Diajukan sebagai salah satu tugas Mata Kuliah Sejarah Film, Pers, dan Sastra di Indonesia
Disusun oleh :
Kelompok 4
Kelas 5-B
2023/2024
i
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur selalu dipanjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta'ala, karena
dengan taufik dan hidayah-Nya, kita berkesempatan untuk menyelesaikan tugas kelompok
dengan sebuah makalah tentang “Sejarah Perkembangan Pers pada Masa Orde Baru dan
Reformasi”. Shalawat serta salam senantiasa selalu tercurah kepada junjungan kita, Nabi
Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam. Tidak lupa juga kepada keluarganya, sahabatnya,
tabi’in dan kita selaku umatnya bisa diakui sebagai umatnya sampai hari akhir. Aamiin.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas pada mata kuliah sejarah film, pers, dan
sastra di Indonesia. Selain itu, penulis berharap agar makalah yang disusun ini dapat
menambah wawasan bagi para pembaca. Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Bapak/Ibu selaku dosen pengampu mata kuliah sejarah film, pers, dan sastra di Indonesia.
Tugas yang telah diberikan kepada penulis semoga dapat menambah pengetahuan dan
wawasan terkait bidang yang sedang ditekuni ini.
Selanjutnya, ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah
bekerja sama dalam memberikan kontribusi, baik secara langsung maupun tidak langsung
dalam penulisan makalah ini. Akhir kata, penulis menyadari makalah yang telah disusun ini
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis
terima dengan senang hati demi kesempurnaan makalah ini.
Tim Kelompok 4
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN........................................................................................................1
BAB 2 PEMBAHASAN.......................................................................................................... 3
BAB 3 PENUTUP................................................................................................................ 49
3.1. Kesimpulan................................................................................................................ 49
3.2. Saran......................................................................................................................... 50
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................ 51
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Pada era Orde Baru, keberadaan pers juga memberi perhatian masyarakat
Indonesia, di mana pers sempat mengalami pengekangan-pengakangan, hingga kemudian
mendapatkan kebebasannya. Pengekangan pers di Indonesia ditandai dengan berkuasanya
rezim Orde Baru, yaitu ketika masa pemerintahan Presiden Soeharto yang lebih dikenal
dengan “Bapak Pembangunan”. Guna menanamkan dan menyebarluaskan propaganda
yang di lakukan oleh Pemerintahan Orde Baru, media massa dianggap sebagai alat yang
tepat guna merealisasikan wacana pemerintahan kala itu.
Setelah runtuhnya kekuasaan orde baru tanggal 21 Mei 1998, muncul orde reformasi
yang menghendaki adanya perubahan terhadap semua sektor pembangunan, seperti
pembangunan di bidang politik, ekonomi, sosial dan kultural. Reformasi telah menghasilkan
buahnya sendiri. Ciri yang menonjol dari reformasi itu adalah adanya kemerdekaan dan
kebebasaan. (Harahap, 2019 : 136)
1
1.3. Tujuan Penulisan
2
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam Kamus Populer, kata pers ini diambil dari bahasa Inggris yaitu press yang
mempunyai arti cetakan. Dan dalam istilah yang lebih dikenal operasional, kata pers ini
memiliki dua arti, yang pertama yaitu usaha percetakaan dan yang kedua yaitu upaya
penyampaian berita melalui media cetak dan elektronik. Adapun makna yang lebih tepat dari
dua pengertian diatas adalah yang kedua. Usaha penyimpanan berita dengan beragam
bentuk merupakan kegiatan pers mulai dari surat kabar, radio, televisi sampai internet. Dari
bermacam bentuk penyampaian tersebut yang membuat pembaca semakin menikmati
berita yang disampaikan. ( Effendi, 2010 : 1-2 )
Adapun penjelasan lainnya, secara harfiah pers memilki arti cetak dan secara
maknawiah yaitu penyiaran secara tercetak atau puplikasi dengan cara dicetak. Pers adalah
suatu lembaga sosial atau lembaga kemasyarakatan yang merupakan subsistem dari sistem
pemerintahan di negara dimana ia beroprasi bersama-sama dengan subsistem lainnya.
Selain itu definisi pers tertuju pada suatu lembaga sosial dan suatu wahana
komunikasi massa yang menjalankan beberapa kegiatan jurnalistik seperti mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam
3
bentuk tulisan, suara, gambar serta data grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan
menggunakan berbagai macam media seperti media cetak, media elektronik dan segala
jenis saluran yang ada ( Effendi, 2010 : 2 ) Istilah pers telah dikenal oleh masyarakat
sebagai salah satu jenis media massa atau media komunikasi massa yang diartikan sebagai
surat kabar atau majalah. Berikut beberapa pengertian pers:
4
Memberikan pengertian bahwa pers adalah juga jendela pengetahuan, jendela
kearifan, jendela kemajuan, jendela dialog atau jendela pertukaran pikiran secara bebas
(free market of ideas) (Sudibyo, 2013 : 12)
Bila pers ini dikaitkan dengan hal lain, pers merupakan suatu lembaga
kemasyarakatan yang mempunyai kegiatan untu melayani dan mengatur kebutuhan hati
nurani manusia sebagai makhluk sosial dalam kehidupan sehari-harinya. Sementara jika
ditinjau dari sistem, pers merupakan sistem terbuka yang probabilistik. Terbuka artinya
bahwa pers tidak bebas dari pengaruh lingkungan, tetapi di lain pihak pers juga
mempengaruhi lingkungan probabilistik berarti hasilnya tidak dapat diduga secara pasti.
Situasi seperti itu berbeda dengan sistem tertutup yang deterministik.
Adapun hal yang harus diketahui dalam pers yaitu mengetahui berbagai produk atau
jenis-jenisnya. Dalam dunia media khususnya media cetak, terdapat berbagai macam
bentuk dan jenis tulisannya. Dan dari masing-masing tulisan tersebut memiliki tujuan dan
sasarannya tersendiri.
5
5) Laporan atau reportase
Jenis ini adalah tulisan panjang yang berisi penuturan kejadian juga
permasalahannya. Biasanya tulisan ini berdasarkan fakta atau data yang dibuat secara
rinci dan detail. Tulisan ini juga merupakan menu utama dalam setiap penyajian media
baik setak maupun elektronik.
Adapun beberapa jenis lainnya yang biasa terdapat di media adalah puisi, cerpen,
komentar dan karikatur. Setiap jenisnya juga memiliki karakteristik yang tentu berbeda-beda
tetapi memiliki arah atau tujuan yang sama. Tujuan pertama yaitu memberikan informasi dan
kedua yaitu mengarahkan pembaca untuk melihat realita atau fakta dengan lebih objektif
dan mendalam. ( Effendi, 2010 : 3 )
6
bahwa pers merupakan lembaga sosial dan wahana kominukasi massa yang
melakasanakan kegiatan jurnalistik.
4) Pers sebagai Media Hiburan
Dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 pasal 3 ayat (1) disebutkan salah satu
fungsi pers adalah sebagai hiburan. Hiburan yang diberikan pers semestinya tidak
keluar dari koridor yang boleh dan tidak boleh dilampaui. Hiburan yang sifatnya
mendidik atau netral jelas diperbolehkan tetapi yang melanggar nilai agama, moralitas,
hak asasi seseorang atau peraturan tidak diperbolehkan.
5) Pers sebagai Mediasi atau penghubung
Pers mempunyai fungsi sebagai penghubung atau jembatan antara masyarakat dan
pemerintah atau sebaliknya. Komunikasi yang tidak dapat tersalurkan melalui jalur
resmi atau kelembagaan dapat dialihkan via pers. Media massa memiliki peran mediasi
antara realitas sosial yang objektif dengan pengalaman pribadi.
1. Fungsi Informatif
Memberikan informasi atau berita kepada khalayak ramai dengan cara yang
teratur.
2. Fungsi Kontrol Pers yang Bertanggungjawab
Pada fungsi ini, pers diibaratkan masuk ke balik panggung kejadian untuk
menyelidiki pekerjaan pemerintah/ perusahaan.
3. Fungsi Interpretatif dan Direktif
7
Memberikan interpretasi dan bimbingan. Pers harus menceritakan kepada
masyarakat akan arti suatu kejadian.
4. Fungsi Menghibur
Para wartawan menceritakan kisah dunia yang hidup dan menarik.
5. Fungsi Regeneratif
Membantu menyampaikan warisan sosial kepada generasi baru agar terjadi
proses regenerasi dari angkatan tua sampai angkatan yang lebih muda.
6. Fungsi Pengawalan Hak Warga Negara
Pers bekerja harus dapat menjamin hak setiap pribadi untuk didengar dan
diberi penerangan akan hal yangdibutuhkanya.
7. Fungsi Ekonomi
Melayani sistem ekonomi melalui iklan.
8. Fungsi Swadaya
Pers berkewajiban untuk memupuk kekuatan permodalannya sendiri, untuk
memelihara kebebasan yang murni. (Kusumadiningrat, 2005 : 27)
Dalam era demokrasi, pers salah satu wujud kedaulatan rakyat dan unsur
komunikasi dan pengawasan rakyat terhadap lingkungan sistem pemerintahan. Melalui
komunikasi terbuka, pemerintah jadi lebih terbuka. Keterbukaan menjadi pertanda
berlakunya pemerintahan demokratis, sebab masyarakat pun menyampaikan pesan dan
masukannya secara terbuka. Keterbukaan dapat berarti kontrol sesuai Pasal 6 Undang-
undang Nomor 40 Tahun 1999, pers nasional melaksanakan perannya :
8
informasi yang disampaikan harus jelas dan obyektif mengenai apa, siapa dan dimana
informasi itu disampaikan, dalam hal ini informasi yang menarik dan yang mempunyai nilai
berita tinggi yang biasanya banyak jadi konsumsi masyarakat.
Berbicara perihal dunia pers di Indonesia, tentunya tidak bisa dipisahkan dari
hadirnya bangsa Barat di tanah air kita. Memang tidak bisa dimungkiri, bahwa orang Eropa
lah, khususnya bangsa Belanda, yang telah “berjasa” memelopori hadirnya dunia pers serta
persuratkabaran di Indonesia. Masalahnya sebelum kehadiran mereka, tidak diberitakan
adanya media masa yang dibuat oleh bangsa pribumi.
Tentang awal mula dimulainya dunia persurat kabaran di tanah air kita ini, Dr. De
Haan dalam bukunya, “Oud Batavia” (G. Kolf Batavia 1923), mengungkap secara sekilas
bahwa sejak abad 17 di Batavia sudah terbit sejumlah berkala dan surat kabar.
Dikatakannya, bahwa pada tahun 1676 di Batavia telah terbit sebuah berkala bernama Kort
Bericht Eropa (berita singkat dari Eropa). Berkala yang memuat berbagai berita dari
Polandia, Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Inggris, dan Denmark ini, dicetak di Batavia
oleh Abraham Van den Eede tahun 1676. Setelah itu terbit pula Bataviase Nouvelles pada
bulan Oktober 1744, Vendu Nieuws pada tanggal 23 Mei 1780, sedangkan Bataviasche
Koloniale Courant tercatat sebagai surat kabar pertama yang terbit di Batavia tahun 1810.
9
Gambar 3. Potret Bataviasche Koloniale Courant Surat Kabar Pertama di Batavia Tahun
1980 : https://www.europeana.eu/eu/item/9200359/BibliographicResource_3000115632804
Sejak abad 17 dunia pers di Eropa memang sudah mulai dirintis. Sekalipun masih
sangat sederhana, baik penampilan maupun mutu pemberitaannya, surat kabar dan majalah
sudah merupakan suatu kebutuhan bagi masyarakat di masa itu. Bahkan, para pengusaha
di masa itu telah meramalkan bahwa dunia pers di masa mendatang merupakan lahan
bisnis yang menjanjikan. Oleh karena itu, tidak heran apabila para pengusaha
persuratkabaran serta para kuli tinta asal Belanda sejak masa awal pemerintahan VOC,
sudah berani membuka usaha dalam bidang penerbitan berkala dan surat kabar di Batavia.
10
Dengan kata lain media masa di masa itu telah dipandang sebagai alat pencatat atau
pendokumentasian segala peristiwa yang terjadi di negeri kita yang amat perlu diketahui
oleh pemerintah pusat di Nederland maupun di Nederlandsch Indie serta orang-orang
Belanda pada umumnya. Dan apabila kita membuka kembali arsip majalah dan
persuratkabaran yang terbit di Indonesia antara awal abad 20 sampai masuknya Tentara
Jepang, bisa kita diketahui bahwa betapa cermatnya orang Belanda dalam
pendokumentasian ini.
Dalam majalah Indie, Nedelandch Indie Oud en Nieuw, Kromo Blanda, Djawa,
berbagai Verslagen (Laporan) dan masih banyak lagi, telah memuat aneka berita dari mulai
politik, ekonomi, sosial, sejarah, kebudayaan, seni tradisional (musik, seni rupa, sastra,
bangunan, percandian, dan lain-lain) serta seribu satu macam peristiwa penting lainnya
yang terjadi di negeri kita.
Sampai akhir abad ke-19, koran atau berkala yang terbit di Batavia hanya memakai
bahasa Belanda. Dan para pembacanya tentu saja masyarakat yang mengerti bahasa
tersebut. Karena surat kabar di masa itu diatur oleh pihak Binnenland Bestuur (penguasa
dalam negeri), kabar beritanya boleh dikata kurang seru dan “kering”. Yang diberitakan
cuma hal-hal yang biasa dan ringan, dari aktivitas pemerintah yang monoton, kehidupan
para raja, dan sultan di Jawa, sampai berita ekonomi dan kriminal.
Namun memasuki abad 20, tepatnya di tahun 1903, koran mulai menghangat.
Masalahnya soal politik dan perbedaan paham antara pemerintah dan masyarakat mulai
diberitakan. Parada Harahap, tokoh pers terkemuka, dalam bukunya “Kedudukan Pers
Dalam Masyarakat” (1951) menulis, bahwa zaman menghangatnya koran ini, akibat dari
adanya dicentralisatie wetgeving (aturan yang dipusatkan). Akibatnya beberapa kota besar
di kawasan Hindia Belanda menjadi kota yang berpemerintahan otonom sehingga ada para
petinggi pemerintah, yang dijamin oleh hak onschenbaarheid (tidak bisa dituntut), berani
mengkritik dan mengoreksi kebijakan atasannya.
11
disukai oleh para pengelolanya karena bisa mendatangkan keuntungan dan berita sensasi
memang disukai pembacanya.
Para petinggi pemerintah yang kena kritik juga tidak merasa jatuh martabatnya.
Bahkan, ada yang mengubah sikapnya dan membuat kebijaksanaan baru yang
menguntungkan penduduk. Keberanian menyatakan saran dan kritik ini akhirnya menular ke
masyarakat. Tidak sedikit koran yang menyajikan ruangan surat pembaca yang menampung
“curhat” tentang berbagai hal dari para pembacanya. Bahkan, setelah dibentuknya
Volksraad (DPR buatan Belanda) pada tahun 1916, kritik yang menyerempet soal politik
mulai marak.
Dunia pers semakin menghangat ketika terbitnya “Medan Prijaji” pada tahun 1903,
sebuah surat kabar pertama yang dikelola kaum pribumi. Munculnya surat kabar ini bisa
dikatakan merupakan masa permulaan bangsa kita terjun dalam dunia pers yang berbau
politik. Pemerintah Belanda menyebutnya Inheemsche Pers (Pers Bumiputra). Pemimpin
redaksinya yakni R. M. Tirtoadisuryo yang dijuluki Nestor Jurnalistik ini menyadari bahwa
surat kabar adalah alat penting untuk menyuarakan aspirasi masyarakat. Dia boleh dikata
merupakan bangsa kita yang memelopori kebebasan Pers kaum pribumi
12
Gambar 4. Surat kabar nasional pertama yang terbit di Bandung, Medan Prijaji :
https://www.wisatabdg.com/2015/07/medan-prijaji-surat-kabar-nasional.html
Sikapnya ini telah memengaruhi surat kabar bangsa pribumi yang terbit sesudah itu.
Hal ini terbukti dari keberanian dia menulis kalimat yang tertera di bawah judul koran
tersebut, Orgaan bagi bangsa jang terperintah di Hindia Olanda tempat membuka suaranja.
Kata terperintah di atas konon telah membuka mata masyarakat, bahwa bangsa pribumi
adalah bangsa yang dijajah. Boleh jadi Tuan Tirto terinspirasi oleh kebebasan berbicara
para pembesar pemerintah tersebut di atas. Rupanya dia berpendapat, bahwa yang bebas
buka suara bukan beliau-beliau saja, namun juga rakyat jelata alias kaum pribumi.
Hadirnya Medan Prujaji telah disambut hangat oleh bangsa kita, terutama kaum
pergerakan yang mendambakan kebebasan mengeluarkan pendapat. Buktinya tidak lama
kemudian Tjokroaminoto dari “Sarikat Islam” telah menerbitkan harian Oetoesan Hindia.
Nama Samaun (golongan kiri) muncul dengan korannya yang namanya cukup revolusioner
yakni Api, Halilintar dan Nyala. Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara juga telah
mengeluarkan koran dengan nama yang tidak kalah galaknya, yakni Guntur Bergerak dan
Hindia Bergerak. Sementara itu di Padangsidempuan, Parada Harahap membuat harian
Benih Merdeka dan Sinar Merdeka pada tahun 1918 dan 1922. Dan, Bung Karno pun tidak
ketinggalan pula telah memimpin harian Suara Rakyat Indonesia dan Sinar Merdeka di
tahun 1926. Tercatat pula nama harian Sinar Hindia yang kemudian diganti menjadi Sinar
Indonesia.
Gambar 5. Potret surat kabar yang diterbitkan oleh Sarekat Islam, Oetoesan Hindia :
https://lppmsintesa.fisipol.ugm.ac.id/pers-pergerakan-nasional-dan-kemerdekaan-bangsa/
13
Penerbitan media massa pergerakan dilakukan secara sembunyi-sembunyi namun
ada juga yang mendapatkan izin dari pemerintahan Belanda. Dan ketika isi media acapkali
berseberangan dengan pola fikir pemerintah Belanda sesering itulah pers di breidel.
Munculah kebijakan pembelengguan kebebasan menyuarakan pesan kebebasan negeri
yang tertuang dalam undang-undang Drukpers reglement tahun 1856 tentang aturan sensor
preventif dan pers ordonantie tahun 1931 tentang pembredelan surat kabar.
Pada masa ini tokoh-tokoh pergerakan yang mengopinikan kemerdekan lewat media
massa seperti Soekarno, Hatta dan Syahrir dibuang ke Boven Digul oleh dua penguasa
tertinggi Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, yaitu Gubernur Jenderal De Jonge (1931-
1936) dan Gubernur Jenderal Tjarda van Star. De Jonge sendiri menamakan artikel-artikel
tokoh pergerakan (memberi labelling) gezagsvijandige artikelen atau tulisan-tulisan yang
memusuhi pemerintah.
Surat kabar berbahasa Belanda beredar di Indonesia dengan sirkulasi to tal sebesar
102.300. Seiring dengan meruapnya sentimen anti Belanda, satu per satu kemudian tutup.
Akhirnya di tahun 1956, hanya ada 7 surat kabar yang bertahan dengan sirkulasi sekitar
56.850. Tahun 1957, tak satu pun tersisa. Ini ditandai dengan pemberlakuan larangan terbit
atas koran Nieuwsgier berbahasa Belanda seiring dengan mengerasnya kampanye Irian.
Sejalan dengan tumbangnya pers berbahasa Belanda, mencuatlah surat kabar surat kabar
berbahasa Inggris. Yang pertama muncul adalah The Times of Indonesia, lahir pada tahun
1952 di bawah kepemimpinan Mochtar Lubis. Mochtar Lubis sendiri adalah pria enerjik
pemimpin redaksi Indo nesia Raya, harian berbahasa Indonesia yang kontroversial. Pasca
tahun 1953 harian ini dipimpin oleh redaktur pelaksananya, Charles Tambu asal Srilanka.
(T.Hill, 1994)
14
masa perjuangan kemerdekaan (1945 1949), pers berbahasa Inggris berangkat dengan
tujuan memengaruhi pandangan kalangan diplomatik dan kekuatan militer seperti India,
Inggris, dan Australia. Mereka berharap komunitas pemakai bahasa Inggris ini mendukung
gagasan berdirinya Indonesia sebagai Republik. Sekalipun tidak besar, industri pers
berbahasa Inggris ini kemudian berkembang jadi sektor yang berpengaruh, setidaknya
karena dibaca oleh para inves tor asing, peneliti dan diplomat yang punya potensi sebagai
pembentuk opini yang signifikan. Pada masa itu, pemerintah kemudian punya maksud untuk
memobilisasi media massa. Ini dimaksudkan untuk membangun Indo nesia menjadi sebuah
bangsa yang kuat dan bersatu. Melalui Dekrit Presiden tahun 1962, kantor berita Antara
(LKBN Antara) diposisikan tepat di bawah Presiden sebagai kantor berita nasional semi-
pemerintahan Sekalipun operasional sehari-hari LKBN Antara berlangsung otonom, toh
kontrol pemerintah sangat terasa. Di kurun 1960an, LKBN Antara punya andil dalam revolusi
sosial buatan Presiden Soekarno. (T.Hill, 1994)
Tentara pun ikut mendukung tumbuhnya Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam
pemberitaannya, LKBN Antara berjalan dalam rel partisan. Aki batnya LKBN Antara jadi
sasaran kecaman dari sederetan media lain yang lebih konservatif. Dari sekian banyak
harian bergaya perjuangan yang dihasilkan oleh tangan-tangan sejumlah jurnalis
berdedikasi politik, Harian Rakyat mencatatkan prestasi tersendiri. Surat kabar ini berhasil
bertahan di te ngah gelombang larangan penerbitan yang datang secara sporadis dari pihak
militer. Koran milik Partai Komunis Indonesia ini bahkan sempat mencetak angka-angka
sirkulasi tertinggi pada zamannya. Berawal dari sebatas 2.000 eksemplar pada tahun 1951,
Harian Rakyat berkembang menjadi surat kabar terbesar pada tahun 1956 dengan 58.000
eksemplar. Saat itu populasi seluruh Indonesia mencapai sekitar 87 juta. (T.Hill, 1994)
Harian Rakyat tidak sendiri. Kebanyakan surat kabar pada saat itu menggalang
afiliasi dengan partai-partai, baik terang-terangan atau secara tersirat lewat editorial-editorial
mereka. Bentuk afiliasi tersebut kemudi an diformalkan lewat Keputusan Menteri
Penerangan (no 29/SK/M/65) tertanggal 26 Maret 1965 tentang Norma-Norma Dasar untuk
Badan Usaha Pers dalam rangka meningkatkan pers Indonesia yang mewajib kan semua
surat kabar dan terbitan periodik untuk resmi mengaitkan diri pada partai politik, golongan
karya atau organisasi massa. Staf redaksi dan staf manajemen haruslah orang-orang pilihan
partai. Di mata pihak kementerian, mereka-mereka inilah yang mengurusi isi penerbitan.
Oleh karena itu, ada baiknya jika sirkulasi yang diklaim oleh koran-koran partai ini dipandang
dengan kacamata skeptis. Angka-angka tersebut ini seringkali dipergunakan sebagai bukti
atas besarnya basis massa dan potensi partai masing-masing dalam memengaruhi opini
publik. Oleh karenanya, tak heran apabila pada masa tersebut surat ka bar-surat kabar yang
15
punya catatan sirkulasi mengesankan adalah me reka yang bergandengan tangan pada
partai-partai kuat. Prestasi serupa dicatatkan oleh koran-koran yang memilih melayani
kebutuhan kaum terpelajar berekonomi mapan. Setelah Harian Rakyat, muncullah Pedo
man (berasosiasi dengan Partai Sosialis Indonesia/PSI, sebuah partai kecil yang vokal,
diberedel pemerintah pada tahun 1961) dengan 40.000 eksemplar dan Abadi milik Masyumi
dengan 34.000 eksemplar. Kala itu, surat kabar-surat kabar lain paling banyak hanya bisa
menjual sampai 10.000 eksemplar dan mereka bisa bertahan berkat subsidi pemerintah
terhadap terbitan pers. Angka-angka tersebut memang tidak pernah di audit, sekalipun
demikian jelas terlihat bahwa nasib surat kabar partai sangat tergantung pada partai
sandarannya. (T.Hill, 1994)
Pada tahun itu, tatkala ketegangan politik terasa kian memanas, sirkulasi surat kabar
mencapai angka 888.950. Ini merupakan angka ter tinggi, lebih tinggi dibandingkan dekade
1950-an sampai tahun 1962. Pada kurun waktu tersebut Soekarno bertekad memberangus
koran-ko ran yang berbeda sikap dengan dirinya. Tanpa peduli pada dunia inter nasional
yang mengecam dirinya lantaran menekan pers, Soekarno bersi kukuh. Dirinya bersikeras,
tidak mengizinkan kritik destruktif terhadap kepemimpinan saya. Sementara itu militer
dininabobokan lewat berlimpahruahnya ke wenangan yang diberikan tangan mereka.
Sampai sekarang kekuasaan tersebut masih bisa dinikmati (dan terus dicoba untuk
dipertahankan) oleh kalangan militer. Selama pemberlakukan Undang-Undang Darurat
tersebut koran-koran dilarang terbit dengan aneka alasan misal nya dinilai mendukung
aspirasi daerah ketimbang pemerintahan pusat atau dipandang menghina presiden, politisi
senior atau tokoh militer.21 Hal ini terjadi pada Masyumi dan PSI yang mendapatkan
tekanan keras oleh pemerintah. Abadi akhirnya terpaksa tutup di penghujung tahun 1960.
Awal tahun 1961, giliran Pedoman yang kena pasung. Sebaliknya, sirkulasi Harian Rakyat
meningkat secara pasti hingga mencapai angka 70.000 pada tahun 1964. (T.Hill, 1994)
Tahun 1965, Harian Rakyat sempat mencatat kan angka 85.000 eksemplar sebelum
akhirnya dilarang terbit bersama dengan penerbitan-penerbitan lainnya pasca kup militer 1
Oktober pada tahun tersebut. Sejumlah pengamat menilai pemerintah kuat-kuat
16
membelenggu media pada periode pra 1966. Meskipun begitu, apabila dilihat dari jum lah
terbitan yang muncul dan luasnya sirkulasi, tahun 1964 justru menjadi titik puncak. Pada
saat ini industri pers secara luar biasa mampu menampilkan keuletannya dalam bertahan
hidup. Di tahun itu terdapat 609 surat kabar dan sederetan mingguan atau terbitan bergaya
majalah dengan total sirkulasi per edisi mencapai 5.561.000, sebuah angka yang tergolong
tinggi. Pada saat itu, populasi Indonesia mencapai sekitar 103.3 juta. Angka tersebut hanya
bisa terlampaui di tahun 1973, sebelum akhirnya terjadi ledakan media pada tahun 1980-an.
Pada tahun terse but populasi Indonesia mencapai sekitar 145 juta, 40 persen lebih tinggi
dibandingkan dengan angka di tahun 1964. Tahun 1965 adalah kala terburuk disepanjang
sejarah pers sepanjang Indonesia merdeka. (T.Hill, 1994)
17
2.5.2 Dinamika Pers Masa Orde Baru
Pers bukan lagi “penggerak massa” tapi kemudian berganti menjadi “penggerak
pembangunan bangsa”, bukan lagi sebagai “pengawal revolusi” tapi pengawal “Ideologi
18
Pancasila”, segala yang berhubungan dengan aktivitas politik dan revolusioner dihapus
dan diganti dengan norma pancasila dengan tafsiran ala Orde Baru. Perubahan undang-
undang ini juga mengatur soal fungsi dan peran antar lembaga. Dalam undang-undang
tahun 1966 pemerintah bersama dengan Dewan. (T.Hill, 1994)
19
Gambar 8. Potret Surat Kabar Indonesia Raya, yang meliput atas peristiwa Malari :
https://engkongyudo.wordpress.com/2012/04/05/indonesia-raya-dan-malari/
Di masa-masa Orde Baru tersebut dikenal luas sebuah istilah oleh insan pers yaitu
“bebas namun bertanggung jawab”, dengan ketidakikhlasan defenisi yang dimilikinya.
Bebas untuk melakukan apa, dan bertanggung jawab kepada siapa. Jurang lebar antara
peraturan yang diundangkan pemerintah dan realitas pers semakin kentara. Memasuki
dekade 1970 adalah meruncingnya hubungan antara pers dan pemerintah. Puncaknya
terjadi di medio tahun 1974 dan 1978, yang ditandai dengan bredel massal yang
dilakukan oleh pemerintah. Mewarisi “pers Perjuangan” dengan gaya bak kampanye,
pers di masa itu berdiri bersama masyarakat dan mengkritisi kebijakan pemerintah. Dan
pemerintah merespon dengan tangan besi, menyasar para aktivis yang lantang
menyuarakan pendapatnya dan memukul media yang tak dapat dikotrol. Januari 1974
ketika kedatangan Perdana Menteri Jepang, Tanaka, disambut oleh lautan demonstran.
Aksi ini dipicu oleh ketidak puasan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah di bidang
sosial dan budaya yang makin lama makin memuncak. Peristiwa yang dikenal dengan
Malari ini, Dampaknya, 450 orang ditahan, termasuk Mochtar Lubis, dan sebanyak 12
penerbitan kehilangan Surat Izin Terbit dan SIC-nya; Nusantara, Harian KAMI, Indonesia
Raya, Abadi, The Jakarta Times, Mingguan Senang, Pemuda Indonesia, Majalah Berita
Mingguan Ekspres, Pedoman (semua di Jakarta), Suluh Berita (Surabaya), Mahasiswa
Indonesia (Bandung), Indonesia Pos (Ujung Pandang). Hanya dua yang diizinkan
kembali setelah melakukan perombakan dan peramping karyawan, yaitu Pelita yang
menggantikan Abadi, dan The Indonesian Times, menggantikan tempat The Jakarta
Times dengan berita berbahasa Inggris. (T.Hill, 1994)
Media media massa yang mengalami bredel pasca peristiwa Malari ini adalah media-
media yang sama ketika mendukung terbentuknya orde Baru. Hubungan mesra yang
terjalin antara dua aktor ini bubar setelah sejumlah media melakukan kritik terbuka
20
terhadap kebijakan- kebijakan pemerintah yang sudah dianggap menghianati janjinya,
dan berujung bredel. (Smith, 1983)
Sebelumnya, Bulan Januari 1973 harian Sinar Harapan dicabut SIC-nya oleh
KOPKAMTIB karena membocorkan rincian RAPBN, sebelum pengumuman resmi
presiden kepada DPR keluar. Tak cukup dengan hanya menutup sejumlah media,
pemerintahan Orde Baru lewat Direktorat Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika pada
tanggal 24 Maret mengeluarkan pengumuman semua jurnalis yang pernah bekerja di
koran-koran yang telah diberedel wajib mengantongi surat izin, yakni sejenis surat
klarifikasi dari Direktorat Jenderal agar bisa bekerja di perusahaan penerbitan lain.
(Hamson, 2019)
Empat tahun setelah protes besar-besaran dari kalangan mahasiswa, pekerja pers,
dan aktivis menyentak pemerintah dan membuat pemerintah semakin menguatkan tali
kekangnya, lautan protes kembali terjadi. Kali ini penyulutnya adalah kebijakan
pembangunan ala Orde Baru yang didominasi oleh investor asing, pengusaha-
pengusaha keturunan China, dan kerabat dekat Presiden Soeharto sendiri. Gelombang
protes besar ini, sama halnya seperti 1974, berdampak juga terhadap pemberedelan
pada beberapa penerbitan, termasuk pers mahasiswa. Meski dapat terbit kembali
seminggu pasca beredel, namun “semangat juang”-nya tak sama lagi. Pasalnya pasca
aksi protes di berbagai kampus ternama di Indonesia itu, pemerintah lewat KOPKAMTI
memberlakukan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) yang bertujuan untuk
melakukan depolitisasi terhadap mahasiswa dengan menghilangkan unsur-unsur politik
yang ada di dalamnya. Penandanya adalah dengan dilarangnya sejumlah organisasi
kampus untuk melakukan tindakan-tindakan yang berbau politik. Termasuk pers
mahasiswa. (Hamson, 2019)
Masa-masa 1974 dan 1978 ini yang kemudian berdampak luas terhadap insan pers
di waktu yang akan datang, di mana tidak ada lagi protes frontal terhadap kekangan dan
tekanan dari pihak pemerintah. Beberapa media di masa itu satu demi satu berujung
pada penarikan surat izin terbitnya. Jurnal Ekuin adalah salah tiga dari media yang
mendapatkan jatah beredel dari pemerintah, penyebabnya adalah laporan mereka yang
memuat daftar “100 Milioner Indonesia” di mana orang-orang dekat Orde Baru berada di
dalamnya. Hal yang sama juga dialami oleh media yang oleh David Hill digambarkan
sebagai media yang “pandai meniti buih, cerdik menyiasati penulisan berita yang galak
namun aman”, yaitu Sinar Harapan. (Hamson, 2019)
Beredel dilakukan lantaran media ini menurunkan analisis seputar kebijakan ekonomi
pemerintahan Orde Baru. Meski kemudian diperbolehkan menerbitkan surat kabar baru
21
dengan nama Suara Pembaruan di mana seorang anggota DPR dari Golkar ditunjuk
sebagai pimpinan umumnya. Terakir media yang mengalami beredel pada dekade 80an
adalah surat kabar ekonomi Prioritas pada 29 Juni 1987. Media ini dianggap melanggar
tujuan awalnya sebagai media ekonomi dengan memuat berita umum dan politik,
dengan porsi seharusnya 75% untuk berita ekonomi, dan 25% berita umum. Lewat
Keputusan Meteri berita-berita yang diturunkan oleh Prioritas dipandang “bertentangan
dengan nilai-nilai Sistem Pers Pancasila” dan melanggar undang-undang pers. Sering
dianggap memuat berita yang tidak benar berdasarkan fakta-fakta, sinis, berpihak dan
tendensius, serta melanggar esensi dari pers yang bertanggung jawab. Hal yang
sebenarnya didesain lebih karena jitunya prediksi kebijakan ekonomi pemerintah lewat
analisis yang dikeluarkannya. (Hamson, 2019)
Memasuki paruh pertama 90an, angin segar demokrasi mulai terasa. Pers menikmati
kebebasan berpolitik. Pers mulai berani mengulas hal-hal yang dulunya dianggap tabu di
mata masyarakat. Memberitakan konflik internal dalam institusi pemerintahan,
pelanggaran HAM, mengkritisi tentang bisnis keluarga presiden, penyalahgunaan
kekuasaan, cacat administrasi pada anggaran pemerintahan, serta pecahnya kelompok-
kelompok sempalan dalam tubuh tentara. Konsolidasi kekuatan politik di dalam
pemerintahan seperti sedang kacau balau. Industri pers mulai menggeliat. Situasi ini
dimanfaatkan oleh masyarakat pers untuk menguji “seberapa dalam” kebebasan yang
mereka miliki lewat laporan pemberitaan yang meraka keluarkan. Namun secara
mengejutkan pada 21 Juni 1994 surat kabar ternama dengan oplah dan pendapatan
iklan yang besar diberedel pemerintah; Tempo, Editor, dan DeTIK. Tiga surat kabar
bergengsi ini memiliki total sirkulasi lebih dari setengah juta eksemplar dan dibaca luas
oleh masyarakat, para pembuat keputusan, dan kaum profesional. (Hamson, 2019)
22
dipanggilnya Tommy oleh pengadilan untuk dimintai pertanggung jawabannya.
(Hamson, 2019)
Gambar 9. Kronologi Pembredelan Majalah Tempo, Editor dan Detik 27 Tahun Silam :
https://nasional.tempo.co/read/1474929/kronologi-pembredelan-majalah-tempo-editor-dan-detik-
27-tahun-silam
Pemberedelan kali ini menuai banyak protes oleh masyarakat, aksi pemberedelan
pers dan segudang masalah yang menumpuk-numpuk menjadi pemicu. Protes
merembet semakin jauh seruan hak atas kebebasan mengeluarkan pendapat semakin
santer terdengar. Dampaknya pemerintahan yang kelabakan dan situasi yang panas
membuat dipanggilnya Menteri Penerangan oleh DPR yang mengurusi urusan pers
untuk dimintai pertanggung jawabannya dengan dicecar berjubel pertanyaan hingga
larut malam. Tak hanya datang dari masyarakat sipil, aksi menolak pemberedelan
terhadap surat kabar ini juga datang dari faksi militer, meski para analismenganggap
militer sengaja mendorong pers untuk mengkritik tokoh-tokoh sipil di kabinet. Tentara
merasa bahwa Presiden tengah mengambil jarak dengan pihak militer atas saran
menteri-menteri seperti Habibie dan Harmoko. Tak hanya itu faksi TNI-ABRI di DPR juga
mendesak media-media yang diberedel untuk memperkarakannya ke Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN) untuk mempertanyakan aksi pemerintah ini. Meski begitu ketika
demonstrasi damai menyebar di berbagai tempaat, militer dengan wataknya yang
represif tetap melakukan pengamanan dengan tindak kekerasan yang dialamatkan
kepada demonstran. (Smith, 1983)
Pasca beredel terhadap tiga media itu terjadi, berbagai kelompok yang menolak
kemudian menggabungkan diri dalam aliansi yang mereka namakandengan SIUP
(Solidaritas Indonesia Untuk Pembebasan), mereka menyuarakan soal kebebasan
berpendapat dan menuntut dikembalikannya hak izin terbit bagi pers yang kena beredel,
mereka juga menuntut untuk segera mendorong terjadinya demokratisasi di Indonesia.
23
Aksi ini menjadi fokus pemberitaaan dari media-media yang lolos dari beredel, meski
kemudian mendapatkan peringatan keras dari penguasa, dengan dipanggilnya para
pimpinan media ini yang bertanggung jawab terhadap penerbitan. “Budaya Telepon”
menjadi hal yang lumrah bagi dinamika pers masa itu. Budaya Telepon inilah yang
menentukan berita mana yang boleh dan tidak untuk diberitakan oleh penguasa.
Seringkali telepon menjadi alat komunikasi pertama yang digunakan untuk menekan
pers yang dianggap membahayakan kekuasaan dengan produksi konten yang sensitif,
sebelum surat peringatan dan beredel tiba. Di sini akan sangat gamblang kita menyadari
bagaimana sebuah media melakukan pendefenisian sendiri berdasarkan pengalaman
yang mereka rasakan dari berbagai kasus yang menimpa mereka. Dan dengan itu pula
kemudian media akan meerumuskan sendiri soal informasi mana yang direstui dan tidak
oleh penguasa. Meraba-meraba di malam yang gelap. (Smith, 1983)
Pada tahun 1982, menteri penerangan mengubah persyaratan Surat Izin Terbit (SIT)
dengan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Pada peraturan surat izin terbaru ini
pemerintah ingin mengatur lebih jauh lagi, yaitu mengenai perusahaan pers, tidak hanya
seputar isi seperti surat izin yang lama. Keputusan ini diambil pemerintah karena
mengikuti dinamika usaha pers sendiri. Untuk mendapatkan SIUPP ini, para penerbit
harus melengkapi berbagai dokumen, termasuk mendapatkan izin dari seluruh
organisasi profesi seperi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Serikat Penerbitan
Suratkabar baik di tingkat wilayah maupun nasional. Tak sampai di situ, penerbit juga
harus melengkapinya dengan surat izin dari sejumlah kalangan sipil, dan militer, juga
24
surat keterangan dukungan dari pemodal dan perusahaan percetakan. Dan apabila
terjadi perubahan dalam stuktur manajemen media, pergantian personel, perubahan isi
(ekonomi, politik, atau umum), frekuensi terbit (harian atau mingguan, atau bulanan),
alamat kantor dan hal-hal kecil lainnya maka perusahaan wajib mengulang proses
pendaftaran SIUPP dari awal kembali. Meski diatur seketat dan sekaku mungkin, namun
di lapangan ada saja media-media yang tak mengikuti prosedur tersebut. Misalnya,
meski sudah berganti pimred (Pemimpin Redaksi), media terkait masih menyantumkan
pimred yang lama untuk menghindari ruwetnya prosedur pendaftaran SIUPP yang baru.
(Smith, 1983)
Namun ada yang menarik dari aturan yang baru tersebut. Dalam peraturan yang
baru, perusahaan pers mewajibkan 20% sahamnya untuk para karyawan. Tujuannya
adalah agar karyawan turut merasakan manfaat langsung dari perusahaan penerbitan.
Yang umumnya pola pembagiannya kemudian oleh beberapa perusahaan pers
disalurkan lewat koperasi karyawan. Namun, kebijakan ini kemudian dianggap sebagai
bentuk penjinakan para jurnalis agar tak menulis kritik terhadap pemerintah yang dapat
membahayakan perusahaan di mana mereka bekerja dan mengancam penghidupan
pekerjanya. Dengan berlakunya surat keputusan menteri mengenai SIUPP tersebut,
menteri penerangan memperoleh kewenangan untuk mencabut SIUPP dan memberedel
pers tanpa menyediakan hak jawab bagi pers yang terkena beredel. Namun hal ini
bertentangan dengan UU 1982 yang mana juga tercantum dalam UU 1966 yang
menyatakan “pers nasional tidak tunduk pada sensor maupun pemberedelan”. Kebijakan
yang baru ini lantas menjadi sorotan publik terutama insan pers menyangkut
kewenangan menteri mengeluarkan surat keputusan dan kekuasaaannya atas beredel
berbagai media tanpa memberi hak jawab terhadap media yang megalami sanksi
beredel. Meski berangkat dari insan per yang juga pemilik dari media Pos Kota dan
pernah menjabat sebagai pimpinan PWI, namun kebijakan kebijakan yang dikeluarkan
dan diambil oleh Harmoko sebagai menteri penerangan tak memihak pada insan pers
sama sekali. Departemen penerangan kemudian dengn SPS mengeluarkan kebijakan
baru dengan melakukan pembatasan terhadap keluarnya SIUPP yang juga disetujui oleh
Dewan Pers selaku lembaga yang melakukan pengkajian terhadap surat izin yang
keluar. Kolaborasi antar lembaga ini kemudian hanya menguntungkan pihak-pihak yang
aktif di dalm keanggotaan organisasi tersebut. Berbagai kalangan menganggap
pembatasan surat izin dicurigai menjadi alat yag digunakan oleh pihak-pihak tertentu
untuk mengamankan laju bisnis mereka,dengan menganulir saingan-saingan dari media
yang akan mengajukan surat izin yang baru. Hal mana menyebabkan para pebisnis
media khawatir akan perkembangan bisnis mereka di ranah media dan dengan cepat
25
mengambil inisiatif untuk membeli perusahaan-perusahaan pers yang telah memiliki
SIUPP. Misalnya yang dilakukan oleh Jacob Oetama (pemiliki imperium pers Kompas-
Gramedia Grup). (Smith, 1983)
Pada masa-masa pasca beredel 1974 dan 1978, jatuh dan bangun kehidupan media
ditentukan oleh pasar. Banyak media-media berkocek kecil tergilas oleh media-media
berskala besar dengan jaringan yang kuat dan sumber pendanaan berlimpah. Dan tak
jarang pula media-media berkocek kecil ini kemudian menjadi bagian dari imperium-
imperium pers ini, baik dengan skema kerjasama maupun pengambil alihan perusahaan.
(Smith, 1983)
Indonesia mulai bangkit sedikit demi sedikit, bahkan perkembangan ekonomi pun
semakin pesat. Namun sangat tragis, bagi dunia pers yang baru saja terlepas dari
belenggu Orde Lama yang begitu represif, masa bersuka cita menyambut kebebasan
dengan datangnya Orde Baru, tidak berusia lama. Pers Indonesia kembali mendapat
berbagai tekanan dari pemerintahan Suharto. Tidak ada kebebasan dalam menerbitkan
berita- berita kontrol terhadap pemerintah. Jika ada maka media massa yang
memuatnya akan mendapatkan peringatan keras dari pemerintah, yang akhirnya akan
mengancam penerbitannya. (Smith, 1983)
Pada masa Orde Baru, segala penerbitan di media massa berada dalam
pengawasan pemerintah yaitu melalui departemen penerangan. Bila ingin tetap hidup,
maka media massa tersebut harus memberitakan hal-hal yang baik tentang
pemerintahan Orde Baru. Pers dipaksa untuk menjadi alat pemerintah dalam
menjalankan kekuasaan, sehingga pers tidak menjalankan fungsi yang sesungguhnya
sebagai pendukung dan pembela masyarakat. Pembredelan diumumkan langsung
Menteri Penerangan Republik Indonesia, Harmoko. Meskipun pada saat itu pers benar-
benar diawasi secara ketat oleh pemerintah, namun ternyata banyak media massa yang
26
menentang politik serta kebijakan-kebijakan pemerintah. Perlawanan itu ternyata belum
berakhir. Tempo berusaha bangkit setelah pembredelan, didukung elemen yang anti
rezim Soeharto. (Smith, 1983)
Sebelum dibredel pada 21 Juni 2004, Tempo menjadi majalah berita mingguan yang
paling penting di Indonesia. Pemimpin Editornya adalah Goenawan Mohammad yang
merupakan seorang panyair dan intelektual yang cukup terkemuka di Indonesia. Pada
1982 majalah Tempo pernah ditutup untuk sementara waktu, karena berani melaporkan
situasi pemilu yang saat itu ricuh. Namun dua minggu kemudian, Tempo diizinkan
kembali untuk terbit. Pemerintah Orde Baru memang selalu was-was terhadap Tempo,
sehingga majalah ini selalu dalam pengawasan pemerintah. Majalah ini memang popular
dengan independensi- nya yang tinggi dan juga keberaniannya dalam mengungkap fakta
di lapangan. (Smith, 1983)
Dewan pers adalah lembaga yang menaungi pers di Indonesia. Sesuai UU Nomor 40
tahun 1999, dewan pers adalah lembaga independen yang dibentuk sebagai bagian dari
upaya untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers
nasional. Pada masa Orde baru, fungsi dewan pers ini tidaklah efektif. Dewan pers
hanyalah formalitas semata. Dewan Pers bukannya melindungi sesama rekan
jurnalisnya, malah menjadi anak buah dari pemerintah Orde Baru. Dewan pers tidak bisa
menolak, saat diminta pemerintah untuk mendukung pembredelan media. Meskipun
dewan pers menolak, tetap saja pembredelan dilaksana- kan. Menolak berarti melawan
pemerintah. Dewan Pers hanya formalitas belaka. Kemandirian dan independensi
Dewan Pers seperti tidak ditemukan, dalam kedudukannya sebagai pengatur dan
penjaga regulasi. (Smith, 1983)
27
Undang pokok pers yang beberapa kali mengalami perubahan pada masa Orde Baru
tersebut dapat diuraikan di bawah ini:
28
m) Penerbitan kami wajib menjadi pembela/ pendukung dan alat pelaksana dari
politik bebas dan aktif negara Republik Indonesia serta tidak menjadi
pembela/pendukung dan alat dari pada perang Dingin antara blok negara
asing.
n) Penerbitan kami wajib menjadi alat untuk memupuk kepercayaan rakyat
Indonesia terhadap Pancasila.
o) Penerbitan kami wajib menjadi alat untuk memupuk kepercayaan rakyat
Indonesia terhadap manifesto politik Republik Indonesia.
p) Penerbitan kami wajib membantu usaha penyelenggaraan ketertiban dan
keamanan umum serta ketenangan politik.
q) Penerbitan kami tidak akan memuat tulisan-tulisan, lukisan-lukisan atau
gambar gambar yang bersifat sensasional dan merugikan akhlak.
r) Penerbitan kami tidak akan memuat tulisan-tulisan, lukisan-lukisan atau
gambar gambara yang mengandung penghinaan terhadap kepala negara
atau kepala pemerintahan dari negara asing yang bersahabat dengan
Republik Indonesia.
s) Penerbitan kami akan memuat tulisan-tulisan, lukisan-lukisan atau gambar-
gambar yang mengandung pembelaan terhadap organisasi yang dibubarkan
atau dilarang berdasarkan penetapan Presiden No. 7 tahun 1959 dan
Peraturan Presiden No. 13 tahun 1960.
29
Lembaga surat izin ini memberi penyelenggara kekuasaan negara memiliki
posisi yang terbilang sangat powerfull dalam mengatur kebijakan pemberitaan pers,
sehingga praktis pers betul-betul kehilangan banyak kemerdekaannya. Pers
Indonesia dikondisikan menjadi anak baik dari sebuah keluarga dan tidak boleh
mengganggu keselarasan harmoni keamanan dan ketertiban keluarga.
Disinilah muncul larangan kepada pers untuk memberitakan hal-hal yang
terkait dengan "Suku, Agama, Ras dan Antar-golongan" (SARA). Di sinilah sisi
tanggung jawab pers lebih ditonjolkan. Karenanya, terhadap pers yang secara
gegabah membuat berita menyangkut SARA dapatlah dikategorikan sebagai pers
yang tidak bertanggung jawab, dan karena hal tersebut maka pers tersebut harus
dicabut SIT dan SIC-nya. Setelah SIC dihapuskan pada tahun 1977, kebijakan
tentang SIT juga dihapuskan setelah diberlakukannya Undang-undang pokok pers
tahun 1982. SIC dan SIT sebagai alat kontrol pemerintah terhadap pers, yang
membuat pers menjadi lemah karena kebijakan pemerintah yang represif. Kita
melihat sejarah pembredelan pers semakin melembaga, menerusi sejarah
pembredelan pers pada zaman kolonial, kependudukan Jepang dan zaman Orde
Lama.
30
1. Departemen Penerangan
Seperti termaktub dalam dekrit presiden tahun 1974, peran utama Departemen
Penerangan adalah menjalankan sebagian peran pemerintah "mengembangkan bidang
penerangan". Menteri Penerangan, bertang gung jawab langsung kepada presiden,
bertugas menjalankan sederetan fungsi departemen tersebut antara lain "membangun
semangat nasi onal Pancasila", "mendorong Pembangunan Nasional melalui Rencana
Pembangunan Lima Tahun", menjadi pondasi keamanan dan stabilitas nasional,
menyukseskan pemilihan umum tiap lima tahun sekali serta serangkaian tugas nasional
lainnya. (T.Hill, 1994)
Secara struktur, departemen ini terbagi dalam sejumlah unit. Direktorat Jenderal
Pembinaan Pers dan Grafika adalah unit yang pa ling berkaitan dengan media cetak.
31
Direktorat Jenderal ini terdiri dari sekretaris dan sejumlah direktorat yang menangani
soal Pers, Jurnalistik, Grafika, dan Penerbitan. Selain hal-hal lain, Direktorat Pers ini
menge lola surat izin terbit (SIT dan penggantinya SIUPP), mengatur pasokan tinta cetak
(serta aneka pungutan dan pajak yang terkait), pengumpulan data statistik, menjalankan
program Koran Masuk Desa (KMD) serta memantau penerbitan asing, pemasukan iklan
dan organisasi-organisasi pers profesional (dipaparkan lebih mendetil di bagian
selanjutnya). (T.Hill, 1994)
2. Dewan Pers
32
Sekalipun sudah ada beragam unit administratif di bawah payung Departemen
Penerangan, pemerintah masih merasa perlu untuk mengatur pers lewat lembaga
perantara yang dikenal dengan nama Dewan Pers. Dewan Pers lahir dengan tujuan
menjadi titik temu pemerintah dengan sejumlah organisasi yang mewakili kepentingan
pers seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Serikat Penerbit Suratkabar (SPS),
Serikat Grafika Pers (SGP), Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), dan
segelintir wakil masyarakat. Secara nyata Dewan Pers mewujudkan apa yang disebut
sebagai "interaksi positif antara pemerintah, pers, dan masyarakat" sebagaimana
digariskan dalam Undang-Undang no. 1982. (T.Hill, 1994)
Sempat tersiar kabar bahwa kalangan sipil anggota Dewan Pers diam-diam berharap
agar dalam periode yang berikut, pemerintah me ngurangi dominasi birokrat dan militer
serta memberi ruang lebih untuk wakil masyarakat dan kalangan industri. Toh
pernyataan terbuka soal itu tak pernah muncul ke permukaan. Menurut sejumlah
pengamat industri, para anggota sipil Dewan Pers belajar pada model-model yang
berlaku di luar negeri. Meskipun tak ada yang bisa menjamin ada ruang untuk
menerapkan apa yang mereka pelajari, banyak pihak menyakini para anggota sipil
berusaha mencari bentuk Dewan Pers baru. (T.Hill, 1994)
Perlu diingat, militer dan pemerintah bukanlah satu-satunya kekuatan dalam Dewan
Pers. Ketimbang menyuarakan semangat ekspan sif dan gairah bisnis surat kabar baru
seperti Media Indonesia, Dewan Pers lebih mewakili kepentingan surat kabar-surat
kabar berumur yang telah mapan seperti Kompas. Surat kabar yang disebut pertama
dipan dang dengan penuh keragu-raguan dan rasa curiga oleh para tetua. Me dia
Indonesia, pengganti Prioritas (diberedel Juni 1987), bersikap kritis terhadap kinerja
Dewan Pers (yang memberi rekomendasi resmi kepada Menteri Penerangan untuk
urusan pemberedelan). Dalam editorialnya tentang hilangnya pers yang sehat, bebas,
33
dan bertanggung jawab' lantar an pencabutan surat izin, secara tersirat Media Indonesia
meragukan ke mandirian dan kemampuan Dewan Pers. Surat kabar tersebut mengaju
kan sejumlah pertanyaan. (T.Hill, 1994)
34
PWI, adalah kembar siam yang lahir dari bapak dan ibu yang sama pada saat yang
sama pula." 28 Dalam rapat yang di Solo tanggal 9-10 Februari 1946 yang menelurkan
gagasan pendirian PWI, sekitar 300 peserta mencetuskan pemikiran untuk membentuk
juga kelompok penerbit. Kemudian dibentuklah kelompok beranggotakan 10 orang untuk
menggodok ide tersebut. Hasilnya adalah sebuah keputusan yang merekomendasikan
berdirinya SPS pada bulan Juni 1948 dengan PWI sebagai sponsor. (T.Hill, 1994)
Gambar 13. Potret para pegawai sedang membuat klise dalam suatu ruangan kerja di
Percetakan Negara RI : https://anri.sikn.go.id/index.php/para-pegawai-laki-laki-sedang-
membuat-klise-dalam-suatu-ruangan-kerja-di-percetakan-negara-ri
35
pun mengambil ancang-ancang untuk masuk ke dalam negeri. Setelah tahun 1970,
suntikan modal asing terhadap in dustri periklanan domestik mulai menuai buahnya.
Perlahan-lahan sek tor bisnis yang telah lama tertidur bangkit menjadi perpanjangan
tangan pasar internasional.32 Metamorfosa industri ini diikuti dengan sejumlah
transformasi dalam organisasi. Di bulan Desember 1972, Perserikatan (kemudian
Persatuan) Biro Reklame Indonesia (PBRI) yang berdiri September 1949 berubah
menjadi Persatuan Perusahaan Periklanan Indone sia (PPPI). PPPI kemudian menjadi
satu-satunya organisasi induk bidang periklanan yang mendapatkan pengakuan dari
pemerintah. (T.Hill, 1994)
Sebagaimana organisasi profesi lainnya, aturan PPPI menyebut bahwa organisasi ini
"berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dan di arahkan guna menyukseskan tugas-tugas
pembangunan nasional" dan khususnya "mengembangkan dunia usaha di bidang
periklanan". Undang-Undang Pers tahun 1982 dan sejumlah peraturan pelengkapnya
menempatkan organisasi industri periklanan ini sebagai anggota 'keluarga pers',
bersama dengan PWI, SPS, dan SGP. Untuk urusan bisnis dan finansial dari industri
periklanan, PPPI berada di bawah pengawasan Departemen Perdagangan dan
Koperasi. Sementara untuk aturan main tentang kelayakan dan kepantasan materi iklan,
PPPI disisir oleh Departemen Penerangan. Dalam gelanggang ekonomi dan politik
industri media, sektor periklanan tak memainkan banyak peran. Lemahnya kiprah
periklanan antara lain karena pemerintah menggabungkan PPPI ke dalam 'keluarga
pers' dan memberikan jatah kursi dalam Dewan Pers. Tak hanya itu, peran ini ikut
dikerdilkan lewat pendirian Badan Penyalur dan Peme rataan Periklanan (BPPP) yang
lahir di bulan Juli 1981. Adalah pidato Presiden tentang Anggaran Nasional di depan
DPR tahun 1981 yang jadi katalis berdirinya BPPP. Saat itu presiden mengumumkan
larangan pemerintah terhadap pemasangan iklan di saluran televisi nasional (se bagai
satu-satunya jaringan televisi nasional, TVRI ada di genggaman pemerintah). Pidato
presiden selanjutnya ikut mempermulus kehaliran BPPP. Dalam Kongres PWI ke-35 di
Banjarmasin, presiden mengimbau agar pendapatan yang datang dari arus iklan ke
media cetak sebaiknya disalurkan ke surat kabar-surat kabar kecil yang lebih lemah.
Untuk itu, lembaga perantara yang mengatur soal 'pemerataan' dipandang perlu ada.
Meskipun terjadi sejumlah pertentangan di dalam, lewat tangan Dewan Pers BPPP lahir.
(T.Hill, 1994)
36
masyarakat luas bahwa pers harus tetap memainkan peranan dalam 3 pembangunan
nasional. (Flournoy, 1989 : 5) Melalui upaya mengkonsolidasi kekuasaan Soekarno lewat
jargon revolusi belum selesai, pers dikontrol dengan sangat ketat dan menjadikannya
penurut. Pada 12 Oktober 1960, dalam kapasitasnya sebagai Penguasa Perang Tertinggi
(Peperti), Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang mewajibkan setiap penerbitan untuk
mendaftarkan diri guna memperoleh SIT (Surat Izin Tebit) (Flournoy, 1989 : 5)
Pada masa Orde Baru hanya surat kabar milik tentara, kaum nasionalis, kaum
agama, dan kelompok independen yang diizinkan terbit, antara lain: (1) surat kabar tentara:
Angkatan Bersenjata, Berita Yudha, Ampera, Api Pancasila, dan Pelopor Baru; (2) surat
kabar nasionalis: Suluh Marhaen, El Bahar, dan Warta Harian; (3) surat kabar Islam: Duta
Masyarakat, Angkatan Baru, Suara Islam, dan Mercusuar; (4) surat kabar Kristen: Kompas
dan Sinar Harapan. Pembatasan pers juga diterapkan oleh pemerintahan Soeharto pada
masa Orde Baru. Surat kabar yang dianggap berbahaya dan tidak sejalan dengan tujuan
pemerintah akan dibredel, terlebih surat kabar yang menyinggung Soeharto dan kroni-
kroninya. (Surat Kabar Indonesia, 2016)
Salah satu surat kabar yang mempunyai nama pada masa pemerintahan Orde Baru
adalah Sinar Harapan. Surat kabar ini mulai beredar sejak tanggal 27 April 1961 yang
dirintis oleh HG Rorimpandey. Perkembangan surat kabar ini semakin pesat, terlihat saat
jumlah cetakan yang semakin melonjak hingga mencapai 25.000 eksemplar di akhir tahun
pertama-nya6 . Terhitung terjadi beberapa kali pembredelan, yakni pada tahun 1965, 1970,
1972, 1978 dan terakhir pada 1986.
37
Gambar 14. Surat Kabar Sinar Harapan : https://goodstats.id/article/dewan-pers-meski-
mengalami-kenaikan-kemerdekaan-pers-indonesia-masih-perlu-berbenah-RErck
Pada akhir bulan Januari 1978, Kopkamtib melarang terbit tujuh surat kabar harian
Jakarta, yaitu Kompas, Merdeka, Sinar Harapan, Pelita, Pos Sore, Indonesia Times, dan
Sinar Pagi. Tidak lama setelah itu, Sinar Harapan muncul kembali dengan diberikannya ijin
terbit. Namun keberadaannya tidak bertahan lama. Sinar Harapan mengalami pembatalan
SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan) pada tahun 1986 oleh pemerintah. Pembatalan ijin
tersebut disebabkan oleh head line Sinar Harapan yang berjudul “Pemerintah Akan Cabut
44 SK Tata Niaga Bidang Impor” dan mengakibatkan Sinar Harapan dilarang terbit kembali.
Dengan runtuhnya kekuasaan orde baru tanggal 21 Mei 1998, muncul orde reformasi
yang menghendaki adanya perubahan terhadap semua sektor pembangunan, seperti
pembangunan di bidang politik, ekonomi, sosial dan kultural. Reformasi telah menghasilkan
buahnya sendiri. Ciri yang menonjol dari reformasi itu adalah adanya kemerdekaan dan
kebebasaan. (Harahap, 2019 : 136)
Salah satu buah manis dari orde reformasi itu adalah kemerdekaan pers. Pers dapat
menikmati kemerdekaan itu. Tidak ada tembok pembatas yang menghalanginya dalam
38
membuat dan menyebarkan informasi kepada masyarakat. Pers berkembang dengan pesat
dan bahkan cenderung liar. Negara berada dalam dunia maya, yang seolah-olah sudah
tidak ada lagi batasbatas negara. (Borderlees), apa yang terjadi di negara lain dapat kita
saksikan di negara kita. Dunia ini ibarat kampung besar (Global Vilage). Selanjutnya kita
dapat menyaksikan dalam melakukan tugastugas jurnalistiknya para wartawan cenderung
mengabaikan kaidah-kaidah hukum dan etika jurnalistik. Sehingga tindakannya sering kali
berwujud pada pencideraannya narasumber atau subyek hukum berita. Selain itu dapat
terjadi karena kurang kehati-hatian dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya dan /atau
dapat juga karena faktor ekonomi atau bisnis. Padahal yang kita ketahui bahwa pers itu
tidak semata-mata mempunyai fungsi bisnis akan tetapi juga mempunyai fungsi sosial
politik. (Harahap, 2019 : 136)
Sekarang pada era reformasi, rakyat memiliki haknya kembali untuk menyampaikan
pendapat, kritik, dan saranya. Rakyat dalam hal ini bisa berupa individu, atau kelompok
sosial, seperti organisasi sosial, organisasi massa, organisasi politik, lembaga sosial
masyarakat, dan pers. Khsus untuk pers, kemerdekaan yang diperoleh adalah,
kemerdekaan mencari, mengolah, mengedarkan dan menyebar luaskan informasi, untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat akan posisi politiknya. (Djuroto, 2011 : 182)
39
sendiri adalah batas akhir dari tanggungjawab. Tanpa kebebasan jangan menuntut
tanggungjawab, sebaliknya tanpa tanggungjawab jangan harap ada kebebasan.
Kondisi ini muncul karena perubahan dan perkembangan kehidupan masyarakat kita
baik dari sisi ekonomi, politik, dan kehidupan sosial. Kemampuan daya beli masyarakat
terhadap media massa, sistem politik negara kita dan ragam kehidupan masyarakat
membuka peluang untuk berbisnis informasi yang dapat dimanfaatkan oleh insan pers kita.
Perkembangan seperti ini mau tidak mau menghadapkan pers nasional kita untuk bersaing
dan saling berhadapan memperebutkan pangsa pasar. Perusahaan pers yang mempunyai
modal besar berpeluang menguasai pangsa pasar. Dengan kemampuan modalnya mereka
dapat mengemas produknya lebih baik, aktual dan akurat. Sementara pers yang modalnya
kecil sulit berkembang karena tidak mampu memenuhi peralatan berbasiskan tehnologi
tinggi. Bagaimana mereka bisa aktual kalau mencetaknya saja harus numpang percetakan
lain. (Djuroto, 2011 : 183)
Runtuhnya Rezim Soeharto pada tahun 1998 yang telah berkuasa selama 32 tahun
di Indonesia,membuat banyak perubahan dalam segala sendi kehidupan dan pemerintahan
di Indonesia, tidak terkecuali pada sistem pers, pers yang dulunya dibawah kendali
pemerintah atau tunduk pada sistem politik, kini mulai mendapatkan “angin segar” dengan
dicabutnya peraturan penggunaan SIUPP (surat ijin usaha perusahaan pers) karena
dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM). Dengan demikian, pengurusan untuk
mendirikan perusahaan/penerbit pers tidak lagi bertele-tele dan melewati birokrasi yang
sangat rumit. Hal ini membawa angin segar bagi masyarakat untuk mendirikan perusahan
media. Dalam waktu singkat pasca pencabutan SIUPP tersebut, perusahan media di
Indonesia tumbuh bagaikan jamur di musim hujan. Demikian pula halnya dengan munculnya
beberapa organisasi kewartawanan yang dahulu hanya memiliki satu wadah tunggal yaitu
PWI (persatuan wartawan Indonesia). (Arnus, 2015 : 109)
40
Gambar 15. Pers Era B. J. Habibie :
https://www.kompas.com/skola/read/2020/12/22/182425769/pers-di-era-reformasi?page=all
Kebebasan pers yang baru saja dirasakan oleh masyarakat Indonesia pada era
Habibie ini tentnya mendatangkan beberapa dampak. Kebebasan pers yang berarti
kebebasan dalam menayangkan berbagai berita tidak hanya mendatangkan dampak yang
positif saja tetapi juga mendatangkan dampak yang negatif. Kebebasan dalam pemberitaan
mengakibatkan terjadinya trial by the press (pengadilan oleh pers) yaitu berita atau tulisan
dengan gambar tertuduh dalam suatu perkara pidana yang memberi kesan bersalah. Hal ini
melanggar asas praduga tak bersalah dan menyulitkan tertuduh untuk memperoleh
pemeriksaan pengadilan yang bebas dan tidak berpihak. (Nurudin, 2008 : 79)
41
Selain melakukan trial by the pressmedia di Indonesia yang tengah merasakan
euforia juga kurang memiliki self censhorsip, yaitu keadaan dimana media kurang
mempertimbangkan selera dari masyarakat, media kurang ideal dalam tayangannya, dan
kurang mempertimbangkan apakah tayangan tersebut layak atau tidak ditayangkan untuk
masyarakat, misalnya saja banyak media baru yang hanya memberitakan tentang politik,
demokrasi, demonstrasi dan sejenisnya, akan tetapi tidak semua masyarakat tertarik akan
hal tersebut, masyarakat butuh berita hiburan, budaya, interaksi sosial dan lainnya. Hal ini
dapat dimaklumi karena pers Indonesia baru saja menghirup udara segar kemerdekaan,
sangat liar, akan tetapi kurangnya self censhorsip tersebut mengakibatkan media-media
baru tersebut terseleksi dengan sendirinya, akhirnya banyak media yang “gulung tikar” karen
tidak mampu menghidupi perusahaannya. (Arnus, 2015 : 109)
42
Kemajuan teknologi komunikasi yang semakin berkembang membuat perilaku
khalayak media juga berubah, akhirnya banyak media cetak beralih ke media online, sebut
saja www.kompas.com, www.detik.com, www.astaga.com, dan lain sebagainya. Selanjutnya
dimuailah era media online, yang saat ini sudah menjadi konsumsi utama di kalangan
masyarakat Indonesia.
Pers era SBY menerapkan pers yang bertanggung jawab terhadap masyarakat.
Sebuah perpaduan ideal antara kebebasan pers dan kesadaran pengelola media massa
(insan pers), khususnya untuk tidak berbuat semena-mena dengan kemampuan, kekuatan
serta kekuasaan media massa. Meskipun pers di era SBY menerapkan pers yang
bertanggung jawab, tetapi tidak mengurangi kebebasan pers pada saat itu, pemerintah tidak
pernah ikut campur mengenai urusan kebebasan pers. Dibawah kepemimpinan SBY selama
satu dasawarsa pers Indonesia benar-benar telah menikmati kebebasannya. Hal serupa
juga disampaikan oleh Jacob Oetama dalam kompasiana.com, bahwa kemerdekaan pers di
era SBY lebih baik dibandingkan dengan pemeritahan sebelumnya. Pers yang kritis dan
konstruktif pada masa SBY harus tetap dipertahankan di era Presiden Jokowi.
Hubungan pers dan presiden di era SBY dapat diibaratkan sebagai hubungan benci
tapi rindu, dimana hubungannya dengan pers turun naik tetapi tetap hangat, presiden SBY
pada awal pemerintahannya mendapatkan dukungan yang luar biasa dari berbagai media,
tetapi di saat yang lain media juga mengkritik presiden SBY dengan sangat kritisnya.
Siapapun yang menjadi presiden di negara demokratis tentu akan merasakan suasana
tersebut. Walaupun media pers sering mengkritik dengan kerasnya, presiden SBY ternyata
43
tidak pernah membenci atau mengambil jarak dengan pers. Presiden SBY tetap
proporsional tenang dan setiap pernyataan, namun tetap menampilkan kehangatan. Kritikan
tersebut menurut SBY dapat menghindarkan dirinya dari penyalahgunaan kekuasaan dan
penyalur berbagai ketidakpuasan masyarakat. Hubungan hangat dengan pers turut
membangun sebuah kebebasan pers tanpa takut untuk menyampaikan pendapat (Susilo
Bambang Yudoyono dalam www. kompasiana.com). Pada masa akhir masa pemerintahan
SBY perkembangan media berita online sangat pesat, sehingga informasi yang diberikan
kepada masyarakat sangat faktual, dan transparan, sehingga masyarakat mengetahui
perkembangan jalannya pemerintahan dan dapat memberikan feedback yang lebih cepat
terhadap situasi yang tengah berlangsung. Berdasarkan pembahasan di atas dapat
disimpulkan bahwa peran pers sangat penting bagi kemajuan negara, pers dapat
mengantarkan negara menjadi maju dengan banyak perannya, akan tetapi kadangkala pers
tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik karena terbentur oleh kebijakan pemerintah.
Pers yang baik akan mengantarkan kepada masyarakat yang baik, pers yang buruk akan
mengantarkan masyarakat ke era yang buruk.
Pers era Habibie, Gusdur, dan Megawati walaupun telah mengalami masa
kemerdekaan pers yang lebih baik dari pemerintahan sebelumnya, tetapi pers pada masa
tersebut masih dalam kendali samar pemerintah, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa era
Habibie, Gusdur dan Megawati merupakan era kemajuan kebebasan pers di Indonesia,
walaupun pers era ketiga presiden itu terkesan cenderung kebablasan.
Gambar 18. Potret beberapa nama badan-badan usaha sebagai media pers :
https://nasional.kompas.com/read/2018/05/03/12150791/hukum-dan-politik-sebabkan-peringkat-
kebebasan-pers-indonesia-stagnan
44
Kemerdekaan pers dan kemajuan tehnologi informasi yang semakin canggih,
mempengaruhi bisnis pers. Persaingan mereka berlangsung dengan ketat. Pengelola media
cetak sekarang terang-terangan menyebut penerbitannya sebagai suatu perusahaan,
maskapai atau bahkan perseroan terbatas yang go public. Padahal sebelumnya perusahaan
penerbitan pers, menyebut dirinya sebagai suatu lembaga penyiaran yang penampilannya
lebih banyak dipengaruhi oleh idealisme pengelolanya. Sekarang bisnis media cetak dapat
dikelola oleh badan-badan usaha seperti PT, CV, atau Yayasan. Hampir semua penerbitan
pers nasional kita, memperbaiki sistem manajemennya, menuju industrialisasi pers.
Perubahan mencolok dari penerbitan media cetak kita sekarang, bisa dilihat dari
perbaikan produk, kualitas isi, mutu cetak, serta sistem pendistrisibuannya yang makin
akurat. Jika Unesco menetapkan idealnya 1 surat kabar dibaca oleh 10 orang, pers nasional
kita, setapak demi setapak mengarah mendekati perbandingan itu. Tahun 1988
perbandingan pembaca surat kabar di Indonesia tercatat 1 : 49 artinya, satu surat kabar
dibaca oleh 49 orang, ta hun 1991 naik menjadi 1 : 33 sedangkan tahun 1995
perbandingannya mencapai 1 : 28. Di era reformasi sekarang ini, ketika SIUPP sudah tidak
diperlukan lagi, penerbitan pers tumbuh subur. Koran baru, majalah, serta tabloid tidak
terhitung lagi jumlah maupun oplahnya. Bisa jadi jika rasio jumlah oplah dengan pembaca
sudah mencapai l : 20 atau malah 1 : 15.(Survey Riset Indonesia : 1995).
Bisnis media cetak sekarang memasuki era prestigius business. Artinya tidak
sekedar menjual informasi, tetapi juga menjual nilai, budaya, dan martabat. Institusi media
cetak selain ditentukan oleh besarnya modal, penguasaan tehnologi, dan kekuatan sumber
daya manusia yang mengelolanya ikut menentukan. Dengan modal kuat, SDM mumpuni,
tentu mampu menguasai tehnologi informasi yang canggih. Kondisi ini akan mendorong
kreativitas pengelola media cetak tersebut. Pengelolaan media cetak mengalami revolusi
usaha, sejak SIUPP dicabut. Akibat nya terjadi restrukturisasi penerbitan pers, sehingga
untuk mendirikan suatu usaha penerbitan pers, tidak lagi diperlukan surat ijin. Ketentuan
baru dibidang media cetak ini, melahirkan persaingan yang ketat diantara sesama pengelola
media cetak. Bisnis pers modern kini tidak hanya sekedar menjual produk saja, tetapi
menggalang massa merupakan aktifitas yang dituntutnya.
Mendirikan perusahaan pers sekarang dapat dilakukan oleh semua orang. Asal
punya uang, seseorang bisa menerbitkan koran. Masalahnya sekarang siapa yang akan
baca, menerbitkan pers tidak untuk dibaca sendiri. Penerbitan yang terkesan yang
mengutamakan sensasional atau porno bisa disebut hanya memanfaatkan adanya
kemerdekaan pers. Pers baru eksistensi mereka di masa transisi ini sekilas nampak nyata,
45
Tetapi ini tak akan bertahan lama. Mereka akan berguguran karena tak tahan dengan
persaingan dan sehingga ditinggal pembacanya. Yang tetap bertahan adalah pers yang
konsisten dan memiliki konsep jelas. Seleksi alam akan terjadi, terutama dipacu oleh
keberdayaan masyarakat yang semakin dewasa dan demokratis. Siapapun yang
menerbitkan tabloit atau koran, akan berhadapan dengan seleksi alam. Seleksi alam ini,
bisa lama tapi bisa juga sebentar, tergantung dari seberapa jauh mereka bisa menggapai
pasar. Jika penerbitan itu memang benarbenar baik dan dibutuhkan masyarakat, tentu bisa
bertahan. Sebaliknya jika kehadiran mereka hanya asal terbit tanpa memperhitungkan
kemampuan pasar, tak akan lama eksisnya.
Heru Margianto dan Asep Syaefullah yang merupakan Aliansi Jurnalis Independen,
secara apik membabarkan fenomena ini didalam bukunya yang berjudul Media Online:
Pembaca, Laba, dan Etika sebagai berikut: The truth in the making, dogma jurnalistik
tradisional yang diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi, “get it first, but first get
it truth” seolah berubah menjadi “get it first, just get it first”. (Margianto, 2014)
Meruntut kepada hal tersebut, masa reformasi tak pelak memberikan situasi gegap
gempita dalam kehidupan pers yang ada di Indonesia. Hal ini kemudian memberikan
dampak yang tidak sedikit, khususnya dalam merubah pola kehadiran media, dari yang
sebelumnya hanya bersifat cetak, kemudian berubah menjadi dalam wadah daring, dengan
internet sebagai sumber tenaga utamanya.
46
Gambar 18. Media pers dan surat kabar di internet :
https://www.romelteamedia.com/2022/03/pengertian-media-dan-wartawan-yang.html
Internet, dalam hal ini seakan membawa ruang publik untuk partisipasi dan peran
serta setiap warga, setiap orang, baik itu profesional maupun amatir dalam luapan akses
informasi dalam sebuah wadah digital. Internet, dalam hal ini menjadi peluang bagi para
masyarakat kini untuk dapat melihat informasi dari berbagai sisi, tidak hanya dari satu sisi
saja. Hal ini kemudian menjadikan masyarakat dan khalayak ramai menjadi semakin kritis
dalam memilah-milah sebuah pemberitaan karena akses informasi yang luas dan membanjir
dari segala arah.
Fenomena ini bukannya tanpa sebab, faktor utama perubahan tersebut adalah
karena semenjak adanya media daring maka kemudian yang terjadi adalah akses dan
kuasa informasi bukan lagi menjadi milik jurnalis ataupun pemilik media. (Kusuma, 2016)
Disinilah yang kemudian menjadi titik tolak dari permasalahan yang ada, dimana terjadi
perebutan ruang publik untuk informasi, dengan hadirnya internet para jurnalis profesional
harus rela berbagi ruang dengan twitter, blogger, facebook, instagram, jurnalis warga, serta
para pengguna media sosial. Dalam hal ini internet tak pelak telah mengubah pola dan cara
pandang daripada umat manusia di segala tempat, tak luput juga di Indonesia, untuk
memproduksi dan mengkonsumsi daripada pemberitaan-pemberitaan yang kini ada dan
berjejalan di sekelilingnya. (Kusuma, 2016 : 5)
47
Gambar 19. Screenshoot berita dari instagram : dokumen pribadi
Lembaga Pengawas Media atau Media Watch umumnya didirikan oleh sejumlah
aktivis lembaga swadaya masyarakat dan praktisi jurnalis. Latar belakangnya diyakini bahwa
kemerdekaan pers, yang intinya adalah terpenuhinya right to know dan right to expression,
harus terus menerus diawasi, dikritik dan dikembangkan. Pihak-pihak yang potensial
menyalahgunakan kemerdekaan pers tidak saja bersumber dari negara, parpol, legislatif,
yudikatif, tapi bisa juga oleh kekuasaan eko nomi (pengusaha, konglomerat, dsb), termasuk
kemungkinan penyalah gunakan oleh insan pers itu sendiri. Kepentingan pragamatis
ekonomi dan politik baik pada level jurnalis, redaksi maupun pemilik media, menentukan
arah kehidupan pers nasional. Untuk mewujudkan misi ini, media watch memberikan
kontribusi dengan membuat analis media, melakukan riset berita, untuk melihat sejauh
mana kepentingan kekuasaan politik, ekonomi tercermin dalam pemberitaan media. Hasil
riset kemudian diterbitkan dalam bentuk jurnal dan diseminarkan dengan mengundang
berbagai komponen masyarakat.
Kemerdekaan pers harus ada pengawasnya dalam arti pengawasan untuk hak tahu
dan hak berekpresi karena itu bagian dari hak azasi manusia (HAM). Tujuan semulia
apapun, jika dilakukan oleh suatu institusi pasti ada mekanisme chek and balance atau
pengawasan. Media watch memotivasi agar insan prrs yang sedang menikmati
kemerdekaannya itu, tetap mengarahkannya pada kepentinga pembaca. Hal itu bisa
dilakukan pada pengelolaan media massa yang profesional, berdasarkan kaidah jurnalistik
yang tidak mengundang/mengumbar sensasi. Kalau menulis berita tidak memasukkan
opininya sendiri, foto-fotonya tidak direkayasa, dan nara sumbernya jelas.
48
Sekarang bukan wewenag pemerintah lagi untuk mengontrol kebebasan pers.
Masyarakat sendiri yang harus mengontrolnya. Informasi itu adalah hak masyarakat. Mereka
harus tahu informasi itu secara benar dan objektif atau sesuai dengan standart jurnalistik.
Seorang wartawan karena sesuatu hal bisa saja menyajikan berita yang tidak objektif. Mung
kin sumber beritanya yang kurang tepat, kesengajaan pihak tertentu, atau mungkin
redakturnya kurang jeli, sehingga bisa saja muncul berita yang tidak obyektif.
Dalam melakukan kontrol terhadap penerbitan media cetak, media watch tidak
berhubungan langsung dengan media tersebut, tetapi melakukannya melalui survey dan
pengamatan langsung pada pengguna media yaitu masyarakat umum. Media Watch
mengkampanyekan hasil pengamatannya ke masyarakat, karena lembaga ini
penekanannya lebih kepada pemberdayaan masyarakat terhadap kegiatan bermedia.
Misalnya jika masyarakat meng hadapi pemberitaan yang tidak benar, bisa
mengkomunikasikan aspirasi pikirannya ke media itu juga. Jadi akan terbangun apa yang
dinamakan media wearnes, sehingga arus informasi itu tidak berjalan satu arah tapi ada
timbal balik, berupa respon dari masyarakat atau tanggapan langsung, sehingga informasi
berkembang menjadi proses komunikasi yang benar. Khusus untuk insan pera, media watch
memberikan pelatihan untuk mengembangkan profesionalisme jurnalistiknya, agar mereka
mengenal kode etik jurnalistik, dan bagaimana bekerja sebagai wartawan yang profesional.
49
BAB III
KESIMPULAN
3.1. Kesimpulan
Pers atau media massa merupakan sarana atau wadah bagi masyarakat untuk
mendapatkan informasi. Pers atau media massa di Indonesia merupakan salah satu aspek
sejarah masyarakat bagi. Sejarah pers di Indonesia berkaitan dengan sejarah
perkembangan Islam. Pers atau media massa mempunyai dua sisi kedudukan, pertama
yaitu merupakan media komunikasi yang tertua di dunia, dan yang kedua pers sebagai
lembaga masyarakat dan sistem politik.
Pers pada Masa Orde Baru sangatlah terikat oleh pemerintah, segala sesuatunya
tidak boleh bertentangan dengan pemerintah sehingga menimbulkan terjadinya
perngekangan atau tidak adanya kebebasan terhadap media massa. Pada masa Orde Baru
pemerintah sangat otoriter terhadap masyarakatnya begitiupun dengan media massanya
sehingga tidak jarang terjadi pembreidelan terhadap media massa. Barulah setelah
reformasi tepatnya tahun 1999 keluarlah Undang- Undang Pers no. 40 tahun 1999 media
massa atau pers mendapatkan kebebasan dalam menyampaikan informasi seluas-luasnya
kepada masyarakat tanpa ada lagi kekangan dari perintah.
Setelah berakhirnya pemerintahan Orde Baru media massa menjadi bagian yang
penting dalam kehidupan demokrasi. Pada Masa Reformasi media massa sudah sangat
beragam dan berbagai jumlah sehingga dapat dengan mudah menyebarkan informasi
tentang peristiwa-peristiwa politik yang sedang terjadi. Dengan demikian, masyarakat
memiliki kemudahan untuk dapat mengetahuiWalaupun sumber-sumber yang dikaji terkesan
masih hangat dan seakan baru saja terjadi, periode pers pasca Orde Baru merupakan masa
yang menarik untuk diteliti oleh para sejarawan. Asalkan melalui metodologi yang benar,
peristiwa-peristiwa masa lalu kontemporer selalu dapat dituliskan menjadi sebuah kisah
yang dapat menarik khalayak masyarakat dan cendekia, khususnya dalam bidang keilmuan
lain diluar keilmuan sejarah. Munculnya pendekatan-pendekatan interdisipliner juga tak
pelak memberikan pemahaman baru dimana sejarah dapat pula berdampingan dengan
keilmuan-keilmuan lain untuk dapat membongkar fenomena-fenomena yang ada guna
dicarikan solusinya untuk kemaslahatan masyarakat dan umat manusia yang ada pada
masa kini.
50
3.2. Saran
Demikian pemaparan terkait sejarah perkembangan pers masa Orde Baru dan
Reformasi, maka penulis memberikan saran untuk pembaca dan para mahasiswa serta
lapisan masyarakat lainnya supaya dapat mempelajari hikmah-hikmah terkadung dari setiap
peristiwa sejarah.
51
DAFTAR PUSTAKA
Hill, David. T. 1994. The Press in New Order Indonesia. Australia: University of Western
Australia Press.
Zulfikar E. Catatan Sejarah Perkembangan Pers Indonesia Periode 1971-1980. Jakarta:
Tempo Publishing.
Wahidin, Samsul. 2006. Hukum Pers. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hill, David T. 2011. Pers di Masa Orde Baru. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Kusumaningrat, Hikmat dan Kusumaningrat Purnama. 2017. Jurnalistik: Teori dan Praktik.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Smith, Edward Cecil. 1983. Sejarah Pembredelan Pers Di Indonesia. Jakarta: Graffiti Pers.
Padiatra, Aditia Muara dan Sanusi Anwar. 2020. PERS PASCA ORDE BARU: SEBUAH
TINJAUAN SEJARAH KONTEMPORER. Khazanah: Jurnal UIN IMAM BONJOL
PADANG. Vol 10, No 1.
Yahya, Eko. 2004. Perbandingan Sistem & Kemerdekaan Pers. Bandung:Pustaka Bani
Quraisy.
Misrawi, Zuhairi. 2010. Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan. Jakarta: Buku
Kompas
Sudibyo, Agus. 2013. 50 Tanya Jawab Tentang Pers. Cet.1, Jakarta : Kepustakaan Populer
Gramedia.
Achmad, Zainal Abidin. 2021. Perbandingan Sistem Pers di Indnesia. Surabaya : Sahaja.
Harahap, Muhammad Syahnan. 2019. Kemerdekaan Pers Pada Masa Orde Reformasi.
Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara-Fakultas Hukum Universitas Dirgantara Marsekal
Suryadarma, Vol. 9, No. 2.
Nazaruddin, 1988. Diktat Kuliah Hukum dan Komunikasi. IISIP: Jakarta.
Seno Adji, Oemar, 1982. Dalam Tulisan Hamzah Delik-Delik Pers Indonesia. Jakarta : Media
Sarana Pers.
Ardianto, Elvinaro dan Komala, Lukita Erdinaya. 2004. Komunikasi Massa: Suatu
Pengantar. Bandung : PT. Remaja Rosdakara.
Nurudin, 2008. Sistem Komunikasi Indonesia. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
52
Arnus, Sri Hadijah. 2015. Jejak Perkembangan Sistem Pers Indonesia. Jurnal : Al-Munzir
Vol. 8, No. 1.
Djuroto. Syam, Nina Winangsih. 2011. Kontribusi Media Watch Pada Kemerdekaan Pers
Indonesia di Era Reformasi. Jurnal : Sosiohumaniora,Vol. 13, No. 2.
53