Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

REVOLUSI KOMUNIKASI MASSA


(Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Teori Komunikasi Massa)

Dosen Pengampu :
Musfiah Saidah, S.Sos, M.Si.

Dibuat oleh:

Kelompok 4

Ragil Sadirah Faiziyyah 11220510000221


Salwa Ramadhani Pasaribu 11220510000227
Wildan Affad Sabrian 11220510000234

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji dan syukur selalu kami haturkan kehadirat Allah SWT yang
senantiasa melimpahkan Rahmat, Hidayah dan Inayah-Nya kepada kita, sehinga kami dapat
menyelesaikan tugas penyusunan Makalah mata kuliah Teori Komunikasi Massa dengan
tema materi “REVOLUSI KOMUNIKASI MASSA”.

Kami selaku penyusun makalah mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pengampu
mata kuliah Teori Komunikasi Massa, Ibu Musfiah Saidah, S.Sos, M.Si. yang telah
memberikan bimbingan dan arahan dalam pembuatan makalah ini, orang tua yang
selalumendukung kelancaran tugas, serta teman-teman sekelas yang senantiasa saling
mendukung satu sama lain.

Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kami tidak menutup diri dari para pembaca atas saran dan kritik yang sifatnya
membangun demi perbaikan dan peningkatan kualitas kami dalam menyusun makalah dimasa
yang akan datang. Kami berharap, semoga makalah ini bisa memberikan manfaat bagi kami
maupun para pembaca. Aamiin.

Jakarta, 26 September 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................................2


DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................................4
Latar
Belakang ...........................................................................................................................4
Rumusan
Masalah ......................................................................................................................4
Tujuan
Masalah ..........................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN ..........................................................................................................5
Media Habits Dampak Digital Disrupsi Ke Lanskap Media Dan Masyarakat
Baru....................5
Perkembangan Komunikasi
Massa...........................................................................................11
Perkembangan Media Komunikasi Massa Di
Indonesia...........................................................13
Model-Model Komunikasi Massa............................................................................................16
Etika Komunikasi Massa..........................................................................................................21
Hambatan Komunikasi Massa..................................................................................................24
BAB III PENUTUP..................................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................28

3
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Komunikasi massa merujuk pada proses penyebaran informasi dari satu sumber ke
banyak penerima melalui berbagai saluran komunikasi seperti media cetak, televisi, radio,
internet, dan sebagainya. Komunikasi massa memiliki peran penting dalam membentuk
persepsi, opini, dan perilaku masyarakat, sehingga menjadi topik yang menarik untuk
dibahas. Komunikasi massa memiliki beberapa tujuan, salah satunya adalah memberikan
informasi. Media massa memberikan informasi tentang kejadian dan peristiwa yang terjadi
di seluruh dunia, baik itu berita politik, ekonomi, olahraga, hiburan, dan lainnya. Melalui
media massa, kita dapat mengetahui perkembangan terkini mengenai suatu topik tertentu.

Rumusan Masalah
1. Bagaimana revolusi komunikasi massa?
2. Apa saja hambatan komunikasi massa?
3. Apa saja model model efek media?
4. Apa saja etika dalam komunikasi massa?

Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui bagaimana revolusi komunikasi massa.
2. Untuk mengetahui hambatan yang terdapat pada komunikasi massa.
3. Untuk mengetahui model model efek media.
4. Untuk mengetahui etika etika komunikasi massa.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Media Habits Dampak Digital Disrupsi Ke Lanskap Media Dan


Masyarakat Baru
Tantangan disrupsi media massa di era digital telah mengubah secara mendasar lanskap
media dan jurnalisme tradisional. Dalam beberapa dekade terakhir, perubahan teknologi
yang cepat, seperti internet, media sosial, dan perangkat mobile, telah mengubah cara
orang mengakses, mengonsumsi, dan berbagi informasi. Perubahan ini telah menciptakan
tantangan besar bagi media massa, mengancam model bisnis yang ada dan memaksa
industri media untuk beradaptasi dengan cepat.
Salah satu tantangan utama adalah penurunan pendapatan iklan. Sebelum era digital,
media massa tradisional mengandalkan pendapatan iklan cetak dan siaran untuk
menjalankan operasional mereka. Namun, dengan pergeseran ke platform digital, iklan
tradisional cenderung beralih ke platform online yang lebih terukur dan lebih murah
(binus.ac.id). Ini berarti pendapatan iklan media massa tradisional telah menurun secara
signifikan, memaksa mereka untuk mencari cara baru untuk menghasilkan pendapatan.
Selain itu, perubahan perilaku konsumen juga menjadi tantangan penting. Dalam era
digital, masyarakat memiliki akses instan ke berita dan informasi melalui internet dan
media sosial (Adha, 2022). Mereka dapat memilih dan memfilter konten sesuai dengan
minat dan preferensi mereka. Hal ini menyebabkan masyarakat lebih selektif dalam
mengonsumsi berita dan konten, mengakibatkan penurunan oplah dan penurunan
kepercayaan terhadap sumber-sumber berita tradisional. Media massa juga harus bersaing
dengan platform-platform baru yang memungkinkan individu dan organisasi lain untuk
menciptakan dan mendistribusikan konten mereka sendiri.
Disrupsi media massa juga melibatkan perubahan dalam dinamika kekuasaan. Di era
digital, individu dapat menjadi produsen konten dan memiliki kemampuan untuk
menyebarkan informasi secara global melalui media sosial. Ini berarti media massa tidak
lagi memiliki monopolinya atas distribusi informasi. Hal ini telah menghadirkan tantangan
baru bagi media massa tradisional dalam menjaga relevansi dan integritas mereka.
Media adalah saluran komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan informasi,
berita, dan hiburan kepada khalayak yang luas. Setiap individu memiliki hak untuk
mendapatkan informasi dan hiburan melalui media. Sesuai dengan yang tercantum dalam
yang menegaskan bahwa:

5
"Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi
dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia."
Media massa konvensional, seperti surat kabar, majalah, televisi, dan radio, telah lama
menjadi sumber utama informasi bagi masyarakat. Namun, munculnya teknologi digital,
terjadi pergeseran signifikan terkait cara informasi disampaikan dan diakses. Media digital
merujuk pada platform online, seperti situs web berita, media sosial, blog, dan aplikasi
seluler, yang menciptakan kesempatan individu untuk menghasilkan, mengonsumsi, dan
berbagi konten secara luas. Lahirnya media digital menyebabkan disrupsi teknologi media
sekaligus menghadirkan tantangan bagi media massa tradisional. Media digital
memberikan aksesibilitas yang lebih luas, keterlibatan pengguna yang lebih besar,
kecepatan penyebaran berita yang lebih tinggi, dan kebebasan dalam gaya penyajian
informasi. Media massa tradisional harus beradaptasi dengan cepat untuk mengatasi
tantangan ini dan menemukan cara baru untuk mempertahankan kehadiran mereka dalam
era digital yang terus berkembang.
Dalam era digital, media massa menghadapi berbagai tantangan dari berbagai sisi, di
antaranya:
a. Penurunan pendapatan iklan.
Penurunan pendapatan iklan menjadi salah satu isu utama yang dihadapi oleh media
massa tradisional atau mainstream. Ibarat vacuum cleaner, media digital menyedot
hampir semua jenis iklan yang selama ini dinikmati bersama oleh media cetak dan
media siar. (Dewan Pers) Hal ini menjadi penting karena salah satu pilar penyangga
media massa adalah komersialisme, di samping idealisme dan profesionalisme. Tanpa
adanya pemasukan iklan, akan menjadi kesulitan bagi media massa untuk
memproduksi berita dari hulu ke hilir. Iklan menjadi penyokong pendapatan terbesar
bagi sebuah industri media massa.
Secara konvensional, penghasilan media bersumber dari penjualan slot iklan dengan
atau tanpa penjualan konten. Digitalisasi membuka peluang-peluang baru dalam
beriklan, seperti iklan terfokus/tertarget (targeted advertising) dan iklan teleskopik
atau telescoping advertising. Pendapatan iklan media digital akan terus tumbuh
hingga menyamai atau melebihi media tradisional. Menurut Statista, pendapatan iklan
pencarian Google bisa mencapai $146 miliar pada tahun 2021. Angka ini kira-kira
setara dengan $171 miliar pendapatan iklan televisi global, jauh melebihi media

6
tradisional lainnya seperti media luar ruang, surat kabar, dan radio. Dikombinasikan
di semua layanan, pendapatan iklan Google diperkirakan mencapai $207 miliar, sudah
melampaui pendapatan iklan TV global.
Kesenjangan antara pendapatan iklan media digital dan tradisional juga
kemungkinan akan semakin melebar di tahun-tahun mendatang. Zenith
memperkirakan cakupan iklan digital mencapai 61,5% pada tahun 2022 dan
meningkat lagi menjadi 65,1% pada tahun 2024. Ribuan perusahaan media yang
menyediakan jurnalisme hanya memperoleh remah-remahnya. (Dewan pers) Bahkan
seperti Koran Republika misalnya, yang memutuskan memberhentikan versi cetaknya
pada akhir 2022 silam karena terbatasnya dana.
b. Perubahan perilaku konsumen media
Perubahan perilaku konsumen dalam mengonsumsi media massa dari media
tradisional ke media digital telah menjadi fenomena yang signifikan dalam era digital
saat ini. Beberapa faktor yang mendorong perubahan ini termasuk kenyamanan
aksesibilitas, kemampuan untuk memilih konten yang diminati, dan interaksi yang
lebih besar dengan konten dan sesama pengguna. Konsumen dapat dengan mudah
mengakses berita terbaru secara real-time, berpartisipasi dalam pembuatan konten,
memberikan tanggapan melalui komentar, dan berbagi informasi dengan cepat kepada
orang lain.
Dengan berbagai kelebihan ini, menjadikan media digital semakin populer melebihi
media massa (televisi, koran, dan radio). Berdasarkan survei online indikator.co.id
mengenai “Akses Media dan Perilaku Digital” periode 21 Februari-16 Maret 2022
yang diikuti oleh 734 responden seluruh Indonesia, ditemukan hasil media
digital/internet unggul 55.3% dibanding televisi 36.1%, radio 1.7%, dan koran 1.1%
dalam hal media yang paling sering digunakan sehari-hari. Selain itu, hanya 16%
yang tidak memiliki akun atau tidak pernah mengakses internet untuk berita sosial-
politik dibanding 22% tidak memiliki akun atau tidak pernah mengakses televisi, dan
poin setara 59% yang tidak memiliki akun atau tidak pernah mengakses koran atau
radio masifnya marketing atau pemasaran digital secara terus-menerus membuat
terpengaruhnya psikologis konsumen untuk menyamankan diri mengonsumsi media
digital. Promosi cenderung tepat sasaran dengan dibantu pengoptimalan mesin
pencari online (SEO) (Adha, 2022). Perubahan perilaku konsumen ini menantang
media massa tradisional untuk beradaptasi dengan kebutuhan dan preferensi baru

7
konsumen serta menemukan cara untuk tetap relevan dalam lingkungan media digital
yang semakin kompetitif.

c. Perubahan dinamika kekuasaan media


Perubahan dinamika kekuasaan dalam industri media telah terjadi sebagai akibat dari
perkembangan teknologi digital. Media digital telah mengubah fundamental cara
informasi disebarkan dan diakses, menghadirkan tantangan dan peluang baru bagi
semua pemangku kepentingan dalam industri media.
Salah satu perubahan yang signifikan adalah dalam hal penyebaran dan akses
informasi. Media massa tradisional memiliki kendali penuh atas produksi,
penyuntingan, dan distribusi informasi kepada khalayak. Namun, dengan kemunculan
media digital, individu dan organisasi lain memiliki kemampuan untuk menghasilkan
dan menyebarkan konten melalui platform online. Media digital memberikan akses
yang lebih luas kepada individu untuk berbagi informasi, mengungkapkan pandangan
mereka, dan mempengaruhi pembentukan opini publik. Hal ini menggeser kekuasaan
dari lembaga media ke tangan individu, sehingga memberikan ruang yang lebih besar
bagi berbagai sudut pandang dan narasi yang mungkin tidak tercakup dalam media
massa tradisional.
Selain itu, keterlibatan dan partisipasi konsumen juga berperan penting dalam
perubahan dinamika kekuasaan. Dalam media digital, konsumen tidak lagi hanya
menjadi penerima pasif informasi, tetapi juga memiliki peran aktif dalam interaksi
dengan konten dan dalam pembuatan konten itu sendiri (mediaindonesia.com). Media
sosial dan platform lainnya memungkinkan konsumen untuk berinteraksi langsung
dengan konten, memberikan tanggapan, berbagi informasi, dan bahkan menciptakan
konten mereka sendiri. Keterlibatan ini memberikan kekuatan kepada individu untuk
menentukan arah dan agenda media, sehingga mengubah peran dan pengaruh
tradisional yang dimiliki oleh media massa.
Perubahan dinamika kekuasaan juga tercermin dalam perubahan model bisnis media.
Media massa tradisional mengandalkan pendapatan dari iklan dan penjualan konten
fisik, seperti surat kabar atau majalah. Namun, media digital memperkenalkan model
bisnis baru, seperti iklan digital, langganan digital, dan pendapatan dari konten
kreator.
Perusahaan media tradisional harus beradaptasi dengan perubahan ini dan
menemukan cara baru untuk menghasilkan pendapatan di era digital. Di sisi lain,

8
individu dan organisasi kecil juga memiliki kesempatan untuk bersaing dalam industri
media dengan biaya yang lebih rendah dan akses yang lebih luas melalui platform
digital. Perubahan ini membawa konsekuensi terhadap perubahan dinamika
kekuasaan, dengan pemangku kepentingan baru yang muncul dan memengaruhi
pengambilan keputusan dalam industri media.
Namun, perubahan dinamika kekuasaan ini juga menimbulkan tantangan baru dalam
hal kepercayaan dan kualitas informasi. Dalam era media digital yang penuh dengan
konten yang tidak diverifikasi dengan baik dan berita palsu yang mudah menyebar,
masyarakat harus lebih kritis dan waspada dalam menilai kebenaran dan keandalan
informasi. Terjangan informasi yang cepat dan beragam juga dapat menyebabkan
kebingungan dan polarisasi di antara konsumen media. Oleh karena itu, upaya untuk
memastikan kepercayaan publik terhadap media dan kredibilitas informasi tetap
menjadi tantangan yang harus diatasi.
Perubahan dinamika kekuasaan dalam industri media merupakan fenomena yang
kompleks, melibatkan berbagai aspek seperti penyebaran dan akses informasi,
keterlibatan konsumen, model bisnis, dan kepercayaan terhadap media. Perubahan ini
menghadirkan peluang baru, tetapi juga tantangan yang harus diatasi oleh semua
pemangku kepentingan dalam industri media, termasuk lembaga media massa
tradisional, media digital, dan konsumen media itu sendiri.

Saran dan strategi inovasi dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut:

1. Meningkatkan literasi media: Pendidikan dan literasi media yang kuat sangat penting
dalam menghadapi perubahan dinamika kekuasaan media. Konsumen media perlu
diberikan pengetahuan dan keterampilan yang memadai untuk mengidentifikasi
informasi yang akurat, memahami bagaimana media bekerja, dan menjadi konsumen
yang kritis terhadap konten yang mereka konsumsi.
2. Kolaborasi antara media tradisional dan media digital: Menghadapi perubahan
perilaku konsumen, media tradisional dapat menjalin kemitraan dan kolaborasi
dengan platform media digital untuk memanfaatkan kekuatan masing-masing.
Dengan demikian, media tradisional dapat memperluas jangkauan dan adaptasi
terhadap lingkungan media digital, sementara media digital dapat mengambil
manfaat dari kredibilitas dan keahlian yang dimiliki oleh media tradisional. Seperti

9
yang dilakukan oleh Tempo Media Group yang mengambil strategi konvergensi
media (Maulina, 2019).
3. Memperkuat standar etika dan kualitas konten: Dalam era media digital yang penuh
dengan berita palsu dan konten yang tidak diverifikasi, penting bagi media untuk
memperkuat standar etika jurnalistik dan kualitas konten. Mengembangkan pedoman
dan kode etik yang jelas, memperkuat praktik verifikasi fakta, dan meningkatkan
transparansi dalam produksi dan distribusi konten dapat membantu membangun
kepercayaan konsumen terhadap media.
4. Memanfaatkan teknologi untuk inovasi: Media harus terus berinovasi dalam
mengadopsi teknologi yang relevan untuk menciptakan pengalaman konsumen yang
lebih baik. Dalam media digital, penggunaan kecerdasan buatan, analitik data, dan
platform interaktif dapat membantu meningkatkan personalisasi konten, pengalaman
pengguna, dan efisiensi produksi media.
5. Mengembangkan model bisnis yang berkelanjutan: Dalam menghadapi perubahan
model bisnis, media perlu mengembangkan strategi untuk menghasilkan pendapatan
yang berkelanjutan. Diversifikasi pendapatan melalui langganan digital, sponsor,
atau inisiatif berbasis komunitas, serta pengembangan strategi pemasaran yang
efektif, dapat membantu media untuk tetap berdaya saing dalam lingkungan media
digital.
Dalam era digital yang terus berkembang, perubahan dinamika kekuasaan dalam industri
media menjadi fenomena yang signifikan. Media digital telah mengubah cara informasi
disebarkan dan diakses, memperkenalkan tantangan dan peluang baru bagi semua
pemangku kepentingan dalam industri media. Konsumen media telah mengalami
pergeseran perilaku dari media massa ke media digital, di mana mereka memiliki peran
yang lebih aktif dalam interaksi dengan konten dan produksi konten sendiri. Selain itu,
perubahan ini juga mempengaruhi model bisnis media, dengan munculnya model bisnis
baru yang mengubah cara perusahaan media menghasilkan pendapatan. Namun, tantangan
yang dihadapi termasuk kepercayaan terhadap sumber informasi dan kualitas konten yang
disajikan dalam lingkungan media digital yang penuh dengan konten yang tidak
diverifikasi dengan baik.
Dalam kesimpulannya, perubahan dinamika kekuasaan dalam industri media membawa
konsekuensi yang signifikan. Melalui strategi dan inovasi yang tepat, media dapat
mengatasi tantangan yang dihadapi dan memanfaatkan peluang dalam era digital untuk

10
menjaga kemerdekaan pers, meningkatkan kualitas informasi, dan memberikan
pengalaman yang lebih baik bagi konsumen media.

B. Perkembangan Komunikasi Massa


Komunikasi massa yang menggunakan media massa telah mengalami sejarah
perkembangan yang sangat panjang. Secara singkat, sejarah perkembangan komunikasi
massa dapat diuraikan dalam beberapa tahapan, yakni:
1. Era penggunaan isyarat dan lambang. Era ini ditandai dengan interaksi manusia
yang sangat sederhana. Lambang dan tanda yang digunakan dalam berkomunikasi
sangat sederhana, misalnya melalui bunyi atau gerakan-gerakan tertentu. Pada era ini
belum ada penggunaan bahasa. Komunikasi dilakukan dengan menggunakan
gerakan tangan, volume suara, dan tanda-tanda lain.
2. Era berbicara dan penggunaan bahasa. Era ini berlangsung sekitar 300.000 s.d.
200.000 SM yang merupakan cikal-bakal kemampuan manusia dalam berbicara dan
berbahasa. Pada era ini mulai dilakukan ujaran yang masih sangat sederhana.
3. Era media tulisan. Era ini berlangsung sekitar 5000 SM. Pada era ini mulai
mengenal media tulisan, terutama di Cina, Mesir, Mesopotamia. Sistem komunikasi
yang diterapkan masih sederhana. Volume pesan yang dipertukarkan teratur dalam
jumlah tertentu. Pengaturan pesan relatif tetap dan dalam jumlah besar. Dalam
sistem pengawasan sosial, komunikasi tulisan dimaksudkan untuk mencatat
peraturan, pelanggaran peraturan, dan pemberian sanksi.
4. Era media cetakan. Mesin cetak diciptakan di Cina pada awal abad ke-15. Pada
tahun 1455, terjadi penyempurnaan mesin cetak oleh Guttenberg di Jerman. Hal ini
mendorong penemuan berikut, berupa pabrik kertas, mesin pemotong kertas, dll.
Dalam perkembangan berikutnya, muncul buku, majalah, telepon, telegrap, radio,
surat kabar, televisi, film, internet, VCD, DVD,dst.
Sejarah penemuan huruf, alat cetak huruf, grafika dan penemuan di bidang teknologi
informasi dan komunikasi merupakan awal mula perkembangan komunikasi massa. Surat
kabar dan majalah untuk publik diterbitkan pertama kalinya di Eropa Barat, Inggris, dan
Amerika Serikat pada abad 17-18. Penyempurnaan mesin cetak oleh Guttenberg di Jerman
pada tahun 1455 membuka peluang komunikasi tertulis secara lebih luas karena dapat

11
mengatasi keterbatasan ekonomi. Penemuan ini mempermudah mencetak karakter
alpabhet untuk disusun dan dibentuk dalam pesan-pesan yang diinginkan. Penemuan
tersebut menyebabkan tumbuhnya kebutuhan pengetahuan di kalangan bawah. Hal ini
mendorong kemajuan pendidikan dan akses memperoleh pendidikan cenderung lebih
merata. Penemuan mesin cetak juga berimplikasi positif pada kesempatan untuk
memperoleh kebebasan mendapatkan pengetahuan dengan membatasi kontrol komunikasi
oleh Gereja dan kerajaan yang pada akhirnya menyebabkan menguatnya kekuatan sipil
(publik).
Saat buku-buku yang diterbitkan sebelum ditemukannya mesin cetak ditulis dengan
tulisan tangan, membutuhkan waktu yang sangat lama dalam memproduksinya.
Keterbatasan tersebut tidak hanya berakibat pada lamanya produksi, tetapi juga reproduksi
yang demikian sulit dan terbatas. Hal ini menimbulkan terbatasnya buku bacaan yang
dihasilkan. Akibatnya pembaca buku hanya terbatas pada pendeta dan kaum bangsawan
saja. Penemuan Guttenberg telah menambah jumlah buku yang tersedia bagi kelas
menengah baru dalam masyarakat.
Perkembangan percetakan mengakibatkan perubahan budaya yang signifikan dalam
masyarakat Eropa. Perkembangan percetakan menambah jumlah orang yang melek huruf
pada kelas menengah seiring dengan perkembangan perdagangan dan komersial. Di Eropa
mengalami perubahan budaya penting berupa transformasi aktivitas ekonomi yang
berbasis agraris dan bersifat regional pada abad pertengahan, menuju kesadaran akan
perlunya dinamika masyarakat dengan melakukan pelayaran keliling dunia sekaligus
melakukan kegiatan perdagangan.
Barang-barang cetakan merupakan salah satu komoditi yang bernilai tinggi dan
disebarkan ke seluruh dunia. Berkembangnya komunikasi massa melalui barang cetakan
juga memunculkan ide-ide dan pemahaman baru tentang dunia, mempercepat
pembangunan dan pengembangan kapitalisme serta membuka jalan menuju demokrasi.
Dampak positif lainnya adalah mendorong industrialisasi di Eropa. Ketika warga Eropa
bekerja di pabrik, mereka memiliki waktu luang yang lebih banyak yang kemudian
memicu perkembangan industri hiburan pada abad-18.
Di Eropa terjadi transformasi ekonomi yang penting, terutama dalam sektor tenaga
kerja. Perilaku manusia Eropa pun bergeser, pola kerja baru dengan sistem penggajian
mengganti pola lama.

12
C. Perkembangan Media Komunikasi Massa Di Indonesia

a. Surat Kabar dan Majalah


 Komunikasi massa dikenal di Indonesia sejak tahun 1744 ketika sebuah surat kabar
bernama Bataviasche Nouvelles diterbitkan oleh pengusahaan Belanda. pada tahun
1854 terbitlah surat kabar “ Biang lala” surat kabar pertama yang diperuntukkan bagi
kaum primumi,
 Setelah kemerdekaan, Media pun bermunculan seperti di Jakarta terbit Merdeka pada
1 Oktober 1945, di Yogyakarta terbit Kedaulatan Rakyat tahun 1945, di Surabaya terbit
Jawa Pos tahun 1949 dan Surabaya Pos tahun 1953. Dekrit Presiden 5 Juli 1959
membuat pihak penguasa memperketat pengawasan terhadap pers. dimasa itu pers
dihadapkan dengan aturan yang aneh yakni harus berafiliasi dengan Parpol sehingga
Pada masa orde baru Pers Indonesia kembali menghirup udara bebas, dengan kehadiran
Undang-Undang Pokok Pers Nomor 11 Tahun 1966.
 (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Pers berada di bawah ketiak pemerintah. Pers
hanya berperan sebagai corong pemerintah di masa orde baru ruang gerak wartawan
menjadi terbatas dan dipersempit.
 Setelah tahun 1998 atau paska reformasi pers sepertinya mendapat angin segar yang
membuat semangat mereka tumpah ruah. Dewan Pers mencatat tahun 2001 terdapat
2.003 penerbitan. Sedangkan pada tahun 2002 dalam direktori pers Indonesia tercatat
hanya tertinggal 695 penerbitan.
b. Radio
 Radio siaran pertama di Indonesia (waktu itu bernama Nederlands Indie-Hindia
Belanda), ialah Bataviase radio siaran Vereniging (BRV) di Batavia (Jakarta tempo
dulu) yang didirikan pada tanggal 16 juni 1925 pada saat Indonesia masih dijajah
Belanda dan berstatus swasta.

13
 Ketika Belanda menyerah pada Jepang tanggal 8 Maret 1942, sebagai
konsekuensinya, radio siaran yang tadinya berstatus perkumpulan swasta dinonaktifkan
dan diurus oleh jawatan khusus bernama Hoso Kanri Kyoku, merupakan pusat radio
siaran yang berkedudukan di Jakarta, serta mempunyai cabang-cabang yang bernama
Hoso Kyoku di Bandung, Purwakarta, Yogyakarta, Surakarta, Semarang, Surabaya, dan
Malang. Rakyat Indonesia pada masa ini hanya boleh mendengarkan siaran Hoso
Kyosu saja.
 Tanggal 11 September 1945 para pemimpin radio mengadakan pertemuan terakhir
dan tepat jam 12.00 malam tercapai kesepakatan untuk mendirikan organisasi radio
siaran dan menentukan tindakan yang akan diambil daerah. Hari tanggal 11 September
1945 itu menjadi hari RRI (Radio Republik Indonesia) yang setiap tahun diperingati.
 Sampai akhir 1966, RRI adalah satu-satunya Radio siaran di Indonesia yang dimiliki
dan dikuasi pemerintah.
 Radio siaran masa orde baru berada di bawah Undang-Undang No.5 Tahun 1964
tentang telekomunikasi, namun mengenai pengaturan frekuensi pemancar diatur dengan
disesuaikan dengan daftar pada International Telecommunication Union (TTU).
c. Televisi
 Kegiatan penyiaran televisi di Indonesia dimulai pada tanggal 24 Agustus 1962,
bertepatan dengan berlangsungnya pesta olahraga se- Asia IV atau Asean Games di
Senayan.
 Sejalan dengan kepentingan pemerintah dan keinginan rakyat Indonesia yang tersebar
diberbagai wilayang agar dapat menerima siaran televise, maka pada tanggal 6 Agustus
1976, Presiden Soeharto meresmikan penggunaan satelit Palapa untuk telekomunikasi
dan siaran televisi. Dalam perkembangannya satelit Palapa A selanjutnya Satelit Palapa
B, Palapa B-2, Palapa B2P dan Palapa B-4 diluncurkan tahun 1992 (Effendy, pada
Komala, dalam Karlinah, dkk. 1999).
 Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) yang beroperasi sejak bulan April 1989 dan
diresmikan 24 Agustus 1989.
 Setelah itu hadir Surabaya Centra Televisi (SCTV) yang beroperasi sejak Agustus
1989.
 Kemudian hadir Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) pada 23 Januari 1991.

14
 Kemudian lahir lagi stasiun televise swasta lainnya seperti Indosiar, ANTV, Trans
TV, Trans7, Metro TV,TVOne dan ditambah lagi TV lokal yang berkembang pesat di
seluruh Indonesia.
d. Film
 Film pertama di Indonesia berjudul “Lely van Java” yang diprodusir di Bandung
pada tahun 1926 oleh seorang bernama David.
 Disusul oleh “Eulis Atjih” produksi Krueger Corporation pada tahun 1927/1928. Dan
sampai dengan tahun 1930 masyarakat pada waktu itu telah dihidangi film-film
berikutnya.
 Film bicara pertama berjudul “Terang Bulan” yang dibintangi Roekiah dan R.Mochtar
berdasarkan naskah seorang penulis Indonesia Saerun.
 Di tahun 1941 pecah perang asia timur raya. Dunia film pun berubah wajah.
Perusahan film seperti Wong Brothers, South Pacific dan Multi Film diambil ahli
jepang, ketika pemerintah Jepang menguasai Indonesia.
 NV Multi Film diambil ahli oleh pemerintah Nippon dan diganti nama menjadi
Nippon Eiga Sha.
 Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan,
maka dunia perfilman pun ikut berubah. Nippon Eiga Sha diserahkan secara resmi pada
tanggal 6 Oktober 1945 kepada Pemerintah Republik Indonesia. Maka sejak tanggal 6
Oktober 1945 lahirlah Berita Film Indonesia (BFI).
 Pada tahun 1950 setelah kedaulatan diserahkan oleh pemerintah Belanda kepada RI
maka Regeerings Film Bedrijf diserahkan kepada RIS kemudian diberi nama
Perusahaan Pilem Negara (PPN) dalam lingkungan kementrian Penerangan pada waktu
itu.
 Kemudian munculah Perusahaan Film Nasional (Perfini) dibawah pimpinan Umar
Ismail. Kemudian Persatuan Artis Film Nasional (Persari) yang dipimpin Djamaludin
Malik. Kemudian diikuti dengan Surya Film Trading, Java Industrial Film, Bintang
Surabaya dan lainnya. Lahir juga Dewan Film Nasional.

15
D. Model-Model Komunikasi Massa
Ray Eldo Hiebert, Donald F. Ungurait dan Thomas W.Bohn mengungkapkan empat
elemen yang mendasari dibuatnya model komunikasi, yaitu (Hiebert, Ungurait, & Bohn,
1985) :
 Partisipan (Audience) dalam komunikasi massa berjumlah besar dan dapat
meningkat secara drastis setiap saat. Contoh: bertambahnya jumlah penonton
televisi, pembaca buku best seller, pembaca koran. Yang terpenting adalah
komunikator adalah seseorang yang berada dalam sebuah lembaga dengan
aturan tertentu.
 Pesan lebih personal, terspesialisasi, dan umum. Tahapan ini sangat mungkin
terjadi karena penerima pesan berasal dari lapisan masyarakat yang jumlahnya
relatif lebih besar.
 Masing – masing audiens secara fisik dan emosional dipisahkan oleh ruang dan
waktu dari komunikator dalam komunikasi massa.
 Media massa menjadi syarat mutlak bagi saluran komunikasi massa.

Sumber: Nurudin, 201, p.139


1. Model Alir Dua Tahap
Dalam komunikasi massa terdapat model satu tahap (one step flow of
communication) yang berkembang pada masa Perang Dunia II yang mengatakan
bahwa media memiliki pengaruh yang kuat terhadap audience dan audience tidak
memiliki kekuatan untuk menghindar atau pasif terhadap pesan–pesan media.

16
2. Model Alir Dua Tahap
Dalam komunikasi massa terdapat model satu tahap (one step flow of
communication) yang berkembang pada masa Perang Dunia II yang mengatakan
bahwa media memiliki pengaruh yang kuat terhadap audience dan audience tidak
memiliki kekuatan untuk menghindar atau pasif terhadap pesan – pesan media.
3. Model Alir Banyak Tahap
Melalui model alir banyak tahap ini, individu bisa menerima pesan media secara
langsung maupun tidak. Bahkan individu bisa mendapat pesan informasi dari individu
lain.

4. Model Melvin De Fleur


Model Melvin De Fleur, sumber dan pemancar tidak berada pada satu posisi.
Baginya sumber dan pemancar memiliki tahapan yang berbeda dalam aktivitas
komunikasi massa. Saluran menjadi alat untuk menyebarkan pesan – pesan yang

dikemukakan sumber.
5. Model Michael W. Gamble dan Teri Kwal Gamble
Perbedaan yang mencolok di model ini adalah digunakannya media massa sebagai
salah satu unsur yang mempengaruhi model komunikasi yang dijalankan dan

17
diperkenalkannya konsep fungsi gatekeeper. Dalam model ini komunikasi massa
bersifat memperluas komunikasi seperti seorang guru yang menceritakan sebuah

cerita dari media kepada muridnya.


6. Model HUB (Hubert Ungrait Bohn)
Model Hubert Ungrait Bohn atau lebih dikenal dengan HUB adalah model lingkaran
yang dinamis dan berputar terus menerus. Model ini diibaratkan seperti gelombang
air, dimana komunikator berada di tengah–tengah gelombang air tersebut. Artinya

komunikator menyebarkan pesan ke luar.


7. Model Black & Whitney
Model ini diperkenalkan oleh Jay Black dan Frederick C. Whitney dalam
Introduction to Mass Communication (1988). Model ini memperkenalkan proses

18
komunikasi massa secara umum, dimana proses komunikasi massa dibagi menjadi
empat wilayah yaitu sumber, pesan, audience, dan umpan balik.
8. Model Bruce Westley & Malcolm McLean
Model ini menggambarkan posisi reporter dan editor pada media pada posisi yang

berbeda. Dimana dalam praktiknya, kedua posisi tersebut bisa menambah dan
mengurangi fakta yang disajikan.
Keterangan:
X: Peristiwa atau sumber informasi
A: Komunikator dalam Kommas >> Reporter
C: Gatekeeper >> Editor
B: Audience yang mendengar, membaca, atau melihat kejadian yang sudah
dilaporkan gatekeeper
fBC: Pembaca bisa merespon editor atau reporter (fBA)
fCA: Editor menyediakan umpan balik kepada reporter
9. Model Maletzke
Model ini dikemukakan oleh Ilmuwan Jerman Maletzke (1963) yang
menggambarkan peta media massa “bawah tanah” di Berlin. Model ini terlihat sangat
rumit, namun pada dasarnya sangat sederhana karena model ini merupakan

19
pengembangan dari model komunikasi umum yang sering dinamakan Communicator
(C), Medium (M), dan Receiver (R). Bahkan hampir sama dengan model Berlo
(Model S-M-C-R).
10. Model Bryant & Wallace
Model ini khas untuk mengamati model arus pesan dalam media radio dan televisi.
Selain itu, ada juga umpan balik dari komunikan kepada komunikator dalam model

ini. Dimana komunikator dan komunikan memiliki seperangkat nilai, motivasi,


perasaan, dan sikap tertentu yang berasal dari lingkungannya dan mempengaruhi
proses penerimaan dan penyebaran pesan–pesannya.

20
E. Etika Komunikasi Massa
a) Tanggung Jawab Media
Tanggung jawab mempunyai implikasi positif, dimanamedia akan berhati-hati dalam
meliput, menulis, menyiarkan atau menyebarkan informasinya. Seorang jurnalis atau
wartawan harus memiliki tanggung jawab dalam pemberitaan apa pun yang ia siarkan; apa
yang diberitakan/ disiarkan harus dapat dipertanggung-jawabkan, baik kepada Tuhan,
masyarakat, profesi, atau diri si wartawan. Jika apa yang diberitakan menimbulkan
konsekuensi yang merugikan, pihak media massa harus bertanggung jawab dan bukan
menghindarinya. Jika dampak itu sudah merugikan secara perdata maupun pidana, media
massa haris bersedia bertanggung jawab seandainya pihak yang dirugikan tersebut protes
ke pengadilan.
b) Kebebasan Pers
Kebebasan bukan berarti bebas tanpa batas dalam menyampaikan informasi, tetapi
kebebasan yang bertanggung jawab. Jakob Oetama (2001) dalam Pers Indonesia
Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus mengemukakan bahwa “pers yang bebas
dinilainya tetap bisa lebih memberikan kontribusi yang konstruktif melawan error and
oppression (kekeliruan dan penindasan), sehingga akal sehat dan kemanusiaanlah yang
berjaya”. Robert A. Dahl (1998) seperti dirujuk Oetama (2001:76) menyebut peran media
yang bebas sebagai the availability of alternative and independent source of information.
c) Etika Isi Media
Jurnalis itu harus bebas dari kepentingan. Ia mengabdi kepada kepentingan publik/
umum. Walau pada kenyataannya pers tidak akan pernah lepas dari kepentingan-
kepentingan politik, bisnis, dan pemilik. Mengingat dalam praktiknya tidak ada ukuran
pasti seberapa jauh kepentingan itu tidak boleh terlibat dalam industri pers. Ada beberapa
ukuran normatif yang dijadikan pegangan oleh pers atau media, yaitu:
 Seorang jurnalis sebisa mungkin harus menolak hadiah, alias “amplop, agar
menghindari stereotip atau menjadi “wartawan bodrek”.
 Seorang jurnalis perlu menghindari keterlibatan dirinya dalam politik, atau melayani
organisasi masyarakat tertentu, demi menghindari conflict of interest.
 Tidak menyiarkan sumber individu jika tidak mempunyai nilai berita (news value).
 Reporter/ Jurnalis/ Wartawan harus mencari berita yang benar-benar melayani
kepentingan publik, bukan untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu.

21
 Seorang Reporter/ Jurnalis/ Wartawan harus dalam tugas jurnalistiknya berpegang
pada kode etik kewartawanan untuk melindungi rahasia sumber berita.
 Tugas Reporter/ Jurnalis/ Wartawan adalah menyiarkan berita sesuai fakta atau
peristiwa yang terjadi.
 Seorang Reporter/ Jurnalis/ Wartawan harus menghindari praktik plagiarisme dalam
meliput dan menulis berita. Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI), diantaranya
adalah sebagai berikut:
a. Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi
yang benar
b. Wartawan Indonesia menempuh tata cara yang etis untuk memperoleh dan
menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber berita.
c. Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan
fakta dan opini, berimbang, dan selalu meneliti kebenaran informasi, serta tidak
melakukan plagiat.
d. Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah sadis,
dan cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.
e. Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi.
f. Wartawan Indonesia memiliki Hak Tolak, menghargai ketentuan embargo,
informasi latar belakang, dan off the record sesuai kesepakatan.
g. Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan
serta melahani hak jawab.
d) Ketepatan dan Objektivitas
Ketepatan dan objektivitas di sini berarti dalam menulis berita wartawan harus akurat,
cermat, dan diusahakan tidak ada kesalahan. Objektivitas yang dimakusd adalah
pemberitaan yang didasarkan fakta-fakta di lapangan, bukan opini wartawannya. Oleh
sebab itu harus ada beberapa hal yang harus diperhatikan:
 Kebenaran adalah tujuan utama; orientasi berita yang berdasarkan kebenaran harus
menjadi pegangan pkok setiap wartawan.
 Objektivitas dalam pelaporan beritanya merupakan tujuan lain untuk melayani
pbulik sebagai bukti pengalaman profesional di dunia kewartawanan. Objektif itu
berarti tidak berat sebelah; harus menerapkan prinsip cover both sides.
 Tiada maaf bagi wartawan yang melakukan ketidakakuratan dan kesembronoan
dalam penulisan atau peliputan beritanya. Dalam hal ini, wartawan dituntuk untuk
cermat di dalam proses peliputannya.

22
 Headline yang dimunculkan harus benar-benar sesuai dengan isi yang diberitakan.
 Penyiar radio atau reporter televisi harus bisa membedakan dan menekankan dalam
ucapannya mana laporan berita dan mana opini dirinya. Laporan berita harus bebas
dari opini atau bias dan merepresentasikan semua sisi peristiwa yang dilaporkan.
 Editorial yang partisansip dianggap melanggar profesionalisme atau semangat
kewartawanan. Editorial atau tajuk rencana yang dibuat, meskipun subjektif
sifatnya (karena merepresentasikan kepentingan media yang bersangkutan) harus
ditekan untuk “membela” sat golongan dan memojokkan golongan lain. Praktik
jurnalisme ini sangat sulit dilakukan oleh media cetak yang awal berdirinya sudah
partisansip, tetapi ketika dia sudah mengklaim media umum, tidak ada alasan untuk
membela golongannya.
 Artikel khusus atau semua bentuk penyajian yang isinya berupa pembelaan atau
keseimpulan sendiri penulisnya harus menyebutkan nama dan identitas dirinya.
e) Tindakan Adil untuk Semua Orang
a. Media harus melawan campur tangan individu dalam medianya. Artinya, pihak
media harus berani melawan keistimewaan yang diinginkan seorang individu
dalam medianya.
b. Media tidak boleh menjadi “kaki tangan” pihak tertentu yang akan
memengaruhi proses pemberitaannya.
c. Media berita mempunyai kewajiban membuat koreksi lengkap dan tepat jika
terjadi ketidaksengajaan kesalahan yang dibuat (fair play).
d. Wartawan bertanggung jawab atas laporan beritanya kepada publik dan publik
sendiri harus berani menyampaikan keberatannya pada media.
e. Media tidak perlu melakukan tuduhan yang bertubi-tubi pada seseorang atas
suatu kesalahan tanpa memberi kesempatan pihak terduga bersalah untuk
melakukan pembelaan dan tanggapan.
f. Media dilarang melakukan trial bu the press (media massa sudah mengadili
seseorang sebelum pengadilan memutuskan ia bersalah atau tidak).
g. Media menjunjung tinggi tindakan presumtion of innocence (praduga tak
bersalah), yaitu asas di mana seseorang dinyatakan tidak bersalah hingga
pengadilan menyatakan bersalah. Asas ini sangat penting pada demokrasi
modern dengan banyak negara memasukannya kedalam konstitusinya.
Profesionalisme dalam berita mensyaratkan beberapa kondisi, terutama objektivitas.
Dalam konsepsi yang cenderung positivistik ini, defi nisi objektivitas dirumuskan dalam

23
dua prinsip, yaitu kesesuaian dengan kenyataan (factuality) dan tidak memihak
(impartiality). Prinsip factuality terdiri dari dua unsur, yaitu benar (truth) dan relevan
(relevance). Unsur benar (truth) ditentukan oleh ketepatan (accuracy) dalam
mendeskripsikan fakta. Kebenaran akan kuat jika disertai akurasi pada seluruh unsur berita
(5W+1H). Keakuratan ini dalam praktiknya memerlukan kelengkapan (completeness)
berbagai instrumen.
Sementara itu, unsur-unsur yang digunakan untuk mengukur tingkat relevance meliputi:
(1) proximity psikografi s, (2) proximity geografi s, (3) timeliness, (4) signifi cance, (5)
prominence dan (6) magnitude. Item-item tersebut dikenal sebagai news values. Prisip
tidak memihak (impartiality) juga menentukan tingkat objektivitas. Ada dua unsur yang
mendukung ketidakberpihakan, yaitu seimbang (balance) dan neutral. Seimbang adalah
memberi tempat yang adil pada pandangan yang berbeda, sering disebut dengan istilah
cover both sides, sedangkan netral berarti harus ada pemisahan antara fakta dan opini
pribadi wartawan (McQuail, 2000: 196-222).

F. Hambatan Komunikasi Massa


1 Hambatan Psikologis
Alasan mengapa disebut hambatan psikologis karena hambatan tersebut merupakan
unsur-unsur dari kegiatan psikis manusia (Ardianto, 2014, p.89). Terdiri dari sub
pembahasan yakni kepentingan, prasangka, stereotip, dan motivasi. Pemaparan dari
kepentingan adalah bahwa manusia hanya akan memperhatikan stimulus yang ada
hubungannya dengan kepentingannya. Jika tidak ada kepentingan, maka itu akan dilewati
begitu saja. Ditambah lagi bahwa komunikan dalam komunikasi massa bersifat heterogen.
Sangat kompleks sekali karena kita bisa mengelompokannya dari usia, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan, dan lainnya. Tentu saja perbedaan itu berpengaruh terhadap
kepentingan-kepentingan mereka saat berkomunikasi massa. Karena pada setiap pesan di
dalam komunikasi massa akan mendapatkan persepsi yang berbeda-beda dari
komunikannya terutama dari segi manfaat atau kegunannya. Maka, seleksi pun akan
secara otomatis terjadi dalam kegiatan komunikasi massa. Prasangka berkaitan dengan
persepsi orang tentang seseorang atau kelompok lain, dan sikap serta perilakunya terhadap
mereka. Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan
yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan (Rakhmat, 2003,
p.51). Terdapat faktor fungsional dan faktor struktural yang merupakan penentu dari
persepsi. Pada umumnya, prasangka dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat tertentu

24
terhadap kelompok masyarakat lainnya karena perbedaan suku ras dan agama (Ardianto,
2014, p.92). Prasangka merupakan salah satu rintangan atau hambatan bagi tercapainya
suatu tujuan dalam komunikasi.
2 Hambatan Sosiokultural
Tentunya hambatan ini melibatkan lingkungan sosial dan budaya seorang komunikan.
Ardianto (2014) membagi hambatan ini menjadi beberapa aspek, yakni keberagaman
etnik, perbedaan norma sosial, kurang mampunya berbahasa, faktor semantik, kurang
meratanya pendidikan, dan berbagai hambatan mekanis. Perlu diperhatikan dalam proses
pengkajian perbedaan norma sosial adalah hakikat dari norma sosial itu sendiri. Norma
sosial erupakan suatu cara, kebiasaan, tata krama dan adat istiadat yang disampaikan
secara turun-temurun, yang dapat memberikan petunjuk bagi seseorang untuk bersikap dan
bertingkah laku dalam masyarakat. Beragamnya norma sosial yang berlaku di Indonesia
harus menjadi perhatian bagi komunikator komunikasi massa. Pasalnya, kemungkinan
adanya pertentangan nilai, dalam arti kebiasaan dan adat istiadat yang dianggap baik bagi
suatu masyarakat, dan sebaliknya yaitu dianggap tidak baik bagi masyarakat. Solusinya
adalah komunikator harus mengaji dengan seksama pada setiap pesan yang akan
disebarkan. Apakah pesan itu melanggar norma sosial tertentu atau tidak? Perlu adanya
kehati-hatian bagi komunikator komunikasi massa karena komunikator yang baik adalah
komunikator yang memahami budaya masyarakatnya.
Beragamnya suku bangsa membuat bahasa daerah yang beraneka ragam. Masih banyak
masyarakat Indonesia yang tidak mampu berbahasa nasional yaitu Bahasa Indonesia.
Sedangkan kita mengetahui bahwa bahasa adalah penghubung pemikiran dan realitas.
Semantik merupakan pengetahuan tentang pengertian atau makna kata yang sebenarnya.
Jadi, alasan mengapa semantik dianggap sebagai hambatan dalam proses komunikasi
massa terletak pada bahasa yang digunakan oleh komunikan. Hambatan semantis dalam
suatu proses komunikasi dapat terjadi dalam beberapa hal: Pertama, komunikator salah
mengucapkan kata-kata atau istilah sebagai akibat berbicara terlalu cepat. Kedua, adanya
perbedaan makna dan pengertian untuk kata atau istilah yang sama sebagai akibat aspek
psikologis. Ketiga, adanya pengertian yang konotatif. Inilah mungkin yang menjadi
penghambat yang menjadi penyebab dari berbgai aspek di atas. Yaitu kurang meratanya
pendidikan di Indonesia. Mengingat pada jumlah penduduk Indonesia saat ini sudah
mencapai 210 Juta jiwa dan tersebar di seluruh pulau dan kepualauan nusantara. Ditinjau
dari sudut pendidikan, maka tingkat pendidikan di Indonesia belum merata. Adanya
kesenjangan pendidikan antara penduduk perkotaan dan pedesaan (misalnya) telah

25
menjadikan penghambat dalam proses komunikasi massa. Heterogenitas komunikan,
terutama dalam tingkat pendidikan, akan menyulitkan komunikator dalam menyusun dan
menyampaikan pesan. Masalah akan timbul manakala komunikan yang berpendidikan
rendah tidak dapat menerima pesan secara benar karena keterbatasan daya nalarnya atau
daya tangkapnya. Komunikator komunikasi massa harus mampu mengantisipasi hal-hal
tersebut dengan cara menggunakan tokoh pemuka, penerjemah, dan orang lain yang
dianggap mampu mengomunikasikan kembali supaya lebih mudah dicerna oleh
masyarakat sasaran. Hambatan komunikasi lainnya adalah hambatan mekanis. Hambatan
mekanis adalah hambatan teknis sebagai konsekuensi penggunaan media massa.
3 Hambatan Interaksi Verbal
Jenis-jenis hambatan interaksi verbal terdiri dari polarisasi, orientasi intensional,
evaluasi statis, dan indiskriminasi. Polarisasi merupakan kecenderungan untuk melihat
dunia dalam bentuk lawan kata dan menguraikannya dalam bentuk ekstrem, seperti baik
atau buruk, positif atau negatif, sehat atau sakit, pandai atau
bodoh, dan lain-lain.
Kita mempunyai kecenderungan kuat untuk melihat titik-titik ekstrem dan
mengelompokan manusia, objek, dan kejadian dalam bentuk lawan kata yang ekstrem.
Orientasi intensional mengacu pada kecenderungan kita untuk melihat manusia, objek dan
kejadian sesuai dengan ciri yang melekat pada mereka. Orientasi intensional terjadi bila
kita bertindak seakan-akan label adalah lebih penting daripada orangnya sendiri. Dalam
proses komunikasi massa, orientasi intensional biasanya dilakukan oleh komunikan
terhadap komunikator, bukan sebaliknya.
Cara mengatasi orientasi intensional adalah dengan ekstensionalisasi, yaitu dengan
memberikan perhatian utama kita pada manusia, benda, atau kejadian-kejadian di dunia ini
sesuai dengan apa yang kita lihat. Evaluasi statis merupakan resiko yang perlu diketahui
komunikator komunikasi massa. Pasalnya, evaluasi ini ditentukan oleh momen pertama
proses komunikasi massa. Jika pada saat pertama komunikan menganggap
komunikatornya tidak memiliki sesuatu hal yang baik, maka tanggapan dia akan terus
berkelanjutan. Indiskriminasi terjadi bila kita memusatkan perhatian pada kelompok
orang, benda atau kejadian dan tidak mampu melihat bahwa masing-masing bersifat unik
atau khas dan perlu diamati secara individual. Indiskriminasi merupakan inti dari stereotip.
Jadi, dalam indiskriminasi, jika komunikan dihadapkan dengan seorang komunikator,
reaksi pertama komunikan itu adalah memasukan komunikator itu ke dalam kategori
tertentu, mungkin menurut kebangsaan, agama, atau disiplin ilmu.

26
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Tantangan disrupsi media massa di era digital telah mengubah secara mendasar lanskap
media dan jurnalisme tradisional. Perubahan ini telah menciptakan tantangan besar bagi
media massa, mengancam model bisnis yang ada dan memaksa industri media untuk
beradaptasi dengan cepat. Salah satu tantangan utama adalah penurunan pendapatan iklan.
Sebelum era digital, media massa tradisional mengandalkan pendapatan iklan cetak dan
siaran untuk menjalankan operasional mereka.

Ini berarti pendapatan iklan media massa tradisional telah menurun secara signifikan,
memaksa mereka untuk mencari cara baru untuk menghasilkan pendapatan. Selain itu,
perubahan perilaku konsumen juga menjadi tantangan penting. Mereka dapat memilih dan
memfilter konten sesuai dengan minat dan preferensi mereka. Hal ini menyebabkan
masyarakat lebih selektif dalam mengonsumsi berita dan konten, mengakibatkan penurunan
oplah dan penurunan kepercayaan terhadap sumber-sumber berita tradisional.

27
Daftar Pustaka
Baran, J. Stanley., Davis, K. Dennis. (2012). Mass Communication Theory: Foundations,
Ferment, and Future (Sixth Edition). America: Michael Rosenberg.
Littlejohn, Stephen W dan Foss, Karen A. (2009). Encyclopedia of Communication
Theory, London: Sage.
DeFleur, M. L. & Ball-Rokeach, S. (1989). Theories of mass communication (5th ed.).
White Plains, NY: Longman.
Hiebert, R.E., Ungurait, D.F., & Bohn, Thomas W. (1985). Mass media IV, an
introduction to modern communication. New York: Longman.
https://thepowerofmedia.
wordpress.com/ tag/uses-and-gratifications-theory
McQuail, D. (2000). Media performance. London: Sage Publications.
Nurudin. (2013). Pengantar Komunikasi Massa.Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Adha, Suhroji. 2022. “Faktor Revolusi Perilaku Konsumen Era Digital: Sebuah Tinjauan
Literatur”, JIPIS Volume 31, No. 2. Serang: Universitas Faletehan
Djauhar, Ahmad, 2021, “Media, Kunci Sukses Penanganan Pandemi Covid-19”, Jurnal
Dewan Pers Volume 22. Jakarta: Dewan Pers
Maulina, Putri. 2019. Media dalam Tantangan Industri 4.0: Analisis Penerapan Sistem
Digitalisasi pada Perusahaan Media Tempo. Universitas Teuku Umar.
Setiawan, Asep. 2022. “Liputan Media Inggris Terhadap Covid-19: Antara Faktual dan
Sensasional”, Jurnal Dewan Pers Volume 22. Jakarta: Dewan Pers
Wahyudi, Imam. 2021. “Pandemi Covid, Revolusi Digital dan Keberlanjutan Jurnalisme
Berkualitas”, Jurnal Dewan Pers Volume 22. Jakarta: Dewan Pers

28

Anda mungkin juga menyukai