperti citizen journalism dan blog journalism yang melahirkan citizen
journalist dan blog journalist. Apakah mereka juga diakui sebagai wartawan dan oleh
kemudian akan terlindungi atau tidak? Tak berpretensi memberi jawaban, tulisan ini
skeptis bahwa fenomena tersebut telah disadari sebagai permasalahan dalam
kewartawanan yang memerlukan perhatian serius.

Permasalahan lain yang tak kalah menarik untuk dikemukakan adalah bahwa kendati
tidak diatur/dijumpai dalam UU Pers, dalam praktik jurnalistik di Indonesia dikenal pula
wartawan koresponden dan pula wartawan lepas, yang mana keduanya kerap tidak
mendapatkan hak-hak seperti wartawan tetap. Lebih jauh, tulisan ini mensinyalir adanya
pergeseran status dan kedudukan hukum wartawan koresponden dari yang semula bekerja
secara kontrak terus menerus menjadi pekerja yang bekerja secara outsourcing
sebagaimana dikenal dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Sudah barang tentu, outsourcing ini merugikan wartawan koresponden
karena tak mempunyai kepastian hukum akan hubungan hukum perburuhannya dengan
perusahaan media yang mempekerjakannya. Dikatakan demikian, karena tidak ada lagi
hubungan hukum berupa hubungan kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 50 UU
Ketenagakerjaan. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa hubungan kerja terbit oleh
karena adanya perjanjian kerja, sedangkan wartawan koresponden pada banyak kasus
kini terikat oleh perjanjian kerjasama yang berkaitan dengan pekerjaan outsourcing.17

17
Adanya pro kontra terhadap pengaturan outsourcing di dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan tidak menyurutkan pembentuk undang-undang untuk mengatur mengenai masalah
9

Pergeseran status dari wartawan kontrak yang bekerja terus menerus menjadi wartawan
outsorcing adalah dengan cara mengajukan surat penawaran dan surat perjanjian
kerjasama penyedia jasa berita. Tujuannya jelas: menghindari larangan UU
Ketenagakerjaan mengenai perjanjian kerja waktu tertentu yang terus menerus diulang.
Bentuk surat penawaran dan perjanjian kerjasama yang ada pada wartawan koresponden
bukan dalam ruang lingkup perjanjian kerja seperti yang diatur dalam UU
Ketenagakerjaan, melainkan perjanjian perdata biasa yang sifatnya mengatur kontrak
kerja sama. Oleh karenanya secara hukum ketenagakerjaan, wartawan koresponden tidak
dilindungi sebagai seorang buruh atau pekerja karena memang tidak ada hubungan
hukum berupa hubungan kerja (Pasal 50 UU No. 13/2003 Ketenagakerjaan menyebutkan
bahwa hubungan kerja terbit karena adanya perjaniian kerja).

Dipandang dari Pasal 64-66 UU Ketenagakerjaan, profesi wartawan tentu tidak dapat
dioutsourcekan. Akan tetapi kalau dicermati lebih lanjut hampir semua pekerjaan
sekarang dioutsourcekan walaupun berhubungan dengan pekerjaan pokok. Dalih
hukumnya adalah semua pekerjaan selalu berhubungan dengan pekerjaan pokok, akan
tetapi masalahnya kemudian ada banyak pekerjaan ‘yang tidak pokok’ dapat dialihkan
menjadi pekerjaan yang dapat dioutsourcekan. Jadi pekerjaan wartawan koresponden
memang pekerjaan yang dapat dioutsourcekan kalau mengacu pada pemahaman di atas.
Namun, seperti yang diatur dalam undang-undang, pekerjaan outsourcing tidak dapat
berlangsung terus menerus, sama seperti perjanjian kontrak kerja pada umumnya paling
lama berlangsung 3 tahun dan dapat diperbaharui untuk 2 tahun berikutnya. Sebab
apabila melebihi waktu yang diatur tersebut, pekerjaan dapat beralih menjadi pekerjaan
tetap dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Penyelundupan hukum selalu dapat
terjadi dalam hal ini karena pengusaha dapat melakukan ‘perjanjian kerja baru’ untuk
pekerja dan pekerjaan yang sama secara berulang-ulang dan undang-undang pun tidak
mengatur pelanggaran terhadap hal ini.

outsourcing. Hal tersebut dikarenakan sebelum berlakunya Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, lebih banyak terjadi penyelewengan hukum dalam mengatur hubungan kerja dan syarat
kerja antara perusahaan outsourcing dengan pekerja. Berlakunya Undang-undang No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan yang berupaya melindungi pekerja dari ketidakpastian hukum dalam hubungan
kerja antara pekerja dengan perusahaan outsourcing tetap tidak menghentikan masalah pekerja outsourcing,
bahkan di satu sisi semakin menjadi pilihan pengusaha untuk mengatur hubungan kerja dengan pekerja
outsourcing dengan alasan efisiensi biaya, waktu dan tenaga bagi pengusaha.
10

III. KESIMPULAN

Tulisan ini meyakini bahwa jika hingga kini masih banyak wartawan yang menjadi
korban kekerasan maupun mendapat celaka ketika bertugas di daerah bencana maupun
konflik, hal itu semata bukan karena sebagai akibat dari konflik atau sekedar takdir
illahiah, namun pula karena perundangan yang belum memihak wartawan maupun masih
kabur dalam mengatur profesi wartawan. Jurnalis yang tewas seperti kontributor Sun TV
yang tewas di Tual Maluku, maupun mereka yang tewas ketika meliput tragedi kapal
Levina akan terus terjadi, setidaknya tak terkurangi kalau hukum tak memberikan
perlindungan yang kuat dengan menjamin hak wartawan dan juga status hukum pekerja
pers. Kriminalisasi terhadap wartawan juga akan terus terjadi seandainya dunia peradilan
di Indonesia tidak mengakui bahwa UU Pers merupakan Lex Speciali, yang oleh
karenanya penyelesaian sengketa pemberitaan mestinyalah diselesaikan melalui prosedur
yang dikenal dalam dunia jurnalistik, dan bukannya pendekatan hukum pidana.

IV. PENUTUP

Tulisan ini meyakini bahwa perlindungan hukum yang dijanjikan kepada wartawan
dalam UU Pers memerlukan masih memerlukan penyempurnaan dan peningkatan.
Standar perlindungan wartawan yang kini telah tertuang dalam Peraturan Dewan Pers
misalnya, semestinyalah dapat dijadikan muatan dalam UU Pers. Demikian juga
mendesak kiranya agar revisi UU Pers kelak tegas menggarisbawahi bahwa wartawan
adalah pekerja, sehingga celah hukum dengan mengoutsource-kan wartawan yang sedikit
banyak berdampak pada perlindungan hukum akan dapat diminimalisir.

Anda mungkin juga menyukai