Anda di halaman 1dari 31

Mewujudkan Dunia Penyiaran Yang Sehat

Dan Berkualitas Dalam Menghadapi Era


Konvergensi
Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) akan mengadakan peringatan Hari Penyiaran
Nasional (Harsiarnas) ke-83 yang dilanjutkan dengan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas), di
Mataram, Nusa Tenggara Barat (1-3 April). Dengan tema Mewujudkan Dunia Penyiaran yang
Sehat dan Berkualitas dalam menghadapi Era Konvergensi, KPI mengagendakan Peringatan
Harsiarnas dan Rakornas KPI ini akan diawali dengan seminar internasional tentang Digitalisasi.
Ketua Panitia Rakornas KPI 2016, Bekti Nugroho menyampaikan, dalam seminar internasional
yang akan membahas tentang Migrasi Digital Televisi Terresterial dengan menghadirkan
pembicara regulator media dari Turki, Australia dan Thailand. Migrasi digital di dunia
penyiaran ini adalah sebuah kemestian yang akan dihadapi bangsa Indonesia, ujar Bekti.
Karenanya, belajar dari proses migrasi yang sudah dilakukan negara-negara lain, seharusnya
migrasi penyiaran digital di Indonesia dapat berlangsung lebih baik.
KPI sendiri, sebagai regulator media dalam menghadapi digitalisasi penyiaran ini tentulah harus
didukung dengan kelembagaan dan kewenangan yang kuat. Masyarakat akan mempunyai
banyak sekali pilihan televisi, karena jumlahnya semakin berlipat dari yang ada sekarang, papar
Bekti. Karenanya, selain kemampuan literasi media di masyarakat harus ditingkatkan,
kewenangan regulator dalam mengawasi konten siaran di era digital ataupuin konvergen juga
harus diperkuat. Sehingga, muatan penyiaran yang diterima masyarakat sesuai dengan kebutuhan
dan hak asasi. Selain itu, ujar Bekti, KPI berharap, pemerintah dan DPR dapat membuat
kebijakan yang menguntungkan kepentingan publik sekaligus menjamin kelangsungan industri
penyiaran, khususnya TV lokal.
Rakornas adalah perhelatan tahunan yang mempertemukan Komisioner KPI Pusat dan KPI
Daerah se-Indonesia ini. Pada kesempatan kali ini agenda yang akan dibahas secara internal
adalah:
1. Masukan KPI kepada Komisi I DPR RI tentang Revisi Undang-Undang Penyiaran.
2. Usulan Penerapan Sanksi Denda atas Pelanggaran Pedoman Perilaku Penyiaran dan
Standar Program Siaran;
3. Pengaturan Siaran Pengobatan Alternatif di TV dan Radio;
4. Siaran Bersama Program Lokal;
5. Kodifikasi Peraturan terkait Tata Cara Pelayanan Perizinan.

Bekti berharap, Rakornas 2016 dapat menghasilkan putusan-putusan yang melindungi


kepentingan masyarakat terhadap dunia penyiaran. Sehingga, dalam menyongsong era
konvergensi ini, dunia penyiaran dapat hadir dengan muatan yang sehat dan berkualitas.
Ditulis oleh Ira

1 comment

LEMAHNYA REGULASI PENYIARAN DALAM SISTEM PENYIARAN


INDONESIA
ABSTRAK
Proses demokratisasi di Indonesia menempatkan publik sebagai pemilik dan pengendali
utama ranah penyiaran. Oleh karena frekuensi adalah milik publik dan sifatnya terbatas, maka
penggunaannya harus sebesar-besarnya bagi kepentingan publik. Sebesar-besarnya bagi
kepentingan publik artinya adalah media penyiaran harus menjalankan fungsi pelayanan publik
yang sehat. Penyiaran berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, kebudayaan, hiburan,
kontrol sosial, perekat sosial, ekonomi, wahana pencerahan, dan pemberdayaan masyarakat.
Permasalahan utama dalam penyiaran Indonesia adalah tidak konsistennya pemerintah
sebagai salah satu regulator penyiaran Indonesia, mandulnya regulator penyiaran yang lain,
Komisi Penyiaran Indonesia, dan ketidaktaatan penyelenggara penyiaran di Indonesia, terutama
stasiun televisi swasta yang beroperasi secara nasional. Di atas semuanya, ketidaktaatan pada
regulasi utama media penyiaran adalah hulunya, yaitu pengabaian terhadap Undang Undang
nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran yang sudah berlangsung selama satu dekade.
Tentu saja regulasi penyiaran sebagai sesuatu yang dinilai baru di tengah kehidupan
masyarakat Indonesia dianggap perlu mendapat pengawasan dan pembinaan agar kebebasan
yang diberikan dapat menjadi kebebasan yang bertanggung jawab dan tidak lepas kendali. Untuk
itulah pemerintah pada menetapkan suatu regulasi dan pedoman etika untuk mengontrol perilaku
pers tanpa membatasi kebebasan mereka.
Kata Kunci : Regulasi dan Penyiaran

PENDAHULUAN
Kebebasan bisnis media yang berkembang tanpa kendali membuat ranah penyiaran kita
kehilangan asas keadilan, pemerataan, etika, sekaligus keberagaman. Dalam hal kepemilikan
lembaga penyiaran oleh swasta, telah terjadi pelanggaran terang-terangan terhadap peraturan
yang berlaku.
Contohnya, sejumlah korporasi lembaga penyiaran swasta bisa menguasai dua atau tiga
stasiun penyiaran (televisi juga radio), dalam satu badan usaha, di satu wilayah siaran. Sebut saja

korporasi MNC yang menguasai RCTI, Global TV dan MNC (dulu TPI) di wilayah Jakarta.
Kemudian grup Elang Mahkota Teknologi (EMTK) memiliki SCTV dan Omni-TV (O Channel),
ditambah upaya akuisisi grup EMTK terhadap Indosiar. Kemudian grup Visi Media Asia yang
hendak masuk ke pasar modal dengan menguasai dua stasiun ANteve dan TVOne yang samasama berbasis di Jakarta.
Itu semua jelas melanggar pasal 18, pasal 20, pasal 34 ayat (4) Undang Undang Nomor
32 tahun 2002 tentang Penyiaran serta Peraturan Pemerintah No 50 tahun 2005 pasal 34 ayat (1)
huruf (a) tentang Lembaga Penyiaran Swasta. Sementara itu UU Penyiaran juga mengatur
penyertaan modal asing dalam usaha penyiaran dibatasi maksimum 20%, kendati kenyataannya
sudah seringkali dilanggar.
Pasal-pasal tersebut pada intinya melarang seseorang atau badan hukum memiliki dan
atau menguasai lebih dari satu lembaga penyiaran swasta di satu daerah. Selain melarang
konsentrasi kepemilikan, UU Penyiaran juga melarang pemindahtanganan izin penyelenggaraan
siaran dalam arti dijual atau dialihkan kepada badan hukum lain. Sanksi terhadap pelanggaran
itu ialah pidana penjara (2-5 tahun), denda 500 juta sampai 10 milyar, serta pencabutan izin
penyiaran.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah menyampaikan pandangan hukum atas rencana
pengambilalihan stasiun penyiaran karena itu berpotensi melanggar hukum. Sayangnya,
peringatan KPI itu diabaikan oleh regulator negara yaitu Bapepam dan Kementerian Kominfo.
Kami menduga terjadi kongkalikong bisnis perizinan penyiaran dan penggunaan frekuensi yang
membuat pelanggaran terhadap UU Penyiaran makin meluas, tanpa bisa dicegah. Kami
berpendapat, aparatur pemerintah yang paling bertanggung jawab terhadap carut-marut
kepemilikan stasiun penyiaran (TV dan radio) saat ini ialah Kementerian Komunikasi dan
Informatika (Kominfo) dan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam).
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) adalah lembaga Negara yang bersifat independen yang
ada di pusat maupun daerah yang tugas dan wewenangnya diatur dalam Undang-Undang
sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang penyiaran. KPI melakukan peran-perannya
sebagai wujud peran serta masyarakat yang berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili
kepentingan masyarakat akan penyiaran. Dalam menjalankan fungsinya, KPI juga mempunyai
beberapa wewenang yaitu: (1) Menetapkan standar program siaran dan Menyusun peraturan dan
menetapkan pedoman perilaku penyiaran. (2) Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman
perilaku penyiaran serta standar program siaran dan Melakukan koordinasi dan kerjasama
dengan pemerintah, lembaga penyiaran dan masyarakat. (3) Memberikan sanksi terhadap
pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran.
Regulasi Media adalah aturan-aturan dan kebijakan yang berkaitan dengan yang
mengatur hubungan dan operasinal media massa. Regulasi sangat penting bagi keteraturan dan
keseimbangan hubungan media dengan pemerintah, masyarakat, sesama industri media dan
global media. (Umaimah : 2011)

Regulasi media tidak jarang dianggap sebagai suatu aturan yang bersifat membatasi,
adanya kontrol penuh, bahkan dianggap sebagai penghalang atas kebebasan berekspresi. Namun,
harus diakui bahwa regulasi media sangat diperlukan dalam situasi tertentu. Berikut terdapat tiga
alasan pentingnya regulasi media (Ibid, 148).
Yang pertama adalah regulasi media membantu audience mendapatkan informasi sesuai
dengan tuntutan kualitas tertentu. Yang kedua adalah regulasi mempunyai sisi di mana menjaga
aturan pasar agar tidak terciptanya monopoli atau bahkan komersialisasi media. Sedangkan yang
ketiga, regulasi bukanlah sebagai sarana dari kaum mayoritas untuk mendominasi kaum
minoritas. Regulasi justru tetap dapat menjunjung tinggi nilai kebebasan berekspresi setiap
individu. Regulasi bahkan dapat memaksa mayoritas untuk tetap mau membuka diri terhadap
kritik atas penyimpangan yang telah dilakukan. Hal tersebut dilakukan demi mewujudkan prinsip
pluralitas di Indonesia, di mana adanya sikap menghargai kesamaan individu dan memungkinkan
partisipasi yang sama dalam proses demokrasi (Haryatmoko, 2007:149).

TINJAUAN PUSTAKA
Kajian Teori
A. The Scarcity Theory (Joseph R. Dominick)
Teori ini mengungkapkan bahwa pada hakekatnya jumlah frekuensi yang ada di muka
bumi ini terbatas. Oleh karena itu, tidak semua individu dapat menggunakannya. Meskipun
demikian, pada dasarnya kita memiliki hak yang sama untuk memanfaatkannya. Penentuan siapa
yang boleh mengelola sebuah frekuensi menjadi penting karena logika yang berlawanan tersebut.
B. The Pervasive Presence Theory (Joseph R. Dominick)
Teori ini mengungkapkan bahwa media penyiaran mempunyai pengaruh yang sangat
besar dengan variasi-variasi pesan yang dimilikinya. Dengan penetrasi yang besar bahkan
menembus pada wilayah pribadi, perlu diaturlah agar semua kepentingan masyarakat dapat
terlindungi dan terwadahi.
C. Agenda Setting
Teori ini di perkenalkan oleh Mc Combs dan DL Shaw dalam Public Opinion Quartely
tahun 1972, berjudul The Agenda Setting Fumction of Mass Media. Asumsi dasarnya adalah
bahwa jika media memberi tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu akan mempengaruhi
khalayak untuk menganggapnya penting. Jadi, apa yang dianggap penting bagi media, maka
penting juga bagi masyarakat.

Peran media massa cukup besar untuk mempengaruhi pikiran khalayak melalui
penekanan berita yang disampaikan. Media massa digunakan sebagai alat untuk mengontruksi
area kognitif audiensnya sehingga mereka mau mengubah pandangan-pandangan yang dianut
ataupun perspektif-perspektif baru.
D. Regulasi Penyiaran
Regulasi penyiaran di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Penyiaran Nomor 32
Tahun 2002. Dengan adanya UU tersebut, penyelenggaraan penyiaran mendapat kepastian
hukum dan menjadi lebih tertib.
Menurut Mike Feintuck (1998) seperti yang dikutip Muhamad Mufid, dewasa ini regulasi
penyiaran mencakup tiga hal, yakni regulasi struktur, tingkah laku, dan isi. Regulasi struktur
(structural regulation) berisi kepemilikan media oleh pasar, regulasi tingkah laku (behavioral
regulation) dimaksudkan untuk mengatur tata laksana penggunaan properti dalam kaitannya
dengan kompetitor, dan regulasi isi (content regulation) berisi batasan material siaran yang boleh
dan tidak untuk disiarkan.
Regulasi struktur berisi kepemilikan media oleh pasar. Maksudnya adalah bahwa
frekuensi radio atau televisi yang diberikan pemerintah kepada penyelenggaraan media, ada hak
kepemilikan masyarakat. Jadi pasar disini adalah masyarakat. Contohnya ketika masyarakat
menerima informasi tayangan berita kriminal (misalnya SERGAP) tentang perkosaan berantai di
Bali, kemudian ada perkembangan mengenai kasus tersebut, SERGAP kembali menyampaikan
informasi bahwa ternyata kasus perkosaan berantai tidak hanya terjadi di Bali, namun pelaku
juga beraksi di Batam. Tanpa informasi dari media, masyarakat tidak akan tahu perkembangan
kasus tersebut. Dan oleh sebab itu, SERGAP terus mengikuti perkembangan kasus tersebut agar
masyarakat tahu akan informasi dan terus waspada.
Regulasi tingkah laku dimaksudkan untuk mengatur tata laksana penggunaan properti
dalam kaitannya dengan kompetitor. Regulasi tingkah laku tegantung kepada kreatifitas dan ideide dari setiap media itu sendiri dan tidak ada hubungannya dengan media yang lain. Jadi, tidak
ada keterkaitan penggunaan properti media A dengan media B. Contohnya, dalam penggunaan
properti, SERGAP mempunyai ciri khas yang berbeda dari program berita kriminal lainnya.
Bang Napi yang merupakan icon SERGAP menggunakan topeng separuh muka.
Regulasi isi berisi batasan material siaran yang boleh dan tidak untuk disiarkan. Dalam
program SERGAP isi siaran mengandung informasi pendidikan, kewaspadaan dan warning. Hal
ini sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2002 pasal 36. Dalam penyiaran, isi siaran dilarang
menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang.
E. Model-Model Regulasi Penyiaran
Dalam hubungannya dengan model kepemerintahan suatu negara, Leen dHaenens
seperti dikutip Muhamad Mufid membagi model regulasi penyiaran menjadi lima, yaitu:

a. Model Otoriter
Tujuan dari model ini lebih sebagai upaya menjadikan penyiaran sebagai alat negara.
Radio dan televisi sedemikian rupa diarahkan untuk mendukung kebijakan pemerintah dan
melestarikan kekuasaan. Ciri khas dari model ini kuatnya lembaga sensor terutama yang
menyangkut keberbedaan. Dunia penyiaran selama Orde Baru praktis berada pada kondisi seperti
ini.
b. Model Komunis
Aspek yang membedakan model komunis dan model lainnya ialah dilarangnya
kepemilikan swasta, karena media dalam model ini dilihat sebagai milik kelas pekerja (biasanya
terlambang kan dalam partai komunis) dan media merupakan sarana sosialisasi, edukasi,
informasi dan motivasi.
c. Model Barat- Paternalistik
Sistem penyiaran ini banyak diterapkan oleh negara-negara Eropa Barat semisal Inggris.
Sifat dari penyiaran ini adalah top-down dimana kebijakan media bukan apa yang audiens
inginkan tapi lebih sebagai keyakinan penguasa bahwa kebijakan yang dibuat memang
membutuhkan dan diinginkan oleh rakyat.
d. Model Barat- Liberal
Secara umum sama dengan model Paternalistik, hanya berbeda dalam fungsi media
komersialnya. Disamping sebgai media penyedia informasi dan hiburan, media juga memiliki
fungsi mengembangkan hubungan yang penting dengan aspek-aspek lain yang mendukung
independensi ekonomi dan keuangan.
e. Demokratis- Participan Model
Model ini dikembangkan oleh mereka yang memercayai sebagai powerful medium.
Termasuk dalam model ini adalah berbagai media penyiaran alternatif. Sifat komunikasi dalam
model ini adalah dua arah.
F. Sanksi Regulasi Penyiaran
Sanksi terhadap pelanggaran regulasi penyiaran berupa sanksi administratif tertera pada pasal 55
UU No. 32 Tahun 2002 yaitu:
1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (2), Pasal
20, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 26 Ayat (2), Pasal 27, Pasal 28, Pasal 33 Ayat (7), Pasal 34 Ayat (5)
huruf a, huruf c, huruf d, dan huruf f, Pasal 36 Ayat (2), Ayat (3), dan Ayat (4), Pasal 39 Ayat (1),

Pasal 43 Ayat (2), Pasal 44 Ayat (1), Pasal 46 Ayat (6), Ayat (7), Ayat (8), Ayat (9), dan Ayat (11),
dikenai sanksi administratif.
2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:
a. Teguran Tertulis
b. Penghentian sementara mata acara yang bermasalah setelah melalui tahap tertentu;
c. Pembatasan durasi dan waktu siaran;
d. Denda administratif;
e. Pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu;
f. Tidak diberi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran;
g. Pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran.

G. Pelanggaran Regulasi Penyiaran


1. KPI Pusat melayangkan surat teguran kedua pada Trans 7 dan SCTV terkait adanya pelanggaran
pada penayangan program siaran iklan On Clinic di kedua stasiun televisi tersebut.
Pelanggaran yang dilakukan SCTV adalah penayangan materi dewasa berupa pengobatan
vitalitas seksual pada jam anak dan remaja. Jenis pelanggaran ini dikategorikan sebagai
pelanggaran atas perlindungan anak dan remaja, penggolongan program siaran, dan siaran iklan.
Selain pelanggaran di atas, hasil pemantauan kami juga menemukan materi pelanggaran yang
sama pada tanggal 8 Februari 2011 pukul 11.40 WIB, 29 Maret 2011 pukul 11.41 WIB, 31 Maret
2011 pukul 11.49 WIB, 5 April 2011 mulai pukul 11.50 WIB dan 7 April 2011 mulai pukul 11.37
WIB.
Dalam waktu yang bersamaan KPI Pusat juga memberikan teguran kepada Trans7 dalam
pelanggaran program yang sama. Pelanggaran yang dilakukan adalah penayangan materi pada 16
Februari 2011 pukul 12.09 WIB, 17 Februari 2011, pukul 12.14 WIB, 1 April 2011 pukul 17.04
WIB, 6 April 2011 mulai pukul 12.28 WIB dan 9 April 2011 mulai pukul 12.13 WIB.
2. Acara reality show "Orang Ketiga" di Trans Tv dapat dikatakan melanggar hak privasi seseorang
disebabkan terjadinya penguntitan, perekaman tersembunyi di ruang privasi, terhadap seseorang
tanpa izin sebelumnya dari orang yang bersangkutan serta penayangan wajah dan aib seseorang
yang disiarkan kepada khalayak ramai. Hal ini merupakan masalah yang menimbulkan
pertanyaan bagaimana dasar hukum suatu media massa televisi dapat menayangkan acara yang
mengumbar privasi dan bagaimana tanggung jawab stasiun televisi jika terjadi suatu tuntutan
dari pihak korban yang merasa terugikan oleh acara seperti itu. Namun daripada semuanya itu,
Trans Tv tidak dapat dipidana oleh karena adanya perjanjian (alasan pembenar) antara Trans Tv
dengan para pihak yang terlibat termasuk korban/target khususnya. Saran bagi Trans Tv harus
memperhatikan dan menerapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya tentang
privasi seseorang, penggantian istilah reality show dengan drama nyata, perekaan ulang setiap
adegan dengan pemain tidak sebenarnya. Saran bagi KPI menyuluh setiap stasiun televisi
mengenai cara beretika dan menerapkan peraturan hukum penyiaran khususnya program faktual

terkait privasi orang dan bersama pemerintah membuat sanksi administratif dan pidana spesifik
mengenai pelanggaran hak privasi dalam regulasi penyiaran.
3. Menurut Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) 2012, ada empat
bentuk pelanggaran yang kerap dilakukan acara komedi. Pelanggaran tersebut yakni melecehkan
orang dengan kondisi fisik dan pekerjaan tertentu, pelanggaran atas perlindungan anak,
melanggar norma kesopanan dan kesusilaan serta melanggar penggolongan program siaran
dengan klasifikasi remaja.
Delapan siaran yang menerima teguran itu yakni Sahurnya Pesbukers (ANTV), Yuk Kita Sahur
(Trans TV), Sahurnya OVJ (Trans 7), Karnaval Ramadhan (Trans TV), Hafidz Indonesia (RCTI),
Mengetuk Pintu Hati (SCTV), Promo Siaran Karnaval Ramadhan (Trans TV), dan Iklan PT
Djarum edisi Ramadhan versi merawat orang tua.
Dalam berbagai acara komedi, beberapa adegan tidak pantas ditampilkan di ruang publik.
Beberapa adegan yang tidak pantas itu adalah pelemparan tempung atau bedak ke wajah atau
kepala, mendorong tanpa alasan jelas, menoyor kepala, menjejalkan sesuatu ke mulut, memukul
dengan benda tertentu, hingga aksi mencium ketiak. Selain itu, acara komedi juga kerap
menampilkan pemain pria yang berpakaian perempuan dan sebaliknya. Selain itu, banyak acara
komedi menghadirkan kuis dengan pertanyaan sepele yang cenderung meremehkan kecerdasan
publik.
4. Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Bali berdasarkan kewenangan menurut Undang-undang No.
32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) Pengaduan masyarakat, pemantauan dan hasil
analisis siaran telah menemukan pelanggaran Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program
Siaran Komisi Penyiaran Indonesia Tahun 2012 pada program siaran Mr. Tukul Jalan-jalan,
Katagori Reality Show yang ditayangkan oleh Trans 7, pada tanggal 14, 15 dan 22 Pebruari
2015, pukul 23.00 wita.
Program tersebut menampilkan Tukul sebagai Host yang tidak menggunakan pakaian yang
pantas dan menggunakan Pura sebagai tempat pengambilan gambar untuk tayangan yang berbau
mistik, horror, dan/atau supranatural. KPID Bali, menilai tayangan tersebut tidak mencerminkan
penghormatan terhadap suku, agama, ras, dan/atau antar golongan serta tidak memperhatikan
norma kesopanan dan kesusilaan dalam masyarakat yang sepatutnya di junjung tinggi. Jenis
tayangan ini dikatagorikan sebagai pelanggaran atas penghormatan terhadap suku, agama, ras,
dan/atau antar golongan serta kesopanan yang berlaku di masyarakat.
H. Alasan Kenapa Kita Butuh Regulasi Penyiaran
Pertama, masalah ekonomi. Ekonomi pasar mempunyai dua asumsi, yaitu: kompetisi
akan menghasilkan sesuatu yang baik bagi masyarakat dan praktek bisnis yang tidak adil tidak
diizinkan karena akan mengurangi kadar kompetisi. Maksudnya adalah kompetisi pada

gilirannya diharapkan menghasilkan suatu produk yang baik dan murah yang bisa dijangkau
masyarakat. Secara teoritis, perusahaan yang menghasilkan produk yang baik dengan harga yang
murahlah yang akan bertahan dalam persaingan.
Kedua, regulasi dipeuntukkan bagi usaha-usaha yang memang secara notabene
menghasilkan dampak negatif yang luas di masyarakat. Contoh yang pas untuk ini adalah
peraturan mengenai tembakau atau rokok. Tembakau berdasarkan riset, mempunyai dampak
buruk bagi kesehatan, tetapi masih juga diperdagangkan. Untuk itu maka pemerintah perlu
membuat regulasi agar masyarakat lain yang memang tidak suka dengan tembakau bisa terjaga
haknya untuk hidup secara sehat.
Ketiga, regulasi dibuat jika produk atau perusahaan menghasilkan dampak negatif bagi
individu yang lebih besar daripada manfaatnya secara keseluruhan bagi masyarakat. Hak atas
informasi tercantum dalam First Amandment. Orang berhak atas informasi yang ada disekitarnya
dan media bertugas untuk menyampaikannya sesuai dengan fungsinya sebagai pengawas
lingkungan. Namun, dalam usahanya menyampaikan informasi, cara bagaimana media
mendapatkan informasi tersebut haruslah sesuai dengan peraturan yang ada.
Keempat, bagi pemberlakuan regulasi mengenai arus informasi selama terjadinya perang.
Ketika terjadi peperangan, maka pemerintah berhak untuk melakukan upaya sensor dan
membatasi ruang gerak media jika dirasa itu membahayakan para tentara yang terlibat dalam
peperangan. Adalah wajar jika selama perang, media lebih didominasi oleh pemberitaan yang
sifatnya propaganda. Ini dimaksudkan agar moral para tentara tetap terjaga dan masyarakat mau
mendukung pemerintah memenangkan peperangan tersebut.
Kelima, yang membuat pemerintah untuk memberlakukan regulasi adalah alasan
keamanan dalam negerinya. Media dibatasi untuk meliput dan mengungkap sebuah kasus jika itu
dirasa mengancam stabilitas dan keamanan dalam negeri.

ANALISIS ISI
Regulasi mengenai penyiaran di Indonesia yang ditetapkan oleh pemerintah pada
dasarnya lebih spesifik ke bentuk regulasi mengenai penyiaran oleh media massa dan mengenai
pers. Regulasi mengenai penyiaran pun lebih mengarah kepada penyiaran oleh media massa
elektronik, hal ini dikarenakan bahwa definisi siaran itu sendiri lebih merujuk pada proses
penyampaian informasi dalam bentuk audio, visual atau audiovisual.
Terlepas dari semua itu, pemerintah telah beritikad baik untuk mengontrol kebebasan
media massa di Indonesia tanpa mengurangi kebebasan media massa itu sendiri. Walau
bagaimanapun, kebebasan media massa harus menjadi kebebasan yang bertanggung jawab.
Penyebab lemahnya regulasi penyiaran di Indonesia adalah karena Kekuatan media yang
dipercaya dan mampu mempengaruhi masyarakat adalah salah satu faktor utama mengapa

beberapa media tidak dikontrol. Selain itu, alasan dengan dasar demokrasi dan kebebasan
berpendapat membuat banyak pihak dengan bebas melakukan segala kepentingannya di media
miliknya. Contoh jelas dari kasus ini adalah TvOne (yang dimiliki Aburizal Bakrie) dengan
nuansa ARB dan iklan politiknya yang kental.
Pemanfaatan celah yang belum ada dan belum tercantum/dibahas dalam Undang-Undang
juga membuat banyak pihak melakukan banyak hal sekehendak hati. Hal ini berawal dari tidak
adanya hukum yang jelas bagi mereka yang melanggar Undang-Undang penyiaran, sehingga
banyak pihak cenderung mengacuhkan dan menilai bahwa Undang-Undang tersebut hanya
sekedar formalitas belaka.
Hal inilah yang perlu diurus dan dibahas lebih lanjut. Pelanggaran-pelanggaran yang
dilakukan banyak tidak diketahui oleh masyarakat awam, dan karena masyarakat terlalu terpaku
dengan media, karena kurangnya literasi media, akan membuat mereka lebih percaya pada media
massa daripada KPI dan sebagainya.
Beberapa kerancuan terdapat pada beberapa pasal dalam UU No. 32 tahun 2002.
Misalnya, pasal 14 UU No. 32 tahun 2002 yang menyebutkan Lembaga Penyiaran Publik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a adalah lembaga penyiaran yang
berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara, bersifat independen, netral, tidak komersial,
dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat.
Pasal tersebut mengindikasikan bahwa lembaga penyiaran bersifat tidak komersial,
namun pada pasal 15 disebutkan bahwa sumber pembiayaan Lembaga Penyiaran Publik salah
satunya berasal dari siaran iklan. Iklan merupakan suatu bentuk nyata dari komersialisasi. Siaran
iklan sendiri menurut pasal 1 poin 5 merupakan siaran informasi yang bersifat komersial dan
layanan masyarakat tentang tersedianya jasa, barang, dan gagasan yang dapat dimanfaatkan oleh
khalayak dengan atau tanpa imbalan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan.
Dengan adanya 2 poin yang bersifat anti atau bertolak belakang satu sama lain, mengenai
komersialisasi, adalah suatu bahasan yang perlu direvisi. Kedua pasal tersebut menimbulkan
suatu kontroversi dimana pada satu sisi lembaga penyiaran publik disebut bukan merupakan
badan hukum yang bersifat komersial, namun di sisi lain pembiayaannya berasal dari siaran
iklan yang bersifat komersial. Selain komersialisasi iklan, hal yang lebih dasar dna vital adalah
mengenai kepemilikan media.
Dalam UU Penyiaran No 32 Tahun 2002 ada dua pasal yang menyinggung mengenai
kepemilikian TV sebagai lembaga penyiaran, yaitu pada pasal 5 ayat (7). Mencegah monopoli
kepemilikan dan mendukung persaingan yang sehat di bidang penyiaran dan pasal 18 ayat 1
Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu
badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi. Kedua
pasal ini saling bertentangan dan ambigu satu sama lain, dalam pasal 5 tertulis mencegah
monopoli tetapi yang tertulis dalam pasal 18 terkesan membiarkan adanya kepemilikan

lembaga penyiaran swasta oleh satu orang saja (monopoli), terbukti dalam pasal tersebut hanya
tercantum kata dibatasi, bukan dilarang.

KESIMPULAN
Sudah sepantasnya masyarakat mengetahui latar belakang permasalahannya. Dengan
demikian, masyarakat mampu menempatkan posisi untuk menuntut hak-haknya secara memadai.
Memang menonton televisi adalah gratis, namun tidak berarti stasiun televisi boleh melakukan
kesewenang-wenangan. Karena ada harga yang harus dibayar oleh masyarakat penontonya, yaitu
karakter, kepribadian, dan kemandirian.
Disinilah regulasi berperan untuk menjaga kepentingan masyarakat dari kepentingankepentingan tertentu. Tujuannya yaitu untuk meminimalisir masyarakat yang memiliki potensi
besar untuk menjadi korban konvergensi media, khususnya generasi muda yang dianggap
memiliki akses terhadap media konvergen dan rancunya batasan seberapa jauh isi media
konvergen dianggap melanggar norma yang berlaku.
Namun, yang menarik ialah bahwa teknologi selalu mendahului regulasi. Bagaimana
caranya mengontrol semua ini? Yang dianggap paling berwenang ialah negara karena negara
dianggap penyeimbang antara pasar dan masyarakat. Di sisi lain negara mempunyai wewenang
untuk menjaga efektifnya sebuah regulasi. Secara ideal hubungan antara negara, pasar, dan
masyarakat seharusnya berjalan seimbang. Jangan sampai salah satu pihak mendominasi dan
masyarakat hanya bisa menerima informasi apa yang diberikan media.
Saran Saran
1. KPI perlu meningkatkan kapasitas pemantauan agar lebih maksimal dalam memantau siaransiaran di media penyiaran.
2. KPI diharapkan lebih konsisten dan tegas dalam menegakkan rambu-rambu dalam P3SPS yang
telah direvisi.
3. Media penyiaran mesti lebih mengetatkan penegakan etika penyiaran agar lebih profesional
dalam menyajikan tayangan di stasiun-stasiun penyiaran.
4. Masyarakat diharapkan lebih bersikap selektif dalam memilih tayangan atau siaran karena
berkaitan dengan jumlah rating suatu tayangan.

Membangun Tradisi Pengawasan Kolaboratif untuk Mendorong Terwujudnya


Media Penyiaran yang Sehat
Suhadah Suhadah
Abstract
Eksistensi media massa dalam konteks kehidupan sosial tidak diragukan lagi manfaatnya.
Namun tidak semua produk media massa berdimensi positif. Tuntutan ekonomi dan politik
sering kali
memaksa media massa untuk menampilkan dirinya sebagai corong politisi atau pemiliknya, dan
acap kali menjadi sales bagi pemilik modal. Nafsu ekonomi dan politik media massa yang
berlebihan akan
selalu mengorbankan kepentingan masyarakat yang nota bene menjadi intentitas yang
harus diakomodirnya, sesuai dengan tuntutan undang-undang pers dan undang-undang
penyiaran. Media penyiaran seperti radio dan televisi adalah dua jenis media massa yang
menggunakan frekuensi terbatas milik publik. Posisi inilah yang membuat publik memiliki hak
sah untuk mengontrol dan mengawasi kedua jenis media tersebut agar tidak melenceng dari
amanah undang-undang atau supaya mereka bisa diarahkan untuk memberi kontribusi bagi
kehidupan masyarakat. Mengontrol dan mengawasi media penyiaran bukan hal yang mudah.
Oleh karena itu dibutuhkan upaya serius dengan melibatkan semua kalangan. Secara struktural,
Komisi Penyiaran Indonesia Indonesia, termasuk yang ada di daerah (KPID) bisa menjalankan
peran pengawasan dengan tugas dan
wewenang yang telah diatur dalam undang-undang penyiaran. Tugas KPID tersebut
harus didukung oleh pengawasan masyarakat secara kultural dengan menjadikan masyarakat
sebagai konsumen media kritis yang bisa mengawal media penyiaran ke arah yang lebih baik.
Dua kekuatan pengawas media tersebut di atas akan lebih maksimal dan kontributif bila
dikolaborasikan saat melakukan pengawasan media penyiaran. Kolaborasi dalam arti saling
memperkuat dan saling
berkoordinasi, agar media penyiaran dapat diarahkan menjadi media yang kontributif
bagi kehidupan publik.

Gandeng Masyarakat Mendorong Hadirnya Siaran Sehat, KPI Bentuk Forum Masyarakat
Peduli Media Sehat (Format-Limas)
SuaraJakarta.co, Jakarta Sejumlah perwakilan organisasi masyarakat sepakat membentuk
Forum Masyarakat Peduli Media Sehat (Format-Limas) guna mendorong hadirnya tayangan
yang sehat dan mencerdaskan di dunia penyiaran. Kehadiran Format-Limas juga sebagai
kelompok penekan di masyarakat untuk menyeimbangkan penetrasi industri penyiaran yang
demikian marak, namun belum diikuti dengan kualitas yang baik. Hal tersebut disepakati dalam
acara Pembentukan Forum Masyarakat Peduli Siaran yang diselenggarakan oleh Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, siang tadi (20/11).
Dalam kesempatan tersebut hadir Komisioner KPI Pusat, Azimah Subagijo, Nina Muthmainnah,
dan Idy Muzayyad, serta Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kementrian

Komunikasi dan Informatika, Freddy H Tulung. Menurut Azimah, saat ini dibutuhkan kelompok
penekan yang efektif dari unsur masyarakat. Berkaca dari aduan yang masuk ke KPI pada bulan
Maret dan September 2012, partisipasi masyarakat yang melayangkan protes atas kasus
Indonesia Lawyers Club (ILC) di TV One dan kasus Rohis di Metro TV, mencapai 3.500 dan
29.000 aduan. Hal ini terbukti ampuh untuk memaksa lembaga penyiaran melakukan klarifikasi
serta meminta maaf atas tidak akuratnya isi siaran. Di sisi lain, atas aduan inipun, KPI telah
menjatuhkan sanksi administratif kepada dua stasiun televisi tersebut.
Dikatakan Azimah, Format-Limas diharapkan hadir sebagai kelompok penekan yang mampu
menjadi penyeimbang untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat untuk memperoleh muatan
media yang lebih mencerdaskan dan menyejahterakan, ketimbang sensasi dan hiburan belaka.
Selain itu, sebagai kelompok penekan, Format-Limas ini juga memberikan dorongan yang kuat
bagi lembaga penyiaran untuk mempertahankan siaran-siarannya yang berkualitas. Diakui
Azimah, sebenarnya lembaga penyiaranpun membutuhkan apresiasi atas tayangan yang positif.
Jadi bukan hanya protes atas tayangan yang buruk, ujarnya.
Sementara menurut Idy Muzayyad, kelompok penekan terhadap media saat ini tidak berbanding
lurus dengan maraknya lembaga penyiaran yang berudara di frekuensi di Indonesia. Belum lagi,
media penyiaran saat ini cenderung dikuasai oleh kepentingan-kepentingan ekonomi. Hal ini
yang menyebabkan fungsi media sebagai kontrol dan perekat sosial, pendidikan, informasi,
kebudayaan, ekonomi dan hiburan berjalan tidak seimbang. Kita berharap kehadiran FormatLimas akan menjadi kelompok penekan yang memiliki kekuatan besar untuk mengarahkan
media, terutama media penyiaran untuk menjalankan kembali misi kenabian, tutur Idy. Ke
depan, harus tidak ada lagi tayangan dengan materi yang penuh penyimpangan. Karena lembaga
penyiaran sudah tahu ada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (PS & SPS)
sebagai acuan. Idy pun meyakini, bahwa Format-Limas ini selain bertujuan menyelamatkan
media agar tetap pada jalur profetik, juga untuk menyelamatkan karakter dan watak bangsa.
Ikut serta dalam Format-Limas ini diantaranya perwakilan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI),
Muhammadiyah, Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BKOIWI), Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Yayasan Pengembangan Media Anak
(YPMA), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim
Indonesia (KAMMI), Forum Rohis Nusantara (FORNUSA), Ikatan Sarjana Komunikasi
Indonesia (ISKI), Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), Parisada Hindu Dharma Indonesia
(PHDI), Hikmah Budi, Forum Indonesia Muda (FIM), dan Gemaku Matakin
Kontak:
Azimah Subagijo: 08129269286
Komisioner KPI Pusat
Daftar Lembaga yang ikut Pembentukan Forum Masyarakat Peduli Siaran
1. Majelis Ulama Indonesi (MUI)
2. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
3. Muhammadiyah
4. Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI)
5. Perhimpunan Filantropi Indonesia & PIRAC

6. Ikatan Rohis Jakarta (IROJA)


7. Forum Rohis Nusantara (FORNUSA)
8. Perhimpunan Filantropi Indonesia (PFI)
9. TP. PKK Pusat
10. Perhimpunan Masyarakat Tolak Pornografi
11. Universitas Nasional
12. Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI)
13. Kongres Wanita Indonesia (KOWANI)
14. Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) Kidia
15. Komisi Perlindungan Anak Indonesia
16. Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU)
17. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)
18. Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)
19. Remotivi
20. Ikatan Mahasiswa Komunikasi Indonesia (IMIKI)
21. Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU)
22. Universitas Pelita Harapan
23. Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia (HikmahBudhi)
24. Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI)
25. Pr2Media
26. Aliansi Selamatkan Anak (ASA) Indonesia
27. Forum Komunikasi Dai Muda Indonesia (FKDMI)
28. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
29. Universitas Paramadina
30. Forum Indonesia Muda
31. Ilmu Komunikasi Paramadina
32. Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia
33. GEMAKU MATAKIN

34. Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia


35. IISIP Jakarta
36. Media Cinta Anak

Menciptakan Penyiaran yang Sehat dan Bermanfaat

Diterbitkan pada Rabu, 19 Jun 2013 17:50

Ditulis oleh RG
Dilihat: 2089
Komisioner KPI Pusat, Idy Muzayyad, didampingi moderator Irvan Sendjaja.
Jakarta Menciptakan penyiaran yang sehat dan bermanfaat adalah cita-cita besar Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI). Menggapai harapan tersebut tidak mudah karena banyak hal yang
harus dibenahi dan dibuat dan itu tentunya tidak hanya oleh KPI sendiri.
Anggota KPI Pusat, Idy Muzayyad menilai, ada tiga aspek yang bisa mengarahkan tujuan
tersebut sesuai harapan yakni pada level regulasi, level produksi dan level konsumsi.
Menurutnya, dalam tiga level tersebut terdapat hal-hal yang berkaitan erat dengan tujuan dan
cita-cita untuk menciptakan penyiaran yang sehat dan bermanafaat.

Saat ini, di level regulasi, posisi KPI dalam UU Penyiaran tahun 2002 tidak sebagai pemain
utama karena ada regulator lain yang diberikan otoritas dalam menjalankan UU tersebut.
Malahan, kata Idy, ada wacana yang menginginkan peran KPI makin sempit dalam perubahan
UU Penyiaran yang saat ini sedang berjalan.
Di level produksi, KPI bukanlah lembaga seperti lembaga sensor film atau LSF yang bisa
melakukan sensor terhadap isi siaran lembaga penyiaran. Namun demikian, isi siaran yang tidak
pantas dapat diminimalisir dengan upaya bahwa setiap lembaga penyiaran wajib memiliki sensor
internal atau internal sensorship. Kita bisa mencegah itu karena kita mencantumkan pasal soal
sensor internal dalam P3 dan SPS, jelas Idy di depan peserta Pelatihan Pemantauan Isi Siaran di
Hotel Grand Mercure, Rabu, 19 Juni 2013.
Selanjutnya pada level konsumsi. Menurut Idy, usaha yang patut dilakukan untuk dapat
mencapai cita-cita tersebut adalah dengan terus memberi pendidikan atau literasi media pada
masyarakat. Upaya ini dinilai mampu mengangkat selera publik menonton atau memilih
tayangan yang baik dan bermanfaat buat mereka. Jika kondisi ini tercipta dengan sendiri isi
siaran akan menyesuaikan dengan selera pasar yang sudah baik tersebut.
Kita berusaha meningkatkan selera publik yang pintar dan cerdas. Bagusnya di level
masyarakat sudah mulai timbul kesadaran seperti soal menetapkan waktu belajar dan melarang
anak hanya menonton televise, kata Idy.
Dalam kesempatan itu, Idy juga memaparkan beberapa hal mengenai tayangan pemilu dan
agama. Hal yang penting dalam tayangan agama adalah isi siaran tidak boleh mempertentangkan
antar agama.

Izin penyelenggaraan penyiaran 10 stasiun televisi swasta berjaringan habis tahun ini (RCTI, SCTV,
MNC TV, Indosiar, ANTV, Trans TV, Trans 7, TV One, Global TV dan Metro TV).
KPI memberikan rekomendasi kelayakan perpanjangan izin dengan komitmen khusus dari masingmasing stasiun televisi. Izin penyiaran dikeluarkan dan ditandatangani oleh Menkominfo.

KPI meminta komitmen dari 10 televisi untuk meningkatkan kualitas tayangannya.

Read more
13 Oktober 2016

Jelang Perpanjangan Izin TV, KPI Minta LP Komitmen Perubahan Layar


Kaca

Written by
Jakarta - Proses perpanjangan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) 10 (sepuluh) televisi
swasta berjaringan secara nasional (RCTI, SCTV, MNC TV, Indosiar, ANTV, Trans TV, Trans 7,
Metro TV, TV One dan Global TV) hampir selesai. Dalam proses perpanjangan izin tersebut,
KPI meminta komitmen dari 10 televisi untuk meningkatkan kualitas tayangannya. Ketua KPI
Yuliandre Darwis mengatakan, ke-sepuluh televisi tersebut bahkan telah menandatangani surat
pernyataan komitmen, pada 9 Oktober lalu.. Adapun surat pernyataan komitmen itu adalah:
1. Sanggup untuk melaksanakan seluruh ketentuan yang terdapat dalam Pedoman Perilaku
Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) dan kebijakan KPI sesuai dengan ketentuan
peraturan
perundang-undangan,
2. Sanggup untuk menjalankan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan serta
kontrol dan perekat sosial dalam rangka membangun karakter bangsa,
3. Sanggup untuk menjaga independensi dan keberimbangan isi siaran program Jurnalistik,
tidak dipengaruhi oleh pihak eksternal maupun internal termasuk pemodal atau pemilik lembaga
penyiaran,
4. Sanggup untuk menjaga independensi dan keberimbangan terkait dengan penyelenggaraan
Pemilihan
Umum,
meliputi:
a.
Pemilihan
pimpinan
kepala
daerah;
b.
Pemilihan
anggota
legislatif
tingkat
daerah
dan
pusat;
c.
Pemilihan
Presiden
dan
Wakil
Presiden
d. Kegiatan peserta Pemilihan Umum (Pemilu) dalam rangka meyakinkan para pemilih dengan
menawarkan
visi,
misi
dan
program
peserta
Pemilu;
dan
e. Pemberitaan dan penyiaran yang berbentuk penyampaian pesan-pesan kampanye oleh partai
politik kepada masyarakat melalui lembaga penyiaran secara berulang-ulang.
5. Sanggup melaksanakan penayangan yang menghormati ranah privat dan pro justicia yang
mengedepankan asas praduga tak bersalah secara proporsional dan professional
6. Sanggup untuk memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus,
antara lain berupa penggunaan bahasa isyarat dalam program siaran berita.
7. Bersedia untuk dilakukan evaluasi setiap tahun terhadap seluruh pelaksanaan komitmen dan
bersedia untuk menyampaikan informasi yang dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan evaluasi
sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan.
Yuliandre mengingatkan bahwa KPI dan Kementerian Komunikasi dan Informatika tengah
menyiapkan perangkat hukum serta mekanisme evaluasi tahunan terhadap penyelenggaraan
penyiaran. Dirinya berharap, pengelola televisi menyadari betul tujuan diselenggarakan
penyiaran sebagaimana yang disebutkan oleh Undang-Undang Penyiaran. Termasuk dengan
menempatkan enam fungsi penyiaran secara proporsional, demi menghadirkan muatan siaran
yang sehat dan mencerdaskan masyarakat, pungkasnya.

Read more

Membangun Penyiaran yang Mencerdaskan Butuh Keterlibatan Semua


Pihak
Makassar Fenomena yang terjadi di masyarakat saat ini seperti gaya hidup konsumerisme dan
hedonisme, dikhawatirkan menjadi kebiasaan hingga mengubah karakter bangsa Indonesia yang
ketimuran. Hal ini ikut diperkeruh dengan maraknya tayangan yang tidak memberi pesan
mendidik dan mencerdaskan.
Ketua KPI Pusat Yuliandre Darwis mengatakan, fenomena ini harus dicegah agar tidak semakin
parah. Salah satu upayanya melalui perbaikan konten tayangan televisi agar mencerdaskan.
Menurut Andre, panggilan akrab Ketua KPI Pusat, semua pihak harus terlibat menciptakan upaya
perbaikan tersebut. Kalangan industri, akademisi, dan regulator bahu membahu melakukan
perbaikan sesuai dengan kapasitas dan fungsinya. Selain itu, masyarakat harus di literasi agar
dapat memilih mana tontonan yang baik dan aman bagi mereka.
Harus ada draft bersama untuk mendukung terciptanya penyiaran yang cerdas dan ini
melibatkan semua elemen masyarakat yang ada. Semua media perlu memberikan konten yang
baik dan masyarakat perlu cerdas dan regulator juga bisa menjaga tatanan regulasi yang baik
untuk membungkus semuanya agar tercipta media penyiaran yang mencerdaskan, papar
Yuliandre di sela-sela Media Forum yang diselenggarakan IBRAF dan ISKI bertempat di Hotel
Arya Duta, Makassar, 11 Oktober 2016.
Hal senada juga disampaikan Komisioner KPI Pusat Dewi Setyarini. Menurutnya, semua
stakeholder harus bersatu mewujudkan penyiaran yang mencerdaskan. Stakeholder yang
dimaksud Dewi yakni KPI, lembaga penyiaran, akademisi serta masyarakat. Semua pihak
memiliki tanggung jawab guna mewujdkan penyiaran yang mencerdaskan sesuai porsinya
masing-masing, katanya.
Sementara itu, di tempat yang sama, Rektor Universita Andalas (Unand) Sumatera Barat, Prof.
Tafdil Husni mengapresiasi survey indeks kualitas siaran televisi yang dilakukan oleh KPI
beberapa waktu lalu. Survey tersebut dinilainya tepat karena menggandeng akademisi dari
berbagai perguruan tinggi di Indonesia untuk mengetahui tingkat kualitas siaran televisi di
Indonesia. KPI sebagai regulator bersama dengan akademisi memiliki tanggungjawab sama
yang sama dalam memberikan edukasi yang berdasarkan nilai-nilai ketuhanan, imbuhnya.
Komisioner KPI Pusat, Obsatar Sinaga mengatakan, survey yang dilakukan oleh KPI bukan
bermaksud untuk menyaingi lembaga rating yang sudah ada. Lembaga survey yang sudah ada
memiliki instrumen penelitian sendiri sejak tahun 1976 dan itu berbeda dengan apa yang
dilakukan KPI.
Namun harapan dari hasil survey yang dilakukan KPI dapat menjadi cermin semua pihak untuk
berkaca tentang kondisi permasalahan penyiaran yang ada saat ini. Contohnya hasil survey
menunjukan infotainmen dan sinetron buruk, apakah kemudian ini akan ditayangkan oleh TV, ini
mesti duduk bersama antara dunia penyiaran dengan regulator, tambahnya.
Pada kesempatan yang sama, Hardly Stefano, Koordinator bidang Isi Siaran KPI Pusat menilai
upaya pihaknya dalam memperbaiki kualitas siaran televisi tak hanya mengandalkan surat
teguran semata tapi juga pembinaan.

Teguran tetap berjalan ketika ditemukan sebuah pelanggaran karena itu aturan yang ada, tapi ke
depannya teguran tersebut akan diiringi dengan pembinaan kepada pihak terkait supaya hal ini
dapat mewujudkan siaran yang lebih mencerdaskan, paparnya.
Read more

KPI Desak DPR Sahkan RUU Penyiaran

Written by
Makassar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengaku kesulitan menindaki siaran televisi
maupun radio yang melanggar. Hal itu dikarenakan hingga saat ini revisi undang-undang
penyiaran belum disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Komisioner KPI Pusat Ubaidillah mengatakan, selama ini pihaknya hanya berpegang pada
Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) dalam mengawasi isi siaran
baik Televisi maupun radio. Sementara banyak aturan di P3SPS tidak memiliki payung hukum.
Misalnya terkait siaran Pemilu, Pilkada serta owner media yang memiliki Partai Politik.
Dengan adanya undang-undang baru yang disahkan KPI ke depan bisa lebih tegas untuk
menegur Lembaga Penyiaran, ujar Ubaidillah saat ditemui di sela-sela konferensi Ikatan Sarjana
Komunikasi Indonesia (ISKI) di Makassar, Kamis (13/10/2016).
Ubaidillah menyebutkan, tayangan yang melanggar antara lain bermuatan politik, infotainment
sinetron dan tayangan tidak berimbang. Khusus untuk siaran dengan muatan politik, lanjut
Ubadillah, pihaknya menggandeng Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawasan
Pemilu (Bawaslu) untuk menjaga independensi Lembaga Penyiaran. Olehnya itu, pihaknya
mendesak DPR segera menyelesaikan revisi RUU penyiaran agar dapat mengeluarkan sanksi
keras. (Pojoksulsel.com)
Read more
12 Oktober 2016

Media, Frekuensi Publik dan Pilkada

Written by
Oleh Yuliandre Darwis, Ph.D
(Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Pusat)

Seperti air, tanah, dan udara, spektrum frekuensi merupakan kekayaan sebuah bangsa. UndangUndang Penyiaran No. 32 Tahun 2002 dalam mukadimahnya menuliskan bahwa frekuensi
merupakan sumber daya alam terbatas dan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi

oleh

negara

dan

dipergunakan

untuk

sebesar-besarnya

kemakmuran

rakyat.

Agar penggunaan dari frekuensi berlangsung adil dan bermanfaat bagi publik, maka
diperlukanlah sebuah badan yang bersifat independen untuk mengatur dan mengawasi
penggunaannya. Di sinilah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) diberi kewenangan oleh UU
Penyiaran sebagai lembaga negara independen untuk mewakili publik dalam mengurus
penyiaran. Singkatnya, publik berhak menggunakan, menikmati, dan mendapatkan manfaat dari
frekuensi, baik yang dikelola oleh diri atau komunitasnya sendiri maupun perusahaan yang
bersifat
komersial
Beberapa waktu ke depan bangsa ini menggelar hajatan pesta demokrasi; pemilihan kepala
daerah (pilkada) serentak di sejumlah provinsi, kota, dan kabupaten di Indonesia. Saat momen
politik itu, peran penting media menarik dibicarakan. Pilkada merupakan saat bersejarah bagi
rakyat negeri ini yang membutuhkan kontribusi nyata insan media. Apa dan bagaimana media
memberi sumbangsih dalam proses pilkada dengan berpegang pada prinsip-prinsip independensi,
netralitas jurnalis maupun institusi media serta keberpihakannya pada kepentingan publik
merupakan
sesuatu
yang
ditunggu-tunggu
publik.
Pilkada serentak pada 15 Februari 2017 di 7 Provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten di Indonesia
tidak dimaknai dengan dangkal. Artinya, dalam bangunan pemikiran realitas politik kontemporer,
pilkada tidak dipahami sebagai proses suksesi kepemimpinan daerah maupun sirkulasi elit dalam
bahasa kekuasaan modern. Pilkada bukan ajang bagi-bagi kursi antar elit politik, apalagi sebagai
sarana politik uang (money politik) untuk meraih dukungan massa sebagai jalan memperoleh
kekuasaan. Penulis pikir pragmatisme politik tersebut perlu diluruskan dengan peran kontrol
dimainkan
media
terutama
media
penyiaran
seperti
televisi
dan
radio.
Publik tentu memiliki ekspektasi tinggi pada media agar dapat mengambil langkah strategis
dalam melakukan kontrol terhadap realitas politik pilkada sekaligus memberi penekanan pada
berbagai agenda utamanya dalam proses pilkada. Misalnya media sebagai sarana penyebaran
informasi pendidikan politik yang bermartabat pada publik. Kebutuhan publik pada informasi
politik yang edukatif dibutuhkan ketika pilkada. Karena bukan tidak mungkin informasi media
menjadi referensi pendidikan politik maupun peningkatan partisipasi pemilih dalam pilkada.
Dalam teori agenda setting dikemukan Maxwell McCombs dan Donal L. Shaw (1968) berasumsi
bahwa media memiliki kekuatan untuk mentransfer isu untuk mempengaruhi agenda publik.
Dengan perkataan lain, publik akan menyikapi isu tersebut karena dianggap penting sebab media
menganggap
penting
isu
itu.
Situasi psikologis maupun sosiologis masyarakat tersebut diharapkan berjalan beriringan dengan
agenda media dalam konteks penyebaran informasi pendidikan politik pada khalayak. Apalagi
kita tahu eksistensi media khususnya media penyiaran tidak hanya menjalan fungsi media
sebagaimana dikatakan di atas tetapi juga menjadi mitra strategis dengan penyelenggara pilkada
dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk penyebaran informasi pilkada yang benar.
Jika kita cermat mengamati, Peraturan KPU No 7 tahun 2015, tentang Kampanye Pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota
peraturan KPU itu menyediakan ruang istimewa pada media dalam melakukan penyebaran
informasi maupun pendidikan politik pilkada melalui iklan, pemberitaan, dan penyiaran.
Hal itu bahkan ditegaskan dalam PKPU No 7/2015 khususnya Pasal 32 tentang iklan kampanye
di media massa dan Pasal 52 tentang pemberitaan dan penyiaran kampanye. Namun begitu media
massa cetak, media massa elektronik dan lembaga penyiaran yang menyediakan rubrik khusus

untuk pemberitaan kegiatan Kampanye harus berlaku adil dan berimbang kepada seluruh
Pasangan
Calon
(Pasal
54
PKPU
No.7/2015)
Dengan menggunakan frekuensi publik, media penyiaran sudah seharusnya menjadi rujukan
utama bagi masyarakat mengenai kepemiluan meliputi tahapan pilkada, kegiatan atau aktivitas
kampanye, pengaturan, pengawasan terhadap pilkada, dan bahkan yang tidak kalah penting
adalah
memberi
pendidikan
dan
menanamkan
etika
politik
pada
publik.
Pendidikan politik bukan hanya tugas partai politik. Media massa memainkan peran signifikan di
sini. Tentu, dalam hal ini pendidikan politik cerdas dan bermartabat bagi publik diberikan media.
Media mendorong publik menjadi pemilih rasional bukan pemilih seperti memilih kucing dalam
karung. Dengan tanpa pertimbangan matang pemilih mencoblos pimpinan daerahnya. Ini tentu
jangan
sampai
terjadi.
Masyarakat didorong melampaui kesadaran konvensional bahwa pilkada bukan semata urusan
seremonial dengan menggugurkan kewajiban warga negara setelah masuk bilik suara dengan
mencoblos. Konsolidasi demokrasi ditingkatkan dari prosedural administratif ke arah praktik
demokrasi yang subtantif dalam wujud penguatan partisipasi pemilih rasional contohnya.
Melakukan pengawasan terhadap jalannya proses pilkada. Agenda ini dijadikan skala prioritas
media
di
pilkada.
Berbagai peran fundamental media dalam pilkada merupakan harapan publik dan bangsa ini.
Sebab eksistensi maupun peran media amatlah berpengaruh dalam kehidupan publik. Alexis
S.Tan (1981), menyebutkan media massa merupakan suatu organisasi sosial yang mampu
memproduksi pesan dan mengirimkannya secara simultan kepada sejumlah besar masyarakat
yang
secara
spasial
terpisah.
Itulah sebabnya kita semua berharap peran penting dijalankan media tersebut direalisasikan
dalam konteks realitas politik pilkada. Pesta demokrasi yang mengedepankan praktik politik
yang akuntabel, luber, jurdil, penyelenggara pemilu yang kredibel, pemilu damai tanpa
kekerasan. Pilkada yang dapat meningkatkan partisipasi pemilih yang tinggi secara kuantitatif
maupun kualitatif, serta yang penting juga dari proses pilkada adalah lahirnya pemimpin yang
sungguh-sungguh membela kepentingan rakyat.
==========
Tulisan

ini

dimuat

di

Koran

Sindo,

Senin

26

September

2016.

Abaikan Imbauan KPI Pusat soal Liputan Sidang dan Program Kasus
Mirna, TV One, Kompas TV dan I-News TV Kena Peringatan
Jakarta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat memutuskan memberi peringatan kepada TV
One, Kompas TV dan I-News terkait peliputan persidangan maupun program lain yang
bersangkutan dengan kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin dengan terdakwa Jessica Kumala
Wongso, Selasa, 11 Oktober 2016. Peringatan ini diberikan lantaran TVOne, Kompas TV dan INews TV tidak melakukan upaya perbaikan pada pemberitaan kasus tersebut sesuai surat
imbauan KPI No. 636/K/KPI/08/16 tanggal 12 Agustus 2016.

Menurut penjelasan KPI Pusat dalam surat peringatan yang ditandatangani Ketua KPI Pusat
Yuliandre Darwis bahwa kesimpulan tidak adanya perubahan didasarkan pengaduan masyarakat
yang disampaikan melalui saluran komunikasi KPI Pusat.
Sepanjang bulan Agustus dan September 2016, KPI Pusat telah menerima 114 (seratus empat
belas) pengaduan yang berkenaan dengan kasus tersebut. Adapun perinciannya antara lain 30
(tiga puluh) aduan melalui surat elektronik (e-mail), 75 (tujuh puluh lima) aduan melalui Twitter,
6 (enam) aduan melalui pesan pendek (SMS), dan 3 (tiga) aduan melalui Facebook KPI.
Pengaduan antara lain menyangkut durasi penayangan yang terlalu lama sehingga mengurangi
kesempatan pemirsa untuk memperoleh ragam informasi lain, mempertanyakan manfaat berita
itu bagi pemirsa, muatan ungkapan dan kata-kata kasar/tidak sopan, judul berita yang tendensius,
penggambaran detail sianida yang dapat ditafsirkan menjadi tutorial pembunuhan, juga dampak
berita itu bagi perkembangan jiwa anak dan remaja.
Setelah memperhatikan pengaduan masyarakat, KPI Pusat juga melakukan verifikasi melalui
rekaman hasil pemantauan. Berdasarkan hal itulah, KPI Pusat memberikan peringatan supaya
lembaga penyiaran yang bersangkutan dapat segera menindaklanjuti aduan masyarakat tersebut
dan melaksanakan isi Imbauan KPI Pusat dengan memperbaiki dan lebih membatasi porsi
pemberitaan kasus tersebut.***
Read more
11 Oktober 2016

Peringatan Tertulis untuk TV One, Kompas TV dan I-News TV terkait


Program Liputan atau Program Lain Mengenai Kasus Pembunuhan
Wayan Wirna

Written by
Tgl Surat

11 Oktober 2016
885/K/KPI/10/16

No. Surat

Peringatan Tertulis
Status

TV One, Kompas TV dan I-News TV


Stasiun TV

Program Siaran

Liputan persidangan maupun program


siaran lain berkaitan dengan kasus
pembunuhan Wayan Mirna Salihin dengan
terdakwa Jessica Kumala Wongso

Deskripsi
Pelanggaran

Menindaklanjuti imbauan Komisi Penyiaran


Indonesia Pusat (KPI Pusat) yang
disampaikan melalui surat No.
636/K/KPI/08/16 tanggal 12 Agustus 2016,
mengenai liputan persidangan maupun
program siaran lain yang berkaitan dengan
kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin
dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso,
sampai saat ini kami belum menemukan upaya
perbaikan pada pemberitaan kasus tersebut
sesuai dengan imbauan KPI. Kesimpulan
tersebut kami buat berdasarkan pengaduan
masyarakat yang disampaikan melalui saluran
komunikasi kami.
Sepanjang bulan Agustus dan September
2016, kami telah menerima 114 (seratus empat
belas) pengaduan yang berkenaan dengan
kasus tersebut. Adapun perinciannya antara
lain 30 (tiga puluh) aduan melalui surat
elektronik (e-mail), 75 (tujuh puluh lima)
aduan melalui Twitter, 6 (enam) aduan melalui
pesan pendek (SMS), dan 3 (tiga) aduan
melalui Facebook KPI.
Pengaduan antara lain menyangkut durasi
penayangan yang terlalu lama sehingga
mengurangi kesempatan pemirsa untuk
memperoleh ragam informasi lain,
mempertanyakan manfaat berita itu bagi
pemirsa, muatan ungkapan dan kata-kata
kasar/tidak sopan, judul berita yang
tendensius, penggambaran detail sianida yang
dapat ditafsirkan menjadi tutorial
pembunuhan, juga dampak berita itu bagi
perkembangan jiwa anak dan remaja.
Setelah memperhatikan pengaduan
masyarakat yang diterima dan melakukan
verifikasi melalui rekaman hasil pemantauan,
maka KPI Pusat memberikan peringatan agar
lembaga penyiaran yang Bapak/Ibu pimpin
dapat segera menindaklanjuti aduan
masyarakat tersebut dan melaksanakan isi
Imbauan KPI Pusat dengan memperbaiki dan
lebih membatasi porsi pemberitaan kasus
tersebut.

Demikian agar peringatan terkait tindak lanjut


Imbauan ini diperhatikan dan dipatuhi. Terima
kasih.

Evaluasi Izin Secara Berkala Jadi Solusi Perbaikan Kualitas Televisi


Jakarta - Komisi I DPR RI memberikan kritisi atas evaluasi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
terhadap 10 (sepuluh) televisi swasta yang mengajukan perpanjangan Izin Penyelenggaraan
Penyiaran (IPP). Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi I DPR RI dengan KPI dan
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) tersebut, diperoleh kesimpulan
bahwa Rekomendasi Kelayakan (RK) yang dikeluarkan KPI tersebut tidak cukup didukung data
yang kuat dan konsisten, serta menggunakan penilaian yang belum sepenuhnya obyektif, dan
belum secara optimal memperhatikan masukan dari masyarakat.
Beberapa catatan disampaikan Komisi I dalam RDP tersebut, termasuk meminta KPI dan
Kemenkominfo menyiapkan sistem evaluasi dan penilaian tahunan yang dilengkapi dokumentasi
data yang akurat. Hal ini sebagai langkah yang mengiringi rencana Menteri Kominfo yang akan
membuat peraturan tentang evaluasi penyelenggaraan penyiaran secara berkala setiap tahun
Ketua KPI Pusat Yuliandre Darwis menghargai masukan yang disampaikan anggota dewan
tersebut. Bahkan KPI juga mengapresiasi usulan dibuatnya sistem evaluasi dan penilaian
tahunan. Menurutnya, dengan adanya sistem evaluasi dan penilaian ini akan memudahkan KPI,
termasuk KPID, dalam mengawasi penyelenggaraan penyiaran oleh para pengelola televisi dan
radio.
Tentu dengan dibangunnya sistem evaluasi tersebut, akan ada standarisasi evaluasi, tidak saja
pada televisi-televisi yang berjaringan tapi juga pada tv lokal dan juga radio, ujarnya. Dengan
demikian, RK yang dikeluarkan oleh KPI untuk perpanjangan izin, didasari oleh penilaian yang
shahih dan dapat dipertanggungjawabkan secara data.
Terkait evaluasi perpanjangan IPP ini, Wakil Ketua Komisi I, Meutiya Hafidz yang memimpin
rapat mengatakan dirinya mengapresiasi inisiatif pihak-pihak swasta dalam menjalankan bisnis
penyiaran, dan tumbuh menjadi industri yang demikian besar. Industri penyiaran harus terus
jalan, ujar Meutiya. Namun Komisi I DPR mempunyai tanggung jawab menjaga agar ruang
publik ini tidak diperlakuan semena-mena oleh pengelola lembaga penyiaran.
Sementara Menteri Kominfo Rudiantara yang juga hadir dalam RDP memaparkan insiatif
melakukan evaluasi tahunan pada seluruh pemegang IPP. PIhaknya tengah menyiapkan payung
hukum atas evaluasi tahunan tersebut, yakni berupa peraturan menteri. Akan kami keluarkan
sesegera mungkin, ujarnya. Diantara hal yang akan diatur adalah pelaporan penyelenggaraan
penyiaran secara regular. Kita kan selama ini tidak pernah secara berkala meminta laporan
tersebut, ujar Rudi.
Dirinya menilai beberapa masalah yang dihadapi dalam proses perpanjanganJk IPP ini
diantaranya karena tidak ada record yang memadai. Ditambah lagi, masa bakti KPI yang hanya 3
(tiga) tahun, tapi harus menilai penyelenggaraan penyiaran selama 10 (sepuluh) tahun, tambah
Rudi.

Yuliandre sendiri menyambut baik rencana Kemenkominfo untuk membuat Permen Kominfo.
Dirinya optimis, kombinasi antara Permen Kominfo tentang evaluasi berkala dan sistem evaluasi
dan penilaian bagi penyelenggaraan penyiaran, akan memaksa pengelola televisi untuk
menjadikan televisinya selalu sesuai dengan regulasi yang berlaku tentang konten siaran.
Read more
10 Oktober 2016

Eksistensi KPI dan KPI Daerah untuk Menjaga Generasi Mendatang


Bekasi - Satu di antara kewajiban Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), adalah menjaga dan
menjadikan penyiaran Indonesia agar cerdas, sehat dan bermanfaat. Hal tersebut sejalan dengan
semangat Nawacita pemerintah yakni revolusi mental bangsa. Seluruh capaian revolusi mental
tersebut tentunya tidak dapat diukur hanya dengan kasat mata. Hal itu disampaikan Prof.
Obsatar Sinaga, Komisioner KPI Pusat koordinator bidang kelembagaan dalam sambutan
pembukaan Rapat Pimpinan KPI tahun 2016, (6/10).
Menurut Obsatar, ketika KPI berhasil menjaga karakter anak bangsa dari tayangan kekerasan,
mistik, asusila dan lain-lain, tidak akan ada reward apapun yang diberikan. Tapi ketika sejumlah
tayangan pemerkosaan yang dilakukan anak-anak di bawa usia dewasa dan mereka mengaku
akibat menonton tayangan tidak senonoh, maka buru-buru KPI dan KPID lah yang disalahkan,
ujarnya.
Padahal, lanjut Obsatar, secara kelembagaan sedang ada masalah yang cukup serius terkait
dengan eksistensi KPI di Daerah.Menurutnya, secara lembaga keberadaan KPI Daerah makin
tidak jelas dalam hirarkis pemerintahan daerah. Kondisi diakibatkan hadirnya Peraturan
Pemerintah nomor 18 tahun 2016 yang menggugurkan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor
19 tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Komisi Penyiaran
Indonesia Daerah. Padahal dalam Permendagri tersebut, KPID mendapatkan kedudukan yang
terhormat dalam struktur pemerintahan daerah, tegasnya.
Sebagai Ketua Pelaksana Rapim KPI 2016, Obsatar menjelaskan bahwa Rapim kali ini akan
meminta Menteri Dalam Negeri membuat regulasi turunan dari peraturan pemerintah tadi, agar
dapat menempatkan kelembagaan KPID secara baik. Dirinya meyakini, dengan menempatkan
KPID dalam hirarki yang tepat, akan mendukung lembaga ini menjalankan tugas-tugas besarnya
secara optimal.
Tugas besar KPI dalam menjaga moral bangsa sejatinya sama dengan tugas seorang pemimpin.
Wujud hasilnya akan sulit diukur, namun baru dapat dirasakan oleh generasi sesudahnya.
Apalagi selama ini KPID kerap kali ditanyakan tentang kontribusinya pada pendapatan asli
daerah. Padahal keberadaan KPI dan KPID justru untuk mencegah munculnya beban-beban
biaya yang jauh lebih besar akibat merosotnya nilai-nilai moral di tengah masyarakat.
Read more
06 Oktober 2016

Rapim KPI 2016: Penguatan Kelembagaan KPI Dalam Mengawal


Penyelenggaraan Penyiaran

Bekasi - Rapat Pimpinan (Rapim) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tahun 2016 yang diselenggarakan
pada 5-7 Oktober 2016 membahas penguatan kelembagaan KPI sebagai realisasi dari undang-undang
nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran. Sebagai sebuah lembaga negara independen, undang-undang
penyiaran memandatkan keberadaan KPI dibantu oleh sebuah kesekretariatan baik di tingkat pusat untuk
KPI Pusat, dan kesekretariatan di tingkat provinsi untuk KPI Daerah. Sekretariat KPI ini, secara tegas
disebutkan bertugas memberikan fasilitasi KPI dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai regulator
penyiaran.

penguatan kelembagaan KPI Pusat dan KPI Daerah ini menjadi bahasan utama dalam Rapim
KPI 2016, guna mendorong pemerintah menyiapkan regulasi yang mendukung penguatan
tersebut. Menurut Ketua KPI Pusat Yuliandre Darwis, KPI berkepentingan untuk menjaga
keberadaan sekretariat KPI Daerah dalam bentuk Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).
Yuliandre menyampaikan, dalam regulasi terbaru saat ini, keberadaan sekretariat KPI Daerah
berpotensi dilebur atau digabung di dalam suatu kedinasan tertentu, yang menimbulkan implikasi
signifikan bagi keberlangsungan pelaksanaan fungsi dan tugas KPI di daerah. Padahal,
keberadaan KPI sendiri baik di tingkat pusat ataupun daerah, memiliki peran strategis dalam
pembangunan jiwa dan mental masyarakat Indonesia.
Masih dalam rangka penguatan kelembagaan KPI, Rapim KPI akan merumuskan rekomendasi
usulan lembaga atas revisi undang-undang penyiaran yang masih dibahas di Komisi I DPR RI.
Yuliandre berharap, dalam revisi undang-undang penyiaran dapat menghadirkan KPI sebagai
lembaga yang berintegritas dalam mengawasi penyelenggaraan penyiaran.
dibahas dalam Rapim KPI tahun 2016 ini adalah pengawasan penyiaran dalam momentum
Pemilihan Kepala Daerah secara langsung di tahun 2017. KPI berharap, sinergi yang baik antara
KPI, Komisi Pemilihan Umum (KPI) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dapat menciptakan
situasi yang kondusif dalam momen demokrasi tersebut.
Terkait perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) yang tengah ditangani, Yuliandre
mengatakan baik KPI dan Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sebagai
regulator penyiaran, maupun 10 (sepuluh) televisi swasta sebagai penyelenggara penyiaran, telah
berkomitmen menjaga frekwensi milik publik ini dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk
kemaslahatan bangsa.
Rapim KPI 2016 dihadiri oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dan Menteri Komunikasi
dan Informatika Rudiantara. Kedua menteri tersebut akan menjadi pembicara dalam Seminar
Utama tentang Penguatan Lembaga dengan Semangat Nawacita melalui Penyiaran, bersama
Wakil Ketua Komisi I DPR RI Meutiya Hafidz.
Manajemen Media Penyiaran
November 8, 2014trinatapardede Kuliah 1 Comment

ilustrasi internet
Mengelola bisnis penyiaran merupakan salah satu bisnis yang paling sulit dan paling mennatang
dibandingkan dengan jenis industri lainnya. Mengelola media penyiaran pada dasarnya adalah
mengelola manusia. Keberhasilnan media penyiaran sejatinya ditopang oleh kreativitas manusia
yang bekerja pada tiga pilar utama yang merupakan fungsi vital yag dimiliki olehh tiap media
penyiaran yaitu teknik, program, dan pemasaran.
Keberhasilan media penyiaran bergantung pada bagaimana kualitas orang-orang yang bekerja
pada ketiga bidang tersebut. Namun demikian, kualitas manusia saja tidak cukup jika tidak
disertai dengan kemampuan pimpinan media penyiaran yang bersangkutan mengelola sumber
daya manusia yang ada. Karena dengan alasan inilah manajemen yang baik mutlak diperlukan
pada media penyiaran.
Mengelola suatu media penyiaran memberikan tantangan yang tidak mudah kepada
pengelolanya, sebagaimana ditegaskan Peter Pringle (1993): Few management position offers
challenges equal to those of managing a commercial radio or television station (tidak banyak
posisi manajemen ang memberikan tantangan yang setara dengan mengelola suatu stasion radio
atau televisi lokal)[1]. Tangtangan yang harus dihadapi manajemen media penyiaran disebabkan
oleh dua hal
1. Sebagai perusahaan, media penyiaran dalam kegiatan operasionalnya harus dapat
memenuhi harapan pemilik dan pemegang saham untuk menjadi perusahaan yang sehat
dan mampu menghasilkan keuntungan.
2. Media penyiaran harus mampu memenuhi kepentingan masyarakat (komunitas) dimana
media bersangkutan berada, sebagai ketentuan yang harus dipenuhi ketika media
penyiaran bersangkutan menerima izin siaran (lisensi) yang diberikan negara.
Untuk seimbangkan antara memenuhi kepentingan pemilik dan kepentingan masyarakat
memberikan tantangan tersendiri pada pihak manajemen media penyiaran. Media penyiaran ada
dasarnya harus mampu melaksanakan berbagai fungsi, beriklan, hiburan, informasi dan
pelayanan. Untuk melakukan fungsi tersebut dalam memenuhi kepentingn pemasang iklan,
audien serta pemilik dan karyawan merupakan tantangan tersendiri bagi maanjemen.
Tantangan lainnya berasal dari berbagai media penyiaran yang ada. Berbagai stasiun radio dan
televisi saling bersaing secara langsung untuk dapatkan sebanyak mungkin pemasang iklan dan

audien. Selain itu, stasiun radio dan televisi harus bersaing dengan media massa lainnya seperti
televisi kabel, internet, VCD, dan DVD.
Fungsi Manajemen
Media penyiaran, manajer umum (general manajer) bertanggung jawab pada pemilik dan
pemegang saham dalam melaksanakan kondisi sumberdaya yang ada (manusia dan barang)
sedemikian rupa. Sehingga tujuan media peyiaran bersangkutan dapat tercapai. Manajer umum
pada dasarnya bertanggung jawab dalam setiapaspek operasional suatu stasiun penyiaran. Dalam
melaksanakan anggung jawab manejer, manajer umum melaksanakan 4 fungsi dasar yaitu :
1. Perencanaan (planning)
2. Pengorganisasian (organizing)
3. Pengarahan dan memberikan pengaruh (directing/influencing)
4. Pengawasan (controling)
Perencanaan
Kegiatan penentuan tujuan (objectives) media penyiaran serta mempersiapkan rencana dan
strategi yang akan digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam perencanaan harus
diputuskan apa yang harus dilakukan, kapan melakukannya, bagaimana melakukannya dan
siapa yang melakukannya. Jadi perencanaan adalah pemilihan sekumpulan kegiatan untuk
memutuskan apa yang harus dilakukan, kapan, bagaiaman, dan oleh siapa. Perencanaan yang
baik dapat dicapai dengan mempertimbangkan kondisi diwaktu yang akan datang dalam mana
perencanaan dan kegiatan diputuskan akan dilaksanakan, serta periode sekarang pada saat
rencana dibuat.
Pengelola stasiun penyiaran sering membuat kesalahan, yaitu memulai kegiatan dan membuat
keputusan tanpa menetapkan tujuan terlebih dahulu. Dalam menetapkan tujuan, pengelola media
penyiaran harus mengacu pada pernyataan visi (mission statements) oragnisasi atau perusahaan.
Pernyataan misi seolah memberikan attitude dan jiwa kepada perusahaan dalam berhubungan
dnegan karyawan, klien, masyarakat sekitar dan sebagainya. Pernyataan misi mencerminkan
sikap perusahaan terhadap peraturan pemerintah atau sikap perusahaan terhadap isu-isu
lingkungan.
Manajemen dapat menerapkan sejumlah tujuan melalui proses perencanaan. Tanpa rumusan
tujuan yang jelas, oragnisasi akan menggunakan sumber daya secara tidak efektif. Pada
umumnya, tujuan media penyiaran dapat dibagi edalam tiga hal yang terdiri atas tujuan ekonomi,
pelayanan dan personal.
Maksud penetapan tujuan pada media penyiaran adalah agar terdapat koordinasi dari berbagai
kegiatan yang dilakukan oleh departemen dan individu dengan tujuan utama media penyiaran.
Pada saat tujuan utama penyiaran diterapkan, maka tujuan dari berbagai departemen dan tujuan
personal yang bekerja pada departemen yang bersangkutan dapat direncakan da dikembangkan.
Tujuan individu harus memberikan kontribusinya pada encapaian tujuan departemen yang pada
gilirannya tujuan departemen harus sesuai dengan tujuan departemen lainnya dan juga tujuan
umum media penyiaran yang bersangkutan.

Pengorganisasian
Pengorganisasian merupakan proses penyusunan struktr organisasi yang sesuai dengan tujuan
organisasi, sumber daya yang dimiliki dan lingkungan yang melingkupinya. Dua aspek utama
proses penyususan struktur organisasi adalah departementalisasi dan pembagian kerja.
Departementalisasi merupakan pengelompokan kegiatan-kegiatan kerja suatu organisasi agar
kegiatan yang sejenis dan saling berhubungan dapat dikerjakan bersama.
Pembagian kerja adalah perincian tugas pekerjaan agar setiap individu dalam oragnisasi
bertanggung jawab untuk dan melaksanakan sekumpulan kegiatan yang terbatas. Kedua aspek ini
merupakan dasar proses pengorganisasian suatu organisasi utuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan secara efisien dan efektif.
Struktur organisasi stasiun penyiaran pada umumnya tidak memiliki standar yang baku. Bentuk
organisasi stasiun penyiaran berbeda-beda satu dengan lainnya, bahkan pada wilayah yang sama
tidak miliki struktur organisasi yang persis sama. Perbedaan biasanya disebabkan oleh skala
usaha atau besar kecilnya stasiun penyiaran.
Pada stasiun kecil atau menengah mungkin ada beberpa jabatan atau fungsi manajerial yang
dirangkap oleh satu orang. Misalnya, general manager yang bisa juga menjadi manajer
pemasaran, manajer program dapat juga menjadi manajer operasi, manajer operasi dapat juga
menjadi manajer teknik. Sementara untuk stasiun besar biasanya, ada posisi manjer senior untuk
setiap departemen. Namun demikian, menurut Willias dan Aldridge (1991) stasiun penyiaran
umumnya memiliki empat fungsi dasar (areas of operation) dalam struktur organisasinya yaitu :
1. Teknik
2. Program
3. Pemasaran
4. Administrasi
Fungsi pertama hingga ketiga tersebut menjadi pilar utama stasiun penyiaran. Sebagaimana
sebuah bangunan , maka ketiga fungsi tersebut merupakan tiang atau pilar yang menopang
bangunan stasiun penyiaran, jika salah satu tidak ada atau roboh, maka robohlah stasiun
penyiaran itu. dengan kata lain, tanpa ketiga tersebut tidak mungkin suatu stasiun penyiaran
dapat berdiri dan bertahan. Sedangkan fungsi administasi dalah fungsi pendukung guna
memperlancar tugas dari ketiga sebelumnya.
Pengawasan
Pengawasan merupakan proses untuk mengetahui pakah tujuan-tujuan organisasi atau
perusahaan sudah tercapai atau belum. Hal ini berkenaan dengan cara-cara membuat kegiatan
yang sesuai dengan apa yang direncanakan. Pengertian ini menunjukkan adanya hubungan yang
sangat erat antara perencanaan dan pengawasan. Pengawasan membantu penilaian apakah
perencanaan, pengorganisasian, penyusunan personalia, dang pengarahan telah dilaksanakan
secara efektif.
Defenisi pengawasan yang dikemukakan Robert J. Mockler (1972) dapat memperjelas unsurunsur esensial pengawasan. Menurut Mockler, pengawasan manajemen adalah suatu usaha
sistematik untuk menetapkan standar yang telah ditetapkan sebelumnya, menentukan dan
mengukur penyimpangan-penyimpangan serta mengambil tindakan koreksi yang diperlukan

untuk menjamin bahwa semua sumber daya perusahaan digunakan dengan cara paling efektif
dan efesien dalam pencapaian tujuan perusahaan.
Melalui perencanaan, stasiun penyiaran menetapkan rencana dan tujuan yang ingin dicapai.
Proses pengawasan dan evaluasi menentukan seberapa jauh suatu rencana dan tujuan sudah dapat
dicapai atau diwujudkan oleh stasiun penyiaran, departemn dan karyawan. Kegiatan evaluasi
secara periodik terhadap masing-masing individu dan departemen masing-masing dan
departemen memungkinkan manajer umum membandingkan kinerja sebenarnya dengan kinerja
yang direncanakan. Jika kedua kinerja tersebut tidak sama, maka diperlukan langkah-langkah
perbaikan.
Pengawasan harus dilakukan berdasarkan hasil kerja atau kinerja yang dapat di ukur agar fugsi
pengawasan dapat berjalan secara efektif. Misalnya, jumlah dan komposisi audien yang
menonton atau mendengarkan program stasiun penyiaran bersangkutan dapat diukur dan
diketahui melalui laporan riset rating. Jika jumlah audien yang tertarik dan mengikuti program
stasiun penyiaran bersangkutan lebih rendah dari yang ditargetkan, mak proses pengawasan
mencakup kegiatan pengenalan terhadap masalah dan memberikan pengarahanuntuk dilakukan
diskusi agar mendapatkan solusi. Hasil diskusi dapat berupa perubahan rencana misalnya revisi
yang lebih rendah dari ekspektasi sebelumnya, atau tidakan lainnya yang akan dilakukan untuk
dapat mencapai target semula.
Terget penjualan iklan stasiun penyiaran juga dapat diukur. Suatu analis mengungkapkan bahwa
target pendapatan yang diproyeksikan sebelumnya adalah tidak realistis dan karenanya
penyesuaian perlu dilakukan. Sebaliknya, jika hasil analisis mengungkapkan bahwa proyeksi
pendapatn itu dapat direalisasikan, maka diskusi harus diarahkan pada upaya untuk menambah
jumlah tenaga pemasaran, atau menyesuaikan tarif iklan (rate card) atau perubahan tingkat
komisi stasiun penyiaran kepada biro iklan. Dua konsepsi utama untuk mengukur prestasi kerja
(performance) manajemen stasiun penyiaran adalah efisiensi dan efektifitas.
Sumber : Morissan. Manajemen Media Penyiaran: Strategi Mengelola Radio & Televisi. Jakarta:
Kencana 2008, cetakan ke-1.

Anda mungkin juga menyukai