DOSEN PENGAMPU :
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 6
MEDAN
T.A 2022/2023
KATA PENGANTAR
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I ............................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ........................................................................................................... 4
C. Tujuan .................................................................................................................... 5
BAB II .............................................................................................................................. 6
PEMBAHASAN .............................................................................................................. 6
PENUTUP. .................................................................................................................... 15
A. Kesimpulan. ......................................................................................................... 15
B. Saran. ................................................................................................................... 15
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Kebebasan pers Indonesia ditandai dengan datangnya era reformasi dimulai tahun
1998 setelah peristiwa pengunduran diri Soeharto dari jabatan kepresidenan. Pers
Indonesia yang semula selalu merasa tertekan kemudian mengalami euforia. Demokrasi
bagi pers Indonesia dimaknai sebagai kebebasan dalam melakukan kegiatan mencari,
mengolah, dan menyebarluaskan segala hal yang bernilai berita, apakah itu berita yang
baik atau buruk, sehingga yang terpenting adalah bagaimana bersaing dengan media
massa lain yang muncul akibat reformasi pers. Perjuangan pers Indonesia kemudian lebih
kepada usaha untuk tetap eksis mengisi ruang publik (public sphere).
Media massa apa pun bentuknya, memang membawa dampak bagi masyarakat,
baik itu positif ataupun negatif. Media massa yang seharusnya memiliki fungsi sebagai
kontrol sosial, sebagai pengawas masyarakat. Dalam konteks ini media massa sebagai
sumber berita diwajibkan netral dituntut untuk selalu adil dalam memberitakan suatu
kejadian atau memberikan informasi.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
PEMBAHASAN
A. Pers Masa Reformasi
Pers sebagai corong informasi publik. Oleh karena itu pers harus
memperjuangkan kebenaran dalam mencari, mengumpulkan dan mengolah informasi
itu untuk menjadi sebuah berita. Kebenaran informasi akan terbentuk apabila pers
merasakan adanya kemerdekaan dalam mengolah dan membentuk berita berdasarkan
fakta, apakah fakta itu peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi, seperti tanah longsor
dan gempa bumi serta fakta pendapat, hasil pikiran yang berupa seperti artikel dan
cerita pendek.
Dalam mengolah dan membentuk sebuah berita, wartawan harus netral atau
berimbang dalam memberlakukan narasumber atau subjek berita. Wartawan tidak
boleh nakal harus ada kejujuran, profesional dan bertanggungjawab terhadap isi
berita. Karena masyarakat ingin mendapatkan berita yang berdasarkan fakta, akurat,
benar, jujur dan terpercaya. Karena itu adalah hak asasi manusia yang bersifat
fundamental dan dijamin serta mendapatkan perlindungan dari UUD 1945. Sesuatu
yang harus diperjuangkan untuk tegaknya kemerdekaan pers.1
Upaya perjuangan kemerdekaan pers itu baru menghasilkan buah manis dengan
tumbangnya kekuasaan Presiden Soeharto tahun 1998. Tumbangnya kekuasaan
Presiden Soeharto itu menyebabkan munculnya orde reformasi yang menginginkan
adanya perubahan secara total yang menyangkut kehidupan masyarakat, seperti di
bidang politik, ekonomi dan termasuk hukum pers.
Kata reformasi berarti adanya kehendak untuk melakukan suatu perubahan dari
tatanan selama kepada tatanan atau sistem baru. Berarti juga adanya perubahan
paradigma otoriter orde baru dengan semboyan tanggung jawab pers terhadap publik
1
Amanwinata, Rukmana,Kemerdekaan Mengeluarkan Pikiran Dengan Tulisan Dalam Pasal 28
UUD 1945, ( Bandung : Pasca Sarjana Universitas Padjajaran: 1988).
berubah mantranya pada orde reformasi menjadi tanggung jawab publik terhadap
pers. Tolak ukur layak atau tidaknya suatu media dibeli dan dibaca sangat tergantung
publik. 2
Pada orde reformasi insan pers benar-benar bernapas lega. Karena terbebas dari
belenggu Pemerintahan Orde Baru, di mana pers pada waktu itu banyak yang tiarap
atau jadi penakut. Mereka tidak berani bersuara lantang terhadap ketidakadilan akibat
adanya ulah oknum penguasa. Ada kekhawatiran juga isi pemberitaan tidak sesuai
dengan kehendak penguasa takut marah atau menerima vonis pemberedelan atau
pencabutan surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP). 3
Namun merebaknya romantika kemerdekaan pers pada zaman orde reformasi,
ternyata menimbulkan banyak masalah. Terutama dengan hadirnya reformasi di
kancah politik dan hukum, insan pers merasa terbebas dari ancaman pemberedelan
atau pencabutan izin. Wartawan tidak merasa medianya akan ditutup, apabila
melakukan otokritik terhadap pemerintah. Keadaan itu menjadi penyebab pers tidak
terkontrol, eforia kemerdekaan cenderung terjadi penyalahgunaan kemerdekaan pers.
Kemerdekaan menyatakan pikiran dan atau perasaan sudah berubah arah dari
tindakan yang berdasarkan hukum ke arah tindakan pelanggaran hukum, seperti
penyiaran kabar bohong kasus SARA, fitnah, kriminalisasi terhadap wartawan dan
tindakan menghukum orang melalui pers.
Oleh karena itu bahwa kemerdekaan pers pada masa orde reformasi telah keluar
dari koridor hukum alias wartawan sering muncul tanpa berita (Muntaber). Wartawan
menjadi tukang kompor atau propokator dan adanya konflik bernuansa SARA
sehingga menimbulkan pertumpahan darah. Sebagai contoh konflik etnis antara Suku
Madura dan Suku Dayak di Kalimantan. Pemberitaan begitu fulgar, sehingga
menyebabkan terjadinya konflik. Demikian juga kasus agama di Ambon pers bukan
menyejukkan suasana akan tetapi menjadi propokator sehingga menyebabkan
terjadinya konflik.
Mengenai sistem pertanggungjawaban dalam bidang pers, menurut hukum positif
Indonesia ada dua hal yang harus di pertanggung jawabkan dalam pelaksanaan
kemerdekaan pers; yang pertama pertanggungjawaban dari segi pidana (code of
2
Shaffat, Indri,Kebebasan, Tanggung Jawab dan Penyimpangan Pers,( Jakarta: Prestasi Pustaka: 2008)
3
, Lobby,Malpraktek Pers Indonesia, Asosiasi Wartawan Muslim (AWAM) Indonesia(Jakarta: 2003)
publication) dan yang kedua dari segi hukum perdata menyangkut perusahaan
penerbitan pers (code of enterprice).4
Pertanggung jawaban dari segi hukum pidana menyangkut isi redaksional.
Persoalan yang terkait dengan fakta peristiwa maupun fakta pendapat, seperti berita
bohong, propokator, ujaran kebencian dan menghukum orang melalui pers (trial by
the pers). Isi redaksional itu adalah segala tulisan yang tidak bernilai advertensi,
sebagai contoh adanya karikatur Presiden dibuat duduk di kursi, akan tetapi matanya
buta dan meraba-raba sesuatu yang ada di sekitarnya dan termasuk kategori
penghinaan melalui tulisan.
Secara teoritis dikenal ada tiga persoalan yang menyangkut isi redaksional itu,
yang pertama pertanggungjawaban fiktif. Dalam hal ini tidak semata-mata
berdasarkan ketentuan KUHP akan tetapi juga berdasarkan UU Pokok Pers. Cukup
satu orang yang bertanggungjawab dan yang lainnya bebas dari tanggung jawab
hukum. Sebagai contoh pemimpin redaksi yang bertanggungjawab maka yang lainnya
bebas dari tanggung jawab (single responsibility).
Kemudian yang kedua adalah pertanggungjawaban reel artinya siapa saja yang
terlibat dalam tindak pidana itu harus bertanggungjawab. Mengenai berat ringannya
hukuman sangat tergantung pada peranan masing-masing dalam tindak pidana itu.
Sebagai contoh kasus penyiaran kabar bohong (hoax) Ratna Sarumpaet, jika itu
pelakunya tidak tunggal ada yang turut melakukan dan/atau membantu melakukan
maka dapat diancam misalnya pasal 55 KUHP dan pasal 14 ayat 1 UU No. 1 Tahun
1946 dan pasal 28 ayat 1 UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi, Transaksi dan
Elektronik.
Kepentingan pemilik media tidak lepas dari kepentingan politik seperti Surya
Paloh memiliki akhbar Media Indonesia, Metro TV (Group media) sekaligus sebagai
ketua parti Nasional Demokrat (NASDEM).Dahlan Iskan memiliki 171 akhbar di
Indonesia (Jawa Pos Group) sekaligus sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara
4
Muis, A,Jurnalistik Hukum Komunikasi Masa, ( Jakarta :PT. Dharu Anuttama : 1999)
(BUMN) yang dipercayai oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Aburizal
Bakrie memiliki TVONE, ANTV, viva.com, (Group VISI) sekaligus sebagai ketua
parti GOLKAR. Parti GOLKAR adalah parti yang pernah berkuasa selama 32 tahun
era Orde Baru. Kemudian Parti GOLKAR juga sebagai parti gabungan dari
pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono.Hary Tanoesoedibjo memiliki akhbar
Seputar Indonesia (SINDO), RCTI, MNC TV, GLOBAL TV, INDOVISION (Group
Bimantara) sekaligus sebagai Ketua penasehat parti Nasional Demokrat (NASDEM).
Jakoeb Oetama memiliki 117 akhbar (Group Gramedia) selama ini Jakoeb Oetama
lebih memilih profesional dan tidak bergantung kepada pemerintah atau parti
politik.Tiga kumpulan media besar di antaranya bergabung ke dalam dengan parti
politik, yaitu MNC Grup dan Media Grup dengan Parti Nasional Demokrat
(NASDEM), serta Visi Media Asia dengan PartaiGOLKAR.5
Keuntungan yang diperoleh media massa di Indonesia misalnya iaitu dari data
AGB Nielsen Media Research, terlihat hingga tahun 2006, Group Media Nusantara
Citra (MNC) mengambil keuntungan Rp4,8 bilion (atau 32,9% dari seluruh iklan TV.
Kemudian ke-2 Trans TV dan Trans 7, dengan Rp3,4 bilion (23.2%). ANTV dan
Lativi, berhasil memperoleh pendapatan Rp2.3 bilion (15.7%), berada pada peringkat
ke-3 . Hal itu mengakibatkan pengusaha media kini tidak lagi hanya sekedar
berorientasi pada pemenuhan hak masyarakat akan terpenuhinya informasi tetapi juga
berorientasi untuk mengejar keuntungan ekonomi sebesar-besarnya.
5
Akhmadi, Heri Ilusi Sebuah Kekuasaan.( Jakarta: ISAI: 1997)
74,1 bilion US. Di Amerika Syarikat ada lima pemilik besar industri media massa,
yaitu Time-Warner, Viacom, News Corp., Bertelsmann Inc., dan Disney. 6
Gejala tumpuan media juga berlaku di Indonesia, iaitu media Nusantara Corp
(MNC) yang memiliki RCTI, TPI, GLOBAL TV, Radio Trijaya, akhbar Seputar
Indonesia, Indovision, dan Okezone.com, atau Group Bakrie yang memiliki ANTV
dan TVOne. Menurut Satrio Arismunandar, sekarang ini telah terbentuk setidaknya
tigakumpulan mediaraksasa. Perusahaan media pertama adalah PT Media Nusantara
Citra, Tbk (MNC) yang dimiliki oleh Harry Tanoesoedibjo yang membawahi RCTI
(PT Rajawali Citra Televisi Indonesia), TPI (PT Cipta Televisi Pendidikan
Indonesia), dan Global TV (PT Global Informasi Bermutu).MNC Group memiliki
tiga stasiun televisi free-to-air, 20 stasiun televisi lokal dan 22 stasiun radio di bawah
Sindo Radio.
Kelompok media pers besar yaitu Kompas Gramedia Group, Elang Mahkota
Teknologi, Visi Media Asia, Mahaka Media, CT Group, Beritasatu Media Holdings,
Media Group, MRA Media, Femina Group, dan Tempo Inti Media. Jawa Pos Group
memiliki 171 perusahaan media cetak termasuk Radar Group. KOMPAS, pers
Indonesia yang paling berpengaruh, memperluas jaringannya dengan menjadi
penyedia kandungan dengan membentuk KompasTV, selain 12 radio dibawah
Jaringan Radio Sonora, dan 89 perusahaan media cetak lainnya. Visi Media Asia telah
tumbuh menjadi media yang kuat kelompok dengan dua saluran televisi (ANTV dan
tvOne) dan media onlinevivanews.com.
6
Susi Sakti,Konglomerasi Media Massa sebagai Ajang Hegemoni Pembentukan Opini Publik.
(Remaja RosdaKarya : 2010.)
D. Kontrol Kandungan Media di Indonesia era Reformasi1998-2010
7
Chesney, Robert Mc, Konglomerasi Media Massa dan Ancaman Terhadap Demokrasi, (Jakarta :
Andi Achdian (terj)1998 ),hlm.29.
dengan yang berlaku di Indonesia. Di Indonesia, perusahaan besar tersebut antara
lain; kumpulan Kompas Gramedia (Gramedia Group), Kelompok Jawa Pos (Jawa Pos
Group) kumpulan Media Indonesia (Media Indonesia Group), Kelompok Multimedia
Nusantara Corp (MNC Group), dan lain sebagainya.
Faktor eksternal memiliki andil besar dalam pergeseran itu, dan faktor itu adalah
krisis ekonomi yang menghantam seluruh segmen masyarakat, termasuk kalangan
industri pers sendiri. Melonjaknya harga kertas koran akibat jatuhnya nilai rupiah
terhadap US dollar –yang mencapai titik terendah pada nilai tukar Rp 16.000 per satu
US dollar.
Sebagian besar kertas koran ini harus diimpor dan dibayar dengan valuta asing.
Selain itu, meskipun sebagian kertas koran sudah diproduksi di dalam negeri, 70 %
bahan baku kertas masih diimpor. Ditambah lagi, seluruh investasi pembangunan
pabrik kertas juga dalam dollar AS. Jadi harga yang harus dibayar penerbit pers
kepada pabrik kertas praktis mengikuti fluktuasi dollar AS.
Majalah D&R, misalnya, hampir terkapar karena kenaikan harga kertas ini. Harga
jualnya yang Rp 6.300 pada Februari 1998 sebenarnya sudah berada di bawah biaya
produksinya. Agar bisa bertahan hidup, D&R yang berada di bawah manajemen
Kelompok Jawa Pos itu seharusnya dijual Rp 8.000. Akibatnya, setiap bulan PT.
Analisa Kita, penerbit D&R, menanggung kerugian Rp 432 juta bila dicetak 40.000
eksemplar setiap pekan. Paling tidak, kalau yang dicetak itu laku semua, perusahaan
menanggung rugi Rp 2.700 pereksemplar.
Naiknya ongkos produksi ini celakanya tidak bisa diimbangi dengan peningkatan
tiras, yang bisa dibilang stagnan dari tahun ke tahun. Pendapatan iklan sendiri turun,
karena kalangan dunia usaha yang biasa memasang iklan di media juga menghadapi
kesulitan finansial. Untuk mengurangi cost, salah satu pos pengeluaran yang mereka
pangkas adalah biaya iklan. Alasan lain memangkas iklan adalah karena pasar bagi
produk-produk mereka juga lesu.
Dari sisi lain, krisis ekonomi juga telah mengurangi drastis kemampuan regim
untuk mengalokasikan sumber daya, guna ―menjinakkan berbagai lapisan kelas
menengah yang selama ini mendukungnya. Kalangan industri pers --dengan
keunggulan akses informasinya dan kemampuannya mengarahkan opini publik-- kita
masukkan dalam kelompok kelas menengah yang kecewa dan merasa dirugikan ini.
Bisa dikatakan bahwa regim Soeharto saat itu sudah tidak mampu lagi
mengakomodir kepentingan industri pers. Dengan demikian, mendorong segera
tergulingnya Soeharto lewat dukungan kepada gerakan reformasi, adalah bagian dari
kepentingan kalangan industri pers sendiri. Pada saatnya kemudian, gerakan
reformasi tersebut juga menuntut perubahan-perubahan di dalam tubuh industri pers
sendiri, dan tuntutan ini tak bisa dihambat lagi.
Misalnya, kehendak sah para wartawan dan karyawan untuk mendirikan serikat
buruh atau dewan karyawan di perusahaan pers –yang selama ini dihambat dengan
alasan yang mengada-ada—kini lebih mudah diwujudkan. Kemudian ketentuan
pembagian saham 20 persen untuk wartawan/karyawan – yang secara tegas sudah
lama dinyatakan dalam peraturan Menpen, tapi tak pernah direalisasikan – kini sudah
direalisasikan di sejumlah media baru. Sayangnya, hal ini tampaknya justru belum
diberlakukan di sejumlah media yang sudah mapan, seperti Kompas.
Harus disadari bahwa pers Indonesia tidaklah hidup dalam ruang vakum. Ia berada
dan tumbuh di tengah masyarakat yang bergerak, berkembang, dan berubah. Dalam
kasus gerakan reformasi 1998 yang kemudian menjatuhkan Soeharto, bukan pers
yang menjadi ujung tombak perubahan, namun gerakan mahasiswa yang didukung
masyarakat.
Dalam kasus gerakan reformasi 1998, pers menangkap arus desakan yang amat
kuat ke arah perubahan di dalam masyarakat Indonesia, dan baru kemudian
sesudahnya pers ikut terjun serta memberi kontribusi dalam arus besar tersebut.
Dalam hal ini, tekanan krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan menghantam
kepentingan ekonomi kalangan industri pers ikut andil dalam memojokkan institusi-
institusi pers untuk bersikap tegas dan memilih mendukung arus reformasi demi
kepentingannya sendiri. Dalam hal ini, pers berperan sebagai katalisator yang
mempertahankan dan mempercepat momentum Gerakan reformasi.
BAB III
PENUTUP.
A. Kesimpulan.
Pers sebagai corong informasi publik. Oleh karena itu pers harus
memperjuangkan kebenaran dalam mencari, mengumpulkan dan mengolah
informasi itu untuk menjadi sebuah berita, Dalam mengolah dan membentuk
sebuah berita, wartawan harus netral atau berimbang dalam memberlakukan
narasumber atau subjek berita. Wartawan tidak boleh nakal harus ada kejujuran,
profesional dan bertanggungjawab terhadap isi berita. Karena masyarakat ingin
mendapatkan berita yang berdasarkan fakta, akurat, benar, jujur dan terpercaya.
Pada orde reformasi insan pers benar-benar bernapas lega. Karena
terbebas dari belenggu Pemerintahan Orde Baru, di mana pers pada waktu itu
banyak yang tiarap atau jadi penakut. Mereka tidak berani bersuara lantang
terhadap ketidakadilan akibat adanya ulah oknum penguasa. Ada kekhawatiran
juga isi pemberitaan tidak sesuai dengan kehendak penguasa takut marah atau
menerima vonis pemberedelan atau pencabutan surat izin usaha penerbitan pers
(SIUPP).
B. Saran.
Dengan adanya makalah ini, penulis berharap pembaca dapat mengerti dan
memahami lebih lanjut mengenai pembahasan tentang Perkembangan Pers Masa
Reformasi serta penulis juga mengharapkan kritik dan saran yang membangun
apabila terjadi kesalahan di dalam makalah ini sehingga untuk ke depannya
penulis bisa membuat makalah yang lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA.
Amanwinata, Rukmana, 1988. Kemerdekaan Mengeluarkan Pikiran Dengan Tulisan
Dalam Pasal 28 UUD 1945, Pasca Sarjana Universitas Padjajaran: Bandung.
Shaffat, Indri, 2008. Kebebasan, Tanggung Jawab dan Penyimpangan Pers, Prestasi
Pustaka: Jakarta.
Loeqman, Lobby, 2003. Malpraktek Pers Indonesia, Asosiasi Wartawan Muslim
(AWAM) Indonesia: Jakarta.
Muis, A, 1999. Jurnalistik Hukum Komunikasi Masa, PT. Dharu Anuttama, Jakarta.
Chesney, Robert Mc (1998) Konglomerasi Media Massa dan Ancaman Terhadap
Demokrasi, Andi Achdian (terj), Jakarta : hlm.29.
Akhmadi, Heri (1997)Ilusi Sebuah Kekuasaan. Jakarta: ISAI.
Susi Sakti (2010), Konglomerasi Media Massa sebagaiAjang Hegemoni
Pembentukan Opini Publik. Remaja RosdaKarya