Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi dewasa ini, telah

mempengaruhi dunia penyiaran di Indonesia dan memunculkan fenomena

baru. Fenomena baru itu sendiri berupa bergabungnya media telekomunikasi

tradisional dengan internet sekaligus. Teknologi komunikasi dan informasi

baru (new media) lambat laun mengambil alih hampir semua kemampuan yang

dimiliki oleh media konvensional, bahkan pada titik tertentu new media

memberikan lebih dari apa yang bisa diberikan oleh media konvensional. Hal ini

menjadikan sebuah fenomena di mana teknologi komputer dan internet yang

bersifat interaktif membaur dengan teknologi media komunikasi konvensional

yang bersifat masif hal itu didasari semua karena kebebasan komunikasi dan

memperoleh informasi saat ini telah diberikan oleh pemerintah, sebagaimana yang

tercantum dalam Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945,”Setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk

mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak mencari,

memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi

dengan segala jenis saluran yang tersedia”. Teknologi dalam perkembangan arus

membantu mengubah pola komunikasi yang dibatasi oleh ruang dan waktu

menjadi pola kominikasi informasi tanpa batas. Dengan demikian, pada dasarnya

teknologi bersifat baik sehingga tidak mengherankan apabila terjadi perubahan

dari media massa tradisional menjadi media massa baru. Pada akhirnya media
1
baru dalam konteks teknologi dan globalisasi mengalami perubahan yang

sedemikian kompleks. Globalisasi menjadi salah satu faktor penting dalam

industri dan teknologi media komunikasi. Dalam wacana media komunikasi baru

muncul beberapa pertimbangan yang patut diperhatikan. Beberapa pertimbangan

itu adalah pemahaman masyarakat informasi dalam era digital, perkembangan

teknologi,media kontemporer, wacana industri media pada era informasi digital,

wacana ekonomi politk dalam konteks masyrakat komunikasi digital, dan

beberapan catatan etis – kritis menanggapi beberapa janji kemudahan sekaligus

ketidakpastian masa depan industri media digital modern.Masyarakat Indonesia

merupakan komunitas yang sangat haus akan informasi dan tidak ingin dikatakan

sebagai orang yang yang ketinggalan jaman karena ketinggalan informasi kearah

kebebasan yang hampir tindak terkendali. Perkembangan teknologi dan informasi

tersebut telah membawa implikasi terhadap dunia penyiaran, termasuk penyiaran

di Indonesia. Penyiaran sebagai penyalur informasi dan pembentuk pendapat

umum. Perannya semakin strategis terutama dalam mengembangkan alam

demokrasi di negara kita, penyiaran telah menjadi salah satu sarana

berkomunikasi bagi masyarakat, lembaga penyiaran, dunia bisnis dan pemerintah

ditambah nya dengan ada nya Undang – Undang No. 32 Tahun 2002 Tentang

Penyiaran dianggap oleh masyarakat membawa angin segar bagi industri

penyiaran,kelompok pemilik modal yang berkeinginan mengembangkan usaha

penyiaran. Sistem stasiun berjaringan yang dikembangkan membuka peluang

kerjasama antar stasiun televisi yang menjadi induk jaringan sebagai kordinator

penyiaran dengan stasiun televise local yang berfungsi sebagai anggota jaringan,

2
disamping itu system ini juga memberikan peluang bagi televisi lokal untuk lebih

maju dan berdaya saing tetapi tantangan globalisasi, kemajuan teknologi dan

tuntutan kebutuhan masyarakat yang makin meningkat untuk mendapatkan akses

informasi. Dengan berlakunya Undang –Undang No.32 Tahum 2002 Tentang

Penyiaran maka mengalami perubahan yang sangat berarti. Pertumbuhan

penyiaran radio dan televisi baik dikota maupun di daerah semakin meningkat hal

ini dikarenakan dengan diijinkannya penyelengagaraan penyiaran radio dan

televisi berjaringan atau lokal.1 Kasus yang terjadi yaitu usaha penyiaran televisi

perorangan dengan menggunakan parabola merek matrix sinyal dari satelit yang

ditangkap LNB (Low Noise Band) yang menempel di parabola, dialirkan melalui

kabel menuju Receiver kemudian dari Receiver masuk ke modulator masuk lagi

ke Coobiner lalu masuk ke boster setelah itu disalurkan melalui kabel ke para

pelanggan. Dari usaha penyiaran televisi perorangan menyiarkan kepada para

pelanggannya sama dengan siaran yang disiarkan pengusaha tv kabel

berlangganan yang memiliki badan hukum sebagai contoh canel-canel siarannya

antara lain : Golabal TV, SCTV, INDOSIAR, RCTI, MNCTV, METRO TV,

TRANS TV, TRANS 7, ANTV, TV ONE, JTV, R TV, FOX SPORT, BEIN

SPORT, HBO, JINGTV, SPACTOON, LOTUS, ASWAJA, SAUDI

SUNNAH;SAUDI QUR,AN;RODJATV;MATRIK TV;TVRI KALTIM;-, NET

TV;-, XINGXONG, K DRAMA, dan DMC TV. Masih banyak kita temukan di

wilayah provensi Kalimantan Timur usaha penyiaran televisi perorangan sebagai

contoh di wilayah Kukar tepatnya di Kec,Muara Jawa, Kec. Samboja, Kec. Teluk
1
Budhijanto Danrivanto, Hukum Telekomunikasi, Penyiaran Teknologi Informasi, 2009,

Jakarta,Penerbit Reflika Aditama,hlm. 22


3
Dalam, Kec. Kota Bangun, Kab. PPU dan daerah-daerah lainnya dengan jumlah

pelanggan rata-rata berkisar kurang lebih 500 orang s/d 1500 orang pelanggan dan

iuran perbulannya Rp. 20.000 s/d Rp. 40.000,-.

Usaha penyiaran televisi perorangan ini telah berjalan cukup lama berkisar

5 tahun s/d 10 Tahun lebih tanpa memiliki izin Penyiaran dari Pemerintah yang

berwenang, walaupun pengusaha penyiaran televisi tv kabel tersebut telah

mengetahui harus memiliki izin akan tetapi pengusaha penyiaran televisi tersebut

mengabaikannya.Usaha penyiaran televisi berlangganan secara perorangan atau

CV, sesuai dengan peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2005 tentang

Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan sesuai Pasal 3 ayat

(1) huruf b “didirikan dengan bentuk badan hukum Indonesia berupa perseroan

terbatas (PT) tidak bisa secara perorangan atau CV.

Apabila lembaga penyiaran tersebut berbentuk badan usaha

Persyaratannya diatur di Peraturan Pemerintah RI Nomor 52 Tahun 2005 tentang

penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan, pada Pasal 4 ayat

(3). Ada sanksi pidana apabila usaha penyiaran televisi perorangan tanpa

memiliki Izin IPP (Izin Penyelenggaraan Penyiaran) melanggar Pasal 58 UU RI

Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran Pasal 58 yang berbunyi “dipidana

dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) untuk penyiaran radio dan pidana

dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) untuk penyiaran televisi, setiap orang

yang : huruf b “ melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat

4
(1)’’ pasal 33 ayat (1) berbunyi “ sebelum menyelenggarakan kegiatannya

lembaga penyiaran wajib memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran. Jadi

Persoalan hak siar dalam penyelenggaraan penyiaran berlangganan melalui

televisi kabel memang merupakan salah satu problem utama. Pasalnya, para

pengelola televisi kabel menjadikan jumlah dan ragam siaran sebagai keunggulan

kompetitifnya. Paling tidak, ada lebih dari sepuluh sumber siaran televisi kabel

yang selama ini ditonton masyarakat. Secara berseloroh, penulis sering

mengatakan, sumber siaran itu seolah-olah dianggap tercurah begitu saja dari

langit.

Siaran-siaran televisi kabel tersebut berupa siaran premium yang dibeli

hak siarnya melalui Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB) melalui satelit

sebagai pemegang hak siar (content provider), siaran free to air (FTA) asing yang

langsung diambil dari satelit yang tidak memliki landing rights di Indonesia. Juga

siaran FTA asing yang langsung diambil dari satelit yang memiliki landing rights

di Indonesia, siaran FTA dari stasiun televisi lokal di daerah setempat, siaran FTA

dari stasiun televisi lokal yang berada di luar provinsinya, dan siaran FTA dari

stasiun sistem stasiun jaringan (SSJ). Juga siaran yang materinya diperoleh dari

pemerintah daerah setempat, siaran yang diproduksi sendiri, baik yang dilakukan

secara langsung (live) maupun tunda (tapping), siaran yang khusus menyiarkan

iklan sepanjang hari (misalnya, home shopping), serta siaran yang materinya

diambil dari YouTube atau CD/VCD (bajakan maupun legal).

Dari sisi hukum, siaran-siaran tersebut punya potensi masalah, baik

menyangkut persoalan hak siar maupun persoalan sensor yang menjadi kewajiban

5
lembaga penyiaran. Hingga kini, masih terdapat pengelola televise kabel yang

semestinya hanya merupakan end user (pelanggan) dari sebuah LPB Melalui

Satelit kemudian meredistribusikan siaran-siarannya itu kepada pelanggannya

tanpa hak. Modus pencurian hak siar seperti ini paling lazim dijumpai.

Kita tentu menyayangkan praktek-praktek pelanggaran hukum seperti ini.

Padahal, pemegang hak siar sudah berupaya agar terbangun kemitraan yang tidak

memberatkan pengelola TV Kabel. Pada wilayah bisnis seperti ini, KPID cukup

proaktif memainkan peran sebagai mediator sekalipun menyerahkan bentuk

kerjasama yang dipilih sesuai mekanisme pasar. Pola bisnis konten siaran seperti

ini tidak melulu didasarkan pada aspek bisnis semata tapi juga memperhatikan

dimensi kepentingan masyarakat.

Sejauh ini, pola kerjasama yang telah diterapkan oleh content provider

mensyaratkan pengelola TV Kabel memiliki pelanggan dalam jumlah tertentu.

Kalaupun jumlahnya tidak sebanyak yang diminta oleh pemilik content provider

maka pengelola TV Kabel bersangkutan bisa mengajak pengelola lainnya untuk

mencukupi jumlah yang diminta. Tidak jadi soal apabila secara faktual jumlah

pelanggan televisi kabel lebih banyak dari syarat minimal tersebut.

Kewajibannya hanya membayar biaya hak siar sesuai jumlah yang

dipersyaratkan. Menariknya, biaya berlangganan hak siar berbeda antara satu

content provider dengan content provider lainnya. Lebih menarik lagi karena nilai

jual hak siar sepakbola jauh lebih tinggi dibanding kanal premium, yang

menyiarkan program siaran olahraga, musik, maupun film. Liga-liga sepakbola

Eropa, terutama Liga Inggris, banyak diminati di Indonesia sehingga menjadi


6
pasar potensial dalam bisnis konten siaran. Tapi di situlah titik mula persoalan hak

siar ini. Hak siar yang sejatinya eksklusif, dicuri lantaran tergiur keuntungan

finansial.

B. RUMUSAN MASALAH.

a. Bagaimanakah pertanggung jawaban Hukum terhadap usaha penyiaran

televisi perorangan tanpa izin penyiaran menurut UU RI No. 32 Tahun

2002 tentang Penyiaran?

b. Bagaimanakah penegakan Hukum terhadap usaha penyiaran televisi

perorangan tanpa izin penyiaran menurut UU RI No. 32 Tahun 2002

tentang penyiaran?

C. TUJUAN PENELITIAN

Pengaturan tentang masalah penyiaran secara umum diatur  dalam Undang

Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Adapun yang dimaksud dengan siaran

adalah pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau suara dan

gambar atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yang bersifat interaktif maupun

tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerima siaran. Sedangkan

Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/

atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan

spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk

dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat

penerima siaran. Dalam Undang-undang itu juga diatur masalah ketentuan dan

7
pengaturan hukum mengenai penyelenggara jasa pelayanan penyiaran mengenai

KPI yang bertugas mengatur hal-hal mengenai penyiaran; dan yang terdiri dari :

i. Lembaga penyiaran publik,

ii. Lembaga penyiaran swasta,

iii. Lembaga penyiaran komunitas

iv. Lembaga penyiaran berlangganan.

Dalam hukum Penyiaran, Perizinan sendiri diartikan sebagai simpul utama

dari pengaturan mengenai penyiaran. Dalam rangkaian daur proses pengaturan

penyiaran, perizinan menjadi tahapan keputusan dari negara (melalui KPI) untuk

memberikan penilaian (evaluasi) apakah sebuah lembaga penyiaran layak untuk

diberikan atau layak meneruskan hak sewa atas frekuensi.

Dengan kata lain, perizinan juga menjadi instrumen pengendalian

tanggungjawab secara kontinyu dan berkala agar setiap lembaga penyiaran tidak

melenceng dari misi pelayanan informasi kepada publik. Dalam sistem perizinan

diatur berbagai aspek persyaratan, yakni mulai persyaratan perangkat teknis

(rencana dasar teknik penyiaran dan persyaratan teknis perangkat penyiaran,

termasuk jaringan penyiaran), substansi/format siaran (content), permodalan

(ownership), serta proses dan tahapan pemberian, perpanjangan atau pencabutan

izin penyelenggaraan penyiaran. Sementara itu dari sisi proses dan tahapan,

pemberian dan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran akan diberikan oleh

negara setelah memperoleh:

i. Masukan dan hasil evaluasi dengar pendapat antara pemohon dan KPI;

8
ii. Rekomendasi kelayakan penyelenggaraan penyiaran dari KPI;

iii. Hasil kesepakatan dalam forum rapat bersama yang diadakan khusus

untuk perizinan antara KPI dan Pemerintah; dan

iv. Izin alokasi dan penggunaan spektrum frekuensi radio oleh Pemerintah

atas usul KPI.

Pemberian izin dilakukan secara bertahap, yakni, izin sementara dan izin

tetap. Sebelum memperoleh izin tetap penyelenggaraan penyiaran, lembaga

penyiaran radio wajib melalui masa uji coba siaran paling lama 6 (enam) bulan

sedangkan untuk lembaga penyiaran televisi wajib melalui masa uji coba siaran

paling lama 1 (satu) tahun. Perlu dicatat, bahwa izin penyiaran yang sudah

diberikan dilarang dipindahtangankan (diberikan, dijual, atau dialihkan) kepada

pihak lain (badan hukum lain atau perseorangan lain).2

Setelah terbitnya Perda Nomor Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Penyiaran

Televisi Kabel. Terkait dengan masalah perizinan yang memberi dampak atau

akibat sekaligus kewajiban hukum, maka surat izin bagi lembaga atau badan

usaha yang menyelenggarakan pelayanan TV kabel disetiap daerah Provinsi,

kabupaten dan kota bersifat imperative. Ketentuan tersebut ditegaskan dalam

Pasal 4 Perda Nomor 3 Tahun 2011:

I. Penyiaran TV melalui kabel, hanya dapat dilakukan setelah memperoleh

izin penyeleggaraan penyiaran;

2
https://anggieagustriansyah.wordpress.com/pembahasan-2/pembahasan/.diakses terakhir tanggal

5 Juni 2015
9
II. Permohonan Izin Penyelenggaraan Penyiaran TV Melalui Kabel,

didasarkan pada rekomendasi  kelayakan yang dikeluarkan oleh KPI;

a. Sebelum diterbitkan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) terlebih dahulu dilakukan evaluasi oleh Pemerintah Daerah;

b. Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:

a) Data administrasi; dan

b) Data teknis;

c. Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pemerintah

Daerah menerbitkan rekomendasi;

d. Evaluasi dan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4)

dan ayat (5), diproses dalam tenggang waktu paling lama 30 (tiga

puluh) hari sejak tanggal diterimanya dokumen permohonan;

e. Rekomendasi Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus

memuat standar layanan.

Namun karena faktor lebih awalnya lembaga penyelenggara TV kabel di

daerah sudah beroperasi baik di beberapa kabupaten maupun kota. Akhirnya

banyak lembaga penyedia TV Kabel, yang beroperasi secara ilegal. Banyak

penyelenggara TV kabel tidak memegang surat izin. Maraknya TV kabel disetiap

kabupaten juga banyak menyimpang dari standar penyelenggaran siar yang mana

bertentangan dengan undang-undang Perlindungan Anak, KDRT, UU Pornografi.

Karena banyak juga siaran luar negeri yang disiarkan oleh beberapa

penyelenggara jasa pelayannan TV kabel di daerah. Dengan siaran-siaran yang


10
tidak mendapat sensor dari lembaga KPI tersebut. Jelas banyak siaran yang  tidak

layak di tonton oleh anak-anak, termasuk siaran yang bertentangan dengan adat

istiadat setempat. Oleh karena itu ke depannya, di samping perlunya perekrutan

tenaga untuk tim evaluasi terhadap standar kelayakan operasi. Juga penting

sosialisiasi oleh KPID dan asosiasi TV kabel di beberapa kabupaten. Atau lebih

tepatnya sehingga Perizinan dapat menjangkau kabupaten harus dibentuk juga

Perda tentang jasa pelayanan TV kabel dari tiap kabupaten dan perlunya juga

pengefektifan pengawasan terhadap semua lembaga penyedia jasa pelayanan TV

kabel di daerah yang melibatkan KPID Kaltiml, Pemda, kepolisian agar penyedia

jasa pelayanan TV kabel tidak  dengan gampang menyebarkan siaran yang

bertentangan dengan standar penyiaran.

D. MANFAAT PENELITIAN

a. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis yang diharapkan dari penelitian ini adalah mampu

memberikan sumbangan pemikiran mengenai penyelenggara TV kabel di

daerah yang sudah beroperas dengani baik di beberapa kabupaten maupun

kota. Tetapi banyak lembaga penyedia TV Kabel, yang beroperasi secara

illegal serta penyelenggara TV kabel tidak memegang surat izin. Penelitian

ini juga diharapkan dapat menjadi bahan referensi di bidang karya ilmiah

hukum Penyiaran terkait pokok bahasan mengenai penegakan hukum

tentang izin penyiaran TV kabel.

b. Manfaat Praktis

11
Diharapkan dapat memberikan wawasan dan pengetahuan bagi para pihak

terkait penyelenggara TV kabel di daerah yang sudah beroperas dengani

baik di beberapa kabupaten maupun kota. Tetapi banyak lembaga

penyedia TV Kabel, yang beroperasi secara illegal serta penyelenggara TV

kabel tidak memegang surat izin. Serta memberikan input mengenai

prosedur penyelesaian masalah yang seharusnya dilakukan sehingga tidak

terjadi pelanggaran atas hukum normatif yang telah ada.

E. TINJAUAN PUSTAKA

I. Tinjauan Tentang Media Penyiaran

i. Pengertian Tentang Media Penyiaran Televisi

Munculnya media penyiaran televisi di segenap antero dunia

membuka cakrawala baru dalam dunia komunikasi massa. Meski sebelumnya

telah ditemukan mesin cetak maupun pesawat radio, namun dari aspek

karakteristiknya penemuan pesawat televisi lebih memberi efek yang cukup

spektakuler di tengah-tengah masyarakat dunia. Kehadiran media televisi tidak

dapat melupakan nama Fransworth (USA) sebagai seorang yang pertama sekali

menemukan tabung vakum untuk menangkap gambar bergerak dan dapat

ditampilkan secara elektronik di layar pada tahun 1920. Kemudian pada tahun

1927 Philo Fransworth berhasil menyebarluaskan gambar bergerak melalui

peralatan transmissi sehingga era audio-visual berkembang sampai sekarang.

Tabung vakum yang oleh Frasnworth diberi nama Image Dissector itulah

kemudian disebut sebagai momentum pertama ditemukannya pesawat televisi,

12
meski pada saat itu sempat diperdebatkan karena masih ada pihak lain yang

menggugat, yakni sebuah institusi laboraturium Rusia. Laboraturium dengan label

RCA mengklaim bahwa Vladimir Zworykin lah yang pertama sekali menemukan

tabung yang sama dengan nama Iconoscope.Namun setelah diselesaikan di

pengadilan akhirnya diputuskan bahwa ternyata Zworykin melakukan pembajakan

terhadap temuan Fransworth. (Vivian 228:2008).

Di Indonesia media televisi pertama sekali mengudara saat

dilangsungkannya upacara hari ulang tahun kemerdekaan RI ke-17 pada 17

agustus 1962 dalam siaran percobaan oleh TVRI. Barulah kemudian secara

definitif TVRI menyiarkan secara langsung pembukaan Asian Games ke-4 pada

tahun yang sama, sekaligus dinyatakan bahwa tanggal 24 agustus 1962 sebagai

siaran yang secara resmi pertama sekali media tetevisi mengudara di bumi

Indonesia. Kemajuan media elektronik di Indonesia mengalami pergerakan

yang cukup pesat, seiring dengan perkembangan dalam bidang media massa

elektronik dunia termasuk era teknologi satelit dengan beragam varian yang

populer disebut sebagai news media, menjadikan Indonesia tidak bisa dipisahkan

dari konstelasi media informasi global sekaligus sebagai bahagian dari

komunitas masyarakat informasi dunia.

Kemajuan media elektronik di Indonesia mengalami pergerakan yang

cukup pesat, seiring dengan perkembangan dalam bidang media massa elektronik

dunia termasuk era teknologi satelit dengan beragam varian yang populer disebut

sebagai news media, menjadikan Indonesia tidak bisa dipisahkan dari konstelasi

media informasi global sekaligus sebagai bahagian dari komunitas masyarakat

13
informasi dunia.Hukum positif dengan diterbitkannya undang-undang maupun

Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri ditambah dengan pembentukan

lembaga pengawasan independen. Dalam perjalanannya, siaran televisi selama

beberapa dekade dimonopoli oleh TVRI sebagai media informasi pemerintah.

Barulah sejak tahun 1989 bermunculan lembaga penyiaran swasta yang diawali

oleh RCTI dan diikuti oleh lembaga penyiaran televisi swasta lainnya.

Pada tahun 2002, dengan terbitnya undang-undang penyiaran maka

lembaga televisi yang ada melakukan penyesuaian dengan status yang beragam,

TVRI menjadi lembaga penyiaran publik dan semua televisi swasta wajib menjadi

lembaga siaran berjaringan.

ii. Pengertian Tentang Lembaga Penyiaran Indonesia

Menurut Undang-Undang no 32 tahun 2002 tentang penyiaran, dalam

ketentuan umum Bab I pasal (1) dikatakan : Lembaga penyiaran adalah

penyelenggara penyiaran, baik lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran

swasta, lembaga penyiaran komunitas maupun lembaga penyiaran

berlangganan yang dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan tanggung jawabnya

berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Penjelasan tentang jasa penyiaran radio maupun televisi dalam kategori

tersebut di atas diuraikan dalam pasal-pasalnya, sebagai berikut:

1. Lembaga penyiaran swasta adalah lembaga penyiaran yang bersifat

komersial berbentuk badan hukum yang didirikan oleh Negara, bersifat

14
independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan

untuk kepentingan masyarakat.

2. Lembaga penyiaran swasta adalah lembaga penyiaran yang bersifat

komersial berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya

hanya menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau televisi.

3. Lembaga penyiaran komunitas merupakan lembaga penyiaran yang

berbentuk badan hukum Indonesia, didirikan oleh komunitas tertentu,

bersifat independen, dan tidak komersial, dengan daya pancar rendah,

luas jangkauannya wilayah terbatas, serta untuk melayani kepentingan

komunitasnya.

4. Lembaga penyiaran berlangganan merupakan lembaga penyiaran

berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya

menyelenggarakan jasa penyiaran berlangganan dan wajib terlebih

dahulu memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran berlangganan.

Lembaga penyiaran berlangganan terdiri atas :

a. Lembaga penyiaran berlangganan melalui satelit

b. Lembaga penyiaran berlangganan melalui kabel

c. Lembaga penyiaran berlangganan melalui teresterial.

Setiap lembaga penyiaran dalam menjalankan tugas dan fungsinya mengacu

kepada aturan yang ditetapkan baik melalui undang-undang maupunketentuan

lainnya berupa peraturan serta keputusan-keputusan pemerintah.

Adanya peraturan yang bersifat mengikat itu tidak terlepas dari

konsep dan strategi informasi yang telah dirumuskan secara nasional


15
sekaligus menjadi komitmen bagi setiap aparat yang terkait di dalamnya,

baik aparat pemerintah maupun masyarakat penyiaran dalam wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Rumusan konsep dimaksud disebut sebagai

“Tatanan informasi nasional”.

Sebagaimana yang terdapat di dalam UU penyiaran, bahwa Tatanan

informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang adalah kondisi informasi

yang tertib, teratur, dan harmonis terutama mengenai arus informasi atau pesan

dalam penyiaran antara pusat dan daerah, antar wilayah di Indonesia, serta antara

Indonesia dan dunia Internasional. Lebih lanjut diterakan bahwa Penyiaran

diselenggarakan dalam satu sistem penyiaran nasional. (BAB III pasal 6).

Dalam pasal 6 ayat (3) dikatakan bahwa : Dalam sistem penyiaran nasional

terdapat lembaga penyiaran dan pola jaringan yang adil dan terpadu yang

dikembangkan dengan membentuk stasiun jaringan dan stasiun lokal.

Sebagai konsekuensi dari aturan dalam pasal 6 ayat (3) ini, maka

pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan peraturan dalam bentuk Peraturan

Pemerintah (PP) nomor 50 tahun 2005, khusus dalam memberi pedoman umum

terhadap pelaksanaan Sistem Jaringan terdapat pada BAB VI, pasal 34 sebagai

berikut:

1. Sistem stasiun jaringan terdiri atas Lembaga Penyiaran swasta induk satsiun

jaringan dan Lembaga Penyiaran Swasta anggota stasiun jaringan yang

membentuk sistem stasiun jaringan.

16
2. Lembaga Penyiaran Swasta induk stasiun jaringan merupakan Lembaga

Penyiaran Swasta yang bertindak sebagai koordinator yang siarannya

direlay oleh Lembaga Penyiaran Swasta anggota stasiun jaringan dalam

sistem stasiun jaringan.

3. Lembaga Penyiaran Swasta anggota stasiun jaringan merupakan Lembaga

Penyiaran Swasta yang tergabung dalam suatu sistem stasiun jaringan yang

melakukan relay siaran pada waktu-waktu tertentu dari Lembaga Penyiaran

Swasta induk stasiun jaringan.

4. Lembaga Penyiaran Swasta anggota stasiun jaringan sebagaimana dimaksud

pada ayat (3) hanya dapat berjaringan dengan 1 (satu) Lembaga Penyiaran

Swasta induk stasiun jaringan.

5. Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran radio dan/atau jasa

penyiaran televisi yang menyelenggarakan siarannya melalui sistem stasiun

jaringan harus memuat siaran lokal.

6. Setiap penyelenggaraan siaran melalui sistem stasiun jaringan dan setiap

perubahan jumlah anggota stasiun jaringan yang terdapat dalam sistem

stasiun jaringan wajib dilaporkan kepada menteri.

Dalam merespon aturan yang ada maka Departemen Komunikasi

dan Informatika Republik Indonesia mengeluarkan Permen Kominfo RI

nomor 43/PER/M.KOMINFO/10/2009 tentang Penyelenggaraan Penyiaran

Melalui Stasiun Jaringan Oleh Lembaga Penyiaran Swasta Jasa Penyiaran

Televisi.
17
Menindak lanjuti amanat Undang-Undang, Peraturan Pemerintah (PP) dan

juga peraturan menteri (Permen), maka Komisi Penyiaran Indonesia sebagai

lembaga Negara yang diberi tugas melakukan tata kelola lembaga penyiaran di

Indonesia serta merta mencantumkan aturan pelaksanaan penyiaran melalui sistem

jaringan di dalam buku Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standard Progaram

Siaran (SPS) untuk dijadikan acuan bagi seluruh pengelola lembaga penyiaran di

Indonesia tertutama terdapat pada pasal 31 yang menyebutkan bahwa “ Lembaga

penyiaran wajib menyiarkan program siaran lokal dalam sistem stasiun jaringan

sesuai dengan peraturan perundang-undang yang berlaku.”

iii. Pengertian Tentang Penyelenggaraan Sistem Stasiun Jaringan

Sistem jaringan televisi dimulai dalam sejarah pertelevisian Amerika

Serikat dengan munculnya tiga jaringan besar yang menyediakan acara untuk

stasiun lokal, yakni dimulai oleh stasiun televisi NBC dan CBS, kemudian

diikuti oleh ABC dimana sebelumnya ABC sebagai pesaing mereka. Jaringan

tiga besar (Big Three) ini masing-masing memiliki 200 outlet di AS sehingga

acara-acara dari ketiga stasiun besar ini menjangkau seluruh pelosok negeri.

Pada tahun 1941 NBC memberi program acaranya kepada

perusahaan affiliasinya dengan menggunakan sambungan jalur microwave yang

menghubungkan pantai timur dan barat AS. Selain itu pada tahun 2004 General

Electric membeli studio film Universal dan menggabungkan diri dengan NBC.

Selanjutnya jaringan televisi CBS dikembangkan pada tahun 1982 oleh William

Paley yang sebelumnya telah berjaringan dengan CBS bersamaan dengan

18
kehadiran seorang raja hotel Amerika Laurence Tisch memperkuat keberadaan

perusahaan televisi CBS.

Dengan kekuatan yang dimilik kemudian Televisi ABC mendirikan

jaringan televisi pada tahun 1948 dan berikutnya ABC melakukan merger

dengan United Paramount Theaters dengan propertinya yang mencakup beberapa

stasiun televisi. Setelah itu stasiun ABC membeli Capcities Communications pada

1985 yakni sebuah stasiun televisi di Kansas City yang beroperasi dengan nama

ABC/Cap Cities dan akhirnya dibeli oleh Disney dengan mengganti sedikit label

nama menjadi ABC Disney.

Pada tahun 1986 Rupert Murdoch seorang yang terkenal sebagai raja

media internasional tidak mau ketinggalan dengan membeli tujuh stasiun non-

jaringan di kota-kota besar Amerika Serikat sekaligus membeli perusahaan Film

20 th Century Fox menjadikannya sebuah lembaga televisi berjaringan baru yang

dimotori oleh Barry Diller.

Di pihak lain Time Warner meluncurkan WB television Net Work pada

tahun 1995 untuk dijadikannya sebagai outlet bagi unit produksi Warner Brothers

dan kemudian ia membentuk United Paramount Net Work (UPN). Kemudian

pada tahun 2006 Viacom dan Time Warner menggabungkan WB dengan UPN

menjadi jaringan televisi baru yang disebut dengan jaringan CW-C untuk CBS

dan W untuk Warner dengan segmentasi audience berusia 18-34 tahun. Sistem

akuisisi muncul dalam dunia broadcast, yakni pada dekade 1980 an. Pada saat itu

perusahaan media mulai membeli perusahaan luar negeri. Sebut saja Bertelsman

19
(Jerman) yang mengakuisisi perusahaan rekaman RCA dan Arista di AS. Setelah

itu ia juga mengakuisisi 14 majalah wanita yang dibeli dari perusahaan New York

Times. Beberapa perusahaan media telah melakukan merger untuk mendapatkan

sinergi. Merger Hachette (Prancis) dengan Filapacchi (Italia) menghasilkan profit

yang cukup signifikan. Demikian pula aliansi Vicom dengan menjual acara

televisinya ke beberapa jaringan dan stasiun televisi yang ada di beberapa

Negara. (Vivian:2008)

Dari sejarah pertelevisian Amerika tersebut kemudian diikuti oleh

Indonesia dengan memproduksi sebuah peraturan tentang sistem jaringan melalui

uandang- undang tahun 2002 dan bentuk-bentuk peraturan turunannya. Namun

dilihat dari segi latar belakang pembentukannya apa yang terjadi di Indonesia

tidak sama persis dengan perjalanan sistem jaringan yang telah terjadi sebelumnya

di Amerika Serikat.

Menurut hemat peneliti, sistem jaringan di Amerika Serikat

dilatarbelakangi oleh adanya keinginan pemilik modal untuk lebih memperluas

jangkauan produk program siarannya maka diperlukan stasiun penyiaran lain di

beberapa wilayah, dengan membentuk sebuah sistem jaringan. Perluasan

jaringan dilakukan dengan cara membeli, merger ataupun mengakuisisi stasiun

penyiaran lokal yang memang sudah ada sebelumnya.

Namun di Indonesia dengan kondisi saat ini proses dalam penerapan

sistem stasiun jaringan justeru terbalik jika dibandingkan dengan yang terjadi di

Amerika.

20
Berdasarkan aturan yang ada, stasiun penyiaran televisi nasional yang

secara kebetulan kesemuanya berada di ibu kota negara, Jakarta, dan sesuai

dengan amanat UU,PP maupun Permen kepada semua stasiun nasional

diharuskan mendirikan stasiun-stasiun lokal di daerah ibukota provinsi,

kabupaten/kota yang kemudian dijadikan sebagai anggota jaringannya. Pada saat

yang sama Lembaga penyiaran nasional itu wajib melepaskan hak kepemilikannya

atas anggota jaringannya dengan memberikan peluang sebesar besarnya kepada

investor lokal, maksudnya agar terjadi pembagian pemusatan kepemilikan

(diversity of ownerships) sekaligus membagi sebahagian produk isi siarannya

kepada anggota jaringannya dengan volume maksimum 50% (diversity of

content).

Head dan Sterling (1982) menyatakan, jaringan adalah : “two or more

stations interconnected by some means of relay (wire, cable, teresterial micro

wave, satellite) so as to anable simultaneous broadcasting of the same program…”

yakni : dua atau lebih stasiun yang saling berhubungan melalui relay (kawat,

kabel, gelombang mikro teresterial, satelit) yang memungkinkan terjadinya

penyiaran program secara serentak.

Sedangkan Willis dan Aldridge (1992) menambahkan ketentuan atau

kriteria pengertian jaringan dengan menyebutkan : There are several different

kinds of networs, but all of them have one thing in common: They distribute

program simultaneously to affiliated stations. ( terdapat beberapa jenis jaringan,

namun semuanya memiliki satu kesamaan : Jaringan menyiarkan program secara

serentak kepada stasiun afiliasinya).(86-87:2005)


21
Penjelasan tentang Sistem Stasiun Jaringan di dalam Peraturan Menteri

Kominfo No 43 tahun 2009 tentang Sistem Stasiun Jaringan (SSJ) antara lain

terdapat di psl (1): “Sistem stasiun jaringan adalah tata kerja yang mengatur relay

siaran secara tetap antar lembaga penyiaran.” Sedangkan dalam psl (2)

disebutkan “Sistem stasiun jaringan dilaksanakan oleh stasiun penyiaran lokal

berjaringan yang terdiri atas :

a. Stasiun induk, berkedudukan di ibukota provinsi.

b. Stasiun anggota, berkedudukan di ibukota provinsi, kabupaten dan atau

kota.”

Sementara itu dalam pasal (5) menyebutkan :

1. Stasiun induk merupakan stasiun penyiaran yang bertindak sebagai

koordinator yang siarannya direlay oleh stasiun anggota dalam sistem

stasiun jaringan.

2. Stasiun anggota merupakan stasiun penyiaran yang tergabung dalam suatu

sistem stasiun jaringan yang melakukan relay siaran pada waktu-waktu

tertentu dari stasiun induk.

3. Setiap lembaga penyiaran swasta hanya dapat berjaringan dalam satu

sistem stasiun jaringan.

4. Lembaga penyiaran swasta yang menjadi stasiun anggota dalam sistem

jaringan hanya dapat berjaringan dengan 1 (satu) stasiun induk.

Dalam pengaturan tentang volume isi siarannya terdapat dalam pasal (8), yaitu :

22
1. Dalam sistem stasiun jaringan stasiun yang direlay oleh stasiun anggota

dari stasiun induk, dibatasi dengan durasi paling banyak 90% dari seluruh

waktu siaran per hari.

2. Berdasarkan perkembangan kemampuan daerah dan lembaga

penyiaran swasta, program siaran yang direlay oleh stasiun anggota dari

stasiun induk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara bertahap turun

menjadi paling banyak 50% dari seluruh waktu siaran per hari.

3. Dalam sistem stasiun jaringan, setiap stasiun penyiaran lokal harus

memuat siaran lokal dengan durasi paling sedikit 10% dari seluruh waktu

siaran per hari.

4. Berdasarkan perkembangan kemampuan daerah dan lembaga

penyiaran swasta keharusan memuat siaran lokal sebagaimana dimaksud

pada ayat (3) secara bertahap naik menjadi paling sedikit 50% dari seluruh

waktu siaran per hari.

Selanjutnya dalam pasal (9) dijelaskan tentang maksud siaran lokal, seperti

berikut :

Siaran lokal adalah siaran dengan muatan lokal pada daerah setempat yang

kriterianya ditentukan lebih lanjut oleh Komisi Penyiaran Indonesia.

Dalam Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia No.02/P/KPI/12/2009

tentang Pedoman Perilaku Penyiaran (P3), pasal 1 ayat (12) yang dimaksud

dengan Program siaran lokal adalah : program siaran dengan muatan lokal, baik

program faktual maupun non-faktual, yang mencakup peristiwa, isu-isu, latar

23
belakang cerita, dan sumber daya manusia, dalam rangka pengembangan budaya

dan potensi daerah setempat.

Sementara itu dalam P3 pasal (52) diatur tentang volume penayangan

Program

Lokal dalam Sistem Stasiun Jaringan sebagai berikut :

1. Program siaran lokal wajib diproduksi dan ditayangkan dengan durasi

minimal 10% (sepuluh perseratus) dari total durasi siaran berjaringan per

hari.

2. Program siaran lokal sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) minimal

30% (tiga puluh peseratus) diantaranya wajib ditayangkan pada waktu

prime time waktu setempat.

3. Program siaran lokal sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)

secara bertahap wajib ditingkatkan hingga 50% (lima puluh per seratus)

dari total durasi siaran berjaringan per hari.

Berdasarkan UU no 32 tahun 2002 tentang penyiaran, secara tegas

memberi tuntunan kepada setiap penyelenggara penyiaran, bahwa setiap kegiatan

penyiaran di Indonesia harus diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan UUD

Negara RI tahun 1945 dengan azas manfaat, adil dan merata, kepastian

hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan dan

bertanggung jawab.

24
Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh

integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan

bertaqwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum,

dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan

sejahtera serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia.

Penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai

media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial.

Selain itu penyiaran juga mempunyai fungsi ekonomi dan kebudayaan.

Berdasarkan hal tersebut di atas, khususnya tentang kemandirian,

demokratisasi, rasa keadilan dan fungsi ekonomi serta kebudayaan dalam rangka

terbinanya watak dan jati diri bangsa sekaligus terwujudnya semangat otonomi

daerah dengan tumbuh dan berkembangnya potensi daerah, maka kehadiran

Permen kominfo no 43 tahun 2009 dipandang relevan dalam kondisi saat ini.

Berkaitan dengan hal tersebut, Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang

pers, pasal (6) mengamanatkan bahwa pers nasional wajib :

a. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.

b. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya

supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati

Kebhinekaan.

c. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat,

akurat, dan benar,

25
d. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal

yang berkaitan dengan kepentingan umum.

e. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

iv. Pengertian Tentang Kepemilikan Lembaga Penyiaran

Pada dasarnya pengelola stasiun penyiaran dapat dibagi dua macam : a)

pengelola perorangan atau individu (single owners); b) pengelola kelompok atau

group ownership (perusahaan atau lembaga lainnya)…Sebahagian besar stasiun

penyiaran yang berada di kota-kota besar dimiliki oleh korporasi atau perusahaan

yang umumnya memiliki kekuatan modal yang lebih besar daripada pemilik

perorangan. (Morrisan 85,86:2008)

Ketentuan undang-undang penyiaran menyebutkan bahwa pemusatan

kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta oleh satu orang atau satu

badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah

siaran, dibatasi.

Berkaitan dengan kepemilikian lembaga penyiaran diatur dalam PP no 50

tahun 2005 menyebutkan bahwa lembaga penyiaran swasta didirikan dengan

modal awal seluruhnya hanya dimiliki oleh warga Negara Indonesia, jika

kemudian akan ditambah dengan modal asing hanya dibatasi sampai 20% atas

jumlah keseluruhan saham.

Dalam Permen Kominfo RI No. 28 tahun 2008, pasal (11) menyebutkan :

Lembaga penyiaran swasta yang sudah mempunyai stasiun relay di ibu kota

provinsi wajib melepas kepemilikannya atas stasiun relaynya.


26
Oleh karena itu segala kepentingan dan urusan administrasi, birokrasi dan

program siarannya secara penuh dikelola oleh penanggung jawab LPS lokal yang

secara legalitas telah terlepas dari manajemen kepemilikan sebelumnya.

Jika dikaitkan dengan konglomerasi media maka melalui peraturan di

atas peneliti berpendapat bahwa tidak memungkinkan untuk terjadi pemusatan

kepemilikan. Namun jika kemudian perusahaan lembaga penyiaran yang sudah

memiliki status sebagai stasiun induk jaringan melakukan merger atau akuisisi

terhadap stasiun lokal ( yang nota benenya atas pembentukannya sendiri) itu,

maka sangat dimungkinkan terjadinya praktek konglomerasi.

v. Persyaratan Perijinan LPS

Setiap pendirian Lembaga Penyiaran di Indonesia, apakah Lembaga

Penyiaran Publik (LPP) lokal maupun nasional. Lembaga Penyiaran Swasta

(LPS), Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK), Lembaga Penyiaran Berlangganan

(LPB) harus memenuhi persyaratan perijinan sesuai dengan ketentuan yang

berlaku.

Khusus mengenai tata cara dan Persyaratan Perijinan bagi Lembaga

Penyiaran Swasta (LPS) telah diatur di dalam Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 50 tahun 2005 Tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga

Penyiaran Swasta serta Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika RI Nomor

28 Tahun 2008 Tentang Tata Cara dan Persyaratan Perizinan Penyelenggaraan

Penyiaran. Persyaratan perijinan untuk pendirian Lembaga Penyiaran Swasta

(LPS) lokal jaringan secara administratif perijinan tidak mempunyai perbedaan


27
dengan tata cara dan persyaratan perijinan bagi pendirian LPS pada umumnya,

yakni dengan mengacu kepada kedua ketentuan di atas baik Peraturan Pemerintah

RI maupun Peraturan Menteri Kominfo RI.

Namun dari aspek penyelenggaraan penyiarannya diatur tersendiri yakni

dengan mengacu kepada Permen Kominfo no 43 tahun 2009 tentang

Penyelenggaraan Penyiaran Melalui Sistem Jaringan oleh Lembaga Penyiaran

Swasta jasa Penyiaran Televisi.

Di dalam PP no 50 Tahun 2005 pada pasal (4) dinyatakan :

1. Sebelum menyelenggarakan kegiatan, Lembaga Penyiaran Swasta wajib

memperoleh Izin Penyelenggaraan Penyiaran.

2. Untuk memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran Lembaga Penyiaran

Swasta, Pemohon mengajukan permohonan izin tertulis kepada Menteri

melalui KPI, dengan mengisi formulir yang disediakan dan memenuhi

persyaratan sebagaimana dimaksud dalam peraturan pemerintah ini.

3. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat rangkap 2 (dua)

masing-masing 1 (satu) berkas untuk Menteri dan 1 (satu) berkas untuk

KPI, dengan melampirkan persyaratan administrasi, program siaran

dan data teknik penyiaran sebagai berikut :

a. Persyaratan Administrasi :

1. Latar belakang maksud dan tujuan pendirian serta mencantumkan nama,

visi, misi dan format siaran yang akan diselenggarakan.

28
2. Akta pendirian perusahaan dan perubahannya beserta pengesahan

badan hukum atau telah terdaftar pada instansi yang berwenang.

3. Susunan dan nama pengurus penyelenggara penyiaran.

4. Studi kelayakan dan rencana kerja.

5. Uraian tentang aspek permodalan.

6. Uraian tentang proyeksi pendapatan (revenue) dari iklan dan pendapatan

lain yang sah yang terkait dengan penyelenggaraan penyiaran.

7. Daftar media cetak, lembaga pemyiaran televisi yang sudah dimiliki oleh

pemohon.

8. Uraian tentang struktur organisasi mulai dari unit kerja tertinggi samapi

unit kerja terendah, termasuk uraian tata kerja yang melekat pada setiap

unit kerja.

b. Program Siaran :

1. Uraian tentang waktu siaran, sumber materi mata acara siaran, khalayak

sasaran, dan daya saing.

2. Presentase mata acara siaran keseluruhan dan rincian siaran music, serta

pola acara siaran harian dan mingguan.

c. Data Teknik Penyiaran :

1. Data inventaris sarana dan prasarana yang akan digunakan, termasuk

peralatan studio dan pemancar, jumlah dan jenis studio serta perhitungan

biaya investasinya.

29
2. Gambar tata ruang studio dan peta lokasi stasiun penyiaran, gambar tata

ruang stasiun pemancar dan peta lokasi stasiun pemancar, serta gambar

peta wilayah jangkauan siaran dan wilayah layanan siarannya.

3. Spesifikasi teknik dan sistem peralatan yang akan digunakan beserta

diagram blok sistem konfigurasinya.

4. Usulan saluran frekuensi dan kontur diagram yang diinginkan.

Menurut Permen Kominfo RI no. 28 Tahun 2008, Tentang Tata Cara dan

Persyaratan Perizinan Penyelenggaraan Penyiaran, pasal (6) disebutkan :

1. Pendirian LPS harus memenuhi persyaratan sbb :

a. Didirikan oleh warga Negara Indonesia

b. Didirikan dengan bentuk badan hukum Indonesia berupa Perseroan

Terbatas yang mendapatkan pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM.

c. Bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau

televise yang disebutkan dalam akte pendirian dilampiri dengan Surat

Izin Tempat Usaha (SITU) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP).

d. SITU dan TDP sebagaimana dimaksud pada huruf C dapat

dilengkapi kemudian sebelum diterbitkannya Izin Prinsip

Penyelenggaraan Penyiaran, dan

e. Seluruh modal awal usahanya dimiliki oleh Warga Negara Indonesia dan

atau Badan Hukum Indonesia yang seluruh sahamnya dimiliki oleh

Warga Negara Indonesia.

2. Permodalan Sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf E akan diatur lebih

lanjut dalam peraturan tersebut.


30
Persyaratan Perizinan LPS, pasal (7) Dalam mengajukan permohonan

perizinan, LPS harus memenuhi persyaratan administrasi. Program siaran,

dan data teknik penyiaran dengan mengisi formulir sebagaimana dimaksud

dalam lampiran 2 A atau lampiran 2 B peraturan menteri ini.

vi. Tahapan Perizinan

Sesuai dengan ketentuan baik dalam UU, PP maupun Permen Kominfo RI

telah diatur tentang proses dan tahapan perjalanan sebuah permohonan dimulai

dari pengajuan proposal yang dilakukan oleh pemohon pengelola LPS hingga

pada tahap memperoleh izin dari pemerintah berupa Izin Penyelenggara Penyiaran

(IPP).

Dalam Peraturan Menteri Kominfo No. 28 Tahun 2008, pasal 17 ayat (5)

hingga (12) secara jelas diuraikan sebagai berikut :

“ Setelah KPI memeriksa kelengkapan administrasi pemohon kemudian KPI

melaksanakan Evaluasi Dengar Pendapat (EDP). Tata cara EDP disusun

berdasarkan ketentuan KPI. “

Dalam proses EDP pihak pemohon banyak mendapat masukan dan

kritikan oleh para peserta EDP sebagai pengayaan kelngkapan persiapan

menjelang tahapan kerja operasional yang dianggap layak bagi sebuah lembaga

penyiaran sesuai dengan visi dan misinya.

Selanjutnya KPI memberitahukan secara tertulis kepada Menteri

tentang pemohon yang dinyatakan layak untuk menyelnggarakan penyiaran sesuai

dengan Rekomendasi Kelayakan (RK) yang dikeluarkan oleh KPI sebagai hasil

dari proses EDP, paling lambat 2 (dua) minggu setelah EDP.

31
Terhitung paling lambat 15 hari (lima belas) hari kerja sejak diterimanya

Rekomendasi Kelayakan (RK) dari KPI, Menteri mengundang KPI dan

instansi terkait untuk mengadakan Forum Rapat Bersama (FRB).

Pada pasal (18) hingga pasal (22) dijelaskan tentang Forum Rapat

Bersama (FRB) yang menyangkut tentang peserta, tempat/lokasi, aspek materi

evaluasi dan penilaian evaluasi hingga akhirnya samapi kepada penerbitan Izin

Prinsip Penyelenggara Penyiaran oleh Menteri Kominfo atas nama Pemerintah RI.

Pemberian izin Prinsip Penyelenggara Penyiaran (IPPP) ini dimaksudkan

untuk memberi kesempatan dan waktu bagi pemohon untuk mengurus kekurangan

kelengkapan persyaratan administrasi lainnya, seperti : IMB, HO, SITU, TDP

dalam rangka membangun kelengkapan infrastruktur serta pengurusan izin

Stasiun Radio (ISR) yang berkaitan dengan penetapan Kanal Frekeuensi sekaligus

izin uji coba siaran.

Masa berlakunya IPPP ini sama halnya dengan tenggat waktu uji coba

siaran, sesuai dengan ketentuan UU bahwa uji coba siaran untuk jasa penyiaran

radio diberikan selama 6 (enam) bulan dan 1 (satu) tahun untuk jasa penyiaran

televisi.Setelah itu pihak pemohon mengajukan surat permintaan untuk dilakukan

ferifikasi atas uji coba siarannya yang ditujukan kepada Menteri

Kominfo. Berdasarkan permohonan itu maka KPI tentang pelaksanaan uji coba

siaran sekaligus untuk mendapatkan kelengkapan data administratif lainnya.

Setelah dinyatakan lulus maka Pemerintah menerbitkan izin

Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) atau disebut juga sebagai ijin tetap.

32
Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) yang diberikan oleh pemerintah melalui

KPI dapat diperpanjang sesuai dengan waktu yang ditetapkan oleh Undang-

Undang, yakni 5 (lima) tahun bagi lembaga Jasa Penyiaran Radio dan 10

(sepuluh) tahun bagi Lembaga Jasa Penyiaran Televisi.

vii. Paradigma Teori

Kata “Paradigma” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) antara

lain bermakna memberi pengertian, bahwa paradigma adalah model dalam teori

ilmu pengetahuan; kerangka pemikiran. Sedangkan Watson dan Hill (2000)

memberi pengertian tentang paradigma adalah merujuk kepada kerangka yang

menjelaskan sesuatu teori dari mazhab tertentu. Tetapi untuk keperluan kajian

ilmiah, paradigma mencakup keseluruhan epistemology, perspektif teoretis,

metodologi, dan metode- metode.

Namun sejauh ini para ahli sepakat mengelompokkannya menjadi tiga

paradigm yakni :

1. Classical paradigm (yang mencakup positivism dan post poitivism)

2. Construction paradigm, dan

3. Critical paradigm.

(Sumber : S.Pohan.Perspektif Paradigma Penelitian Kualitatif:2011)

viii. Teori Tanggung Jawab Sosial

Menurut Stephen W. Littlejohn & Karen A. Foss (22:2009) bahwa tidak ada

teori yang akan mengungkapkan “kebenaran” atau mampu untuk benar-benar

menyampaikan subjek atau penelitiannya. Teori-teori berfungsi sebagai

33
panduan yang membantu kita memahami, menjelaskan, mengartikan, menilai, dan

menyampaikan. Teori-juga merupakan susunan. Teori-teori diciptakan oleh

manusia, bukan diturunkan oleh Tuhan.

Selanjutnya Little john & Karen (22:2009) menjelaskan bahwa dua orang

pengamat yang menggunakan mikroskop mungkin melihat hal yang berbeda pada

amuba, bergantung pada sudut pandang teoritis setiap peneliti.

Dalam sebuah penelitian apalagi penelitian kualitatif, memilih berbagai teori

tidak semata-mata dijadikan sebagai tujuan dari penelitian apalagi pemilihan teori

untuk dibuktikan. Dalam penelitian kualitatif teori hanya dijadikan sebagai

panduan bagi peneliti dalam operasionalisasi kegiatan penelitiannya agar isi dan

arah penelitian senantiasa berada dalam fokus yang bermuara pada titik tujuan

akhir penelitian. Jadi teori bukan untuk kepentingan teori itu sendiri.

Penelitian kualitatif bermaksud hanya untuk memahami sebuah fenomena

yang dideskripsikan melalui pemaknaan bahasa. Seperti yang dikatakan oleh

Moleong (2005) bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud

untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian,

misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain sebagainya.

Berdasarkan uraian sebelumnya tentang pelaksanaan sistem jaringan baik

tinjauan dari aspek konseptual, strategi maupun pengaturan teknis

pelaksanaannya, maka peneliti dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa segenap

aturan yang ada berorientasi kepada kebutuhan masyarakat secara keseluruhan.

Kemandirian dan kebebasan yang diberikan kepada pengelola

lembaga penyiaran tidak diartikan semena-mena, melainkan kebebasan yang

34
mengacu kepada kepentingan masyarakat dalam bingkai menjaga keutuhan

Negara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Dasar 1945.

Dalam penerapan aturan tentang lembaga penyiaran, mungkin berbeda

dengan konsep Negara lain. Dari kenyataan yang ada sangat kelihatan bahwa

pemerintah RI sangat peduli menjaga keutuhan masyarakat baik dari segi

visi maupun kultur budaya bangsa, sehingga produk aturan yang dikeluarkan

terkesan selalu melindungi kebutuhan masyarakat khususnya masyarakat lokal.

Oleh sebab itu, penerapan strategi penyiaran di Indonesia sebagai salah satu

bentuk merealisasikan konsep tatanan informasi nasional diatur oleh pihak

eksekutif dan legislatif dalam bentuk perundang-undangan maupun peraturan

formal lainnya.

Dalam melakukan penelitian tentang pelaksanaan aturan Sistem Stasiun

Jaringan dikaitkan dengan pemerataan informasi sebagai sebuah cerminan sikap

tanggung jawab sosial kepada masyarakat khususnya masyarakat lokal, maka

peneliti mencoba melakukan pendekatan dengan teori yang menurut peneliti

berkesesuaian atau paling tidak yang sangat mendekati dengan fenomena yang

ada, yakni sebuah teori yang setidaknya dapat menyoroti antara berbagai

kepentingan, dalam hal ini kepentingan pengelola media penyiaran, masyarakat

dan pemerintah.

Sesuai dengan konsep paradigma Konstruktivis bahwa penelitian ini

dilakukan dengan menggunakan riset fenomenologi yang termasuk dalam kolom

Komunikasi massa dan masyarakat, yaitu dengan konsep pendekatan media dan

35
konstruksi sosial dengan menggunakan metode observasi dan wawancara.

Sebagaimana yang diuraikan dalam tabel di atas, maka teori yang peneliti

gunakan setidaknya memiliki cakupan antara fungsi media dengan kebutuhan

informasi masyarakat lokal dikaitkan dengan produk regulasi. Diantara teori

yang ada, menurut peneliti teori yang cukup relevan sekalgus peneliti gunakan

dalam penelitian ini ialah teori Tanggung Jawab Sosial.

Teori tanggung jawab sosial berasal dari inisiatif Komisi Kebebasan pers

Amerika atau The Commission on Freedom of The Press (Hutchins,1947).

Menurut Denis McQuail, teori ini harus mengawinkan kemandirian dengan

kewajiban terhadap masyarakat. Landasannya yang utama adalah : asumsi bahwa

media melakukan fungsi yang esensial dalam masyarakat, khususnya dalam

hubungannya dengan politik demokrasi; pandangan bahwa media seyogianya

menerima kewajiban untuk melakukan fungsi itu – terutama dalam lingkup

informasi, dan penyediaan mimbar bagi berbagai pandangan yang berbeda;

penekanan pada kemandirian media secara maksimum, konsisten dengan

kewajibannya kepada masyarakat; penerimaan pandangan bahwa ada standar

prestasi tertentu dalam karya media yang dapat dinyatakan dan seyogianya

dipedomani. (116:1996).

Teori tanggung jawab sosial menekankan kebutuhan terhadap pers

independen yang mengawasi institusi sosial lainnya serta memberikan laporan

yang objektif dan akurat. Ciri paling inovatif dari teori ini adalah media harus

bertanggung jawab untuk menjaga “komunitas besar” agar produktif dan kreatif.

Teori ini menyatakan bahwa media harus melakukan hal tersebut dengan cara

36
mengutamakan keragaman kultural-dengan menyuarakan aspirasi semua rakyat-

bukan hanya sekelompok elit atau penguasa yang mendominasi kebudayaan

secara nasional, wilayah, atau lokal masa lalu. (Stanley J.Baran-Dennis K.Davis.

145:2010)

Denis McQuail (117:1996) menyebutkan bahwa teori tanggung jawab

sosial harus berusaha mengawinkan tiga prinsip yang agak berbeda : prinsip

kebebasan dan pilihan individual; prinsip kebebasan media; dan prinsip kewajiban

media terhadap masyarakat.

Prinsip utama teori tanggung jawab sosial sekarang dapat disajikan

sebagai berikut :

1. Media seyogianya menerima dan memenuhi kewajiban tertentu kepada

masyarakat.

2. Kewajiban tersebut terutama dipenuhi dengan menetapkan standar

yang tinggi atau professional tentang keinformasian, kebenaran,

ketepatan, obyektivitas, dan keseimbangan.

3. Dalam menerima dan menerapkan kewajiban tersebut, media

seyogianya dapat mengatur diri sendiri di dalam kerangka hukum dan

lembaga yang ada.

4. Media seyogianya menghindari segala sesuatu yang mungkin

menimbulkan kejahatan, kerusakan atau ketidaktertiban umum atau

penghinaan terhadap minoritas etnik atau agama.

5. Media secara keseluruhan hendaknya bersifat pluralis dan

mencerminkan kebhinekaan masyarakatnya, dengan memberikan

37
kesempatan yang sama untuk mengungkapkan berbagai sudut

pandang dan hak untuk menjawab.

6. Masyarakat dan publik, berdasarkan prinsip yang disebut pertama,

memiliki hak untuk mengharapkan standar prestasi yang tinggi dan

intervensi dapat dibenarkan untuk mengamankan kepentingan umum.

7. Wartawan dan media professional seyogianya bertanggung jawab

terhadap masyarakat dan juga kepada majikan serta pasar.

Werner J.Severin - James W.Tankard, Jr (379:2008) melansir pendapat

Siebert, Peterson, dan Schramm, (1956) menyebutkan bahwa teori tanggung

jawab sosial, yang merupakan evolusi gagasan praktisi media, undang-undang

media, dan hasil kerja Komisi Kebebasan Pers (Komisi Hutchin), berpendapat

bahwa selain bertujuan untuk memberikan informasi, menghibur, mencari

untung (seperti halnya teori liberal), juga bertujuan untuk membawa konflik ke

dalam arena diskusi.

Kemudian dikatakannya bahwa setiap orang yang memiliki sesuatu

yang penting untuk dikemukakan harus diberikan hak dalam forum, dan jika

media dianggap tidak memenuhi kewajibannya, maka ada pihak yang harus

memaksanya. Di bawah teori ini, media dikontrol oleh pendapat masyarakat,

tindakan konsumen, kode etik penyiaran dikontrol oleh badan pengatur mengingat

keterbatasan teknis pada jumlah saluran.

38
F. METODE PENELITIAN

1. Pendekatan Penelitian

Dalam pelaksanaan penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan yuridis

normatif, karena sasaran dalam penelitian ini diarahkan pada hukum dan aspek –

aspek norma hukum. Peneliti menggunakan dukungan data empiris dalam melihat

kesesuaian antara das sein dan das sollen untuk diarahkan pada implementasi

peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran

Lembaga Penyiaran Berlangganan sesuai Pasal 3 ayat (1) huruf b “didirikan

dengan bentuk badan hukum Indonesia berupa perseroan terbatas (PT) tidak bisa

secara perorangan atau CV. Apabila lembaga penyiaran tersebut berbentuk badan

usaha Persyaratannya diatur di Peraturan Pemerintah RI Nomor 52 Tahun 2005

tentang penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan, pada Pasal

4 ayat (3).Ada sanksi pidana apabila usaha penyiaran televisi perorangan tanpa

memiliki Izin IPP (Izin Penyelenggaraan Penyiaran) melanggar Pasal 58 UU RI

Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran Pasal 58 yang berbunyi “dipidana

dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) untuk penyiaran radio dan pidana

dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) untuk penyiaran televisi, setiap orang

yang : huruf b “ melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat

(1)’’ pasal 33 ayat (1) berbunyi “ sebelum menyelenggarakan kegiatannya

lembaga penyiaran wajib memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran

39
2. Sumber data

Sumber data yang digunakan dalam melaksanakan penelitian ini adalah: Pertama,

Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang

No.32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun

2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga PenyiaranKetiga, Bahan

hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum primer, seperti dasar- dasar teoritik atau pendapat pakar hukum serta karya

ilmiah lainnya. Keempat, Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder seperti kamus, dan ensiklopedia yang dapat mendukung kelengkapan

data-data dalam penulisan ini.

3. Prosedur Memperoleh Data

Dalam mengumpulkan data, maka penulis telah mempergunakan Metode

Penelitian Kepustakaan atau “Library Research” yaitu suatu metode yang

digunakan dengan jalan mempelajari buku literatur, perundang-undangan dan

bahan-bahan tertulis lainnya yang berhubungan dengan materi pembahasan yang

digunakan untuk mendukung pembahasan ini.

4. Analisis Data

Metode analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

deskriptif kualitatif. Pengertian deskriptif kualitatif yaitu suatu prosedur penelitian

yang menggunakan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-

orang dan pelaku yang dapat diamati. Seluruh data yang diperoleh dalam

40
penelitian ini akan dianalisis secara kualitatif. Dimana seluruh data dikelompokan

secara sistematis dan dikaji sehingga diperoleh gambaran jelas mengenai masalah

yang diteliti, lalu dianalisis lebih lanjut dalam bentuk pemaparan untuk

memperoleh kesimpulan dari penelitian yang dapat dipertanggung jawabkan

secara ilmiah. Analisa dilakukan dengan cara mengkaji dan menelaah serta

menganalisa bahan-bahan yang ada, yakni dengan melakukan analisis terhadap

dasar-dasar hukum dan penelitian kepustakaan terkait penegakan Hukum

terhadap usaha penyiaran televisi perorangan tanpa izin penyiaran menurut UU

RI No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran. Seperti dikatakan di atas, bahwa metode

penelitian yang digunakan untuk penulisan penelitian ini adalah metode penelitian

yuridis normatif, maka pembahasan dan pengkajian dilakukan dengan

menganalisa kasus menurut hukum tertulis sebagaimana terdapat dalam peraturan

perundang – undangan. Dari analisa ini diharapkan dapat menemukan bagaimana

pertanggung jawaban Hukum terhadap usaha penyiaran televisi perorangan tanpa

izin penyiaran menurut UU RI No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran

41

Anda mungkin juga menyukai