Anda di halaman 1dari 16

PERKEMBANGAN PERS PADA MASA REFORMASI 1998-2010

“Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah


Sejarah dan Sistem Pers”

DOSEN PENGAMPU :

ZAFRI ZALDI SIREGAR, S.Pd, M.Si

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 6

IKOM-3 JURNALISTIK-1 / SEMESTER 5

NUR SAFITRI (0603202114)

ENDI HADIAN SHABAR PANE (0603203045)

FARAH MUTIARA ZAHRA (0603203050)

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

MEDAN

T.A 2022/2023
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang senantiasa


melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyusun
dan menyelesaikan makalah ini. Makalah ini diajukan untuk memenuhi
tugas kelompok mata kuliah Sejarah Dan Sistem Pers yang berjudul
“Perkembangan pers pada masa Reformasi 1998-2010”.
Adapun penulisan makalah ini tidak akan terlaksana tanpa
dorongan, bantuan, arahan ataupun bimbingan dari berbagai pihak. Untuk
itu, kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Zafri Zaldi Siregar,
M.Si sebagai dosen mata kuliah Sejarah dan Sistem Pers dan teman- teman
yang telah berpartisipasi langsung maupun tidak langsung dalam
pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan makalah ini
masih belum sempurna, untuk itu kami berharap kritik dan saran yang
sifatnya membangun demi penyempurnaan pembuatan makalah pada
waktu dan kesempatan berikutnya.

Medan, 09 November 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................... 2


DAFTAR ISI ................................................................................................................... 3

BAB I ............................................................................................................................... 4

PENDAHULUAN ........................................................................................................... 4

A. Latar Belakang. ...................................................................................................... 4

B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 5

C. Tujuan .................................................................................................................... 5

BAB II .............................................................................................................................. 6

PEMBAHASAN .............................................................................................................. 6

A. Pers Masa Reformasi ............................................................................................. 6

B. Pelaksanaan & Pertanggung jawaban Kemerdekaan Pers Pada Masa Reformasi. 6

C. Kepemilikan Media Massa di Indonesia era Reformasi1998-2010....................... 8

D. Kontrol Kandungan Media di Indonesia era Reformasi1998-2010..................... 11

E. Transformasi dan Faktor Eksternal Pers Masa Reformasi. ................................. 12

BAB III .......................................................................................................................... 15

PENUTUP. .................................................................................................................... 15

A. Kesimpulan. ......................................................................................................... 15

B. Saran. ................................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA. .................................................................................................. 16


BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.

Kebebasan pers Indonesia ditandai dengan datangnya era reformasi dimulai tahun
1998 setelah peristiwa pengunduran diri Soeharto dari jabatan kepresidenan. Pers
Indonesia yang semula selalu merasa tertekan kemudian mengalami euforia. Demokrasi
bagi pers Indonesia dimaknai sebagai kebebasan dalam melakukan kegiatan mencari,
mengolah, dan menyebarluaskan segala hal yang bernilai berita, apakah itu berita yang
baik atau buruk, sehingga yang terpenting adalah bagaimana bersaing dengan media
massa lain yang muncul akibat reformasi pers. Perjuangan pers Indonesia kemudian lebih
kepada usaha untuk tetap eksis mengisi ruang publik (public sphere).

Media massa apa pun bentuknya, memang membawa dampak bagi masyarakat,
baik itu positif ataupun negatif. Media massa yang seharusnya memiliki fungsi sebagai
kontrol sosial, sebagai pengawas masyarakat. Dalam konteks ini media massa sebagai
sumber berita diwajibkan netral dituntut untuk selalu adil dalam memberitakan suatu
kejadian atau memberikan informasi.

Masyarakat sangat membutuhkan berbagai informasi dan berbagai hiburan, media


massa berusaha untuk memenuhi apa yang diinginkan oleh masyarakat. Dalam hal ini
para konglomerat memandang media massa sebagai lahan yang subur untuk dijadikan
bisnis. Pada akhirnya para konglomerat mulai masuk ke media massa demi kepentingan
pribadi, seluruh kekuatan media massa digerakkan untuk mencapai kepentingan financial,
sehingga berita dan informasi yang disajikan difungsikan untuk dikomodifikasikan
dengan pemasukan uang. Dalam hal ini media dipaksa menayangkan program-
programnya sesuai keinginan investor atau pemasang iklan. Lambat tahun media akan
melupakan fungsi dan perannya, media akan menganggap audiennya bukan lagi sebagai
warganegara namun lebih kepada sebagai konsumen yang dapat memenuhi kepentingan
elit- elit kapitalis yang dapat membahayakan peran publik di media dan media tidak lagi
mementingkan warganegara dalam pembentukan kerja media.

Dengan adanya kepentingan-kepentingan penguasa media untuk mengalahkan


lawan-lawan politiknya, Pemberitaan media menjadi bias dan cenderung memasukkan
opini. Media tidak mempengaruhi pemirsa atau pembaca bagaimana untuk berpikir, tetapi
media mempengaruhi pembacanya untuk menentukan apa yang dipikirkan. Masyarakat
secara tidak sadar membentuk persepsi tertentu pengaruh dari media yang ditonton atau
yang dibacanya. Tanpa sadar untuk melihat pemilik media dan apa tujuannya
menampilkan atau mengemas berita tersebut. Saat ini media telah terpengaruh oleh
kepentingan-kepentingan untuk mendominasi pasar (market oriented) secara ekonomi
dan ideologi. Media menjadi tidak terpisahkan antara sistem ekonomi dan sistem politik.
Sulit untuk membedakan berita yang datang dari keinginan pers memberikan informasi
kepada rakyat, dengan informasi yang telah diintervensi maksud-maksud tertentu.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Pers Pada masa Reformasi?


2. Bagaimana pelakasaan dan tanggung jawab pers pada masa Reformasi ?
3. Siapa yang memiliki peran penting dalam sebuah media massa pada masa
Reformasi?
4. Bagaimana cara kontrol pers pada masa Reformasi ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa itu pers pada masa reformasi


2. Untuk memahami cara melaksanakan pers pada masa reformasi.
3. Untuk mengetahui siapa yang memiliki peran penting akan pers pada masa
Reformasi.
4. Untuk mengetahui cara kontrol pers pada masa reformasi.
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pers Masa Reformasi

Pers sebagai corong informasi publik. Oleh karena itu pers harus
memperjuangkan kebenaran dalam mencari, mengumpulkan dan mengolah informasi
itu untuk menjadi sebuah berita. Kebenaran informasi akan terbentuk apabila pers
merasakan adanya kemerdekaan dalam mengolah dan membentuk berita berdasarkan
fakta, apakah fakta itu peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi, seperti tanah longsor
dan gempa bumi serta fakta pendapat, hasil pikiran yang berupa seperti artikel dan
cerita pendek.
Dalam mengolah dan membentuk sebuah berita, wartawan harus netral atau
berimbang dalam memberlakukan narasumber atau subjek berita. Wartawan tidak
boleh nakal harus ada kejujuran, profesional dan bertanggungjawab terhadap isi
berita. Karena masyarakat ingin mendapatkan berita yang berdasarkan fakta, akurat,
benar, jujur dan terpercaya. Karena itu adalah hak asasi manusia yang bersifat
fundamental dan dijamin serta mendapatkan perlindungan dari UUD 1945. Sesuatu
yang harus diperjuangkan untuk tegaknya kemerdekaan pers.1
Upaya perjuangan kemerdekaan pers itu baru menghasilkan buah manis dengan
tumbangnya kekuasaan Presiden Soeharto tahun 1998. Tumbangnya kekuasaan
Presiden Soeharto itu menyebabkan munculnya orde reformasi yang menginginkan
adanya perubahan secara total yang menyangkut kehidupan masyarakat, seperti di
bidang politik, ekonomi dan termasuk hukum pers.

B. Pelaksanaan dan Pertanggung jawaban Kemerdekaan Pers Pada Masa


Reformasi.

Kata reformasi berarti adanya kehendak untuk melakukan suatu perubahan dari
tatanan selama kepada tatanan atau sistem baru. Berarti juga adanya perubahan
paradigma otoriter orde baru dengan semboyan tanggung jawab pers terhadap publik

1
Amanwinata, Rukmana,Kemerdekaan Mengeluarkan Pikiran Dengan Tulisan Dalam Pasal 28
UUD 1945, ( Bandung : Pasca Sarjana Universitas Padjajaran: 1988).
berubah mantranya pada orde reformasi menjadi tanggung jawab publik terhadap
pers. Tolak ukur layak atau tidaknya suatu media dibeli dan dibaca sangat tergantung
publik. 2
Pada orde reformasi insan pers benar-benar bernapas lega. Karena terbebas dari
belenggu Pemerintahan Orde Baru, di mana pers pada waktu itu banyak yang tiarap
atau jadi penakut. Mereka tidak berani bersuara lantang terhadap ketidakadilan akibat
adanya ulah oknum penguasa. Ada kekhawatiran juga isi pemberitaan tidak sesuai
dengan kehendak penguasa takut marah atau menerima vonis pemberedelan atau
pencabutan surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP). 3
Namun merebaknya romantika kemerdekaan pers pada zaman orde reformasi,
ternyata menimbulkan banyak masalah. Terutama dengan hadirnya reformasi di
kancah politik dan hukum, insan pers merasa terbebas dari ancaman pemberedelan
atau pencabutan izin. Wartawan tidak merasa medianya akan ditutup, apabila
melakukan otokritik terhadap pemerintah. Keadaan itu menjadi penyebab pers tidak
terkontrol, eforia kemerdekaan cenderung terjadi penyalahgunaan kemerdekaan pers.
Kemerdekaan menyatakan pikiran dan atau perasaan sudah berubah arah dari
tindakan yang berdasarkan hukum ke arah tindakan pelanggaran hukum, seperti
penyiaran kabar bohong kasus SARA, fitnah, kriminalisasi terhadap wartawan dan
tindakan menghukum orang melalui pers.
Oleh karena itu bahwa kemerdekaan pers pada masa orde reformasi telah keluar
dari koridor hukum alias wartawan sering muncul tanpa berita (Muntaber). Wartawan
menjadi tukang kompor atau propokator dan adanya konflik bernuansa SARA
sehingga menimbulkan pertumpahan darah. Sebagai contoh konflik etnis antara Suku
Madura dan Suku Dayak di Kalimantan. Pemberitaan begitu fulgar, sehingga
menyebabkan terjadinya konflik. Demikian juga kasus agama di Ambon pers bukan
menyejukkan suasana akan tetapi menjadi propokator sehingga menyebabkan
terjadinya konflik.
Mengenai sistem pertanggungjawaban dalam bidang pers, menurut hukum positif
Indonesia ada dua hal yang harus di pertanggung jawabkan dalam pelaksanaan
kemerdekaan pers; yang pertama pertanggungjawaban dari segi pidana (code of

2
Shaffat, Indri,Kebebasan, Tanggung Jawab dan Penyimpangan Pers,( Jakarta: Prestasi Pustaka: 2008)
3
, Lobby,Malpraktek Pers Indonesia, Asosiasi Wartawan Muslim (AWAM) Indonesia(Jakarta: 2003)
publication) dan yang kedua dari segi hukum perdata menyangkut perusahaan
penerbitan pers (code of enterprice).4
Pertanggung jawaban dari segi hukum pidana menyangkut isi redaksional.
Persoalan yang terkait dengan fakta peristiwa maupun fakta pendapat, seperti berita
bohong, propokator, ujaran kebencian dan menghukum orang melalui pers (trial by
the pers). Isi redaksional itu adalah segala tulisan yang tidak bernilai advertensi,
sebagai contoh adanya karikatur Presiden dibuat duduk di kursi, akan tetapi matanya
buta dan meraba-raba sesuatu yang ada di sekitarnya dan termasuk kategori
penghinaan melalui tulisan.
Secara teoritis dikenal ada tiga persoalan yang menyangkut isi redaksional itu,
yang pertama pertanggungjawaban fiktif. Dalam hal ini tidak semata-mata
berdasarkan ketentuan KUHP akan tetapi juga berdasarkan UU Pokok Pers. Cukup
satu orang yang bertanggungjawab dan yang lainnya bebas dari tanggung jawab
hukum. Sebagai contoh pemimpin redaksi yang bertanggungjawab maka yang lainnya
bebas dari tanggung jawab (single responsibility).
Kemudian yang kedua adalah pertanggungjawaban reel artinya siapa saja yang
terlibat dalam tindak pidana itu harus bertanggungjawab. Mengenai berat ringannya
hukuman sangat tergantung pada peranan masing-masing dalam tindak pidana itu.
Sebagai contoh kasus penyiaran kabar bohong (hoax) Ratna Sarumpaet, jika itu
pelakunya tidak tunggal ada yang turut melakukan dan/atau membantu melakukan
maka dapat diancam misalnya pasal 55 KUHP dan pasal 14 ayat 1 UU No. 1 Tahun
1946 dan pasal 28 ayat 1 UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi, Transaksi dan
Elektronik.

C. Kepemilikan Media Massa di Indonesia era Reformasi1998-2010

Kepentingan pemilik media tidak lepas dari kepentingan politik seperti Surya
Paloh memiliki akhbar Media Indonesia, Metro TV (Group media) sekaligus sebagai
ketua parti Nasional Demokrat (NASDEM).Dahlan Iskan memiliki 171 akhbar di
Indonesia (Jawa Pos Group) sekaligus sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara

4
Muis, A,Jurnalistik Hukum Komunikasi Masa, ( Jakarta :PT. Dharu Anuttama : 1999)
(BUMN) yang dipercayai oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Aburizal
Bakrie memiliki TVONE, ANTV, viva.com, (Group VISI) sekaligus sebagai ketua
parti GOLKAR. Parti GOLKAR adalah parti yang pernah berkuasa selama 32 tahun
era Orde Baru. Kemudian Parti GOLKAR juga sebagai parti gabungan dari
pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono.Hary Tanoesoedibjo memiliki akhbar
Seputar Indonesia (SINDO), RCTI, MNC TV, GLOBAL TV, INDOVISION (Group
Bimantara) sekaligus sebagai Ketua penasehat parti Nasional Demokrat (NASDEM).
Jakoeb Oetama memiliki 117 akhbar (Group Gramedia) selama ini Jakoeb Oetama
lebih memilih profesional dan tidak bergantung kepada pemerintah atau parti
politik.Tiga kumpulan media besar di antaranya bergabung ke dalam dengan parti
politik, yaitu MNC Grup dan Media Grup dengan Parti Nasional Demokrat
(NASDEM), serta Visi Media Asia dengan PartaiGOLKAR.5

Keuntungan yang diperoleh media massa di Indonesia misalnya iaitu dari data
AGB Nielsen Media Research, terlihat hingga tahun 2006, Group Media Nusantara
Citra (MNC) mengambil keuntungan Rp4,8 bilion (atau 32,9% dari seluruh iklan TV.
Kemudian ke-2 Trans TV dan Trans 7, dengan Rp3,4 bilion (23.2%). ANTV dan
Lativi, berhasil memperoleh pendapatan Rp2.3 bilion (15.7%), berada pada peringkat
ke-3 . Hal itu mengakibatkan pengusaha media kini tidak lagi hanya sekedar
berorientasi pada pemenuhan hak masyarakat akan terpenuhinya informasi tetapi juga
berorientasi untuk mengejar keuntungan ekonomi sebesar-besarnya.

Menghadapi persaingan dalam bisnis media massa yang memerlukan


kekuatan sosial ekonomi ini, maka terjadi kecenderungan kekuatan media yang
kemudian mengarah kepada munculnya kumpulan penggiatgergasi media massa
(media giant) yang kemudian mengakibatkan terjadinya konsentrasi kepemilikan
media. Konsentrasi media ini banyak berlaku tidak hanya di Indonesia, melainkan
juga di luar negara, seperti misalnya Dow Jones yang dibeli oleh Rupert Murdoch di
mana Dow Jones merupakan induk dari beberapa media di Amerika Syarikat, atau
contoh lainnya iaitu ketika News Corp dan Dow Jones bergabung yang menghasilkan

5
Akhmadi, Heri Ilusi Sebuah Kekuasaan.( Jakarta: ISAI: 1997)
74,1 bilion US. Di Amerika Syarikat ada lima pemilik besar industri media massa,
yaitu Time-Warner, Viacom, News Corp., Bertelsmann Inc., dan Disney. 6

Gejala tumpuan media juga berlaku di Indonesia, iaitu media Nusantara Corp
(MNC) yang memiliki RCTI, TPI, GLOBAL TV, Radio Trijaya, akhbar Seputar
Indonesia, Indovision, dan Okezone.com, atau Group Bakrie yang memiliki ANTV
dan TVOne. Menurut Satrio Arismunandar, sekarang ini telah terbentuk setidaknya
tigakumpulan mediaraksasa. Perusahaan media pertama adalah PT Media Nusantara
Citra, Tbk (MNC) yang dimiliki oleh Harry Tanoesoedibjo yang membawahi RCTI
(PT Rajawali Citra Televisi Indonesia), TPI (PT Cipta Televisi Pendidikan
Indonesia), dan Global TV (PT Global Informasi Bermutu).MNC Group memiliki
tiga stasiun televisi free-to-air, 20 stasiun televisi lokal dan 22 stasiun radio di bawah
Sindo Radio.

Kumpulan kedua berada di bawah PT Bakrie Brothers (Group Bakrie) yang


dimiliki oleh Anindya N. Bakrie. Grup Bakrie ini membawahi ANTV (PT Cakrawala
Andalas Televisi) yang kini berbagi saham dengan STAR TV (News Corp, menguasai
saham 20%) dan Lativi yang sekarang telah berganti nama menjadi TvOne.
Kumpulan ketiga adalah PT Trans Corporat (Group Para).Kelompok ini membawahi
Trans TV (PT Televisi Trasnformasi Indonesia) dan Trans 7 (PT Duta Visual
Nusantara Tivi Tujuh).

Kelompok media pers besar yaitu Kompas Gramedia Group, Elang Mahkota
Teknologi, Visi Media Asia, Mahaka Media, CT Group, Beritasatu Media Holdings,
Media Group, MRA Media, Femina Group, dan Tempo Inti Media. Jawa Pos Group
memiliki 171 perusahaan media cetak termasuk Radar Group. KOMPAS, pers
Indonesia yang paling berpengaruh, memperluas jaringannya dengan menjadi
penyedia kandungan dengan membentuk KompasTV, selain 12 radio dibawah
Jaringan Radio Sonora, dan 89 perusahaan media cetak lainnya. Visi Media Asia telah
tumbuh menjadi media yang kuat kelompok dengan dua saluran televisi (ANTV dan
tvOne) dan media onlinevivanews.com.

6
Susi Sakti,Konglomerasi Media Massa sebagai Ajang Hegemoni Pembentukan Opini Publik.
(Remaja RosdaKarya : 2010.)
D. Kontrol Kandungan Media di Indonesia era Reformasi1998-2010

Konsentrasi kepemilikan media massa di Indonesia mengakibatkan struktur pasar


media massa Indonesia memiliki bentuk kuasa kepemilikan perusahaan dalam tangan
golongan kecil, iaitu kondisi yang hanya terdapat sejumlah perusahaan besar dalam
industri media massa dengan kandungan yang berbeda. Di Indonesia, perusahaan pers
besar tersebut antara lain Group Media Nusantara Citra (MNC), Group Media
Indonesia, Jawa Pos, Kompas Gramedia Group Femina Group, dan Tempo Inti
Media. Dalam pasar oligopoli, tindakan yang dilakukan oleh salah satu penggiat pasar
akan mempengaruhi penggiat lainnya, baik dalam polisi maupun faktor lain.
Selain itu, apabila ada penggiat baru yang hendak memasuki pasar, maka akan
sukar untuk memasuki pasar tersebut apabila tidak memiliki kemampuan atau
kekuatan yang sama dengan yang telah ada sebelumnya yang telah memiliki
teknologi dan pengalaman yang lebih kuat, karena persaingan yang terjadi tidak hanya
persaingan kandungan media dan jenis program tapi juga persaingan infrastruktur dan
teknologi. Susahnya memasuki pasar tersebut mengakibatkan merger atau
menggabungkan perusahaan akan semakin memusatkan pada pasar yang kuat.7
Industri media massa mengakibatkan adanya penggabungan kepemilikan media
menjadi suatu proses yang tidak dapat dihindarkan oleh setiap pelaku industri media
massa untuk tetap dapat berproses sebagai sebuah institusi sosial dan ekonomi.
Penggabungan kepemilikan media tersebut mempengaruhi apa yang terjadi di pasar
media massa, misalnya apa yang dilakukan oleh media tertentu akan menentukan
tindakan yang diambil oleh media lain dan juga berpengaruh terhadap masyarakat itu
sendiri. Konsentrasi kepemilikan media ini bukanlah semata-mata fenomena bisnis,
melainkan fenomena kandungan dan ekonomi politik yang melibatkan kekuasaan.
Misalkan, lima korporat media terbesar di Amerika Serikat berhasil mengajukan
sebuah undang-undang baru untuk meningkatkan dominasi korporat mereka dan
menghilangkan undang-undang atau peraturan yang membatasi kawalan atas media.
Misalnya, undang-undang Telekomunikasi tahun 1996. Kondisi ini tidak jauh berbeda

7
Chesney, Robert Mc, Konglomerasi Media Massa dan Ancaman Terhadap Demokrasi, (Jakarta :
Andi Achdian (terj)1998 ),hlm.29.
dengan yang berlaku di Indonesia. Di Indonesia, perusahaan besar tersebut antara
lain; kumpulan Kompas Gramedia (Gramedia Group), Kelompok Jawa Pos (Jawa Pos
Group) kumpulan Media Indonesia (Media Indonesia Group), Kelompok Multimedia
Nusantara Corp (MNC Group), dan lain sebagainya.

E. Transformasi dan Faktor Eksternal Pers Masa Reformasi.

Yang sering menjadi pertanyaan adalah bagaimana pers Indonesia –khususnya


media cetak bisa mentransformasi dirinya, dari pers yang sangat hati-hati, sangat takut
menyinggung perasaan penguasa yang otoriter, menjadi pers yang aktif menggerogoti
kekuasaan dan ikut mendorong bergulirnya Gerakan reformasi.

Faktor eksternal memiliki andil besar dalam pergeseran itu, dan faktor itu adalah
krisis ekonomi yang menghantam seluruh segmen masyarakat, termasuk kalangan
industri pers sendiri. Melonjaknya harga kertas koran akibat jatuhnya nilai rupiah
terhadap US dollar –yang mencapai titik terendah pada nilai tukar Rp 16.000 per satu
US dollar.

Sebagian besar kertas koran ini harus diimpor dan dibayar dengan valuta asing.
Selain itu, meskipun sebagian kertas koran sudah diproduksi di dalam negeri, 70 %
bahan baku kertas masih diimpor. Ditambah lagi, seluruh investasi pembangunan
pabrik kertas juga dalam dollar AS. Jadi harga yang harus dibayar penerbit pers
kepada pabrik kertas praktis mengikuti fluktuasi dollar AS.

Majalah D&R, misalnya, hampir terkapar karena kenaikan harga kertas ini. Harga
jualnya yang Rp 6.300 pada Februari 1998 sebenarnya sudah berada di bawah biaya
produksinya. Agar bisa bertahan hidup, D&R yang berada di bawah manajemen
Kelompok Jawa Pos itu seharusnya dijual Rp 8.000. Akibatnya, setiap bulan PT.
Analisa Kita, penerbit D&R, menanggung kerugian Rp 432 juta bila dicetak 40.000
eksemplar setiap pekan. Paling tidak, kalau yang dicetak itu laku semua, perusahaan
menanggung rugi Rp 2.700 pereksemplar.

Naiknya ongkos produksi ini celakanya tidak bisa diimbangi dengan peningkatan
tiras, yang bisa dibilang stagnan dari tahun ke tahun. Pendapatan iklan sendiri turun,
karena kalangan dunia usaha yang biasa memasang iklan di media juga menghadapi
kesulitan finansial. Untuk mengurangi cost, salah satu pos pengeluaran yang mereka
pangkas adalah biaya iklan. Alasan lain memangkas iklan adalah karena pasar bagi
produk-produk mereka juga lesu.

Untuk bisa survive, sejumlah media cetak melakukan pengurangan jumlah


halaman, pengurangan gaji dan berbagai bentuk bonus, tunjangan dan fasilitas untuk
wartawan dan karyawannya. Yang membedakan krisis ekonomi Indonesia sejak Juli
1997 dengan berbagai kondisi ekonomi nasional sebelum itu adalah skala dan
spektrum permasalahannya, serta implikasinya terhadap berbagai lapisan masyarakat.

Dari sisi lain, krisis ekonomi juga telah mengurangi drastis kemampuan regim
untuk mengalokasikan sumber daya, guna ―menjinakkan berbagai lapisan kelas
menengah yang selama ini mendukungnya. Kalangan industri pers --dengan
keunggulan akses informasinya dan kemampuannya mengarahkan opini publik-- kita
masukkan dalam kelompok kelas menengah yang kecewa dan merasa dirugikan ini.

Bisa dikatakan bahwa regim Soeharto saat itu sudah tidak mampu lagi
mengakomodir kepentingan industri pers. Dengan demikian, mendorong segera
tergulingnya Soeharto lewat dukungan kepada gerakan reformasi, adalah bagian dari
kepentingan kalangan industri pers sendiri. Pada saatnya kemudian, gerakan
reformasi tersebut juga menuntut perubahan-perubahan di dalam tubuh industri pers
sendiri, dan tuntutan ini tak bisa dihambat lagi.

Misalnya, kehendak sah para wartawan dan karyawan untuk mendirikan serikat
buruh atau dewan karyawan di perusahaan pers –yang selama ini dihambat dengan
alasan yang mengada-ada—kini lebih mudah diwujudkan. Kemudian ketentuan
pembagian saham 20 persen untuk wartawan/karyawan – yang secara tegas sudah
lama dinyatakan dalam peraturan Menpen, tapi tak pernah direalisasikan – kini sudah
direalisasikan di sejumlah media baru. Sayangnya, hal ini tampaknya justru belum
diberlakukan di sejumlah media yang sudah mapan, seperti Kompas.

Bagaimanapun, kehidupan pers nasional masih akan menjalani berbagai


perkembangan dinamis, terutama karena Indonesia sendiri sedang mengalami
perubahan- perubahan yang dahsyat di semua segi kehidupan. Indonesia sedang
menjalani masa transisi, dari masa keterkungkungan dan represi di bawah Orde Baru
ke era yang lebih terbuka dan demokratis. Bagaimana pers Indonesia menempatkan
diri, bahkan ikut mengarahkan perubahan-perubahan itu, akan menarik untuk
dicermati.

Harus disadari bahwa pers Indonesia tidaklah hidup dalam ruang vakum. Ia berada
dan tumbuh di tengah masyarakat yang bergerak, berkembang, dan berubah. Dalam
kasus gerakan reformasi 1998 yang kemudian menjatuhkan Soeharto, bukan pers
yang menjadi ujung tombak perubahan, namun gerakan mahasiswa yang didukung
masyarakat.

Dalam kasus gerakan reformasi 1998, pers menangkap arus desakan yang amat
kuat ke arah perubahan di dalam masyarakat Indonesia, dan baru kemudian
sesudahnya pers ikut terjun serta memberi kontribusi dalam arus besar tersebut.
Dalam hal ini, tekanan krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan menghantam
kepentingan ekonomi kalangan industri pers ikut andil dalam memojokkan institusi-
institusi pers untuk bersikap tegas dan memilih mendukung arus reformasi demi
kepentingannya sendiri. Dalam hal ini, pers berperan sebagai katalisator yang
mempertahankan dan mempercepat momentum Gerakan reformasi.
BAB III

PENUTUP.
A. Kesimpulan.

Pers sebagai corong informasi publik. Oleh karena itu pers harus
memperjuangkan kebenaran dalam mencari, mengumpulkan dan mengolah
informasi itu untuk menjadi sebuah berita, Dalam mengolah dan membentuk
sebuah berita, wartawan harus netral atau berimbang dalam memberlakukan
narasumber atau subjek berita. Wartawan tidak boleh nakal harus ada kejujuran,
profesional dan bertanggungjawab terhadap isi berita. Karena masyarakat ingin
mendapatkan berita yang berdasarkan fakta, akurat, benar, jujur dan terpercaya.
Pada orde reformasi insan pers benar-benar bernapas lega. Karena
terbebas dari belenggu Pemerintahan Orde Baru, di mana pers pada waktu itu
banyak yang tiarap atau jadi penakut. Mereka tidak berani bersuara lantang
terhadap ketidakadilan akibat adanya ulah oknum penguasa. Ada kekhawatiran
juga isi pemberitaan tidak sesuai dengan kehendak penguasa takut marah atau
menerima vonis pemberedelan atau pencabutan surat izin usaha penerbitan pers
(SIUPP).

B. Saran.

Dengan adanya makalah ini, penulis berharap pembaca dapat mengerti dan
memahami lebih lanjut mengenai pembahasan tentang Perkembangan Pers Masa
Reformasi serta penulis juga mengharapkan kritik dan saran yang membangun
apabila terjadi kesalahan di dalam makalah ini sehingga untuk ke depannya
penulis bisa membuat makalah yang lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA.
Amanwinata, Rukmana, 1988. Kemerdekaan Mengeluarkan Pikiran Dengan Tulisan
Dalam Pasal 28 UUD 1945, Pasca Sarjana Universitas Padjajaran: Bandung.
Shaffat, Indri, 2008. Kebebasan, Tanggung Jawab dan Penyimpangan Pers, Prestasi
Pustaka: Jakarta.
Loeqman, Lobby, 2003. Malpraktek Pers Indonesia, Asosiasi Wartawan Muslim
(AWAM) Indonesia: Jakarta.
Muis, A, 1999. Jurnalistik Hukum Komunikasi Masa, PT. Dharu Anuttama, Jakarta.
Chesney, Robert Mc (1998) Konglomerasi Media Massa dan Ancaman Terhadap
Demokrasi, Andi Achdian (terj), Jakarta : hlm.29.
Akhmadi, Heri (1997)Ilusi Sebuah Kekuasaan. Jakarta: ISAI.
Susi Sakti (2010), Konglomerasi Media Massa sebagaiAjang Hegemoni
Pembentukan Opini Publik. Remaja RosdaKarya

Anda mungkin juga menyukai