Anda di halaman 1dari 16

Hukum, Etika dan Regulasi Media

Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Mata kuliah Manajemen Media Cetak
Elektronik dan Online

Dosen Pengampu Dedy Riyadin Saputro M. I. Kom

Disusun Oleh :

Zahrotul Warda

2017102045

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH

UIN PROF. K.H. SAIFUDDIN ZUHRI

PURWOKERTO

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada waktunya. Shalawat serta
salam tak lupa pula dihaturkan kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW,
semoga kita tergolong umatnya yang akan mendapat syafa’at-nya kelak.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Manajemen Media Cetak Elektronik dan Online. Selain itu, makalah berjudul’ Hukum, Etika
dan Regulasi Media” ini juga diharapkan dapat menambah wawasan baik bagi pembaca
maupun bagi penulis sendiri.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dedy Riyadin Saputro M. I. Kom
selaku dosen pengampu mata kuliah Manajemen Media Cetak Elektronik dan Online yang
telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan sesuai dengan bidang
studi yang penulis tekuni. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga makalah ini dapat
diselesaikan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang
membangun dari berbagai pihak. Kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi para pembaca.

Rabu, 15 Juni 2022

Zahrotul Warda

ii
DAFTAR ISI

JUDUL ............................................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ..................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1

A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan .................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................. 2

A. Hukum Media Massa .............................................................................................. 2


B. Etika Media Massa ................................................................................................. 6
C. Regulasi Media Massa ............................................................................................ 8

BAB III PENUTUP .......................................................................................................... 12

A. Kesimpulan ............................................................................................................. 12
B. Saran ....................................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 13

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tidak heran bahwa setiap informasi yang baru terjadi mudah dan cepat
tersebar di seluruh pelosok dalam maupun luar negeri yang terhubung internet. Media
massa di era teknologi digital dituntut untuk dapat memberikan informasi yang cepat
dan dapat menarik perhatian publik. Kecepatan informasi tersebar ini tentunya
memiliki sisi positif sekaligus negatif tergantung dari persfektif, isi pesan dan
penggunaannya. Kecepatan isi pesan terus bertambah setiap waktunya. Adanya si
pembuat pesan, mengindikasi banyak ide dan konsep yang dimasukkan dalam isi
pesan tersebut, termasuk dalam tatanan isinya. Oleh sebab itu, perlu adanya etika dan
hukum yang mengikat media massa tersebut.

Hukum dan etika media komunikasi merupakan peraturan perilaku formal


yang dipaksakan oleh otoritas berdaulat, seperti pemerintah kepada rakyat atau warga
negaranya. Dalam ranah media massa, ada beberapa regulasi yang mengatur
penyelenggaraan dan pemanfaatan media massa. Selain undang-undang dan
peraturan-peraturan lain yang dibuat oleh lembaga legislatif ataupun pemerintah
tersebut, perlu adanya pedoman berperilaku lain yang tidak memberi sanksi fisik, baik
berupa penjara atau denda, namun lebih pada sanksi moral untuk mengatur manusia
dalam berinteraksi dengan media yang memiliki aspek yang kompleks berupa etika.

B. Rumusan Masalah
1. Bagamana Hukum Media Massa?
2. Bagaimana Etika Media Massa?
3. Bagaimana Regulasi Media Massa?

C. Tujuan penulisan
1. Mengetahui Hukum Media Massa
2. Mengetahui Etika Media Massa
3. Mengetahui Regulasi Media Massa

D.

iv
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hukum Media Massa

Hukum media massa yaitu segala hal yang berkaitan dengan pengaturan
kepentingan umum berkaitan dengan aktivitas komunikasi yang diperantarai teknologi
media.1 Media massa perlu diatur melalui hukum tertulis karena memiliki kekuatan
yang besar di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, tersedianya hukum media
massa akan menjamin kondisi masyarakat yang harmonis berkaitan dengan hubungan
media dan masyarakat. Dalam hal ini diatur oleh badan yang memiliki kewenangan
untuk mengatur dalam rangka memelihara keadilan. Fenomena komunikasi massa
perlu diatur karena hadir di tengah kehidupan sosial yang memiliki implikasi terhadap
kehidupan masyarakat. Media massa berkaitan dengan aspek politik, ekonomi,
budaya, dan seterusnya.

Secara umum, sejarah hukum media di Indonesia dalam kurun waktu sekitar 1,5
abad sejak zaman Hindia Belanda hingga era reformasi di abad ke-21 diwarnai
dengan ketentuan hukum yang mengekang kebebasan media, khususnya kebebasan
pers. Meskipun terdapat pasang surut, namun secara umum pengekangan lebih
menonjol daripada kebebasannya.

Dilihat dari sifat peraturannya, sejarah hukum media dapat dibagi dalam tiga
periode (Wiryawan :2007)2

Pertama, Periode Sensor Preventif Masa Penjajahan Belanda

Sejarah hukum media di Indonesia dimulai sejak keluarnya peraturan hukum yang
bersifat sensor preventif media yang pertama di Indonesia pada zaman Hindia
Belanda, yaitu berlakunya Reglement op de Drukwerken in Nederlandsch-Indie tahun
1856 yang mewajibkan semua karya cetak sebelum diterbitkan harus dikirim lebih
dahulu kepada Algemeene Secretarie, bila aturan ini tidak dipatuhi maka karya cetak
akan disita bahkan bisa disertai penyegelan.

1
Kusumastuti, Frida dan Antoni, Hukum Media Massa. Dalam: Pengertian Hukum Media Massa, Universitas Terbuka,
Jakarta(2014), hlm. 1-33. ISBN 9789790117129.

2
Sinung Utami Hasri Hapsari, Hukum Media, Dulu, Kini dan Esok, Riptek Vol.6, No.I, Tahun 2012, Hal 50.

v
Kedua, Periode Perizinan/Pemberedelan

Pada periode ini, hukum yang yang berlaku adalah hukum yang mewajibkan media
untuk memperoleh izin terlebih dahulu sebelum menerbitkan medianya. Bila tidak
memiliki izin atau melanggar ketentuan hukum (misalnya melanggar ketertiban
umum, menghina pejabat negara, dan sebagainya) penguasa berwenang menutup
media.

Ketiga, Periode Kebebasan Pers Awal pemerintahan Orde Baru

Pers mengalami masa kebebasan dengan dikeluarkannya TAP MPRS RI No


XXXII/MPRS/1966 tentang Pembinaan Pers, yang memberi pengakuan kebebasan
hak setiap warga negara untuk mengeluarkan pendapat dan pikiran melalui pers. Tap
MPRS ini menjadi dasar perumusan UU No 11/1966 yang menyatakan bahwa
kebebasan pers Indonesia adalah kebebasan untuk menyatakan serta menegakan
kebenaran daan keadilan, bukan kebebasan dalam arti liberalisme. Akan tetapi akibat
peristiwa Malari, sistem politik Orde Baru yang demokratis bergeser ke sistem
otoriter yang berimbas juga pada hukum media massa.

Perubahan teknologi informasi nyatalah menjadi hal yang amat berpengaruh


dalam kehidupan media berita kita.3 Batas-batas dan definisi sebagaimana tertuang
dalam perundangan maupun peraturan hukum mengenai pers menjadi semakin tidak
relevan dan tak berkesesuaian lagi dengan realita di masa kini. UU Pers masih
menyibukkan diri dengan mengatur media berita dan segala aspeknya, namun dalam
paradigma lama yang tak lagi sesuai dengan kebutuhan dan praktik media kekinian.
Oleh karena itu, sesungguhnya perubahan dalam UU Pers menjadi sesuatu yang harus
dilakukan. Perubahan ini penting untuk menjangkau berbagai hal yang kini berada di
dalam ranah abu-abu (grey areas). Untuk itu, perlu berbagai terobosan untuk
mengatasi berbagai perubahan yang berada dalam ruang vakum tanpa pengaturan oleh
hukum.

Perubahan undang-undang misalnya perlu memberikan batasan yang lebih tegas


lagi kepada apa yang hendak didefinisikan sebagai wartawan. Hal ini penting untuk
menghindari adanya orang yang menjadi korban manakala melakukan kegiatan

3
Sinung Utami Hasri Hapsari, Hukum Media, Dulu, Kini dan Esok, Riptek Vol.6, No.I, Tahun 2012, Hal 50.

vi
jurnalistik namun tak dianggap sebagai wartawan dan oleh karenanya tak dilindungi
oleh hukum.

Selain itu, penting pula mengadakan berbagai perubahan lainnya dalam UU pers
sekalipun tak bersangkut paut dengan dampak perkembangan teknologi terkini
terhadap kelangsungan media. Perubahan dimaksud adalah langkah yang dirasakan
telah mendesak dilakukan untuk mengakhiri keberpihakan UU Pers pada pengusaha
daripada kepada wartawan. Posisi wartawan dalam konteks keberadaannya sebagai
buruh dari perusahaan amat sangat kentara tak diuntungkan.

Dapat dilihat keberadaan segala peraturan tertulis yang berkaitan dengan media
massa seperti UU Pers, UU Penyiaran, Kode Etik Humas, Kode Etik Periklanan, UU
Perfilman, UU Hak Cipta. Tentu saja berkaitan dengan media baru terdapat juga UU
yang berkaitan dengan media cyber.4

>Landasan dan Fokus Hukum Media Massa

Pada dasarnya landasan hukum untuk media massa mengacu pada pengakuan akan
kebebasan berkomunikasi bagi setiap manusia. Seperti tertuang dalam Deklarasi Hak-
Hak Asasi Manusia 1948 dan Konvensi Internasional Tentang Politik dan Hak-hak
Sipil 1966, bahwa setiap manusia memiliki hak untuk berpendapat tanpa mendapat
tekanan dan berhak untuk mengekspresikan diri yang meliputi mencari, memperoleh,
dan menyebarkan informasi, ide, dan segala bentuk ekspresi diri yang lain, baik
secara tertulis maupun lisan melalui media yang diinginkan.

Mengutip tulisan Budi Suprapto, Hukum dan Kebijakan Komunikasi, dalam Jurnal
Publica (2004), ada sembilan jenis aturan hukum dan kebijakan yang mengatur fungsi
media, di mana setiap negara memilikinya; yaitu yang mengatur, (1) kebebasan untuk
berkomunikasi, yang meliputi mencari, memperoleh dan menyebarkan informasi; (2)
penyiaran dan telekomunikasi, misalnya penggunaan gelombang; (3) industri yang
mendukung kebijakan pemerintah, khususnya industri budaya; (4) kebebasan untuk
mengakses informasi yang berkaitan dengan proses pembuatan kebijakan; (5) hukum
yang membatasi kebebasan bicara, seperti hukum tentang pencemaran nama baik
yang ditujukan untuk melindungi reputasi seseorang; (6) hukum hak cipta, yang
ditujukan untuk melindungi kekayaan intelektual, yang dapat diaplikasikan untuk
4
Kusumastuti, Frida dan Antoni, Hukum Media Massa. Dalam: Pengertian Hukum Media Massa, Universitas Terbuka,
Jakarta (2014), hlm. 24. ISBN 9789790117129.

vii
melindungi kepentingan lembaga atau perusahaan publik, yang biasanya ditujukan
untuk perusahaan-perusahaan yang sudah go public dan menyangkut nasib orang
banyak; (8) hukum yang mengatur penyebaran dan penggunaan teknologi; (9) hukum
kontrak dan hukum perusahaan

>Hukum Media Massa: Lex Specialis dan Lex Generalis

Dalam bidang hukum dikenal apa yang disebut dengan lex specialis derogat legi
generalis (undang-undang yang bersifat khusus mengabaikan undang-undang yang
bersifat umum). Nah, itu berarti semua delik pidana dan perdata pers mestinya
diproses hukum menurut Undang-Undang Pers. Namun yang terjadi khususnya di
Indonesia belum semua pihak setuju bahwa UU Pers itu bersifat khusus (lex
specialis).

Pihak yang tidak setuju bahwa UU Pers itu bersifat khusus memiliki alasan seperti
dikatakan oleh Dr. Marwan Effendi, yang saat itu menjabat sebagai staf Kejaksaan
Agung RI seperti dikutip Tim AJI Jakarta (2005) salah satunya yaitu karena
penjelasan pasal 12 UU Pers menentukan bahwa terhadap pelanggaran pidana
dikenakan undang-undang pidana. Pihak yang berpendapat UU Pers bersifat lex
spesialis memiliki alasan dikarenakan UU Pers sudah mengatur delik pidana. Oleh
karena itu, segala proses hukum pers mestinya juga menggunakan UU Pers.

>UU PERS vs KUHP DAN KUHAP

Pasal tentang penghinaan, pencemaran, atau pelecehan (defamation) merupakan


perkara yang paling sering muncul dalam hukum pers. Banyak negara yang sudah
meninggalkan criminal defamation dengan jeratan hukum pidana. Mereka
mengalihkan perkara defamation menjadi jeratan hukum perdata dengan dasar
pemikiran sebagai berikut.

1. Adalah hak monopoli negara untuk menuntut suatu tindak pidana ke pengadilan.
2. Hukuman pidana (penjara) bersifat menyakiti secara fisik.
3. Sifat pertanggung jawaban hukum pidana yang individual (dan diperluas ke
badan hukum) dianggap tidak lagi layak untuk pers.
4. Pada prinsipnya, kasus pidana tidak mengenal damai, kecuali untuk delik aduan
yang memungkinkan damai sebelum kasusnya dilimpahkan ke pengadilan.

viii
Alasan-alasan demafation lebih sesuai sebagai perkara perdata seperti di
atasdiperkuat dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2003 yang
mewajibkan pihak yang bersengketa melakukan mediasi sebelum berlanjut ke
pengadilan. Dalam modul kita kali ini juga dikutipkan sebagian dari Tim AJI Jakarta
(2005) tentang pasal-pasal pidana dalam KUHP yang berpotensi menjerat jurnalis,
namun ditemukan mengandung unsur-unsur yang harus dibuktikan di pengadilan.
Unsur ”barang siapa.” Yaitu orang atau badan hukum yang melakukan, turut
melakukan atau membantu melakukan. Unsur ”dengan sengaja.” Artinya tindakan itu
harus disertai unsur kesengajaan (dolus). Unsur ”tindakan yang diancam dengan
hukuman pidana.” Artinya tindakan itu harus dibuktikan benar-benar terjadi.

B. Etika Media

Etika merupakan suatu perilaku yang mencerminkan itikad baik untuk melakukan
suatu tugas dengan kesadaran, kebebasan yang dilandasi kemampuan.5 Dalam konteks
komunikasi, maka etika yang berlaku harus sesuai dengan norma-norma setempat.
Pertimbangan etis bukan hanya di antara baik dan buruk, juga harus merujuk kepada
patokan nilai, standar benar dan salah. Setiap profesi memiliki kode etik, yaitu norma
yang berasal dari suatu komunitas professional sebagai acuan nilai bagi pelaku
profesi. Etika berfungsi umumnya untuk melindungi kepentingan manusia, sehingga
pelaksanaan jurnalistik wartawan dapat berlangsung dan dirasakan oleh manusia
bahwa pemberitaan tersebut berfungsi dan berkenan bagi rasa tenteram dan damai.6

Media mempunyai tanggung jawab terhadap para khalayak yang mengkonsumsinya


yang disebut sebagai etika media massa yaitu:7

1. Media harus menyajikan pemberitaan yang benar, komprehensif dan cerdas. Media
dituntut untuk selalu akurat dan tidak berbohong. Fakta harus disajikan sebagai
fakta, dan pendapat harus dikemukakan sebagai pendapat. Kriteria kebenaran juga
dibedakan menurut ukuran masyarakat: masyarakat sederhana dan masyarakat
modern.
5
Silvia Riskha Fabriar, Etika Media Massa Era Global, (2014). Jurnal Komunikasi Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi
Universitas Islam Nahdlatul Ulama (UNISNU) Jepara, hal. 77.

6
Abdul Choliq Dahlan, (2011). Hukum, Profesi Jurnalistik dan Etika Media Massa. Jurnal Hukum Faculty of Law, Unissula,
Vol XXV, No. 1, hal. 396.

7
Ardianto, E., Komala, L., & Karlinah, S. (2017), Komunikasi Massa: Suatu Pengantar (Revisi ed.), Bandung: Simbiosa
Rekatama Media. Hal. 74.

ix
2. Media harus berperan sebagai forum pertukaran pendapat, komentar dan kritik.
Karenanya, media tak hanya berfungsi sebagai sumber informasi melainkan juga
forum penyelesaian masalah.
3. Media harus menyajikan gambaran khas dari setiap kelompok masyarakat. Syarat
ini menuntut media untuk memahami karakteristik dan juga kondisi semua
kelompok di masyarakat tanpa terjebak pada stereotipe. Tujuannya adalah untuk
menghindari terjadinya konflik sosial di masyarakat terkait dengan isi berita yang
disajikan.
4. Media harus selalu menyajikan dan menjelaskan tujuan dan nilai-nilai masyarakat.
Ini tidak berarti media harus mendramatisir pemberitaannya, melainkan berusaha
mengaitkan suatu peristiwa dengan hakikat makna keberadaan masyarakat dalam
halhal yang harus diraih. Hal ini karena media merupakan instrumen pendidik
masyarakat sehingga media harus memikul tanggung jawab pendidik dalam
memaparkan segala sesuatu dengan mengaitkannya ke tujuan dasar masyarakat.
5. Media harus membuka akses ke berbagai sumber informasi. Masyarakat industri
modern membutuhkan jauh lebih banyak ketimbang di masa sebelumnya. Alasan
yang dikemukakan adalah dengan tersebarnya informasi akan memudahkan
pemerintah menjalankan tugasnnya. Dengan informasi, sebenarnya media
membantu pemerintah menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi dalam
masyarakat.

Beberapa kasus pelanggaran etika dan hukum yang dapat ditemui di media massa
adalah sebagai berikut:

Tayangan reality show "Katakan Putus" di stasiun televisi "Trans TV", acara ini
juga menampilka problem-problem yang mengumbar - umbar aib yang penuh dengan
drama lika - liku percintaan yang begitu rumit dan sulit untuk di tonton, terutama untuk
anak dibawah umur. Misalnya seperti dalam tayangan "Katakan Putus" pada tanggal
28 Januari 2019 dimana dalam tayangan tersebut ada beberapa adegan kekerasan yang
di pertontonkan kepada para penonton.8

Iklan Mie Sedaap mengajarkan anak kecil untuk berbohong kepada orang lain
dengan alasan yang sangat tidak masuk akal. Si anak bersandiwara dengan meraung-
raung seolah-olah ia sedang menangisi ayahnya yang sudah tiada. Parahnya lagi,

8
Aji Anugrah Putra, Pelanggaran Etika Tayangan Reality Show di Televisi, 24 Mei 2019, kompasiana.com.

x
perbuatan itu dilakukan anak demi kepentingan orang tuanya dalam hal ini sang ayah
yang pemalas karena tidak mau ikut kerja bakti. Tentu saja, perbuatan ayah dan anak
dalam iklan itu telah melanggar susila dan norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Merespon penayangan iklan Mie Sedaap yang disiarkan pada tahun 2010, KPI (Komisi
Penyiaran Indonesia) mendesak semua stasiun televisi untuk tidak menayangan iklan
yang sangat tidak mendidik tersebut. Iklan Mie Sedaap versi Papa Hidup Lagi telah
melanggar Pasal 49 ayat (1) Standar Program Siaran (SPS) KPI yang menyatakan soal
kewajiban berpedoman pada Etika Pariwara Indonesia (EPI). Dalam EPI Bab III, A.
3.1.2 menyebutkan bahwa “iklan tidak boleh memperlihatkan anak-anak dalam
adegan-adegan yang menyesatkan atau tidak pantas dilakukan oleh mereka”.9

Pada stasiun tvOne, KPI menemukan pelanggaran pada penyiaran breaking news
yang menampilkan visualisasi mayat korban maupun terduga pelaku tergeletak di
dekat Pos Polisi Sarinah. Gambar tersebut ditayangkan tanpa adanya penyamaran
(blur), sehingga terlihat secara jelas. Selain itu, pada program ini pula ditampilkan
informasi yang tidak akurat tentang 'Ledakan Terjadi di Slipi, Kuningan, dan Cikini'.
KPI pada program jurnalistik 'Patroli' yang disiarkan stasiun televisi Indosiar pada
pukul 11.05 WIB. KPI mendapati adanya tampilan potongan gambar yang
memperlihatkan visualisasi mayat yang tergeletak di dekat Pos Polisi Sarinah tanpa
disamarkan (blur). KPI menilai penayangan tersebut tidak layak dan tidak sesuai
dengan etika jurnalistik, serta mengakibatkan ketidaknyamanan terhadap masyarakat
yang menyaksikan program tersebut. Visualisasi mayat korban ledakan juga ditemukan
pada program breaking news di iNews TV.10

C. Regulasi Media

Regulasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pengaturan. Regulasi di


Indonesia diartikan sebagai sumber hukum formil berupa peraturan perundang-
undangan yang memiliki beberapa unsur, yaitu merupakan suatu keputusan yang
tertulis, dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang, dan mengikat
umum. Regulasi juga merupakan segala yang mengatur kehidupan bersama Ada
kebijakan komunikasi media dan kebijakan komunikasi non media.
9
Rizka Pratiwi Utami, 5 Iklan Indonesia yang Kontroversial Sampai Dicabut KPI, No 4 Gara-gara Ayam, 19 Agustus 2018,
palembang.tribunnews.com., 19 Agustus 2018, palembang.tribunnews.com.

10
Dieqy Hasbi Widhana, Langgar kode etik, Indosiar, iNews, tvOne & Elshinta dijatuhi sanksi, 14 Januari 2016,
merdeka.com.

xi
Dan Sumber dari regulasi media yaitu UUD 1945 dan sosiokultural masyarakat,
adapun regulasi itu mencakup UUD 1945, undang-undang, peraturan pemerintah,
peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan gubernur, peraturan daerah. Jenis-
jenis regulasi media di Indonesia yaitu:11

1. UU No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran yang mengatur penyiaran di Indonesia


yaitu televisi, radio, siaran iklan (niaga dan layanan masyarakat), spektrum
frekuensi radio, lembaga penyiaran, sistem penyiaran nasional, izin
penyelenggaraan penyiaran.
2. UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers, yang mengatur tentang pers di Indonesia
yaitu perusahaan pers, dewan pers, kantor berita, waartawan, organisasi pers, pers
nasional, pers asing, penyensoran, pembredelan, hak tolak, hak jawab, hak koreksi,
kewajiban koreksi, kode etik jurnalistik.
3. UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang
mengatur tentang informasi elektronik, transaksi elektronik, dokumen elektronik,
sistem elektronik, penyelenggaraan sistem elektronik, jaringan sistem elektronik,
agen elektronik, tandatangan elektronik.
4. UU No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang mengatur
mengenai informasi publik, badan publik, komisi informasi, sengketa informasi
public, mediasi, pengguna informasi publik, pejabat pengelola informasi.
5. UU No. 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman, yang mengatur film di Indonesia yaitu
perfilman, kegiatan perfilman, usaha perfilman, iklan film, insan film, sensor film.
6. UU No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi, yang mengatur tentang
telekomunikasi di Indonesia, yaitu alat telekomunikasi, perangkat telekomunikasi,
sarana dan prasarana telekomunikasi, pemancar radio, jaringan telekomunikasi,
jasa telekomunikasi, penyelenggara telekomunikasi, pemakai, pelanggan,
pengguna.
7. UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, yang mengatur mengenai hak cipta,
yaitu pencipta, ciptaan, dewan hak cipta, pemegang hak cipta, pengumuman,
perbanyakan, potret, program komputer, pelaku, produser rekaman suara, lembaga
penyiaran, lisensi.

11
Itsna H. K. dan Nuning S., Regulasi Media di Indonesia (Kajian pada Keterbukaan Informasi Publik dan Penyiaran), 2015,
Promedia, Vol. 1, No. 2, hal. 95.

xii
Media memiliki pengaruh yang kuat terhadap pembentukan pola pikir, sikap, dan
perilaku khalayak. Agar perilaku media selaras dengan kepentingan nasional, maka
dibutuhkan regulasi yang menjamin profesionalisme media. Regulasi adalah peraturan
yang harus diikuti oleh media dalam menjalankan peran dan fungsinya di masyarakat.
Regulasi dapat berbentuk peraturan yang ditetapkan pemerintah (seperti Undang-
Undang Pers) atau kode etik yang berupa keputusan organisasi profesi (seperti Kode
Etik Jurnalistik). Tulisan ini mengkaji dua regulasi media di Indonesia yaitu Undang-
Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers dan Undang-Undang No.32 tahun 2002
tentang Penyiaran.12

1. Undang-Undang Pers

Undang-Undang Pers Regulasi yang mengatur pers di Indonesia adalah Undang-


Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Secara umum, pers adalah seluruh
industri media yang ada, baik cetak maupun elektronik. Namun secara khusus,
pengertian pers adalah media cetak (printed media). Undang-Undang Pers berlaku
secara general untuk seluruh industri media. Sebagai penjabaran Undang-Undang
Pers, juga ditetapkan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) untuk wartawan/organisasi pers.
KEJ telah diatur dalam Peraturan Dewan Pers No.6/Peraturan-DP/V/2008 tentang
pengesahan SK Dewan Pers tahun 2006 tentang KEJ. Dalam KEJ 2006, kode etik
wartawan / organisasi pers, berisi 11 pasal yang ditandatangani oleh 29 organisasi
wartawan / perusahaan pers Indonesia.

2. Undang-Undang PenyiaranPenyiar

Pengelolaan media penyiaran di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor


32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Dalam undang-undang ini dijelaskan bahwa:
“Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran
dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan
spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat
diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat
penerima siaran”. Media penyiaran terdiri atas radio dan televisi. Media penyiaran
dapat berbentuk: (a) Lembaga Penyiaran Publik; (b) Lembaga Penyiaran Swasta;

12
Muhammad A. A., Regulasi Media di Indonesia (Tinjauan UU Pers dan UU Penyiaran), Jurnal Dakwah Tabligh, Vol. 15, No.
2, Desember 2014, hal. 139.

xiii
(c) Lembaga Penyiaran Komunitas; dan (d) Lembaga Penyiaran Berlangganan
yang memiliki karakteristik berbeda-beda.

Selanjutnya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menetapkan Pedoman Perilaku


Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) sebagai penjabaran Undang-
Undang Penyiaran. P3 diatur dalam Peraturan KPI No. 02 tahun 2007 dan SPS
diatur dalam Peraturan KPI No. 03 tahun 2007. Pedoman Perilaku Penyiaran (P3)
adalah ketentuan-ketentuan bagi Lembaga Penyiaran yang ditetapkan oleh Komisi
Penyiaran Indonesia untuk menyelenggarakan dan mengawasi sistem penyiaran
nasional Indonesia. Pedoman ini merupakan panduan tentang batasan- batasan apa
yang boleh dan atau tidak boleh dalam proses pembuatan program siaran. Berapa
prinsip yang termuat dalam P3 , antara lain: (1) penghormatan terhadap Suku,
Agama, Ras, dan Antargolongan; (2) penghormatan terhadap norma kesopanan
dan kesusilaan; (3)perlindungan terhadap anak-anak dan perempuan; serta (4)
pelarangan dan pembatasan program adegan seksual, kekerasan, dan sadisme.

Standar Program Siaran (SPS) adalah ketentuan yang ditetapkan oleh Komisi
Penyiaran Indonesia bagi Lembaga Penyiaran untuk menghasilkan program siaran
yang berkualitas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. SPS
merupakan panduan tentang batasan-batasan apa yang boleh dan tidak boleh
dalam penayangan program siaran. Dalam SPS, diatur antara lain: (1)
penghormatan pada Suka, Agama, Ras, dan Antargolongan; (2) Kesopanan dan
Kesusilaan; (3) Pelarangan dan pembatasan program siaran seks; serta
(4)pelarangan dan pembatasan program siaran kekerasan dan kejahatan.

xiv
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hukum dan etika harus mengikat media massa untuk memberikan standarisasi
serta menjadi koridor akan isi pesan, media dalam bentuk lembaga sekaligus efek
terpaan media massa. Beberapa contoh pelanggaran yang terjadi menjadi bukti nyata
bahwa hukum dan etika harus mengikat media massa sebagai filter sekaligus
mengembalikan fungsi media massa dalam memberikan informasi, hiburan bahkan
tayangan ke khalayak umum sebagai penikmat konten.

Agar media dapat melaksanakan peran dan fungsinya dengan baik, maka regulasi
media harus dilaksanakan secara profesional oleh industri media. Regulasi adalah
peraturan yang mengikat media dalam menjalankan aktivitasnya di masyarakat.
Regulasi dapat berbentuk peraturan yang ditetapkan pemerintah (seperti Undang-
Undang Pers); atau kode etik yang ditetapkan oleh organisasi wartawan atau profesi
(seperti Kode Etik Jurnalistik).

Regulasi yang mengatur kehidupan pers di Indonesia adalah Undang-Undang


Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Selain itu, juga ditetapkan Kode Etik Jurnalistik
(KEJ) untuk wartawan/industri media yang diatur oleh Dewan Pers. Sedangkan
regulasi penyiaran diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang
Penyiaran. Kedua regulasi tersebut sangat penting dilaksanakan oleh industri media di
tanah air di tengah besarnya harapan masyarakat terhadap peran media untuk ikut
serta dalam mengatasi masalah-masalah bangsa. Perwujudan fungsi normatif media
sangat ditentukan oleh profesionalisme media; sedangkan profesionalisme media
dapat diketahui dari sejauh mana perilaku media menjunjung tinggi peraturan maupun
kode etik media yang berlaku di Indonesia.

B. Saran

Penulis menyadari sepenuhnya jika makalah ini masih banyak kesalahan dan jauh
dari sempurna. Oleh karena itu, untuk memperbaiki makalah tersebut penulis meminta
kritik yang membangun dari para pembaca.

xv
DAFTAR PUSTAKA

Antoni, & Kusumastuti, F. (2007). Hukum Media Massa. Tangerang Selatan: Universitas
Terbuka.

Hapsari S. U. H. Hukum Media, Dulu, Kini dan Esok. Riptek Vol.6 No.I. Tahun 2012.

Fabriar, S. R. (2014). Etika Media Massa Era Global. Jurnal Komunikasi Islam Fakultas
Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Nahdlatul Ulama (UNISNU) Jepara.

Dahlan, A. C. (2011). Hukum, Profesi Jurnalistik dan Etika Media Massa. Jurnal Hukum
Faculty of Law, Unissula.

Ardianto, E., Komala, L., & Karlinah, S. (2017). Komunikasi Massa: Suatu Pengantar
(Revisi ed.). Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Khusna Isna H. dan Susilowati N. Regulasi Media di Indonesia (Kajian pada Keterbukaan
Informasi Publik dan Penyiaran), 2015, Promedia, Vol. 1, No. 2.

Akil A. M., Regulasi Media di Indonesia (Tinjauan UU Pers dan UU Penyiaran). Jurnal
Dakwah Tabligh. Vol. 15. No. 2. Desember 2014.

Putra Aji N. Pelanggaran Etika Tayangan Reality Show di Televisi. 24 Mei 2019.
kompasiana.com.

Utami R. P. 5 Iklan Indonesia yang Kontroversial Sampai Dicabut KPI, No 4 Gara-gara


Ayam. 19 Agustus 2018. palembang.tribunnews.com.

Widhana D. H. Langgar kode etik, Indosiar, iNews, tvOne & Elshinta dijatuhi sanksi. 14
Januari 2016. merdeka.com.

xvi

Anda mungkin juga menyukai