Disusun Oleh:
Kelompok 8:
Ilmu Komunikasi-Humas 2/Semester 7
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas
berkat dan rahmat-Nya penulis dapat mengerjakan tugas makalah yang berjudul
Media Massa sebagai Agen Imaji (Bagian 2) ini tanpa mengalami hambatan
yang berarti, serta dapat menyelesaikannya dengan baik dan semaksimal
mungkin. Shalawat beriring salam juga penulis sampaikan kepada junjungan kita
Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari alam jahiliyah
menuju peradaban seperti saat ini, yang membuka mata hati kita untuk terus
menuntut ilmu.
Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Dosen Pengampu
mata kuliah Media dan Gender, Aditya Darma, M.Pd yang telah memberikan
didikan dan pengajarannya selama perkuliahan. Harapan penulis semoga makalah
ini nantinya dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca,
dan untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah
agar menjadi lebih baik lagi. Adanya keterbatasan pengetahuan maupun
pengalaman penulis, penulis yakin masih banyak kekurangan dalam materi yang
disajikan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca.
Kelompok 8
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tidak dapat dipungkiri bahwa media massa telah memiliki andil atau
peranan yang cukup besar dalam segenap aspek kehidupan masyarakat
modern. Maka tidak mengherankan jika media massa disebut telah
menjadi media yang membantu manusia menyebarkan pesan. Ini berarti
bahwa eksistensi media mendatangkan manfaat dalam menunjang banyak
aktivitas manusia. Hal ini juga tampak pada usaha penggunaan media
massa untuk mempercepat proses perubahan sosial di negara berkembang
sebagai media kampanye, politik, propaganda, dan terkhususnya dalam
dunia iklan serta tontonan lainnya. 1
Secara konseptual kita menyadari bahwa salah satu fungsi media ialah
menjembatani dua pihak, misal antara satu komunitas dengan komunitas
lainnya. Namun realitas menunjukkan bahwa media mengalami pergeseran
yang cukup signifikan. Telah menjadi rahasia umum bahwa saat ini media
hanya menjadi sebuah bagian dari kepentingan kapitalis. Fungsi media
kini cenderung lebih mengedepankan fungsi hiburan dan informasi
semata. Itu artinya, fungsi media sebagai sarana pendidikan seakan
terabaikan dan mengalami komodifikasi.
Komodifikasi berhubungan dengan proses transformasi barang dan
jasa beserta nila gunanya menjadi suatu komoditas yang memiliki nilai
tukar di pasar. Dalam masyarakat tontonan, setiap sisi kehidupan dapat
dijadikan sebagai komoditas. Pada masyarakat tontonan, tubuh wanita
sebagai objek tontonan untuk menjual komoditas. Tubuh dijadikan sebagai
suatu komoditas yang memiliki peran yang sangat sentral. Dalam hal ini,
perempuan tanpa sadar bahwa sesungguhnya telah dikonstruksi secara
1
Henry Subiakto, Komunikasi: Politik, Media, dan Demokrasi, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup, 2012) h. 106
1
sosial untuk berada di dunia marjinal yakni dunia objek, dunia citra, dan
dunia komoditas.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
2
BAB II
PEMBAHASAN
2
Antonius Atosokhi Gea, dkk, Relasi dengan Sesama, (Jakarta: Elex Media Komputindo,
2003), h. 30-31
3
atau nilai yang sama baik yaitu, nilai guna, nilai sosial, hingga fantasi.
Komoditas sendiri dimaknai melalui sistem relasi sosial yang kemudian
menghasilkan persepsi bahwa komoditas tersebut memiliki tambahan yang
melekat di luar fungsi dasarnya.
3
Vincent Mosco, The Political Economy of Communication, (London: Sage Publication,
2009), h. 52
4
omodifikasi khalayak. Selain pada isi, komodifikasi juga diterapkan
pada khalayak. Ekonomi politik menaruh beberapa perhatian pada
khalayak, khususnya dalam upaya untuk memahami praktik umum
dengan cara para pengiklan membayar untuk ukuran dan kualitas
(kecenderungan untuk konsumsi) khalayak yang dapat diraih surat
kabar, majalah, website, radio, atau program televisi.
3. K
omodifikasi tenaga kerja untuk mengkaji proses komodifikasi isi dan
khalayak media, penting untuk mempertimbangkan komodifikasi
tenaga kerja media. Tenaga pekerja komunikasi yang juga
dikomodifikasi sebagai buruh upahan telah tumbuh secara signifikan
di pasar media.
5
dituduh hanya menampilkan perempuan sebagai pemikat biologis semata.
Inilah yang acapkali dilontarkan kaum feminis sebagai kritikan kepada
media massa.
Media massa berfungsi menyampaikan fakta. Karena itu, gambaran
perempuan dalam media massa merupakan cermin realitas yang ada dalam
masyarakatnya. Di dalam media, perempuan dan tubuhnya digunakan di
dalam berbagai aktivitas ekonomi berdasarkan konstruksi sosial. Tubuh
perempuan yang di potong-potong (menjadi hanya betis, atau kaki, atau
dada, atau punggung, atau pinggul, atau rambut, atau bibir) dan diproduksi
menjadi tanda-tanda (signs) akan membentuk citra (image), makna
(meaning) dan identitas (identity) mereka di dalamnya. Tanda dan citra
itulah yang kemudian menjadikan perempuan sebagai obyek hasrat
(desire) untuk memiliki demi mencapai kepuasan.
Prabasmoro menggambarkan tentang bagaimana potongan tubuh
perempuan hanya potongan tanda yang menjadi komoditas: Seksualitas
perempuan juga dikomodifikasi. Banyak produk yang sama sekali tidak
ada hubungannya dengan tubuh perempuan, menampilkan tubuh
perempuan semata-mata karena tubuh perempuan merupakan nilai jual
(selling point) bagi produk itu.4 Penggunaan tubuh dan representasi tubuh
dalam media tidak saja menyangkut relasi ekonomi, tetapi juga relasi
sosial dan relasi ideologi. Komodifikasi tubuh perempuan menjadi sebuah
persoalan ideologi ketika penggunaan tubuhnya dalam iklan sebagai
sebuah relasi ekonomi dilandasi dan digambarkan dalam relasi sosialnya
pasif, berada dalam posisi subordinasi dan menjadi objek eksploitasi
kelompok dominan saja.
Bila perempuan mampu berada dalam posisi subjek yang aktif dan
tidak hanya menjadi objek pasif saja, maka bisa jadi bahwa perempuan
sebenarnya berkuasa atas dirinya sendiri dan berperan aktif menentukan
citra, makna dan identitas dirinya. Menurut Lacan, jika perempuan
menggunakan tubuhnya untuk membebaskan hasratnya dan bermain-main
(jouissance) maka bisa jadi perempuan otonom berperan aktif
4
Aquarini Priyatna Prabasmoro, Kajian Budaya Feminis,Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop,
(Yogyakarta: Jalasutra, 2006), h. 34
6
membebaskan tubuhnya. Karenanya, bagi para pengkaji cultural studies,
persoalannya bukan terletak pada benar tidaknya representasi citra
perempuan dalam media tetapi pada sejauhmana perempuan mampu
menjadi subjek sebagai penentu konstruksi.
Keberadaan perempuan dalam iklan sah-sah saja sepanjang kreatornya
tidak menghadirkan bad taste advertising. Makna bad taste advertising itu
sendiri bisa sangat luas, termasuk jangan melewati batas, dalam arti tidak
terjebak pada over-exposure, over-signification dan over-imagination.
C. Simulakra (Simulacrum/Simulacra)
7
dengan foto, yang memiliki keserupaan dengan objek aslinya. Mekanisme
representasi pada tingkat ini merupakan mekanisme reproduksi material
yang kehilangan aura transendensinya.
Simulacra pada tingkat ini sering disebut Baudrillard sebagai stadium
akhir dari simulasi, yang mana, terjadi berkat dampak perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi informasi, media massa, komunikasi global dan
konsumerisme. Pada tingkatan ini simulacra merupakan wujud silang
antara tanda dan kode budaya, yang tidak lagi mempunyai representasinya
atas realitas. Simulacra tingkat ini yang dinamakan secara khusus sebagai
“simulasi”. Dengan kata lain, menurut Baudrillard, kita telah bergerak dari
meniru benda-benda real (periode Renaissance dan simulacra tingkat
pertama), lalu memproduksi barang-barang real (kapitalisme konsumen
atau simulacra tingkat kedua), ke mereproduksi proses peniruan itu sendiri
(simulasi).
8
ilmu tentang citra atau imaji serta peran sentral teknologi informasi dalam
membentuk citra tersebut. Perkembangan imagologi tidak dapat dilepaskan
dari perkembangan teknologi pencitraan mutakhir, seperti televisi, video,
internet, surveillance, satelit, dan realitas virtual yang mencipatakan
sebuah dunia yang di dalamnya aspek kehidupan setiap orang sangat
bergantung pada dunia citraan. Imagologi adalah penggunaan citra-citra
tertentu untuk menciptakan imaji tentang realitas yang pada titik tertentu
dianggap merupakan realitas itu sendiri.
Hampir tidak ada kegiatan manusia kontemporer, baik kegiatan dalam
bidang ekonomi (iklan, komoditi), politik (kampanye, propaganda),
hukum (pengadilan, penyidikan), sosial (rapat, bermain), keagamaan
(dakwah), maupun kebudayaan (hiburan, tontonan) yang tidak
menggunakan unsur-unsur visual dan citraan. Di era informasi dan digital
dewasa ini hampir tidak ada bidang kehidupan (sosial, politik, ekonomi,
budaya) imagologi tidak dapat bisa berlangsung tanpa peran teknologi
informasi di dalamnya. Perkembangan teknologi informasi mutakhir, baik
disadari maupun tidak telah mengkondisikan masyarakat kontemporer
untuk hidup di dalam dunia yang didominasi oleh unsur citraan (image),
khususnya apa yang disebut dengan citra visual (visual image). Dominasi
dunia citraan dan visual tersebut telah merubah cara komunikasi, interaksi,
dan interelasi antar manusia yang kini sangat bergantung pada keberadaan
citraan dan media visual tersebut.
9
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
B. Saran
10
studi Ilmu Komunikasi. Penulis tidak dapat memungkiri bahwasannya
masih terdapat banyak sekali kekurangan dari penulisan makalah ini, maka
diharapkan penulis dapat lebih efektif lagi dalam menuliskan makalah.
Maka untuk itu, penulis menyampaikan permintaan maaf dan terima kasih
kepada seluruh pihak yang membaca.
11
DAFTAR PUSTAKA
Atokshoki Gea, A., & dkk. (2003). Relasi dengan Sesama. Jakarta: Elex Media
Komputindo.
Mosco, V. (2009). The Political Economy of Communication. London: Sage
Publication.
Prabasmoro, A. P. (2006). Kajian Budaya Feminis,Tubuh, Sastra, dan Budaya
Pop. Yogyakarta: Jalasutra.
Subiakto, H. (2012). Komunikasi: Politik, Media, dan Demokrasi. Jakarta:
Kencana Prenada Media Grup.
12