Anda di halaman 1dari 11

PERS DI NEGARA LIBERAL

Disusun oleh :

Ali Rizky Lubis 21600019

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS TAMA JAGAKARSA JAKARTA

2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan
karunia-Nya saya masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Tidak
lupa saya ucapkan kepada dosen pembimbing dan teman-teman yang telah
memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini. Adapun judul penulisan
tugas yang saya ambil adalah ”Pers di Negara Liberal” Tujuan penulisan Tugas ini
dibuat sebagai syarat untuk memenuhi salah satu Tugas Mata kuliah Hukum dan
Komunikasi

Saya menyadari bahwa penulisan Makalah Mata kuliah Hukum dan


Komunikasi menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak
kekurangan, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun. dan semoga sengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca dan teman-teman.

Jakarta, 21 November 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Contents
A. Pendahuluan...........................................................................................................4
1. Pers.....................................................................................................................5
2. Teori Pers............................................................................................................6
3. Pers di Negara Liberal........................................................................................7
4. Fungsi dan Peranan Pers.....................................................................................9
5. Kesimpulan.........................................................................................................9
Daftar Pustaka..............................................................................................................11

iii
1. Pendahuluan
Pada zaman otoriter pers dikekang oleh pemerintah, karena pada saat itu
jurnalisdipaksa patuh dan tidak boleh mengkritisi apa yang menjadi kebijakannya.
Media diwajibkan mendukung keputusan tersebut dengan cara mensosialisasikan ke
publik. Media yang membantah otomatis akan dicabut izin pernerbitannya. Bukan
hanya itu, wartawan yang melakukan peliputan yang merugikan pemerintah akan
dijebloskan ke penjara. Indonesia mengalami sistem pers jenis ini saat pemerintahan
Rezim Soeharto.

Saat itu semua kegiatan Pers diatur oleh pemerintah dan mereka juga harus
mendukung apa yang dikehendaki. Bahkan, bukan hanya pers umum saja, sampai
pers mahasiswa saat itu juga terkena imbasnya. Namun, Seiring perkembangan
zaman dan kemajuan teknologi pers tidak dikekang lagi karena mereka sudah
melewati beberapa zaman diantaranya adalah pers bebas, pers bertanggung jawab
sosial, dan masih ada beberapa zaman lagi (Kusumaningrat dan Kusumaningrat 2006:
19).

Pengertian pers dibagi menjadi dua yaitu luas dan sempit. Pers dalam arti
sempit adalah yang menyangkut kegiatan komunikasi dengan perantara barang
cetakan. Pers dalam arti luas adalah yang menyangkut kegiatan 2 komunikasi baik
yang dilakukan dengan media cetak maupun media elektronik. Sebelum menjadi
sebuah produk, perusahaan pers perlu mencari bahan-bahan dan melewati beberapa
proses produksi. Insan pers akan melewati beberapa tahapa seperti Biaya produksi,
Sumber Daya, Pemerintahan, dan Iklan.Sumber daya mencakup dua hal yaitu Sumber
Daya Manusia (SDM) dan teknologi.

Biaya produksi terkait dengan besarnya pengeluaran seperti gaji wartawan,


biaya cetak, biaya promosi. Pemerintah berhubungan dengan kebijakan yang
dikeluarkan tentang peraturan pers. Iklan berpengaruh terhadap besarnya biaya
produksi karena suntikan dana yang diperoleh media kebanyakan dari iklan. Media
massa hadir sebagai bisnis demi mendapatkan keuntungan dari khalayak dan
pengiklan.

4
Laba yang diperoleh tersebut tidak hanya digunakan untuk biaya produksi
saja. Pemilik media yang terlindungi dari persaingan bisa memilih membelanjakan,
atau tidak, bunga ekonominya pada proyek yang kurang menguntungkan, seperti
propaganda politik

2. Pers

Pengertian Pers. Pers secara etimologis berasal dari bahasa Inggris yaitu press,
dalam bahasa Indonesia yang berarti percetakan. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) secara harfiah pers berarti cetak dan secara maknawiah berarti
penyiaran secara tercetak atau publikasi secara dicetak.

Pengertian pers menurut Rachmadi (1990), dibatasi pada pengertian luas dan
pengertian sempit. Dalam pengertian luas, pers mencakup semua media komunikasi
massa, seperti radio, televisi, dan film yang berfungsi memancarkan atau
menyebarkan informasi, berita, gagasan, pikiran, atau perasaan seseorang atau
sekelompok orang kepada orang lain. Berdasarkan pengertian itu kemudian dikenal
dengan istilah jurnalistik radio, jurnalistik televisi, jurnalistik pers.

Dalam pengertian sempit, pers hanya digolongkan produk-produk penerbitan


yang melewati proses percetakan, seperti surat kabar harian, majalah mingguan,
majalah tengah bulanan dan sebagainya yang dikenal sebagai media cetak. Menurut
Soekarno (1986), pers adalah lembaga kemasyarakatan yang berfungsi sebagai salah
satu media komunikasi massa yang bersifat umum, mempunyai karya berupa
penerbitan yang teratur pada jadwal terbitannya.

Sedangkan menurut Prakoso (1988), pers adalah lembaga kemasyarakatan alat


revolusi yang mempunyai karya sebagai salah satu media komunikasi yang bersifat
umum berupa penerbitan yang teratur waktu terbitannya diperlengkapi atau tidak
diperlengkapi dengan alat-alat milik sendiri berupa percetakan, alat-alat foto, klise,
mesin-mesin stensil atau alat-alat tekhnik lainnya. Pers mempunyai dua sisi

5
kedudukan, pertama pers merupakan medium komunikasi yang tertua di dunia, kedua
pers sebagai lembaga masyarakat atau institusi sosial merupakan bagian integral dari
masyarakat dan bukan merupakan unsur yang asing dan terpisah dari masyarakat.
Sebagai lembaga masyarakat pers mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lembaga-
lembaga masyarakat lainnya.

Pers adalah kegiatan yang berhubungan dengan media dan masyarkat luas,
kegiatan tersebut mengacu pada kegiatan jurnalistik yang sifatnya mencari, menggali,
mengumpulkan, mengolah materi, dan menerbitkannya berdasarkan sumbersumber
yang terpercaya dan valid (Soekarno, 1986).

Berkaitan dengan itu, maka yang dimaksud pers dalam penelitian ini adalah
pers dalam arti sempit, yaitu yang menyangkut produk penerbitan berupa surat kabar.
Pers atau media massa lahir untuk menjembatani komunikasi antar massa. Massa
adalah masyarakat luas yang heterogen, tetapi saling bergantungan satu sama lain.
Ketergantungan antar massa menjadi penyebab lahirnya media yang mampu
menyalurkan hasrat, gagasan, dan kepentingan antar individu agar diketahui dan
dipahami oleh orang lain. Pers juga berperan untuk menghubungkan pesan antara
masyarakat dan pemerintah

3. Teori Pers

Pers berkembang sangat cepat, tidak hanya pada perkembangan bentuk


manajemen percetakan namun juga keilmuan yang mempelajari pers. Menurut
Siebert, dkk. (1965) dalam Haryanto (2006), pada tahun 1965 muncul tentang
konsep-konsep teori pers, yang sampai sekarang definisinya menjadi konsep klasik
untuk membahas hubungan antara pers dan pemerintah di berbagai negara. Menurut
Pendit (1986), mengutip pernyataan Siebert, dkk. (1965) menyebutkan bahwa empat
macam teori pers yang berkembang di dunia yaitu meliputi teori pers otoriter,
libertarian, tanggung jawab sosial, dan pers Komunis. Keempat teori tersebut
mengacu pada satu pengertian pers sebagai pengamat, guru dan forum yang

6
menyampaikan pandangannya tentang banyak hal yang mengemuka di tengah-tengah
masyarakat.

Menurut Satrio (2011) teori pers yang diutarakan oleh Siebert, dkk. (1965),
telah menciptakan sebuah karya klasik yaitu, paradigma dominan dalam menganalisis
sistem-sistem media di dunia, khususnya dalam menilai tingkat kebebasan pers di
berbagai negara dan wilayah dunia. Meskipun kemudian muncul teori-teori pers
sesudahnya, seperti jurnalisme pembangunan, jurnalisme advokasi, media
revolusioner dan media demokratik-partisipan, tetapi teori-teori itu hanya pelengkap
dari empat teori dasar yang sudah ada sebelumnya

4. Pers di Negara Liberal

Menurut Schramm (1965) dalam Munandar (2010) teori pers libertarian lahir
sebagai akibat dari tumbuhnya faham-faham demokrasi dalam bidang politik,
kebebasan agama, ekspansi perdagangan bebas dan diterimanya ekonomi laissez
faire. Teori ini tumbuh pada abad ke-18 dan berkembang abad ke-19.

Teori libertarian beranggapan bahwa pers harus mempunyai kebebasan yang


seluas-luasnya untuk membantu manusia dalam usahanya mencari kebenaran.
Kebebasan pers menjadi hal yang sangat pokok, karena kebebasan pers menjadi
ukuran atas kebebasan yang dimiliki oleh setiap manusia. Bahkan paham ini
menganggap pers sebagai kekuatan ke-empat (fourth estate) di luar pemerintahan dan
bahkan dapat menentangnya.

Paham libertarian merupakan kebalikan dari paham authoritarian. Paham


authoritarian memandang individu berada di bawah eksistensi negara, sedangkan
libertarian memandang bahwa eksistensi negara sebenarnya menjaga agar ada
kesempatan bagi warga negara untuk mengembangkan potensi individu dalam
mencapai kebahagiaan. Bilamana pemerintah yang mewakili individu gagal dalam

7
melaksanakan tujuannya, maka pemerintah dapat digantikan. Masyarakat juga berhak
berfikir dalam memecahkan persoalan negara (Siregar, 1986).

Menurut Lesmana (2005), Fungsi media libertarian pada era modernisasi


adalah untuk memberi informasi dan hiburan, serta bertindak sebagai penjaga
(watchdog) terhadap pemerintah. Media libertarian mayoritas dimiliki oleh swasta.
Kontrol terhadap media Libertarian kebanyakan dilakukan melalui proses
“pembenaran-sendiri” (self-righting process) dan pengadilan, sekalipun perizinan,
sensor atau perampasan materi penghinaan dan penghentian publikasi surat kabar
juga digunakan. Sensor sukarela juga terkadang dipraktikkan, sementara hak untuk
mendapat akses informasi di pemerintahan pun dituntut secara aktif.

Teori ini berkembang pada abad ke tujuh belas dan ke delapan belas. Teori
pers liberal berpandangan bahwa manusia pada dasarnya mempunyai hak-hak secara
alamiah untuk mengejar kebenaran dan mengembangkan potensi bila diberikan
kebebasan menyatakan pendapat. Kebenaran dan pengetahuan diperoleh manusia
dengan usahanya sendiri. Pers harus mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya
tanpa harus dikekang oleh pihak berkuasa. Kebebasan pers dalam teori Liberal adalah
bahwa pers harus mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya untuk membantu
manusia mencari kebenaran. (Rachmadi, 1990 : 34-35). Pers pada teori ini banyak
memberi landasan kebebasan dalam informasi dan hiburan tetapi sedikit kebajikan
yang tersiar dan sedikit kontrol pada pemerintah. Aturan atau batasan penyiaran tidak
diterapkan kecuali pengaturan untuk peningkatan materi pemilik media

Teori Pers Bebas ini mencapai puncaknya pada abad ke-19. Dalam teori ini
manusia dipandang sebagai makhluk rasional yang dapat membedakan antara yang
benar dan tidak benar. Pers harus menjadi mitra dalam upaya pencarian kebenaran,
dan bukan menjadi alat pemerintah. Jadi, tuntutan bahwa pers mengawasi pemerintah
berkembang berdasarkan teori ini.

Sebutan terhadap pers sebagai pilar demokrasi kekuasaan keempat setelah


kekuasaan eksekutif, yudikatif, dan legislative pun menjadi umum diterima dalam

8
teori pers libertarian. Oleh karenanya, pers harus bebas dari dari pengaruh dan
kendali pemerintah. Dalam upaya pencarian kebenaran, semua gagasan harus
memiliki kesempatan yang sama untuk dikembangkan sehingga yang benar dan dapat
dipercaya akan bertahan, sedangkan yang sebaliknya akan lenyap. Gagasan John
Milton tentang “Self-Righting process” (proses menemukan sendiri kebenaran) dan
tentang “Free market of ideas” (Kebebasan menjual gagasan) menjadi sentral dalam
teori pers bebas ini. Berdasarkan gagasan tersebut, dalam sistem ini pers dikontrol
oleh “SelfRighting process of truth”, lalu oleh adanya “Free market of ideas”, dan
oleh pengadilan Imlikasi dari Self-Righting process” adalah bahwa semua gagasan
harus memiliki kesempatan yang sama ke semua saluran komunikasi dan setiap orang
punya akses yang sama pula ke sana.

5. Fungsi dan Peranan Pers

Fungsi dan peranan setiap institusi berbeda-beda. Demikian pula dengan pers
sebagai lembaga institusi sosial mempunyai fungsi yang penting di dalam komunikasi
massa. Fungsi pers pada hakikatnya bersifat relatif dan berkaitan dengan keperluan
yang beragam di dalam masyarakat dan negara yang berbedabeda. Penerapan fungsi
pers juga berbeda di negara satu dengan negara lainnya, penerapan fungsi pers
tersebut tergantung dari sistem sosial dan sistem politik yang dianut oleh suatu
Negara

6. Kesimpulan

Kebebasan pers dalam teori Liberal adalah bahwa pers harus mempunyai
kebebasan yang seluas-luasnya untuk membantu manusia mencari kebenaran. Pers
pada teori ini banyak memberi landasan kebebasan dalam informasi dan hiburan
tetapi sedikit kebajikan yang tersiar dan sedikit kontrol pada pemerintah. Dalam teori
ini manusia dipandang sebagai makhluk rasional yang dapat membedakan antara

9
yang benar dan tidak benar. Pers harus menjadi mitra dalam upaya pencarian
kebenaran, dan bukan menjadi alat pemerintah. Jadi, tuntutan bahwa pers mengawasi
pemerintah berkembang berdasarkan teori ini. Gagasan John Milton tentang “Self-
Righting process” (proses menemukan sendiri kebenaran) dan tentang “Free market
of ideas” (Kebebasan menjual gagasan) menjadi sentral dalam teori pers bebas ini.
Berdasarkan gagasan tersebut, dalam sistem ini pers dikontrol oleh “SelfRighting
process of truth”, lalu oleh adanya “Free market of ideas”, dan oleh pengadilan
Imlikasi dari Self-Righting process” adalah bahwa semua gagasan harus memiliki
kesempatan yang sama ke semua saluran komunikasi dan setiap orang punya akses
yang sama pula ke sana. Demikian pula dengan pers sebagai lembaga institusi sosial
mempunyai fungsi yang penting di dalam komunikasi massa. Fungsi pers pada
hakikatnya bersifat relatif dan berkaitan dengan keperluan yang beragam di dalam
masyarakat dan negara yang berbedabeda. Penerapan fungsi pers juga berbeda di
negara satu dengan negara lainnya, penerapan fungsi pers tersebut tergantung dari
sistem sosial dan sistem politik yang dianut oleh suatu Negara.

10
Daftar Pustaka

Berger, C.R. dan Chaffee, S.H. (1987). “The Study of Communication as a Science”;
dalam C.R. Berger dan S.H. Chaffee (ed.), Handbook of Communication Science.
Hlm. 15-19. Beverly Hills. CA: Sage.

eprints.ums.ac.id/

eprints.walisongo.ac.id/

repository.radenfatah.ac.id/

repository.uir.ac.id

11

Anda mungkin juga menyukai