Anda di halaman 1dari 19

PROPOSAL SKIPSI

Praktek penyiaran Tv Berjaringan antara


Kompas Tv dan Tv Borobudur

DISUSUN OLEH :

NAMA : MARIA GOTELDA SAUL

NIM : 17 -110-071

SEKOLAH TINGGI ILMU MANAJEMEN(STIM)

LEMBAGA PENDIDIKAN INDONESIA(LPI)

MAKASSAR 2020

1
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur patut kita panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas berkat perlindunganNya sehingga kita semua masih bisa menikmati
hikmat kesehatan. Semoga kita semua selalu dalam lindunganNya terutama
ditengah wabah covid-19 ini. Dan karena atas berkat dan hidayahNya pulalah
sehingga kami bisa menyelesaikan tugasProposal skripsi ini dengan judul”
Praktek penyiaran Tv Berjaringan antara Kompas Tv dan Tv Borobudur
tepat pada waktunya.

Tugas ini disusun guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah metode
penelitian selain itu, penulis juga sangat berharap agar kiranya proposal skripsi
ini dapat menambah wawasan para pembaca.

Pada kesempatan ini penyusun mengucapkan banyak terima kasih yang


sebesar-besarnya kepada dosen pengampuh mata kuliah yang telah memberikan
tugas terhadap kami. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah
pengetahuan dan wawasan kami terkait dengan materi outsourching. Penyusun
juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang turut membantu
dalam pembuatan proposal skripsi ini.

Penyusunan tugas ini masih jauh dari sempurna. Dan ini merupakan
langkah yang baik dari studi yang sesungguhnya. Oleh karena itu, keterbatasan
waktu dan kemampuan penyusun, maka kritik dan saran yang membangun
senantiasa kami harapkan, semoga proposal ini dapat berguna baik bagi penyusun
maupun bagi para pembaca.

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebelas media besar menguasai sistem penyiaran Indonesia.


Sebelas media besar tersebut beberapa diantaranya adalah Global
Mediacom (MNC), Jawa Pos Grup, Kompas Gramedia Grup, Femina
Grup, Tempo, dan sebagainya. Media-media besar tersebut bukan hanya
memiliki frekuensi televisi, radio, media cetak, online, tetapi juga
menguasai bisnis lain seperti bisnis properti, event organizer, universitas,
dan lain-lain. Bisnis grup media besar tersebut dikendalikan oleh pemilik
yang sama.

Perluasan konsentrasi dan konglomerasi merupakan kondisi media


dewasa ini. Konglomerasi telah masuk dalam ranah penyiaran Indonesia,
dimana media cenderung dikendalikan oleh satu kepemilikan. Efek
pemusatan kepemilikan media adalah pemilik media lebih mencari
keuntungan daripada mementingkan kualitas. Tahun 2012, Yanuar
Nugroho dalam jurnalnya menekankan bahwa oligopoli dan hegemoni
mewarnai pertumbuhan media di Indonesia saat ini. Selain itu industri
media berkembang dengan idealisme pasar yang menitikberatkan pada
motif mencari keuntungan. Media di Indonesia dipengaruhi oleh
akumulasi modal yang membuat media memiliki kecenderungan untuk
melakukan ekspansi dengan cara akuisisi besar-besaran. Disinilah poin
yang harus menjadi perhatian pemerintah. Khususnya hal yang terkait
dengan kepemilikan media yang belum diperhitungkan secara serius. Jika
pemerintah tidak segera memberikan batasan terhadap kepemilikan sebuah
media, dikhawatirkan praktek penyiaran di Indonesia akan semakin carut
marut karena konglomerat hanya memperhitungkan keuntungan privat
daripada kepentingan publik yang seharusnya menjadi hal pertama yang
harus diperhatikan.

Sejak munculnya UU 32/2002 tentang Penyiaran yang


mengamanatkan agar penyiaran tidak terpusat pada Jakarta atau adanya
desentralisasi penyiaran dengan semangat diversity of ownership
(keberagaman kepemilikan) dan diversity of content (keberagaman isi).
Namun nampaknya, hal ini justru membuat kondisi penyiaran di Indonesia
dikontrol oleh pihak-pihak tertentu saja. Konglomerat media akan rentan
terhadap konflik kepentingan, dimana kepentingan yang terkait dengan
pemilik atau perusahaan media akan menjadi hal nomor satu yang
diperjuangkan, daripada kepentingan publik.

3
Media yang berada dalam satu kepemilikan memiliki
kecenderungan untuk memunculkan berita yang terkait dengan pemilik
media dengan citra yang bagus. Namun, ketika pemilik diterpa isu atau
berita yang tidak baik, media ini akan kesulitan untuk memunculkan fakta
tersebut. Sebagai contoh, TV One yang pada setiap pemberitaannya tidak
pernah menggunakan kata “lumpur lapindo” melainkan “lumpur sidoarjo”.
Mengapa demikian? Karena PT. Lapindo dan TV One merupakan
perusahaan yang berada dalam satu kepemilikan Bakrie Grup. Oleh sebab
itu, untuk meminimalkan pandangan negatif masyarakat terhadap kasus
tersebut yang dikhawatirkan akan mengancam eksistensi TV One, maka
TV One memilih tidak menggunakan kata “lumpur lapindo”. Padahal
dalam kasus ini, ada kepentingan publik yang harus dilindungi.

Meskipun regulasi media UU 32/2002 tentang Penyiaran sudah


diberlakukan, nampaknya pemerintah memiliki pekerjaan rumah
selanjutnya untuk segera merevisi UU Penyiaran tersebut. Revisi tersebut
diharapkan dapat memuat batasan kepemilikan sebuah media secara lebih
rinci. Revisi UU Penyiaran dibuat untuk memastikan bahwa media
digunakan untuk kepentingan masyarakat luas, bukan hanya untuk
kepentingan privat, karena media penyiaran menggunakan frekuensi
publik, sehingga publik berhak mendapatkan haknya untuk memperoleh
informasi yang sesuai fakta. Urgensi revisi UU Penyiaran ini
dilatarbelakangi oleh pertimbangan kepentingan publik yang harus
dipikirkan, karena penguasaan media oleh para konglomerat
dikhawatirkan akan memperkecil kemungkinan publik mendapatkan
informasi yang sesuai dengan kebutuhannya.

Tahun 2015 Jaduk Gilang Pembayun seorang mahasiswa magister Ilmu


Komunikasi Universitas Diponegoro mengutip pernyataan Kekla Magoon
dalam jurnalnya bahwa manajemen media haruslah memisahkan antara
redaksi pemberitaan dan unsur bisnis, sehingga menghindari adanya
intervensi pemberitaan karena faktor bisnis. Selain itu, media juga harus
memperhatikan kesejahteraan wartawan, sehingga idealisme mereka tidak
dikotori oleh kepentingan tertentu. Jika semua ini dilakukan maka
masyarakat akan menaruh kepercayaan pada pemberitaan yang disajikan
media tersebut. Bukan hal yang asing lagi, bagi pandangan kita sebagai
masyarakat umum dimana stasiun-stasiun televisi swasta yang
mendominasi, berpusat di Jakarta. Tidak jarang sudut pandang, gagasan,
dan konten yang ada didalamnya pun hanya berasal dari pihak-pihak
tertentu. Ini mengindikasikan bahwa televisi swasta pada umumnya tidak
lagi berorientasi pada publik. Dilihat dari sudut pandang model pasar, saat
ini pandangan industri media berkaitan dengan Market Model yang
dikemukakan oleh Croteau dan Hoynes (2001), yang melihat bahwa media
disini merupakan alat pemenuhan kebutuhan masyarakat yang didasarkan
pada dinamika permintaan dan penawaran. Ciri khas dari market model
adalah pasar mendorong efisiensi, respon, fleksibilitas, inovasi, dan pasar

4
dapat membuat media layaknya produk lain. Market model approach atau
model pendekatan pasar muncul karena adanya pertumbuhan tren di struktur
industri media. Tren yang berlaku pada industri media akhir-akhir ini adalah
pertumbuhan (growth), integrasi (integration), globalisasi, dan pemusatan
kepemilikan (concentration of ownership), dimana tren tersebut saling
berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Fenomena
pendekatan pasar pada media swasta nasional terjadi antara Kompas TV dan
TV Borobudur. Tepatnya pada tahun 2010, Kompas TV resmi mengakuisisi
TV Borobudur. Kasus Kompas TV dan TV Borobudur inilah yang disebut
tren media sekarang yaitu melakukan akuisisi. Hal ini lazim dilakukan oleh
media-media besar. Korporasi media besar cenderung untuk menggunakan
strategi ini untuk mencapai tiga tujuan utamanya, yaitu memaksimalkan
profit, mengurangi biaya, dan mengurangi risiko.

Industri media memanfaatkan strategi akuisisi ini salah satunya


adalah untuk bisa memaksimalkan keuntungannya, karena kepemilikan
perusahaan mereka yang semakin luas. Dengan adanya akuisisi, sebuah
media akan semakin berkembang dan mengalami pertumbuhan. Media
tersebut dapat juga terintegrasi, karena adanya globalisasi yang ditandai
dengan perkembangan teknologi. Namun dampak negatifnya pun juga
muncul, media yang berbeda tersebut dapat berada dalam kepemilikan
yang tunggal yang mengakibatkan tidak adanya keberagaman konten.

Bila kita menengok ke belakang, pada era reformasi, masyarakat


menuntut adanya desentralisasi dan otonomi daerah. Desentralisasi dan
otonomi daerah adalah salah satu hal yang diperjuangkan dalam UU
Penyiaran. Prinsip yang dikedepankan ada dua. Pertama, perlu diciptakan
kondusivitas bagi pengembangan bisnis penyiaran di tingkat lokal. Kedua,
daerah diberi otoritas untuk mengatur alokasi frekuensi dan izin penyiaran
di tingkat local. Untuk itu masyarakat lokal mendesak adanya kajian
regulasi yaitu adanya RUU Penyiaran atau Revisi Undang-Undang
Penyiaran. Harapan terciptanya Undang-undang Penyiaran yang baru
adalah untuk bisa menjawab tantangan jaman agar tidak ada monopoli
kepemilikan oleh pihak tertentu saja sehingga industri penyiaran
berkembang kearah persaingan yang lebih sehat. Sejak munculnya
otonomi daerah dan dikeluarkannya Undang-undang No 32 Tahun 2002
tentang penyiaran, televisi lokal banyak bermunculan. Indikasinya adalah
meningkatnya jumlah anggota Asosiasi TV Lokal Indonesia (ATVLI).
Dari 7 anggota pada 2002, ATVLI memiliki 41 anggota pada 2011
(Nugroho, 2012: 102-103). Motivasi secara umum dari berdirinya televisi
lokal adalah agar skema penyiaran tidak tersentralisasi dan warga lokal
mempunyai otoritas untuk dapat menjalankan program dan stasiun mereka
sendiri.

5
Berdasarkan beberapa sumber yang peneliti temukan, masyarakat seolah
tidak ingin bergantung pada informasi yang datangnya dari pusat saja,
karena informasi pusat banyak yang tidak memiliki relevansi dengan
kondisi dan kepentingan masyarakat lokal. Bukan hanya sistem penyiaran
yang tersentralisasi tetapi juga bidang-bidang lain yang hanya berpusat di
Jakarta saja, padahal lokal pun juga memiliki potensi yang bisa
dikembangkan.

Diagram 1 Share TV Lokal di 10 Kota Menurun

Sumber : www.agbnielsen.net

Data di atas menunjukkan bahwa tingkat kepemirsaan tv lokal


sangat jauh dibandingkan dengan kepemirsaan tv nasional. Kepemirsaan
tersebut mencakup 10 kota besar di Indonesia dimana pola kepemirsaan tv
nasional cenderung stabil sedangkan tv lokal masih menjadi alternatif.
Bisnis televisi sangat dipengaruhi oleh tingkat kepemirsaan. Tingkat
kepemirsaan itu dipengaruhi oleh bagaimana sebuah media kreatif dalam
membuat program siar. Semakin kreatif program siarnya, maka semakin
mudah untuk menarik banyak penonton, rating semakin tinggi, pengiklan
semakin banyak, yang kemudian mempengaruhi pendapatan.

Namun, bagaimanapun juga, media tidak berhenti pada kegiatan


bisnis saja, melainkan ada unsur kepentingan publik yang tidak bisa
diabaikan. Televisi sebagai bagian dari agen komunikasi dan informasi
masuk dalam public sphere karena menggunakan frekuensi publik dalam
penyebaran informasi. Konsep public sphere dinyatakan oleh Habermas
bahwa pada dasarnya media harus bisa melihat khalayak sebagai
masyarakat aktif bukan sekedar konsumen. Oleh sebab itu, media
seharusnya dapat mengedepankan kepentingan masyarakat tersebut, bukan
justru menjadikan target potensial konsumen (Croteau, 2001: 20).

6
Semangat televisi lokal untuk muncul dilatarbelakangi dengan
keinginan untuk meninggalkan ketergantungan informasi terhadap
sentralisasi informasi dari pusat, serta daerah diberikan otoritas untuk
melakukan praktek penyiaran. Tetapi dengan adanya konglomerasi, tujuan
televisi lokal dikhawatirkan akan hanya menjadi wacana saja dan yang
terlihat adalah kontrol informasi dari pusat. Padahal, tv lokal
dimungkinkan bisa menjadi alat untuk menjaga identitas budaya lokal.
Selain itu, keberadaan

tv lokal sangat diperlukan agar masyarakat daerah mendapat


informasi sesuai dengan “iklim” lingkungannya.

Hal ini dialami oleh salah satu stasiun tv lokal di Semarang yaitu
TV Borobudur. Berdasarkan riset awal yang penulis lakukan pada 11
Oktober 2016 dengan Agus Sutiyono selaku pimpinan unit kerja Kompas
TV Jateng, ini menunjukkan bahwa tv lokal mengalami kondisi yang tidak
menentu. Kondisi tidak menentu ini dijelaskan oleh Agus adalah kondisi
dimana TV Borobudur sulit untuk berkembang ketika tidak berjaringan
dengan tv swasta nasional. Sulit berkembang yang dimaksud salah satunya
terkait dengan biaya produksi program. Karena alasan tersebut kemudian
TV Borobudur memutuskan untuk bergabung dengan Kompas TV. TV
Borobudur resmi bergabung dengan Kompas TV sejak 2010. Setelah TV
Borobudur ini bergabung dengan Kompas TV, muncul banyak perubahan.
Perubahan tersebut diantaranya terletak pada konten, porsi siaran,
manajemen kerja, dll.

Dengan melihat kondisi TV Borobudur dengan Kompas TV ini,


menjadi kajian yang menarik untuk diteliti lebih jauh. Hal menarik
tersebut antara lain mengenai bagaimana praktek penyiaran tv berjaringan
pada saat ini, apakah sebelum berjaringan kondisinya berpihak pada
kepentingan publik, apakah aturan-aturan KPI, Kominfo, dan Peraturan
Pemerintah dijalankan terkait dengan batas dan larangan penyiaran, dan
sebagainya. Kementerian Komunikasi dan Informatika menekankan bahwa
peran stasiun tv berjaringan dalam memberdayakan lembaga penyiaran
lokal adalah tersebarnya kepemilikan dan konten penyiaran secara merata
disetiap daerah, pemberdayaan sumber daya lokal (budaya, SDM, modal,
dll), berkembangnya industri lokal yang terkait dengan bidang penyiaran
(artis lokal, iklan lokal, dll), dan adanya keseimbangan informasi antara
daerah dan daerah, serta daerah dengan pusat.

7
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka penulis


merumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut :
“Bagaimana praktek penyiaran tv berjaringan antara Kompas TV dan TV
Borobudur?”

c. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memperoleh uraian yang


lebih mendalam mengenai bagaimana praktek penyiaran tv berjaringan
antara Kompas TV dan TV Borobudur.

D. Manfaat Penelitian

 Manfaat Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu mengembangkan kajian studi ilmu
komunikasi dan memberikan sudut pandang yang baru.
 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan,
serta sebagai referensi bagi para peneliti lain yang akan melakukan
penelitian dengan tema maupun metode yang sama.

E.Kerangka Teori Konglomerasi Media

Konglomerasi merupakan suatu cara untuk mengurangi risiko bisnis


melalui diversifikasi. Konglomerasi dengan kepemilikan di berbagai aspek
bisnis media merupakan suatu cara agar perusahaan mampu bertahan
dengan baik apabila terjadi penurunan pada salah satu segmen pasar
tertentu. Pendekatan bisnis tanpa batas merupakan karakteristik umum
dalam “raksasa media” baru saat ini (Croteau 2006: 138). Sebagai contoh,
penghasilan Kompas Gramedia dari bisnis propertinya mengalami
penurunan, bisnis lain seperti tv, radio, event organizing dapat menutupi
penurunan tersebut.

Mengutip hasil riset kerjasama antara CIPG (Centre for Innovation


Policy and Government), Hivos dan Manchester Business School, bahwa
saat ini, dua belas kelompok media besar mengendalikan hampir semua
kanal media di Indonesia, termasuk didalamnya penyiaran, media cetak
dan media online. Lorimer dan Scannell menyatakan bahwa konglomerasi
merupakan salah satu bentuk kepemilikan terkait yang menggabungkan
beberapa jenis bisnis, biasanya meliputi integrasi perusahaan secara
horizontal dan vertikal, atau bahkan kepemilikan silang dari beberapa
perusahaan yang beroperasi di pasar yang berbeda.

8
Ada dua tipe konglomerasi, yaitu konglomerasi media dan
konglomerasi umum atau non-media. Konglomerasi media adalah bisnis
konglomerasi yang memfokuskan mayoritas penguasaan bisnisnya pada
industri media. Sedangkan konglomerasi umum atau non-media memiliki
fondasi bisnis pada industri non-media. Lorimer dan Scannell juga
menunjukkan tren yang berlangsung dengan kuat saat ini pada
kepemilikan perusahaan media adalah terjadinya pembelian perusahaan
kecil yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar (Lorimer, 1994:
86).

f.Marke Model Approach

Jika merujuk pada Croteau (2001: 15-17) maka dapat dikatakan bahwa
dalam market model approach atau pendekatan model pasar, media
merupakan alat pemenuhan kebutuhan masyarakat yang didasarkan atas
hukum permintaan dan penawaran. Masyarakat dalam hal ini merupakan
target konsumen, karena media dianggap sebagai sebuah barang atau jasa. 
Model ini berpendapat bahwa sebuah perusahaan dalam mengejar
keuntungan akan selalu bertabrakan dengan kebutuhan masyarakat.
Karena motif utama sebuah perusahaan adalah mencari keuntungan
sebasar-besarnya.

Selain itu David Croteau juga menjabarkan manfaat pasar yang dalam hal
ini erat kaitannya dengan perusahaan media.

1. Berikut adalah manfaat pasar :


a. Pasar mendorong efisiensi
Dalam hal ini pasar akan meningkatkan efisiensi namun juga
tetap pada motif utamanya, yaitu mencari keuntungan.
Sehingga perusahaan akan cenderung mengembangkan cara-
cara untuk dapat memberikan barang dan jasa pada biaya
terendah, namun dapat diterima oleh masyarakat. Barang dan
jasa dalam hal ini adalah program atau konten. Karena
program atau konten inilah yang menjadi satu-satunya hal
yang bisa di jual oleh perusahaan untuk bisa menarik
pengiklan.
b. Pasar mendorong respon
Pasar beroperasi pada prinsip permintaan dan penawaran.
Akibatnya, mereka peka terhadap kebutuhan masyarakat. Di
pasaran, harga berfungsi sebagai indikator kunci dari
penawaran dan permintaan. Ketika permintaan naik, harga
naik sampai persediaan meningkat mengembalikan
keseimbangan. Ketika permintaan turun maka harga turun.
Dalam kedua kasus, produsen menanggapi permintaan
konsumen sebagai akibat dari dinamika pasar.

9
c. Pasar mendorong fleksibilitas
Tidak hanya perusahaan berbasis ekonomi yang menanggapi
apa yang konsumen inginkan atau tidak, tetapi juga tidak
adanya perencanaan dan kontrol memungkinkan mereka untuk
beradaptasi dengan cepat terhadap permintaan baru. Oleh
karena itu, perusahaan yang beroperasi di pasar berbasis
ekonomi harus fleksibel dalam cara mereka mengatur dana
yang mereka hasilkan sehingga mereka dapat menanggapi
kondisi pasar yang baru. Sekali lagi, kompetisi sangat penting
dalam hal ini karena respon yang fleksibel diperlukan hanya
jika ada pesaing untuk menyingkirkan pelanggan dari
produsen yang tidak merespon dengan baik.
d. Pasar mendorong inovasi
Dalam pasar berbasis ekonomi, banyak produsen yang berbeda
bereksperimen dengan produk dan layanan yang baru.
Keuntungan besar mendorong inovasi perusahaan untuk
mengembangkan produk baru yang akan berada dalam pangsa
pasar yang lebih besar. Kurangnya kompetisi cenderung
mencegah inovasi. Dalam industri media, kurangnya kompetisi
dapat menyebabkan keengganan mengambil risiko dalam
produksi proyek baru yang inovatif. Akibatnya, pilihan bagi
konsumen lebih sedikit. Rendahnya keragaman dan inovasi
mungkin memiliki dampak negatif pada vitalitas budaya
masyarakat dan dapat merusak “ide pasar” yang begitu
fundamental untuk masyarakat demokratis.
e. Pasar dapat membuat media layaknya produk lain
Semua fitur dari pasar yang dijelaskan di atas berlaku untuk
media. Para advokat market model berpendapat bahwa seperti
produsen produk lain, media industri akan menanggapi
permintaan konsumen, pengembangan produk baru yang
inovatif, dan tetap fleksibel dan efisien. Dengan
memperlakukan produk media seperti produk lain, konsumen
dapat menikmati manfaat dari dinamika pasar (Croteau, 2001 :
13-19).

G. Public Sphere Model


Menurut David Croteau model ruang publik menunjukkan bahwa
kebutuhan masyarakat tidak dapat dipenuhi sepenuhnya melalui sistem
pasar. Karena pasar didasarkan pada daya beli konsumen. Selain itu,
model ruang publik berpendapat bahwa ada beberapa kebutuhan
masyarakat yang tidak bisa dipenuhi melalui dinamika penawaran dan
permintaan. Selain itu ini diperlukan untuk memperkuat demokrasi, konten
media tidak dapat diperlakukan sebagai sekadar produk lain. Oleh karena
itu, profitabilitas tidak bisa menjadi satu-satunya indikator industri media

10
yang sehat. Sebaliknya, kriteria kepentingan umum lainnya, seperti
keragaman dan hal lain digunakan dalam model ruang publik untuk
menilai kinerja media. Dari perspektif ini, pemerintah memainkan peran
yang berguna dan diperlukan dalam memastikan bahwa media memenuhi
kebutuhan warga, bukan hanya konsumen.

Serupa dengan yang diungkapkan David Croteau, Anita Septiani


Rosana seorang dosen Universitas Sultan Fatah Demak pada tahun 2011
dalam jurnalnya mengutip pendapat dari Sudibyo yang menekankan
bahwa ruang publik adalah wilayah dimana seluruh anggota masyarakat
dapat berinteraksi, bertukar pikiran, dan berdebat tentang masalah-masalah
publik, tanpa perlu merisaukan intervensi penguasa ekonomi atau
penguasa politik. Ruang publik merupakan ruang aspirasi dan aktualisasi
masyarakat yang secara bebas, dan di ruang ini juga publik secara bebas
melakukan transformasi sosial melalui berkelompok dan berserikat.

Ruang publik sebagai potensi demokrasi yang bisa saling


menguntungkan, apalagi ruang publik bisa diaktualisasikan dalam bentuk
aksi yang positif dan membangun. Realita sosial ruang publik adalah
ruang mayoritas. Dalam logika media, ruang publik adalah ruang
komunikan, di mana ruang ini menjadi aspek terpenting dalam pesan dan
kepentingan media. Media menjadi struktur terpenting dalam ruang publik,
karena mampu bersama-sama dengan publik menjadi kontrol sosial.
Habermas menyoroti kemampuan pers atau media massa untuk menjadi
sebuah ruang public. yang dapat menjalankan fungsinya. Media massa,
dengan jangkauannya yang luas dan kandungan informatif yang
dimilikinya, bersentuhan langsung dengan wilayah publik. Hanya saja,
Habermas mewaspadai bahwa keberadaan media massa tidak terlepas dari
kepentingan privat yang menyelenggarakannya. Kepentingan privat ini
harus ditampilkan secara terbuka dan dikesampingkan di bawah
kepentingan publik.

H.Kerangka Konsep Konglomerasi


Konglomerasi merupakan suatu cara untuk mengurangi risiko bisnis
melalui diversifikasi. Konglomerasi dengan kepemilikan di berbagai aspek
bisnis media merupakan suatu cara agar perusahaan mampu bertahan
dengan baik apabila terjadi penurunan pada salah satu segmen pasar
tertentu. Sebagai contoh, jika suatu saat penghasilan dari bisnis perfilman
tengah mengalami penurunan, mungkin pada saat yang bersamaan
pendapatan dari bisnis music recording dapat menutupi penurunan
tersebut, maka perusahaan konglomerat yang memiliki beberapa jenis
bisnis media akan lebih mampu bertahan dalam menghadapi berbagai
risiko bisnis. Pendekatan bisnis tanpa batas merupakan karakteristik umum
dalam “raksasa” media baru saat ini (Croteau, 2006:138).

11
Perluasan konsentrasi dan konglomerasi merupakan kondisi media dewasa
ini. Konglomerasi telah masuk dalam ranah penyiaran Indonesia, dimana
media cenderung dikendalikan oleh satu kepemilikan. Efek pemusatan
kepemilikan media adalah pemilik media lebih mencari keuntungan
daripada mementingkan kualitas (Rianto, 2012:13). Media kemudian
dipandang sebagai sebuah industri yang bertujuan untuk memenuhi selera
pasar demi memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.  Oleh karena itu,
terdapat beberapa akibat atau dampak dari adanya konglomerasi media.

a. Dampak Positif Konglomerasi Bisnis Media


1. Konglomerasi mengurangi derajat kompetisi media.
Maksud dari mengurangi derajat kompetisi media adalah pada
awalnya Indonesia terdapat beberapa stasiun televisi swasta
yaitu SCTV, RCTI, Global TV, Metro TV, TV7, Indosiar, TPI,
Lativi. Media televisi tersebut bersaing untuk memperebutkan
audiens dan pengiklan.
Namun, setelah terjadi merger dan akuisisi, media industri
berubah wajah. Ada lebih dari satu stasiun yang berada dalam
satu perusahaan besar yang menaunginya. Seperti, MNC Grup
dengan RCTI, Global TV, dan MNC TV (dulu bernama TPI),
CT Corp dengan Trans TV dan TV 7, Bakrie Grup dengan
ANTV dan TV One, kemudian ada pula Media Grup dengan
Metro TV, dan Elang Mahkota Teknologi dengan SCTV dan
Indosiar.
Tidak menutup kemungkinan, perubahan jaman dan
perkembangan informasi dan teknologi akan mengerucutkan
lagi media-media yang sudah ada ini dalam satu perusahaan
yang sama, sehingga setiap media tidak perlu memperebutkan
audiens dan pengiklan.
2. Kinerja ekonomi media yang diakuisisi atau dimerger
diharapkan lebih baik dibanding sebelumnya.
Hal ini dapat terlihat dari pengalaman MNC TV (dulu TPI)
yang kinerjanya menjadi semakin baik setelah berada dalam
satu perusahaan induk yaitu MNC Grup. Berdasarkan hasil
survei Forbes, menempatkan Hary Tanoesoedibjo sebagai
pemilik MNC Grup menjadi orang nomor empat terkaya di
Indonesia. Hal ini karena kesuksesan dari konglomerasi
medianya.
b. Dampak Negatif Konglomerasi Bisnis Media
1. Konglomerasi akan memicu komersialisasi.
Dalam KBBI, komersialisasi berarti perbuatan menjadikan sesuatu
sebagai barang dagangan. Sama halnya dengan komersialisasi
dalam konteks bermedia. Sebuah media tumbuh, berkembang, dan
mampu bertahan bila ada modal. Modal tersebut salah satunya bisa

12
diperoleh dari pengiklan. Media akan menjual program siarnya
kepada pengiklan sebagai alat pertukaran.

Kondisi industri media saat ini sudah mengikuti Market Model.


Dimana semuanya didasarkan pada motif mencari keuntungan
sebesar-besarnya. Sehingga kadang kala, media lupa untuk
menjalankan fungsinya sebagai agen perubahan, penyalur
informasi, mendidik, dan sebagai kontruksi sosial. Kemudian yang
terjadi selanjutnya adalah kegiatan komersialisasi program tanpa
memikirkan bahwa ada kepentingan publik yang tidak boleh
dilupakan, yaitu adanya public sphere, dimana masyarakat bisa
turut berpartisipasi secara aktif dalam memberikan informasi.

Media sering kali lupa bahwa dalam kegiatan bermedia pun tetap
ada etika dan norma yang harus selalu dipatuhi, agar masyarakat
tidak menjadi korban dari setiap “keegoisan” pemilik media yang
mengutamakan keuntungan yang sebesar-besarnya.

2. Konglomerasi menyebabkan keseragaman konten atau materi


program.
Salah satu dampak konglomerasi adalah keseragaman konten
program. Keseragaman konten membuat terbatasnya pilihan yang
pada akhirnya tidak menambah khazanah informasi dan
pengetahuan kepada publik. Dengan adanya konglomerasi
biasanya satu materi digunakan oleh media lain yang memiliki
hubungan kepemilikan yang sama.
3. Melemahnya fungsi kontrol jurnalistik, terutama yang terkait
dengan kepentingan pemilik.
Kepemilikan bisnis media di Indonesia yang dikuasai oleh
golongan tertentu memunculkan dampak lain yaitu media tidak
dapat menghindari konflik kepentingan. Pemberitaan yang
dimunculkan sering kali bertujuan sebagai kampanye politik atau
menjatuhkan pihak lawan. Jika diperhatikan, sesungguhnya nilai
beritanya tidak terlalu tinggi, tetapi karena adanya maksud untuk
membuat citra baik, maka hal itu dilakukan.

Sebagai contoh, pada setiap pemberitaan, TV One tidak pernah


menggunakan kata “lumpur lapindo” melainkan “lumpur sidoarjo.
Mengapa demikian? Karena PT. Lapindo dan TV One merupakan
perusahaan yang berada dibawah naungan Bakrie Grup. Maka dari
itu, dalam rangka untuk mengurangi pemberitaan yang buruk dan
menjaga citra baik Bakrie Grup, TV One memilih menggunakan
kata yang tidak memuat kata Lapindo di dalamnya.

13
4. Menurunnya Media saat ini cenderung bersifat profit oriented,
sehingga terkadang kualitas program yang tidak bagus pun apabila
ratingnya tinggi, akan tetap disiarkan untuk mendapatkan
keuntungan yang lebih besar lagi.
5. Praktek penyiaran tv berjaringan
Dalam konsep ini untuk melihat bagaimana praktek tv berjaringan,
peneliti akan mengukurnya dari bagaimana kebijakan redaksi,
sumber daya, teknik operasional, dan aturan. Kebijakan
redaksional ini berkaitan dengan bagaimana tim redaksi melakukan
penemuan ide untuk sebuah konten program, penentuan
narasumber, dan pada akhirnya akan menghasilkan proyeksi atau
plottingan untuk liputan. Hal ini penting untuk dilihat, karena ini
merupakan tahap pra produksi dan tahap yang sangat penting dari
sebuah kegiatan produksi. Melalui kebijakan redaksi, kita bisa
melihat bagaimana respon, perspektif, dan konstruksi pesan yang
ingin disampaikan kepada audiens melalui program atau berita
yang disiarkan.

Selanjutnya berkaitan dengan aturan. Aturan disini perlu dicermati untuk


melihat apakah sebuah media taat pada aturan yang telah dibuat oleh
pemerintah, KPI, maupun Kominfo. Apakah sebuah media, dalam hal ini
adalah TV Borobudur dan Kompas TV mengetahui secara persis mengenai
aturan-aturan yang ada yang mengatur tentang media penyiaran.
Kemudian, bila media tersebut melanggar aturan yang ada, bagaimana
sanksi yang diberikan oleh pemerintah, KPI, maupun Kominfo ini. Aturan
ada untuk membatasi maupun mengatur agar konglomerat media bisa
membuat medianya pada koridor penyiaran yang benar dan berpihak pada
kepentingan publik.

Sumber daya juga turut menentukan kelangsungan hidup sebuah


media. Misalnya modal, sumber daya manusia, budaya, dan lain-lain.
Peneliti ingin melihat bagaimana sumber daya yang ada akan
mempengaruhi perspektif dan konten media. Apakah TV Borobudur
dengan semangat kedaerahannya turut menjaga budaya lokal yang ada. TV
berjaringan pada umumnya muncul untuk menghindari ketergantungan
informasi terhadap pusat. Dalam kegiatan produksi tentunya perlengkapan
operasional merupakan hal yang mendukung dan mempengaruhi
kesuksesan produksi. Maka dari itu, peneliti ingin melihat bagaimana
teknik operasional tv berjaringan dalam hal ini TV Borobudur
mempengaruhi program siarnya. Teknik operasional tersebut meliputi
studio siaran dengan segala kelengkapannya, master control, peralatan
produksi program seperti kamera, transmisi, pengirim gambar lewat
satelit, dan sebagainya.

14
Terakhir berkaitan dengan administratif. Hal-hal administratif
misalnya praktek penyiarannya apakah sesuai dengan regulasi yang ada.
Kemudian berkaitan dengan ketentuan-ketentuan lain penyelenggaraan
sistem televisi berjaringan.

I. Metodologi Penelitian
a) Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yang bersifat
kualitatif. Penelitian kualitatif bertujuan untuk mendapatkan data
yang mendalam, suatu data yang mengandung makna. Makna
adalah data yang sebenarnya, data yang pasti yang merupakan
suatu nilai dibalik data yang tampak. (Sugiyono, 2013: 3)
Penelitian kualitatif ini secara spesifik lebih diarahkan pada
penggunaan metode studi kasus.

Studi kasus merupakan metode riset yang menggunakan berbagai


macam sumber data yang bisa digunakan untuk meneliti, menguraikan,
dan menjelaskan secara komprehensif berbagai aspek individu,
kelompok suatu program, organisasi atau peristiwa secara sistematis
(Kriyantono, 2006: 65). Menurut Lincoln dan Guba (Mulyana, 2010:
201) penggunaan studi kasus sebagai suatu metode penelitian kualitatif
memiliki beberapa keuntungan, yaitu.

1. Studi kasus dapat menyajikan pandangan dari subjek yang


diteliti.
2. Studi kasus menyajikan uraian yang menyeluruh yang mirip
dengan apa yang dialami pembaca kehidupan sehari-hari.
3. Studi kasus merupakan sarana efektif untuk menunjukkan
hubungan antara peneliti dan responden.
4. Studi kasus dapat memberikan uraian yang mendalam yang
diperlukan bagi penilaian atau transferabilitas.

Pada dasarnya penelitian dengan jenis studi kasus bertujuan untuk


mengetahui tentang sesuatu hal secara mendalam. Maka dalam
penelitian ini, peneliti akan menggunakan metode studi kasus
untuk mengungkap tentang keberadaan tv lokal yaitu TV
Borobudur di tengah konvergensi media.

b) Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah individu, benda, atau organism yang
dijadikan sumber informasi yang dibutuhkan dalam pengumpulan
data penelitian. Istilah lain yang digunakan untuk menyebut subjek
penelitian adalah responden, yaitu orang yang member respons atas
suatu perlakuan yang diberikan kepadanya (Idrus, 2009: 91).
Penulis memilih subjek penelitian ini yaitu Senior Producer dari

15
TV Borobudur (sekarang Kompas TV Jawa Tengah), dan News
Network Manager dari Kompas TV.
c) Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah Stasiun Kompas TV Jateng (dahulu
bernama TV Borobudur) yang terletak di Jl. Menteri Supeno No.
28-30, Semarang.
d) Jenis Data Penelitian
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh dari sumber data
pertama atau tangan pertama di lapangan. Sumber data ini
bisa diperoleh dari responden atau subyek penelitian, dari
hasil wawancara, observasi, dan lain sebagainya
(Kriyantono, 2006: 41-42). Data primer pada penelitian ini
diperoleh dari wawancara dengan Pimpinan Redaksi TV
Borobudur di Semarang, serta pihak terkait lainnya.
2. .Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber
kedua atau sumber sekunder. Data ini juga dapat diperoleh
dari data primer penelitian terdahulu yang telah diolah lebih
lanjut menjadi bentuk-bentuk seperti tabel, grafik, diagram,
gambar, dan sebagainya. Data sekunder ini bersifat
melengkapai, biasanya data sekunder ini sangat membantu
periset bila data primer terbatas atau sulit diperoleh
(Kriyantono, 2006: 42).
Terdapat dua kategori data sekunder, yaitu internal data dan
eksternal data. Internal data adalah data yang diperoleh dari
dalam organisasi atau lembaga sendiri dan hasilnya
digunakan oleh lembaga itu sendiri, sedangkan eksternal
data adalah data yang diperoleh dari sumber luar, misalnya
bisa diperoleh dari Biro Pusat Statistik (BPS), departemen
pemerintahan, kelurahan, dan lainnya. (Kriyantono, 2006:
43).
Data sekunder pada penelitian ini diperoleh dari jurnal-
jurnal yang berkaitan dengan penelitian, sehingga nantinya
dapat digunakan untuk mendukung penelitian. Selain
jurnal, data sekunder yang digunakan lainnya antara lain,
seperti data pola siaran sebelum dan sesudah bermitra
dengan Kompas TV.

J. Teknik PengumpulanData
1.Metode Wawancara
Metode wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan
penelitian. Pewawancara dan responden atau orang yang diwawancarai
akan bertatap muka dan melakukan tanya jawab dengan atau tanpa
menggunakan (guide) wawancara (Bungin, 2007: 111). Bentuk wawancara
yang digunakan pada penelitian ini adalah wawancara mendalam.

16
Metode wawancara mendalam atau in-depth interview adalah sama
seperti metode wawancara lainnya, hanya peran wawancara, tujuan, peran
informan, dan cara melakukan wawancara berbeda dengan wawancara
pada umumnya. Dalam metode wawancara mendalam penggalian
informasi dilakukan berkali-kali dan membutuhkan waktu yang lama
bersama informan di lokasi penelitian (Bungin, 2007: 111)

Informan yang peneliti wawancarai pada penelitian ini adalah


Senior Producer dari TV Borobudur (sekarang Kompas TV Jawa Tengah),
News Network Manager dari Kompas TV, serta pihak terkait lainnya.

2. Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi merupakan metode mencari data mengenai variabel
yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, notulen rapat,
agenda, dan sebagainya (Arikunto, 2002: 206). Dokumen sudah lama
digunakan dalam penelitian sebagai sumber data karena dalam banyak hal,
dokumen sebagai sumber data dapat dimanfaatkan untuk menguji,
menafsirkan, bahkan untuk meramalkan (Moleong, 2008: 217).

Pada penelitian ini dokumen yang digunakan oleh penulis adalah


data pola siaran TV Borobudur sebelum dan sesudah bermitra dengan
Kompas TV, dan hasil pengamatan tayangan program-program lokal TV
Borobudur di Kompas TV Jateng.

K.Teknik Analisis Data


Analisis data menurut Bogdan adalah proses mencari dan menyusun secara
sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan
bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat
diinformasikan kepada orang lain (Sugiyono, 2013: 88).

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada


model analisis data milik Huberman dan Miles yang disebut dengan model
interaktif. Model interaktif ini terdiri dari tiga hal utama yaitu reduksi data,
penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi (Idrus, 2009: 147-
148) :

1.Tahap Reduksi data


Reduksi data dapat diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan
perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data
kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis dari lapangan. Tahapan
reduksi data merupakan bagian kegiatan analisis sehingga pilihan-pilihan
peneliti tentang bagian data mana yang dikode, dibuang, pola-pola mana
yang meringkas sejumlah bagian tersebut, cerita apa yang berkembang,
merupakan pilihan-pilihan analitis. Dengan begitu proses reduksi data
dimaksudkan untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan,
membuang bagian data yang tidak diperlukan.

17
2.Tahap Penyajian data
Penyajian data dimaknai Miles dan Huberman sebagai sekumpulan informasi
tersusun yang member kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan
pengambilan tindakan. Dengan mencermati penyajian data ini, peneliti akan lebih
mudah memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan.

3. Tahap Penarikan kesimpulan (Verifikasi)

Verifikasi atau penarikan kesimpulan dimaknai sebagai penarikan arti data


yang telah ditampilkan. Pemberian makna ini tentu saja sejauh pemahaman
peneliti dan interpretasi yang dibuatnya. Beberapa cara yang dapat dilakukan
dalam proses ini adalah dengan melakukan pencatatan untuk pola-pola dan tema
yang sama, pengelompokan, dan pencarian kasus-kasus negatif. Penarikan
kesimpulan dapat saja berlangsung saat proses pengumpulan data, baru kemudian
reduksi data dan penyajian data. Namun, kesimpulan ini belum merupakan
kesimpulan final, perlu adanya verifikasi hasil temuan di lapangan.

18
DAFTAR PUSTAKA

OMARBUSTAMI.BLOGSPOT.CO.ID Sumber buku Studi Kelayakan Agribisnis

Karya Achmad Musyadar

Kasmir, jakfar, Studi Kelayakan Bisnis, (Jakarta:KENCANA,2010) hal.5

Husein Umar, Studi Kelayakan Bisnis, (Jakarta:PT. GRAMEDIA,1997) hal.4

Kasmir, jakfar, Studi Kelayakan Bisnis, ibid, hal.5

Husein Umar, Studi Kelayakan Bisnis, ibid, hal.7

[5] Yacob Ibrahim, Studi Kelayakan Bisnis, (Jakarta:PT.RINEKA CIPTA,1998)

hal.1

[6] Kasmir, jakfar, Studi Kelayakan Bisnis, ibid, hal.6

19

Anda mungkin juga menyukai