Anda di halaman 1dari 13

Pertemuan 9 (19 Oktober 2021)

Ada penjelasan sebelum bagian dibawah, tetapi voice notenya kepotong dan baru
dimulai pada kuadran kedua (nilai).
1. Situasi
(Voice notenya kepotong)

2. Nilai
Reporter dan editor mendiskusikan nilai positif dan negative dalam
mempublikasikan nama serta identitas korban. Beberapa berpendapat
dengan mempublikasikan nama korban akan membuat orang lain enggan
melaporkan kasus atau kejahatan yang serupa. Beberapa juga berpendapat
hal itu merupakan Tindakan media massa berselera rendah.
Media massa memiliki kewajiban untuk melindungi dirinya sendiri
dari kemungkinan terburuk berdasarkan pandangan dan penilaian
masyarakat. Tujuan pemberitaan dapat dicapai tanpa menyebutkan nama
dan identitas korban. Khalayak berhak tahu semua informasi yang relevan
sejauh yang dapat dikumpulkan oleh media namun mediapun memiliki
kewajiban melindungi identitas korban. Agar terdapat rujukan baku, ada
baiknya pihak media secara internal menyusun dan menetapkan pedoman
penulisan berita, dengan itu siapapun jurnalis berita dimanapun memiliki
rujukan yang sudah pasti dalam menulis berita.

3. Prinsip
Memegang keputusan mencari prinsip-prinsip moral dan etika
yang menguatkan nilai-nilai yang sudah diidentifikasi dalam kuadran
kedua(nilai). Misalnya dalam prinsip utilitas yang mendukung pendekatan
mayoritas daripada individu akan memilih penyebutan nama korban
dengan alasan dapat menambah ketajaman berita, memperbesar
kesempatan kesadaran public dan mungkin akan melahirkan perbaikan
kebijakan public, jadi kepentingan public lebih didahulukan daripada
kepentingan individu, bisa jadi terdapat kerugian pada individu namun
kerugian itu tidak menggugurkan nilai nilai kepentinagn public.
Sebaliknya bagi pendukung ide immanuel kant, lebih baik merujuk
pada buku pedoman dimana media tidak boleh, tidak pernah dan jangan
sampai mempublikasikan informasi yang mungkin melukai perasaan dan
merusak nama baik pembaca

4. Loyalitas
Editor dan tim khusus yang dibentuk Menyusun dan menetapkan
hirarki loyalitas. Kesulitannya adalah apakah loyalitas utama adalah pada
kode etik, jika iya maka kode etik yang mana, jika loyalitas kepada
pembaca maka pembaca yang mana, kepada masyarakat, kepada atasan
atau kepada perusahaan atau malah kepada diri sendiri.
Berdasarkan kewajiban kepada diri sendiri editor dan repoter
mungkin akan embuat serial pemerkosaan sejelas mungkin, sedetail
mungkin untuk mendapatkan penghargaan jurnalistik. Bagi yang
mengutamakan kewajiban pada masyarakat surat kabar berkewajiban
secara sosial untuk menyajikan berita sekuat dan selengkap mungkin
untuk memicu revormasi dalam sikap serta perubahan kebijakan public.

Pertemuan ke-10 (26 Oktober 2021)


Membedah Hukum Media Masa Penyiaran
Media penyiaran lebih rumit dibandingkan dengan media cetak oleh sebab
itu dibutuhkan pemahaman yang lebih mendalam. Media massa cetak juga dapat
disebut dengan pers dimana itu terdiri dari surat kabar, tabloid, dan majalah.
Sedangkan media massa elektronik atau bisa disebut media penyiaran terbagi atas
dua hal yaitu radio dan televisi. Sedangkan media massa dalam jaringan atau biasa
disebut media online merujuk pada massa yang dipublikasikan khalayak luas
dengan basis computer, telekomunikasi, internet dan teknologi digital.
Berikut 4 subtansi hukum media massa penyiaran, diantaranya
1. Berkaitan dengan persoalan technical
Bagaimana kita mendapatkan izin penggunaan spektrum frekuensi sampai
kepada digitalisasi penyiarannya. Hal ini menyangkut Kementerian
Perhubungan atau Kominfo dimana Izin frekuensi dinilai secara nasional,
2. Berkaitan dengan hukum perizinan penyiaran.
Hal ini berkaitan dengan dengan kelembagaan dimana Kelembagaan
dalam hal ini mengatur mekanisme perizinan di Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Penyiaran dan Peraturan Pelaksanaannya.
3. Aspek hukum program siaran
Bersinggungan dengan aspek hukum di bidang program siaran dan
mengatur mana yang boleh disiarkan dan mana hal-hal yang tidak boleh
disiarkan.
4. Produk aspek hukum pidana penyiaran
berkaitan dengan aspek hukum pidana dalam penyiaran.
Ada beberapa jenis pedoman atau perilaku siaran dan standar siaran lokal.
Tidak seperti organisasi penerbitan, media massa cetak memiliki aturan yang
lebih longgar dan lebih bersifat lokal atau nasional, atau dapat dilihat sebagai
aturan yang ringan. Kemudian ada beberapa persoalan berkaitan dengan pijakan-
pijakan filosofisnya jadi kita mengenal dua produk hukum penyiaran di Indonesia.
Yang tertuang di dalam UU No. 24 Th 1997 tentang penyiaran dan hukum
penyiaran order reformasi tentang yang tertuang dalam UU No. 32 Th 2002.
Terdapat perbedaan yang sangat mendasar, menyangkut latar belakang
pijakan filosofis di setiap orde yaitu semangatnya, prinsipnya berarti bahwa
penyiaran pada masa itu merupakan bagian instrumen kekuasaan yang digunakan
untuk semata-mata bagi kepentingan pemerintah. Pemerintahlah yang menentukan
hidup matinya lembaga penyiaran dan hitam putihnya isi siaran. pemerintah pun
membentuk sebuah komisi penyiaran. Disebut komisi penyiaran Indonesia atau
KPI. KPI berkedudukan di ibu kota negara. Di setiap ibu kota provinsi dibentuk
komisi penyiaran Indonesia atau KPID. KPI dan KPID merupakan wujud peran
serta masyarakat yang berfungsi mewadahi aspirasi dan mewakili kepentingan
masyarakat dalam penyiaran.
Beberapa wewenang KPI diantaranya :
1. Menetapkan standar program siaran.
2. Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran.
3. Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran, serta
standar program siaran.
4. Memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku
penyiaran serta standar program siaran.
5. Melakukan koordinasi dan atau kerja sama dengan pemerintah dengan
pemerintah ya, lembaga penyiaran dan masyarakat.
KPI sudah dapat dikatakan sebagai independen regulatory body. Lembaga
yang bebas dan mempunyai hak untuk mengatur lembag- lembaga independen
yang berpihak untuk mengatur regulator. Pada tahun 2005 pemerintah telah
menetapkan 7 paket peraturan pemerintah gitu yang mengatur tentang dunia.
Ketujuh peraturan pemerintah itu meliputi:
1. PP No. 11 Th. 2005, tentang penyelenggaraan penyiaran dan lembaga
penyiaran publik.
2. PP No. 12 Th 2005 menyangkut tentang lembaga penyiaran publik
Radio Republik Indonesia.
3. PP No. 13 Th 2005 tentang Penyerahan publik dalam arti televisi
Republik Indonesia atau TVRI.
4. PP No. 14 Th 2005 tentang pedoman kegiatan peliputan lembaga
penyiaran asing.
5. PP No. 15 Th 2005 tentang penyelenggaraan penyiaran lembaga
penyiaran swasta.
6. PP No. 16 Th 2005 tentang penyelenggaraan penyiaran lembaga
penyiaran komunitas
7. PP No. 52 Th 2005 tentang penyelenggaraan-penyerahan lembaga
penyerahan berlangganan.
Pertemuan Ke-11 (02 November 2021)
Lanjutan pertemuan sebelumnya yang berkaitan dengan ketentuan yang
menyangkut peraturan di bidang kepenyiaran
1. Tentang UU no.22 tahun 2002
Peraturan tentang penyiaran yang merupakan produk dari orde
reformasi dan sangat berbeda dengan UU penyiaran sebelumnya yang
terdapat pada UU no 24 tahun 1997 di era orde baru. Dalam pasal ini
Sangat semangat, dengan segala kewenangan dilimpahkan kepada
lembaga KPI untuk mengatur format siaran dan isi siaran
Pasal yang berisi kata “KPI bersama pemerintah“ kemudian
diajukan yudisiul oleh 6 lembaga dan diterima oleh MK dan dibekukan
hanya yang ada kalimat “KPI bersama pemerintah“. Hal krusial masih
ditetapkan oleh pemerintah dan KPI, hal itulah yang yang di protes oleh 6
lembaga secara yudisiul ke MK. Oleh sebab itu KPI seperti setengah mati
dan tidak bisa menjadi independen regulator karena ada pasal yang
menyebutkan “KPI bersama pemerintah“ diajukan yudisiulnya oleh 6
lembaga dan diterima oleh MK dan dibatalkan (hanya pasal tertentu).
Dalam Undang-undang ini dibanding UU no 24 thn 1997 adalah
tidak semua yang lama itu buruk dan tidak semua yang baru itu baik.
2. Lembaga Penyiaran Publik
Lembaga penyiaran publik sebagai lembaga penyiaran yang
berbentuk badan hukum yang didirikan oleh Negara bersifat independen,
netral, tidak komersial dan berfungsi memberikan layanan untuk
kepentingan masyarakat.Dalam hal ini KPI tidak bisa menyentuh dan
menetapkan lembaga penyiaran publik,karena semua sudah diatur oleh
peraturan pemerintah no 11 tahun 2005. Wujud lembaga penyiaran publik
yaitu RRI dan TVRI yang dahulu RRI dan TVRI merupakan tanggung
jawab departemen penerangan terkhusus direktorat jendral radio televisi
dan film ( RTF ).RRI dan TVRI boleh menyiarkan iklan
Sumber pendapatan RRI dan TVRI dari APBN atau APBD,siaran
iklan,iuran penyiaran,sumbangan masyarakat,maupun usaha lain yang sah
yang terkait dengan penyelenggaraan penyiaran. Setiap akhir tahun
Lembaga Penyiaran Publik wajib membuat laporan keuangan yang diaudit
oleh akuntan publik dan hasilnya wajib diumumkan melalui media massa
yang merupakan konsekuensi penggunaan anggaran APBN dan
APBD,Lembaga penyiaran publik harus selalu mengutamakan prinsip
transparani dan akuntabilitas publik.Sejauh ini,laporan keuangan dan
pengumuman melalui media massa masih dibilang rendah karena laporan
keuangan lebih banyak dilakukan kepada dewan pengawas secara internal.
Lembaga penyiaran dapat dibagi menjadi lembaga penyiaran
publik nasional yang berada di Jakarta dan lembaga penyiaran publik lokal
yang berkedudukan di ibukota propinsi kabupaten/kota.TVRI lokal
terdapat di tiap kota provinsi termasuk RRI dan cakupan wilayah
siarannya meliputi seluruh kota kabupaten di satu provinsi.Lembaga
penyiaran publik lokal juga terdapat pada hampir tiap kota dan kabupaten
di seluruh Indonesia (RSPD) Radio Siaran Pemerintah Daerah
KPI tidak dapat menjangkau dan menetapkan regulasi Lembaga
penyiaran publik (RRI,TVRI,RSPD ),semua sudah diatur oleh peraturan
pemerintah no 11 tahun 2005.Berdasarkan pasal 13 ayat 2 UU no 32 thn
2002 hanya mengakui 4 jenis lembaga penyiaran yaitu lembaga penyiaran
publik,lembaga penyiaran swasta,lembaga penyiaran komunitas dan
lembaga penyiaran berlangganan jadi tidak mengakui lembaga penyiaran
lokal milik pemerintah daerah baik milik pemerintah provinsi,kota dan
kabupaten
Hal yang perlu diperhatikan dalam UU Kepenyiaran diantaranya
Ijin frekuensi, ijin operasional penyiaran, ijin format da nisi siaran dan UU
teknik kepenyiaran.
Dalam fakta lapangan terdapat 34 provinsi menunjukkan masih
banyak pemerintah daerah terutama pemerintah kota dan kabupaten yang
dengan bangga masih tetap memiliki dan mengoperasionalkan RSPD
dengan alasan kepentingan pemkot, pemkab dalam sosialisasi berkaitan
dengan kebijakan dan program pembangunan sampai pada perlunya
pelestarian kebudayaan dan juga kesenian daerah dan melalui media
komunikasi yang dimiliki dan dikelola pemerintah daerah.
KPID disetiap provinsi relative sangat sulit menghadapi perilaku
RSPD didaerahnya ketika diajak untuk segera menyesuaikan diri dengan
UU no 32 thn 2002 tentang penyiaran caranya dengan migrasi dari bentuk
RSPD ke bentuk status baru yang menjadi penyiaran publik local. Kendala
yang dihadapi KPID bahwa pihak pemkot,pemkab atau pemprov dalam
menghijrahkan RSPD menjadi LPPL (Lembaga Penyiaran Publik Lokal)
diantaranya :
 Pemerintah kota tidak menghendaki RSPD berubah menjadi
LPPL
 Tidak ada kesamaan visi dan misi di kalangan DPRD serta para
pejabat pemkot dan pemkab mengenai keharusan berubah
status dan fungsi
 Sosialisasi, negosiasi dan eksekusi tindak lanjut dalam proses
migrasi dari RSPD menjadi LPPL yang dimotori oleh KPID

Pertemuan ke-12 (09 November 2021)


Ada 7 turunan peraturan pemerintah. Salah satunya berdasarkan lembaga
penyiaran public masih banyak persoalan semangat dari uu 32 tahun 2002 yang
efektif berlaku tahun 2005 di mana pemerintah menyerahkan sebagian besar
kekuasaannya kepada kpi sebagai lembaga independent untuk melakukan
pelaksanaan pengawasan, ternyata di dalam pelaksanaannya jauh dari panggang
api. Jadi independent regulatory body yang dalam kpi dan kpid belum memenuhi
harapan. Banyak pasal yang menyebutkan kpi bersama pemerintah yang menjadi
ganjalan asosisasi penyiaran. Kenapa tidak menggunakan kewenangan
sepenuhnya, kenapa masih bersama pemerintah (independent) mengatur
pemerintahan tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Yang berkaitan dengan uu 24 tahun 1997, undang undang penyiaran di
orde baru. betul betul pemerintah tanggung jawab dan full mengatur lembaga
penyiaran, pada waktu rri dan tvri beserta organisasi dibawahnya diatur dirjen rtf
dibawah departemen penerangan, diantaranya ada direktorat jendral media cetak
radio tv dan film penerangan umum untuk wilayah2 ada 3 dirjen. Kewenangan itu
yang dimiliki oleh pemerintah diberikan pada irb tetapi di jegal sana sini, uu 32
tahun 2002, dimandulkan karena judicial review di terima dan sebagian pasal
dibatalkan.
Penyelenggaran penyiaran publik di atur dalam pp no 11 tahun 2005,
tentang lembaga penyiaran sendiri. tvri pp no 13 tahun 2013. Turunan dari 32
tahun 2002, di break down menjadi 7 peraturan pemerintah, uu
11,12,13,49,50,51,51 tahun 2005. Merupakan aturan pelaksanaan, tetapi irb tidak
bisa menyentuh pp nomor 11 yg berkaitan dengan lembaga penyiaran publik
disini kemudia menjadi masalah adalah problematika dibawah, pemerintah
mempunyai rspd secara substansi masuk dlm lembaga penyiaran publik, tetapi
rspd tidak ada di dalam uu 32 tahun 2002 yg ada lembaga penyiaran publik dan
lembaga penyiaran publik lokal. Beberapa alasannya secara sinkat antara lain :
1. Pihak pemerintah kota dan pemerintah kabupaten tidak menghendaki
ketika rspd berubah sistem dan fungsi menjadi lembaga publik lokal,
2. Tidak ada kesamaan visi maupun persepsi dikalangan dprd maupun para
pejabat pemkot/ pemkat.
3. Sosialisasi, Negosiasi dan Eksekusi berkaitan dengan tindak lanjut dalam
proses migrasi rspd ke lppl sering tersendat dan berlarut
4. Regulasi dalam proses migrasi dari rspd ke lppl sangat berbelit, prosesnya
tidak mudah.
5. Pihak pemkab pemkot tidak bersikap sejalan, masih kuatnya kepentingan
politik yang subjektif.

Lembaga penyiaran Swasta


Berbeda dengan penyiaran publik yang bersifat independen, netral dan
non-komersial. Lembaga penyiaran swasta bersifat komersial, namun warga
negara asing dilarang menjadi direktur lembaga swasta, kecuali di bidang teknis
atau keuangan. Dan penanaman modal asing dibatasi maksimal 20%. Lembaga
penyiaran swasta ini menawarkan karyawan kemungkinan untuk memiliki saham
di perusahaan dan bagian dari keuntungan perusahaan. Artinya karyawan
diperlakukan seperti aset, bukan seperti pekerja, bukan hanya karyawan. Dengan
demikian, di lembaga penyiaran swasta ini, baik radio maupun televisi, masing-
masing hanya bisa menyediakan satu program dengan 1 saluran dan 1 area
cakupan.
Pasal 19 ayat 2 UU 32 Tahun 2002 mengizinkan badan usaha lain yang
sah sepanjang berhubungan dengan penyiaran sebagai sumber pendapatan atau
pendanaan bagi radio dan televisi swasta. Kategori perusahaan lainnya tidak
terlalu terlihat dan signifikan. Selain itu, bisnis lain yang sah di mana radio dan
televisi tidak selalu mengudara, tetapi ada kegiatan off-air yang menghasilkan
keuntungan diperbolehkan. perusahaan tidak terlalu terlihat dan signifikan. Selain
itu, bisnis lain yang sah di mana radio dan televisi tidak selalu mengudara, tetapi
ada kegiatan off-air yang menghasilkan keuntungan diperbolehkan. perusahaan
tidak terlalu terlihat dan signifikan. Selain itu, bisnis lain yang sah di mana radio
dan televisi tidak selalu mengudara, tetapi ada kegiatan off-air yang menghasilkan
keuntungan diperbolehkan.
Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan
Penyiaran Swasta mengatur secara rinci berbagai ketentuan mengenai perizinan
dan penyelenggaraan jasa penyiaran dan televisi. Masalah penyiaran swasta
berbeda dalam perlakuan radio dan televisi swasta. Pada tahun 2016, tidak satu
pun dari 34 Kpids di 34 provinsi yang memiliki dan mengoperasikan peralatan
pemantauan dan perekaman radio 24 jam nonstop.
Semua pelanggaran siaran kpid dan kpip secara berkala mencatat, menilai,
melacak dan melaporkan kepada publik. Khususnya kepada DPRD dan
pemerintah provinsi setempat sebagai tindak lanjut dari berbagai bentuk
pelanggaran yang dilakukan oleh lembaga penyiaran khususnya jasa penyiaran
televisi, termasuk pelaksanaan Kpid secara terstruktur dan berkala. Kinerja
lembaga penyiaran televisi swasta itulah yang dikeluhkan dan dikejar masyarakat,
dari tahun ke tahun kualitas program siaran televisi swasta tidak banyak
mengalami peningkatan.

Pertemuan ke-13 (16 November 2021)


Lembaga Penyiaran Komunitas
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
yang berlaku pada tahun 2005, maka ditetapkanlah Peraturan Pemerintah tentang
Undang-Undang tersebut. itu didirikan oleh komunitas tertentu dan independen,
terbatas dalam ruang lingkup dan tidak menyebar. Baik radio maupun televisi,
LPK adalah nirlaba, berusaha untuk menyenangkan dan memajukan masyarakat
dengan menyediakan program pendidikan yang informatif bagi masyarakat yang
lebih mendefinisikan identitas bangsa. Ketentuan LPK melarang iklan atau
publikasi komersial lainnya, dan hanya diperbolehkan memposting layanan publik
untuk kepentingan umum, yang harus ada kode etik dan aturan yang harus
diketahui dan dilakukan masyarakat. Perangkat penyiaran LPK juga harus standar,
yaitu standar harus memenuhi spesifikasi teknis yang ditetapkan oleh pemerintah
daya pancar dalam radius 2,5 km dan pancarkan daya dari lokasi siaran yang
hanya 50 watt.
Radio komunitas ini dialokasikan frekuensi pada 97.70 fm, 97.80 fm dan
97.90 fm, disebut komplementer LPK karena 3 frekuensi di atas masih sangat
dekat dengan saluran radio swasta. Saluran 97.50 fm pada akhirnya
mengakibatkan gangguan gangguan saluran siaran yang menyebabkan kualitas
siaran lembaga masyarakat sangat kurang diterima oleh masyarakat akibat
gangguan sebelumnya pada lembaga swasta. Begitu fm mengganggu frekuensi
penerbangan, saat kami memasuki area Jakarta, terkadang percakapan antara pilot
dan Air Traffic Control terganggu oleh saluran radio 97.90fm, yang berisi lagu-
lagu antara pilot dan ATC yang sangat mengganggu masyarakat, tetapi tidak ada
apa-apa. . itu bisa dilakukan secara berbeda karena 97.
Yang paling aman dari 3 frekuensi di atas adalah saluran 97.80fm, dari
segi perlakuan atau persamaan di depan hukum, cara paling aman untuk membagi
ketiga frekuensi itu adalah satu saja, yang bisa dianggap tidak adil karena hanya 1
yang paling aman. Penyiar swasta terlihat seperti emas karena semua frekuensi
aman dan jangkauan dan daya juga dapat ditingkatkan, sementara hanya 1
frekuensi yang aman untuk penyiar komunitas dan lagi-lagi frekuensinya untuk
akses dan daya bisa dibilang jauh lebih kecil daripada penyiar swasta, ini dia,
meskipun siaran tidak mudah untuk mendemokratisasi selama bertahun-tahun
Dikatakan bahwa dia bisa.
solusi dari permasalahan ini adalah diberi surat rekomendasi terlebih dahulu
sambik menunggu perizinan mengudara selesai, tidak langsung diberhentikan
mengudara seperti dulu.
Lembaga Penyiaran Berlangganan
Lembaga penyiaran yg berbadan hukum indonesia, bidang usahanya hanya
menyelenggarakan jasa penyiaran berlangganan. sebelum beropeasi, LPB ini
wajib mengantongi ijin penyiaran berlangganan atau IPP. Dari sisi pembiayaan,
bersumber dari penyiaran berlangganan serta usaha lain yg sah dan terkait dgb
penyelenggaraan penyiaran. LPB hrus memenuhi ketentuan ketentuan yg
ditetapkan undang-undang diantaranya :
 Memiliki jangkauan siaran yang meliputi satu daerah layanan sesuai dengan
izin yang diberikan.
 Menjamin siarannya hanya diterima oleh pelanggan.

Izin-izin Pendirian Lembaga Penyiaran


 Pasal 33 ayat 1, 2, dan 3 UU no. 36 1999 tentang telekomunikasi
 pasal 1 ayat 1, 2, dan 3 uu no.32 tahun 2002 tentang penyiaran.
sebelum menyelenggarakan penyiaran lembaga wajib memperoleh izin
penyelenggaraan siaran / IPP yaitu IPPPrinsip yang bersifat sementara yang
berlaku 6 bulan bagi radio dan 1 tahun untuk televisi dan IPP tetap yang
bersifat permanen dan berlaku 5 tahun untuk radio dan 10 tahun untuk televisi.
Berkaitan dengan format siaran, bisa dipahami secara terbuka oleh setiap orang.
pembuatan format siaran secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, diantaranya
1. format siaran umum, Lembaga penyiaran radio dan televisi dengan format
siaran umum akan lebih mengutamakan materi siaran yang bisa
dikonsumsi semua kalangan dan tidak difokuskan kepada kelompok
tertentu.
2. Format siaran khusus, Program acara lembaga penyiaran dengan format
khusus lebih ditujukan kepada segmen khalayak dan acara tertentu.
Idealnya setiap program acara yang disajikan oleh lembaga penyiaran harus
sesuai dengan minat, kepentingan, dan kenyamanan publik, karena tingkat
persaingan yang ketat dan tajam dalam industri penyiaran. Secara idiologis yang
dipertaruhkan bukan kepentingan publik nasional melainkan justru bisnis
komersial. sehingga idiologi kapitalisme mengalahkan segalanya.
Penyebab mengapa izin siaran dicabut oleh negara diantanya :
1. tidak lulus masa uji coba siaran yang telah ditetapkan.
2. melanggar penggunaan spektrum frekuensi radio dan atau wilayah
jangkauan yang ditetapkan.
3. tidak melakukan kegiatan siaran lebih dari 3 bulan tanpa memberitahu
kepada KPI pusat maupun daerah.
4. dipindahtangankan kepada pihak lain.
5. melanggar ketentuan rencana dasar teknik penyiaran dan persyaratan
teknis perangkat penyiaran.
6. melanggar ketentuan mengenai standar program penyiaran setelah adanya
putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum.

Pertemuan ke-14 (23 November 2021)


Materi isi lembaga penyiaran secara umum terdiri atas 6 poin yang
mengatur semuanya di pasal 36 UU nomer 32 tahun 2002
1. Isi siaran harus memuat informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat bagi
pembentukan intelektualitas, akhlak mulia, dan kemajuan bangsa.
2. Isi siaran dari jasa penyiaran televisi yang disenggelarakan swasta maupun
publik wajib memuat sekurang-kurangnya 60% mata acara dalam negeri.
3. Isi siaran wajib memberikan pelindungan dan pemberdayaan bagi
khalayak khusus yaitu anak-anak dan juga remaja dengan menyiarkan
mata acara pada waktu yang tepat, dan wajib mencantumkan dan atau
menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran.
4. Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan
kepentingan golongan tertentu
5. Isi siaran dilarang bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan, dan atau
bohong, dilarang menonjolkan kekerasan, cabul, perjudian, narkotika, dan
obat terlarang lainnya, dilarang mempertentangkan atau mengadu domba
suku,agama, budaya, antar golongan (SARA)
6. Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan, dan atau
nilai agama, merusak hubungan internasional.
Di pasal 36 UU nomer 32 tahun 2002 inilah yang paling sering terjadi
pelanggaran, terutama oleh Lembaga penyiaran televisi swasta
 Media Cetak,
Sebetulnya media menjual konten bukan iklan, namun jika konten
yang dihadirkan tidak memiliki daya Tarik, maka siapa yang akan
membeli media tersebut. Solusi untuk mengatasi hal ini adalah dengan
cara kompromi. Idealism dan komersialisme berjalan seiring.
 Media Cyber,
Menurut data riset yang dilakukan oleh Asosiasi Jasa Internet
Indonesia menyebutkan bahwa pengguna internet di Indonesia per Oktober
2016 mencapai 130 juta orang. Naik sekitar 41,9 juta orang dibanding data
tahun 2014. Data ini menunjukkan bahwa sebanyak 60-70% penggunanya
adalah anak-anak di bawah usia 18 tahun.
Function and Disfunction media : dalam menjalankan fungsinya
media melakukan 2 hal sekaligus. Fungsional adalah info yang
diharapkan, disfungsi adalah yang tidak diharapkan. Tapi keduanya saling
melekat.
Ruang lingkup media cyber :
Media cyber (paperless media) adalah segala bentuk media yang
menggunakan internet dan melaksanakan kegiatan jurnalistik, dan
memenuhi standar uu pers yang ditetapkan oleh dewan pers. Isi buatan
pengguna / user generated content adalah segala isi yang dibuat dan
dipublikasikan oleh pengguna cyber.
Pedoman media cyber mengatur tentang verifikasi dan prinsip
berimbang dalam berita yang disajikan media cyber adalah Pada
prinsipnya semua berita harus melalui proses verifikasi dan Berita yg
merugikan pihak lain dimana memerlukan verifikasi pada berita yang
sama untuk memenuhi prinsip akurasi dan keberimbangan.
Ketentuan verifikasi di tentukan dengan syarat berita benar-benar
mengandung kepentingan public yang sangat mendesak, ketika begini
verifikasinya mungkin bisa diperlonggar, Sumber berita pertama adalah
yang jelas, dan sumbernya yang kredible serta kompeten. Subyek berita
yang harus di konfirmasi tidak diketahui keberadaannya dan tidak dapat
diwawancarai. Media memberi penjelasan kepada pembaca bahwa berita
tersebut memerlukan verifikasi lebih lanjut dan akan dilakukan
secepatnya.

Pertemuan ke-15 (30 November 2021)


Ralat, Koreksi, dan Hak Jawab
Ketika ada pihak yang dirugikan di media siber, masyarakat berhak meminta
hak jawab. Acuannya adalah Undang-Undang Dasar Pers No. 40 Tahun 1999.
Ketika seseorang merasa dirugikan atas suatu laporan, orang tersebut berhak
meminta hak jawab dan harus dipublikasikan dan ukurannya sama dengan yang
sebenarnya. Jika media tidak mau mempublikasikan hak jawab pihak yang
dirugikan, bisa dikenakan denda hingga Rp 500 juta.
Pembuat berita terbatas pada pembuat berita yang diterbitkan di media
jaringan atau media jaringan dengan izin. Ketika media jaringan bersalah atas
pencemaran nama baik, itu adalah tanggung jawab media jaringan untuk
membatasi diri pada berita yang diterbitkan atau otoritasnya. Ketika media
jaringan membuat kutipan, maka apa yang dikutip itu salah, sumber yang dikutip
berhak mengoreksi kutipan di media jaringan. Jika media jaringan tidak
mengubah kutipan akan bertanggung jawab penuh atas segala akibat hukum.
UU Pers tidak mengenal istilah sensor dan pembredelan, akan tetapi di jaman
orde baru sering terjadi pembredelan dengan mencabut izin cetak dan terbit
sebuah media cetak. Di masa sekarang sudah tidak terjadi istilah sensor dan
pembredelan. Kejahatan yang memergunagan percetakan dan perbuatan orang-
orang pers yang melanggar pidana dalam dunia jurnalistik.
Delik pers berasal dari aktivitas jurnalistik. Yang dimaksud orang pers adalah
wartawan, redaktur, pengelola, dll yang terlibat dalam aktivitas jurnalistik. Delik
pers memiliki dua sifat, diantaranya:
1. Delik pers aduan dimana Kasus pers baru muncul apabila ada pihak yang
mengadukan kepada pihak kepolisian akibat dari suatu pemberitaan.
2. Delik pers biasa dimana Kasus pers muncul dengan sendirinya tanpa
didahului pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan dari pemberitaan
pers. Terutama yang berkait dengan lembaga kepresidenan.
Di kitab undang – undang hukum pidana, terdapat dua jenis delik yaitu
kejahatan dan pelangaran. Hukum positif Indonesia mengakui penggolongan jenis
delik, tapi tidak merumuskan secara detail memaparkan tentnag kejahatan dan
pelanggaran. Kejahatan sering disebut sebagai delik hukum, artinya sebelum hal
itu diatur dalam undang-undang, sudah dipandang sebagai seharusnya dipidana,
sedangkan Pelanggaran sering disebut sebagai delik undang-undang, artinya
dipandang sebagai delik karena tercantum dalam undang-undang.

Anda mungkin juga menyukai