Anda di halaman 1dari 30

PERS DALAM SISTEM HUKUM FENOMENA KEBEBASAN DALAM ORDE BARU

DAN ERA REFORMASI

OLEH:

BAIHAQI ABDILLAH NIM : 0105192022

RAFLI MAULANA LUBIS NIM : 0105192025

DOSEN : Dr. ABDUL RASYID , MA

ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

TA 2019-2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmatnya  sehingga kami masih diberikan kesempatan untuk dapat menyelesaikan makalah
ini dengan judul “Pers Dalam Sistem Hukum Fenomena Kebebasan Dalam Orde Baru dan
Era Reformasi” . Makalah ini kami buat guna memenuhi penyelesaian tugas pada mata kuliah
sistem komunikasi indonesia, semoga makalah ini dapat menambah wawasan dan
pengatahuan bagi para pembaca.

     Dalam penulisan makalah ini, kami tentu saja tidak dapat menyelesaikannya sendiri tanpa
bantuan dari pihak lain. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada:

1. Tim makalah kelompok 8


2. Kepada dosen pengampu, Dr. Abdul Rasyid, MA

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna karena masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kami dengan segala kerendahan hati meminta maaf dan
mengharapkan kritik serta saran yang membangu perbaikan dan penyempurnaan kedepannya.

Akhir kata kami mengucapkan selamat membaca dan semoga materi yang ada dalam
makalah yang berbentuk makalah ini dapat bermanfaat sebagaimana mestinya bagi para
pembaca.

Medan, 1 September 2020

Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1

A. Latar Belakang...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 2
C. Tujuan dan Manfaat.............................................................................. 2

BAB II TEKNIK PENYAJIAN BERITA RADIO DAN TELEVISI 3

A. Pengertian Pers..................................................................................... 3
B. Pengertia Kebebasan Pers..................................................................... 4
C. Fungsi Pers............................................................................................ 4
D. Pers Pada Masa Orde Baru................................................................... 5
E. Pers Pada Masa Reformasi................................................................... 7
F. Eksistensi Kebebasan Pers di Era Orde Baru Dalam Sistem Pers........ 11
G. Eksistensi Kebebasan Pers di Era Reformasi Dalam Sistem Pers........ 16
H. Kebebasan Pers dan Dampaknya Terhadap Indonesia......................... 20

BAB III PENUTUP......................................................................................... 23

A. Kesimpulan........................................................................................... 23
B. Saran..................................................................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 24

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara sederhana, demokrasi bisa didefinisikan sebagai kekuasaan di tangan rakyat,


atau kekuasaan oleh rakyat. Selain itu, demokrasi mempunyai dua aspek, yaitu aspek
prosedural dan aspek substantif. Demokrasi dalam aspek prosedural mencoba menjawab
masalah tentang bagaimana rakyat bisa ikut memerintah dan mengawasi pemerintah, seperti
memilih pemimpin nasional dan wakil-wakil rakyat dalam pemilihan umum, proses
pengambilan keputusan dalam kebijakan publik, mekanisme pengawasan efektif terhadap
pemerintah, parlemen, yudikatif dan sebagainya. Demokrasi dalam aspek substantif
menyentuh masalah apa saja yang bisa diatur oleh pemerintah. Bolehkah pemerintah
melakukan intervensi dalam urusan agama, sejauh mana kebebasan berserikat dan kebebasan
menyatakan pendapat bisa dijalankan penduduk, sejauh mana pemerintah ikut campur dalam
urusan pernikahan antar warganya dan lain sebagainya. Para penganut teori substantif
demokrasi, umumnya, bersepakat bahwa pemerintah harus menjamin hak-hak dasar
warganegara, perlu mendapat jaminan dari pemerintah. Dalam konteks demokrasi di negara-
negara Barat, yang sangat ditekankan adalah perlindungan terhadap civil liberties dan civil
rights. Termasuk dalam kategori civil liberties, misalnya, kebebasan beragama dan kebebasan
menyatakan pendapat secara terbuka, termasuk juga kebebasan pers.

Dalam hal ini kebebasan pers mendapatkan perhatian untuk dijamin kebebasannya
termasuk di Indonesia dari masa ke masa. Sejak merdeka tahun 1945, Indonesia sudah
beberapa kali mengalami pergantian sistem pemerintahan. Tahun 1945 sampai 1965 dikenal
dengan nama sistem pemerintahan Orde Lama, yang mana merupakan era presiden Soekarno.
Setelah presiden Soekarno tumbang, tampung kekuasaan diserahkan kepada jenderal
Soeharto yang akhirnya melahirkan sistem pemerintahan Orde Baru. Orde Baru berlangsung
dari tahun 1966 sampai tahun 1998. Dikarenakan sudah terlalu lama menjabat dan
merajalelanya KKN, presiden Soeharto digulingkan oleh rakyat Indonesia yang akhirnya
melahirkan zaman baru bagi Indonesia, reformasi. Reformasi berlangsung dari tahun 1998
sampai sekarang. Disinilah cikal bakal munculnya kebebasan dalam hal berpendapat
termasuk semakin diusungnya kebebasan akan pers

1
2

Babak baru dalam dunia pers datang ketika keruntuhan kekuasaan rezim presiden Soeharto
pada tahun 1998. Hal tersebut dianggap sebagai suatu pencerahan bagi rakyat yang
menginginkan suatu reformasi dari segala bidang mulai dari ekonomi, politik, sosial, dan
budaya yang sempat terbelenggu oleh rezim orde baru. Tumbuhnya kebebasan pers pada
masa reformasi merupakan angin segar bagi masyarakat. Karena kehadiran pers saat ini
dianggap sudah mampu mengisi kekosongan ruang publik yang menjadi celah antara
penguasa dan rakyat. Sehingga saat ini, pers di Indonesia sudah bebas bahkan dapat
dikatakan pula menjadi sudah sangat bebas. Hal ini dapat kita lihat salah satunya adalah dari
media yang mengekspos kehidupan pribadi seseorang yang sebenarnya tidak perlu
dipublikasikan. Selain itu, kita juga dapat mengamati berbagai pendapat dari masyarakat
yang jika kita telaah karena kebebasan pers, malah menjadi masalah baru dan juga dapat
meresahkan masyarakat.

B. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah pada penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut :

1. Bagaimana perkembangan pers di Indonesia pada masa Orde Baru?


2. Bagaimana perkembangan pers pasca runtuhnya pemerintahan Orde Baru?
3. Bagaimana dampak kebebasan pers pada masa reformasi terhadap kehidupan masyarakat
di Indonesia?
4. Bagaimana Eksistensi kebebasan Pers di era Orde Baru dalam Hukum Pers ?
5. Bagaimana Eksistensi Kebebasan Pers di era Reformasi dalam Hukum Pers ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan pers di Indonesia pada masa Orde Baru;
2. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan pers pasca runtuhnya pemerintahan Orde
Baru;
3. Untuk mengetahui bagaimana dampak kebebasan pers pada masa reformasi terhadap
kehidupan masyarakat di Indonesia.
4. Untuk mengetahui Eksistensi Kebebesan Pers di Era Orde Baru dalam Hukum Pers.
5. Untuk mengetahui Eksistensi Kebebesan Pers di era Reformasi dalam Hukum Pers.
BAB II

PERS DALAM SISTEM HUKUM FENOMENA KEBEBASAN DALAM ORDE BARU


DAN ERA REFORMASI

A. Pengertian Pers

Pers merupakan suatu istilah yang berasal dari Belanda yang memiliki makna 'tekan' atau
'cetak'. Dalam bahasa Inggris, kata pers dikenal dengan kata press, sedangkan pers dalam
bahasa Prancis adalah presse dan dalam bahasa latin adalah pressare. Umumnya, pers
memiliki de- finisi sebagai semua upaya yang menggunakan alat-alat komunikasi media
massa untuk memenuhi keperluan masyarakat dalam bidang berita dan informasi, maupun
hiburan. Pers mencakup media-media umum seperti radio, majalah, surat kabar, film,
majalah, buletin, atau tabloid, Dalam UU No.40 Tahun 1999 mengenai pers, pers memiliki
definisi sebagai suatu lembaga sosial dan wahana komuni- kasi massa yang melaksanakan
kegiatan jurnalistik, meliputi mencari, memperolch, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi, baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, maupun suara dan
gambar, serta data dan grafik ataupun dalam bentuk lainnya yang menggunakan media cetak
(Pureklonon, 2016:141)

Dalam Kamus Populer, istilah atau kata pers diambil dari bahasa Inggris, yakni press
yang berarti cetakan. Dalam istilah yang lebih operasional, kata Pers memiliki dua arti,
pertama adalah usaha percetakan. Kedua berarti upaya penyampaian berita melalui media
cetak dan elektronik

Dari dua pengertian tersebut, makna yang tepat dalam konteks ini adalah yang kedua.
Usaha penyampaian berita dengan beragam bentuk adalah kegiatan pers mulai dari surat
kabar, radio, televisi, hingga internet. Bentuk-bentuk penyampaian yang bermacam-macam
ini tentu semakin memanjakan pembaca dalam menikmati berita.

Dalam penjelasan lain, secara harfiah pers berarti cetak, dan secara maknawiah berarti
penyiaran secara tercetak atau publikasi secara dicetak. Pers adalah lembaga sosial (social
institution) atau lembaga kemasyarakatan yang merupakan subsistem dari sistem

3
4

pemerintahan di negara dimana ia beroprasi, bersama-sama dengan subsistem lainnya.


(Effendi, 2010:1)

B. Pengertian Kebebasan Pers     

Adapun pengertian kebebasan pers menurut (Setiawansyah,


https://adeputrasetiawansyahblog.wordpress.com/2016/12/28/eksistensi-sistem-pers-era-orba-
dan-reformasi/ diunduh 28 Oktober 2020) berbagai sumber antara lain sebagai berikut:

1.Kebebasan pers dalam bahasa inggris disebut Freedom of Opinion and Expression dan
Freedon of the Speech. John C. Merril (1989) merumuskan kebebasan pers sebagai suatu
kondisi riil yang memungkinkan para pekerja pers bisa memilih, menentukan dan
mengerjakan tugas sesuai keinginan mereka. Bebas dari (negatif) dan bebas untuk (positif)

2.Kebebasan pers (bahasa Inggris: freedom of the press) adalah hak yang diberikan oleh
konstitusi atau perlindungan hukum yang berkaitan dengan media atau bahan-bahan yang
dipublikasikan seperti menyebarluaskan, percetakan dan penerbitan melalui surat kabar,
majalah, buku atau dalam material lainnya tanpa adanya campur tangan atau perlakuan sensor
dari pemerintah.

3.Kebebasan pers menurut pandangan Islam haruslah sesuai dengan azas atau norma yang
berlaku jangan sampai pers tersebut menyimpang dari azas atau norma tersebut.

Dari tiga definisi yang sudah dijelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa kebebasan
pers adalah hak  seseorang untuk memperoleh berbagai informasi dari media massa baik
media massa cetak maupun media massa elektronik tanpa mengganggu norma-norma yang
diberlakukan oleh konstitusi yang berlaku.

C. Fungsi Pers

Pers atau media amat dibutuhkan baik oleh pemerintah maupun rakyat dalam
kehidupan bernegara. Pemerintah mengharapkan dukungan dan ketaatan masyarakat untuk
menjalankan program dan kebijakan negara. Sedangkan masyarakat juga ingin mengetahui
pro- gram dan kebijakan pemerintah yang telah, sedang, dan akan dilaksanakan. (Effendi,
2010:4)
5

Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 33 disebutkan mengenai fungsi


pers, dalam hal ini pers nasional. Adapun fungsi pers nasional adalah sebagai berikut.
(Effendi, 2010:5)

Pertama sebagai wahana komunikasi massa. Pers nasional sebagai sarana


berkomunikasi antarwarga negara, warga negara dengan pemerintah, dan antar- berbagai
pihak.

Kedua sebagai penyebar informasi. Pers nasional dapat menyebarkan informasi baik
dari pemerintah atau negara kepada warga negara (dari atas ke bawah) maupun dari warga
negara ke negara (dari bawah ke atas).

Ketiga sebagai pembentuk opini. Berita, tulisan, dan pendapat yang dituangkan
melalui pers dapat menciptakan opini kepada masyarakat luas. Opini terbentuk melalui berita
yang disebarkan lewat pers.

Keempat sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol serta sebagai
lembaga ekonomi. Dalam UU No. 40 Tahun 1999 Pasal 2 menyebutkan: "Kemerdekaan pers
adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi,
keadilan, dan supremasi hukum”

D. Pers Pada Masa Orde Baru

Orde baru mulai berkuasa pada awal tahun 1970-an. Indonesia dibawah rezim Orde
Baru pernah mengenal satu periode di mana pers bersikap sangat kritis terhadap berbagai
kebijaksanaan pemerintah dan berbagai bentuk penyimpangan kekuasaan. Pers berani
mengkritik penyalahgunaan kewenangan kekuasaan, membongkar korupsi yang merajalela di
tubuh negara, serta mengecam ketidakadilan. Namun, daya kritis dan kebebasan pers tersebut
justru menumbuhkan frustasi pada masyarakat. Karena, seperti yang dikatakan Soe Hok Gie
dalam sebuah artikel yang ditulisnya di harian Indonesia Raya tahun 1969
(http://politik.kompasiana.com/2012/09/25/pers-dulu-diperas-sekarang-untuk-berperang/,
diunduh 28 Oktober 2020) daya kritis dan kebebasan pers waktu itu memungkinkan
masyarakat mengetahui secara lengkap dan dalam berbagai penyimpangan dan
penyalahgunaan kekuasaan serta sekaligus memungkinkan masyarakat menyampaikan
kritikan dan kecamannya. Namun, kritikan dan kecaman masyarakat tersebut tidak ditanggapi
secara positif oleh pemerintah melalui perubahan yang nyata dan sungguh-sungguh sehingga
6

mengakibatkan kekecewaan dan keputusasaan masyarakat. Dunia pers yang seharusnya


menyambut kebebasan pada masa orde baru, namun pada kenyataannya pers mendapat
berbagai tekanan dari pemerintah. Tidak ada kebebasan dalam menerbitkan berita-berita
miring seputar pemerintah. Ketika ada yang menerbitkan hal tersebut, maka media massa itu
akan mendapatkan peringatan keras dari pemerintah yang tentunya akan mengancam
penerbitannya.

Pada tahun 1973, Pemerintah Orde Baru mengeluarkan peraturan yang memaksa
penggabungan partai-partai politik menjadi tiga partai, yaitu Golkar, PDI, dan PPP. Peraturan
tersebut menghentikan hubungan partai-partai politik dan organisasi massa terhadap pers
sehingga pers tidak lagi mendapat dana dari partai politik
(http://politik.kompasiana.com/2012/09/25/pers-dulu-diperas-sekarang-untuk-berperang/,
diunduh 28 Oktober 2020).

Pada tahun 1982, Departemen Penerangan mengeluarkan Peraturan Menteri


Penerangan No. 1 Tahun 1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Dengan
adanya SIUPP, sebuah penerbitan pers yang izin penerbitannya dicabut oleh Departemen
Penerangan akan langsung ditutup oleh pemerintah. Oleh karena itu, pers sangat mudah
ditutup dan dibekukan kegiatannya. Pers yang mengkritik pembangunan dianggap sebagai
pers yang berani melawan pemerintah. Pers seperti ini dapat ditutup dengan cara dicabut
SIUPP-nya.

Pada tahun 1990-an, pers di Indonesia mulai melakukan repolitisasi lagi. Maksudnya,
pada tahun 1990-an sebelum gerakan reformasi dan jatuhnya Soeharto, pers di Indonesia
mulai menentang pemerintah dengan memuat artikel-artikel yang kritis terhadap tokoh dan
kebijakan Orde Baru. Pada tahun 1994, ada tiga majalah mingguan yang ditutup, yaitu
Tempo, Detik, dan Editor (ejournal.stainpurwokerto.ac.id/index.php/komunika/article/.../37,
diunduh 28 Oktober 2020).

Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa pers mengalami depolitisasi pers.
Dengan kata lain, pada masa orde baru tersebut segala penerbitan yang dilakukan media
massa berada dalam pengawasan pemerintah. Bila pers itu ingin tetap ada, maka pers harus
memberitakan hal-hal yang baik tentang pemerintahan orde baru. Pers seakan-akan dijadikan
alat pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya.

Pada masa Orde Baru, sensor represif dimulai dengan terbitnya TAP MPR RI No.
IV/MPR/1978 menggambarkan pergeseran sistem politik Orde Baru yang demokratis ke
7

sistem otoriter. Munculnya UU No 21/1982 sebagai penegasan TAP MPR tersebut bersifat
mengekang media massa dengan diharuskannya setiap penerbitan pers mempunyai SIUPP
( Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers) menggantikan SIT. Permenpen No 1/1984 yang
merupakan peraturan pelaksana UU No 21/1982 mempertegas SIUPP. Secara praktis, pers
kita selama Orde Baru mengambil posisi sebagai slave, budak pemerintah. Kemitraan hanya
tumbuh di antara yang setingkat, yang equal. Dalam hubungan yang supra dan subordinasi,
pers hanya menjadi kuda tunggangan pemerintah. Apalagi Pedang Damocles siap
memancung leher pers Indonesia, kapan saja dan karena apa saja.(Hapsari, Jurnal Riptek, 6,
Tahun 2012: 51)

E. Pers Pada Masa Reformasi

Perubahan gambaran politik yang tajam pada tahun 1998, yang tercermin dalam TAP
MPR RI No. XVII Tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia mengatur jaminan dan
perlindungan dalam hal berkomunikasi, memperoleh dan menyampaikan informasi melalui
media massa. .(Hapsari, Jurnal Riptek, 6, Tahun 2012: 51)

Penyebab terjadinya perubahan gambaran politik terkait dengan krisis moneter yang
melanda indonesia sejak tahun 1997 yang berdampak serius dalam segala aspek kehidupan
masyarakat di tanah air. Runtuhnya pemerintahan Rezim Soeharto dan digantikan dengan
pemerintahan B.J. Habibie membawa dampak yang positif di dalam perkembangan hukum
media massa di Indonesia

Peran pers pasca reformasi 1998 makin menguat. Pers tidak lagi terkungkung oleh
SIUPP sehingga mampu menjalankan tugasnya sebagai agen perubahan dan kontrol sosial,
juga sebagai kekuatan keempat dala demokrasi.

Euforia kebebasan berpendapat dan kebebasan berorganisasi, ditanggapi dengan


banyak diterbitkannya suratkabar atau media,serta didirikannya partai-partai politik.
Fenomena euforia kebebasan politik berdampak pada kualitas pelaksanaan kebebasan
pers. Dalam realitasnya keberhasilan gerakan reformasi membawa pengaruh pada
kekuasaan pemerintah jauh berkurang
8

Terbitnya Undang-Undang Pers pada tanggal 23 September 1999 dirasakan membawa


dampak positif bagi perusahaan pers. Dalam ketentuan ini dengan tegas diatur mengenai
penghapusan penyensoran, pelarangan penyiaran dan masalah pembreidelan pengamat
media, mengidentifikasi fenomena pertumbuhan industri media dalam era reformasi di
Indonesia dalam 3 pemikiran: pertama, memberi basis yang kuat bagi lahirnya pers industri
dengan menggeser gejala pers idealis; kedua, mengundang para pemodal untuk masuk ke
dunia pers yang belum tentu menjadi bisnis utama mereka; ketiga, memunculkan kelompok-
kelompok usaha penerbitan pers. Fenomena media pada era Reformasi adalah pers yang telah
menjadi industri ditengah kebebasan politik yang baru diperolehnya.Keterbukaan yang sangat
luar biasa dalam bidang politik saat itu hanyalah menguatkan kecenderungan kapitalisasi
pers. .(Hapsari, Jurnal Riptek, 6, Tahun 2012: 51)

Andi Muis (dikutip .Hapsari, Jurnal Riptek, 6, Tahun 2012: 51) menilai masalah
pokok sistem pers Indonesia saat ini adalah masalah keseimbangan antara kebebasan dan
pembatasannya atau tanggungjawabnya Bagaimana keseimbangan itu dapat terjadi? Dhaniel
Dakhidae (dikutip .Hapsari, Jurnal Riptek, 6, Tahun 2012: 51 menilai tanggung jawab adalah
garis batas kebebasan.Dan yang sebaliknya tidak kurang benarnya, yakni kebebasan adalah
garis batas tanggungjawab.Tanpa kebebasan tidak mungkin menuntut tanggungjawab,dan
tanpa tanggungjawab tidak mungkin menuntut kebebasan. Keduanya tidak bisa dipisahkan

Praktik kebebasan pers betul-betul dinikmati pers dan dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat melalui kebebasan menyampaikan informasi tersebut. Praktik kebebasan pers
pada akhirnya harus dapat dikelola sendiri oleh masyarakat pers sehingga tidak
menjerumuskan media itu dan tidak merugikan masyarakat luas. Tidak ada kebebasan pers
yang tanpa batas. (Hapsari, Jurnal Riptek, 6, Tahun 2012: 52)

Kehidupan pers pada masa reformasi pada dosarnya tidak jauh berbeda dengan
kehidupan pers pada masa Orde Baru. Pers berperan sebagai media atau slat komunikasi bagi
pemerintah untuk menyampaikan atau menjabarkan program-prograninya kepada masyarakat
dan sebaliknya pern juga dapat dijadikan sebagai media hagi rakyat untuk menyampaikan
berbagai saran, masukan, dan kritik terhadap pemerintah. Pers juga dapat dijadikan sebagai
9

media komunikasi yang digunakan oleh pemerintah untuk memotivasi rakyat terhadap setiap
program yang digulirkan oleh pemerintah. Begitu juga dengan radio dan televisi, di era
refoemasi ini memiliki peranan penting Sama seperti pers atau surat kabar, di samping
sebagai media hiburan yang dapat dinikmati oleh setiap kalangan masyarakat.

Seiring dengan jaruhnya pemerintahan Orde Baru dan lahimya Reformasimaka hal itu
membawa harapan haru bagi kehidupan pers di Indonesia. Beragam media pers (baik cetak
maupun elektronik) bermunculan mengiukuri arus kebebasan yang tengah
berlangsung.Dalam hal ini Aliansi Jurnalistik Independen (AJI)mencatat bahwa sejak
pemerintahan Orde Baru jatuh tercatat ada 1.398 penerbitan baru. Tentunya hal ini sangat
membanggakan di satu sisi tnamun cukup merepotkan terutama dalam hat pengawasan.
(Supriana, 2008:144)

Pemerintahan Reformasi di satu sisi harus memenuhi agendu reformasi yang salah
satunya memberikan kebebasan berekspresi namun di sisi yang lain dihadapkan pada
kenyataan bahwa media tumbuh kearah hal yang kurang positif, seperti pengrusakan moral
bangsa, alat pertarungan elir politik, persaingan yang tidak sehat atau kepentingan Iainnya.
Kenyataan tersebur sangat berdampak pada masyarakat luas yang menjadi korban. Oleh
karena itu, pemerintah membentuk Dewan Pers yang bertungsi sebagai badan pengawas bagi
perkembangan media massa cetak dan elektronik di Indonesia. Peran dan fungsi lembaga
tersebut tidak hanya mengawasi aktivitas pers semata namun juga memberikan perlindungan
bagi kelongsungan aktivitas tersebut (Supriana, 2008:145)

Kegiatan perlindungan terhadap aktivitas pers (wartawan) tidak hanya diemban oleh
Dewan Pers saja melainkan ada pula hadan- badan perlindungan pers lainnya, seperti Ajl.
Dalam hal kekerasan terhadap wartawan/jurnalis, Aji mencatar beherapa kasus diantaranya
pada 1998, tercatat 42 kasus kekerasan terhadap wartawan. Hal ini cenderung mengalani
peningkatan dari tahun ke tahun. Pada 1999 terdapat 74 kasus dan 115 kasus pada tahun
berikumya (2000). Akan tetapi, sejak saat itu cenderung mengalami penurunan; 95 kasus
(2001), 70 kasus (2002), dan 59 kasus (2003). (Supriana, 2008:145)

Kasus yang tergolong mencinjol pada 2003 adalah penyanderaan terhadap wartawan
senior RCTI, Ersa Siregar dan juru kameranya, Ferry Santoro oleh Gerakan Aceh Mendeka
(GAM). Ferry akhimya dapat diselamatkan pada peristiwa tersebut namun Ersa meninggal
dalam kontak senjata antara TNI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). (Supriana, 2008:145)
10

Pada masa reformasi, pers Indonesia menikmati kebebasan. Pada masa ini terbentuk
UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Di dunia pers, kebebasan itu ditunjukkan dengan
dipermudahnya pengurusan SIUPP dan semua bebas mengemukakan pendapatnya tanpa
harus mengurus SIUPP dan peraturan yang lain (https://www.isomwebs.com, diunduh 28
Oktober 2020).

Dengan transparansi dan demokartisasi serta terbitnya Undang-Undang Nomor 40


Tahun 1999 tentang Pers dan Undang-undang Nomor 32 tentang penyiaran, hal tersebut
dapat memberikan peluang seluas-luasnya bagi kemerdekaan pers Indonesia, sehingga pers
tidak lagi merasa khawatir untuk dicabut ijinnya, meskipun informasi datang dari berbagai
penjuru tidak lagi satu arah sebagaimana pada masa orde baru (http://www.tni.mil.id/view-
43381-kebebasan+pers+di+era+reformasi.html, diunduh 28 Oktober 2020).

Tumbuhnya pers pada masa reformasi merupakan hal yang menguntungkan bagi
masyarakat. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada latar belakang masalah bahwa
saat ini, kehadiran pers dianggap sudah mampu mengisi kekosongan ruang publik yang
menjadi celah antara penguasa dan rakyat. Dalam kerangka ini, pers telah memainkan peran
sentral dengan memasok dan menyebarluaskan informasi yang diperluaskan untuk penentuan
sikap, dan memfasilitasi pembentukan opini publik dalam rangka mencapai konsensus
bersama atau mengontrol kekuasaan penyelenggara negara.

Menurut Anwar Arifin (www.balitbang.depkominfo.go.id/.../.., diunduh 28 Oktober


2020) didalam tonggak perjalanan sejarah pers di Indonesia, tercatat sejak Era Reformasi,
media massa memiliki kebebasan yang luas terutama dalam melakukan kontrol dan koreksi
terhadap jalannya pemerintahan. Sejalan dengan itu, penerbitan pers tidak perlu lagi memiliki
izin (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers-SIUPP) dan tidak lagi dikenal adanya sensor dan
pembredelan .Hal ini sesuai dengan ketentuan dan jiwa dari Undang-Undang Nomor 40
Tahun 1999 tentang Pers bahwa pers memiliki kebebasan meskipun seringkali terasa bahwa
suratkabar, tabloid dan majalah yang menyalahgunakan kebebasan itu.

Fenomena media pada era Reformasi adalah pers yang telah menjadi industri ditengah
kebebasan politik yang baru diperolehnya. Keterbukaan yang sangat luar biasa dalam bidang
politik saat itu hanyalah menguatkan kecenderungan kapitalisasi pers yang fondasinya telah
dipasang sejak berlakunya UU Nomor 21 Tahun 1982 melalui ketentuan Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers atau SIUPP pasal 13 ayat 5. Sehingga, tidak heran jika setelah rezim Orde
Baru jatuh pada tahun 1998, industri media di Indonesia meningkat dengan tajam. Ratusan
11

surat kabar dan tabloid terbit tanpa harus memakai SIUPP setelah keharusan ini dicabut oleh
Menpen pada tahun itu juga mekanisme pasar bebas sukar dihindari lagi dalam industri pers
nasional, sekaligus mengakhiri kontrol penguasa terhadap pers.

Mengidentifikasi fenomena pertumbuhan media massa dalam era Reformasi di


Indonesia terdapat dalam 3 pemikiran. Pertama, memberi basis yang kuat bagi lahirnya pers
industri dengan menggeser gejala pers idealis. Kedua, mengundang para pemodal untuk
masuk ke dunia pers yang belum tentu menjadi bisnis utama mereka, dan ketiga
memunculkan kelompok-kelompok usaha penerbitan pers.

Dengan datangnya gelombang reformasi,di mana pers telah dibebaskan dari belenggu
politik, ketiga kecenderungan itu semakin kuat. Media makin leluasa mengekspresikan
keyakinan politiknya tanpa harus merasa terancam usahanya dicabut SIUPP. Banyak media
dalam pemberitaannya terkesan terbuka luas bagi tokoh-tokoh dan partai politik, baik yang
didukung maupun yang diserangnya. Kepentingan politik media lantas berbaur dengan
kepentingan usaha dari media tersebut sehingga berita yang disajikan pers kadangkala
merupakan berita yang disajikan untuk meraih keuntungan semata dan dikomersilkan.

F. Eksistensi Kebebasan Pers di Era Orde Baru Dalam Hukum Pers

Orde Baru bangkit sebagai puncak kemenangan atas rezim Demokrasi Terpimpin
yang pada hakikat- nya telah dimulai sejak tahun 1964 tatkala kekuatan Pancasila, termasuk
pers, mengadakan perlawanan terbuka terhadap ofensif golongan PKI melalui jalur
Manipolisasi dan Nasakomisasi. Kehancuran G30S/ PKI merupakan awal ’pembenahan’
kehidupan nasional, pembinaan di bidang pers dilakukan secara siste- matis dan terarah.
(Hutagalung,Jurnal Interaksi, 2, Juli 2013:56)

Pada masa ini produk perundangan pertama tentang pers adalah UU no 11 tahun
1966. Pengembangan pers nasional lebih lanjut diwujudkan dengan men- gundangkan UU
no 21 tahun 1982 sebagai penyem- purnaan UU no 11/1966. Penciptaan lembaga Surat Izin
Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) mencerminkan usaha nyata ke arah pelaksanaan kebebasan
pers yang dikendalikan oleh pemerintah atau kebebasan pers yang bertanggung jawab pada
pemerintah, suatu bentuk pengadopsian terhadap teori pers otoriter (Hutagalung,Jurnal
Interaksi, 2, Juli 2013:56)
12

Pada era Soeharto, pers dinyatakan sebagai salah satu media pendukung keberhasilan
pembangunan. Bentuk dan isi pers Indonesia perlu mencerminkan bentuk dan isi
pembangunan. Kepentingan pers nasional perlu mencerminkan kepentingan pembangunan
nasional. Hingga timbul istilah : pers pembangunan. Dari kenyataan ini terlihat bahwa pers
Indonesia tidak mempunyai kebebasan karena pers harus mendukung program pemerintah
Orde Baru. Pers sangat tidak diharapkan memuat pemberitaan yang dapat ditafsirkan
bertentangan dengan program pemerintah Orde baru. Tanggung jawab pers bukan pada
masyarakat melainkan pada penguasa Orde Baru.

Lebih lanjut, pers tidak hanya dijadikan sebagai saluran propaganda untuk
mempertahankan hegemoni kekuasaan dan kepentingan status quo. Pers juga berfungsi
sebagai alat represi. Salah satu contoh kasus adalah yang dialami oleh Partai Rakyat
Demokratik, pada sekitar peristiwa penyerbuan kantor DPP PDI tanggal 27 Juli 1996,
dimana pihak pemerintah/ militer menggunakan momentum tersebut untuk memukul gerakan
prodemokrasi. Terkait peristiwa ini, hampir semua media massa harus memuat berita dan
statemen petinggi militer untuk meneror kesadaran para aktivis dan simpatisan PRD melalui
isu makar, isu komunis, dan lainnya. Pemberitaan tersebut mempunyai efek yang bisa jadi
lebih buruk dibandingkan pengejaran, penangkapan, dan pemenjaraan. Akibatnya, sebagian
anggota PRD menjadi patah semangat ketakutan, trauma, tertekan, dan lainnya para keluarga
melarang anak-anaknya untuk terus aktif, dan para kerabat menjadi takut berhubungan. Teror
media mempunyai akibat lebih luas karena penyebarannya yang begitu masif, dan bisa
berakibat buruk karena langsung menghantam kesadaran (Hutagalung,Jurnal Interaksi, 2,
Juli 2013:56)

Implikasi intervensi kepentingan pemerintah juga berakibat buruk pada independensi


media. Saat itu, tidak ada satupun pers yang mempunyai sikap independen dan kritis
terhadap pemerintah, karena dengan berbagai cara pemerintah selalu berupaya mengontrol
pers secara represif. Pemerintah tidak hanya mempraktekkan ’budaya telepon’ untuk
menteror kebebasan, tetapi juga melakukan pembreidelan penerbitan, pemberhentian pasokan
kertas koran hingga menghilangkan nyawa wartawan merupakan konsekuensi yang harus
ditanggung manakala pers menulis pemberitaan yang mengkritik ataupun bertentangan
dengan kebijakan pemerintahan. Pembreidelan dianggap sangat riskan dan berbahaya oleh
pihak pengelola pers mengingat investasi industri media memiliki tingkat kapitalisasi modal
yang besar
13

Selama Orde Baru disamping media pemerintah, TVRI dan RRI, semua media yang
ada diupayakan agar tidak hanya menjadi ‘patner’ pemerintah dalam pembangunan, tetapi
juga sebagai instrumen hegemoni. Pers oleh penguasa diposisikan sebagai apparatus
persuasif atau ideological state appara- tus untuk kepentingan pemeliharaan dan reproduksi
struktur politik otoritarian yang telah dibangun. Instrumen ini diharapkan mampu membuat
setiap warga negara menempatkan diri dalam horizon pemikiran rezim Orde Baru.
(Hutagalung,Jurnal Interaksi, 2, Juli 2013:56)

Tidak adanya kebebasan berpendapat dan kebebesan pers membuat media di


Indonesia pada rezim Orde Baru tidak pernah berhasil mengangkat dirinya sebagai pilar
keempat demokrasi. Satu hal lainnya adalah struktur organisasi media itu sendiri sebagai
corong bagi kepentingan pemilik modal dan kelom- pok usahanya mau tidak mau membuat
media harus tunduk kepada aturan main di dalam perusahaan yang kerap mencerminkan
ketergantungan antara pemi- liknya dan pemerintah.

Pemerintah Orde Baru menganggap pers yang bebas akan dapat mengganggu
stabilitas negara, keamanan dan kepentingan umum, sehingga laju kebebasannya harus
dikontrol dengan ketat. Maka lahirlah perlakuan represif negara terhadap pers sepanjang
sejarah Orde Baru. Media tidak mungkin bisa mengatakan sesuatu sesuai dengan kenyataan
yang terjadi. Media harus mengutip keterangan resmi pemerintah dalam mengangkat suatu
peliputan yang sangat politis, atau sama sekali tidak mengangkatnya. Pencabu- tan SIUPP
dan “budaya telepon” oleh pejabat membuat media ciut nyali dan akhirnya percaya bahwa
iklim keterbukaan seperti yang dijanjikan Soeharto melalui pidato kenegaraan Agustus 1990
hanya sekedar jargon pemerintah. (Hutagalung,Jurnal Interaksi, 2, Juli 2013:56-57)

Sungguh ironis, ditengah cengkraman kuat rezim Soeharto dalam gerak pers di
Indonesia, tanpa disadari Soeharto telah menanam benih yang dituainya bulan Mei 1998,
dengan melakukan pencabutan izin terbit (SIUPP) tiga terbitan yaitu TEMPO, EDITOR dan
DETIK pada tahun 1994. Tanpa diprediksi sebelumnya, dengan membungkamkan tiga
terbitan legal tersebut, muncullah terbitan bawah tanah yang kapasitasnya untuk mengkritik
pemerintah jauh lebih besar daripada terbitan ‘jalur tengah’ yang dihilangkan. Juga dengan
membreidel ketiga terbitan yang disegani ini, telah menciptakan solidaritas kalangan
menengah, buruh, intelektual, serta kaum pemodal yang kesemuanya bersatu padu, dan pada
akhirnya menolak kelangsungan pemerintahan Orde Baru. Tidak bisa dipungkiri bahwa pers
memiliki peran yang sangat penting di suatu negara. Tanpa pers, tidak ada informasi yang
14

bisa tersalurkan baik dari rakyat ke pemerintahnya maupun sebaliknya. Singkat kata, pers
memiliki posisi tawar yang tidak bisa diremehkan. Konsepsi Riswandha
https://adeputrasetiawansyahblog.wordpress.com/2016/12/28/eksistensi-sistem-pers-era-orba-
dan-reformasi/ (diunduh 28 Oktober 2020) mengatakan bahwa ada empat pilar pemelihara
persatuan bangsa, salah satunya adalah kaum intelektual atau pers. Pers berfungsi sebagai
pemikir dan penguji konsep-konsep yang diterapkan pada setiap kebijakan.

Diawal kekuasaannya, rezim pemerintahan Orde Baru menghadapi Indonesia yang


traumatis. Suatu kondisi dimana kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya serta psikologis
rakyat yang baru tertimpa prahara. Politik satu kata yang tepat ketika itu kemudian dijadikan
formula Orde Baru, yakni pemulihan atau normalisasi secepatnya harus dilakukan, jika tidak
kondisi bangsa akan kian berlarut-larut dalam ketidakpastian dan pembangunan nasional akan
semakin tertunda. Konsentrasi bangsa diarahkan untuk pembangunan nasional. Hampir
seluruh sektor dilibatkan serta seluruh segmen masyarakat dikerahkan demi mensukseskan
pembangunan nasional tersebut. Pemerintah Orde Baru memprioritaskan trilogi
pembangunannya yakni stabilitas, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan sebagai kata kunci
yang saling berkait erat serta sebagai bagian doktrin negara.
(https://adeputrasetiawansyahblog.wordpress.com/2016/12/28/eksistensi-sistem-pers-era-
orba-dan-reformasi/ diunduh 28 Oktober 2020)

Oleh karena pemerintah menitikberatkan pembaruan pada pembangunan nasional,


maka sektor demokrasi akhirnya terlantarkan. Hal ini mungkin terpaksa dilakukan oleh
karena sepeninggalan Orde Lama tidak satupun kekuatan non negara yang bisa dijadikan
acuan dan preferensi, serta seluruh yang tersisa mengidap kerentanan fungsi termasuk yang
melanda pers nasional. Deskripsi-deskripsi yang sering kali ditulis oleh para pemerhati pers
menyatakan bahwa kehidupan pers di awal-awal Orde Baru adalah sarat dengan muatan
berbagai kepentingan, ketiadaan pers yang bebas, kehidupan pers yang ditekan dari segala
penjuru untuk dikuasai negara, wartawan bisa dibeli serta pers yang bisa dibredel sewaktu-
waktu.

Sehingga dapat digambarkan bahwa pada masa Orde Baru atau juga dikatakan pada
era pembangunan, mungkin nasib pers terlihat sangat mengkhawatirkan. Bagaiamana tidak,
pers sebegitu rupanya harus mematuhi rambu-rambu yang negara telorkan. Dan sejarah juga
memperlihatkan kepada kita bahwa adanya PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) tidak
15

membawa perubahan yang bersifat signifikan pada pola represi itu. Yang ada justru PWI
dijadikan media yang turut menjadi boneka dari pemerintahan rezim Orde Baru di tanah air
pada masa itu.

Hal tersebut terlihat ketika terjadinya pembredelan pada beberapa media massa
nasional yang sempat nyaring bunyinya. Ketika beberapa media nasional yang sempat
dibredel oleh pemerintah, PWI yang seharusnya menggugat justru memberi pernyataan dapat
memahami atau menyetujui keputusan yang sewenang-wenang itu. Lalu PWI pula justru
mengintruksikan kepada pemimpin redaksi agar memecat wartawannya yang bersuara
nyaring terhadap pemerintah.

Bagaimana tidak bahwa pada dasarnya bagi suatu pemerintahan diktator, kebenaran
merupakan bahaya baginya, sebab kebenaran akan membuka seluruh jaringan manipulasinya.
Berita-berita yang berasal dari foto jurnalisme serta data dokumenter lainnya memang
memiliki daya yang sangat kuat. Misi pertama pers dalam suatu masyarakat yang demokratis
atau suatu masyarakat yang sedang berjuang untuk menjadi demokratis adalah melaporkan
fakta. Misi ini tidak akan mudah dilaksanakan dalam suatu situasi ketidakadilan secara besar-
besaran dan pembagian yang terpolarisasi.

Banyak pers yang khawatir bahwa keberadaannya akan terancam di saat mereka tidak
mengikuti sistem yang berlaku. Oleh karena itu guna mempertahankan keberadaannya, pers
tidak jarang memilih jalan tengah. Cara inilah yang sering mendorong pers itu terpaksa harus
bersikap mendua terhadap suatu masalah yang berkaitan dengan kekuasaan. Dalam kaitan ini
pulalah banyak pers di negara berkembang yang pada umumnya termasuk di Indonesia lebih
suka mengutamakan konsep stabilitas politik nasional sebagai acuan untuk kelangsungan
hidup pers itu sendiri.

Disamping itu, bentuk lain dari kekuasaan negara atas pers di tanah air pada era Orde
Baru adalah munculnya SIUPP yakni Surat Izin untuk Penerbitan Pers. Orde Baru
sedemikian ketatnya dalam hal pengawasan atas pers, karena mereka tidak menghendaki
mana kala pemerintahan menjadi terganggu akibat dari pemberitaan di media-media massa.
Sehingga fungsi pers sebagai transmisi informasi yang obyektif tidak dapat dirasakan.
Padahal dengan transmisi informasi yang ada diharapkan pers mampu menjadi katalisator
bagi perubahan politik atau pun sosial. Sementara pada masa Orde Baru, fungsi katalisator itu
sama sekali hilang. Hal ini seperti apa yang disampaikan oleh Abar
16

(https://adeputrasetiawansyahblog.wordpress.com/2016/12/28/eksistensi-sistem-pers-era-
orba-dan-reformasi/ diunduh 28 Oktober 2020) bahwa kebebasan pers waktu itu ternyata
tidak berhasil mendorong perubahan politik menuju suatu tatanan masyarakat yang
demokratis, tetapi justru mendorong resistensi dan represi negara. Hal ini merupakan suatu
hal yang sangat mendasar tentang sistem kepolitikan Orde Baru khsususnya perlakuannya
terhadap lembaga pers.

Akan tetapi, sesungguhnya pada masa Orde Baru terdapat lembaga yang menaungi
pers di Indonesia, yaitu Dewan Pers. Sesuai Undang-Undang Pers Nomor 40 tahun 1999,
dewan pers adalah lembaga independen yang dibentuk sebagai bagian dari upaya untuk
mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional. Berdasarkan
amanat Undang-Undang, dewan pers meiliki 7 fungsi yaitu :

1. Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, bisa pemerintah dan
juga masyarakat
2. Melakukan pengkajian untuk pengembangan keidupan pers
3. Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik
4. Memberikan pertimbangan dan pengupayaan penyelesaian pengaduan masyarakat
atas kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers
5. Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah.
6. Memfasilitasi organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers dan
meningkatkan kualitas profesi wartawan
7. Mendata persuahaan pers

Namun sangat disayangkan bahwa dewan pers masa Orde Baru tidak melaksanakan
fungsinya dengan efektif. Ironisnya, dewan pers justru tidak melindungi rekan sesama
jurnalis. Hal tersebut terlihat saat peristiwa pembredelan media tahun 1994. Banyak anggota
dewan pers yang tidak meyetujui pemberedelan tersebut, namun dewan pers dipaksa
menyetujui langkah pemerintah tersebut. Tidak ada yang bisa dilakukan dewan pers selain
mematuhi instruksi pemerintah. Menolak sama artinya dengan melawan pemerintah. Bisa
disimpulkan keberadaan dewan pers masa orde baru hanya sebatas formalitas.
(https://adeputrasetiawansyahblog.wordpress.com/2016/12/28/eksistensi-sistem-pers-era-
orba-dan-reformasi/ diunduh 28 Oktober 2020)
17

G. Eksistensi Kebebasan Pers di era Reformasi Dalam Hukum Pers

Pada runtuhnya rezim orde baru menghasilkan berbagi kelokan sejarah (ephipahy)
politik yang cukup dramatis. Hampir seluruh tatanan poltik mengalami perubahan yang
cukup mendasar. Undang-Undang politik, kehidupan berdemokrasi, dan produk-produk
hukum mengalami perubahan yang sulit diramalkan keajegannya. :
https://adeputrasetiawansyahblog.wordpress.com/2016/12/28/eksistensi-sistem-pers-era-orba-
dan-reformasi/ diunduh 28 Oktober 2020)

Produk hukum pada era reformasi tentang pers ini dapat dikatakan sebagai sapu
jagatnya kemerdekaan pers Indonesia, setelah sekian lama didera pembelengguan oleh rezim
Orde Baru. Dikatakan sebagai sapu jagat karena Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999
menghapus semua ketentuan represif yang pernah berlaku pada era Orde Baru, seperti:

1. Pasal 9 ayat (2) Uundang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 meniadakan keharusan


mengajukan SIUPP untuk menerbitkan pers.
2. Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 menghilangkan ketentuan
sensor dan pembredelan pers.
3. Pasal 4 ayat (2) juncto Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999,
melindungi praktisi pers dengan mengancam hukum pidana dua tahun penjara atau denda
Rp. 500 juta bagi yang menghambat kemerdekaan pers.
(https://adeputrasetiawansyahblog.wordpress.com/2016/12/28/eksistensi-sistem-pers-era-
orba-dan-reformasi/ diunduh 28 Oktober 2020)

Selain menghapus berbagai kendala kemerdekaan pers tersebut di atas, Undang-


Undang Nomor 40 Tahun 1999 juga memuat isi pokok sebagai berikut. Pertama, Pasal 2
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, kemerdekaan pers adalah perwujudan dari
kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum
dan kedua, Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, kemerdekaan pers
adalah hak asasi warga negara yang hakiki dan dalam rangka menegakkan keadilan dan
kebenaran, serta memajukan dan mencerdaskan bangsa.

Pada masa reformasi, pemerintah juga memberi kemudahan untuk memperoleh


SIUPP. Akibat kemudahan memperoleh SIUPP tersebut, jumlah pemohon SIUPP
membengkak lebih dari sepuluh kali lipat dibandingkan dengan masa Orde Baru.
18

(https://adeputrasetiawansyahblog.wordpress.com/2016/12/28/eksistensi-sistem-pers-era-
orba-dan-reformasi/ diunduh 28 Oktober 2020) Kebijakan lain Pemerintah Kabinet
Reformasi dalam membuka peluang kebebasan pers adalah dengan mencabut SK Menpen
Nomor 47 tahun 1975 tentang pengakuan pemerintah terhadap PWI sebagai satu-satunya
organisasi wartawan di Indonesia. Pencabutan SK ini, mengakhiri era wadah tunggal
organisasi kewartawanan, sehingga tidak sampai dalam satu tahun telah tumbuh 34 organisasi
wartawan cetak dan elektronik. Walaupun kehadirannya dapat dipandang sebagai cerminan
euphoria kebebasan, akan tetapi di pihak lain dapat menjadi ajang kompetisi wartawan
Indonesia meningkatkan profesionalitas mereka.
(https://adeputrasetiawansyahblog.wordpress.com/2016/12/28/eksistensi-sistem-pers-era-
orba-dan-reformasi/ diunduh 28 Oktober 2020)

Pelaksanaan kebebasan pers pada era reformasi dalam kenyataannya masih banyak
menghadapi kendala. Euforia kebebasan berpendapat dan kebebasan berorganisasi,
ditanggapi dengan banyaknya diterbitkan surat kabar atau media, serta didirikannya partai-
partai politik. Fenomena euphoria kebebasan politik berdampak pada kualitas pelaksanaan
kebebasan pers. Dalam realitasnya keberhasilan gerakan Reformasi membawa pengaruh pada
kekuasaan pemerintah jauh berkurang, untuk tidak mengatakan tiada sama sekali terhadap
pers. Pergulatan pers dengan sebuah rezim seolah telah usai. Pada masa reformasi pers
sepenuhnya bergulat dengan pasar yang semakin membuat jaya kelompok-kelompok media
yang sudah mapan secara ekonomis di masa Orde Baru. Untuk sementara pers Indonesia
boleh bernafas lega dari tekanan politis sambil mencari keuntungan uang sebanyak mungkin.
Fenomena ini kemudian melahirkan gejala kelompok-kelompok usaha media, seperti
Gramedia Grup, Sinar Kasih Grup, Pos Kota Grup, Presindo Grup, dan Grafiti / Jawa Pos
Grup.

Hamad menayatakan (dikutip Hutagalung,Jurnal Interaksi, 2, Juli 2013:57) Pada


tahun 1998, lahir gerakan reformasi terhadap rezim Orde Baru. Keberhasilan gerakan ini,
melahirkan peraturan perundangan-perundangan sebagai pengganti peraturan perundangan
yang menyimpang dari nilai-nilai Pancasila, UU no 40 tahun 1999 merupakan salah satu
contoh. Sejak sistem politik Indonesia mengundangkan UU no 40 tahun 1999, secara
normatif, pers Indonesia telah menganut teori pers tanggung jawab sosial (kebebasan pers
yang bertanggung jawab pada masyarakat/kepentingan umum). Berbeda dengan UU no 11
tahun 1966 jun- cto UU no 21 tahun 1982 yang memberi kewenangan pada pemerintah
19

untuk mengontrol sistem pers, UU no 40 tahun 1999 memberi kewenangan kontrol kepada
masyarakat. Penanda itu terletak antara lain Penanda itu terletak antara lain pada pasal 15
dan 17 UU no 40 tahun 1999

UU Pokok Pers no 40/1999 sebenarnya telah memberi landasan yang kuat bagi
perwujudan kemer- dekaan pers di Indonesia. Pembatasan jumlah Surat Pembatasan jumlah
Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), praktek yang lazim di era Soeharto, praktis sudah
tidak ada lagi Jika dihubungkan dengan teori media normatif maka keadaan pers Indonesia
dimasa era reformasi saat ini adalah gambaran dari a liberal-pluralis or marked model,
dimana isu-isu yang diliput oleh pers semakin beragam. Banyak bermunculan penerbitan
baru baik dalam bentuk tabloid, majalah, surat kabar. Dari politik, ekonomi sampai yang
berbau pornografi. Kualitas penerbitannyapun beragam, dari yang bermutu lumayan hingga
yang berkualitas ’sampah’. (Hutagalung,Jurnal Interaksi, 2, Juli 2013:57)

Peningkatan kuantitas media belum disertai dengan perbaikan kualitas jurnalismenya.


Banyak media yang hanya menjual gosip alias desas desus dengan warna pemberitaan yang
kental keberpihakan atau penyudutan kepada suatu golongan/partai tertentu maupun
individu. Pemberitaan sering dilakukan tanpa didukung fakta yang kuat, selain hanya
potongan-potongan komentar yang tidak seimbang dari hasil wawancara yang kurang
mendalam.

Jika kenyataan ini dikaitkan dengan model teori normatif jelas bahwa rasa tanggung
jawab sosial media belumlah nampak. Karena disadari atau tidak, jurnalisme media yang
buruk kualitas pemberitaannya dapat menjadi sumber penyebab dari penyakit/masalah sosial
yang di hadapi oleh masyarakat, seperti peningkatan masalah kriminal, kekerasaan,
penyimpangan sexual (homoseksual, paedophilia, pelacuran), tumbuhnya sikap
individualistik, terbentuknya virtual society, dan lainnya.

Tampaknya media di Indonesia masih terbius dengan eforia kebebasannya, dan lebih
memilih kepentingan komersial yang cenderung mengutama- kan keuntungan, dimana aspek
kriminalitas, gosip, dan seks lebih mengandung nilai pasar dibandingkan menjalankan
tanggung jawab sosial dalam penyam- paian informasi dan pencerahan publik sebagai
konsekuensi hubungan media dengan masyarakat, walau- pun iklim regulasi sudah membaik
dan kondusif.

Tak kurang Yin pun mengulas dalam artikelnya Yin pun mengulas dalam artikelnya
Beyond The Four Theories Of The Press: A New Model For The Asian & The World Press
20

(2008) (Dikutip, Hutagalung,Jurnal Interaksi, 2, Juli 2013:57) , bahwa sistem pers di


Indonesia pada era reformasi termasuk sistem pers bebas dan tidak bertanggung jawab, yaitu
bahwa sistem pers di Indonesia benar-benar telah begitu bebas, sehingga gagal untuk
mengedepankan prinsip-prinsip dasar jurnalistik, dan tidak punya peran positif dalam
masyarakat. Banyak media yang melanggar prinsip dasar jurnalistik, yaitu dalam
menyampaikan kebenaran. Sistem pers didikte oleh kekuatan pasar, isinya cenderung
sensasional, kurang isinya cenderung sensasional, kurang penghargaan pada etika, banyak
kekerasan dan por- nografi, berita bohong dan provokatif, pembunuhan karakter, wartawan
amplop, maupun iklan yang me- nyesatkan. Pers kerap dipakai sebagai kepentingan pers
kerap dipakai sebagai kepentingan politik pribadi ataupun kelompok tertentu. Hal ini
sebagai dampak pemusatan kepemilikan media pada segelintir orang.

H. Kebebasan Pers dan Dampaknya terhadap Indonesia

Kebebasan pers dalam bahasa Inggrisnya disebut freedom of opinion and expression
dan freedom of the speech. John C. Merril
(http://septianapratiwi.wordpress.com/2011/02/10/sejarah-perkembangan-pers-di-indonesia/,
diunduh 28 Oktober 2020) merumuskan kebebasan pers sebagai suatu kondisi riil yang
memungkinkan para pekerja pers bisa memilih, menentukan dan mengerjakan tugas sesuai
keinginan mereka. Bebas dari negatif dan bebas dari positif. Bebas artinya kondisi seseorang
yang tidak di paksa melakukan sesuatu.

Kebebasan pers mulai didapatkan setelah jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998.
Pada saat itu rakyat menginginkan adanya reformasi pada segala bidang baik ekonomi, sosial,
budaya yang pada masa orde baru terbelenggu. Tumbuhnya pers pada masa reformasi
merupakan hal yang menguntungkan bagi masyarakat. Dalam kerangka ini, pers telah
memainkan peran sentral dengan memasok dan menyebarluaskan informasi yang
diperluaskan untuk penentuan sikap, dan memfasilitasi pembentukan opini publik dalam
rangka mencapai konsensus bersama atau mengontrol kekuasaan penyelenggara negara.

Peran inilah yang selama ini telah dimainkan dengan baik oleh pers Indonesia.
Setidaknya, antusias responden terhadap peran pers dalam mendorong pembentukan opini
publik yang berkaitan dengan persoalan-persoalan bangsa selama ini mencerminkan
keberhasilan tersebut. Setelah reformasi bergulir tahun 1998, pers Indonesia mengalami
perubahan yang luar biasa dalam mengekspresikan kebebasan. Fenomena itu ditandai dengan
21

munculnya media-media baru cetak dan elektronik dengan berbagai kemasan dan segmen.
Keberanian pers dalam mengkritik penguasa juga menjadi ciri baru pers Indonesia.

Dalam sebuah negara yang demokratis, Pers yang bebas merupakan salah satu
komponen yang paling esensial dari masyarakat, sebagai prasyarat bagi perkembangan sosial
dan ekonomi yang baik. Keseimbangan antara kebebasan pers dengan tanggung jawab sosial
menjadi sesuatu hal yang penting. Hal yang pertama dan utama, perlu dijaga jangan sampai
muncul ada tirani media terhadap publik. Sampai pada konteks ini, publik harus tetap
mendapatkan informasi yang benar, dan bukan benar sekadar menurut media. Pers
diharapkan memberikan berita dengan seobjektif mungkin, hal ini berguna agar tidak terjadi
ketimpangan antara rakyat dengan pemimpinnya mengenai informasi tentang jalannya
pemerintahan.

Masalah baru muncul ketika kebebasan pers telah kebablasan. Hal ini terlihat darii
pemberitaan yang dianggap kurang balance antara kepentingan masayarakat dan kepentingan
pers untuk mengejar tingkat oplah. Untuk itu, pihak pers cenderung mengutakan konsep
berita yang sensasional, sangat partisipan, dan yang kurang obyektif. Selain itu, pada level
etis kemanusiaan kebebasan pers dinilai telah mengangkangi nilai dan norma kemasyarakatan
dan lebih mengutamakan kaidah jurnalistik itu sendiri.

Emilianus (http://farelbae.wordpress.com/catatan-kuliah-ku/jejak-pers-di-masa-orba-
dan-reformasi/, 28 Oktober 2020), juga mencatat bahwa klaim kebebasan bisa dilihat dari
kebebasan pers (liberal) yang dinilai menafikan nilai human being dan telah merongrong
keutuhan ruang privat manusia. Dari fakta ini muncul kegamangan dan kemuakan masyarakat
terhadap kebebasan pers yang dinilainya kebablasan. Kebebasan yang demikian berakibat
pada rusaknya moral masyarakat dan mengganggu kedaulatan pemerintah, sehingga
muncullah tuntutan masyarakat dan pemerintah terhadap pers, khususnya pada pers yang
provokatif, sensasional dan komersil dalam menyajikan informasi. Hal itu jelas sekali terlihat
pada media-media yang menyajikan berita politik dan hiburan baik berupa seks ataupun yang
lainnya. Sungguh ironi, dalam sistem politik yang relatif terbuka saat ini, pers Indonesia
cenderung memperlihatkan performa dan sikap yang dilematis. Di satu sisi, kebebasan yang
diperoleh seiring tumbangnya rezim Orde Baru membuat media massa Indonesia leluasa
mengembangkan isi pemberitaan. Namun, di sisi lain, kebebasan tersebut juga sering kali
tereksploitasi oleh sebagian industri media untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-
banyaknya dengan mengabaikan fungsinya sebagai instrumen pendidik masyarakat. Bukan
22

hanya sekedar celah antara rakyat dengan pemimpin, tetapi pers diharapkan dapat
memberikan pendidikan untuk masyarakat agar dapat membentuk karakter bangsa yang
bermoral. Padahal seharusnya peran pers saat ini dapat menyelesaikan kesenjangan
komunikasi politik antara masyarakat dan pemerintah. Karena, disinilah pers menjadi media
yang memungkinkan untuk menjembatani masyarakat dan pemerintah agar komunikasi
politik antara yang berkuasa dengan masyarakatnya dapat berjalan. Namun masa Reformasi
ternyata menyisakan masalah bagi pers, tidak hanya masalah kebebasan pers yang dinilai
kebablasan juga dampak yang diakibatkan dapat meresahkan masyarakat
(http://farelbae.wordpress.com/catatan-kuliah-ku/jejak-pers-di-masa-orba-dan-reformasi/,
diunduh 28 Oktober 2020).
23
BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan

Kebebasan pers pada masa orde baru sangat berbeda dengan kebebasan pers pada
masa reformasi. Pada masa orde baru pergerakan pers sangat dibatasi dan hanya sebagai
boneka pemerintah untuk melanggengkan kepentingannya. Sedangakan pada masa reformasi,
kebebasan pers sangat terjamin. Ruang gerak pers menjadi sangat luas. Pers dapat melakukan
fungsi top – down dan bottom – up, walaupun terkadang masih dimanfaatkan sebagai alat
penguasa serta pemilik modal. Kebebasan pers masa reformasi juga bukan berarti tanpa
masalah, banyak masalah yang timbul akibat dari kebebasan pers itu sendiri dan praktik
kebebasan pers di Indonesia pada pada setiap periode zamannya selalu mengikuti politik
penguasa. Pada masa Orde Baru, system pers yang berjalan adalah otoritarian, meskipun
secara formal disebut sebagai pers bebas dan bertanggungjawab. Tetapi bertanggung jawab
kepada penguasa, bukan kepada masyarakat. Didalam era Reformasi, melalui euphoria
kebebasan politik berdampak pada praktik kebebasan pers yang luas. Banyak media surat
kabar diterbitkan dan memakai pola pemberitaan yang bebas, sehingga masyarakat mengakui
bahwa praktik kebebasan pers betul-betul dinikmati pers dan dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat melalui kebebasan menyampaikan informasi tersebut. Namun dalam praktiknya,
kebebasan pers masih juga menemui hambatan. Hambatan yang kebanyakan merupakan
dampak dari kebasan pers yang sebeba-bebasnya dan tanpa terkendali. Sehingga, dengan
demikian praktik kebebasan pers pada akhirnya harus dapat dikelola sendiri oleh masyarakat
pers sehingga tidak menjerumuskan dan tidak merugikan masyarakat luas.

B.Saran

Semoga dengan adanya makalah ini dapat memberikan wawasan serta pemahaman
mengenai sejarah perkembangan pers di era orde baru dan reformasi, sehingga dengan
memahami sejarah dapat diambil hikmah dan pelajaran hidup agar menjadi lebih baik lagi.
Untuk itu penyusun berharap kepada pembaca untuk memberikan kritikan dan saran yang
bersifat membangun demi kesempurnaan Makalah “Pers dalam system hokum Fenomena
kebebasan dalam orde baru dan reformasi” ini agar menjadi evaluasi untuk penyusun agar
menjadi lebih baik lagi untuk kedepannya.

24
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (______). Kebebasan Pers di Era Reformasi. [internet] Tersedia:


http://www.tni.mil.id/view-43381-kebebasan+pers+di+era+reformasi.html [28 Oktober
2020]

Anonim. (______). Kebebasan Pers. [internet] Tersedia: http://www.isomwebs.com [28


Oktober 2020]

Anonim. (2012). Pers Dulu Diperas Sekarang untuk Berperang. [internet] Tersedia:
http://politik.kompasiana.com/2012/09/25/pers-dulu-diperas-sekarang-untuk-berperang/
28 Oktober 2020]

Anonim. (______). Praktik Kebebasan Pers Pada Era Reformasi Di Indonesia. [internet]
Tersedia: ejournal.stainpurwokerto.ac.id/index.php/komunika/article/.../37 [28 Oktober
2020]

Apreandy, Ary. (2012). Pers. [internet] Tersedia:


https://www.academia.edu/18360104/Makalah_Pers [28 Oktober 2020]

Efendi, Akhmad. 2010. Perkembangan Pers di Indonesia. Semarang: ALPRIN

Hapsari, Sinung Utami Hasri. 2012. Hukum Media, Dulu, Kini, dan Esok. Jurnal Riptek, 6(1):
49-53

Hutagalung, Inge. 2013. Dinamika Sistem Pers di Indonesia. Jurnal Interaksi, 2(2):53-60

Kompasiana. (2012). Kebebasan Pers. [internet] Tersedia:


https://www.kompasiana.com/savirahmayadewi/5517d8eba333113107b6619b/kebebas
an-pers-di-indonesia [28 Oktober 2020]

Kompasiana. (2012). Kebebasan Pers. [internet] Tersedia: http://www.tni.mil.id/view-43381-


kebebasan+pers+di+era+reformasi.html [28 OKtober 2020]

Pratiwi, S. (2011). Sejarah Perkembangan Pers di Indonesia. [internet] Tersedia:


http://septianapratiwi.wordpress.com/2011/02/10/sejarah-perkembangan-pers-di-
indonesia/ [28 OKtober 2020]

25
26

Putra, A. F. (______). Jejak Pers di Masa Orba dan Reformasi. [internet] Tersedia:
http://farelbae.wordpress.com/catatan-kuliah-ku/jejak-pers-di-masa-orba-dan-
reformasi/ [28 OKtober 2020]

Pureklolon, Thomas Tokan. 2016. Komunikasi Politik. Jakarta: Gramedia

Setiawansyah, Ade Putra. (2016). Eksistensi Sistem Pers Era Orba dan Reformasi [internet]
Tersedia: https://adeputrasetiawansyahblog.wordpress.com/2016/12/28/eksistensi-
sistem-pers-era-orba-dan-reformasi/ [28 Oktober 2020]

Supriatna, Nana. 2008. Sejarah Jilid 3. Bandung: Grafindo

Anda mungkin juga menyukai