Anda di halaman 1dari 22

1 BAB

I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebebasan berpendapat merupakan hak setiap individu sejak dilahirkan yang telah dijamin oleh
konstitusi. Oleh karena itu, Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum dan demokratis
berwenang untuk mengatur dan melindungi pelaksanaannya. Kemerdekaan berpikir dan
mengeluarkan pendapat tersebut diatur dalam perubahan keempat Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia tahun 1945 Pasal 28 E ayat (3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul,
dan mengeluarkan pendapat. Kebebasan berekspresi termasuk kebebasan berpendapat merupakan
salah satu hak paling mendasar dalam kehidupan bernegara. Undang-undang No. 9 Tahun 1998
tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di muka umum pasal 1 ayat (1) kemerdekaan
menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan
lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Indonesia merupakan negara hukum tentu saja
memiliki peraturan yang melindungi hak-hak asasi manusia. Kehadiran hak asasi manusia
sebenarnya tidak diberikan oleh negara, melainkan asasi manusia menurut hipotesis john locke
merupakan hak-hak individu yang sifatnya kodrati, dimiliki oleh setiap insan 2 sejak ia lahir.1 Salah
satunya adalah hak berbicara dan mengeluarkan pendapat yang dimiliki oleh setiap masyarakat
Indonesia tanpa memandang suku, ras dan agama. Kebebasan berbicara dan mengeluarkan
pendapat dapat dilakukan dalam berbagai bentuk. Misalnya saja tulisan, buku, diskusi, artikel dan
berbagai media lainnya. Semakin dewasa suatu bangsa maka kebebasan berbicara dan
mengeluarkan pendapat semakin dihormati. Perkembangan teknologi yang kian pesat menjadikan
perbedaan jarak dan waktu tak berarti. Segala kebutuhan manusia kini lebih mudah untuk dipenuhi,
terutama kebutuhan manusia akan informasi. Derasnya hujan informasi dapat menjamah hampir
seluruh negeri. Mulai dari berita terbaru sampai berita „lawas‟ yang sudah ketinggalan zaman pun
dapat dengan mudah diakses. Perkembangan teknologi ini menjadikan daya kreasi dan inovasi
manusia seakan telah menemukan wadahnya. Kebebasan berekspresi pun dapat dituangkan melalui
beragam media baik media elektronik maupun media cetak. Pemanfaatan Teknologi Informasi,
media, dan komunikasi telah mengubah baik perilaku masyarakat maupun peradaban manusia
secara global. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah pula menyebabkan
hubungan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial, ekonomi,
dan budaya secara signifikan berlangsung demikian cepat. Teknologi Informasi saat ini menjadi
pedang bermata dua karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan,
kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum. 1
El Muhtaj Majda, 2007, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Kencanai, Jakarta, hlm.29. 3
Penyampaian dan penyebaran informasi melalui media cetak maupun elektronik sering kali tidak
mengikuti kaedah-kaedah yang berlaku di masyarakat. Dalam hal ini banyak yang beranggapan
bahwa informasi yang disampaikan melalu media tersebut itu bersifat personal dan rahasia sehingga
penelusuran mengenai identitas penyebar informasi tersebut tidak dapat diketahui secara jelas dan
pasti. Dalam penyampaian informasi, subjek hukum yang paling berperan adalah pers. Undang-
Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menegaskan bahwa Pers adalah lembaga sosial
dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk
tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya
dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.2 Dalam
peraturan tersebut terdapat penggolongan pers menjadi 2 macam yaitu pers nasional dan pers
asing. “Pers nasional adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers Indonesia dan pers
asing adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan asing.”3 Segala pengaturan tentang pers
yang diberikan oleh pengaturan perundang-undangan untuk menjamin agar pers tidak melakukan
pemberitaan yang tidak faktual dan agar upaya yang dilakukan oleh pers dalam mencari dan
mengumpulkan informasi sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam kehidupan
bermasyarakat. Akan tetapi pada kenyataannya, banyak sekali fakta yang menggambarkan
kebebasan pers yang kebablasan. 2 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40
Tahun 1999 tentang Pers. 3 Pasal 1 angka 6,7 ibid. 4 Pers baik cetak maupun elektronik merupakan
instrumen dalam tatanan hidup bermasyarakat yang sangat vital bagi peningkatan kualitas
kehidupan warganya. Pers juga merupakan refleksi jati diri masyarakat di samping fungsinya sebagai
media informasi dan komunikasi, karena apa yang dituangkan di dalam sajian pers hakekatnya
adalah denyut kehidupan masyarakat di mana pers berada.4 Pers merupakan institusi sosial
kemasyarakatan yang berfungsi sebagai media kontrol sosial, pembentukan opini dan media edukasi
yang eksistensinya dijamin berdasarkan konstitusi.5 Pergeseran antara pers dengan masyarakat
dapat terjadi sebagai akibat sajian yang dianggap merugikan oleh seseorang atau golongan tertentu.
Hal ini menuntut satu penyelesaian yang adil dan dapat diterima oleh pihak terkait. Fenomena
mengenai pergeseran dimaksud mengemuka dalam bentuk tuntutan hukum masyarakat terhadap
pers, tindakan main hakim sendiri terhadap wartawan dan sebagainya. Kesemuanya itu
menunjukkan betapa penting untuk menciptakan penyelesaian yang adil ketika terjadi
persengketaan antara pers dengan masyarakat. Ancaman hukum yang paling sering dihadapi media
atau wartawan adalah menyangkut pasal-pasal penghinaan atau pencemaran nama baik. KUHP
sejatinya tidak mendefinisikan dengan jelas apa yang dimaksud dengan penghinaan, akibatnya
perkara hukum yang terjadi seringkali merupakan penafsiran yang subyektif. Seseorang dengan
mudah bisa menuduh pers telah menghina atau mencemarkan nama baiknya, jika ia tidak suka
dengan cara pers memberitakan dirinya. Hal ini menyebabkan pasal-pasal penghinaan (dan 4 Samsul
Wahidin, 2006, Hukum Pers, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm.1. 5 Ibid, hal.3 5 penghasutan) sering
disebut sebagai “ranjau” bagi pers, karena mudah sekali dikenakan untuk menuntut pers atau
wartawan.6 Masalah kemerdekaan pers di tanah air, baik di era orde baru maupun di era reformasi
sebenarnya bukan lagi merupakan suatu persoalan, karena di dalam konstitusi maupun peraturan
perundang-undangan sudah sepenuhnya memberikan legalitas atas eksistensi pers bebas berkenaan
dengan tugas-tugas jurnalistiknya. Jika ditilik lebih jauh, sebagian besar sengketa pemberitaan pers
yang berujung ke pengadilan senantiasa berhubungan dengan kepentingan publik. Bagi pers, itu
pilihan yang sulit dihindarkan. Dengan demikian, pemberitaan yang mengundang kontrol sosial
semacam itu merupakan amanat yang harus diemban pers, seperti ditegaskan dalam pasal 3 UU Pers
(UU No. 40 Tahun 1999), yakni pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi,
pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Fungsi kontrol sosial itulah yang membuat pers harus
bersinggungan dengan kepentingan dan nama baik tokoh publik, baik tokoh itu duduk di lembaga
pemerintahan maupun lembaga bisnis. Pemberitaan pers tersebut kemudian berubah menjadi
perkara hukum, jika para tokoh publik itu merasa terusik diri dan kepentingannya.7 Di satu sisi, pers
adalah information server yang berkewajiban untuk menyampaikan informasi yang akurat, tepat,
dan objektif, sedangkan di sisi lain pers merupakan suatu badan usaha yang mengejar keuntungan
(profit oriented). Di samping itu, pers juga seringkali memberitakan informasi-informasi 6
http://www.romeltea.com/2010/01/01/melawan-pers-dengan-delik-pencemaran-namabaik/,
diakses pada hari Minggu 02 September 2012, pukul 13.20 WIB 7 http://lawskripsi.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=106&Itemid=1 06, diakses pada hari Minggu, 02 September
2012, pukul 11.20 WIB 6 yang tidak aktual. Pemberitaan informasi tersebut tidak mendasar, tidak
sesuai dengan kenyataan atau fakta yang terjadi dan cenderung berisi penghinaan, sehingga sangat
merugikan pihak yang menjadi objek pemberitaan. Permasalahan hukum yang seringkali dihadapi
adalah ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi, dan/atau transaksi melalui media
massa maupun elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan
hukum tersebut. Pers dalam melakukan kegiatan jurnalistik membutuhkan adanya kebebasan dan
tanggung jawab. Tanpa kebebasan, pers akan mengalami kesulitan untuk mengekspresikan atau
menyampaikan suatu informasi kepada peminatnya. Akan tetapi, kebebasan yang tidak dibarengi
dengan tanggung jawab akan menjerumuskan pers tersebut ke dalam praktik jurnalistik yang kotor
dan merendahkan harkat dan martabat manusia.8 Oleh karena itu, kebebasan dan tanggung jawab
harus berjalan beriringan dan seimbang agar informasi yang disalurkan akurat dan objektif.
Beberapa contoh kasus Pencemaran Nama Baik yang terjadi menggunakan perantara media massa
yang akan dijadikan bahan pertimbangan ini antara lain misalnya kasus pencemaran nama baik Drs.
Jusuf Idrus Tatuhey dengan Koran harian Ambon Ekspres, kasus pencemaran nama baik Arifin David
bin Suntoro dengan P.T Coon Blok Indotama Surya, dan kasus Pencemaran nama baik PT Duta
Pertiwi Oleh Kho Seng-Seng alias Aseng. Oleh penulis, kasus yang terakhir inilah yang akan dijadikan
bahan atau kajian utama penulisan hukum. 8 Muslimin M, 2005, Pentingnya Aspek Hukum dalam
Menjalankan Profesi Jurnalistik Legality Jurnal Ilmiah Hukum, vol.13, no.1, Maret-Agustus 2005,
Jakarta, hlm. 186. 7 Adapun alasan penulis mengapa memilih kasus pencemaran nama baik adalah
karena kasus ini sangatlah penting untuk dibahas tetapi dalam prakteknya seringkali kurang
diperhatikan dan penyelesaiannya berlalu begitu saja dari sorotan publik. Penulis akan membahas
lebih dalam lagi kasus pencemaran nama baik PT Duta Pertiwi Oleh Kho Seng-Seng alias Aseng pada
bab-bab selanjutnya. Sedangkan untuk kasus-kasus pencemaran nama baik yang lain akan penulis
gunakan sebagai bahan perbandingan dalam analisa hukum yang akan penulis lakukan. Untuk itu
penulis akan menuangkannya dalam suatu penulisan hukum yang berjudul : “Pertimbangan Hakim
Dalam Penyelesaian Perkara Pencemaran Nama Baik Melalui Pers.” B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan permasalahan yang
akan diteliti adalah sebagai berikut : Apakah pertimbangan majelis hakim sesuai dengan asas
perlindungan kebebasan berpendapat yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999
tentang Pers? C. Tujuan Penelitian Tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah : Untuk
meneliti dan mengetahui pertimbangan majelis hakim sesuai dengan asas perlindungan kebebasan
berpendapat yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. 8 D. Manfaat
Penelitian 1. Manfaat Teoritis Manfaat penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah teori ilmu
yang telah didapat sesuai dengan apa yang diterapkan di dalam masyarakat, sehingga dapat
diketahui apakah teori dan praktek sejalan. 2. Manfaat Praktis Manfaat penelitian ini bertujuan
untuk meningkatkan dan membentuk pola pikir analistis dan sistematis bagi mahasiswa dalam
mencermati berbagai perkembangan yang terjadi di bidang hukum terkait perkembangan IPTEK,
yang membawa dampak dan perubahan besar bagi kehidupan manusia terutama dari segi Hukum
Pidana. E. Keaslian Penelitian Penelitian yang berjudul “Pertimbangan Hakim Dalam Penyelesaian
Perkara Pencemaran Nama Baik Melalui Pers” karya Dessy Nakarasima Lubis merupakan hasil karya
penulis dan bukan merupakan hasil duplikasi dan plagiasi hasil karya orang lain. Pada penulisan
karya ilmiah ini mempunyai kekhususan yaitu untuk mengetahui akibat perbuatan melawan hukum
dalam kasus pencemaran nama baik melalui media surat kabar. Akan tetapi, apabila di luar
pengetahuan penulis hal ini pernah diteliti sebelumnya, maka penulis berharap penelitian ini dapat
menjadi pelengkap bagi peneliti terdahulu. 9 Ada beberapa skripsi yang meneliti dengan tema yang
sama tapi ada perbedaannya, khususnya mengenai rumusan masalah, tujuan penelitian dan hasil
yang diperolehnya. Berikut ini adalah beberapa skripsi tersebut : Judul Skripsi I : Pencemaran Nama
Baik Melalui Milis Ditinjau Dari Segi Hukum Pidana Studi Kasus Terhadap Putusan Pengadilan Negeri
Tangerang Nomor : 1269/Pid.B/2009/Pn.Tng. Identitas Penulis : Ruben Arista Prabowo Npm.
0671010064 Yayasan Kesejahteraan Pendidikan Dan Perumahan Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jawa Timur Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum Surabaya 2010 Rumusan Masalah:
Bagaimana penerapan hukum terhadap putusan kasus Prita Mulyasari? Tujuan Penulisan : Untuk
mengetahui bagaimana penerapan hukum terhadap putusan kasus Prita Mulyasari. Hasil Penelitian :
Berdasarkan pertimbangan unsur-unsur dakwaan Penuntut Umum pada dakwaan kesatu, kedua,
dan ketiga tersebut diatas, dimana telah dinyatakan Terdakwa dibebaskan dari ketiga dakwaan
tersebut, maka kepada Terdakwa harus dipulihkan hak dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat
serta martabatnya. Judul Skripsi II : Tinjauan Atas Pemberitaan Yang Berindikasi Adanya Pencemaran
Nama Baik Oleh Media Massa Dalam Perspektif 10 Kode Etik Jurnalistik Dan Undang-Undang Pers.
Identitas Penulis : Lestari N.Sembiring 03/166744/Hk/16163 Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum 2006 Rumusan Masalah: Bagaimanakah Penyelesaian
Sengketa Dengan Dimuatnya Pemberitaan di Media Massa Yang Berindikasi Adanya Pencemaran
Nama Baik ? Tujuan Penulisan : Untuk mengetahui bagaimana penerapan hukum terhadap putusan
kasus ini. Hasil Penelitian : Fungsi kontrol sosial itulah yang membuat pers harus bersinggungan
dengan kepentingan dan nama baik tokoh publik. Baik tokoh itu duduk di lembaga pemerintahan
maupun lembaga bisnis. Pemberitaan pers tersebut kemudian berubah menjadi perkara hukum, jika
para tokoh publik itu merasa terusik diri dan kepentingannya. Judul Skripsi III : Delik Pencemaran
Nama Baik Oleh Media Massa Dalam Perspektif Kode Etik Jurnalistik”. Identitas Penulis : Deni Amsari
Purba Nim.0002086801 Universitas Sumatera Utara Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum
2006. Rumusan Masalah: Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana yang dapat diberikan kepada
media massa terhadap pemberitaan yang berindikasi adanya delik pencemaran nama baik ditinjau
dari 11 Kode Etik Jurnalistik? Tujuan Penulisan : Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana
yang dapat diberikan kepada media massa terhadap pemberitaan yang berindikasi adanya delik
pencemaran nama baik ditinjau dari Kode Etik Jurnalistik. Hasil Penelitian : pengaturan tindak pidana
di bidang pers dalam UU No. 40 Tahun 1999, bentuk-bentuk pencemaran nama baik yang
berhubungan dengan media massa menurut Kode Etik Jurnalistik. Setelah membandingkan judul,
rumusan masalah, tujuan dan hasil penelitian antara penelitian penulis dengan penelitian yang
dilakukan penelitipeneliti terdahulu, penulis menyimpulkan bahwa penelitian dengan judul
“Pertimbangan Hakim dalam Penyelesaian Sengketa Pencemaran Nama Baik melalui Media Massa”
berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti terdahulu. F. Batasan Konsep 1.
Pertimbangan hakim yaitu : suatu cara/metode oleh Hakim dalam menjatuhkan suatu putusan,
karena Hakim dalam menjatuhkan putusan harus memegang prinsip asas hukum nullum delictum
nulla penna sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu). 9 9
Moeljatno, 1993, Asas-Asas Hukum Pidana, PT.Rineka Cipta, Jakarta, hlm.23. 12 2. Putusan Hakim
adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu,
diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri suatu perkara atau sengketa antara para
pihak.10 3. Pencemaran nama baik dikenal juga istilah Penghinaan adalah perbuatan yang dilakukan
dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu
hal, yang maksudnya terang agar hal tersebut diketahui oleh umum.11 4. Media massa adalah suatu
lembaga netral yang berhubungan dengan orang banyak atau lembaga yang netral bagi semua
kalangan atau masyarakat banyak.12 G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini
menggunakan jenis penelitian normatif yaitu dengan penelitian kepustakaan (library research)
dimana yang menjadi sasaran penelitian adalah kaedah, norm atau das solen, bukan peristiwa atau
perilaku dalam arti fakta atau das sein. Pengertian kaedah disini meliputi asas hukum, kaedah hukum
dalam arti nilai (norm), peraturan hukum konkrit dan sistem hukum. Oleh karena itu penelitian
hukum dalam arti meneliti kaedah atau norm disebut penelitian hukum normatif. Soerjono Soekanto
menyebutkan sebagai objek penelitian hukum normatif antara lain asas-asas hukum, sistematik
hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal (1985 : 70). 10 Sudikno Mertokusumo, 1999, Hukum
Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm.174. 11 Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana 12 Don R Pember, 2002, Mass Media Law, Binacipta, Jakarta, hlm.1. 13 Kalau ilmu sosial
berhubungan dengan yang ada, meneliti kebenaran fakta, ilmu hukum bukan semata-mata meneliti
kebenaran kaedah, melainkan meneliti tentang berlaku tidaknya kaedah hukum, tentang apa yang
seyogyanya dilakukan (preskriptif).13 2. Sumber Data Data penelitian ini berupa bahan hukum yang
terdiri dari : a. Bahan Hukum Primer Yaitu bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari: 1) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 F 2) Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana pasal 311 (1) 3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1365 4) Undang-Undang Nomor
40 Tahun 1999 tentang Pers 5) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan
menyampaikan pendapat di muka umum 6) Peraturan Perundang-undangan lain yang terkait. 7)
Putusan hakim yang berkaitan dengan perkara Pencemaran Nama Baik melalui media massa b.
Bahan Hukum Sekunder Yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum
primer yang terdiri dari: 13 Sudikno Mertokusumo, 2002, Penemuan Hukum, sebuah pengantar,
Liberty, Yogyakarta, hlm.47. 14 1) Buku-buku dan tulisan ilmiah yang berhubungan dengan masalah
perbuatan melawan hukum; 2) Buku-buku dan tulisan ilmiah yang berhubungan dengan masalah
pencemaran nama baik; 3) Buku-buku yang berhubungan dengan media massa, Buku-buku yang
membahas tentang metodologi penelitian; 4) Internet; c. Bahan Hukum Tersier Yaitu bahan hukum
yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, yang terdiri dari: 1) Kamus Hukum karangan Yan Pramadya Puspa; 2) Kamus Besar Bahasa
Indonesia karangan Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia; 3) Kamus Bahasa Belanda karangan S.Wojowasito
4) Kamus lengkap Inggris-Indonesia dan Indonesia-Inggris karangan Andreas Halim 3. Metode
Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan studi dokumen yaitu
studi yang mempelajari bahan-bahan hukum mulai dari 15 bahan hukum primer, sekunder lalu
tersier yang berhubungan dengan pokok permasalahan. Penelitian ini akan menghasilkan data
sekunder. 4. Metode Analisis Penelitian hukum normatif menggunakan analisis kualitatif yaitu
analisis yang menggunakan ukuran kualitatif. Proses penalaran dalam menarik kesimpulan
digunakan metode berpikir deduktif. Metode berpikir deduktif adalah metode berpikir yang
menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-
bagiannya yang khusus. Bahan hukum yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis secara kualitatif
sehingga diperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai jawaban atas permasalahan. Bahan
penelitian yang didapatkan dari hasil penelitian akan dituangkan dalam bentuk deskripsi yang
menggambarkan tentang pertimbangan hakim dalam perkara pencemaran nama baik melalui media
surat kabar. H. Sistematika Skripsi Penulisan hukum ini akan disusun dalam 3 (tiga) bab yaitu, Bab I,
Bab II dan Bab III. Dari bab-bab tersebut kemudian diuraikan lagi menjadi sub bab-sub bab yang
diperlukan. Sistematika penulisan selengkapnya dapat diuraikan sebagai berikut: 16 BAB I
PENDAHULUAN Bab awal yang menjadi pembuka Penulisan Hukum oleh penulis yang didalamnya
terkandung Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian,
Keaslian Penelitian, Batasan Konsep, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan hukum. BAB II
PENCEMARAN NAMA BAIK MELALUI MEDIA MASSA Bab kedua terdiri dari 3(tiga) sub bab. Sub bab
yang pertama adalah mengenai tinjauan umum tentang pencemaran nama baik yang isinya berupa
pengertian pencemaran nama baik, jenis-jenis pencemaran nama baik, unsur-unsur pencemaran
nma baik, dan faktor-faktor penyebab tindak pidana pencemaran nama baik. Sub bab kedua
mengenai tinjauan umum tentang media massa yang isinya meliputi sejarah media massa,
pengertian media massa, kekebasan berpendapat dalam media massa, ketentuan pidana dalam
undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers. Sub bab ketiga adalah tinjauan mengenai
pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara pencemaran nama baik melalui media massa. BAB
III PENUTUP Bab yang terakhir dari penulisan hukum yang disusun oleh penulis. Bab ini terbagi
dalam dua bagian besar yaitu bagian kesimpulan dan bagian saran.
Pada situasi saat ini, media sosial memiliki peranan yang sangat penting dalam
kehidupan manusia, termasuk di Indonesia. Di Indonesia, media sosial sudah
menjadi salah satu kebutuhan pokok kehidupan manusia. Hampir semua orang
memiliki media sosial. Media sosial dapat dan sering digunakan untuk
mengemukakan pendapat dan hal-hal lainnya, namun, apakah kita sudah
menggunakannya untuk menyuarakan pendapat kita dengan baik? Indonesia
memiliki tingkat cyber-bullying yang terus meningkat setiap tahunnya. Hanya
dengan berpendapat yang terlalu bebas, kita dapat menimbulkan banyak masalah
untuk orang lain, padahal sudah ada Undang-undang yang mengatur tentang
penggunaan internet, yaitu UU No.11 tahun 2008.

Setiap manusia pasti memiliki opini mereka masing-masing, mulai dari hal-hal
kecil sampai ke hal-hal besar yang dapat menimbulkan berbagai permasalahan.
Manusia sebagai makhluk sosial akan berusaha mencari orang-orang yang sama
sepertinya. Orang-orang yang beropini sama biasanya akan memiliki hubungan
yang baik, akan tetapi akan mudah timbul perdebatan jika memiliki perbedaan
pendapat. Pada dasarnya, manusia memiliki keinginan dalam dirinya untuk
mendapat pengakuan dan ingin merasa benar. Oleh karena itulah, manusia akan
berusaha mempertahankan pendapatnya dan kadang kala tidak mau menerima
kenyataan bahwa mungkin saja pendapat orang lain itu lebih benar.

Pada zaman sekarang yang sudah dipenuhi dengan kemajuan teknologi, hidup kita
tidak dapat dilepaskan dari gadget dan media sosial. Seakan-akan kita tidak dapat
bertahan hidup tanpa menyentuh gadget. Kemajuan teknologi informasi, kebebasan
pers, dan kolom komentar membuat orang-orang marak menyuarakan pendapatnya
melalui internet, baik dalam situs-situs maupun dalam media sosial. Kita sering
melihat suatu postingan di Instagram yang memiliki ribuan komentar, atau
mungkin komentar-komentar netizen terhadap suatu topic tertentu. Sadarkah kita
bahwa komentar-komentar kita bisa saja dibaca oleh siapa saja dan dapat
mempengaruhi orang lain?

Cyber-bullying bukan hal yang tidak biasa lagi pada zaman ini. Cyber-bullying
sendiri adalah tindakan bully yang terjadi di dunia maya. Memberikan komentar-
komentar yang kurang atau bahkan tidak pantas, meninggalkan kata-kata penuh
hujatan di kolom komentar, dan mengata-ngatai orang di internet sekarang
merupakan hal yang biasa dengan mengatas-namakan kebebasan berpendapat.
Tidak sedikit pula orang-orang yang mengalami keterpurukan, depresi, maupun
akhirnya bunuh diri hanya karena dunia maya.

Kebebasan berpendapat sendiri memang ada hukumnya. Pasal 28 E ayat 3 UUD


1945 menyatakan bahwa setiap orang memiliki kebebesan untuk berserikat,
berkumpul, dan menyatakan pendapat. Adalah sebuah pelanggaran hukum jika kita
dilarang menyatakan pendapat kita. Sebagai manusia yang memiliki hati nurani,
kita sebaiknya dapat memberikan pendapat, kritik, dan saran yang membangun,
bukannya dengan menyampaikan komentar-komentar atau pendapat yang penuh
kebencian dan kata-kata tidak pantas.

Apalagi saat ini sudah didukung dengan adanya Undang-undan No.11 tahun 2008
mengenai Internet dan Transaksi Elektronik, dimana mengatur banyak hal tentang
etika dan tata cara menggunakan Internet dengan baik, seperti misalnya tentang
postingan yang mengandung unsure pornografi, SARA, berita hoax,
plagiarisme, stalking, dan lain-lain.

Namun, akhirnya semua kembali lagi ke masing-masing pribadi yang memiliki


akal budi dan pemikiran masing-masing. Apakah kita akan tetap meninggalkan
komentar-komentar yang hanya berisi hujatan dan tidak akan membangun orang
lain, ataukah kita akan mulai mencoba untuk berusaha memberikan kritikan dan
saran dengan cara yang lebih manusiawi dan lebih sopan? Mari kita berharap agar
dapat membentuk kebebasan berpendapat yang lebih membangun untuk masa
depan generasi kita.
Kebebasan Berpendapat Dalam Media Sosial
Dwi Nikmah Puspitasari

Fakultas Pendidikan Psikologi, Universitas Negeri Malang

Di dalam kehidupan sehari-hari kita bisa mendapatkan informasi melalui berbagai


cara, informasi bisa kita dapatkan di kehidupan nyata dengan hadir dan
menyaksikannya secara langsung, maupun lewat perantara dunia maya, salah
satunya melalui media sosial.

Informasi beragam yang kita dapatkan memungkinkan kita membangun asumsi dan
kepercayaan mengenai apa yang terjadi. Menurut Taylor (2012), alasan kita
menggunakan atau mempercayai sebuah informasi dapat kita lihat dari beberapa
faktor, yakni: 1) Peran, kita akan cenderung melihat peran sosial, disebutkan bahwa
peran sosial bisa jadi lebih penting dari pada sifat orang. Sifat peran adalah
informatif, meringkas banyak informasi dalam berbagai situasi. 2) Petunjuk atau
Ciri Fisik, kesan pertama sering didasarkan pada penampilan dan perilaku orang
lain. Penampilan dan perilaku yang nampak dapat membentuk kesan dan membantu
kita dalam mengambil sebuah kesimpulan. 3) Kemenonjolan, ciri yang menonjol
akan lebih banyak digunakan sebagai dasar penilaian, orang juga cenderung
mengarahkan perhatian pada aspek yang menonjol daripada latar belakang
atau setting yang bersangkutan.

Kebebasan Berpendapat

Kebebasan berpendapat merupakan hal yang di junjung tinggi di negara kita


Indonesia yang berasaskan demokrasi, hal ini sesuai dengan landasan negara yang
tercantum dalam UUD 1945 Pasal 28 e ayat (2) bahwa; Setiap orang bebas
meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati
nuraninya. Hal ini dipertegas melalui UU No. 9 tahun 1988 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, sehingga kebebasan berpendapat
individu merupakan hak yang dilindungi secara hukum.

Seseorang yang bersikap, berpendapat maupun mengambil sebuah kesimpulan,


kemudian memutuskan dengan mengutarakannya, dalam konteks ini di media
sosial, tentunya telah melewati berbagai pertimbangan. Dalam hal ini pembentukan
persepsi merupakan suatu hal mendasar sebelum seseorang berpendapat maupun
mengambil kesimpulan. Persepsi secara sederhana dipahami sebagai proses yang
kita gunakan untuk mencoba memahami orang lain (Baron, 2005). Sebelum
terbentuknya persepsi terdapat suatu proses yang disebut kategorisasi, hal ini
merupakan suatu upaya dalam memahami stimuli secara keseluruhan. Konsekuensi
dari kategorisasi yang kita buat memungkinkan kita memandang sesorang atau
situasi sebagai kelompok atau kategori tertentu dan akan menyebabkan kita
membuat penilaian yang stereotype (Taylor, 2012).

Dalam kasus ini, kebebasan berpendapat merupakan hak kita sebagai individu
dalam bernegara, tetapi perlu dicermati lebih bahwa ketidakhati-hatian dalam
membentuk persepsi juga dapat menempatkan kita pada sudut pandang yang bisa
saja terlalu sempit. Hal ini akan menjadi berbahaya jika dengan serta-merta kita
kemukanan atau ungkapkan.

Media Sosial

Media sosial merupakan salah satu media dimana para penggunanya dapat mencari
informasi, saling berkomunikasi dan menjalin pertemanan secara online. Seperti
diketahui ragam media sosial antara lain adalah facebook, twitter, line, bbm,
whatsapp, instagram, path, ask.fm, linkedin, snapchat dan beberapa media sosial
yang lain. Hemawan (2009) menyatakan bahwa dalam penggunaan media sosial
juga dapat dengan mudah menciptakan suatu forum dimana individu satu dengan
yang lain dapat saling berkomunikasi dan bertukar pikiran satu sama lain.

Dalam hal ini akan sangat mudah membuat individu berkomunikasi dan berkomentar
tentang berbagai topik maupun kasus yang dibahas oleh individu lain. Individu juga
dapat membangun asumsi, emosi dan kepercayaan melalui komentar maupun sudut
pandang maupun pemikiran individu lain dalam media sosial, hal ini memungkinkan
kita dapat secara reaktif berkomentar maupun berkesimpulan.

Dampak dari Kebebasan Berpendapat dalam Media Sosial

Pesepsi yang kita bangun atas dasar informasi dari pihak yang terkadang tidak
mencatumkan sumber yang pasti atau jelas, adanya kategorisasi yang kita bangun
dari kesan maupun stimulus yang menonjol, bisa jadi karena banyaknya orang yang
berkomentar atau mengangkat kasus, atau bahkan hal yang dibahas tidak sesuai
dengan value atau nilai-nilai yang kita anut, membuat kita cenderung bersikap reaktif
dan subjektif, hal ini cenderung melahirkan ketegangan dan perselisihan di dunia
maya.

Sudah banyak contoh bagaimana media sosial malah menjadi wadah individu
mencerca kekurangan orang lain atau bahkan terlalu mengusik kehidupan pribadi
yang ditampilkan oleh media, dimana hal ini bisa saja bertolak belakang dengan apa
yang sebenarnya terjadi. Seperti kasus Mulan Jameela yang disetiap informasi yang
Ia unggah malah mengundang haters. Ia dihina dan dicaci maki dengan dalih
kebeasan berekspresi. Kemudian bagaimana suatu informasi bisa menjadi tranding
topic hanya karena seorang public figure terkemuka yang mencetuskan. Seperti
yang dikemukakan di teori awal (Taylor, 2012) bahwa peran, ciri fisik dan
kemenonjolan merupakan beberapa faktor bagaimana suatu informasi dapat kita
gunakan atau kita percaya.

Strategi Berpendapat dalam Media Sosial

Media sosial merupakan salah satu wadah untuk kita sebagai manusia sosial agar
lebih bisa berinteraksi dan berkomunikasi secara lebih luas, namun demikian
hendaknya kita memanfaatkandengan lebih positif dan tidak mengeyampingkan
nilai-nilai kita sebagai manusia, bagaimana kita menempatkan diri dan
memperhatikan keberadaan dan perasaan orang lain. Berikut terdapat berbagai
strategi yang dapat diterapkan sebelum berpendapat dalam Media Sosial:
1) Informasi. Hendaknya sebelum berkomentar dan berkesimpulan galilah
informasi secara mendalam, keseluruhan dari berbagai sisi, sehingga kita
dapat lebih memahami dari berbagai sudut dan tidak terburu-buru
berkesimpulan atau memihak.
2) Kategorisasi. Sebisa mungkin singkirkan terlebih dahulu pendapat-pendapat
pribadi yang memungkinkan kita berkomentar maupun berpendapat secara
subjektif atau memihak secara ekstrim. Kita perlu melihat lebih luas sehingga
kita akan bersikap, berkomentar lebih objektif.
3) Persepi. Dari informasi yang kita dapat perlu untuk kita olah dan analisa lebih
dalam, sehingga dapat membentuk suatu persepsi yang kuat.
4) Kehadiran orang lain. Selalu ingatlah bahwa apa yang kita ungkapkan bisa
berdampak pada kondisi psikologis atau keadaan lawan bicara maupun orang
lain, maka tinggalkanlah kata-kata membekas yang baik. Hal ini merupakan
kewajiban kita sebagai sesama manusia.
Kebebasan berpendapat merupakan sebuah hak mutlak yang pasti dimiliki oleh
semua orang. Bebas untuk mengutarakan pendapat tanpa batas merupakan hal yang
sangat baik, ditambah dengan Indonesia yang menganut sistem demokrasi,
kebebasan berpendapat sangatlah penting bagi masyarakat. Tetapi, sebaik dan se-
penting apapun hal tersebut, satu yang tidak dapat dipungkiri. Bahwa semua hal
pasti memiliki sisi positif dan negatifnya tersendiri. Sama halnya dengan bebas
berpendapat, dibalik semua kepentingan dan kebaikan dalam mengutarakan
pendapat, pasti ada keburukannya juga. Semuanya menjadi pilihan kita untuk
menggunakan hak tersebut untuk kebaikan atau kejahatan.

Tanpa kita sadari, hak untuk bebas berpendapat digunakan setiap hari oleh semua
orang. Tidak perlu berpikir jauh, kehidupan sosial kita sangat bergantung pada
kebebasan kita dalam berpendapat. Semua postingan kita di sosial media didasari
hak kebebasan berpendapat. Sosial media merupakan salah satu alat untuk kita
berpendapat dengan bebas di kehidupan nyata melalui dunia maya. Kita bebas
untuk post gambar, video, atau tulisan apapun di akun media sosial kita. Tidak ada
yang salah dari mengunggah semua hal itu, tetapi kita harus memastikan bahwa
unggahan kita tidak membawa dampak negatif bagi pihak lain.

Terkadang beberapa orang menggunakan sosial media untuk menyebarkan


kebencian mereka terhadap seseorang atau suatu hal. Menyalahgunakan hak
tersebut juga termasuk melanggar hukum yaitu; pencemaran nama baik. Memberi
komentar benci di sosial media mungkin dianggap seperti sesuatu yang tidak
terlalu penting, tetapi bisa menjadi sebuah masalah besar jika memang sudah
terlalu berlebihan dan menyangkut kehidupan diluar sosial media. Sama halnya
seperti masalah artis Instagram Indonesia, Awkarin. Dia dihina oleh
para haters dan keluarganya ikut terancam. Maka ia melaporkan kasusnya kepada
pihak kepolisian, dan akhirnya terungkap siapa dalang para haters tersebut.

Media sosial bisa menjadi sarana bagi kita untuk bisa sepenuhnya
mengekspresikan diri kita. Alangkah baiknya jika kita mengunggah sesuatu hal
yang positif. Memberi kritik dan saran kepada orang lain melalui media sosial
tentu boleh, tetapi dengan sopan santun yang baik dan tidak perlu mengancam
orang lain juga di prosesnya. Kebebasan berpendapat diberikan kepada kita untuk
membuat kita para masyarakat menjadi lebih mudah untuk menyampaikan
aspirasinya dan menjadikan Indonesia lebih baik. Kita sebagai generasi muda
sudah patut untuk menjadi generasi penerus yang baik.
MEDIA SOSIAL, KEBEBASAN BEREKSPRESI DAN PELANGGARAN HAM

DISUSUN OLEH

ASRI KINASIHAN ( 2014 – 41 – 235 )

KELAS E

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS PROF.DR.MOESTOPO (BERAGAMA)

JAKARTA

2015

PENDAHULUAN

Kebutuhan dan gaya hidup masyarakat pada era saat ini menimbulkan munculnya
perkembangan dalam berbagai bidang salah satunya teknologi. Pesatnya kemajuan
teknologi tidak bisa dipungkiri semakin memanjakan manusia, contohnya dalam hal
berkomunikasi. Salah satu pengembangan dari teknologi berkomunikasi adalah jejaring
sosial atau lebih akrab dikenal dengan media sosial.

Media sosial adalah alat, jasa, dan komunikasi yang memfasilitasi hubungan antara orang
satu dengan yang lain serta memiliki kepentingan atau ketertarikan yang sama (Chris
Garrett). Dewasa ini, media sosial telah menawarkan berbagai fitur jejaring sosial yang
menarik hati semua kalangan masyarakat untuk menggunakannya seperti Facebook,
Instagram, Path, Line dan Whatsapp. Indonesia menjadi salah satu negara pengguna media
sosial terbesar ke-3 di dunia dengan jumlah pengguna 66,4 juta pada tahun 2014. Pada
tahun 2015 ini, jumlah pengguna media sosial akan meningkat hingga 75,84 juta. Angka
tersebut akan terus meningkat dan diperkirakan mencapai 84,5 juta pengguna ditahun 2016
(survei Jobstreet.com). Dengan jumlah pengguna media sosial yang sangat banyak tersebut
seyogyanya dibarengi dengan ilmu dan pemahaman dalam menggunakan fungsi media
sosial.

Dalam menggunakan media sosial ada beberapa hal yang harus diperhatikan yakni,
kebebasan berekspresi dan pelanggran HAM. Indonesia melalui data empiris menunjukkan
bahwa perkembangan industri media tidak selalu ke arah positif sebagai sebuah media
publik. “Industri media di Indonesia melihat pemirsa semata-mata sebagai konsumen,
bukan sebagai warga negara yang memiliki hak terhadap media. Logika utama yang
mendorong perkembangan industry media di Indonesia adalah dua hal, yaitu profit dan
kekuasaan,” demikian kutipan dari laporan penelitian berjudul ‘Memetakan Lansekap
Industri Media Kontemporer di Indonesia’, oleh Yanuar Nugroho dirilis pada Maret 2012.

“(Namun demikian) Internet memungkinkan individu untuk berbagi pandangan kritis dan
untuk menemukan informasi yang obyektif,” demikian ditegaskan oleh La Rue memberikan
angin segar. Hal tersebut pun seperti diyakini pula oleh Yanuar dalam laporan penelitannya,
“penggunaan Internet (media sosial) telah memunculkan kesempatan baru bagi warga
negara untuk menyuarakan aspirasi mereka dan mendapatkan respon dalam cara dan skala
yang tidak terpikirkan sebelumnya.”.

Dengan adanya paparan latar belakang tersebut, penulis bermaksud untuk menulis dan
memaparkan lebih lanjut mengenai “Media Sosial, Kebebasan Berekspresi dan Pelanggaran
HAM”.

POKOK PERMASALAHAN

Melalui data empiris menunjukkan bahwa perkembangan industri media tidak selalu ke arah
positif sebagai sebuah media publik. Namun demikian media khususnya media sosial
memungkinkan individu untuk berbagi pandangan kritis dan untuk menemukan informasi
yang obyektif. Penggunaan media sosial telah memunculkan kesempatan baru bagi warga
negara untuk menyuarakan aspirasi mereka dan mendapatkan respon dalam cara dan skala
yang tidak terpikirkan sebelumnya. Namun, dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-
kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang
ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan
dan penghormatan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi persyaratan aspek moralitas, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu
masyarakat yang demokratis.

PEMBAHASAN

1. Media Sosial

1.1 Definisi Media Sosial

Media sosial sebagai bentuk hubungan masyarakat (humas) yang paling transparan, menarik
dan interaktif pada saat ini (Lisa Buyer (The Buyer Group).

Menurut Marjorie Clayman, media sosial adalah alat pemasaran baru yang memungkinkan
Anda untuk mengenal pelanggan dan calon pelanggan dengan cara yang sebelumnya tidak
mungkin dilakukan (Marjorie Clayman (Clayman Advertising, Inc).

Media sosial adalah alat, jasa, dan komunikasi yang memfasilitasi hubungan antara orang
satu dengan yang lain serta memiliki kepentingan atau ketertarikan yang sama. (Chris
Garrett (Chrisg.com).

Dari ketiga definisi para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa Media Sosial adalah alat, jasa
dan komunikasi yang memungkinkan orang untuk membuat, berbagi, atau bertukar
informasi, ide, dan gambar atau video dalam komunitas dan jaringan virtual yang paling
transparan, menarik dan interaktif pada saat ini.

1.2 Data pengguna Media sosial

Nampaknya, tidak ada kata berhenti untuk pertumbuhan internet secara global. Menurut
data terbaru dari We Are Social, pengguna internet aktif di seluruh dunia kini mencapai
angka 31,7 miliar. Dari tahun ke tahun, jumlah pengguna internet bertumbuh hingga 7,6
persen.
Pertumbuhan pengguna internet ini juga berpengaruh terhadap pertumbuhan pengguna
media sosial dan mobile. Menurut laporan yang sama, pengguna media sosial aktif kini
mencapai 2,2 miliar, sedangkan pengguna mobile mencapai 3,7 miliar.

Menariknya, pertumbuhan yang paling signifikan ditunjukkan oleh pengguna yang


mengakses media sosial melalui platform mobile. Pengguna jenis ini bertumbuh hingga 23,3
persen. Sementara itu, Facebook masih menjadi media sosial yang paling banyak digunakan
dengan angka mencapai hampir 1,5 miliar.

Berikut adalah infografis dari perkembangan media sosial di Indonesia :

2. Kebebasan Berekspresi dan Pelanggaran HAM

2.1 Definisi kebebasan Berekpresi

John Stuart Mill (1806-1873) pernah mengatakan, semakin luas kebebasan berekspresi
dibuka dalam sebuah masyarakat atau peradaban, maka masyarakat atau peradaban
tersebutakan semakin maju dan berkembang. Sementara menurut Nirwan Dewanto,
kebebasan berekspresi adalah sarana untuk menyatakan pendapat. Artinya, untuk mencapai
kebenaran, setiap individu harus mengompetisikan pendapatnya.

2.2 Kebebasan Berekspresi Menurut UU

Dalam Undang-undang Dasar Tahun 1945 hak atas kebebasan berekspresi tidak diatur
secara rinci. Dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hak atas
kebebasan berekspresi dijamin dalam Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (2) dan (3). Pasal 28
menyatakan: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,mengeluarkan pikiran dengan lisan
dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.”Pasal 28 E ayat (2) dan (3)
menyatakan: “(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. (3) Setiap orang berhak atas kebebasan
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”Selain dari rumusan konstitusi di atas,
hak atas kebebasan berekspresi juga dapatditemukan dalam Pasal 23 ayat (2), 25, 44, dan
55 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut
UU HAM).

2.3 Kebebasan Berekspresi dan Pelanggaran HAM di Media Sosial

“Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia,
bersifat universal dan langgeng (yang) oleh karena itu harus dilindungi, dihormati,
dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun”,
demikian kutipan dari bagian awal Undang-Undang (UU) RI Nomor 39 tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia. Adanya UU tersebut adalah sebagai tindak lanjut Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) Nomor VII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.

Adapun di dalam pasal 14 pada UU tersebut, dinyatakan bahwa:

“(1). Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan
untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.

(2). Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia”.

Jelas bahwa, pasal tersebut sejatinya tunduk dan mengacu pada pasal 28F, UUD 1945
Indonesia (Amandemen ke-2, yang ditetapkan pada Agustus 2000) dan pada pasal
19, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB.

Pada pasal 28F, UUD 1945, dinyatakan bahwa:

“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk


mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

Sedangkan pada pasal 19, Deklarasi Universal HAM (DUHAM) PBB yang dideklarasikan pada
10 Desember 1948 tersebut ditegaskan bahwa:

“Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, dalam hal ini mencakup
kebebasan untuk berpegang teguh pada pendapat tertentu tanpa mendapatkan gangguan,
dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan ide/gagasan melalui media
apa saja tanpa ada batasan”.

Meskipun ada jaminan untuk bebas berpendapat dan berekspresi, pelaksanaan hak
tersebut tidaklah tak terbatas. Yang membatasinya adalah pada pasal 29 ayat 2 pada
deklarasi yang sama, berbunyi, “dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya,
setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh
undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan
penghormatan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi persyaratan aspek moralitas, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu
masyarakat yang demokratis”.

Pasal “kebebasan berpendapat dan berekspresi” pada DUHAM PBB tersebut kemudian
‘diperkuat’ pada Resolusi Majelis Umum PBB tanggal 16 Desember 1966, melalui pasal 19 di
dalam Kovenan (Kesepakatan) Internasional tentangHak-Hak Sipil dan Politik. Pasal 19 pada
kesepakatan tersebut tertulis sebagai berikut:
“(1). Setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa campur tangan (pihak lain).

(2) Setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi; hak ini termasuk kebebasan untuk
mencari, menerima dan memberikan informasi dan ide/gagasan apapun, terlepas dari
pembatasan-pembatasan, baik secara lisan, tulisan, cetakan, dalam bentuk karya seni atau
melalui media lain sesuai dengan pilihannya.

(3). Pelaksanaan hak-hak yang diicantumkan dalam ayat 2 pasal ini turut membawa
kewajiban dan tanggung jawab khusus. Oleh karenanya dapat dikenai pembatasan tertentu,
tetapi hal (pembatasan) ini hanya dapat dilakukan sesuai dengan hukum dan sepanjang
diperlukan untuk:

a) Menghormati hak atau reputasi (nama baik) orang lain

b) Melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan ataupun moral


umum/publik.”

Indonesia meratifikasi kesepakatan ini pada 23 Februari 2006.

Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa sesungguhnya secara global maupun pada
konstitusi negara kita, hak individu untuk berinformasi, berpendapat dan berekspresi,
melalui berbagai media sangatlah dilindungi. Sebagai pedoman atas pelaksanaan hak
tersebut, secara umum dapatlah kita mengacu pada prinsip-prinsip yang diramu oleh Free
Speech Debate dalam bentuk “10 Prinsip Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi”.

10 PRINSIP KEBEBASAN BERPENDAPAT DAN BEREKSPRESI

Kita – semua manusia – harus bebas dan dapat mengekspresikan diri, dan untuk mencari,
menerima dan menyampaikan informasi, ide serta gagasan, tanpa batas

Kita mempertahankan internet dan semua bentuk komunikasi lainnya terhadap gangguan-
gangguan yang tidak sah oleh kedua kekuatan publik maupun swasta

Kita membutuhkan dan membuat media yang terbuka beragam sehingga kami dapat
membuat keputusan berdasarkan informasi yang baik dan berpartisipasi penuh dalam
kehidupan politik

Kita berbicara secara terbuka dan dengan sopan tentang segala macam perbedaan manusia

Kita mengizinkan untuk tidak ada tabu dalam diskusi dan penyebaran pengetahuan

Kita tidak melakukan ancaman kekerasan serta tidak menerima adanya intimidasi
kekerasan.

Kita menghormati orang yang meyakini / mempercayai suatu hal tetapi bukan berarti atas isi
keyakinan atau kepercayaannya
Kita semua berhak atas kehidupan pribadi tetapi harus menerima pengawasan jika itu
adalah demi kepentingan publik

Kita harus mampu untuk melawan penghinaan pada reputasi kita tanpa mengganggu atau
membatasi perdebatan yang sah

Kita harus bebas untuk menantang batasan kebebasan berekspresi dan informasi yang
selama ini berdasarkan alasan untuk keamanan nasional, ketertiban umum, moralitas dan
perlindungan kekayaan intelektual

Dan media sosial, tentu saja masuk sebagai media yang mampu menjadi sarana yang
penting dalam pemenuhan hak berpendapat dan berekspresi ini. Pada Juni 2011, PBB
melalui Special Rapporteur bidang Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, Frank William
La Rue, mengingatkan, “Internet telah menjadi alat yang sangat diperlukan untuk
mewujudkan berbagai hak asasi manusia,memerangi ketidakadilan, dan mempercepat
pembangunan dan kemajuan manusia, maka memastikan (ketersediaan) akses ke Internet
haruslah menjadi prioritas bagi semua negara”.

Tetapi La Rue memiliki kekhawatian bahwa kebebasan berekspresi dan berpendapat secara
di media sosial, kini tengah menghadapi tantatangan, bahkan oleh negara. Menurutnya,
kebebasan berekspresi di Internet khususnya media sosial di banyak negara, kini banyak
dihambat dengan cara menerapkan hukum pidana ataupun menciptakan hukum baru yang
dirancang untuk dapat mengkriminalkan para pelaku kebebasan berekspresi di Internet.
Menurutnya, hukum seperti itu seringkali dijustifikasi sebagai hal yang perlu untuk
melindungi nama baik (reputasi), kemanan nasional ataupun guna melawan terorisme.
“Namun pada prakteknya, hukum tersebut seringkali digunakan untuk menyensor situs (di
Internet) yang kontennya tidak disukai/disetujui oleh pemerintah atau pihak yang berkuasa
lainnya,” tegasnya.

Di sisi lain, masih melalui La Rue, PBB yakin bahwa Internet adalah platform yang sangat
berharga di negara yang media massanya tidak indepenen. Untuk kasus di Indonesia, data
empiris menunjukkan bahwa perkembangan industri media tidak selalu ke arah positif
sebagai sebuah media publik. “Industri media di Indonesia melihat pemirsa semata-mata
sebagai konsumen, bukan sebagai warga negara yang memiliki hak terhadap media. Logika
utama yang mendorong perkembangan industry media di Indonesia adalah dua hal, yaitu
profit dan kekuasaan,” demikian kutipan dari laporan penelitian berjudul ‘Memetakan
Lansekap Industri Media Kontemporer di Indonesia’, oleh Yanuar Nugroho dan kawan-
kawan, yang dirilis pada Maret 2012.

“(Namun demikian) media sosial memungkinkan individu untuk berbagi pandangan kritis
dan untuk menemukan informasi yang obyektif,” demikian ditegaskan oleh La Rue
memberikan angin segar. Pun seperti diyakini pula oleh Yanuar dalam laporan penelitannya,
“penggunaan media sosial telah memunculkan kesempatan baru bagi warga negara untuk
menyuarakan aspirasi mereka dan mendapatkan respon dalam cara dan skala yang tidak
terpikirkan sebelumnya.”

Jelaslah sudah bahwa media sosial menawarkan kesempatan yang belum pernah ada
sebelumnya untuk menegakkan dan mempromosikan HAM dan sekaligus memainkan peran
yang semakin penting dalam salah satu hak kehidupan kita sehari-hari, yaitu berinformasi,
berpendapat dan berekspresi. Bahkan secara khusus, sudah mendesak perlu adanya tata
kelola (governance) atas media sosial yang pro pada HAM. Pada Pertemuan Informal Asia –
Eropa (ASEM Meeting) ke-12 di Seoul pada 27-29 Juni 2012, agenda utama dan satu-satunya
yang dibahas adalah tentang HAM dan Teknologi Informasi-Komunikasi (ICT).

Dalam pertemuan yang diikuti pula oleh wakil dari ICT Watch Indonesia tersebut, salah satu
konsensus yang disampaikan adalah, “perlindungan HAM harus juga diterapkan pada ranah
online (Internet), bebas dari batasan-batasan dan mencakup semua jenis media”. Adapun
secara umum, visi dari penggunaan dan pemanfaatan media sosial yang berbasiskan pada
HAM telah dirumuskan oleh Koalisi Hak dan Prinsip Ber-Internet dalam bentuk “10 HAM di
media sosial”.

10 HAK ASASI MANUSIA DI MEDIA SOSIAL

Universalitas dan Kesetaraan


Semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam martabat dan hak, yang harus dihormati,
dilindungi dan dipenuhi dalam ranah online.

Hak dan Keadilan Sosial


Internet adalah ruang untuk promosi, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia dan
memajukan keadilan sosial. Setiap orang memiliki kewajiban untuk menghormati HAM
orang lain dalam ranah online.

Aksesibilitas
Setiap orang memiliki hak yang sama untuk mengakses dan menggunakan internet yang
aman dan terbuka.

Ekspresi dan Serikat


Setiap orang berhak untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi secara bebas
di Internet tanpa sensor atau gangguan lainnya. Setiap orang juga memiliki hak untuk
berserikat (berkumpul) secara bebas melalui dan/atau di Internet, untuk kepentingan sosial,
politik, budaya atau lainnya.

Perlindungan Privasi dan Data


Setiap orang memiliki hak privasi online. Ini termasuk kebebasan dari pengawasan, hak
untuk menggunakan enkripsi, dan hak untuk anonimitas online. Setiap orang juga memiliki
hak untuk perlindungan data, termasuk kontrol atas pengumpulan data pribadi, retensi,
pengolahan, penghapusan dan pengungkapan.

Kehidupan, Kebebasan dan Keamanan


Hak untuk hidup, bebas, dan aman harus dihormati, dilindungi dan dipenuhi secara online.
Hak-hak ini tidak boleh dilanggar, atau digunakan untuk melanggar hak-hak lain, dalam
ranah online.

Keanekaragaman
Keanekaragaman budaya dan bahasa di Internet harus dipromosikan, dan inovasi teknis
serta kebijakan harus didorong untuk memfasilitasi pluralitas (keberagaman) ekspresi.

Kesetaraan Jaringan
Setiap orang berhak memiliki akses universal dan terbuka untuk konten Internet, bebas dari
diskriminasi prioritas, penyaringan atau kontrol trafik atas alasan komersial, politis atau
lainnya.

Standar dan Peraturan


Arsitektur Internet, sistem komunikasi, dan dokumen dan format data harus didasarkan
pada standar terbuka yang menjamin interoperabilitas lengkap, inklusi (terbuka) dan
kesempatan yang sama untuk semua.

Tata Kelola
HAM dan keadilan sosial harus membentuk landasan hukum dan normatif yang menjadi
kerangka Internet ditata dan dikeloka. Ini dapat terjadi secara transparan dan multilateral,
berdasarkan prinsip keterbukaan, partisipasi yang inklusi (terbuka) dan menjalankan
akuntabilitas.

Tentu saja ke-10 visi di atas tak bisa dilepas begitu saja, tanpa ada upaya untuk
mewujudkannya. Seperti dikutip langsung dari butir lain konsensus pertemuan ASEM
tentang HAM & ICT di atas adalah, “diperlukan adanya edukasi, pemahaman dan
peningkatan kapasitas (pengetahuan) tentang bagaimana menggunakan media baru
(Internet) untuk berbagai keperluan, termasuk untuk social activism. Dengan demikian
publik dan komunitas dapat memilih dan mengatur sendiri tata-cara menggunakan ICT
(Internet).”

KESIMPULAN DAN SARAN

Mengacu pada paparan di atas, maka tak dapat dipungkiri pentingnya kesadaran dan
keingnan semua pihak, baik masyarakat sipil (publik), komunitas, pemerintah maupun
swasta, untuk menghormati dan melindungi HAM di ataupun melalui media sosial. Pun, kita
semua secara bersama harus dapat memastikan bahwa media sosial dijalankan dan
dikembangkan dengan cara dan tujuan untuk memenuhi, melindungi dan mempromosikan
HAM seluas mungkin. Tidak ada yang boleh (merasa) lebih berperan, dominan ataupun
superior, ketika kita bicara tentang tata kelola media sosial dalam kerangka kepentingan
HAM. Media Sosial dan HAM adalah dari, oleh dan untuk kita bersama untuk mendorong
perbaikan dan mebawa kebaikan seluas-luasnya bagi seluruh manusia di muka bumi ini,
tanpa terkecuali.

Anda mungkin juga menyukai