Anda di halaman 1dari 18

UU ITE dan Media Sosial

(Tantangan dalam menerapkan hukum dan etika jurnalistik)

Makalah ini diajukan untuk memenuhi persyaratan mata kuliah


Hukum dan Etika Penyiaran

Disusun Oleh :

Nama : Apriando Saputra

NIM : 2250400001

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

PASCASARJANA PROGRAM MAGISTER

UIN SYAHADA PADANGSIDIMPUAN

2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun
dan menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.

Dalam menyusun makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan


hambatan, akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa
teratasi. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini,
semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik
dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca
sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita
sekalian.

Padangsidimpuan, Oktober 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ………………………………………………………………… i

Daftar Isi ………………………………………………………………………... ii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ………………………………………………………… 1


1.2 Rumusan Masalah …………………………………………………...... 3
1.3 Tujuan Penulisan ……………………………………………………… 3

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Penerapan UU ITE dalam media sosial ………………….................... 4


2.2 Tantangan dalam menerapkan UU ITE dalam ber-media sosial ….. 6
2.3 Etika jurnalistik dalam ber-media sosial ………………………......... 10

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ……………………………………………………………. 13


DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menjadi


semakin pesat serta tebukti sudah memberikan kemanfaatan bagi para
penggunanya. Setiap individu dapat mengakses informasi hanya dengan ponsel
atau alat komunikasi lain yang terkoneksi dengan internet. Masyarakat yang
berasal dari berbagai usia dan berbagai golongan dapat dengan mudah mengakses
internet, salah satu medianya ialah melalui media sosial, digital atau siber.
Kecepatan perkembangan teknologi yang semakin tinggi diiringi dengan
perkembangan koneksi jaringan Internet yang juga semakin cepat membuat
masyarakat semakin mudah untuk melakukan akses informasi. Berdasarkan survei
yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet (APJII), diketahui
bahwa jumlah pengguna Internet Indonesia naik 8,9% dari 171,2 juta pada 2019
menjadi 196,7 juta per kuartal II 2021. Mayoritas dari pengguna memanfaatkan
Internet untuk mengakses media sosial, aplikasi percakapan, perbankan, hiburan,
dan berbelanja online. Dimana selama pandemi akses ke dunia pendidikan
termasuk konten yang paling banyak dibuka karena saat ini pemerintah
menerapkan belajar secara daring.1
Media sosial adalah jenis media yang digunakan dengan memungkinkan
pengguna untuk menemani, menggulir dan membuat konten, termasuk blog,
sirkuit sosial, wiki, forum dan dunia virtual. Blog, Tur Sosial dan Wiki adalah
bentuk paling umum dari media sosial oleh masyarakat di seluruh dunia. ”Media
sosial juga disebut fasilitas pidato online di mana pengguna dapat kreatif seperti
mengisi konten, membagikannya dan menyiarkannya di Internet” (Usur, Sitaram
& Huberman, Bernardo: (wi-iatt), vol. 492-499).
Sosial media dalam hal ini secara tidak langsung memberikan kebebasan
kepada masyarakat untuk bebas berpendapat, memberikan kritik, menyebarkan
informasi, namun di sisi lain juga menjadi ancaman bagi pengguna karena
terdapat aturan dalam UU ITE yang dianggap mengintai serta membatasi

1
Herdyanto,"LITERASI MEDIA SOSIAL DAN UU ITE", JAMAIKA Universitas Pamulang, Vol. 2, No. 2,
Februari 2021, h. 2
1
kebebasan tersebut. Sosial media yang dianggap sebagai tempat untuk
menyalurkan konten-konten ataupun informasi tak jarang mengandung hal-hal
negatif yang dapat menimbulkan persepsi yang berbeda-beda, tentunya dengan
timbulnya persepsi yang berbeda akan dapat menimbulkan perselihan antar
pengguna itu sendiri. Seperti ujaran kebencian berita bohong, bullying, SARA,
kriminalitas dan lain-lainnya.
Bagi jurnalis yang bertugas dan bertanggung jawab dalam memberikan
dan membuat berita untuk pembaca di media, tentu harus mempedomani etika
jurnalis yang tertuang dalam Kode Etik Jurnalistik dan Undang-Undang tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, sebab etika jurnalis sangat dibutuhkan bagi
profesi jurnalis. Hal itu penting untuk mencegah terjadinya kesewenang-
wenangan dalam menjalankan pekerjaannya yang berhubungan dengan
kepentingan umum, khususnya di media siber atau media sosial. Jurnalis media
siber tidak boleh “serampangan” (gegabah) dalam berkarya. Ia wajib cerdas
berbahasa jurnalistik, taat pada Kode Etik Jurnalistik dan cermat memahami UU
ITE.
Dari penjelasan tersebut, tentu ini menjadi tantangan tersendiri bagi
pembuat, pengendali dan pengontrol kebijakan yakni pemerintah itu sendiri
tentang bagaimana menerapkan hukum kepada masyarakat dalam bermedia
sosial.
Maka pada makalah yang sederhana ini, penulis mencoba untuk
menyajikan tentang bagaimana penerapan Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik dalam bermedia sosial, dan tantangan yang dihadapi dalam
menerapkannya, serta bagaimana penerapan etika jurnalistik dalam media
digital/sosial.

2
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penyajian makalah ini dirumuskan ke
dalam beberapa bagian penting yaitu :
1. Bagaimana penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik dalam ber-media sosial ?
2. Apa tantangan yang dihadapi dalam menerapkan UU ITE dalam ber-
media sosial ?
3. Bagaimana penerapan etika jurnalistik dalam ber-media sosial ?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, penyusunan makalah ini
bertujuan untuk :
1. Mengatahui penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik dalam ber-media sosial.
2. Mengetahui tantangan yang dihadapi dalam menerapkan UU ITE dalam
ber-media sosial.
3. Mengetahui penerapan etika jurnalistik dalam ber-media sosial.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Penerapan Undang-Undang ITE dalam Media Sosial


Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 atas perubahan
Undang-undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
bahwa Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik yang
tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data
interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, atau sejenisnya,
huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang
memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Sedangkan, Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan
menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
Adapun UU ITE adalah undang-undang yang mengatur tentang informasi serta
transaksi elektronik, atau teknologi informasi secara umum. UU ini memiliki
yuridiksi yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum
sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, baik yang berada di wilayah hukum
Indonesia, maupun diluar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum
di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan
merugikan kepentingan Indonesia.2
Varian media sosial demikian beragam, sehingga masyarakat dapat
mengakses dengan mudah dan memanfaatkannya untuk interaksi sosial. Demikian
mudah interaksi sosial dijalin melalui media sosial, maka komunikasi dua arah ini
bisa menjadi bersifat privat maupun terbuka. Pada ruang komunikasi yang bersifat
terbuka, sering tidak disadari bahwa ada norma-norma yang mengikat interaksi
tersebut.
Salah satu norma yang berimplikasi pada ruang sengketa adalah norma
hukum. Keberadaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 310 Ayat (1)
juncto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE), pada dasarnya menjadi rambu-rambu dalam interaksi sosial
melalui internet. UU ITE mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan
yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun

2
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 atas perubahan Undang-undang No 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik.
4
pemanfaatan informasinya. Pada UU ITE ini juga diatur berbagai ancaman
hukuman bagi kejahatan melalui internet. Sementara dalam KUHP, khususnya
Pasal 310 Ayat (1), juga diatur masalah pencemaran nama baik.
Pembentukan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE), berfungsi untuk melindungi kepentingan negara,
publik, dan swasta dari kejahatan siber (cyber crime). Secara gasris besar terdapat
tiga pasal yang berafiliasi dengan penggunaan internet terutama media sosial,
yaitu tentang pencemaran nama baik (defamation), Suku, Ras, Agama, dan Antar
golongan (SARA), dan ancaman melalui dokumen elektronik atau secara online.3
Terbitnya UU ITE sempat menjadi pro dan kontra di kalangan pengguna media
sosial, pasalnya undang-undang yang bertujuan untuk mengurangi kejahatan siber
cenderung menjadi senjata untuk mengkriminalisasikan masyarakat yang
memanfaatkan media sosial untuk beropini, menyampaikan keluhan, hingga
menyampaikan kritik terhadap layanan public atau bahkan terhadap kebijakan
pemerintah. Selain itu berdasarkan data dari Southeast Asia Freedom of
Expression Network (SAFEnet) selama periode 2013-2021 terdapat 393 orang
yang dituntut dengan pasal Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU ITE). SAFEnet juga mencatat sepanjang 2021, setidaknya ada 30 kasus
pemidanaan dengan total 38 korban kriminalisasi. Jumlah ini menurun hampir
separuh dari jumlah korban pada tahun sebelumnya sebanyak 84 orang korban,"
tulis SAFEnet dalam Laporan Situasi Hak-Hak Digital Indonesia 2021, dan sudah
jelas bahwa UU ITE disebut telah menyimpang dari tujuan awal dibentuk.4

Gambar 1 Perbandingan jumlah pengguna media sosial yang dituntut UU ITE

3
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ITE.
4
UU ITE Baru dan Risiko Hukum Bagi Pengguna Media Sosial, diambil dari http://www.hukumonline.com
5
Dalam revisi dari Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik (ITE) ke Undang-Undang No. 18 Tahun 2016 Tentang
Perubahan UU no 11 Tahun 2008, salah satu pasal menyatakan pemerintah dalam
hal ini Kementrian Komunikasi dan Informatika dapat melakukan pemblokiran
terhadap situs-situs tertentu yang diduga digunakan secara menyimpang dari
ketentuan peraturan perundang-undangan.5
Pemblokiran akan dilakukan ke setiap media sosial selama dari masing-
masing pengelola tidak bekerjasama untuk mendukung kebijakan pemerintah
Indonesia tentang penapisan radikalisme, hate speech SARA dan hoax.

2.2 Tantangan yang dihadapi dalam menerapkan UU ITE dalam Media


Sosial
Di era teknologi informasi yang terus berkembang, kehadiran media sosial
semakin diperlukan, karena media sosial dapat menjadi sarana komunikasi dan
informasi publik yang dapat menjangkau langsung dan cepat kepada semua pihak.
Media sosial juga memiliki dampak besar pada kehidupan kita saat ini. Apabila
kita dapat memanfaatkan media sosial, banyak sekali manfaat yang kita dapat,
baik sebagai media pemasaran, dagang, mencari koneksi, memeperluas
pertemanan dan lain-lain.
Mulai diberlakukannya Undang-Undang ITE menjadi salah satu landasan
untuk membatasi penyalahgunaan media sosial yang dampaknya memancing
opini publik terhadap Pemerintah. Penegakan hukum dan implementasi dari UU
ITE masih dihadapkan pada banyak tantangan-tantangan dalam menerapkannya,
sehingga menimbulkan dampak yang negatif terhadap masyarakat. Terlebih
didaerah sendiri banyak masyarakat belum mengetahui batasan media dan
internet.
UU No. 11 Tahun 2008 direvisi dengan UU No. 19 Tahun 2016 tentang
Perubahan atas UU No.11 Tahun 2008 perihal informasi dan Transaksi elektro
(UU ITE) dibuat serta disahkan untuk menjamin hak dan kebebasan orang lain
pada aspek hukum. Akan tetapi munculnya pasal-pasal yang memiliki banyak
penafsiran membuat kegaduhan pada kehidupan masyarakat. Munculnya pasal
yang multitafsir ini yang mana tafsirannya sangat subjektif dari aparat penegak

5
UU Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan UU no 11 Tahun 2008.
6
hukum maupun berasal pihak lain sebagai akibatnya akan timbul berbagai macam
tafsiran. Materi UU ITE sangat berpotensi memberikan ancaman balik terhadap
hak atas kebebasan berekspresi di Indonesia, berikut pasal pasal multitafsir dan
dampak yang ditimbulkan :
1. Pasal 27 ayat 1
Pasal 27 ayat (1) melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentrasmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya informasi elektronik da/atau dokumen elektronik yang
memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Frasa “melanggar
kesusilaan” dinilai memiliki konteks dan Batasan yang tidak jelas. Seperti
contohnya pada kasus Baiq Nuril. Pada perkara tersebut, kasus Baiq Nuril
bermula ketika dia mendapatkan telepon dari kepala sekolahnya yang
berinisial M pada 2012 lalu. Dalam perbincangannya itu, kepsek M
bercerita tentang hubungan badannya dengan seseorang perempuan yang
bukan istrinya pada Baiq Nuril. sebab merasa dilecehkan pun Nuril
merekam seluruh pembicaraannya tersebut.
Pada 2015, rekaman tadi tersebar luas di masyarakat Mataram dan
membuat kepsek M geram sebab aibnya diketahui oleh semua orang. Tak
terima dengan itu, kepsek M ini melaporkan baiq nuril kepolisian sebab
melanggar UU ITE pasal 27 ayat 1. Walaupun sebenarnya bukan dia
pelakunya,dia hanya korban dari pelecehan seksual secara verbal yang
dilakukan ketua sekolah, namun Mahkamah Agung memberikan
hukumankepada Baiq Nuril selama enam bulan penjara serta denda 500
juta atas dasar pelanggaran UU ITE pasal 27 ayat 1 Keputusan yg tak
masuk akal bagi kita masyarakat awam yang memahami bahwa Baiq Nuril
selama ini hanyalah korban dari perbuatan tidak senonoh kepala sekolah
yg berinisiatif M tersebut. Padahal yg sebelumnya PN Mataram
memebebaskan Baiq Nuuril karena tak terbukti salah pada siding kasus
tersebut.Dampaknya sendiri akan menambah terjadinya diskriminasi serta
marjinalisasi kaum perempuan dalam kehidupan social. Kaum Wanita
akan selalu berada pada posisi marginal yg menjadi objek seksual dari
kelompok laki-laki. Kekerasan serta pelecehan seksual terhadap Wanita

7
kerap kali terjadi dalam kehidupan social,sehingga rasa ketenangan
seorang Wanita selalu terganggu dan terusik dengan kasus pelecehan
seperti ini. Seakan akan wanita berada di posisi yang berada di
bawah.sehingga ruang motilitas bagi perempuan selalu terbatasi dengan
adaya peristiwa-peristiwa yang dialami oleh Baiq Nuril.wanita juga selalu
berada posisi tertindas dan termarjinalkan bahkan dijadikan alat-alat
komoditas srta komersial untuk menarik perhatian-perhatian public dengan
cara menampilkan gaya-gaya kecantikan,menonjolkan aurat-aurat tubuh
untuk sebuah iklan motor kendaraan beroda empat dan sebagainya.
Dengan begitu semain banyak terjadi pelecehan seksual dunia maya sebab
keputusan hukum yang tak masuk akal tersebut.
2. Pasal 28 ayat (2)
Memuat larangan bagi setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa
kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat
tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).
Dampak dari penerapan pasal ini yaitu Pertama, kritik dan opini dari
masyarakat akan menjadi terkekang, karena takut apabila terjerat dengan
pasal tersebut. Karena pada kenyataanya banyak orang yang tersandung
kasus pencemaran nama baik dengan didasarkan dari UU ITE.
Keadaan seperti ini membuat masyarakat kaget, banyak dari
masyarakat yang lebih berhati-hati dalam menyampaikan pendapat dan
opininya dan ada juga yang lebih untuk tidak ikut menyampaikan
opininya. Sehingga negara yang demokratis tidak menjadi demokratis
dikarenakan undang-undang yang membatasi masyarakat untuk
berpartisipasi. Padahal budaya dunia maya yang berkembang saat ini
membutuhkan masyarakat yang lebih demokratis. terkait pemahaman dari
kebencian itu sendiri, dalam pasal tersebut tidak ada pemahaman yang
cukup jelas. Oleh karena itu, terkait dengan hal tersebut, dalam Pasal 156
KUHP lebih mengarah ke perbuatan yang menyatakan permusuhan yaitu,
perbuatan yang menyatakan dengan ucapan yang isinya dipandang oleh
umum sebagai memusuhi suatu golongan penduduk Indonesia. Perbuatan

8
menyatakan kebencian adalah berupa perbuatan menyatakan dengan
ucapan yang isinya dipandang atau dinilai oleh masyarakat umum sebagai
membenci terhadap suatu golongan penduduk Indonesia. Perbuatan yang
isinya dipandang oleh umum menyatakan ucapan 3 yang menghina,
merendahkan, melecehkan terhadap suatu golongan penduduk Indonesia.
Pada faktanya, adanya sebuah kasus yang dianggap telah melanggar
ketentuan dari pasal tersebut yaitu kasus penyebaran video editan di media
sosial Facebook oleh Buni Yani. Buni Yani dianggap telah melakukan
penyebaran rasa kebencian di media sosial. Melalui akun media sosialnya,
Buni Yani menyebarkan sebuah video yang isinya tentang pidato Ahok di
Kepulauan Seribu yang pada pidatonya, Ahok mengucapkan Surat Al-
Maidah 51. Akibat dari penyebaran video tersebut, sebagian umat muslim
menganggap bahwa agamanya telah di nodai oleh Ahok yang pada
faktanya terjadi demo yang menuntut Ahok untuk dipenjara atas dugaan
penodaan agama. Dampak dari perbuatan penyebaran video tersebut, Buni
Yani dianggap telah melakukan penyebaran rasa kebencian di media sosial
yang menyebabkan dirinya dikenai pelanggaran Pasal 28 ayat (2) UU ITE.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, Buni Yani telah melakukan
penyebaran rasa kebencian di media sosial yang mengandung unsure
SARA.6

Akibat dari munculnya pasal-pasal ITE yang multitafsir ini menimbulkan


kesewenangwenangan karena para penegak hukum dalam menentukan orang yang
tersandung UU ITE bersalah dan layak dipidanakan, tanpa memilah dan memilih
unsur pasal mana yang dilanggar, menjadi instrumen sebagian sekelompok dalam
rangka membalas dendam bahkan menjadi senjata untuk menjebak lawan politik,
dampak di atas telah membuat tujuan hukum pembentukan UU ITE tidak
sepenuhnya dapat terlaksana dengan baik. Adapun tujuan hukum yang baik adalah
memberikan kepastian, kemanfaatan dan keadilan. Kepastian jelas tidak terwujud
karena keberadaan pasal-pasal multitafsir telah mengakibatkan munculnya
keberagaman putusan hakim. Kemanfaatan tentunya tidak akan didapat terutama
masyarakat yang ketakutan dengan jerat hukum UU ITE sehingga memilih untuk

6
Siti Wuladari,"DAMPAK PASAL-PASAL MULTITAFSIR DALAM UU ITE TERHADAP
PENANGGULANGAN CYBER CRIME DI INDONESIA", Proceeding of Conference on Law and Social
Studies, Agustus 2021.
9
tidak berpendapat. Sedangkan keadilan, sulit diperoleh karena pasal multitafsir
memicu terjadinya tindakan sewenangwenang.

2.3 Etika jurnalistik dalam ber-media sosial


Etika - dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999) - dirumuskan dalam
tiga pengertian, yakni ilmu tentang apa yang baik dan buruk, kumpulan asas atau
nilai yang berkenaan dengan akhlak, serta nilai mengenai benar dan salah yang
dianut oleh masya-rakat kita. Meski demikian, Romo Frans Magnis-Suseno
(dalam Sobur, 2001) menegaskan bahwa etika tidak secara langsung membuat kita
menjadi manusia yang lebih baik. Karenanya, etika juga perlu dibiasakan pada
setiap anggota masyarakat, tidak hanya pada kehidupannya pribadi melainkan
juga pada saat menjalankan profesinya.
Jurnalis sangat terikat dengan pelaksanaan etika profesinya karena etika
berfungsi menjaga para pelaku profesi - dalam hal ini jurnalis - tetap berkomitmen
untuk menjaga pranata sosial dalam lingkungannya (Sobur, 2001). Hal ini berarti,
seorang jurnalis dalam menjalankan pekerjaannya tidak bisa bertindak semaunya
sendiri, melainkan perlu menjaga kese-imbangan, yakni bertanggung jawab
tatkala men-jalankan kebebasannya dalam berekspresi (Libois, dalam
Haryatmoko, 2007). Memang etika dalam perspektif profesi apapun bukanlah
aturan yang dilegalisasi. Kekuatan berlakunya tidak diatur oleh pembuat undang-
undang, melainkan tergantung pada orang yang mengemban profesi tersebut
(Mulkan, 2011).
Di Indonesia, kode etik profesi yang dipegang oleh para jurnalis di
Indonesia secara umum adalah Kode Etik Jurnalistik yang ditetapkan oleh Dewan
Pers melalui Peraturan Dewan Pers No. 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang
Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang
Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Sebagai Peraturan Dewan Pers di Jakarta pada 14
Maret 2006. Kode etik ini berisi 11 pasal.

 Pasal 1: Wartawan Indonesia bersikap indepen-den, menghasilkan berita


yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

10
 Pasal 2: Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam
melaksanakan tugas jurnalistik.
 Pasal 3: Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan
secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi,
serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
 Pasal 4: Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis,
dan cabul.
 Pasal 5: Wartawan Indonesia tidak menyebut-kan dan menyiarkan
identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebut-kan identitas anak
yang menjadi pelaku kejahatan.
 Pasal 6: Wartawan Indonesia tidak menyalah-gunakan profesi dan tidak
menerima suap.
 Pasal 7: Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi
narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun
keberadaannya, meng-hargai ketentuan embargo, informasi latar belakang,
dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.
 Pasal 8: Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita
berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar
per-bedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta
tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa, atau
cacat jasmani.
 Pasal 9: Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang
kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
 Pasal 10: Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki
berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf
kepada pembaca, pendengar, atau pemirsa.
 Pasal 11: Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara
proposional.

Selain KEJ, jurnalis masih terikat pula dengan kode etik atau aturan
perilaku yang dijalankan oleh setiap perusahaan media tempat mereka bernaung.
Misalnya, Harian Jawa Pos membuat peraturan tertulis yang dimuat di halaman 2

11
surat kabar cetak, yakni Wartawan Jawa Pos dilarang menerima uang maupun
barang dari sumber berita. Demikian pula Harian Media Indonesia yang memuat
aturan tertulis di halaman 6 versi cetak, yaitu: Dalam melaksanakan tugas
jurnalistik, wartawan Media Indonesia dileng-kapi kartu pers dan tidak
diperkenankan menerima atau meminta imbalan dengan alasan apa pun. Stasiun
televisi Metro TV juga memasang pengumuman serupa dalam running text di
layar televisi.7
Selain itu, jurnalis juga harus memiliki kemampuan bahasa jurnalistik.
Konkretnya, bila tidak cerdas berbahasa jurnalistik secara baik dan benar, maka
rentan dan berpotensi terpeleset (melanggar) KEJ. Selanjutnya, terpeleset KEJ
rentan dan berpotensi tersandung (melanggar dan terjerat) UU ITE. Tak pelak
lagi, menjadi sangat penting bagi jurnalis media siber untuk memahami korelasi
pasal demi pasal di KEJ dengan pasal-pasal di UU ITE. Sebutlah contoh, jurnalis
melanggar Pasal 3 KEJ (berita tidak seimbang, tanpa check and recheck,
melanggar asas praduga tidak bersalah dan menghakimi). Pihak yang terkait
dengan pemberitaan tersebut merasa nama baiknya dicemarkan. Ia (prinsipal)
melapor ke aparat penegak hukum. Delik pencemaran nama baik melalui
pemberitaan di media siber, itu masuk ranah Pasal 27, ayat (3), UU ITE. Ancaman
pidananya diatur dalam Pasal 45, ayat (3), UU ITE, berupa pidana penjara paling
lama empat tahun dan/atau denda maksimal Rp 750 juta.

7
Fanny Lesmana,"ETIKA JURNALISTIK DALAM PROSES PELIPUTAN BERITA", Jurnal SCRIPTURA,
Vol. 5, No. 1, Juli 2015, 8-14.
12
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Media sosial adalah jenis media yang digunakan dengan memungkinkan
pengguna untuk menemani, menggulir dan membuat konten, termasuk blog,
sirkuit sosial, wiki, forum dan dunia virtual. Sosial media dalam hal ini secara
tidak langsung memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk bebas
berpendapat, memberikan kritik, menyebarkan informasi, namun di sisi lain juga
menjadi ancaman bagi pengguna karena terdapat aturan dalam UU ITE yang
dianggap mengintai serta membatasi kebebasan tersebut.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 atas perubahan
Undang-undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
bahwa Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik yang
tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data
interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, atau sejenisnya,
huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang
memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. UU
ITE adalah undang-undang yang mengatur tentang informasi serta transaksi
elektronik, atau teknologi informasi secara umum. UU ini memiliki yuridiksi yang
berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum. UU ITE mengatur
berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai
medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada UU ITE ini
juga diatur berbagai ancaman hukuman bagi kejahatan melalui internet.
Mulai diberlakukannya Undang-Undang ITE menjadi salah satu landasan
untuk membatasi penyalahgunaan media sosial yang dampaknya memancing
opini publik terhadap Pemerintah. Penegakan hukum dan implementasi dari UU
ITE masih dihadapkan pada banyak tantangan-tantangan dalam menerapkannya,
sehingga menimbulkan dampak yang negatif terhadap masyarakat. Terlebih
didaerah sendiri banyak masyarakat belum mengetahui batasan media dan
internet. munculnya pasal-pasal yang memiliki banyak penafsiran membuat
kegaduhan pada kehidupan masyarakat. Munculnya pasal yang multitafsir ini

13
yang mana tafsirannya sangat subjektif dari aparat penegak hukum maupun
berasal pihak lain sebagai akibatnya akan timbul berbagai macam tafsiran.
Selain itu bagi jurnalis yang bertugas dan bertanggung jawab dalam
memberikan dan membuat berita untuk pembaca di media, tentu harus
mempedomani etika jurnalis yang tertuang dalam Kode Etik Jurnalistik dan
Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebab etika
jurnalis sangat dibutuhkan bagi profesi jurnalis. Hal itu penting untuk mencegah
terjadinya kesewenang-wenangan dalam menjalankan pekerjaannya yang
berhubungan dengan kepentingan umum, khususnya di media siber atau media
sosial. Jurnalis media siber tidak boleh “serampangan” (gegabah) dalam berkarya.
Ia wajib cerdas berbahasa jurnalistik, taat pada Kode Etik Jurnalistik dan cermat
memahami UU ITE.

14
DAFTAR PUSTAKA

Fanny Lesmana,"ETIKA JURNALISTIK DALAM PROSES PELIPUTAN


BERITA", Jurnal SCRIPTURA, Vol. 5, No. 1, Juli 2015.

Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan dan


Pornografi. Yogyakarta: Kanisius.

Herdyanto,"LITERASI MEDIA SOSIAL DAN UU ITE", JAMAIKA Universitas


Pamulang, Vol. 2, No. 2, Februari 2021.

Mulkan, Dede. 2011. Matinya Kode Etik Jurnalistik: Berdasarkan Studi Kasus di
Metro TV dan TV One. Bandung: Arsad Press.

Siti Wuladari,"DAMPAK PASAL-PASAL MULTITAFSIR DALAM UU ITE


TERHADAP PENANGGULANGAN CYBER CRIME DI
INDONESIA", Proceeding of Conference on Law and Social
Studies, Agustus 2021.

Sobur, Alex. 2001. Etika Pers: Profesionalisme Dengan Nurani. Bandung:


Humaniora Utama Press.

Usur, Sitaram & huberman, Bernardo, “A. Predicting the Future with Social
Media”, Web Intelligence and Intelligent Agenct Technology
(WI-IAT), Vol. 1.

UU ITE Baru dan Risiko Hukum Bagi Pengguna Media Sosial, diambil dari
http://www.hukumonline.com

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 atas perubahan Undang-undang No 11


Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik


ITE

Anda mungkin juga menyukai