PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Administrasi Negara (publick administration) pada dewasa ini telah diberikan arti yang
lebih dari sekedar pengertian tradisional. Dewasa ini tidaklah mudah mendefiniskan
“administrasi publik”. Ada tiga alasan pokok. Pertama, karena begitu banyak definisi
Administrasi Publik. Bahkan The Liang Gie (1981), berhasil menginventarisir 45 definisi
administrasi publik. Kerumitan semakin bertambah karena istilah ini berasal dari bahasa inggris,
yaitu public administration, di mana tidak ada kesepakatan atau ketunggalan dalam
penerjemahan ke bahasa Indonesia. Kamus Inggris-Indonesia yang paling banyak digunakan di
Indonesia karya John M. Enchols dan Hasan Shadily, bahkan menerjemahkan “public
administration” sebagai “ilmu ketataprajaan, ilmu usaha negara, administrasi pemerintahan atau
negara”.
Kedua, kalaupun public administration “hanya” dianggap sebagai “ilmu usaha negara”, maka
urusan “negara” di hari ini berkembang dibanding “negara di masa lalu”. Negara bahkan
membentuk berbagai organisasi yang tidak diurus dengan “cara negara” saja. Hal ini ditunjukkan
dalam bentuk adanya Badan-Badan Usaha Milik Negara (baik yang dikelola negara maupun
bukan oleh negara, lembaga-lembaga kemitraan antara negara dan sektor masyarakat yang
berupa quast government organization.
Output dari administrasi negara bukan saja sesuatu yang mengatur kehidupan bersama warganya,
namun untuk membangun kemampuan organisasi di dalam lingkup nasional untuk menjadi
organisasi-organisasi yang mampu bersaing dengan kapasitas global.
Ketiga, administrasi negara semakin menemui kenyataan akan kompleksitas sebagai akibat
keluasan dan kerumitan di dalam misinya dengan munculnya konsep Good Governance. Istilah
ini diindonesiakan oleh Lembaga Administrasi Negara sebagai “Kepemerintahan yang Baik”
(LAN, 2000). Kepemerintahan yang baik menjadi isu terdepan dalam penyelenggaraan
kehidupan negara. Masyarakat semakin menuntut pemerintah untuk menyelenggarakan
kepemerintahan yang baik sejalan dengan semakin tingginya tingkat pengetahuan dan
kompetensi masyarakat.
1
Van Meter dan Van Horn dalam Budi Winarno (2005:102) mendefinisikan implementasi
kebijakan publik sebagai: ”Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh organisasi publik yang
diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan
sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-
keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam
rangka melanjutkan usah-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan besar dan kecil yang
ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan”.
Tahap implementasi kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan dan sasaran ditetapkan terlebih
dahulu yang dilakukan oleh formulasi kebijakan. Dengan demikian, tahap implementasi
kebijakan terjadi hanya setelah undang-undang ditetapkan dan dana disediakan untuk membiayai
implementasi kebijakan tersebut.
2
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian Administrasi Publik
2. Defenisi Konsep Kebijakan Publik dan Perumusan Kebijakan Publik
3. Pengertian Implementasi Publik
1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Administrasi Kebijkan Publik
2. Untuk dapat mengetahui Defenisi konsep Kebijakan Publik dan Perumusan
Kebijakan Publik
3. Untuk mengetahui proses implementasi Publik, Model-model dan Faktor-faktor
yang mempengaruhi Implementasi Publik.
3
BAB II
PEMBAHASAN
B. BIROKRASI
Menurut Pfifner dan Pesthus (1950), administrasi publik adalah kegiatan yang berkenaan dengan
implementasi kebijakan publik yang telah dibuat sebelumnya oleh lembaga-lembaga perwakilan
politik. Jadi, administrasi publik dapat didefinisikan sebagai koordinasi dari upaya individu dan
kelompok untuk menjalankan kebijakan publik yang berarti menyangkut kegiatan sehari-hari
dari sebuah pemerintah (government).
Gordon (1986) mendefiniskan administrasi publik adalah segala proses, organisasi dan individu
yang berkenaan dengan implementasi peraturan yang dibuat atau diterima oleh legislatif,
eksekutif, dan yudikatif atau kehakiman.
4
Administrasi publik, seperti yang dirumuskan oleh Pfiffner dan Presthus (1967), adalah sebuah
disiplin ilmu yang terutama mengkaji cara-cara untuk mengimplementasikan nilai-nilai politik.
Hal tersebut sejalan dengan gagasan awal Woodrow Wilson (1887) yang dianggap sebagai orang
yang membidani lahirnya ilmu administrasi publik modern di Amerika Serikat. Ia
mengemukakan bahwa disiplin administrasi publik merupakan produk perkembangan ilmu
politik, namun Wilson mengusulkan adanya pemisahan disiplin administrasi dari ilmu politik.
Gagasan ini kemudian dikenal sebagai dikotomi politik-administrasi.
Ilmu administrasi publik, menurut Wilson, berkaitan dengan dua hal utama, yaitu:
1. What government can properly and successfully do?
2. How it can do these proper things with the utmost possible efficiency and at the least possible
cost either of money or of energy?
Bertolak dari gagasan dasar tersebut, dapat diyakini bahwa administrasi publik dapat berperan
positif dalam mengawal proses demokratisasi sampai pada tujuan yang dicita-citakan, karena
pada dasarnya administrasi publik berurusan dengan persoalan bagaimana menentukan to do the
right things dan to do the things right. Dengan kata yang berbeda, administrasi publik bukan saja
berususan dengan cara-cara yang efisien untuk melakukan proses demokratisasi, melainkan juga
mempunyai kemampuan dalam menentukan tujuan proses demokratisasi itu sendiri, terutama
dalam bentuk penyelenggaraan pelayanan publik secara efektif sebagai wujud dari penjaminan
hak-hak konstitusional seluruh warga negara.
Persoalannya sekarang adalah, mungkinkah para administrator publik dapat menjadi tulang
punggung bagi proses demokratisasi? Jawaban empirik terhadap pertanyaan tersebut mempunyai
dua versi. Dalam satu situasi, peran para administrator publik dalam menyelesaikan berbagai
masalah yang berkaitan dengan demokratisasi cukup signifikan. Di Taiwan, misalnya, seperti
juga di beberapa negara sedang berkembang lain, pemerintah berurusan dengan masalah
dilematis bagaimana merekonsiliasi pertentangan antara budaya tradisional, kultur demokrasi
baru dan industrialisasi sebagai usaha negara membangun ekonomi. Untuk menghadapi
persoalan tersebut, para ahli administrasi publik membantu para pengambil keputusan di Taiwan
untuk menyelesaikan reformasi administratif yang kompleks dengan menggunakan pendekatan
perencanaan strategis (Sun dan Gargan, 1996).
5
Mengenai peran administrasi publik tersebut, O’Toole (1997) membuat kesimpulan bahwa
administrasi publik yang berkembang saat ini sangat mendukung proses demokratisasi, karena
sudah tidak terlalu hirarkis dan parokial, tetapi lebih mirip sebuah jaringan (network).
Kecenderungan ini mempunyai implikasi yang sangat penting dan positif terhadap
perkembangan demokrasi, termasuk tanggungjawab yang berubah terhadap kepentingan publik;
terhadap pemenuhan prefrensi publik, dan terhadap perluasan liberalisasi politik, kewargaan, dan
tingkat kepercayaan publik. Administrasi publik yang berbentuk jaringan dapat mengatasi
hambatan menuju pengelolaan yang demokratik, dan dapat membuka kemungkinan untuk
memperkuat pemerintahan yang bergantung kepada nilai-nilai dan tindakan-tindakan
administrasi publik. Hal tersebut dikemukakan O’Toole dalam rangka mengenang Dwight
Waldo yang juga pernah mengemukakan, bahwa jika administrasi adalah inti dari pemerintahan,
maka teori demokrasi harus pula mencakup administrasi.
Dalam situasi lain, administrator publik tidak dapat diharapkan menjadi katalisator proses
demokratisasi. Di negara-negara Afrika sub-sahara, seperti juga di tempat lain, ketika rezim
militer menguasai pemerintahan, mereka memerintah dengan komando; melarang partai-partai
politik, membekukan konstitusi, dan melumpuhkan lembaga-lembaga legislatif. Sebagai
akibatnya, tidak ada saluran institusi politik bagi warganegara pada proses pengambilan
keputusan. Penguasa militer biasanya memperoleh input bagi proses perumusan dan
pengambilan keputusan dengan cara mengangkat elit politik sipil. Hal tersebut dilakukan sebagai
respons terhadap tuntutan transisi kepada pihak sipil dan sebagai teknik politik untuk melakukan
proses sipilisasi rezim militer. Pengalaman empirik menunjukkan, bahwa keterlibatan sipil dalam
rejim militer merupakan prediktor bahwa rezim tersebut akan mengikuti aturan-aturan militer
dan bukan sebaliknya. Dalam konteks inilah administrasi publik tidak kondusif bagi proses
kristalisasi demokrasi, tetapi malah sebaliknya, dapat menjadi katalisator bagi pelanggengan
pemerintahan lama yang otoriter. Dalam banyak hal, reformasi politik yang bergulir sampai saat
ini, sekali lagi tampak berada dalam jalur yang benar. Yang dibutuhkan adalah kesabaran untuk
bertahan dan konsistensi untuk melakukan langkah-langkah sistematik yang diperlukan.
6
Proses demokratisasi di Indonesia tidak hanya diuji melalui pemilihan presiden secara langsung,
namun terutama ditantang untuk mampu keluar dari berbagai masalah agar dapat memenangkan
pertarungan dengan bangsa-bangsa lain.
Dari apa yang telah dikemukakan di atas, administrasi publik dapat menempati tempat di jantung
gerakan demokratisasi politik, asal memenuhi paling tidak tiga persyaratan. Pertama, mampu
melakukan perencanaan strategis yang menyeluruh seperti yang dilakukan di Taiwan seperti
yang dikemukakan Sun dan Gargan. Kedua, mempunyai struktur organisasi yang tidak terlalu
hirarkis dan parokial seperti yang dikemukakan O’Toole. Ketiga, membebaskan diri dari
pendekatan dan kultur militeristik dalam melakukan pelayanan publik. Mengenai perencanaan
strategis, Indonesia mempunyai pengalaman dan institusi perencanaan seperti Bappenas di
tingkat pusat, dan Bappeda di tingkat daerah. Yang diperlukan adalah revitalisasi dan reposisi
fungsi-fungsi institusional yang disesuaikan dengan konteks demokrasi yang dikehendaki.
Mekanisme perencanaan bottom-up dapat terus dijalankan bukan sekedar basa-basi atau mencari
legitimasi. Untuk dua syarat yang terakhir, struktur dan kultur birokrasi, masih membutuhkan
kesabaran dan ketekunan untuk melakukan perubahan secara inkremental untuk mengurangi
(jika tidak dapat menghindari) biaya sosial, politik, dan ekonomi yang tinggi. Dalam kaitan
dengan ini, pembicaraan mengenai isu reformasi administrasi publik tetap memiliki relevansi.
Pertanyaan berikutnya adalah reformasi ke arah mana?
Uraian di atas paling tidak merupakan sebuah isyarat ke arah mana reformasi administrasi publik
harus menuju. Salah satu gerakan reformasi administrasi publik yang juga sempat populer di
awal 90-an muncul dalam kemasan ‘reinventing government’ yang berakar pada tradisi dan
perspektif New Public Management yang merupakan kristalisasi dari praktek administrasi publik
di Amerika Serikat. Para pendukung gerakan ini berpendapat, bahwa institusi-institusi
administratif yang didirikan dalam kerangka birokrasi dengan model komando dan pengawasan
telah berubah secara signifikan selama abad ke 20, dan harus terus diubah. Birokrasi jenis ini
tidak lagi efektif, efisien dan sudah ketinggalan zaman dalam tatanan ekonomi-politik dunia
yang semakin mengglobal. Oleh karena itu birokrasi di Amerika Serikat harus melakukan
reformasi institusi administrasi publik agar lebih memiliki karakter kewirausahaan.
7
Apakah reformasi administrasi publik seperti ini layak menjadi model bagi reformasi
administrasi publik di tanah air?
Tampaknya perlu disimak lebih cermat hasil-hasil penelitian di balik hingar-bingarnya konsep
reinventing government. Wolf (1997), dengan menggunakan meta-analisis terhadap 170 studi
kasus dari 104 biro federal, menyimpulkan bahwa jalan menuju efektivitas birokrasi dari biro-
biro pemerintah federal tidaklah mengalami perubahan; tiada berkesudahan dan lebih bersifat
politis daripada kisah reinventing government seperti yang umumnya dipercaya orang. Kritik
terhadap pendekatan kewirausahaan administrasi publik juga ditunjukkan oleh Cope (1997) yang
menyorotinya dari sudut responsivitas politik. Ia berpendapat, bahwa banyak konsep dan teknik
yang berhubungan dengan reformasi birokrasi sekarang ini (baca: reinventing government) sarat
dengan berbagai implikasi negatif terhadap responsivitas politik.
Ada empat kesimpulan yang dihasilkan penelitiannya.
1. Pertama, review terhadap unjuk kerja pegawai memang mampu memperkuat birokrasi dan
para pejabat terpilih, namun ternyata cenderung memperlemah responsivitas politik para
administrator publik tersebut.
2. Kedua, dengan mengadopsi pendekatan kewirausahaan terhadap sistem keuangan publik,
memang ada peluang untuk meningkatkan jumlah pendapatan, namun hal tersebut cenderung
mengurangi tingkat responsivitas politik.
3. Ketiga, penekanan terhadap pelayanan pelanggan tidak serta merta meningkatkan
responsivitas politik, karena dalam prakteknya hal itu ternyata berarti hanya memperhatikan
kepentingan individu-individu tertentu; padahal pelayanan kepada masyarakat seharusnya
ditujukan untuk meningkatkan responsivitas kepada publik tanpa diskriminasi.
4. Keempat, kemitraan sektor publik dengan swasta yang ditawarkan oleh model reinventing
government, dalam prakteknya ternyata menimbulkan masalah etik. Khusus mengenai masalah
etik, Ghere (1997) menyimpulkan bahwa dalam gema ‘reinventing government’, ada indikasi
bahwa etika administrasi publik terlupakan. Ia melakukan studi kasus tentang kemitraan antara
‘county government’ (setingkat kecamatan) dengan ‘local chamber of commerce’ (Kadin-
daerah) dari dua perspektif, standar moral pribadi para pelaku dan etika kebijakan institusional.
Studi kasus ini memperlihatkan adanya penyalahgunaan keuangan publik dalam kemitraan dua
lembaga tersebut. Jika di tempat kelahirannya saja, model yang ditawarkan secara global tersebut
sarat dengan masalah,
8
haruskah kita latah menggunakan pendekatan yang sama tanpa kajian seksama?
Model alternatif reformasi administrasi publik yang mendukung proses kristalisasi demokrasi
adalah model Korea Selatan seperti yang digambarkan oleh Jung (1996). Bagi masyarakat Korea
Selatan, reformasi aparat atau para pejabat administratif bukanlah merupakan isu utama. Mereka
lebih tertarik pada dua hal; proses demokratisasi politik dan teknik penyaluran langsung ‘public
goods and services’ kepada rakyat. Dari praktek menunjukkan bahwa, baik proses demokratisasi
politik maupun kualitas dan kuantitas pelayanan pemerintah, pada kenyataannya sangat
tergantung pada sistem administrasi publik. Oleh karena itu, reformasi administratif yang dibuat
Kim Young-Sam yang merupakan pemerintahan sipil pertama setelah 30 tahun rezim militer,
mempunyai dampak yang sangat besar terhadap dua hal. Pertama, tumbuhnya ekonomi Korea
Selatan. Kedua, meningkatnya menambah legitimasi negara di depan rakyat, meskipun
pemerintahan Kim adalah regim sipil yang dibentuk melalui prosedur demokratik oleh politisi-
politisi sipil. Dari kasus Korea, orang paling tidak dapat belajar tiga hal. Pertama, menempatkan
reformasi administrasi publik dalam agenda politik merupakan langkah yang strategis. Kedua,
proses demokratisasi selain menjadi tujuan, juga menjadi sarana bagi tujuan yang lebih utama,
menyelenggarakan pelayanan publik. Ketiga, memperbaiki sikap aparat merupakan hal yang
baik, namun lebih penting membangun sistem yang memungkinkan aparat bertindak baik.
Keempat, legitimasi negara di depan rakyat tidak selalu harus ditegakkan dengan senjata. Orang
sipil pun mampu memimpin dan mengurus negara. Model manakah yang tepat untuk Indonesia?
Kiranya perlu dikaji lebih teliti, karena apa yang berhasil di tempat lain, belum pasti tepat untuk
diadopsi. Sebaliknya, jika sudah ada orang yang pernah melakukannya, mengapa harus mulai
dari awal just to reinvent the wheel?
Beberapa rekomendasi terinspirasi oleh prinsip-prinsip revitalisasi konsep publik yang, disertai
dengan usaha untuk melebarkan pandangan melalui komparasi dengan pengalaman bangsa lain,
serta dengan melakukan kontemplasi teoritik, penulis mencoba mengajukan beberapa
rekomendasi yang mungkin berguna untuk melakukan reformasi administrasi publik di
Indonesia, yang tidak hanya diarahkan untuk mendukung proses demokratisasi, namun juga
dalam rangka memberikan pelayanan terbaik bagi rakyat tanpa diskriminasi, baik secara politik,
etnik, kelas sosial, agama, maupun kelompok budaya. Secara substansial reformasi administrasi
publik harus diarahkan pada revitalisasi konsep publik, yang berlandas pada kepatuhan terhadap
9
konstitusi, pemahaman tentang virtuous citizen, pemahaman tentang kepentingan publik, dan
pemahaman tentang kebajikan dan kasih. Belajar dari Korea Selatan, secara formal reformasi
administrasi publik harus diarahkan pertama-tama dan terutama pada pembangunan sistemik
yang menyangkut perubahan struktur administrasi, pengembangan kultur baru, penetapan
prosedur-prosedur kerja, dan bukan pada aparatnya.
Namun demikian, hal ini tidak berarti bahwa reformasi administrasi tidak perlu menyentuh
pengembangan manusia yang harus bekerja di dalam sistem. Ini adalah tugas pendidikan
administrasi publik.
Dalam hal ini berlaku prinsip, the first things first. Investasi waktu, uang dan energi untuk
membangun sistem yang memungkinkan orang biasa dapat bekerja baik, selalu lebih baik dari
pada melakukan investasi untuk mengembangkan orang-orang hebat untuk bekerja dalam sistem
yang buruk. Mengenai pilihan ini, ada pengalaman menarik. Ketika seorang mahasiswa ditanya
apakah dia akan korupsi jika nanti menjadi pejabat publik. Dia menjawab, ”... tidak janji, Pak.”
Ketika ditanya lagi mengapa? Sambil berkelakar dia membalas, ”...kalaupun malaikat dari surga
disuruh jadi pegawai negeri di Indonesia, dia pasti korupsi juga, apalagi saya. Kecuali jika ada
yang mampu mengubah keadaan di bumi Indonesia seperti di dalam surga...” Sebuah kelakar
yang sungguh tidak lucu, namun memberi inspirasi dari mana reformasi administrasi publik
harus dimulai, jika tidak ingin menempatkan anak-anak muda yang penuh idealisme dan
kesungguhan bekerja, dalam lingkungan yang menjadikan mereka apatis.
10
bahwa birokrasi cenderung lebih mementingkan prosedur daripada substansi, lamban dan
menghambat kemajuan. Benarkah demikian ?
11
8. Terdapat suatu struktur karier dan kenaikan pangkat adalah yang mungkin baik melalui
senioritas ataupun prestasi dan sesuai dengan penilaian para atasan.
9. Pejabat tidak boleh mengambil kedudukannya sebagai miliknya pribadi begitu pula sumber-
sumber yang menyertai kedudukan itu.
10. Pejabat tunduk kepada pengendalian yang dipersatujan dan sistem disipliner.
Dalam memahami domain pemerintahan di dalam administrasi publik, ada dua hal yang menjadi
acuan, yaitu :
1. isu yang dibahas adalah Kebijakan Publik.
2. aktor terpenting dalam kebijakan publik adalah pemerintah. Namun, pemerintah dalam hal ini
identik dengan organisasi publik di dalam makna negara.
Menurut konsep demokrasi modern, kebijakan publik tidaklah hanya berisi cetusan pikiran atau
pendapat para pejabat yang mewakili rakyat, tetapi opini publik (public opinion) juga nenpunyai
porsi yang sama besarnya untuk diisikan (tercermin) dalam kebijakan-kebijakan negara. Setiap
kebijakan negara harus selalu berorientasi pada kepentingan publik (public interest).
Kebijakan (policy) diberi arti yang bermacam-macam. Harold D. Lasswell dan Abraham Haplan
memberi arti kebijakan sebagai a project program of goals, values and practices .
1. Carl J. Friedrick mendefinisikan kebijakan sebagai “ ... a porposed course of action of a
person, a group, or government within a given environment providing obstacles and
opportunities which the policy was proposed to utilize and overcome in an effort to reach a goal
or realize an objective or a propose ”.
2. Amara Raksasataya mengemukakan kebijakan sebagai suatu taktik dan strategi yang
diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu, suatu kebijakan memuat tiga element,
yaitu :
1). Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai
2). Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan
3). Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau
strategi.
3. Donald F. Kettl mengemukakan bahwa memasuki milenium ketiga, administrasi publik
menghadapi empat isu kritikal. Pertama, struktur yang berkenaan dengan tantangan menguatnya
12
swasta dan menyusutnya pemerintah. Kedua, berkenaan dengan proses administrasi publik, yaitu
yang memperhadapkan kenyataan bahwa sumber defisit terbesar di setiap negara adalah proses
penyelenggaraan administrasi publik. Ketiga, tentang nilai, yang antara lain berkenaan dengan
munculnya ikon entrepeneurial government. Keempat, kapasitas, yaitu memanajeni urusan-
urusan publik. Dan tambahan adalah kebijakan publik.
4. Kebijakan (Wilson, 1887) dapat diartikan sebagai seperangkat aksi atau rencana yang
mengandung tujuan politik dan mempunyai pengaruh yang sangat luas. Dengan demikian, yang
dimaksud dengan ilmu kebijakan adalah ilmu yang menjelaskan proses pembuatan kebijakan
atau menyediakan data yang dibutuhkan dalam membuat keputusan yang rasional terkait dengan
persoalan tertentu. Ilmu kebijakan (Lasswell, 1951) mencakup tiga hal, yaitu metode penelitian
proses kebijakan, hasil dari studi kebijakan, dan hasil temuan penelitian yang memberikan
kontribusi paling penting untuk memenuhi kebutuhan intelegensi.
5. Pandangan ilmu kebijakan (Lasswell, 1970) mengandung ciri khas, yakni a) Berorientasi
persoalan; b) Harus multidisipliner dan melibatkan sintesis dari berbagai ide dan teknik
penelitian (multimetode); dan c) Harus menciptakan kreativitas dalam menganalisis persoalan.
Selanjutnya Lasswell menyatakan bahwa ilmu kebijakan menggunakan dua pendekatan yang
dapat didefinisikan dalam term pengetahuan dalam proses politik dan pengetahuan tentang
proses politik, artinya a) Analisis kebijakan berkaitan dengan pengetahuan dalam, dan untuk,
proses politik, dan; b) Analisis proses kebijakan berkaitan dengan pengetahuan tentang formasi
dan implementasi kebijakan publik.
13
2.2 DEFENISI KONSEP KEBIJAKAN PUBLIK
Sama halnya dengan adanya berbagai definisi policy, maka definisi dan konsep kebijakan
publik pun beragam.
1. Kesederhana kebijakan seringkali diartikan sebagai sebuah tindakan yang dilakukan oleh
pemegang kewenangan untuk memastikan tujuan-tujuan yang sudah dirumuskan dan disepakati
oeh publik bisa tercapai. Oleh karena itu, harus dipastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil
semestinya benar-benar mampu mewujudkan seluruh hasrat kepentingan dan tujuan-tujuan
publik tersebut secara optimal.
14
4. Kebijakan negara itu bisa bersifat positif dalam arti merupakan beberapa bentuk tindakan
pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat negatif – dalam arti : merupakan
keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu.
5. Kebijakan pemerintah – setidak-tidaknya dalam arti yang positif – didasarkan atau selalu
dilandaskan pada peraturan perundang-undangan dan bersifat memaksa.
Konsep kebijaksanaan publik menurut David Easton sebagai berikut :
Alokasi nilai yang otoritatif untuk seluruh masyarakat akan tetapi hanya pemerintahlah yang
dapat berbuat secara otoritatif untuk seluruh masyarakat, dan semuanya yang dipilih oleh
pemerintah untuk dikerjakan atau untuk tidak dikerjakan adalah hasil-hasil dari alokasi nilai-nilai
tersebut .
15
menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu
sasaran atau maksud tertentu .
d. John Erik Lane (1995) dalam Lele (1999) membagi wacana kebijakan publik ke dalam
beberapa model pendekatan, yaitu (1) pendekatan demografik yang melihat adanya pengaruh
lingkungan terhadap proses kebijakan. (2) model inkremental yang melihat formulasi kebijakan
sebagai kombinasi variabel internal dan eksternal dengan tekanan pada perubahan gradual dari
kondisi status quo. (3) model rasional (4) model garbage can dan (5) model collective choice
aksentuasinya lebih diberikan pada proses atau mekanisme perumusan kebijakan .
c. Robert Eyestone mendefinisikan kebijakan publik sebagai hubungan suatu unit pemerintah
dengan lingkungannya. Konsep yang ditawarkan Eyestone ini mengandung pengertian yang
sangat luas dan kurang pasti karena apa yang dimaksud kebijakan publik dapat mencakup
16
banyak hal.
d. Konsep lain mengenai kebijakan publik sebagai intervensi pemerintah juga dikemukakan oleh
Chandler and Plano (1988). Menurut mereka, Kebijakan publik adalah pemanfaatan yang
strategis terhadap sumber daya-sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah
publik atau pemerintah.
e. Chaizi Nasucha (2004), mengatakan bahwa kebijakan publik adalah kwenangan pemerintah
dalam pembuatan suatu kebijakan yang digunakan ke dalam perangkat peraturan hukum.
Kebijakan tersebut bertujuan untuk menyerap dinamika sosial dalam masyarakat, yang akan
dijadikan acuan perumusan kebijakan agar tercipta hubungan sosial yang harmonis.
17
Contoh Kebijakan Publik
Contoh dari kebijakan publik yang melakukan sesuatu yaitu kebijakan menaikan harga BBM,
kebijakan BLT, kebijakan tentang sunset policy dalam hal perpajakan, dan lain-lain. Sedangkan
contoh kebijakan untuk tidak melakukan sesuatu yakni berdiam diri saat kapal perang malaysia
masuk perairan kita, atau tidak ambil pusing atas kasus manohara pinot dan lain sebagainya.
Masalah yang harus diatasi oleh pemerintah adalah masalah publik yaitu nilai, kebutuhan atau
peluang yang tak terwujudkan. Meskipun masalah tersebut dapat diidentifikasi tapi hanya
mungkin dicapai lewat tindakan publik yaitu melalui kebijakan publik. Karakteristik masalah
publik yang harus diatasi selain bersifat interdependensi (berketergantungan) juga bersifat
dinamis, sehingga pemecahan masalahnya memerlukan pendekatan holistik (holistic approach)
yaitu pendekatan yang memandang masalah sebagai kegiatan dari keseluruhan yang tidak dapat
dipisahkan atau diukur secara terpisah dari yang faktor lainnya. Untuk itu, diperlukan kebijakan
publik sebagai instrumen pencapaian tujuan pemerintah.
Implementasi yang merupakan terjemahan dari kata “implementatiom”, berasal dari kata kerja
“to implement”. Menurut Webster’s Dictionary (dalam Tachan, 2008: 29), kata to implement
berasal dari bahasa Latin “implementum” dari asal kata “impere” dan “plere”. Kata “implore”
dimaksudkan “to fill up”,”to fill in”, yang artinya mengisi penuh; melengkapi, sedangkan “plere”
maksudnya “to fill”, yaitu mengisi.
Apabila pengertian implementasi di atas dirangkaikan dengan kebijakan publik, maka kata
implementasi kebijakan publik dapat diartikan sebagai aktivitas penyelesaian atau pelaksanaan
18
suatu kebijakan publik yang telah ditetapkan/disetujui dengan penggunaan sarana (alat) untuk
mencapai tujuan kebijakan.
Dengan demikian, dalam proses kebijakan publik implementasi kebijakan merupakan tahapan
yang bersifat praktis dan dibedakan dari formulasi kebijakan yang dapat dipandang sebagai
tahapan yang bersifat reoritis. Anderson (dalam Tachan, 2008: 30) mengemukakan bahwa:
”policy implementation is the application of the policy by the government’s administrative
machinery to the problem”. Kemudian Edward III (dalam Tachan, 2008: 30) mengemukakakan
bahwa:”Policy implementation, …is the stage of policy making between the establishment of a
policy…and the consequences of the policy for the people whom it affects”. Sedangkan Grindle
(dalam Tachan, 2008: 30) mengemukakan bahwa: “implementation – a general process of
administrative action that can be investigated at specific program level”.
Dari uraian di atas diperoleh suatu gambaran bahwa, implementasi kebijakan publik merupakan
proses kegiatan administratif yang dilakukan setelah kebijakan ditetapkan/disetujui. Kegiatan ini
terletak di antara perumusan kebijakan dan evaluasi kebijakan. Implementasi kebijakan
mengandung logika yang top-down, maksudnya menurunkan/menafsirkan alternatif-alternatif
yang masih abstrak atau makro menjadi alternatif yang bersifat konkrit atau mikro. Sedangkan
formulasi kebijakan mengandung logika botton up, dalam arti proses ini diawali dengan
pemetaan kebutuhan publik atau pengakomodasian tuntutan lingkungan lalu diikuti dengan
pencarian dan pemilihan alternatif cara pemecahannya, kemudian diusulkan untuk ditetapkan.
Implementasi mengacu pada tindakan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam
suatu keputusan, tindakan ini berusaha untuk mengubah keputusan-keputusan tersebut menjadi
pola-pola operasional serta berusaha mencapai perubahan-perubahan besar atau kecil
sebagaimana yang telah diputuskan sebelumnya. Implementasi pada hakikatnya juga upaya
pemahaman apa yang seharusnya terjadi setelah sebuah program dilaksanakan. Implementasi
kebijakan tidak hanya melibatkan instansi yang bertanggungjawab untuk pelaksanaan kebijakan
tersebut, namun juga menyangkut jaringan kekuatan politik, ekonomi, dan sosial. Dalam tataran
19
praktis, implementasi adalah proses pelaksanaan keputusan dasar. Proses tersebut terdiri atas
beberapa tahapan yakni:
Oleh karena itu, implikasi sebuah kebijakan merupakan tindakan sistematis dari
pengorganisasian, penerjemahan dan aplikasi.
Menurut Parsons (2006), model implementasi inilah yang paling pertama muncul. Pendekatan
top down memiliki pandangan tentang hubungan kebijakan implementasi seperti yang tercakup
dalam Emile karya Rousseau : “Segala sesuatu adalah baik jika diserahkan ke tangan Sang
Pencipta. Segala sesuatu adalah buruk di tangan manusia”.
Masih menurut Parsons (2006), model rasional ini berisi gagasan bahwa implementasi adalah
menjadikan orang melakukan apa-apa yang diperintahkan dan mengontrol urutan tahapan dalam
sebuah sistem.
20
Mazmanian dan Sabatier (1983) dalam Ratmono (2008), berpendapat bahwa implementasi top
down adalah proses pelaksanaan keputusan kebijakan mendasar. Beberapa ahli yang
mengembangkan model implementasi kebijakan dengan perspektif top down adalah sebagai
berikut :
Model implementasi dengan pendekatan bottom up muncul sebagai kritik terhadap model
pendekatan rasional (top down). Parsons (2006), mengemukakan bahwa yang benar-benar
penting dalam implementasi adalah hubungan antara pembuat kebijakan dengan pelaksana
kebijakan. Model bottom up adalah model yang memandang proses sebagai sebuah negosiasi
dan pembentukan consensus. Masih menurut Parsons (2006), model pendekatan bottom up
menekankan pada fakta bahwa implementasi di lapangan memberikan keleluasaan dalam
penerapan kebijakan.
Ahli kebijakan yang lebih memfokuskan model implementasi kebijakan dalam persfektif bottom
up adalah Adam Smith. Menurut Smith (1973) dalam Islamy (2001), implementasi kebijakan
dipandang sebagai suatu proses atau alur. Model Smith ini memamndang proses implementasi
kebijakan dari proses kebijakan dari persfekti perubahan social dan politik, dimana kebijakan
yang dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk mengadakan perbaikan atau perubahan dalam
masyarakat sebagai kelompok sasaran.
Menurut Smith dalam Islamy (2001), implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variable,
yaitu :
21
1. Idealized policy : yaitu pola interaksi yang digagas oleh perumus kebijakan dengan
tujuan untuk mendorong, mempengaruhi dan merangsang target group untuk
melaksanakannya
2. Target groups : yaitu bagian dari policy stake holders yang diharapkan dapat mengadopsi
pola-pola interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus kebijakan. Karena
kelompok ini menjadi sasaran dari implementasi kebijakan, maka diharapkan dapat
menyesuaikan pola-pola perilakukan dengan kebijakan yang telah dirumuskan
3. Implementing organization : yaitu badan-badan pelaksana yang bertanggung jawab dalam
implementasi kebijakan.
4. Environmental factors : unsur-unsur di dalam lingkungan yang mempengaruhi
implementasi kebijakan seperti aspek budaya, sosial, ekonomi dan politik.
a. staf yang relatif cukup jumlahnya dan mempunyai keahlian dan keterampilan untuk
melaksanakan Kebijakan
22
b. informasi yang memadai atau relevan untuk keperluan implementasi
c. dukungan dari lingkungan untuk mensukseskan implementasi kebijakan
d. wewenang yang dimiliki implementor untuk melaksanakan kebijakan.
23
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari paparan atau penjelasan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan diantaranya
adalah :
Ide Kebijakan melibatkan perilaku yang memiliki maksud dan tujuan merupakan bagian
terpenting dari definisi Kebijakan, krena bagaimanapun Kebijakan harus menunjukan apa yang
sesungguhnya dikerjakan daripada apa yang diusulkan dalam beberapa kegiatan pada suatu
masalah.
Dalam kaitannya dengan Kebijakan publik, maka wajar bila walikota selaku manajer
admministrasi kota bisa bertindak lebih focus kepada bagaimana Kebijakan tersebut bisa
terimplentasikan. Jangan sampai terjebak dalam dikitomi dan dualisme antara politik dan
administrasi, disini berarti bahwa walikota selaku manajer adminsitrasi harus melakuka
reinterpretasi, dikotomi politik dan administrasi sebagai standar professional dalam
pemerintahan.
Tahapan implementasi suatu Kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan dan sasaran
direncanakan terlebih dahulu yang dilakukan dalam tahap formulasi kebijakan. Dengan
demikian, tahap implementasi Kebijakan terjadi hanya setelah undang-undang tentang suatu
Kebijakan dikeluarkamdan dana lyang disediakan untuk membiayai implementasi Kebijakan
tersebut telah tersedia.
3.2 Saran
Pemerintah harus membangun jaringan dan jalur komunikasi online untuk
memepermudah informasi kepada para pelaksana Kebijakan maupun masyarakat. Untuk ini
sebaiknya juga bersamaan dengan menghilangkan sekat-sekat strukutur/birokrasi dalam
penyampaian informasi sehingga meminimalisir terjadinya distorsi.
Meningkatkan kemampuan personal fisik dan wawasan, serta etika para pelaksanaan
Kebijakan melalui pelatihan-pelatihan keterampilan baik ditingkat nasioanl maupun internasional
dan atau mendukung peningkatan pendidikan formal pelaksana Kebijakan.
Tidak menambah jumlah personal pendukung pelaksanaan Kebijakan. Jumlah staff yang
ada saat ini sangatlah besar atau bisa dikatakan gendut sekali. Staf staf tersebut harus dibrikan
pelatihan agar mempunyai nilai dan ditempatkan sesuai kemampuannya.
24
Pertimbangan ekologi administrasi dalam implementasi Kebijakan publik harus diikut
sertakan dalam system pemerintahan, agar dapat mengetahui hubungan timbale balik yang terjadi
diadminstrasi dalam merumuskan Kebijakan yang benar-benar tepat sasaran. Implementasi dapat
berjalan efektif jika kelompok berhasil menjalankan suatu Kebijakan dengan terarah dan tidak
ada pihak yang dirugikan.
25
DAFTAR PUSTAKA
Yogyakarta;gavaMedia.
RINEKA CIPTA.
26