Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH SEJARAH TENTANG PEMILIHAN UMUM DI ERA

REFORMASI

DI SUSUN OLEH :

PUTRI NUR HALIFAH PRAWIRA

XII OTKP 1

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini
dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

Saya berharap semoga makalah ini bias menambah pengetahuan para pembaca.
Namun terlepas dari itu, saya memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Sehingga saya sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersikap
membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yan lebih baik dan saya akan
terbuka terhadap saran dan masukan dari semua pihak, akhir kata saya mengucapkan
terima kasih.

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PEMBAHASAN

3
Munculnya era reformasi telah mengubah sistem politik di Indonesia. Bila di
era Orde Baru sistem politiknya bercorak otoriter, maka era Reformasi bercorak
liberal. Reformasi yang dilaksanakan untuk demokrasi, membuat era Reformasi
identik dengan kebebasan: kebebasan berkumpul, berserikat, dan mengeluarkan
pendapat. Oleh karena itu, kebebasan pers merupakan salah satu syarat dan perangkat
demokrasi. Kebebasan pers dimulai ketika Presiden BJ. Habibie melalui Menteri
Penerangan Junus Yosfiah membatalkan Permenpen No. 1/1984 yang selama Orde
Baru menjadi momok bagi pers (Hamid & Heri, 2011: 97).

Setelah membatalkan Peraturan Menteri Penerangan tersebut, terbit Undang-


undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pada UU tersebut dijelaskan beberapa
pertimbangan yang menjadi acuan dalam pembuatan dan penerbitan UU Pers, yaitu:
a) Bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan
menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan
pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-undang Dasar
1945 harus dijamin; b) bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai
dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia
yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran,
memajukan kesejateraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa; c) bahwa pers
nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk
opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan
sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus
mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan
paksaan dari manapun; d) bahwa pers nasional berperan ikut menjaga ketertiban

4
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial; e)
bahwa Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 dan
diubah dengan Undangundang Nomor 21 Tahun 1982 sudah tidak sesuai dengan
tuntutan perkembangan zaman.

Berbanding lurus dengan sistem demokrasi pasca masuknya bangsa Indonesia


pada era Reformasi yang ditandai dengan lahirnya Undang-undang yang menjamin
kebebasan pers, maka pada tahun 2002 turut lahir UU No. 32 yang secara khusus
mengatur tentang Penyiaran. Hal ini dikarenakan penyiaran Indonesia membutuhkan
sistem yang berkeadilan dalam hal regulasi dan bermartabat dalam aspek isi
siarannya.

Regulasi diperlukan karena perkembangan media yang sedemikian marak tentu


tidak dapat dibiarkan liar tanpa aturan.

Apalagi, spektrum frekuensi adalah kekayaan alam terbatas yang merupakan


sarana utama penyiaran yang pada dasarnya merupakan milik publik yang dikelola
oleh negara, bukan individu atau kelompok tertentu. Hal ini sesuai dengan UUD 1945
Pasal 33 ayat 3 yang berbunyi ―bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat‖. Selain itu, frekuensi merupakan aset dengan nilai ekonomi yang tinggi di
dalam industri media mengingat semakin berkembangnya teknologi komunikasi dan
informasi di dunia (KPI, 2010: 6).

5
Institusi media –dalam hal ini adalah lembaga penyiaran—yang harus diatur
oleh masyarakat karena merupakan hak publik tersebut sejalan dengan pendapat dari
Dennis McQuail bahwa media massa merupakan institusi yang memiliki aturan-
aturan dan norma-norma yang menghubungkan dirinya dengan masyarakat dan
institusi lainnya, di lain pihak institusi media diatur oleh masyarakat (McQuail, 1989:
3).

Termaktub dalam UU No. 32 Tahun 2002, untuk penyelenggaraan penyiaran


maka dibentuklah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang merupakan lembaga
negara yang bersifat independen mengatur hal-hal menyangkut penyiaran.
Pembentukan KPI bertujuan untuk menjalankan fungsi pengawasan siaran publik,
baik melalui siaran radio maupun televisi. Artinya, KPI mempunyai peranan yang
sangat signifikan dalam 4 pengaturan dunia penyiaran. Pada pasal 7, Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) terdiri dari KPI Pusat dan KPI Daerah. KPI Pusat dibentuk
di tingkat pusat dan KPID dibentuk di tingkat daerah atau provinsi.

KPI memiliki kewenangan (otoritas) menetapkan standar program siaran,


menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran (diusulkan oleh
asosiasi/masyarakat penyiaran kepada KPI), mengawasi pelaksanaan peraturan dan
pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran, memberikan sanksi
terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar
program siaran, serta melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan Pemerintah,
lembaga penyiaran, dan masyarakat (KPI, 2010: 12).

Berdasarkan kewenangannya yang tertera di atas, KPI merumuskan dan


menetapkan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS)

6
sebagai acuan standar bagi penyiaran di Indonesia. P3SPS merupakan parameter
mengenai apa yang boleh dan tidak boleh disiarkan, bukan dalam rangka mengekang
kebebasan pers tetapi untuk memartabatkan isi siaran.

Seluruh program yang ada setidaknya perlu untuk dicermati, karena dapat
membawa motif dan dampak yang berbeda, baik positif maupun negatif. Setiap siaran
yang dipancarkan dan diterima secara bersama, serentak dan bebas memiliki
pengaruh yang besar dalam pembentukan pendapat, sikap dan perilaku khalayak. Hal
tersebut akan membentuk respon masyarakat sebagai penerima informasi. Oleh
karena 5 itu, diversity of content (keragaman isi), diversity of ownership (keragaman
kepemilikan) dan diversity of voice (keragaman pendapat dan suara) sebagai bentuk
dari demokratisasi penyiaran harus selalu diperhatikan dan dipastikan oleh KPI Pusat.

Berpedoman pada P3SPS, KPI Pusat melakukan pemantauan terhadap isi


siaran, untuk menentukan apakah siaran tersebut telah melanggar P3SPS atau tidak.
Misalnya pada masa Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 lalu, KPI mengeluarkan 37
sanksi kepada lembaga penyiaran yang melanggar P3SPS. Pelanggaran yang
dilakukan adalah tidak netral, memihak kepada pemilik dan kelompoknya,
memanfaatkan program kuis, reality show, variety show, sinetron, dan program religi
untuk kampanye, menyiarkan iklan politik dan iklan kampanye sebelum masa
kampanye (mencuri start), menyiarkan iklan kampanye yang melebihi durasi dan
frekuensi yang telah ditetapkan pada masa kampanye dan masih menyiarkan iklan
politik di masa tenang. Atas pelanggaran tersebut, KPI memberikan sanksi mulai dari
teguran sampai dengan penghentian program

7
(http://www.kpi.go.id/index.php/siaran-pers1/32058-evaluasi-penyiaran-pemilu-
legislatif-dan-persiapan-pemantauanpemilihan-presiden-2014 diakses pada tanggal 15
Desember 2014 pukul 10.44 WIB).

Keberpihakan isi siaran terhadap pemilik media dan kelompoknya tidak


terlepas dari adanya konglomerasi media. Konglomerasi media hadir dari adanya
konglomerat-konglomerat media yang memiliki beberapa 6 media diantaranya Hary
Tanoesoedibyo dengan ―MNC Group‖ dan Aburizal Bakrie dengan ―Bakrie Group‖
serta Surya Paloh dengan ―Media Group‖. Para konglomerat yang terjun aktif dalam
partai politik, baik sebagai kandidat maupun sebagai pendukung kandidat dari
kelompoknya, tentu saja membawa dampak pada informasi yang disuguhkan kepada
khalayak. Adanya bingkai informasi yang diberikan melalui konglomerasi media
dapat menyebabkan terbentuknya opini pada khalayak sesuai dengan apa yang
diinginkan para pemilik media. Faktor seperti pemilik media, modal, dan pendapatan
media dianggap lebih menentukan bagaimana wujud isi media. Faktor-faktor inilah
yang menentukan peristiwa apa saja yang bisa atau tidak bisa ditampilkan dalam
pemberitaan, serta ke arah mana kecenderungan pemberitaan sebuah media hendak
diarahkan (Sudibyo, 2001: 2).

Kemudian pada Mei 2014, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat merilis
tayangan 10 sinetron dan FTV bermasalah dan tidak layak ditonton. Ke-10 sinetron
dan FTV tersebut adalah Sinetron Ayah Mengapa Aku Berbeda (RCTI), Sinetron
Pashmina Aisha (RCTI), Sinetron ABG Jadi Manten (SCTV), Sinetron Ganteng-
Ganteng Serigala (SCTV). Kemudian, Sinetron Diam-Diam Suka (SCTV), Sinema
Indonesia (ANTV), Sinema Akhir Pekan (ANTV), Sinema Pagi (Indosiar), Sinema
Utama Keluarga (MNC TV) dan Bioskop Indonesia Premier (Trans TV).

8
Tayangan sinetron dan FTV tersebut di atas disimpulkan telah melakukan 12
pelanggaran sebagaimana diatur UU Penyiaran serta pada 7 Pedoman Perilaku
Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Yakni, tindakan bullying
(intimidasi) yang dilakukan anak sekolah, kekerasan fisik, kekerasan verbal,
menampilkan percobaan pembunuhan, adegan percobaan bunuh diri, menampilkan
remaja yang menggunakan testpack karena hamil di luar nikah. Pelanggaran lainnya,
adanya dialog yang menganjurkan untuk menggugurkan kandungan, adegan seolah
memakan kelinci hidup, menampilkan seragam sekolah yang tidak sesuai dengan
etika pendidikan, adegan menampilkan kehidupan bebas yang dilakukan anak remaja,
seperti merokok, minum-minuman keras dan kehidupan dunia malam, adegan
percobaan pemerkosaan, konflik rumah tangga dan perselingkuhan
(http://politik.rmol.co/read/2014/05/14/155216/KPI-Rilis10-Sinetron-dan-FTV-
Bermasalah- diakses pada tanggal 15 Desember 2014 pukul 10.31 WIB).

Apa yang ditampilkan dalam isi siaran dari 10 sinetron dan FTV tersebut
hanyalah berdasar pada kepentingan komersil yang bertujuan untuk meraih rating
setinggi-tingginya sehingga tidak menghiraukan preferensi konsumen (khalayak) dan
standar siaran yang telah ditetapkan, seperti apa yang disampaikan oleh Vincent
Mosco dalam bukunya yang berjudul “the Political Economy of Communication
bahwa: ―Ratings are immanent commodities because they are constituted as
commodities in the process of contributing to commodity production. Specifically,
they are produced as an important element in the commodification of content and of
audiences and are themselves the central commodity of the ratings industri. This
makes the ratings services important not because they are the media commodity, but
because they represent one rather advanced stage in the general process of media
commodification” Rating 8 adalah komoditas imanen karena rating dikonstitusikan
sebagai alat yang berkontribusi dalam proses produksi komoditas. Secara khusus,
rating diproduksi sebagai unsur penting dalam komodifikasi konten dan audiens yang

9
merupakan komoditas utama dari industri rating. Hal ini membuat layanan rating
menjadi penting bukan karena mereka adalah media komoditas, tetapi karena
merupakan salah satu representasi dalam tahapan umum komodifikasi media).‖
(Mosco, 2009: 142)

Berdasarkan hasil pantauan dan pengawasan yang dilakukan KPI Pusat,


terhitung sejak tahun 2012 hingga tanggal 18 Desember 2014, KPI Pusat telah
mengeluarkan sanksi kepada lembaga penyiaran tentang isi siaran yang dianggap
melanggar P3SPS sebanyak 439 sanksi, dengan rincian pada tahun 2012 sebanyak
107 sanksi, tahun 2013 sebanyak 154 sanksi, dan yang terbanyak adalah pada tahun
2014 (Januari-18 Desember 2014) sebanyak 178 sanksi1 . Sanksi tersebut di atas
merupakan sanksi administratif, yaitu berupa teguran pertama, teguran kedua,
penghentian sementara, penghentian tetap program siaran, dan pembatasan durasi
siaran. Selain sanksi administratif, KPI juga mengeluarkan surat peringatan dan
himbauan terkait isi siaran. Sekian banyak sanksi yang dikeluarkan KPI Pusat
terhadap lembaga penyiaran yang melanggar P3SPS –hingga ratusan jumlahnya per
tahun—tetap saja KPI dianggap melempem oleh pihak-pihak yang memberikan
perhatian khusus terhadap konten siaran.

Seperti opini yang 1 Data diperoleh dari Virgo Sulianto yang merupakan
sekretaris dari Komisioner KPI Pusat periode 2013-2016, Fajar Arifianto Isnugroho,
dalam bentuk photo copy arsip, saat pra penelitian 9 disampaikan oleh Saor
Simanjuntak dalam salah satu media online sebagai berikut: ―Saya memberikan
apresiasi kepada Komisioner KPI yang tidak henti-hentinya memberikan teguran
kepada lembaga penyiaran yang melanggar P3SPS. Saya mencatat, ada ratusan
teguran diberikan sejak komisioner KPI 2013-2016 dilantik. Namun sayang,
komisioner KPI ini belum terlihat galak.

10
Teguran yang dialamatkan kepada stasiun televisi cenderung bersifat basa-
basi, tidak ada followup-nya, padahal mereka bekerja dilindungi Undang-undang‖.
(http://m.inilah.com/news/detail/2154275/revolusi-mental-dilembaga-penyiaran
diakses pada tanggal 6 januari 2015 pukul 13.00 WIB) Apalagi, pada rilis Refleksi
Akhir Tahun 2012 yang dikeluarkan oleh KPI Pusat pada tanggal 29 Desember 2012
disebutkan bahwa hingga rilis tersebut diterbitkan, terdapat 1 (satu) lembaga
penyiaran yang sama sekali tidak menggubris sanksi administratif berupa penghentian
sementara. ―Sanksi penghentian sementara diberikan kepada enam program:
Indonesia Sehat (TVRI), Uya Emang Kuya (SCTV), Bioskop TransTV (Trans TV),
Metro Siang segmen talkshow (Metro TV), Pesbukers (ANTV), dan Sembilan Wali
(Indosiar). Lembaga penyiaran yang sampai saat ini belum menjalankan sanksi di
tahun 2012 adalah ANTV (Pesbukers). Adapun sanksi pembatasan durasi dijatuhkan
kepada ―Bukan Empat Mata‖ (Trans 7)‖. Akhirnya, menjadi pertanyaan bagi
peneliti, mengapa bisa ada lembaga penyiaran yang tidak mematuhi sanksi
administratif dari KPI Pusat? Padahal KPI Pusat sebagai lembaga independen yang
memiliki fungsi pengawasan siaran publik tidak hanya bertugas untuk memantau,
mengontrol dan melayangkan surat sanksi saja, melainkan juga harus tegas 10
menindak lembaga penyiaran yang nakal.

Oleh karena itu, peneliti ingin memperoleh gambaran bagaimana KPI Pusat
melaksanakan fungsi pengawasan siaran televisi pada tahun 2014 serta untuk
mengetahui kendala apa yang sebenarnya dihadapi oleh KPI Pusat hingga sulit
menindak lembaga penyiaran yang melanggar P3SPS sesuai dengan sanksi yang telah
diberikan. Sebelumnya, telah ada beberapa penelitian serupa yang dilakukan terhadap
KPI, tiga diantaranya adalah penelitian berupa kajian analisis isi yang dilakukan oleh
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pemantau televisi bernama Remotivi –
bekerjasama dengan Komnas Perempuan— pada tahun 2013 tentang Sanksi KPI
Sepanjang Tahun 2012, selanjutnya adalah penelitian yang dilaksanakan oleh

11
mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN Jakarta) untuk
kebutuhan skripsinya tentang Peranan KPI Pusat terhadap Tayangan Infotainmen di
Televisi, dan penelitian tentang Pengawasan Komisi Penyiaran Indonesia terhadap
Acara Silet Pada Stasiun RCTI pada Kasus Penayangan Bencana Gunung Merapi
tanggal 7 November 2010 oleh Achmad Syofian Hady dalam Skripsinya tahun 2011.

12

Anda mungkin juga menyukai