Anda di halaman 1dari 16

MEDIA MASSA SEBAGAI AGEN IMAJI (Bagian 2)

Makalah Ini dibuat untuk Memenuhi Tugas Kelompok pada


Mata Kuliah Media dan Gender

Dosen Pengampu: Aditya Darma, M.Pd

Disusun Oleh:

Kelompok 8:
Ilmu Komunikasi-Humas 2/Semester 7

Asrie Arianty NIM 0105192041


Khofifah Indah Sari Siregar NIM 0105192066
Galuh Septian Fajri NIM 0105193160

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATRA UTARA
MEDAN
2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum, wr, wb.

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas
berkat dan rahmat-Nya penulis dapat mengerjakan tugas makalah yang berjudul
Media Massa sebagai Agen Imaji (Bagian 2) ini tanpa mengalami hambatan
yang berarti, serta dapat menyelesaikannya dengan baik dan semaksimal
mungkin. Shalawat beriring salam juga penulis sampaikan kepada junjungan kita
Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari alam jahiliyah
menuju peradaban seperti saat ini, yang membuka mata hati kita untuk terus
menuntut ilmu.
Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Dosen Pengampu
mata kuliah Media dan Gender, Aditya Darma, M.Pd yang telah memberikan
didikan dan pengajarannya selama perkuliahan. Harapan penulis semoga makalah
ini nantinya dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca,
dan untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah
agar menjadi lebih baik lagi. Adanya keterbatasan pengetahuan maupun
pengalaman penulis, penulis yakin masih banyak kekurangan dalam materi yang
disajikan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca.

Wassalamualaikum, wr, wb.

Medan, 18 November 2022

Kelompok 8

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... i


DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ....................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 3
A. Konsep Masyarakat Komoditas (Commodity Society) ................................ 3
B. Budaya Tontonan VS Budaya Baca atau Tulis ........................................... 5
C. Simulakra (Simulacrum/Simulacra) ........................................................... 7
D. Kemenangan Imagologi (Dunia Citra) ....................................................... 8
BAB III KESIMPULAN .................................................................................... 10
A. Kesimpulan ............................................................................................. 10
B. Saran ....................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 12

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tidak dapat dipungkiri bahwa media massa telah memiliki andil atau
peranan yang cukup besar dalam segenap aspek kehidupan masyarakat
modern. Maka tidak mengherankan jika media massa disebut telah
menjadi media yang membantu manusia menyebarkan pesan. Ini berarti
bahwa eksistensi media mendatangkan manfaat dalam menunjang banyak
aktivitas manusia. Hal ini juga tampak pada usaha penggunaan media
massa untuk mempercepat proses perubahan sosial di negara berkembang
sebagai media kampanye, politik, propaganda, dan terkhususnya dalam
dunia iklan serta tontonan lainnya. 1
Secara konseptual kita menyadari bahwa salah satu fungsi media ialah
menjembatani dua pihak, misal antara satu komunitas dengan komunitas
lainnya. Namun realitas menunjukkan bahwa media mengalami pergeseran
yang cukup signifikan. Telah menjadi rahasia umum bahwa saat ini media
hanya menjadi sebuah bagian dari kepentingan kapitalis. Fungsi media
kini cenderung lebih mengedepankan fungsi hiburan dan informasi
semata. Itu artinya, fungsi media sebagai sarana pendidikan seakan
terabaikan dan mengalami komodifikasi.
Komodifikasi berhubungan dengan proses transformasi barang dan
jasa beserta nila gunanya menjadi suatu komoditas yang memiliki nilai
tukar di pasar. Dalam masyarakat tontonan, setiap sisi kehidupan dapat
dijadikan sebagai komoditas. Pada masyarakat tontonan, tubuh wanita
sebagai objek tontonan untuk menjual komoditas. Tubuh dijadikan sebagai
suatu komoditas yang memiliki peran yang sangat sentral. Dalam hal ini,
perempuan tanpa sadar bahwa sesungguhnya telah dikonstruksi secara

1
Henry Subiakto, Komunikasi: Politik, Media, dan Demokrasi, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup, 2012) h. 106

1
sosial untuk berada di dunia marjinal yakni dunia objek, dunia citra, dan
dunia komoditas.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mengajukan


rumusan masalah pada penelitian ini yaitu:
1. Bagaimana konsep masyarakat komoditas (commodity society)?
2. Bagaimana budaya tontonan saat ini?
3. Apa itu simulakra?
4. Apa yang dimaksud dengan imagologi?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah untuk mengetahui


penjelasan mengenai konsep masyarakat komoditas (commodity society),
budaya baca atau tulis, simulakra, dan imagologi (dunia citra).

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Masyarakat Komoditas (Commodity Society)

Masyarakat merupakan wadah untuk membentuk kepribadian diri


setiap kelompok manusia atau suku yang berbeda satu dengan yang
lainnya. Selain itu masyarakat adalah kelompok manusia yang tinggal
menetap dalam suatu wilayah yang tidak terlalu jelas batas-batasnya,
berinteraksi menurut kesamaan pola tertentu, diikat oleh suatu harapan dan
kepentingan yang sama, keberadaannya berlangsung terus-menerus,
dengan suatu rasa identitas yang sama.

Dalam bahasa ingris masyarakat disebut society, yang berasal dari


kata Latin “socius” yang berarti teman atau kawan. Kata masyarakat
berasal dari bahasa Arab “syirk” sama-sama menunjuk pada apa yang kita
maksud dengan kata masyarakat, yakni sekelompok orang yang saling
mempengaruhi satu sama lain dalam suatu proses pergaulan, yang
berlangsung secara berkesinambungan. Pergaulan ini terjadi karena adanya
nilai-nilai, norma-norma, cara-cara dan prosedur serta harapan dan
keinginan yang merupakan kebutuhan bersama. Hal-hal yang disebut
terakhir inilah merupakan tali pengikat bagi sekelompok orang yang
disebut masyarakat.2
Sedangkan komoditas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
diartikan sebagai barang perdagangan utama, atau benda niaga lainnya
yang mampu diperjualbelikan sebagai produk impor atau ekspor untuk
mendapatkan keuntungan. Sedangkan dalam bahasa Inggris komoditas
merupakan kata serapan yang diambil dari bahasa Perancis yaitu,
commodity yang bisa diartikan sebagai sesuatu yang memberikan
kesenangan dalam layanan dan juga kualitasnya. Bila disimpulkan secara
umum, komoditas merupakan suatu produk barang yang bisa ditukarkan
atau diperjualbelikan dengan barang lain guna mendapatkan keuntungan

2
Antonius Atosokhi Gea, dkk, Relasi dengan Sesama, (Jakarta: Elex Media Komputindo,
2003), h. 30-31

3
atau nilai yang sama baik yaitu, nilai guna, nilai sosial, hingga fantasi.
Komoditas sendiri dimaknai melalui sistem relasi sosial yang kemudian
menghasilkan persepsi bahwa komoditas tersebut memiliki tambahan yang
melekat di luar fungsi dasarnya.

Komoditas dan komodifikasi merupakan dua hal yang memiliki


hubungan objek dan proses. Komodifikasi (commodification) adalah titik
masuk awal untuk menteorisasikan ekonomi politik komunikasi. Vincent
mendefinisikan komodifikasi sebagai proses mengubah barang dan jasa,
termasuk komunikasi, yang dinilai karena kegunaannya, menjadi
komoditas yang dinilai karena apa yang akan mereka berikan di pasar.

Komodifikasi adalah proses mentransformasikan barang dan jasa yang


pada awalnya dilihat karena nilai gunanya menjadi sesuatu yang dapat
mendatangkan keuntungan atau komoditas yang bernilai. Misalnya
mengubah getah karet yang diolah menjadi sol sepatu atau ban kendaraan
bermotor. Komoditas mungkin muncul dari rentang kebutuhan sosial,
termasuk pemuasan rasa lapar fisik dan bertemu atau bertentangan dengan
kode- kode status dari kelompok sosial tertentu. Selain itu, bertentangan
dengan beberapa interpretasi, nilai guna tidak terbatas untuk memenuhi
kebutuhan bertahan hidup tetapi meluas ke rentang penggunaan yang
dibentuk secara sosial.
Secara umum, ada tiga tipe komodifikasi yang penting bagi
komunikasi: komodifikasi isi, komodifikasi khalayak, komodifikasi tenaga
kerja:3
1. K
omodifikasi isi yang menjadi pusat perhatian kajian ekonomi politik
media dan komunikasi. Ketika pesan atau isi komunikasi diperlakukan
sebagai komoditas, ekonomi politik cenderung memusatkan kajian
pada konten media dan kurang pada khalayak media dan tenaga kerja
yang terlibat dalam produksi media.
2. K

3
Vincent Mosco, The Political Economy of Communication, (London: Sage Publication,
2009), h. 52

4
omodifikasi khalayak. Selain pada isi, komodifikasi juga diterapkan
pada khalayak. Ekonomi politik menaruh beberapa perhatian pada
khalayak, khususnya dalam upaya untuk memahami praktik umum
dengan cara para pengiklan membayar untuk ukuran dan kualitas
(kecenderungan untuk konsumsi) khalayak yang dapat diraih surat
kabar, majalah, website, radio, atau program televisi.
3. K
omodifikasi tenaga kerja untuk mengkaji proses komodifikasi isi dan
khalayak media, penting untuk mempertimbangkan komodifikasi
tenaga kerja media. Tenaga pekerja komunikasi yang juga
dikomodifikasi sebagai buruh upahan telah tumbuh secara signifikan
di pasar media.

B. Budaya Tontonan VS Budaya Baca atau Tulis

Seiring berkembangnya zaman, budaya baca tulis kini sudah berganti


menjadi budaya tontonan terlebih lagi penggunaan media massa visual
yang kini sudah marak digunakan. Pada masyarakat tontonan (society of
spectacle), perempuan berfungsi dominan sebagai pembentuk citra
(image) dan tanda (sign) berbagai komoditas (misalnya salesgirl,
covergirl dan modelgirl). Menurut Guy Debord, masyarakat tontonan
adalah masyarakat yang dalam dirinya setiap sisi kehidupan menjadi
komoditas. Setiap komoditas itu menjadi tontonan‖. Dalam masyarakat
tontotan, tubuh wanita sebagai objek tontonan untuk menjual komoditas
atau tubuh itu sendiri sebagai suatu komoditas tontonan mempunyai peran
yang sangat sentral.
Menjadikan tubuh sebagai tontonan bagi sebagian perempuan adalah
jembatan atau jalan pintas untuk masuk ke dunia populer, meraih
popularitas, mengejar gaya hidup, dan buat mencapai kepuasan material.
Dalam kondisi ini, perempuan tanpa menyadari sesungguhnya mereka
telah dikonstruksi secara sosial untuk berada di dunia marjinal yakni dunia
objek, dunia citra, dan dunia komoditas. Karena pencitraan perempuan
dalam masyarakat tontonan seperti itu, kerap media massa khususnya TV,

5
dituduh hanya menampilkan perempuan sebagai pemikat biologis semata.
Inilah yang acapkali dilontarkan kaum feminis sebagai kritikan kepada
media massa.
Media massa berfungsi menyampaikan fakta. Karena itu, gambaran
perempuan dalam media massa merupakan cermin realitas yang ada dalam
masyarakatnya. Di dalam media, perempuan dan tubuhnya digunakan di
dalam berbagai aktivitas ekonomi berdasarkan konstruksi sosial. Tubuh
perempuan yang di potong-potong (menjadi hanya betis, atau kaki, atau
dada, atau punggung, atau pinggul, atau rambut, atau bibir) dan diproduksi
menjadi tanda-tanda (signs) akan membentuk citra (image), makna
(meaning) dan identitas (identity) mereka di dalamnya. Tanda dan citra
itulah yang kemudian menjadikan perempuan sebagai obyek hasrat
(desire) untuk memiliki demi mencapai kepuasan.
Prabasmoro menggambarkan tentang bagaimana potongan tubuh
perempuan hanya potongan tanda yang menjadi komoditas: Seksualitas
perempuan juga dikomodifikasi. Banyak produk yang sama sekali tidak
ada hubungannya dengan tubuh perempuan, menampilkan tubuh
perempuan semata-mata karena tubuh perempuan merupakan nilai jual
(selling point) bagi produk itu.4 Penggunaan tubuh dan representasi tubuh
dalam media tidak saja menyangkut relasi ekonomi, tetapi juga relasi
sosial dan relasi ideologi. Komodifikasi tubuh perempuan menjadi sebuah
persoalan ideologi ketika penggunaan tubuhnya dalam iklan sebagai
sebuah relasi ekonomi dilandasi dan digambarkan dalam relasi sosialnya
pasif, berada dalam posisi subordinasi dan menjadi objek eksploitasi
kelompok dominan saja.
Bila perempuan mampu berada dalam posisi subjek yang aktif dan
tidak hanya menjadi objek pasif saja, maka bisa jadi bahwa perempuan
sebenarnya berkuasa atas dirinya sendiri dan berperan aktif menentukan
citra, makna dan identitas dirinya. Menurut Lacan, jika perempuan
menggunakan tubuhnya untuk membebaskan hasratnya dan bermain-main
(jouissance) maka bisa jadi perempuan otonom berperan aktif
4
Aquarini Priyatna Prabasmoro, Kajian Budaya Feminis,Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop,
(Yogyakarta: Jalasutra, 2006), h. 34

6
membebaskan tubuhnya. Karenanya, bagi para pengkaji cultural studies,
persoalannya bukan terletak pada benar tidaknya representasi citra
perempuan dalam media tetapi pada sejauhmana perempuan mampu
menjadi subjek sebagai penentu konstruksi.
Keberadaan perempuan dalam iklan sah-sah saja sepanjang kreatornya
tidak menghadirkan bad taste advertising. Makna bad taste advertising itu
sendiri bisa sangat luas, termasuk jangan melewati batas, dalam arti tidak
terjebak pada over-exposure, over-signification dan over-imagination.

C. Simulakra (Simulacrum/Simulacra)

Pemikiran yang disampaikan oleh Jean Baudrillard berangkat pada


teori simulacra terlebih dahulu, dimulai dari simultan penampakan atau
wajah baru dan kebudayaannya, di dalam bukunya, Simulation,
Baudrillard membagi tiga tahapan perubahan penampakan (appearance)
wajah dunia. Tahap awal simulacrum dapat disebut sebagai “modernitas
awal”, tahap kedua disebut “modernitas”, dan ketiga “postmodernitas”.
Tingkatan pertama adalah simulacra yang berlangsung sejak era
Renaissance hingga permulaan revolusi industri. Pada tingkatan ini,
bahasa, tanda dan objek adalah representasi dari realitas alamiah dan mulai
membentuk yang imaginasi (tiruannya), sekaligus memiliki sifat
transenden. Representasi tersebut masih mempunyai jarak dan perbedaan
dengan realitas alamiah tersebut. Sebagai contoh: karya seni, misalnya,
masih dibuat berdasarkan representasi dengan realitas alamiah atau realitas
transenden. Lukisan-lukisan berusaha menggambarkan realitas alamiah,
yang walau tidak sama persis dengan realitas, namun merepresentasikan
realitas. Di sana ada sifat transendensi yang dihasilkan.
Simulacra tingkat kedua, berlangsung seiring perkembangan era
industrialisasi. Pada tingkatan ini terjadi pergeseran mekanisme
representasi akibat berbagai dampak negatif industrialisasi. Pada tingkatan
ini berlaku mekanisme representasi berkat teknologi reproduksi dan segala
bentuk materialisasi oleh kekuatan mesin, yakni objek tiruan tidak lagi
mempunyai jarak dengan objek yang asli. Lukisan, misalnya, kini diganti

7
dengan foto, yang memiliki keserupaan dengan objek aslinya. Mekanisme
representasi pada tingkat ini merupakan mekanisme reproduksi material
yang kehilangan aura transendensinya.
Simulacra pada tingkat ini sering disebut Baudrillard sebagai stadium
akhir dari simulasi, yang mana, terjadi berkat dampak perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi informasi, media massa, komunikasi global dan
konsumerisme. Pada tingkatan ini simulacra merupakan wujud silang
antara tanda dan kode budaya, yang tidak lagi mempunyai representasinya
atas realitas. Simulacra tingkat ini yang dinamakan secara khusus sebagai
“simulasi”. Dengan kata lain, menurut Baudrillard, kita telah bergerak dari
meniru benda-benda real (periode Renaissance dan simulacra tingkat
pertama), lalu memproduksi barang-barang real (kapitalisme konsumen
atau simulacra tingkat kedua), ke mereproduksi proses peniruan itu sendiri
(simulasi).

D. Kemenangan Imagologi (Dunia Citra)

Secara kata imagologi dapat diartikan sebagai gabungan kata imago


yang berarti gambar dan logos yang berarti kata sehingga secara sederhana
dapat diartikan sebagai paduan kata dan gambar yang berjalin sedemikian
rupa membentuk narasi medium (teks). Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia imagologi berarti imaji atau citra yaitu gambaran yang dimiliki
orang banyak mengenai pribadi, perusahaan,organisasi, atau produk.
Kemudian, imagologi juga diartikan sebagai bentuk transformasi atau
tiruan dari suatu imajinasi atau pikiran yang merupakan sistem produksi
halusinasi yang dipercaya sebagai sistem pengetahuan publik. Berdasarkan
beberapa definisi mengenai imagologi tersebut maka dapat diberikan suatu
konsep mengenai imagologi. Adapun konsep yang dimaksud ialah bahwa
imagologi merupakan suatu strategi rekayasa teks yang menggunakan
perangkat simbol dan didasari pula oleh tranformasi imajinasi atau pikiran
yang dipercaya sebagai sistem pengetahuan di masyarakat.
Dapat disimpulkan bahwasanya imagologi adalah istilah sentral di
dalam masyarakat berupa informasi yang digunakan untuk menjelaskan

8
ilmu tentang citra atau imaji serta peran sentral teknologi informasi dalam
membentuk citra tersebut. Perkembangan imagologi tidak dapat dilepaskan
dari perkembangan teknologi pencitraan mutakhir, seperti televisi, video,
internet, surveillance, satelit, dan realitas virtual yang mencipatakan
sebuah dunia yang di dalamnya aspek kehidupan setiap orang sangat
bergantung pada dunia citraan. Imagologi adalah penggunaan citra-citra
tertentu untuk menciptakan imaji tentang realitas yang pada titik tertentu
dianggap merupakan realitas itu sendiri.
Hampir tidak ada kegiatan manusia kontemporer, baik kegiatan dalam
bidang ekonomi (iklan, komoditi), politik (kampanye, propaganda),
hukum (pengadilan, penyidikan), sosial (rapat, bermain), keagamaan
(dakwah), maupun kebudayaan (hiburan, tontonan) yang tidak
menggunakan unsur-unsur visual dan citraan. Di era informasi dan digital
dewasa ini hampir tidak ada bidang kehidupan (sosial, politik, ekonomi,
budaya) imagologi tidak dapat bisa berlangsung tanpa peran teknologi
informasi di dalamnya. Perkembangan teknologi informasi mutakhir, baik
disadari maupun tidak telah mengkondisikan masyarakat kontemporer
untuk hidup di dalam dunia yang didominasi oleh unsur citraan (image),
khususnya apa yang disebut dengan citra visual (visual image). Dominasi
dunia citraan dan visual tersebut telah merubah cara komunikasi, interaksi,
dan interelasi antar manusia yang kini sangat bergantung pada keberadaan
citraan dan media visual tersebut.

9
BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan mengenai meda massa sebagai agen maji


(bagian 2), maka dapat diambil kesimpulan bahwa penggunaan media
massa media massa digunakan mempercepat proses perubahan sosial di
negara berkembang sebagai media kampanye, politik, propaganda, dan
terkhususnya dalam dunia iklan serta tontonan lainnya. Namun, saat ini
fungsi media cenderung lebih mengedepankan fungsi hiburan dan
informasi semata. Itu artinya, fungsi media sebagai sarana pendidikan
seakan terabaikan dan mengalami komodifikasi. Pada masyarakat
tontonan, tubuh wanita sebagai objek tontonan untuk menjual komoditas.
Tubuh dijadikan sebagai suatu komoditas yang memiliki peran yang
sangat sentral. Dalam hal ini, perempuan tanpa sadar bahwa sesungguhnya
telah dikonstruksi secara sosial untuk berada di dunia marjinal yakni dunia
objek, dunia citra, dan dunia komoditas. Pada masyarakat tontonan
(society of spectacle), perempuan berfungsi dominan sebagai pembentuk
citra (image) dan tanda (sign) berbagai komoditas (misalnya salesgirl,
covergirl dan modelgirl). Dalam konteks ini, media dapat digunakan
sebagai bekal untuk masuk ke dalam arena perjuangan tanda dimana
perempuan harus mampu merebut makna. Hal ini perlu dilakukan agar
yang berhubungan dengan perempuan tidak lagi ditempatkan dalam posisi
marjinal terus menerus. Bahwa perjuangan gender adalah perjuangan
mengubah relasi memandang dan dipandang. Artinya, perempuan tidak
boleh lagi dipandang ke dalam hal objek komodifikasi, karena dengan
demikian ia punya komitmen atas perubahan yang lebih baik bagi dunia
dan peletakan sejarahnya sendiri.

B. Saran

Dalam penulisan makalah ini, penulis mengharapkan makalah ini


dapat bermanfaat sebagai media pembelajaran untuk Mahasiswa/I program

10
studi Ilmu Komunikasi. Penulis tidak dapat memungkiri bahwasannya
masih terdapat banyak sekali kekurangan dari penulisan makalah ini, maka
diharapkan penulis dapat lebih efektif lagi dalam menuliskan makalah.
Maka untuk itu, penulis menyampaikan permintaan maaf dan terima kasih
kepada seluruh pihak yang membaca.

11
DAFTAR PUSTAKA

Atokshoki Gea, A., & dkk. (2003). Relasi dengan Sesama. Jakarta: Elex Media
Komputindo.
Mosco, V. (2009). The Political Economy of Communication. London: Sage
Publication.
Prabasmoro, A. P. (2006). Kajian Budaya Feminis,Tubuh, Sastra, dan Budaya
Pop. Yogyakarta: Jalasutra.
Subiakto, H. (2012). Komunikasi: Politik, Media, dan Demokrasi. Jakarta:
Kencana Prenada Media Grup.

12

Anda mungkin juga menyukai