Anda di halaman 1dari 24

Nama : Margareth Serevina Simbolon

NPM : 188330287
TUGAS INDIVIDU KULIAH DARING AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK

1. DEFINISI REGULASI PUBLIK


Regulasi berasal dari bahasa Inggis, yakni regulation atau peraturan. Dalam kamus
bahasa Indonesia (Reality publisher, 2008), kata “peraturan” mengandung arti kaidah yang
dibuat untuk mengatur, petunjuk yang dipakai untuk menata sesuatu dengan aturan, dan
ketentuan yang harus dijalankan serta dipatuhi. Jadi, regulasi publik adalah ketentuan yang
harus dijalankan dan dipatuhi dalam proses pengelolaan organisasi publik, baik pada organisasi
pemerintahan pusat, pemerintahan daerah, partai politik, yayasan, LSM, organisasi
keagamaan/tempat peribadatan, maupun organisasi sosial masyarakat lainnya.

2. TEKNIK PENYUSUNAN REGULASI PUBLIK


Teknik penyusunan regulasi publik berupa rangkaian alur tahapan, sehingga regulasi
publik tersebut siap disusun dan kemudian ditetapkan serta diterapkan.

 Pendahuluan
Perencanaan regulasi publik harus mampu mendeskribsikan latar belakang
perlunya disusun regulasi publik.

 Alasan penyusunan regulasi publik


Sebuah regulasi publik disusun karena adanya berbagai isu terkait, yang
membutuhkan tindakan khusus dari organisasi publik.

 Permasalahan dan misi


Sebuah regulasi publik disusun dan ditetapkan jika solusi alternatif atau suatu
permasalahan telah dapat dirumuskan. Selain itu, penyusunan dan penetapan regulasi
publik juga dilakukan dengan misi tertentu sebagai wujud komitmen serta langkah
organisasi publik menghadapi rumusan solusi permasalahan yang ada.

 Dengan apa diatur


Di setiap jenjang struktur pemerintahan dikenal regulasi tersendiri, seperti
peraturan daerah atau keputusan keputusan kepala daerah sebagai aturan di daerah,
bentuk aturan lainnya adalah Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden.

1
 Bagaimana mengaturnya
Subtansi regulasi publik yang disusun harus bisa menjawab pertanyaan berbagai
solusi atas permasalahan yang ada.

 Diskusi/musyawarah
Materi regulasi publik harus disusun dan dibicarakan melalui mekanisme forum
diskusi atau pertemuan khusus publik yang membahas regulasi publik.

 Catatan
Catatan yang dimaksud adalah hasil dari proses diskusi yang dilakukan
sebelumnya.

3. PENYUSUNAN REGULASI PUBLIK

 Perumusan Masalah
Penyusunan regulasi publik diawali dengan merumuskan masalah yang akan
diatur. Perumusan masalah publik meliputi hal-hal berikut:
a. Apa masalah publik yang ada?
b. Siapa masyarakat yang perilakunya bermasalah?
c. Siapa aparat pelaksana yang perilakunya bermasalah?
d. Analisis keuntungan dan kerugian atas penerapan regulasi publik?
e. Tindakan apa yang diperlukan untuk mengatasi masalah publik?

Contoh masalah publik tentang akuntansi sektor public


Tahapan Siklus ASP Permaslahan Pihak Terkait

Ketimpangan pelayanan Bagian perencanaan,bagian


Perencanaan Publik
publik (kesehatan,pendidikan) program, stakeholder

Penganggaran publik Alokasi anggaran pelayanan Bagian anggaran, bagian


publik minimal keuangan

Realisasi anggaran publik Jumlah pencairan dana tidak Bagian anggaran, bagian
sesuai dengan anggaran keuangan

Pengadaan barang dan jasa Informasi tidak transparan Bagian pengadaan,


publik organisasipenyedia layanan
barang dan jasa
Pelaporan keuangan sektor Ketidaktepatan waktu Bagian keuangan
publik pelaporan

Audit sektor bank Kurangnya bukti Audit internal, audit


eksternal

Pertanggungjawaban Keterbatasan pendistribusian Kepala organisasi, legislatif


publik informasi

Contoh analisis permasalahan publik


Permasalahan Kerugian Solusi tindakan

Ketimpangan pelayanan Masyarakat tidak dapat Penyususnan daftar skala


publik(kesehatan, pendidikan) dilayani kebutuhannya prioritas

Alokasi anggaran pelayanan Pencapaian target tidak Penambahan alokasi bagi


publik minimal maksimal pelayanan publik

Jumlah pencairan dana tidak Program tidak berjalan Pendisiplinan anggaran dan
sesuai dengan anggaran secara baik perbaikan sistem
perealisasian anggaran

Informasi tidak transparan Pilihan kriteria organisasi Perluasan akses ke


penyedia layanan barang informasi yang terkait
dan jasa dengan mekanisme
pengadaan baranag dan jasa

Ketidaktepatan waktu Mengacaukan jadwal Penertiban penyusunan


pelaporan kegiatan laporan keuangan

Kurangnya bukti Ketidakpercayaan publik Perbaikan sistem akuntansi


dan pengarsipan dokumen
transaksi

Keterbatasan pendistribusian Respon masyarakat minim Perluasan akses informasi


informasi
 Perumusan Draft Regulasi Publik
Draft regulasi publik pada dasarnya merupakan kerangka awal yang
dipersiapkan untuk mengatasi mengatasi masalah publik yang hendak diselesaika n.
Terkait dengan jenis regulasi publik yang akan dibentuk, rancangan regulasi publik
tersebut harus secara jelas mendeskripsikan perataan wewenang bagi lembaga
pelaksana dan perilaku bagi organisasi publik atau masyarakat yang harus
mematuhinya.

 Prosedur Pembahasan
Terdapat tiga tahap penting dalam pembahasan draft regulasi publik, yaitu
dalam lingkup tim teknis pelaksana organisasi publik (eksekutif), dengan lembaga
legislatif (dewan penasihat, dewan penyantun dan lain-lain), dan dengan masyarakat.
Pembahasan pada lingkup tim teknis adalah yang lebih merepresentasi kepentingan
eksekutif(manajemen). Setelah itu, dilakukan publik hearing (pengumpulan pendapat
masyarakat). Pembahasan pada lingkup legislatif (DPR/D misalnya) dan masyarakat
biasanya sangat sarat dengan kepentingan politis.

 Pengesahan dan Pengundangan


Perjalanan terakhir dari draft regulasi publik adalah pengesahan yang dilakukan
dalam bentuk penandatanganan naskah oleh pihak organisasi publik (pimpina n
organisasi). Dalam konsep hukum, regulasi publik tersebut telah mempunyai kekuatan
hukum materiil terhadap pihak yang menyetujuinya. Sejak ditandatangani, rumusan
hukum yang ada dalam regulasi publik sudah tidak dapat diganti secara sepihak.
4. DASAR HUKUM KEUANGAN SEKTOR PUBLIK
4.1 Dasar Hukum Keuangan Negara
Wujud pelaksanaan keuangan negara tersebut dapat diidentifikasikan sebagai segala
bentuk kekayaan, hak, dan kewajiban negara yang tercantum dalam APBN dan laporan
pelaksanaannya.
Hak-hak Negara yang dimaksud, mencakup Kewajiban negara adalah berupa
antara lain : pelaksanaan tugas-tugas pemerintah sesuai
dengan pembukaan UUD 1945 yaitu :
1. Hak monopoli mencetak dan 1. Melindungi segenap bangsa Indonesia
mengedarkan uang dan seluuh tumpah darah Indonesia
2. Hak untuk memungut sumber-sumb er 2. Memajukan kesejahteraan umum
keuangan, seperti pajak, bea dan cukai 3. Mencerdaskan kehidupan bangsa
3. Hak untuk memproduksi barang dan jasa 4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang dapat dinikmati oleh khalayak yang berdasarkan kemerdekaan,
umum, yang dalam hal ini pemerinta h perdamaian abadi, dan keadilan sosial
dapat memperoleh (kontra prestasi)
sebagai sumber penerima negara

Pelaksanaan kewajiban atau tugas-tugas pemerintah tersebut dapat berupa pengeluara n


dan diakui sebagai belanja negara. Dalam UUD 1945 Amandemen IV, secara khusus diatur
mengenai Keuangan Negara, yaitu pada BAB VIII pasal 23 yang berbunyi sebagai berikut :
1. Anggaran pendapatan dan belanja ditetapkan setiap tahun dengan Undang-Undang.
Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulka n
Pemerintah, maka Pemerintah menjalankan anggaran tahun lalu.
2. Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-Undang
3. Jenis dan harga mata uang ditetapkan dengan Undang-Undang
4. Hal keuangan negara selanjutnya diatur dengan Undang-undang
5. Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan
Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan Undang-Undang. Hasil
pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Berdasarkan ketentuan tersebut, ditetapkan Undang-undang tentang APBN untuk tahun
anggaran bersangkutan. Penyusunan APBN bukan hanya untuk memenuhi ketentuan
konstitusional yang dimaksud pada pasal 23 ayat (1) UUD 1945, tetapi juga sebagai dasar
rencana kerja yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
Oleh karena itu, penyusunannya didasarkan atas Rencana Strategi dalam UU Propenas, dan
pelaksanaannya dituangkan dalam UU yang harus dijalankan oleh Presiden/Wakil Presiden dan
Menteri-menteri serta pimpinan Lembaga Tinggi Negara Lainnya.

4.2 Dasar Hukum Keuangan Daerah


Berdasarkan pasal 18 UUD 1945, tujuan pembentukan daerah otonom adalah
meningkatkan daya guna penyelenggaraan pemerintah untuk melayani masyarakat dan
melaksanakan program pembangunan. Dalam rangka penyelenggaraan daerah otonom,
menurut penjelasan pasal 64 Undang-undang No. 5 tanhun 1974, fungsi penyusunan APBD
adalah untuk:
1. Menentukan jumlah pajak yang dibebankan kepada Rakyat Daerah yang bersangkutan
2. Mewujudkan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab
3. Memberi isi dan arti kepada tanggung jawab pemerintah daerah umumnya dan kepala
daerah khususnya, karena anggaran pendapatan dan belanja daerah itu menggambarka n
seluruh kebijaksanaan pemerintah daerah
4. Melaksanakan pengawasan terhadap pemerintahan daerah dengan cara yang lebih
mudah dan berhasil guna.
5. Merupakan suatu pemberian kuasa kepada kepala daerah untuk melaksanaka n
penyelenggaraan Keuangan Daerah didalam batas-batas tertentu.

4.3 Dasar Hukum Keuangan Organisasi Lainnya


Di Indonesia, beberapa upaya untuk membuat standar yang relevan dengan
praktek-praktek akuntansi di organisasi sektor publik telah dilakukan baik oleh Ikatan
Akuntansi Indonesia (IAI) maupun oleh pemerintah sendiri. Untuk organisasi nirlaba,
IAI menerbitkan pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 45 (PSAK No.45)
tentang organisasi nirlaba. PSAK ini berisi akidah-akidah atau prinsip-prinsip yang
harus diikuti oleh organisasi nirlaba dalam membuat laporan keuangan. Selain itu, juga
lahir Undang-undang no.16 tahun 2001 tentang yayasan yang mengatur masalah
organisasi publik yang berbentuk yayasan. Juga ada regulasi publik terkait dengan
partai politik seperti Undang-undang no.2 tahun 2008 tentang bantuan keuangan
kepada partai politik.
5. AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK MEMASUKI ERA DESENTRALISASI
Kebijakan desentralisasi telah mengubah sifat hubungan antar pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah, antara BUMN dengan Pemerintah Pusat; antar Pemerintah dengan
masyarakat, dan berbagai entitas lain dalam pemerintahan. Perananan laporan keuangan telah
berubah dari posisi administrasi semata menjadi posisi akuntabilitas di tahun 2000. Pergeseran
peranan laporan keuangan ini telah membuka peluang bagi posisi akuntansi sektor publik
dalam manajemen pemerintahan dan organisasi sektor publik lainnya. Jadi tujuan akuntansi
sektor publik adalah untuk memastikan kualitas laporan keuangan dalam pertanggungjawaban
publik.
Sebagai perspektif baru, berbagai prasarana akuntansi sektor publik perlu dibangun,
seperti:
a. Standar Akuntansi Sektor Publik untuk Pemerintahan Pusat, Pemerintahan Daerah, dan
organisasi sektor publik lainnya
b. Account Code untuk Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, maupun organisasi sektor
publik lainnya, dimana review terhadap transaksi yang berkaitan dapat dilakukan dalam
rangka konsolidasi dan audit
c. Jenis Buku Besar yang menjadi pusat pencatatan data primer atas semua transaksi
keuangan pemerintah
d. Manual sistem Akuntansi Pemerintahan dan Organisasi lainnya yang menjadi pedoman
atas jenis-jenis transaksi dan perlakuan akuntansinya
Dengan kelengkapan prasarana tersebut, para petugas dibidang akuntansi dapat
melakukan pencatatan, peringkasan, dan pelaporan keuangan, baik secara manual maupun
komputasi. Akibat tidak tersedianya prasaran diatas, muncul persepsi bahwa :
a. Akuntansi adalah sesuatu yang sulit
b. Akuntansi harus dikerjakan oleh SDM yang terdidik dalam jangka waktu panjang.
6. REGULASI YANG TERKAIT DENGAN AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK
6.1 Regulasi Akuntansi Sektor Publik di Era Pra Reformasi
Perjalanan akuntansi sektor publik di era pra reformasi didasari pada UU Nomor 5
Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Pengertian daerah dalam era pra
reformasi adalah daerah tingkat I yang meliputi propinsi dan daerah tingkat II yang meliput i
kotamadya atau kabupaten. Disamping itu,ada beberapa peraturan pelaksanaan yang
diturunkan dari perundang-undangan,antara lain:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1975 tentang Pengurusan, Pertanggungjawaban,
dan Pengawasan Keuangan Daerah
2. Pemerintah Pemerintah Nomor 6 Tahun 1975 tentang Penyusunan APBD, Pelaksanaan
Tata Usaha Keuangan Daerah, dan Penyusunan Perhitungan APBD
3. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 900-099 Tahun 1980 tentang Manual
Administrasi Keuangan Daerah
4. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan APBD
5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang pajak Daerah dan Retribusi Daerah
6. Keputusan Mendagri Nomor 3 Tahun 1999 tentang Bentuk dan Susunan Perhitunga n
APBD

6.2 Regulasi Akuntansi Sektor Publik di Era Reformasi


Reformasi politik di Indonesia telah mengubah sistem kehidupan negara. Tuntutangood
governance diterjemahkan sebagai terbebas dari tindakan KKN. Pemisahan kekuasaan
antareksekutif, yudikatif, dan legislatif dilaksanakan. Selain itu, partisipasi masyarakat akan
mendorong praktik demokrasi dalam pelaksanaan akuntabilitas publik yang sesuai dengan jiwa
otonomi daerah.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-
Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah adalah dua
undang-undang yang berupaya mewujudkan etonomi daerah yang lebih luas. Sebagai
penjabaran otonomi daerah tersebut di bidang administrasi keuangan daerah,berbagai peraturan
perundangan yang lebih operasional dalam era reformasipun telah dikeluarkan. Beberapa
regulasi yang relevan antara lain :
1. Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bebas
Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851)
2. Peraturan pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Dan
Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952)
3. Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan
4. Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 202, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4022)
5. Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah
6. Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban
Kepala Daerah

6.3 Paradigma Baru Akuntansi Sektor Publik di Era Reformasi


Paradigma baru dalam “Reformasi Manajemen Sektor Publik” adalah penerapan
akuntansi dalam praktik pemerintah guna mewujudkan good governance. Landasan hukum
pelaksanaan reformasi tersebut telah disiapkan oleh Pemerintah dalam suatu Paket UU Bidang
Keuangan Negara yang terdiri dari UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, dan
UU Pemeriksaan Tanggung Jawab Keuangan Negara yang pada saat ini telah disahkan oleh
DPR.
Terdapat empat prinsip dasar pengelolaan keuangan negara yang telah dirumuska n
dalam 3 Paket UU Bidang Keuangan Negara tersebut, yaitu :
1. Akuntabilitas berdasarkan hasil atau kinerja
2. Keterbukaan dalam setiap prinsip transaksi
3. Pemberdayaan manajer professional
4. Adanya lembaga pemeriksa internal yang kuat, profesional, dan mendiri serta
dihindarinya duplikasi dalam pelaksanaan pemerinta han.
Prinsip-prinsip tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip desentralisasi dan otonomi
daerah yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerinta han
Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah. Dengan demikian, pelaksanaan tiga UU Bidang Keuangan Negara tersebut
nantinya, selain menjadi acuan dalam pelaksanaan reformasi manajemen pemerinta h,
diharapkan akan memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di
NKRI.
Paradigma baru regulasi Akuntansi Sektor Publik
1. UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara
Mengatur mengenai semua hak dan kewajiban Negara mengenai keuangan dan
pengelolaan kekayaan Negara, juga mengatur penyusunan APBD dan penyusunan
anggaran kementrian/lembaga Negara (Andayani, 2007)
2. UU No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara
Mengatur pengguna anggaran atau pengguna barang, bahwa undang-undang ini
mengatur tentang pengelolaan keuangan Negara yang meliputi pengelolaan uang,
utang, piutang, pengelolaan investasi pemerintah dan pengelolaan keuangan badan
layanan hukum. (Andayani, 2007)
3. UU No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Keuangan Negara.
Mengatur tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
Negara yang dilaksanakan oleh BPK. BPK menyampaikan laporan hasil pemeriksaan
atas laporan keuangan kepada DPR dan DPD.Sedangkan laporan keuangan pemerinta h
daerah disampaikan kepada DPRD. (Andayani, 2007).
Empat Prinsip Pengelolaan Keuangan Negara yang didasarkan pada ketiga
Undang-undang di atas, yaitu :
1. Akuntabilitas berdasarkan hasil atau kineja.
2. Keterbukaan dalam setiap transaksi pemerintah.
3. Adanya pemeriksa eksternal yang kuat, profesional dan mandiri dalam pelaksanaan
pemeriksaan.
4. Pemberdayaan manajer profesional.
Selain ketiga UU di atas, juga terdapat peraturan lain, yaitu :
1. UU No.25/2004 tentang Sistem Perencanaan dan Pembangunan Nasional.
2. UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
3. UU No.33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan
Daerah.
4. UU No.24/2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
6.4 Peraturan Pemerintah Nomor 71 Sebagai Regulasi Terkini di Indonesia
Dalam UU 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara pasal 1 angka 13, 14, 15, dan 16,
dapat dilihat bahwa definisi pendapatan dan belanja negara/daerah berbasis akrual karena
disana disebutkan bahwa : Pendapatan negara/daerah dalah hak pemerintah pusat/daerah yang
diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dan Belanja negara/daerah adalah kewajiban
pemerintah pusat/daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Namun kita
diperkenankan untuk transisi karena saat itu praktik yang ada adalah dengan menggunaka n
basis kas, dimana pendapatan dan belanja diakui saat uang masuk/keluar ke/dari kas umum
negara/daerah. Dispensasi ini tercantum dalam Pasal 36 ayat 1 UU 17 Tahun 2003 yang intinya
ketentuan mengenai pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual
dilaksanakan selambat-lambatnya dalam 5 (lima) tahun, artinya sampai dengan tahun 2008.
Untuk masa transisi itulah PP 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah terbit,
dimana kita memakai basis Kas Menuju Akrual (Laporan Realisasi Anggaran berdasarkan
basis kas, Neraca berdasarkan basis Akrual). Dalam pelaksanaan PP 24 Tahun 2005 tersebut
hingga Laporan Keuangan Pemerintah tahun 2008 selesai diaudit di tahun 2009, ternyata opini
yang didapat pemerintah saat itu masih menyedihkan. Untuk itulah, Pemerintah akhirnya
berkonsultasi dengan Pimpinan DPR, dan disepakati bahwa basis akrual akan dilaksanaka n
secara penuh mulai tahun 2014.
Pada tahun 2010 terbit PP 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah sebagai
pengganti PP 24 tahun 2005. Diharapkan setelah PP ini terbit maka akan diikuti dengan aturan-
aturan pelaksanaannya baik berupa Peraturan Menteri Keuangan untuk pemerintah pusat
maupun Peraturan Menteri Dalam Negeri untuk pemerintah daerah. Ada yang berbeda antara
PP 71 tahun 2010 ini dengan PP-PP lain. Dalam PP 71 tahun 2010 terdapat 2 buah lampira n.
Lampiran I merupakan Standar Akuntansi Pemerintah berbasis Akrual yang akan dilaksanaka n
selambat-lambatnya mulai tahun 2014, sedangkan Lampiran II merupakan Standar Akuntansi
Pemerintah berbasis Kas Menuju Akrual yang hanya berlaku hingga tahun 2014. Lampiran I
berlaku sejak tanggal ditetapkan dan dapat segera diterapkan oleh setiap entitas (strategi
pentahapan pemberlakuan akan ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Keuangan dan Menteri
Dalam Negeri), sedangkan Lampiran II berlaku selama masa transisi bagi entitas yang belum
siap untuk menerapkan SAP Berbasis Akrual. Dengan kata lain, Lampiran II merupakan
lampiran yang memuat kembali seluruh aturan yang ada pada PP 24 tahun 2005 tanpa
perubahan sedikit pun.
Perbedaan mendasar dari sisi jenis laporan keuangan antara Lampiran I dan Lampiran
II adalah sebagai berikut:
Lampiran I
 Laporan Anggaran (Budgetary Reports): Laporan Realisasi Anggaran, Laporan
Perubahan Saldo Anggaran Lebih
 Laporan Keuangan (Financial Reports): Neraca, Laporan Operasional, Laporan
Perubahan Ekuitas, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan
Lampiran II
 Laporan terdiri dari Neraca, Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Arus Kas, dan
Catatan atas Laporan Keuangan
Dengan perbedaan jenis Laporan Keuangan yang akan dihasilkan, otomatis penjelasan
pada setiap Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) yang terkait dengan masing-
masing Laporan Keuangan akan mengalami perubahan.
Perbedaan daftar isi pada Lampiran I dan Lampiran II adalah sebagai berikut:
Lampiran I
 Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan
 PSAP Nomor 01 tentang Penyajian Laporan Keuangan;
 PSAP Nomor 02 tentang Laporan Realisasi Anggaran Berbasis Kas;
 PSAP Nomor 03 tentang Laporan Arus Kas;
 PSAP Nomor 04 tentang Catatan atas Laporan Keuangan;
 PSAP Nomor 05 tentang Akuntansi Persediaan;
 PSAP Nomor 06 tentang Akuntansi Investasi;
 PSAP Nomor 07 tentang Akuntansi Aset Tetap;
 PSAP Nomor 08 tentang Akuntansi Konstruksi Dalam Pengerjaan;
 PSAP Nomor 09 tentang Akuntansi Kewajiban;
 PSAP Nomor 10 tentang Koreksi Kesalahan, Perubahan Kebijakan Akuntansi,
Perubahan Estimasi Akuntansi, dan Operasi yang Tidak Dilanjutkan;
 PSAP Nomor 11 tentang Laporan Keuangan Konsolidasian.
 PSAP Nomor 12 tentang Laporan Operasional.
Lampiran II
 Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan
 PSAP Nomor 01 tentang Penyajian Laporan Keuangan;
 PSAP Nomor 02 tentang Laporan Realisasi Anggaran;
 PSAP Nomor 03 tentang Laporan Arus Kas;
 PSAP Nomor 04 tentang Catatan atas Laporan Keuangan;
 PSAP Nomor 05 tentang Akuntansi Persediaan;
 PSAP Nomor 06 tentang Akuntansi Investasi;
 PSAP Nomor 07 tentang Akuntansi Aset Tetap;
 PSAP Nomor 08 tentang Akuntansi Konstruksi Dalam Pengerjaan;
 PSAP Nomor 09 tentang Akuntansi Kewajiban;
 PSAP Nomor 10 tentang Koreksi Kesalahan, Perubahan Kebijakan Akuntansi, dan
Peristiwa Luar Biasa;
 PSAP Nomor 11 tentang Laporan Keuangan Konsolidasian;
Kedua daftar isi hampir serupa karena memang kebijakan yang diambil oleh Komite
Standar Akuntansi Pemerintah saat mengembangkan Standar Akuntansi Pemerintahan berbasis
akrual ini adalah dengan beranjak dari PP 24 tahun 2005 yang kemudian dilakukan penyesuaian-
penyesuaian terhadap PP 24 tahun 2005 itu sendiri. Dengan strategi ini diharapkan pembaca
PP 71 tahun 2010 nantinya tidak mengalami kebingungan atas perubahan- perubahan tersebut
karena lebih mudah memahami perubahannya dibandingkan jika langsung beranjak dari
penyesuaian atas International Public Sector of Accounting Standards (IPSAS) yang diacu oleh
KSAP.
7. REGULASI DALAM SIKLUS AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK

Hasil regulasi dari siklus Akuntansi sektor publik


Regulasi Tahapan Dalam Contoh Hasil Regulasi Publik
Siklus Akuntansi Sektor
Publik
Regulasi Perencanaan Publik Perturan Pemerintah No.7/2005 Mengenai Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
Regulasi Anggaran Publik Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun
2006 Tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja
Negara Tahun Anggaran 2007.
Regulasi Tentang Pelaksanaan - Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 93
Realisasi Anggaran Publik Tahun 2006 Tentang Rincian Anggaran Belanja
Pemerintahan Pusat Tahun Anggaran 2007
- Otorisasi Kepala Daerah Dokumen Pelaksanaan
Anggaran (DPA)
Regulasi Pengadaan Barang Dan SK Gubernur Tentang Pemenang Dalam Pengadaan
Jasa Barang Dan Jasa.
Regulasi Laporan Peraturan Daerah Tentang Penerimaan Laporan
Pertanggugjawaban Publik Pertanggungjawaban Gubernur/Bupati/Walikota
Contoh Regulasi Publik yang Mengatur Akuntansi Sektor Publik
Tahapan dalam siklus Contoh regulasi publik
akuntansi sektor publik
Perencanaan publik - UU No.25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaaan
Pembangunan Nasional
- Surat Edaran Bersama
No.0295/M.PPN/I/2005050/166/SJ Tentang Tata
Cara Penyelenggaraan Musyawarah Perencanaan
Pembangunan tahun 2005
Penganggaran publik - UU No.17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Daerah
- UU No.33 Tahun 2004 Tentang Perimbanga
n Keuangan Pusat dan Daerah
- Permandagri No.13 tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah
- Permandagri no.59 tahun 2007 tentang perubahan
atas paraturan mentri dalam negeri nomor 13 tahun
2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah
Realisasi anggaran publik UU No.1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara
Pengadaan barang dan jasa Peraturan presiden no.32 tahun 2005 tentang perubahan
kedua atas keputusan presiden nomor 80 tahun 2003
tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa
pemerintah
Pelaporan keuangan sektor PP no.8 Tahun 2006 tentang pelaporan keuangan dan
publik kinerja instansi pemerintah
Audit sektor publik - UU no.15 tahun 2004 tentang pemeriksaan
pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara
- SK BPK No.1 tahun 2008 tentang standar
pemeriksaan keuangan negara
Pertanggungjawaban publik Peraturan pemerintah no.8 tahun 2006 tentang pelaporan
keuangan dan kinerja instansi pemerintahan.
8. REVIEW REGULASI AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK
“Judicial Review” (hak uji materiil) merupakan kewenangan lembaga peradilan
untuk menguji kesahihan dan daya jual produk-produk hukum yang dihasilkan oleh
eksekutif, legislatif, serta yudikatif di hadapan konstitusi yang berlaku. Pengujian oleh
hakim terhadap produk cabang kekuasaan legislatif (legistaive acts) dan cabang
kekuasaan eksekutif (executive acts) adalah konsekuensi dari dianutnya prinsip
‘checks and balancees’, berdasarkan doktrin pemisahan kekuasaan (separation of
power).
Amandemen ketiga UUD 1945 telah menetapkan kewenangan untuk mereview
undang-undang yang terdapat di mahkama konstitusi (MK), sedangkan kewenangan
mereview peraturan perundang-undangan di bawah UU diserahkan ke MA. Hal ini
berpotensi menimbulkan masalah, seperti kemungkinan munculnya persengketaan
antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah, atau di antara pemerinta han
daerah karena adanya keputusan-keputusan yang bersifat mengatur (regeling) ataupun
keputusan-keputusan penetapan administratif (bechikking) yang dianggap merugika n
salah satu pihak.

Dalam melakukan proses judicial review, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan. Pertama, setelah mengidentifikasi permasalahan yang ada mengena i
regulasi terkait, surat judicial review dapat diajukan kepada Mahkamah Agung/
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
9. BARANG DAN JASA PUBLIK
9.1 Pengertian Barang dan Jasa Publik
Pelayanan Publik / Pelayanan umum sangat terkait dengan upaya penyediaan barang
publik atau jasa publik dapat dipahami dengan menggunakan taksonomi barang dan jasa yang
dikemukakan Hawlett dan Ramesh (1995 : 33-34), berdasarkan derajat eksklusifitasnya (apakah
suatu barang / jasa hanya dapat dinikmati secara eksklusif oleh satu orang saja) dan derajat
keterhabisannya (apakah satuan barang atau jasa habis terkonsumsi atau tidak setelah terjadinya
transaksi ekonomi), Howlett dan Ramesh membedakan adanya 4 macam barang / jasa, yaitu :
a. Barang / jasa privat
Yaitu barang / jasa yang derajat ekslusifitas dan derajat keterhabisannya sangat
tinggi. Contoh : Pakaian atau jasa tukang pijat yang dapat dibagi-bagi untuk beberapa
pengguna, tetapi kemudian tidak tersedia lagi untuk orang lain jika telah dibeli oleh
beberapa pengguna.
b. Barang / jasa public
Yaitu barang / jasa yang derajat eksklusifitas dan derajat keterhabisannya sangat
rendah. Contoh : Penerangan jalan, keamanan atau kenyamanan lingkungan yang tidak
dapat dibatasi penggunaannya dan tidak habis meski telah dinikmati banyak pengguna.
c. Peralatan publik atau barang / jasa semi public
Yaitu barang / jasa yang derajat eksklusifitasnya tinggi, tetapi tingkat
keterhabisannya rendah. Contoh : jalan tol atau jembatan yang tetap masih dapat
dipakai oleh pengguna lain setelah dipakai oleh seorang pengguna, tetapi
memungkinkan untuk dilakukan penariakan biaya kepada setiap pengguna.
d. Barang / jasa milik Bersama
Yaitu barang / jasa yang derajat eksklusifitasnya rendah, tetapi tingkat
keterhabisannya tinggi. Contoh : ikan, penyu, karang di laut yang kuantitas nya
berkurang setelah terjadinya pemakaian, tetapi tak dimungkinkan untuk dilakukan
penarikan biaya secara langsung kepada orang yang menikmati nya.
Perbedaan antara empat jenis barang / jasa tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut :

9.2 Barang dan Jasa Publik vs Barang dan Jasa Swasta


Barang publik adalah barang kolektif yang seharusnya dikuasai oleh Negara atau
pemerintah. Sifatnya tidak eksklusif dan diperuntukkan bagi kepentingan seluruh warga dalam
skala yang luas, dan dapat dinikmati warga secara gratis, misalnya udara bersih, air bersih,
dan lingkungan yang aman. Sedangkan barang swasta adalah barang spesifik yang dimilik i
oleh pihak swasta. Sifatnya eksklusif dan hanya bias dinikmati oleh mereka yang mampu
membelinya, karena harganya disesuaikan dengan harga pasar menurut penjual,yaitu harus
untung sebesar-besarnya,misalnya perumahan mewah, villa, dan hotel. Dan ada juga setengah
kolektif yang dimiliki oleh swasta atau pemilik gabungan antara swasta dan pemerinta h.
Seharusnya barang ini tidak boleh bersifat eksklusif, dan pemerintah harus ikut menentuka n
harga penjualannya, yang biasanya tidak terjangkau oleh rakyat kecil, misalnya sekolah dan
rumah sakit.

9.3 Konsep-Konsep Pokok Barang dan Jasa Publik


Suatu barang dikategorikan sebagai barang ‘swasta’ atau ‘publik’ dalam kaitannya
dengan tingkat excludability dan persaingannya. Tingkat excludablity suatu barang ditentuka n
dengan kondisi dimana konsumen dan produsen barang atau pelayanan bisa memastikan bahwa
orang lain tidak memperoleh manfaat dari barang/pelayanan tersebut. Jika suatu barang
memiliki daya saing yang tinggi, barang tersebut dipergunakan secara perorangan ; apabila
daya saingnya rendah, barang tersebut dapat dimanfaatkan secara bersama-sama. Contoh
taman umum daya saingnya rendah, sedangkan ‘ipod’ daya saingnya tinggi.
1. Secara umum, barang publik memiliki tingkat excludability dan daya saing yang
rendah. Ini berarti bahwa jika barang itu diproduksi, barang tersebut dapat
dipergunakan oleh banyak orang. Barang publik ini dimanfaatkan oleh banyak orang,
sehingga umumnya dibiayai dari dana publik.
2. Barang swasta adalah barang yang punya excludability dan daya saing tinggi. Orang-
orang yang memanfaatkanya jelas, sehingga mudah dikenakan biaya.
3. Barang yang excludable, tetapi daya saingnya rendah disebut toll goods. Contohnya
sperti jalan tol.
4. Barang yang berdaya saing tinggi, tetapi non-excludable, disebut common pool goods.
Contohnya adalah pengadaan air disebuah desa; meskipun termasuk barang yang non-
excudable, namun penggunaannya secara berlebihan akan mengurangi kesempatan
bagi orang lain untuk menggunakannya.

9.4 Penyedia Pelayanan


Barang atau pelayanan yang dibiayai secara publik dapat dikontrakkan kepada sektor
swasta misalnya, penggunaan kontraktor swasta dalam pembangunan lapangan terbang, atau
sebaliknya misalnya sekolah pemerintah menerima pembayaran dari orang tua murid dalam
bentuk pemakai pelayanan. Setor swasta mempunyai kecendrungan bekerja lebih efisien dan
efektif karena :
1. Sektor swasta memiliki fleksibilitas dalam pengolahan sumber daya sehingga
permintaan pasar dapat ditanggapi.
2. Persaingan pelayanan mendorong lebih baiknya mutu pelayanan dengan harga yang
lebih murah bagi pelanggan.

9.5 Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Publik


Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Publik mempunyai tugas
mengkaji, menyiapkan perumusan kebijakan, perencanaan kebijakan pengadaan barang/jasa
nasional, serta melaksanakan sosialisasi, pemantauan dan penilaian atas pelaksanaannya.
Dalam melaksanakan tugasnya, Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa
Publik menyelenggarakan fungsi:
1. Penyiapan dan perumusan kebijakan dan sistem pengadaan nasional
2. Penyiapan dan perumusan kebijakan pengembangan dan pembinaan sumber daya
manusia di bidang pengadaan
3. Pelayanan bimbingan teknis, pemberian pendapat dan rekomendasi, serta koordinasi
penyelesaian masalah di bidang pengadaan
4. Pengembangan sistem informasi nasional di bidang pengadaan
5. Pengawasan pelaksanaan pelayanan pengadaan barang/jasa dengan teknologi informa s i
6. Melaksanakan sosialisasi, pemantauan, dan penilaian pelaksanaan kebijakan dan sistem
pengadaan nasional

Beberapa inisiatif yang diambil pemerintah guna memperbaiki penyelengga raan


pemerintah:
a. Reformasi hokum dan yudikatif, termasuk pembentukan
Komisi Ombudsman untuk menanggapi masalah korupsi dan pembentukan komisi
Reformasi Hukum.
b. Perumusan strategi reformasi pegawai negeri sipil.
c. Rancangan undang-undang untuk memantapkan manajemen keuangan pemerinta h.
d. Pembentukan Komisi Anti Korupsi.
e. Pembentukan Kemitraan bagi pembaruan tata pemerintahan di Indonesia yang
didukung oleh UNDP, Bank Dunia, dan ADB.
Dalam bidang pengadaan barang dan jasa, pemerintah telah menerbitkan Keppres No
61 Tahun 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Instansi Pemerinta h,
sebagai penyempurnaan dari aturan dan prosedur sebelumnya, yaitu Keppres 80 Tahun 2003.
Peraturan-peraturan tersebut merupakan implementasi dari UU No 9 Tahun 1995 tentang
Usaha Kecil, UU No 5 Tahun 2000 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
yang Tidak Sehat. UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan
Bebas dari KKN; semuanya ditujukan untuk mengatur pengguna barang/jasa dan penyedia
barang/jasa sesuai tugas, fungsi, hak dan kewajiban serta peranan masing- masing pihak dalam
proses pengadaan barang/jasa yang dibutuhkan Instansi Pemerintah.
Tujuan pengadaan barang adalah untuk memperoleh barang/jasa yang dibutuhka n
Instansi Pemerintah dalam jumlah yang cukup, dengan kualitas dan harga yang dapat
dipertanggungjawabkan, serta dalam waktu dan tempat tertentu secara efektif dan efisie n
menurut ketentuan dan tata cara yang berlaku.
10. ETIKA PENGELOLAAN KEUANGAN PUBLIK
Pihak member amanah (principal) percaya bahwa pihak pemegang amanah (agent)
mempunyai “kapasitas” yang menandai untuk menjalankan amanah yang didelegasika n.
Makna kapasistas disini hanya dilihat dari kompetensi pada bidang kerja, tetapi juga dilihat
dari perilaku etis. Perilaku etis nampaknya sangat menunjang kepercayaan para partner dan
teman kerja.
Etika sering hanya dilihat dari segala sesuatu yang terwujud (tangible). Di tengah
masyarakat yang masih mempercayai symbol-simbol, tanda-tanda (signals), dan berbagai
bentuk aksesoris fisik lain, satandar etika amat diperlukan untuk menetukan perilaku etis.
Etika bisnis adalah bagaimana tindakan atau perbuatan yang dapat dikatagorika n
sebagai etis atau tidak etis. Dalam banyak pembahasan tentang teori etika, para ahli filoso fi
umumnya menitikberatkan pada etika secara umum daripada etika dari suatu kelompok kecil,
misalnya profesi dan bidang pekerjaan tertentu. Berbagai tulisan yang dibuat oleh para ahli
filsafat sering jadikan acuan atau pedoman untuk memahami nila i rasionalisasi suatu sikap dan
perbuatan yang disebut etis. Berikut ini adalah beberapa pemikiran dari para filsafat mengena i
etika :
1. Socrates
Beliau berpendapat bahwa semua pengetahuan (knowledge) dari seseorang itu
sebetulnya bersifat baik dan menjunjung nilai-nilai kebijakan. Tanpa didukung
pengetahuan, seseorang tidak mungkin dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang
berbudi luhur.
2. Hume
Beliau berpendapat bahwa perilaku seseorang (personal merit) yang beretika
sebenarnya mempunyai beberapa nilai kualitas karakter dan kepribadian yang
bermanfaat dan diterima baik oleh orang lain maupun dirinya sendiri.
3. John
Beliau berpendapat bahwa kebenaran, perilaku etis, dan prinsip moral seseorang
sebenarnya tidak dibawa sejak lahir. Berbagai pedoman etika bisa diperoleh melalui
suatu persepsi dan konsepsi. Ia juga mengemukakan bahwa hukum (law) merupakan
sebuah kriteria untuk memutuskan apakah suatu perbuatan itu baik atau buruk. Tiga
tipe dari hukum ini yaitu : divine law (hukum yang berkaitan dengan Ketuhanan), civil
law (hukum yang berlaku di masyarakat), law of opinion and reputation (hukum yang
berhububgan dengan opini dan reputasi).
4. Kant
Beliau berpendapat bahwa pentingnya standar formal sebagai pedoman umum untuk
menilai perilaku seseorang. Tetapi ia tidak setuju dengan perilaku etis ini dibentuk dari
suatu tekanan (hukum) yang disertai hukuman tertentu.
Dalam menyikapi pro-kontra terhadap suatu perbuatan, pengkategorian perilaku etis
sebaiknya berpedoman pada etika umum, antara lain : pengetahuan (knowledge), kesadaran
akan hidup bermasyarakat, respek terhadap divine law (hukum yang berkaitan dengan
Ketuhanan), memahami bahwa suatu pekerjaan membutuhkan pertanggungjawaban,
menyadari bahwa norma dari perilaku etis yang diakui masyarakat berlaku untuk semua jenis
pekerjaan apapun.

11. PERMASALAHAN REGULASI KEUANGAN SEKTOR PUBLIK DI INDONESIA


a. Regulasi yang Berfokus Pada Manajemen
Regulasi yang berfokus pada pengaturan wilayah manajemen organisasi publik
sering kali mengaburkan proses pencapaian kesejahteraan masyarakat. Jadi, regulasi
publik harus fokus pada tujuan pencapaian organisasi publik yaitu kesejahteraan
publik. Dengan demikian, manajemen akan menata dirinya dalam segala situasi dan
kondisi mengikuti regulasi yang berfokus pada tujuan kesejahteraan publik tersebut.
b. Regulasi Belum Bersifat Teknik
Banyak regulasi publik di Indonesia yang tersusun dengan sangat baik untuk
tujuan kesejahteraan publik. Namun, banyak diantara tidak dapat diaplikasikan dalam
masyarakat. Hal ini terjadi karena regulasi tersebut tidak menjelaskan atau tidak
disertai dengan regulasi lain yang membahas secara lebih teknis bagaimana
mengimplementasikan regulasi tersebut.
c. Perbedaan Interpretasi antara Undang-Undang dan Regulasi di Bawahnya
Dalam banyak kajian, beberapa ayat atau pasal dari undang-undang atau
regulasi terkait sering menimbulkan berbagai interpretasi yang berbeda dalam
pelaksanaannya. Di tingkat daerah, substansi dari isi undang-undang terkait tidak dapat
diturunkan dalam peraturan daerah. Kondisi ini membuat tujuan peraturan pemerinta h
tidak dapat tercapai sesuai konsep awalnya.
d. Pelaksanaan Regulasi Yang Bersifat Transisi Berdampak Pemborosan Anggaran
Saat ini, banyak regulasi yang bersifat transisi telah dilaksanakan secara
bertahap dan membutuhkan kapasitas tertentu untuk melaksanakannya. Hal ini akan
mempengaruhi anggaran yang senantiasa meningkat dan cenderung boros.
Pemborosan anggaran akan menurunkan kapasitas organisasi dalam menjalankan roda
organisasi sehingga pencapaian tujuan organisasi semakin menurun.
e. Pelaksanaan Regulasi Tanpa Sanksi
Sanksi yang dimaksud adalah hukuman jika organisasi publik tidak
melaksanakan regulasi tersebut. Dengan tidak adanya sanksi, organisasi akan
seenaknya melaksakan dan tidak melaksanakan regulasi tersebut.

12. KEDUDUKAN DAN PERAN PEMERINTAH DALAM MEMPERBAIKI KUALITAS


PELAYANAN PUBLIK

Semua masyarakat memiliki hak yang sama atas jaminan sosial dan ekonomi dari
pemerintah sebagai konsekuensi langsung atas pembayaran pajak yang telah dipenuhi.
Kebijakan dan regulasi yang ditetapkan pemerintah bisa berimbas pada bidang yang lain.
Pemerintah mempunyai peran menentukan kualitas tingkat kehidupan masyarakat secara
individual.
Peningkatan kualitas pelayanan publik dapat diperbaiki melalui perbaikan manajeme n
kualitas jasa, yakni upaya meminimasi kesenjangan antara tingkat layanan dengan harapan
konsumen. Kinerja organisasi layanan publik harus diukur dari outcome-nya, karena outcome
merupakan variabel kinerja yang mewakili misi organisasi dan aktivitas oprasional, baik aspek
keuangan dan nonkeuangan. Dalam penentuan outcome sangat perlu untuk
mempertimbangkan dimensi kualitas (Mardiasmo 2007). Selanjutnya, monitoring kinerja perlu
dilakukan untuk mengevaluasi pelayanan publik dalam memenuhi kebutuhan masyarakat.
Langkah-langkah penting dalam monitoring kinerja organisasi layanan publik antara
lain: mengembangkan indikator kinerja yang mengembangkan pencapaian tujuan organisas i,
memaparkan hasil pencapaian tujuan berdasarkan indikator kinerja diatas, mengidentifika s i
apakah kegiatan pelayanan sudah efektif dan efisien sebagai dasar pengusulan program
perbaikan kualitas pelayanan (Bastian, 2007).
DAFTAR PUSTAKA

Taufik Subardi, Makalah Regulasi Keuangan Sektor Publik


(https://www.academia.edu/26088673/Makalah_Regulasi_Keuangan_Sektor_Publik, di
akses tanggal 2 September 2018)
Lisa karlina, 2013, Akuntansi Sektor Publik
(http://kedebok.blogspot.com/2013/03/akuntansisektor-publik-
pokokpembahasan_21.html, diakses tanggal 2 September 2018)
Lukman Hakim, 2014, REGULASI KEUANGAN SEKTOR PUBLIK
(http://salugumu.blogspot.com/2014/05/regulasi-keuangan-sektor-publik.html, diakses
tanggal 2 September 2018)
Afriyan Rizqi, 2016, Pengertian Barang dan Jasa Publik
(https://definisi-dari.blogspot.com/2016/11/pengertian-barang-dan-jasa-publik.html, di akses
tanggal 2 September 2018)
LUKMAN BASIR, 2013, REGULASI KEUANGAN SEKTOR PUBLIK DI
INDONESIA
(http://gratiscatanku.blogspot.com/2013/03/regulasi-keuangan-sektor-publik-di.html, di akses
2 September 2018)
Nissa Karimah, ASP - Kelompok 2 - Regulasi Keuangan Sektor Publik.doc
(https://www.coursehero.com/file/26347733/ASP-Kelompok-2-Regulasi-Keuangan-Sektor-
Publikdoc, diakses 2 September 2018)

SyauQi Subuh, 2016, Definisi Regulasi Publik (Akuntansi Sektor Publik)

(http://blogoblokgoblok.blogspot.com/2016/12/definisi-regulasi-publik-akuntansi.html, di
akses 4 September 2018)

Anda mungkin juga menyukai