Anda di halaman 1dari 79

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan jaringan telekomunikasi pada saat ini mengalami kemajuan
yang sangat cepat dan pesat. Berbagai macam fasilitas teknologi telekomunikasi
terus dikembangkan agar para pengguna jaringan dapat melakukan komunikasi
suara, data, dan grafik / gambar. Kebutuhan yang di tuntut mengenai komunikasi
grafik dan gambar membutuhkan kecepatan data yang semakin tinggi sehingga
harus didukung oleh sistem yang handal agar dapat memberikan kualitas layanan
dengan baik.1
Tekonologi telekomunikasi merupakan teknologi yang cepat berkembang,
seiring dengan berkembangnya industri elektronika dan komputer. Dengan
mobilitas yang tinggi serta kebutuhan akan akses informasi yang cepat dan akurat
akhir-akhir ini telah menggeser preferensi masyarakat Indonesia dalam memilih
moda telekomunikasi yang dapat menunjang mereka dalam beraktivitas. Trend
teknologi telekomunikasi ini semakin kearah teknologi wireless (tanpa kabel).
Pengertian telekomunikasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
1999 tentang Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dana tau
penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan,
gambar, suara dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem
elektromagnetik lainnya.2
Pada saat ini internet semakin banyak dibutuhkan oleh semua orang.
Seiring perkembangan teknologi berbagai macam produk dan jasa telekomunikasi
mulai banyak bermunculan dan saling bersaing untuk meningkatkan kinerja agar
lebih optimal. Perusahaan di Indonesia memiliki perkembangan yang sangat pesat
seiring dengan perkembangan teknologi informasi. Dengan menggunakan alat
komunikasi saat ini tentunya mampu menghemat biaya. Menurut data yang
bersumber di internet jumlah perusahaan telekomunikasi di Indonesia terdapat 6
produk dalam penyedia layanan internet di Indonesia yaitu:

1
Rani Putri Yasmin, “Penyediaan Jaringan Telekomunikasi Indonesia”, hal. 3.
2
Indonesia (a), Undang-Undang Tentang Telekomunikasi, UU No. 36 Tahun 1999, LN
No. 154 Tahun 1999, TLN. 3881, Pasal 1 angka 1.
2

1. Biz Net: menawarkan paket internat yang dikombinasikan dengan siaran


TV kabel berkualitas HD.
2. My Republic: sebelumya bernama Innovate Indonesia, My Republic
yang menggunakan teknologi FTTH (fiber to the home) menyediakan
empat pilihan internet, mulai dari 50 Mbps sampai 300 Mbps, dengan
harga yang lebih murah dibandingakn ISP yang sudah ada.
3. MNC Play Media: menawarkan akses kecepatan hingga 200 Mbps
menggunakan teknologi FTTH (fiber to the home).
4. FirstMedia: menjadi provider pertama di Indonesia yang menghadirkan
kecepatan internet sampai dengan 100 Mbps. Dengan dukungan
teknologi kabel fiber-coaxial hybrid – sebuah teknologi yang
menggabungkan kabel serat optic dengan teknologi antenna satelit.
5. Indosat Ooredoo: menawarkan kecepatan yang tidak tanggung-
tanggung hingga 1 Gbps. Kecepatan tersebut di dapat teknologi FTTH
(fiber to the home) yang di usungnya.
6. Indihome: merupakan layanan internet dari Telkom. Sebagai pengganti
dari Speedy,IndiHome diklaim mampu menyediakan koneksi internet
yang lebih stabil karena menggunakan teknologi fiber optic.

Penyedia jasa telekomunikasi di era sekarang ini yang semakin banyak


menyebabkan persaingan bisnis telekomunikasi semakin ketat. PT
Telekomunikasi Indonesia, Tbk. merupakan salah satu perusahaan telekomunikasi
di Indonesia yang telah mengembangkan portofolio bisnisnya. PT Telkom
melakukan transformasi organisasi dari sebelumnya berdasarkan adjacent
portofolio empat segmen usaha digital TIMES menuju model Customer Facing
Unit dan Functional Unit. Hal tersebut dilakukan oleh PT Telkomunikasi
Indonesia dalam rangka menuju perusahaan digital telco atau disebut CFU dan
FU.3 Sehingga dalam penyedia layanan jasa telekomunikasi pada saat ini
mengalami persaingan usaha yang tidak sehat dikarenakan banyak pangsa pasar
yang menawarkan harga yang bersaing.

3
Situs Resmi Telkom Indonesia, https://www.telkom.co.id/servlet/tk/about/id_ID/stock
landing/profil -dan-riwayat-singkat.html diakses pada tanggal 8 Maret 2018.
3

Pada tahun 2016 KPPU memutuskan perkara terkait dengan perjanjian


baku dengan layanan telekomunikasi berupa produk IndiHome, yaitu Putusan
Perkara Nomor 10/KPPU-I/2016 mengenai dugaan pelanggaran Pasal 15 ayat (2),
Pasal 17 dan Pasal 25 ayat (1) huruf a dan c Undang-Undang Nomor 5 TAhun
1999 yang dilakukan oleh PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) Tbk.
Objek perkara ini adalah Adanya layanan Triple Play ini mengakibatkan
pelanggan yang hanya semula hanya membutuhkan satu atau dua layanan saja
terpaksa mengambil tiga layanan sekaligus sehingga mengakibatkan pelanggan
harus menanggung beban (biaya) atau jasa yang tidak digunakan. Apabila
pelanggan hanya ingin menggunakan satu atau dua layanan maka terdapat
pemutusan seluruh layanan. Sehingga pelanggan wajib untuk menggunakan ketiga
layanan tersebut sehingga dapat berpotensi merugikan konsumen, dalam hal ini
PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk pada produknya IndiHome diduga telah
melakukan pelanggaran dalam praktik tying, penyalahgunaan posisi dominan dan
praktek monopoli dengan dugaan pelanggaran Pasal 15 ayat (2), Pasal 17 dan
Pasal 25 ayat (1) huruf a dan c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

Perjanjian tersebut dapat dikatakan sebagai persaingan usaha. Persaingan


dalam usaha menurut syari’at Islam bahwasannya bersaing haruslah secara sehat,
adil dan jujur serta menjalin silaturahmi agar dapat mempererat ikatan
persaudaraan. Jadi, kebebasan individu dalam hal persaingan dibatasi oleh
kaidahkaidah Islam dan akhlaq, atau dengan kata lain masih dikendalikan oleh
aqidah, karena dengan aqidahlah seseorang bisa merefleksikan persaingan yang
sesuai dengan ajaran Islam.4

Allah SWT berfirman dalam surat Al-Qashash Ayat 77 :

4
Abdul Aziz, Ekonomi Islam Analisis Mikro dan Makro, (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2008), hal. 125.
4

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah


kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah
kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi
dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana
Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuatkerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”5

Dari pengertian diatas, bahwa dalam melakukan sesuatu hal kepada


manusia haruslah dengan cara yang baik dan jangan berbuat yang tidak baik atau
kerusakan, agar Allah memberikan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Dalam ajaran Islam, meskipun keuntungan yang dihasilkan tanpa


melakukan ikhtikar lebih sedikit, akan tetapi hal ini merupakan keutungan yang
mencerminkan keadilan baik untuk penjual maupun untuk pembeli atau dengan
kata lain harga harus mencerminkan keadilan baik dari sisi penjual maupun
pembeli. Sedangkan dalam ekonomi konvensional tujuan bisnis secara umum
adalah untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan korbanan
biaya yang sekecil-kecilnya. Hal tersebut hampir menjadi sebuah kepercayaan
bagi siapa saja yang bergerak atau terjun kedalam dunia usaha. Bahkan
dikalangan umat islam pun masih banyak yang memakai konsep ini. Secara logis
hal tersebut benar-benar mengesampingkan akan etika usaha atau etika bisnis,
karena bisa jadi ketika mengikut norma-norma etika bisnis, keuntungan yang
diperoleh tidak maksimal,bahkan membutuhkan suatu korbanan biaya yang tinggi.
Selain keadilan, hal lain yang membedakan ajaran ekonomi Islam dan ekonomi
konvensional adalah kesederhanaan dan persaudaraan.

Oleh karena itu menjadi sangat penting bagi kaum muslimin untuk
mengacu pada ajaran Islam dalam melakukan berbagai transaksi usaha.
Persaingan usaha yang diperbolehkan menurut Islam adalah persaingan yang
dilakukan dengan cara Islami, dan dapat dibenarkan menurut syara’ asal
memenuhi etika bisnis yang digariskan dalam ajaran Islam, yakni antara lain
memenuhi syarat dan rukun muamalah yang tidak menimbulkan kerugian atau

5
Department Agama Republik Indonesia, Al-Quran Dan Terjemahan, hal. 393.
5

kesempitan terhadap orang lain. Pengaruh Islam terhadap persaingan bisnis adalah
untuk menjadikan persaingan yang baik dan normal dalam menjalankan
bisnis/usaha.
Berdasarkan uraian di atas, Penulis tertarik untuk meneliti
skripsi yang berjudul “MONOPOLI PRODUK INDIHOME OLEH
PT. TELEKOMUNIKASI INDONESIA, TBK (TELKOM)
DITINJAU DARI UU NO. 5 TAHUN 1999 TENTANG
LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN
USAHA TIDAK SEHAT”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan dalam latar belakang diatas,
disusun rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana monopoli produk Indihome oleh PT. Telekomunikasi Indonesia,
Tbk (Telkom).
2. Bagaimana pertimbangan hukum Majelis Komisi KPPU dalam Putusan
Perkara Nomor 10/KPPU-I/2016.
3. Bagaimana Menganalisis pandangan Islam terkait layanan jasa telekomunikasi
dengan produk Indihome.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk menganalisis monopoli produk Indihome oleh PT. Telekomunikasi
Indonesia, Tbk (Telkom).
b. Untuk menganalisis pertimbangan hukum pada Putusan Perkara Nomor
10/KPPU-I/2016 terkait layanan jasa telekomunikasi.
c. Untuk mengenai mengenai layanan telekomunikasi ditinjau dari hukum
islam.
6

2. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah:
a. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis peneliian ini adalah dapat memberi manfaat bagi
kalangan akademis secara khusus dan masyarakat secara umum yang
membutuhkan informasi mengenai layanan telekomunikasi pada
IndiHome.
b. Manfaat Praktis
Manfaat praktis penelitian ini adalah memberikan masukan bagi
pemerintah untuk menjamin kepastian hukum dan memberikan gambaran
kepada masyarakat tentang layanan telekomunkasi pada IndiHome.

D. Kerangka Konseptual
1. Monopoli adalah penguasaan atas produksi dana tau pemasaran barang dana
tau atas penggunaan jasa tertentu oleh atu pelaku usaha satu kelompok usaha.6
2. Persingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan produksi dana tau pemasaran Barang dana atau jasa
yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menhambat
persaingan usaha. 7
3. Konsumen adalah setiap pemakai dana tau pengguna barang dana atau jasa
baik untuk kepentingan diri sendiri maupun kepentingan pihak lain.8
4. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang
diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau
pelaku usaha.9
5. Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah komisi yang dibentuk untuk
mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahnya agar tidak
melakakkan praktek monopoli dana tau persaingan usaha tidak sehat. 10

6
Indonesia (a), Undang-Undang Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Pesaingan
Usaha Tidak Sehat, UU Nomor 5 Tahun 1999, Pasal 1 angka 1.
7
Ibid, Pasal 1 angka 6.
8
Ibid, Pasal 1 angka 15.
9
Ibid, Pasal 1 angka 17.
10
Ibid, Pasal 1 angka 18.
7

6. Perseroan terbatas adalah salah satu bentuk organisasi usaha atau badan usaha
yang ada dan dikenal dalam sistem hukum dagang Indonesia.11
7. Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, penngiriman, dana tau penerimaan
dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara,
dan bunyi melalui sistem kawa, optic, radio, atau sistem elektromagnetik
lainnya.12
8. Indihome (Indonesia Digital Home) adalah salah satu produk layanan dari PT.
Telekomunikasi Indonesia berupa paket layanan komunikasi dan data seperti
telepon rumah (voice), internet (internet on fiber atau high speed internet), dan
layanan televise interaktif (USee TV Cable).13
9. PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) adalah perusahaan informasi dan
komunikasi serta penyedia jasa dan jaringan telekomunikasi secara lengkap di
Indonesia.14

E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu
penelitian hukum yang meneliti bahan pustaka atau data sekunder, yang
mungkin mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan
hukum tertier.15

2. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data
sekunder adalah data yang mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku,

11
I. G. Rai. Widjaya, S.H., M.A., Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, (Jakarta:
Kesaint Blanc, 2005), hal. 1.
12
Indonesia, Undang-Undang Tentang Telekomunikasi, UU Nomor 36 Tahun 1999, Pasal
1 angka 1
13
Situs Resmi IndiHome, https://indihome.co.id/internet-fiber diakses tanggal 2 Februari
2018.
14
Situs Resmi Telkom Indonesia, https://www.telkom.co.id/servlet/tk/about/id_ID/stock
landing/profil-dan-riwayat-singkat.html diakses pada tanggal 2 Februari 2018.
15
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3, (Jakarta: Universitas
Indonesia, 2014), hal. 52.
8

hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, dan seterusnya.16


Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan yang mengikat dan terdiri dari:
1. Al-Quran
2. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasn
menganai bahan-bahan hukum primer yang terdiri dari hasil penelitian
yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti di antaranya buku,
majalah, artikel dari media massa, laporan-laporan penelitian, jurnal-
jurnal, skripsi, tesis, maupun disertasi dan dokumen yang berasal dari
internet.
c. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasn terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya adalah
kamus, internet dan lain-lain.

3. Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan datanya yang akan digunakan studi pustaka. 17 Selain
pengumpulan studi pustaka, penulis akan melakukan wawancara sebagai
pendukung data sekunder.

4. Tempat Pengumpulan Data


Komisi Pengawas Persaingan Usaha, yang beralamat di Jl. Ir. H. Juanda No.
36 Jakarta Pusat 10120, Indonesia.

16
Ibid, hal. 12.
17
Ibid, hal. 66.
9

5. Penyajian dan Analisis Data


Penelitian ini dalam menganalisis data menggunakan metode kualitatif
deskriptif, yaitu mendeskripsikan dengan kata-kata sehingga dihasilkan
kalimat yang dapat mudah dipahami, lalu data analisis secara kualitatif untuk
menarik sebuah kesimpulan yang disajikan dalam suatu tulisan yang utuh.18

F. Sistematika Penulisan
Bab I mengenai pendahuluan berisi tentang latar belakang, rumusan
masalah, tujuan dan manfaat, kerangka konseptual, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab II mengenai tentang tinjauan pustaka tentang persaingan usaha di
Indonesia yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perata dan secara
khusus menguraikan tentang persaingan usaha dalam Hukum Persaingan Usaha.
Bab III mengenai Monopoli terkait produk IndiHome yang dilakukan oleh
PT Telekomunikasi Indonesia untuk menggunakan produk Triple Play.
Bab IV mengenai tinjauan islam terhadap larangan monopoli dan
persaingan usaha yang dilakukan oleh PT Telekomunikasi Indonesia dengan
konsumen untuk menggunakan produk IndiHome.
Bab V mengenai penutup yang berisi kesimpulan yang merupakan hasil
dari analisis melalui rumusan masalah yang berbentuk pertanyaan. Saran
merupakan usulan yang menyangkut kebijakan praktis dan terarah.

BAB II
18
Ibid, hal. 35.
10

TINJAUAN UMUM TENTANG PRAKTEK MONOPOLI DAN

PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

A. Persaingan Usaha di Indonesia


1. Pengertian Persaingan Usaha Tidak Sehat
Istilah persaingan usaha tidak sehat terdapat pada Pasal 1 angka 6 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang berbunyi sebagai berikut : persaingan tidak
sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi
dan atau pemasaran dan jasa yang dilakukan dengan tidak jujur atau melawan
hukum atau menghambat persaingan usaha. Dari definisi persaingan usaha tidak
sehat tersebut dapat dipilah dan diambil definisi persaingan usaha saja. Persaingan
usaha adalah persaingan antarpelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi
dan atau pemasaran barang dan atau jasa. Dalam persaingan usaha tidak sehat,
dibagi menjadi dua jenis persaingan usaha tidak sehat, yaitu perjanjian yang
dilarang dan kegiatan yang dilarang.

2. Sejarah Persaingan Usaha


Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga
menyatakan antara lain “Memperhatikan situasi dan kondisi tersebut, menuntut
kita untuk mencermati dan menata kembali kegiatan usaha di Indonesia, agar
dunia usaha dapat tumbuh serta berkembang secara sehat dan benar, sehingga
tercipta iklim persaingan usaha yang sehat serta terhindarnya pemusatan kekuatan
ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu, antara lain dalam bentuk
praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang merugikan masyarakat,
yang bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial. Oleh kerena itu, perlu disusun
undang-undang tentang larangan praktik monopoli untuk persaingan usaha tidak
sehat yang dimaksudkan untuk menegakkan aturan hukum dan memberikan
perlindungan yang sama bagi setiap pelaku usaha dalam upaya untuk menciptakan
persaingan usaha yang sehat. Undang-Undang ini memberikan jaminan kepastian
hukum untuk lebih mendorong percepatan pembangunan ekonomi dalam upaya
11

meningkatkan kesejaheraan umum, serta sebagai implementasi dari semangat dan


jiwa Undang-Undang Dasar 1945”.
Dengan demikian kelahiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini
dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan yang
sama kepada setiap pelaku usaha dalam berusaha, dengan cara mencegah
timbulnya praktik-praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat
lainnya dengan harapan dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif, dimana
setiap pelaku dapat bersaing secara wajar dan sehat.19

3. Sejarah Hukum Anti Monopoli di Indonesia


Tidak banyak yang dicatat dalam dalam sejarah Indonesia di seputar
kelahiran dan perkembangan hukum anti monopoli ini. Yang banyak dicatat
dalam sejarah justru tindakan-tindakan atau penyajian dalam bisnis yang
sebenarnya mesti dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli.
Di masa pemerintahan Orde Baru Soeharto misalnya, di masa itu sangat
banyak terjadi monopoli, oligopoli dan perbuatan lain yang menjurus kepada
persaingan curang. Misalnya monopoli tepung terigu, menopoli cengkeh,
monopoli jeruk di Kalimantan, monopoli pengedaran film, dan masih banyak lagi.
Bahkan dapat dikatakan bahwa keberhasilan beberapa konglomerat besar di
Indonesia juga bermula dari tindakan monopoli dan persaingan curang lainnya,
yang dibiarkan saja didorong oleh pemerintah kala itu.20
Karena itu, tidak mengherankan jika cukup banyak para praktisi maupun
teoritisi hukum dan ekonomi kala itu yang menyerukan agar segera dibuat sebuah
Undang-Undang Anti Monopoli. Seruan-seruan tersebut terasa tidak bergeming,
sampaing lengsernya rezim mantan Presiden Soeharto, dimana baru di masa
reformasi tersebut diundangkan sebuah Undang-Undang Anti Monopoli Nomor 5
Tahun 1999. Memang sebelum lahirnya Undang-Undang Anti Monopoli Nomor 5
Tahun 1999, secara sangat minim dalam beberapa undang-undang telah diatur
tentang monopoli atau persaingan curang ini secara sangat tidak memadai. Dan,
sayangnya, ketentuan yang sangat tidak memadai tersebut, ternyata tidak populer

19
Devi Meyliana, Hukum Persaingan Usaha, (Malang: Setara Press, 2013), hal 12.
20
Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli Menyosong Era Persaingan Sehat, (Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 1999), hal 41.
12

dalam masyarakat dan tidak diterapkan dalam kenyataan, ketentuan tentang anti
monopoli atau persaingan curang sebelum Undang-Undang Anti Monopoli
Nomor 5 Tahun 1999 tersebut, diatur dalam ktentuan-ketentuan sebagai berikut :21
a. Undang-Undang Perindustrian No. 5 Tahun 1984
Pada prinspnya Undang-Undang Perindustrian No. 5 Tahun 1984 juga
melarang industri-industri yang mengakibatkan terjadinya monopoli atau
persaingan curang. Hanya saja, makna dan konsep larangan tersebut undang-
undang yang bersangkutan sangat tidak terfokus dan tidak jelas, sehingga
larang tersebut jarang di praktekan.22
Dalam ketentuan Undang-Undang Perindustrian No. 5 Tahun 1984
melarang monopoli atau persaingan curang adalah sebagai berikut :
Pasal 7 ayat (2) dan (3)
Pemerintah melakukan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan
terhadap industi, untuk :
(1) ……………..,…………..
(2) Mengembangkan persaingan yang baik dan sehat serta
mencegah pesaingan yang tidak jujur.
(3) Mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh satu
kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang
merugikan masyarakat.
Pasal 9 ayat (2)
Pengaturan pembinaan bidang usaha industri dilakukan dengan
memperhatikan :
(1) ……………,…………………
(2) Penciptaan iklim yang sehat bagi pertumbuhan industri dan
pencegahan persaingan yang tidak jujur antara perusahaan-
perusahaan yang melakukan kegiatan industri, agar dapat
dihindarkan pemusatan atau penguasaan industri oleh satu
kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang
merugikan masyarakat.

21
Ibid, hal. 42.
22
Ibid
13

b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


Dalam Kitab Undang-Undang hukum Pidana Indonesia, terdapat satu
Pasal yang melarang dan menghukum tindakan persaingan curang dalam
perdagangan ini, yaitu Pasal 382 bis, yang selengkapnya berbunyi sebagai
berikut:
KUHP Pasal 382 bis.
Barang siapa untuk mendapatkan, melangsungkan atau memperluas hasil
perdagangan atau perusahaan milik sendiri atau orang lain, melakukan
perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau seorang
tertentu, diancam karena persaingan curamg, dengan pidana penjara
paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak tiga
belas ribu lima ratus rupiah, bila perbuatan itu dapat menimbulkan
kerugian bagi konkuren-konkurennya atau konkuren-konkuren orang lain
itu.

c. Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 1 Tahun 1995


Memori penjelasan atas Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 1 Tahun
1995 tersebut, di bagian umum dengan tegas menyatakan bahwa tujuan utama
dari pengaturan tentang merger, akuisisi dan konsolidasi perusahaan tersebut
adalah untuk mencegah konsentrasi kekuasaan perdagangan dalam satu tangan
dengan cara melakukan monopoli atau monopsoni. Dalam hal ini, memori
penjelasan dari Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas Nomor 1 Tahun
1995 bagian umum tersebut antara lain menyatakan ;23
Untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak sehat akibat
menumpuknya kekuatan ekonomi pada sekelompok kecil pelaku ekonomi
serta sejauh mungkin mencegah monopoli dan monopsoni dalam segala
bentuknya yang merugikan masyarakat, maka dalam undang-undang ini
diatur pula persyaratan dan tata cara untuk melakukan penggabungan,
peleburan dan pengambilalihan perseroan.

23
Ibid, hal. 45.
14

4. Lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Mengenai Larangan Praktek


Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha (UU Antimonopoli) merupakan salah satu produk undang-
undang yang dilahirkan atas desakan dari International Monetary Fund (IMF)
sebagai salah satu syarat agar pemerintah Indonesia dapat memperoleh bantuan
dari IMF guna mengatasi krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Tujuan adanya
undang-undang ini adalah untuk memangkas praktek monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat tersebut banyak terjadi akibat kebijakan pemerintah
yang kerap kali menguntungkan pelaku usaha tertentu saja.24
Sebenarnya Indonesia telah memiliki rancangan Undang-Undang
Antimonopoli yang disusun oleh pelaku usaha dengan para ekonom Indonesia
pada akhir tahun 80-an, yang apabila disahkan, dapat digunakan sebagai landasan
hukum penghapusan praktek-praktek monopoli dan persaingan usaha yang sehat
yang trjadi pada waktu itu. Namun sayangnya, karena adanya tekanan dari
penguasa, rancangan Undang-Undang Antimonopoli tersebut tidak pernah dibahas
oleh pemerintah dan dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menjadi Undang-
Undang.
Walaupun pada saat ini Indonesia telah memiliki Undang-Undang
Antimonopoli, tetapi pada kenyataannya undang-undang ini memiliki banyak
kekurangan dan kelemahan, terutama mengenai hukum acaranya. Halini dapat
dipahami karena pada waktu pembahasan dan waktu pembuatan UU
Antimonopoli ini dilakukan dalam tempo yang sangat singkat berkaitan dengan
tujuan pemerintah DPR pada waktu itu adalah, pertama, Indonesia memiliki
undang-undang persaingan usaha terlebih dahulu, dan apabila terdapat
kekurangan, kekurangan tersebut dapat diperbaiki kemudian, dan kedua, agar IMF
segera dapat mengucurkan bantuan kepada Indonesia.
Oleh karena itu, tepat pada tanggal 5 Maret 1999 UU Antimonopoli
disahkan, dan diundangkan pada tanggal yang sama, Namun demikian, UU
Antimonopoli ini tidak otomatis berlaku kerena pemerintah ingin
menyosialisasikan kepada masyarakat, dan kalangan masyarakat, dan
24
Destivano Wibowo dan Harjon Sinaga, Hukum Acara Persaingan Usaha, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2005), hal 1.
15

kalangan dunia usaha pada umumnya sebelum memberlakukannya secara


efektif. Pemerintah baru juga memberlakukan UU Antimonoploi secara efektif
satu tahun kemudian, yaitu tanggal 5 Maret 2000.25

5. Asas-Asas Dalam Melakukan Persaingan Usaha


Dalam Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,
dinyatakan bahwa “pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan
usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan
antara kepentingan pealaku usaha dan kepentongan umum”. Adapun asas-asasnya
sebagai berikut :
a. Asas Itikad Baik (good faith)
Itikad baik menurut Sutan Remi Sjahdeini secara umum adalah niat dari
pihak yang satu dalam suatu perjanjian untuk tidak merugikan mitra janjinya
maupun tidak merugikan kepentingan umum.26

b. Asas Kepastian Hukum


Bahwa salah satu fungsi ditetapkanyan norma hukum adalah untuk
menjamin adanya kepastian hukum itu sendiri. Gustav Radbruch
mengemukakan adnya tiga nilai dasar yang ingin dikejar oleh hukum.27
Dengan adanya fungsi kepastian hukum dari norma hukum, maka pengaturan
tentang persaingan usaha tidak sehat dapat dilaksanakan dengan baik.

c. Asas Demokrasi Ekonomi


Adalah suatu asas yang mengarahkan pada setiap kegiatan ekonomi yang
dilakukan harus berdasarkan pada kepentingan kerakyatan secara keseluruhan.

d. Asas Kepentingan Umum

25
Ibid, hal. 2.
26
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Seimbang Bagi Para
Pihak dalam Perjajian Kredit di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), hal. 112.
27
Esmi Warassih, Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologi, (Semarang: PT. Surysndanu
Utama), hal. 13.
16

Adalah suatu asas yang mendasarkan diri pada wewenang negara untuk
melindungi dan mengatur kepentingan dalamkehidupan masyarakat.

6. Unsur-Unsur Persaingan Usaha Tidak Sehat


Pada Pasal 1 huruf f Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Berdasarkan bunyi pasal diatas, dapat ditemukan beberapa unsur yang menjadi
paremeter suatu kegiatan usaha melakukan persaingan tidak sehat yaitu ;
a. Adanya Pelaku Usaha
Yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah setiap orang-peroranganatau
badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum
yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah
hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang
ekonomi.

b. Menjalankan kegiatan Produksi dan atau Pemasaran Barang dan atau Jasa
Yang dimaksud adalah pada saat melakukan kegiatan usahanya tersebut,
pelaku usaha yang bersangkutan mengahsilkan produksi baik berupa barang
ataupun jasa.

B. Ruang Lingkup Persaingan Usaha


1. Perjanjian Yang Dilarang Dalam Persaingan Usaha
Unsur perjanjian menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 meliputi
: perjanjian terjadi karena suatu perbuatan, perbuatan tersebut dilakukan oleh
pelaku usaha pelaku usaha sebagai para pihak dalam perjanjian, perjanjian dapat
dibuat secara tertulis atau tidak tertulis, dan tidak menyebutkan tujuan perjanjian.
Berikut ini adalah macam perjanjian yang dilarang :28
a. Perjanjian Oligopoli
Oligopoli adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang
hanya sedikit, sehingga mereka atau seseorang dari mereka dapat

28
Meyliana, op.cit., hal. 18.
17

mempengaruhi harga pasar.29 Perjanjian yang bersifat oligopoli (atau disebut


juga dengan (shared monopoly)) ini diatur pada pasal 4 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999, yaitu berbunyi:
1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain
untuk secara bersama-sama melakukan pengusasaan produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama
melakukan penguasaan dan atau pemasaran barang dan atau jasa,
sebagaimana dimaksud oleh ayat (1), apabila 2 (dua) atau 3 (tiga)
pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75%
(tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa
tertentu.
Dari perumusan pasal diatas terlihat bahwa suatu perjanjian yang
menimbulkan oligopoli dilarang jika terpenuhi unsur-unsur sebagai
berikut :
a) Adanya suatu perjanjian.
b) Perjanjian tersebut dibuat oleh antarpelaku usaha.
c) Tujuan dibuatnya perjanjian tersebut adalah untuk secara bersama-
sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang
atau jasa.
d) Perjanjian tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan curang.
e) Praktek monopoli atau persaingan curang patut diduga telah terjadi
jika dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usha
menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pengsa pasar
dari satu jenis barang atau jasa 30
Jadi dapat dikatakan bahwa pasar yang oligopolies adalah pasar
yang dikuasai oleh beberapa produsen saja (untuk produksi satu jenis
barang). Bagi pihak yang melakukan bisnis secara oligopolis berlaku
rumus bahwa aksi-aksi yang bersifat “interpendensi” jauh lebih baik
29
Endang Purwaningsih, Hukum Bisnis, cet. 1. (Bogor: Ghalia Indonesia, 2015), hal. 94.
30
Munir, op.cit, hal. 54.
18

dari tindakan yang bersifat”inderpendensi”. Dalam hal ini, semakin


besar interpendensi yang terjadi antara perusahaan-perusahaan dalam
bentuk oligopoli, maka semakin besar pula kemungkinan pasar
membentuk sikap tindak dan akibat yang serupa dengan monopoli.
Jadi pihak produsen barang sejenis akan bersatu sama lain untuk
membentuk pasar yang akan di oligopolis ini.

Karena itu, dalam ilmu hukum anti monopoli diajarkan bahwa


secara umum yang merupakan unsur-unsur terpenting dari suatu sikap
yang oligopolis adalah sebagai berikut :

a) Reaksi dari pelaku oligopoli.


b) Koordinasi dari pelaku oligopoli, dan
c) Strategic behavior dari pelaku oligopoli.31
Menurut Ayudha D. Prayoga sebagaimana dikutip dalam
buku karangan Rachmadi Usman, menyatakan bahwa Perjanjian
Oligopoli dilarang apabila dapat merugikan persaingan, jadi buat
per se illegal. Hal ini menarik karena larangan oligopoli hanya
dimasukan ke dalam perjanjian yang dilarang, yang dapat
mempersempit cakupan larangan tersebut, mengingat keterbatasan
arti perjanjian.32

b. Perjanjian Penetapan Harga


Perjanjian untuk penetapan harga juga merupakan salah satu bentuk
perjanjian yang dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli. Yang diatur
pada Pasal 5, 6, 7, dan 8 Nomor 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha untuk
melakukan perjanjian dengan pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu
barang dan atau jasa yang harus dibayar konsumen atau pelanggannya.
Dengan demikian, perjanjian penatapan harga yang dilarang oleh Undang-
Undang Anti Monopoli adalah sebagai berikut :
1) Penetapan harga antarpelaku Usaha (Pasal 5 UU Anti Monopoli)

31
Ibid.
32
Usman, op.cit, hal. 43.
19

Penetapan harga (price fixing) antarpelaku usaha dilarang oleh


Pasal 5 dari Undang-Undang Anti Monopoli. Sebab, penetapan harga
secara bersama-sama dikalangan pelaku usaha ini akan menyababkan
tidak berlakunya hukum pasar tentang harga yang terbentuk dari
adanya penawaran dan permintaan.
Akan tetapi undang-undang memberikan perkecualian terhadap
larangan membuat perjanjian tentang penetapan harga antarpelaku
usaha ini, yaitu jika perjanjian penetapan harga tersebut dibuat dalam
hal :
a) Dalam suatu usaha patungan, atau
b) Didasarkan pada undang-undang yang berlaku.33
2) Penetapan harga yang berbeda terhadap barang dan atau jasa yang
sama
Pembuatan perjanjian yang berisikan penetapan harga yang
berbeda terhadap barang dan atau jasa yang bsama dilrang oleh Pasal 6
Undang-Undang Anti Monopoli. Dalam hal ini yang dilarang adalah
membuat perjanjian yang memberlakukan diskriminasi terhadap
kedudukan konsumen yang satu dengan konsumen yang lainnya,
dengan jalan memberikan harga yang berbeda-beda terhadap
barang/jasa yang sama.
3) Penetapan harga di bawah harga pasar dengan pelaku usaha lain
Diatur dalam pasal 7 Undang-Undang Anti Monopoli. Larangan
pembuatan perjanjian yang berisikan penetapan harga barang atau jasa
di bawah harga pasar atau jasa di bawahharga pasar atau yang dikenal
dengan istilah “anti dumping” ini dimaksudkan agar pihak pesaingnya
tidak dirugikan karena barang atau jasanya tidak laku, padahal harga
barang/jasanya sesuai dengan harga pasar.
Di samping itu, apabila perjanjian yang menetapkan harga dibawah
harga pasar ini tidak dilarang, maka pihak yang kurang kuat modalnya
tentu tidak sanggup menyaingnya, karena harga tidak mungkin
dilakukan.

33
Ibid, hal. 56.
20

4) Penetapan harga jual kembali


Diatur pada Pasal 8 Undang-Undang Anti Monopoli. Yang
diamksudkan adalah bahwa seorang pelaku usaha dilarang untuk
membuat perjanjian denganpelaku usaha lainnya bahwa pihak pembeli
barang/jasa tersebut tidak akan menjual atau memasok barang/jasa
tersebut di bawah harga ynag telah ditetapkan bersama.
Terdapat dua macam penetapan harga jual kembali, yaitu :34
a) Penetapan Harga Secara Maksimum
Strategi penetapan ini bisasanya diterapkan oleh produsen
kepaa distributor produk bersangkutan, yang bertujuan untuk
mengontrol distributor untuk tidak menjual di atas harga
maksimum yang ditawarkan.
b) Penetapan Harga Secara Minimum
Penetapan harga minimum ini sering disebut juga dengan floor
price artinya kesepakatan antarpelaku usaha dimana pembeli
akan menjual kembali barang yang dibelinya pada harga yang
tidak boleh dibawah harga yang ditentukan.

c. Perjanjian Pembagian Wilayah Pemasaran atau Alokasi Pasar


Perjanjian wilayah adalah perjanjian yang yang bertujuan untuk membagi
wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan/atau jasa.35
Terdapat pada Pasal 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan
bahwa :
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau
alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat.

34
Naskah Akademik, tentang Persaingan Usaha dan Anti Monopoli, (Jakarta: Mahkamah
Agung RI, 2005), hal. 60.
35
Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, cet. 2, (Jakarta:
Kencana, 2009), hal. 24.
21

Maka yang dimaksud dengan pembagian wilayah pemasaran atau alokasi


pasar adalah :
a) Membagi wilayah untuk memperoleh atau memasok barang
dan/jasa; atau
b) Menetapkan dari siapa saja dapat memperoleh atau memasok
barang dan/atau jasa.
Tujuan dilarangnya perjanjian yang membagi wilayah pemasaran atau
alokasi pasar asalah karena perjanjian yang demikian, sebagaimana juga
perjanjian dilarang lainnya, dapat meniadakan atau membatasi persaingan
pasar, sehingga pihak konsumen maupun persaingan usaha akan sangat
dirugikan karenanya.36

d. Perjanjian Pemboikotan
Pelaku usaha juga dilarang untuk membuat perjanjian melakukan
pemboikotan (boycott), yaitu perjanjian horizontal antara pelaku usaha
pesaing untuk menolak mengadakan hubungan dagang dengan dengan pelaku
usaha lain.37
Perjanjian pemboikotan diatur pada Pasal 10 Undang-Unang Nomor 5
Tahun 1999 yang berbunyi :
1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha
pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk
melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri
maupun pasar luar negeri.
2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya, untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari
pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut :
a. Merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha
lain; atau
b. Membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli
setiap barang dan atau jasa dai pasar yang bersangkutan.

36
Munir, op.cit, hal. 61.
37
Devi, op.cit, hal. 19.
22

Ada dua macam perjanjian yang dilarang oleh Pasal 10 dari Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 sehubungan dengan perjanjian pemboikotan
tersebut, yaitu :
a) Perjanjian yang dapat menghalangi pelaku usaha lain (pihak
ketiga) untuk melakukan usaha yang sama, dan
b) Perjanjian untuk menolak menjual setiap barang dan/atau jasa
dari pelaku usaha lain (pihak ketiga), jika :
i) Merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku
usaha lain tersebut, atau
ii) Membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau
membeli setiap barang dan/atau jasa dari pasar yang
ebersangkutan.

e. Perjanjian Kartel
Yang dimaksud dengan “kartel” (dalam bahasa Inggris disebut dengan
“cartel”) adalah suatu kerja sama dari produsen-produsen produk tertentu yang
bertujuan untuk mengawasi produksi, penjualan dan harga, dan untuk
melakukan monopoli terhadap komoditas atau industri tertentu(Black, Henry
Campbell, 1968 : 270).38
Ada juga yang mengartikan “kartel” sebagai suatu asosiasi berdasarkan
suatu kontrak diantara perusahaan-perusahaan yang mempunyai kepentingan
sama, yang dirancang untuk mencegah adanya suatu kompetisi yag tajam, dan
untuk mengalokasi pasar, serta untuk mempromosikan pertukaran
pengetahuan hasil dari riset tertentu, mempertukarkn hak paten dan stadarisasi
produk tertentu (Blac, henry Campbell, 1968 : 270).39
Jadi, kartel adalah persekongkolan atau persekutuan diantara beberapa
produsen produk sejenis dengan maksud untuk mengontol produksi, harga,
dan penjualanya, serta untuk memperoleh posisi monopoli.40

38
Munir, op.cit, hal 63.
39
Ibid, hal. 64.
40
Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, cet. 1, (Jakarta:
Kencana, 2012), hal. 176.
23

Perjanjian kartel diatur pada pasal 11 Undang-Undang Nomor 5


Tahun 1999 yang bebunyi sebagai berikut :
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha
pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan
mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat.

f. Perjanjian Trust
Trust dalam bahasa Inggris banyak artinya. Tetapi dalam hal ini trust
diartikan sebagai suatu kombinasi dan beberapa perusahaan atau industialis
untuk menciptakan suatu monopoli dengan jalan menetakan patokan harga,
memiliki controlling stock dan sebagainya. Jadi dalam hal ini, trust
dipersamakan dengan kartel (Webster, Noah, 1979 : 1964).
Sedangkan pengertian “trust” dalam Undang-Undang anti Monopoli
Nomor 5 Tahun 1999 adalah suatu kerja sama dengan membentuk gabungan
perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan
mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau
perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau
pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dant atau persaingan usaha tidak sehat.41
Perjanjian trust diatur pada pasal 12 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 yang berbunyi sebagai berikut :
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain
untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan
atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan
mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau
perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan
atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat.

41
Munir, op.cit, hal 65.
24

g. Perjanjian Oligopsoni
Oligopsoni diartikan sebagai suatu bentuk dari pemusatan pembeli, yaitu
suatu situasi pasar dimana beberapa pembeli besar berhadapan dengan
pembeli kecil. Pembeli yang kuat biasanya mampu mendapatkan keuntungan
dari pihak pemasik atau penjual dalam bentuk potongan harga dari pembelian
dalam jumlah besar, dan dalam bentuk kredit yang panjang. 42
Perjanjian trust diatur pada pasal 13 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 yang berbunyi sebagai berikut :
1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain
yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian
atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas
barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat.
2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama
menguasai pembelian atau penerimaan pasokan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha
atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh
lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

h. Perjanjian Intergrasi Vertikal


Intergrasi vertikal adalah suatu penguasan serangkaian proses produksi
atas barang tertentu mulai dari hulu sampai hilir atau proses yang berlanjut
atas suatu layanan jasa tertentu oleh pelaku usaha tertentu.43
Perjanjian intergrasi vertikal diatur pada pasal 14 Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999 yang berbunyi sebagai berikut :
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain
yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk
dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana
setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses
42
Susanti, op.cit, hal. 203.
43
Munir, op.cit, hal 68.
25

lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung,


yang dapat mengakibatkan terjadinya dan persaingan usaha tidak sehat
dan atau merugikan masyarakat.

Intergrasi vertikal ini adalah perjanjian antara para pelaku usaha yang
bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam
rangkaian rangkaian produksi barang dan/atau jasa tertentu yang mana setiap
rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan datu pross lanjutan, baik
dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.44

i. Perjanjian Tertutup
Perjanjian tertutup adalah perjanjian antar pelaku usaha yang memuat
persyaratan persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa
hanya akan memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak
tertentu dana atau tempat tertentu.
Pada prinsipnya seorang pelaku usaha bebas untuk menentukan sendiri
pihak penjual atau pembeli atau pemasok suatu produk di pasar sesuai dengan
berlakunya hukum pasar. Karena itu, setiap perjanjian yang menggerogoti
kebebasan tersebut bertentangan denganhukum pasar dan dapat
mengakibatkan timbulnya persaingan curang. Perjanjian yang dapat
membatasi kebebasan pelaku usaha tertentu untuk memilih sendiri, penjual
atau pemasok disebut dengan istilah “Persaingan Tertutup”.45
Perjanjian tertutup diatur dalam Pasal 15 Undang Nomor 5 Tahun 1999,
yang menyatakan sebagai berikut :
1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain
yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan
atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang
dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat
tertentu.

44
Hermansyah, op.cit, hal. 36.
45
Munir, op.cit, hal. 69.
26

2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang


memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau
jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari
pelaku usaha pemasok.
3) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau
potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat
persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau
jasa dari pelaku usaha pemasok:
a. harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku
usaha pemasok; atau
b. tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis
dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha
pemasok.

j. Perjanjian Dengan Pihak Luar Negeri


Perjanjian dengan pihak luar negeri dilarang apabila memuat ketentuan
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan
usaha tidak sehat.46
Dengan demikian, membuat perjanjian dengan pihak luar negeri
sebenarnya sah-sah saja dan memang sudah menjadi praktek bisnis sehari-
hari. Hanya yang dilarang adalah jika pejanjian tersebut dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan bisnis yang tidak sehat.47
Sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor Tahun 1999,
yaitu :
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar
negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

2. Kegiatan Yang Dilarang Dalam Persaingan Usaha


Selain dari adanya berbagai bentuk “perjanjian” yang mengakibatkan
terjadinya persaingan curang, terdapat juga berbagai “kegiatan” yang juga dapat
46
Devi, op.cit, hal. 21.
47
Munir, op.cit, hal. 72.
27

mengakibatkan terjadinya suatu persaingan curang, sehingga hal tersebut harus


dilarang. Kegiatan-kegiatan yang dilarang tersebut adalah sebagai berikut :
a. Monopoli
Yang dimaksud monopoli adalah suatu penguasaan atas produksi dan atau
pemasaran barang dan atau penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha
atau satu kelompok pelaku usaha. (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Anti
Monopoli).48
Sementara yang dimaksud dengan praktek monopoli adalah pemusatan
kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan
dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu
sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan
kepentingan umum. (Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Anti Monopoli).49
Pada Undang-Undang Anti Monopoli melarang kegiatan ekonomi terdapat
di Pasal 17, yang menyatakan :
1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) apabila:
a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya;
atau
b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam
persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau
c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai
lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang
atau jasa tertentu.

b. Kegiatan Monopsoni
Kegiatan Monopsoni terdapat pada Pasal 18 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999, yang menyatakan :
48
Ibid, hal. 75.
49
Ibid, hal. 76.
28

1) Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi


pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan
pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha
menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis
barang atau jasa tertentu.

c. Penguasaan Pasar
Kegiatan penguasaan pasar adalah penolakan atau pengahalangan
perusahaan tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar
bersangkutan; penghalangan konsumen atau pelanggan pelaku usaha
persaingannya untuk tidak melakukan hubunganusaha dengan pengusaha
pesaing; pembatasan peredaran atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar
bersangkutan; praktik monopoli terhadap pengusaha tertentu; jual rugi atau
penetapan harga yang sangta rendah untuk menyingkirkan atau mematikan
usaha pesaingannya dipasar yang bersangkutan;dan kecurangan dalam
menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari
komponen harga barang dan atau jasa.
Dalam penguasaan pasar terdapat pada Pasal 19 dan Pasal 21 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999, yang menyatakan :
Pasal 19 :
Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik
sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
berupa:
a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk
melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan;
29

b. atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga


dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat
Pasal 21 :
Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya
produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga
barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan
usaha tidak sehat.

d. Persekongkolan
Kegiatan persekongkolan adalah persekongkolan dengan pihak lain untuk
mengatur dan menentukan pemenang tender dan atau untuk mendapatkan
informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklarifikasikan sebagai rahasia
perusahaan dan atau mengahambat produksi dan atau pemasaran barang dan
atau jasa pelaku usaha lainnya dengan maksud agar barang dan atau jasa
ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang, baik dari
jumlah, kualitas, maupun ketetapan waktu yang dipersyaratkan.50
Dalam kegiatan persekongkolan diatur pada Pasal 22, 23, dan 24 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999, yang menyatakn sebagai berikut :
Pasal 22 :
Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur
dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

Pasal 23 :
Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk
mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan
sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat.

Pasal 24 :

50
Rachmadi, op.cit, hal. 369.
30

Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat


produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha
pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan
atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah,
kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.

C. Pendekatan Dalam Hukum Persaingan Usaha


1. Pendekatan Per se Illegal
Pendekatan per se illegal adalah menyatakan setiap perjanjian atau
kegiatan usaha tertentu sebagai illegal, tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak
yang ditimbulkan dari pejanjian atau kegiatan usaha tersebut. Kegiatan yang
dianggap sebagai per se illegal biasanya meliputi penetapan harga secara kolusif
atas produk tertentu, serta pengaturan harga penjualan kembali.51
Suatu pendekatan per se illegal dalam pengadilan akan dihukum tanpa
proses penyidikan yang rumit. Jenis pelaku yang ditetapkan secara per se illegal
akan dilaksanakan, setelah pengadilan memiliki pengalaman yang memadai
terhadap perilaku tersebut, yakni bahwa perilaku tersebut hampir selalu bersifat
anti persaingan, dan hampir selalu tidak pernah membawa manfaat social.
Pendekatan per se illegal ditinjau dari sudut proses administratif adalah
mudah, hal ini disebabkan karena metode ini membolehkan pengadilan untuk
menolak melakukan penyelidikan secara rinci, yang biasanya memerlakukan
waktu lama dan biaya yang mahal guna mencari fakta di pasar yang
bersangkutan.52
Penyelidikan terhadap ada tidaknya pelanggaran terhadap ketentuan
hukum persaingan melalui pendekatan per se illegal dianggap lebih memberikan
kepastian hukum. Artinya, bahwa adanya larangan yang tegas dapat memberikan
kepastian bagi penguasa untuk mengetahui kebasahan suatu perbuatan. Dengan
perkataan lain, bahwa pendekatan per se illegal dapat memperingatkan pelaku

51
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, HUkum Persaingan Usaha Antara Teks dan
Konteks, (Indonesia: Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH, 2009),
hal. 55.
52
Herbert Hovenkamp, Anti Trust, (St PaulMinnesota : West Publishing, co. 1993), hal.
91.
31

usaha sejak awal, mengenai perbuatan apa saja yang dilarang, serta berusaha
menjauhkan mereka untuk mencoba melakukannya.
Karena itu, pendekatan yang dilakukan oleh penganut-penganut teori per
se ini adalah merupakan kaum Structuralist dengan paham Structuralismnya.
Menurut teori ini, misalnya pertukaran informasi harga antara pihak
competitor, bagaimana pun juga dianggap bertentangan dengan hukum anti
monopoli.53

2. Pendekatan Rule of Reason


Teori rule of reason ini lebih luas dari teori per se. Teori rule of reason ini
lebih berorientasi kepada efisiensi ini berasal dari “Aliran Chicago”, yakni aliran
yang sangat berpegang kepada teori tentang harga.54
Berbeda halnya dengan per se illegal, penggunaan pendekatan rule of
reason memungkinkan pengadilan untuk melakukan interpretasi terhadap
Undang-Undang. Keunggulan rule of reason adalah menggunakan analisis
ekonomi untuk mencapai efisiensi guna mengetahui dengan pasti, yaitu apakah
suatu tindakan pelaku usaha memiliki implikasi kepada persaingan. Dengan kata
lain, apakah suatu tindakan dianggap menghambat persaingan atau mendorong
persaingan. Sebaliknya jika menerapkan per se illegal, maka tindakan pelaku
usaha tertentu selalu dianggap melanggar Undang-Undang tanpa harus
membuktikan akibatnya lebih lanjut.55
Namun pendekatan rule of reason juga mengandung satu kelemahan, dan
merupakan kelemahan paling utama yaitu, bahwa rule of reason yang digunakan
oleh para hakim dan juri mensyaratkan pengetahuan tentang teori eknomi dan
sejumlah data ekonomi yang kompleks, dimana mereka belum memiliki
kemampuan yang cukup untuk memahaminya, guna dapat menghasilkan
keputusan yang rasional.

53
Munir, op.cit, hal. 47.
54
Ibid.
55
Herbert, op.cit, hal 30.
32

BAB III

MONOPOLI PRODUK INDIHOME OLEH PT. TELEKOMUNIKASI


INDONESIA, TBK (TELKOM)

A. Produk Indihome Oleh PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk


1. Sejarah PT.Telekomunikasi Indonesia, Tbk

Perusahaan Telekomunikasi sudah ada sejak masa Hindia Belanda danyang


menyelenggarakan adalah pihak swasta, sedangkan perusahaan Telekomunikasi
Indonesia (PT. TELKOM) sendiri juga termasuk bagian dari perusaahaan tersebut
yang mempunyai bentuk badan usaha Post-en Telegraaflent dengan Staats blaad
No.52 tahun 1884 dan sejak tahun 1905 perusahaan Telekomunikasi sudah
berjumlah 38 peusahaan, namun setelah itu pemerintah Hindia Belanda
mengambil alih perusahaan tersebut yang berdasar kepada Staatsblaad tahun
1906, dan sejak itu berdirilah Post, Telegraf en Telefoon Dients (PTTDients),dan
perusahaan ini ditetapkan sebagai Perusahaan Negara berdasar Staats blaad
No.419 tahun 1927 tentang Indonesia Bedrijven Weet (I.B.W UndangUndang
Perusahaan Negara).56
Perusahaan PTT tesebut bertahan sampai adanya Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu) No.19 tahun 1960 oleh Pemerintah Republik
Indonesia, tentang adanya persyaratan suatu Perusahaan Negara (PN) tetapi pada
tahun 1961 menurut Peraturan Pemerintah No.240 bahwa Perusahaan Negara
dilebur menjadi Perusahaan Negara Pos dan Telekomunikasi yang dimuat dalam
pasal 2 I.B.
Namun pada tahun 1965 pmemerintah membagi perusahaan Pos dan
Telekomunikasi menjadi dua bagian yang berdiri sendiri yaitu Perusahaan Pos dan
Giro (PN. Pos dan Giro) serta Perusahaan Negara Telekomunikasi (PN.
Telekomunikasi) yang sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah No.30 tahun
1965. Dan perusahaan tersebut berkembang menjadi Perusahaan Umum (Perum).

56
Situs Resmi PT.Telekomunikasi Indonesia, https://www.telkom.co.id/ servlet/tk/
about/id_ID/stocklanding/profil-dan-riwayat-singkat.html
33

Dalam Peraturan Pemerintah No.36 tahun 1974 dinyatakan bahwa Perum


Telekomunikasi sebagai penyelenggara jasa Telekomunikasi untuk umum baik
Telekomunikasi dalam negeri maupun luar negeri.
Perusahaan Umum (PERUM) Telekomunikasi merupakan penyelenggara
jasa telekomunikasi untuk umum, baik hubungan telekomunikasi dalam negeri
maupun luar negeri. Tentang hubungan telekomunikasi luar negeri saat itu juga
diselenggarakan oleh PT. Indonesia Satelite Corporation (INDOSAT), yang masih
berstatus perusahaan asing yakni dari American Cable and Radio Corp yaitu suatu
perusahaan yang didirikan berdasarkan peraturan negara bagian Delaware, USA.
Seluruh saham PT Indosat dengan modal asing ini pada tahun 1980 dibeli
oleh Indonesia dari American Cable and radio Corp. Pemerintah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah No. 22 tahun 1274 berdasarkan PP No. 53 tahun 1980,
Perumtel ditetapkan sebagai badan usaha yang berwenang menyelenggarakan
telekomunikasi untuk umum dalam negeri dan Indosat ditetapkan sebagai badan
usaha penyelenggara telekomunikasi urnurn untuk internasional.
Memasuki Repelita V, pemerintah merasakan perlu percepatan
pembangunan telekomunikasi sebagai infrastruktur yang diharapkan dapat
memacu pembangunan sektor lainnya. Berdasarkan PP No. 15 tahun 1991, maka
Perum dialihkan menjadi Perusahaan Perseroan (persero). Mengantisipasi era
globalisasi, seperti diterapkannya perdagangari bebas baik internasional maupun
regional, maka PT Telkom pada tahun 1995 melaksanakan 3 program besar.
Program-program tersebut adalah restrukturisasi internal, penerapan KSO dan
persiapan Go Public Internasional (International Public Offering).
PT.Telkom Indonesia (Persero) Tbk (Telkom) adalah Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) yang bergerak di bidang jasa layanan teknologi informasi dan
komunikasi (TIK) dan jaringan telekomunikasi di Indonesia. Pemegang saham
mayoritas Telkom adalah Pemerintah Republik Indonesia sebesar 52.09%,
sedangkan 47.91% sisanya dikuasai oleh publik. Saham Telkom diperdagangkan
di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan kode “TLKM” dan New York Stock
Exchange (NYSE) dengan kode “TLK”.57

57
Ibid.
34

Dalam upaya bertransformasi menjadi digital telecommunication


company, TelkomGroup mengimplementasikan strategi bisnis dan operasional
perusahaan yang berorientasi kepada pelanggan (customer-oriented).
Transformasi tersebut akan membuat organisasi TelkomGroup menjadi
lebih lean (ramping) dan agile (lincah) dalam beradaptasi dengan perubahan
industri telekomunikasi yang berlangsung sangat cepat. Organisasi yang baru juga
diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam
menciptakancustomer experience yang berkualitas.58
Kegiatan usaha TelkomGroup bertumbuh dan berubah seiring dengan
perkembangan teknologi, informas dan digitalisasi, namun masih dalam koridor
industri telekomunikasi dan informasi. Hal ini terlihat dari lini bisnis yang terus
berkembang melengkapi legacy yang sudah ada sebelumnya.59

2. Produk- produk PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk


Kegiatan usaha PT. Telekomunikasi Indonesia bertumbuh dan berubah
seiring dengan perkembangan teknologi, informasi dan digitalisasi, namun masih
dalam koridor industri telekomunikasi dan informasi. Saat ini PT. Telekomunikasi
Indonesia, Tbk mengelola 6 produk portofolio yang melayani empat segmen
konsumen, yaitu korporat, perumahan, perorangan dan segmen konsumen lainnya.
Produk PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk yaitu:
a. Mobile
Portofolio ini menawarkan produk mobile voice, SMS dan value added
service, serta mobile broadband. Produk tersebut ditawarkan melalui entitas
anak, Telkomsel, dengan merk Kartu Halo untuk pasca bayar dan simPATI,
Kartu As dan Loop untuk pra bayar.

b. Fixed
Portofolio ini memberikan layanan fixed service, meliputi fixed voice, fixed
broadband, termasuk Wi-Fi dan emerging wireless technology lainnya,
dengan brand IndiHome.

58
Ibid.
59
Ibid.
35

c. Wholesale & International


Produk yang ditawarkan antara lain layanan interkoneksi, network service,
Wi-Fi, VAS, hubbing data center dan content platform, data dan internet,
dan solution.

d. Network Infrastructure
Produk yang ditawarkan meliputi network service, satelit, infrastruktur dan
tower.

e. Enterprise Digital
Terdiri dari layanan information and communication technology platform
service dan smart enabler platform service.

f. Consumer Digital
Terdiri dari media dan edutainment service, seperti e-
commerce (blanja.com), video/TV dan mobile based digital service. Selain
itu, kami juga menawarkan digital life service seperti digital life style (Langit
Musik dan VideoMax), digital payment seperti TCASH, digital
advertising and analytics seperti bisnis digital advertising dan solusi mobile
banking serta enterprise digital service yang menawarkan layanan Internet of
Things (IoT).

3. Produk IndiHome oleh PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk


PT. Telekomunikasi Indonesia,Tbk (Telkom) sebagai salah-satu perusahaan
BUMN diduga melakukan praktek monopoli melalui jasa komunikasi yaitu
IndiHome. IndiHome adalah layanan internet broadband dari Telkom Indonesia.
IndiHome sebelumnya lebih dikenal dengan nama Telkom Speedy. Telkom
mengganti nama Telkom Speedy menjadi IndiHome sejak awal tahun 2015 lalu.
IndiHome memiliki layanan digital menggunakan teknologi fiber optik yang
menawarkan layanan Triple Play yang terdiri dari Internet Rumah (Fixed
Broadband Internet), Telepon Rumah (Fixed Phone) dan TV Interaktif (UseeTV).
IndiHome juga menawarkan layanan Dual Play yang terdiri Internet Fiber
(Internet Cepat) dan Telepon Rumah (Fixed Phone) atau Internet Fiber (Internet
36

Cepat) dan TV Interaktif (UseeTV). Selain menawarkan triple play dan dual play,
IndiHome juga melayani konsumen yang hanya ingin memiliki layanan internet
saja (1Play),
IndiHome Triple Play memberikan benefit yang lebih banyak jika
dibandingkan dengan Single Play maupun Dual Play. Pelanggan IndiHome Triple
Play mendapatkan langsung tiga produk, yaitu telepon rumah, internet cepat, dan
TV interaktif dalam satu paket dengan harga satuan yang lebih hemat. Pada
layanan telepon rumah, pelanggan mendapatkan gratis 1000 menit ke lokal
maupun interlokal. Pelanggan IndiHome juga akan menggunakan jaringan fiber
optic yang memberikan kecepatan internet yang jauh lebih tinggi. Saat ini
disediakan paket sampai dengan 100 Mbps.
Berdasarkan penelitian penulis, produk seperti IndiHome tidak hanya
dimiliki oleh PT.Telekomunikasi Indonesia,Tbk, antara lain ;
1) Biznet
Biznet Home menawarkan paket internet yang dikombinasikan dengan
siaran TV kabel berkualitas HD. Layanan internet fiber optik Biznet, yang
kini telah menjangkau 100 kota di Jawa, Bali, Sumatera, dan Batam,
memiliki kecepatan maksimal hingga 100 Mbps. Cari tahu lebih lanjut
mengenai Biznet Home Combo
2) Firstmedia
Pada bulan September 2013, Firstmedia menjadi provider pertama di
Indonesia yang menghadirkan kecepatan internet sampai dengan 100
Mbps. Dengan dukungan teknologi kabel fiber-coaxial hybrid—sebuah
teknologi yang menggabungkan kabel serat optik dengan teknologi antena
satelit, Firstmedia menjanjikan koneksi data yang stabil untuk kamu
gunakan berselancar di internet setiap harinya.
3) MNC Play Media
Bekerja sama dengan ZTE, MNC Play Media menawarkan akses
kecepatan hingga 200 Mbps menggunakan teknologi FTTH (fiber to the
home). Berkat teknologi ini, jaringan MNC Media Play dapat
menyambungkan setidaknya dua juta rumah pengguna di sepuluh kota
besar Indonesia menggunakan kabel fiber optik khusus. Ketika fiber-
37

coaxial hybrid masih menggunakan penghubung non-optik, FTTH


sepenuhnya menggunakan kabel serat optik sampai ke pusat koneksi
internet yang digunakan.

4. Monopoli Produk Indihome Oleh PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk


Dalam UUD 1945 khususnya pasal 33 tentang Perekonomian Nasional dan
Kesejahteraan Sosial, khususnya dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4). Yang
berbunyi sebagai berikut :
“(2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara., (3) Bumi dan air, dan kekayaan
alam yang tekandung di dalamnya dikuasai oleh negara., (4) Perekonomian
nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan , efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
berkemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan
ekonomi nasional”
Hal ini sebenarnya sudah sejalan dengan prinsip persaingan usaha yang
sehat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yaitu Pasal 51
mengenai: “monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup
orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara, dimana
untuk itu perlu diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan
Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk
oleh Pemerintah”.

Jadi pada dasarnya UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek


Monopoli dan Persaingan Usaha Tidk Sehat membolehkan BUMN atau badan
atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah memonopoli suatu
kegiatan usaha selama diatur dalan perundang-undangan. Perlu diingat, selama
menjalankan hak monopolinya, BUMN atau badan atau lembaga yang dibentuk
atau ditunjuk oleh Pemerintah tidak boleh melakukan praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat. Jadi tidak serta merta BUMN atau badan atau
38

lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah dikecualikan dalam UU


No. 5 tahun 1999.
Jadi, pada dasarnya IndiHome merupakan produk dari PT. Telekomunikasi
Indonesia yang dimiliki oleh BUMN yang dapat monopoli selama diatur dalam
Undang-Undang. Jadi, pengendalian dan pengawasan dari BUMN atau badan atau
lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah tetap berada di tangan
pemerintah.
Dalam Undang-Undang Nomor 36 1999 tentang Telekomunikasi mengatur
mengenai monopoli yang tercantum pada Pasal 10 berbunyi:
“(1) Dalam penyelenggaraan telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat di antara penyelenggara telekomunikasi. (2) Larangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundangundangan yang
berlaku.”
Suatu pasar dimana tidak terdapat persaingan disebut sebagai “monopoli”.
Ada beberapa asumsi yang menjadi dasar untuk menentukan adanya monopoli.60
Pertama, apabila pelaku usaha mempunyai pengaruh untuk menentukan harga.
Kedua, pelaku usaha tidak merasa perlu untuk menyesuaikan diri terhadap
pesaing dan terakhir, adanya “entry barrier” bagi pelaku usaha yang ingin masuk
dalam pasar yang sudah dimonopoli oleh pelaku usaha.
Praktek monopoli61 akan terjadi bila :
1) Monopoli diberikan kepada satu atau beberapa perusahaan tertentu saja,
tanpa melalui Undang-undang.
2) Monopoli atau kedudukan monopolistik diperoleh dari kerjasama antara
dua atau lebih organisasi sejenis baik dalam bentuk pengaturan
persaingan diantara mereka sendiri maupun dalam bentuk peleburan
atau fusi.

60
Michael-Kantz dan Harveey S Rosen, “Microeconomic”, USA : Richard D Irwin Inc,
1994, Hal. 432-433
61
Praktek Monopoli adalah Pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku
usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa
tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan
umum, (Undang-undang No.5 tahun 1999 Pasal 1 angka 2).
39

Menurut Kwik Kian Gie, kondisi tersebut diatas terjadi karena peran
negara kepada suatu badan usaha, baik BUMN, usaha swasta maupun
koperasi.62
Sedangkan Peter Mahmud Marzuki mengatakan bahwa monopoli yang
dilarang oleh Undang-undang persaingan adalah monopoli yang
menyebabkan terjadinya penentuan pasar, pembagian pasar dan konsentrasi
pasar.63

B. Analisis Putusan KPPU dalam Putusan Perkara Nomor 10/KPPU-I/2016


1. Duduk Perkara
Perkara KPPU Nomor 10/KPPU- I/2016 berawal dari beberapa
pelanggan mengeluh mengenai layanan IndiHome Tripple Play. Keluhan
tersebut terkait Telkom yang bakal mencabut telepon rumah, jika seorang
pengguna berhenti berlanganan, sehingga KPPU melakukan penyelidikan
terhadap dugaanDugaan Pelanggaran Pasal 15 ayat (2), Pasal 17 dan Pasal
25 ayat (1) huruf a dan c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dalam
Industri Telekomunikasi terkait Jasa Telepon Tetap, Jasa Internet dan Jasa
IP TV di Indonesia oleh PT. PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk yang
beralamat di Jalan Japati No.1, Bandung 40133
Pada tanggal 29 Desember 2016, Ketua Komisi menerbitkan
Penetapan Komisi Nomor 55/KPPU/Pen/XII/2016 tanggal tentang
Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Nomor 10/KPPU-I/2016. Ketua
Majelis Komisi Perkara Nomor 10/KPPUI/2016 menerbitkan Surat
Keputusan Majelis Komisi Nomor 08/KMK/Kep/II/2017 tentang Jangka
Waktu Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Nomor 10/KPPU-I/2016, yaitu
dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak
tanggal 21 Februari 2017 sampai dengan tanggal 04 April 2017.
Pada tanggal 21 Februari 2017 Majelis Komisi melaksanakan
Sidang Majelis Komisi I dengan agenda Pembacaan dan Penyerahan

62
Kwik Kian Gie, Saya bermimpi jadi konglomerat ,(Jakarta, Gramedia, 1994) Hal. 233.
63
Peter Mahmud Marzuki Telaah filosofi terhadap Undang-undang larangan praktek
monopoli dam persaingan usaha tidak sehat dalam kaitannya dengan konstitusi Republik
Indonesia, (Majalah Yuridika, Surabaya, Fakultas Hukum Universitas Erlangga November 2001),
Hal. 512.
40

Salinan Laporan Dugaan Pelanggaran oleh Investigator kepada Terlapor,


Sidang Majelis Komisi I tersebut dihadiri oleh Investigator, dan PT
Telekomunikasi Indonesia,Tbk. Pada Sidang Majelis Komisi I,
Investigator membacakan Laporan Dugaan Pelanggaran yang pada
pokoknya :
1. Dugaan Pelanggaran;
Dugaan Pelanggaran dalam perkara ini adalah Pasal 15 ayat (2), Pasal
17 dan Pasal 25 ayat (1) huruf a dan c Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999.
2. Objek Perkara
Objek perkara adalah layanan Jasa dalam Industri Telekomunikasi
terkait jasa telepon tetap (fixed line), Jasa Internet (fixed broadband),
dan Jasa TV berbayar (IP TV) yang dipasarkan oleh Terlapor di
seluruh wilayah Indonesia dengan periode waktu mulai bulan
Desember 2013 sampai dengan bulan Maret 2016 .
3. Analisa Dugaan Pelanggaran
Analisa Dugaan Pelanggaran, bahwa dalam kontrak berlangganan
Indihome yang mengatur tentang Pengakhiran Kontrak, disebutkan
bahwa pengakhiran kontrak berlangganan Indihome adalah berlaku
untuk seluruh layanan Indihome, tidak dapat dilakukan secara
parsial/sebagian layanan Indihome, berikut bukti klausula kewajiban
yang bersifat memaksa yang dilakukan oleh Terlapor.

Pada Sidang Majelis Komisi II, Terlapor (PT. Telekomunikasi


Indonesia, Tbk) menyerahkan Tanggapan terhadap Laporan Dugaan
Pelanggaran yang pada pokoknya berisi Perjanjian baku Terlapor tidak
memuat ketentuan pengikatan produk secara paksa (tying) yang berakibat
tidak adanya pilihan pada konsumen.
Majelis Komisi menilai perlu dilakukan Perpanjangan
Pemeriksaan Lanjutan, maka Majelis Komisi menerbitkan Surat
Keputusan Majelis Komisi Nomor 33/KMK/Kep/VII/2017 tentang
Perpanjangan Pemeriksaan Lanjutan Perkara Nomor 10/KPPU-I/2016,
41

yaitu dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung
sejak tanggal 14 Juli 2017 sampai dengan tanggal 25 Agustus 2017.
PT Telekomuniskasi Indonesia, Tbk) menyerahkan Kesimpulan
Hasil Persidangan yang pada pokoknya memuat hal-hal sebagai berikut:
a. Latar Belakang, Fakta dan Peristiwa yang Relevan dengan Perkara
Aquo yang Disampaikan oleh Terlapor adalah Benar Dan Sesuai
dengan Fakta yang Sebenarnya
b. fakta-fakta yang terungkap di persidangan dan bukti-bukti yang
diajukan oleh Tim Investigator dan Terlapor, serta saksi-saksi dan ahli
yang diajukan oleh Tim Investigator dan Terlapor, dengan ini Terlapor
menyampaikan kesimpulan
c. Terbukti secara jelas dan nyata (prima facie) bahwa Tim Investigator
tidak dapat membantah dalil-dalil Terlapor, sehingga terbukti sebagai
berikut:
a) Telepon tetap (fixed line) merupakan sunset product;
b) Trend global dunia telekomunikasi menuju konvergensi
layanan triple play atau bahkan quadruple play;
c) Penetrasi dan kualitas internet di Indonesia cukup rendah,
Terlapor terpanggil untuk meningkatkannya;
d) Layanan triple play menguntungkan pelanggan, dimana
Terlapor tetap menyediakan layanan bagi para pelanggan yang
menginginkan layanan terpisah;

Pasar bersangkutan sebagaimana diuraikan dalam LDP Tim


Investigator tidak jelas dan kabur (obscuur), karena batasan-
batasan pengertian tentang pasar bersangkutan (relevant market),
pasar produk, dan pasar geografis dalam Perkara aquo tidak jelas
dan kabur (obscuur);
a) Terbukti secara jelas dan nyata (prima facie) bahwa Tim
Investigator tidak dapat membuktikan dalil- Salinan halaman 42
dari 124 dalil dalam LDP-nya sehingga terbukti sebagai berikut:
42

a. Terbukti Terlapor tidak melanggar Pasal 15 (2) UU No.


5/1999 dalam penyelenggaraan jasa telepon tetap, jasa
internet, dan jasa IPTV di Indonesia berdasarkan alasan-
alasan sebagai berikut:
b. Kontrak Berlangganan IndiHome tidak dapat dijadikan bukti
adanya pelanggaran Pasal 15 (2) UU No. 5/1999 oleh
Terlapor karena salah satu pihak di dalam kontrak
berlangganan bukan pelaku usaha
c. Kontrak Berlangganan IndiHome yang tidak diisi dan tidak
ditandatangani oleh para pihak yang dijadikan bukti oleh
Tim Investigator untuk mendalilkan terlapor telah
melakukan praktek tying bukan merupakan perjanjian
karena belum memenuhi syarat sahnya perjanjian
sebagaimana diatur Pasal 1320 KUHPerdata;
d. Jasa telepon tetap (fixed line) bukan produk pengikat (tying
product) dimana internet dan jasa IPTV diikatkan
penjualannya (tied product) karena telah terbukti jasa
telepon tetap (fixed line) bukan produk yang paling
diinginkan oleh pelanggan;
e. Terbukti paket IndiHome merupakan mixed bundling, bukan
tying, karena Terlapor tidak hanya menjual paket IndiHome
yang merupakan paket yang berisi tiga jasa (jasa telepon
tetap (fixed line), jasa internet (fixed broadband), dan jasa
IPTV), namun Terlapor juga senantiasa menjual jasa telepon
tetap (fixed line), jasa internet (fixed broadband), Salinan
halaman 43 dari 124 dan jasa IPTV masing-masing secara
terpisah hingga saat ini
f. Tim Investigator telah salah menafsirkan ketentuan Pasal
10.3 Kontrak Berlangganan IndiHome, karena Kontrak
Berlangganan IndiHome merupakan kontrak khusus untuk
pelanggan yang berlangganan jasa telepon tetap (fixed line),
jasa internet (fixed broadband), dan jasa IPTV secara
43

sekaligus, dimana apabila pelanggan bermaksud mengurangi


layanan maka pelanggan dapat melakukan migrasi layanan
dan menandatangani kontrak berlangganan baru untuk
layanan yang diinginkan pelanggan;
g. Klausula pengakhiran perjanjian dalam Pasal 10.3 Kontrak
Berlangganan IndiHome tidak dapat dijadikan bukti untuk
menuduh Terlapor melakukan praktek tying yang dilarang
dalam Pasal 15 (2) UU No. 5/1999 karena Pasal 10.3
Kontrak Berlangganan IndiHome tidak memuat persyaratan
bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu
harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku
usaha pemasok. Pasal 10.3 Kontrak Berlangganan
merupakan exit clause yang hanya akan diterapkan apabila
konsumen berhenti menjadi pelanggan IndiHome; dan;
h. Bukti script berupa informasi layanan TELKOM 147 yang
diakses melalui telepon tanggal 16 Maret 2016 (“Script
Telkom 147”) tidak dapat menjadi bukti adanya praktek
tying dalam penyediaan jasa telepon tetap (fixed line), jasa
internet (fixed broadband), dan jasa IPTV karena bukan
merupakan alat bukti yang sah
IndiHome adalah salah satu produk layanan yang dikeluarkan oleh
TELKOM berupa paket layanan yang terpadu dalam satu paket triple play
meliputi layanan komunikasi, data dan entertainment seperti telepon
rumah (fixed line), internet (Internet on Fiber atau High Speed Internet)
dan layanan televisi interaktif dengan teknologi IPTV (UseeTV)

TELKOM tetap menyediakan layanan bagi pelanggan yang ingin


berlangganan masing-masing layanan secara terpisah. Lahirnya IndiHome
telah memberikan semakin banyak pilihan dan kebebasan bagi pelanggan
TELKOM untuk menikmati layanan yang disediakan oleh TELKOM
sesuai dengan kebutuhan dan keinginan serta yang dipandang paling
efisien bagi masing-masing pelanggan.
44

Saksi Effendi Budiman mewakili PT. MNC Kabel Mediacom


yang dihadirkan oleh Tim Investigator di bawah sumpah dalam
persidangan yang terbuka untuk umum tanggal 12 April 2017 yang
keterangannya sebagaimana tercantum dalam Halaman 11 Berita acara
Sidang Majelis Komisi Perkara aquo pada saat ditanya oleh Kuasa
Hukum Terlapor mengapa belum mengaktifkan layanan telepon
menjelaskan bahwa marketnya belum ada karena konsumen pada saat ini
lebih suka menggunakan telepon selular dan sudah menjadi suatu
kebutuhan.

Saksi IK Prihadi Kresna Murti yang mewakili Ketua Badan


Regulasi Telekomunikasi Indonesia (“BRTI”) yang dihadirkan oleh Tim
Investigator di bawah Salinan halaman 56 dari 124 sumpah dalam
persidangan yang terbuka untuk umum tanggal 7 Juni 2017 sebagaimana
tercantum dalam Halaman 6 dan 9 Berita Acara Sidang Majelis Komisi
Perkara aquo menjelaskan sebagai berikut:

“Di setiap izin dicantumkan kewajiban pembangunan di setiap


provinsi. Telkom mungkin sudah semuanya, bahkan masuk ke kabupaten
kota, tinggal beberapa kabupaten yang belum, tahun 2017 misal ada
penambahan wilayah kabupaten dan kota, itu berlaku sama untuk
Indosat. Di awalnya khusus yang Indosat ingin melayani hampir semua
provinsi. Namun, karena pertumbuhan teknologi seluler, akhirnya
Indosat mengurangi pembangunan fixed line nya. Faktanya Telkom sudah
lebih dulu tentunya memiliki jaringan yang lebih kuat dari Indosat. Di
awal 2002-2003, kami mulai mencoba merapikan izin Telkom dan
Indosat disamaratakan, kemudian di tahun 2005 memang secara prinsip
seharusnya apa yang dibangun Telkom dibangun juga oleh Indosat, di
provinsi dan kabupaten kota logikanya sama perlakuannya apalagi ada
duopoly perlakuan terhadap kedua pelaku usaha ini. Indosat pasti
berpikir kenapa saya harus bangun kabel sementara pengguna tidak
banyak,...”
45

Terbukti Trend Global Dunia Telekomunikasi Menuju


Konvergensi Layanan Triple Play atau Quadruple Play. Organisation for
Economic Cooperation and Development (“OECD”) Science, Salinan
halaman 58 dari 124 Technology and Industry Policy Papers No. 23
tentang Triple and Quadruple Play Bundles of Communication Services
(2015) (“OECD Report 2015”) halaman 22 menyebutkan bahwa praktek
bundle layanan telekomunikasi telah umum dilaksanakan di berbagai
negara, dimana bundle yang paling umum adalah triple play yang terdiri
dari layanan suara tetap (fixed voice), layanan akses internet broadband
dan TV berbayar, yang selengkapnya dikutip sebagai berikut:- “By far the
most common bundle in the selected countries is triple-play: fixed voice,
fixed broadband Internet access and pay-television services. Of the 38
operators retained, only Telmex (Mexico) and Telecom Italia and Tiscali
(Italy) do not offer pay-television services (the former as a result of a
specific clause in its license terms).

Data OECD (2015) menunjukkan jenis-jenis layanan yang


disediakan dalam 3-play yang terdiri dari fixed line, broadband dan pay-
tv; serta layanan 4-play terdiri dari keseluruhan layanan 3-play plus
mobile. Saksi Effendi Budiman mewakili PT. MNC Kabel Mediacom
yang dihadirkan oleh Tim Investigator di bawah sumpah dalam
persidangan yang terbuka untuk umum tanggal 12 April 2017
menjelaskan bahwa sejak pertama kali masuk market, PT. MNC Kabel
Mediacom menjual paket quadruple yang terdiri dari internet, IPTV,
telepon, dan security home. Keterangan Saksi Effendi Salinan halaman 60
dari 124 Budiman yang mewakili PT. MNC Kabel Mediacom dikutip
sebagai berikut: “Sebenarnya produk kita, kita sebut quadruple. Jadi ada
empat produk yang sebenarnya bisa kita tawarkan, yang pertama adalah
internet, yang kedua adalah IPTV, yang ketiga adalah telepon, yang ke
empat kita sebutnya security home. Tahun 2014, pertamakali masuk ke
market kita sudah menawarkan bundling produk. Kita menggunakan
nama MNC Play langsung, jadi kita tidak pernah berubah nama-
namanya.”
46

Saksi Effendi Budiman mewakili PT. MNC Kabel Mediacom


yang dihadirkan oleh Tim Investigator di bawah sumpah dalam
persidangan yang terbuka untuk umum tanggal 12 April 2017
menjelaskan bahwa fiber optic memiliki banyak kemampuan, sehingga
sayang kalau hanya dipakai untuk satu produk saja karena investasi untuk
fiber optic sangat mahal. Oleh karena itu, PT. MNC Kabel Mediacom
mengembangkan produk internet, IPTV, telepon, dan security home.
Keterangan Saksi Effendi Budiman yang mewakili PT. MNC Kabel
Mediacom dikutip sebagai berikut:

“Kalau dari segi kemampuan fiber optic itu, sebenarnya banyak


sekali, sayang kalau hanya kita udah gelar kabel kemudian hanya dipakai
untuk satu produk, karena investasinya mahal sekali. Saat ini memang
yang dikembangkan oleh MNC adalah 4 produk tersebut pak. Mungkin
ada juga teman-teman yang lain memilih produk lain yang bisa
dipasarkan dengan hanya menggunakan infrastruktur kabel.”

Saksi Fahrida Nur Aisyah di bawah sumpah dalam persidangan


yang terbuka untuk umum tanggal 1 Agustus 2017 menjelaskan bahwa
Saksi merupakan pelanggan yang terdaftar dengan nomor telepon
(021)5464063 dan ID pelanggan 0508303269900001. Saksi pada awalnya
merupakan pelanggan telepon dan melakukan migrasi ke paket IndiHome
dengan nomor telepon yang sama karena dengan berlangganan telepon,
internet, dan IPTV dalam satu paket IndiHome, harganya lebih efisien
dibandingkan berlangganan secara terpisah. Keterangan Saksi Fahrida
Nur Aisyah dikutip sebagai berikut:

“Saya sempat diskusi dengan adik saya kalau ambil internet


sekitar 270 ribuan, lagi pula saya sudah punya telepon rumah, habisnya
per bulan sekitar 170 ribu. Kalau punya masing-masing sendiri
pengeluaran lebih besar, sedangkan saat ditawari produk IndiHome saya
hanya kena 310 ribu.”
47

Pertumbuhan dan perkembangan dunia telekomunikasi mengarah


kepada konvergensi layanan, dimana sejalan dengan perkembangan
teknologi jaringan, antara lain, dengan digunakannya fiber optic layanan
yang disediakan oleh penyelenggara telekomunikasi meliputi 3-play yang
terdiri dari fixed line, broadband dan pay-tv; serta layanan 4-play terdiri
dari keseluruhan layanan 3-playplus mobile yang ditawarkan baik dalam
satu paket (bundling) maupun terpisah sesuai dengan kebutuhan tiap-tiap
pelanggan.

Karena rendahnya penetrasi dan kecepatan internet di Indonesia,


maka Terlapor terdorong untuk meningkatkan kecepatan ratarata dan
penetrasi akses internet di Indonesia, dengan melakukan inovasi
berkelanjutan demi terwujudnya “Indonesia Digital Society”

Fakta-fakta yang terungkap di persidangan, keterangan saksi-saksi


dan Ahli, dan bukti-bukti yang diajukan oleh Tim Investigator dan
Terlapor, TERBUKTI bahwa paket bundling layanan triple play
menguntungkan pelanggan, dimana Terlapor tetap menyediakan layanan
bagi para pelanggan yang menginginkan layanan terpisah.

Saksi Sumardi yang merupakan pelanggan Terlapor dengan nomor


telepon (031)8299144 di bawah sumpah dalam persidangan yang terbuka
untuk umum tanggal 31 Juli 2017 menjelaskan bahwa Saksi merupakan
pelanggan telepon sejak 22 Agustus 2014. Pada saat mendaftar untuk
berlangganan telepon di Plasa Telkom Dinoyo, Saksi ditawarkan paket
IndiHome oleh petugas, namun tidak dipaksa untuk berlangganan paket
IndiHome, sehingga Saksi dapat berlangganan layanan telepon saja sesuai
dengan kebutuhannya.

Saksi Suridwan yang merupakan pelanggan Terlapor dengan


nomor telepon (021)65301207 di bawah sumpah dalam persidangan yang
terbuka untuk umum tanggal 31 Juli 2017 menjelaskan bahwa Saksi
merupakan pelanggan telepon sejak tahun 1990-an. Pada pertengahan
tahun 2015, Saksi melakukan migrasi ke paket IndiHome dan kemudian
48

melakukan migrasi pengurangan layanan menjadi layanan telepon saja


pada bulan Maret 2016. Atas migrasi layanan yang dilakukan tersebut,
nomor telepon (fixed line) milik Saksi yang telah dipergunakan sejak awal
berlangganan tidak mengalami perubahan.

Saksi Asni Eka Dirta Yasayang merupakan pelanggan Terlapor


dengan nomor telepon (021)43905333 dan ID pelanggan 122502221571
di bawah sumpah dalam persidangan yang terbuka untuk umum tanggal
31 Juli 2017 menjelaskan bahwa Saksi adalah pelanggan telepon dan
internet sejak September 2014. Saksi pernah ditawarkan untuk
berlangganan paket IndiHome tetapi menolak karena Saksi tidak butuh
IPTV dan tidak dipaksa untuk berlangganan IndiHome.

Saksi Gomgom Parlindungan yang dihadirkan oleh Tim


Investigator di bawah sumpah dalam persidangan yang terbuka untuk
umum tanggal 8 Juni 2017 sebagaimana tercantum dalam Halaman 7
Berita acara Sidang Majelis Komisi Perkara aquo pada saat ditanya oleh
Majelis Komisi apakah Terlapor melayani pemasangan telepon saja
menjelaskan bahwa sepengetahuan Saksi, pemasangan telepon saja
dilayani.

Terlapor dalam persidangan yang terbuka untuk umum tanggal 16


Agustus 2017 juga menjelaskan bahwa apabila pelanggan berlangganan
paket IndiHome memiliki keuntungan karena IndiHome memiliki banyak
fitur yang tidak dapat diperoleh apabila pelanggan berlangganan layanan
basic. Selain itu, harga paket IndiHome juga lebih efisien.

Kontrak Berlangganan IndiHome bukan merupakan objek perkara


dugaan pelanggaran Pasal 15(2) UU No. 5/1999 karena salah satu pihak
di dalam Kontrak Berlangganan IndiHome bukan merupakan pelaku
usaha. Selain itu terbukti pula bahwa unsur-unsur “membuat perjanjian
dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima
barang dan/atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan/atau jasa
lain dari pelaku usaha pemasok” tidak terpenuhi.Oleh karena itu, Terlapor
49

memohon agar Yang Mulia Majelis Komisi yang memeriksa dan


mengadili perkara ini menolak LDP Tim Investigator karena sangat tidak
beralasan dan tidak berdasar hukum.

Investigator telah keliru mendalilkan Terlapor telah melakukan


praktek tying dengan mendasarkan pada bukti Kontrak Berlangganan
IndiHome, karena Kontrak Berlangganan IndiHome belum merupakan
perjanjian dan andaipun Kontrak Berlangganan IndiHome sudah
memenuhi syarat sahnya perjanjian, Kontrak Berlangganan IndiHome
bukan merupakan perjanjian yang termasuk kualifikasi perjanjian yang
dimaksud Pasal 15(2) UU No. 5/1999, sehingga Terlapor terbukti tidak
melakukan praktek tying sebagaimana dilarang dalam Pasal 15(2) UU No.
5/1999. Oleh karena itu, Terlapor memohon agar Yang Mulia Majelis
Komisi yang memeriksa dan mengadili perkara ini menolak LDP Tim
Investigator karena sangat tidak beralasan dan tidak berdasar hukum.

Terbukti jasa telepon tetap (fixed line) bukan produk pengikat


(tying product) dimana jasa internet dan jasa IPTV diikatkan
penjualannya (tied product) karena telah terbukti jasa telepon tetap (fixed
line) bukan produk yang paling diinginkan oleh pelanggan, berdasarkan
fakta yang terungkap di persidangan, keterangan saksi-saksi dan Ahli, dan
bukti-bukti yang diajukan oleh Terlapor, terbukti bahwa jasa telepon tetap
(fixed line) bukan tying product yang diikatkan dengan jasa internet dan
jasa IPTV (tied product) karena telah terbukti jasa telepon tetap (fixed
line) bukan produk yang paling diinginkan oleh pelanggan

Dalam Butir 6.1 Halaman 5 dan Butir 9.4 Halaman 19 LDP, Tim
Investigator mendalilkan bahwa dalam Perkara aquo yang menjadi
produk pengikat (tying product) adalah layanan telepon (fixed line),
sementara produk ikatannya (tied product) adalah jasa internet dan IPTV.

Tingginya market share Terlapor dalam jasa telepon tetap (fixed


line) tidak dapat diartikan bahwa jasa telepon tetap (fixed line) merupakan
produk yang paling diinginkan oleh konsumen, karena pada saat ini
50

konsumen cenderung menggunakan telepon selular dan internet untuk


berkomunikasi dibandingkan menggunakan telepon tetap (fixed line).
Selain itu, bundling telepon tetap (fixed line) dengan internet dan IPTV
adalah karena tren konvergensi dalam bidang teknologi dimana telepon
tetap (fixed line), internet dan IPTV merupakan layanan yang sama-sama
menggunakan basis protokol internet.

Saksi Rani Hapsari yang merupakan CSR Plasa Telkom di bawah


sumpah dalam persidangan yang terbuka untuk umum tanggal 13 Juli
2017 yang keterangannya sebagaimana tercantum dalam Halaman 8
Berita acara Sidang Majelis Komisi Perkara aquo menjelaskan bahwa
sejak 2007 sampai dengan saat ini produk yang paling diminati adalah
internet. Keterangan Saksi Rani Hapsari dikutip sebagai berikut:

“Sejak 2007 sampai dengan sekarang paling diminati internet,


Telpon ada peminatnya juga, tapi tidak sebanyak internet.”

Nindyo Pramono di bawah sumpah dalam persidangan yang


terbuka untuk umum tanggal 14 Agustus 2017 menjelaskan mengenai
tying product dan tied product. Pendapat Nindyo Pramono dikutip
sebagai berikut:

“Tying atau tying product yang seperti saudara ilustrasikan tadi itu
adalah praktek dari pelaku usaha dalam menjual produksi barang atau
jasanya kepada pihak lain kemudian mensyaratkan pihak lain harus
memberl produk ikutan yang dikenal dengan tied product sekalipun
bersamasama dengan produk tying. “

Nindyo Pramono di bawah sumpah dalam persidangan yang


terbuka untuk umum tanggal 14 Agustus 2017 menjelaskan mengenai
pentingnya penentuan unsur tying product dan tied product. Kesalahan
penerapan unsur tying dan tied product menyebabkan dugaan menjadi
kabur (obscuur). Pendapat Nindyo Pramono dikutip sebagai berikut:
51

“Menurut saya kenapa perlu memahami secara jelas secara


mendalam tentang perbedaan antara tying product dengan tied product
yah tentu supaya tidak keliru dalam rangka menjustifikasi apakah praktek
yang dilakukan oleh pelaku usaha itu merupakan atau perjanjian yang
dilakukan oleh para pelaku usaha dengan pelaku usaha yang lain itu
masuk dalam kualifikasi perjanjian tying yang kena ketentuan
pelanggaran pasal 15(2) kalo itu di UU No. 5/99. Jadi, itu supaya jelas
bahwa kalau keliru, keliru memahami bahwa sebenarnya yang dikatakan
sebagai tying product padahal yang kita katakan sebagai tying product
ternyata bukan tying product. Bukan yang diminati berarti dia tied
product, kalau tied product yang kita katakan tied product justifikasinya
saja sudah keliru kalau lebih lanjut menurut saya secara teoritis dugaan itu
atau katakanlah dakwaan. Kalau kita bicara dalam pelanggaran yah lalu
menjadi obscuur (kabur) kan, jadi makanya menurut saya itu sangat
penting untuk memahami perbedaan antara tying product dengan tied
product. “

2. Pelanggaran.
PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk pada Produknya IndiHome
yang diduga melanggar Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat yang berbunyi:
”Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain
yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang
dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau
jasa lain dari pelaku usaha pemasok.”
Dan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang
berbunyi :
“(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi
dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat.
52

(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan


penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau
jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:
a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada
substitusinya; atau
b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam
persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau
c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai
lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis
barang atau jasa tertentu.
Serta Pasal 25 ayat (1) huruf a dan c Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat yang menyatakan:
“(1) Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik
secara langsung maupun tidak langsung untuk:
a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk
mencegah dan atau untuk menghalangi konsumen memperoleh
barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga
maupun kualitas, atau
c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing
untuk memasuki pasar bersangkutan”.

3. Pertimbangan Komisi
Setelah mempertimbangkan Laporan Dugaan Pelanggaran,
Tanggapan Terlapor terhadap Laporan Dugaan Pelanggaran, keterangan
para Saksi, keterangan para Ahli, keterangan Terlapor, surat-surat dan
atau dokumen, Kesimpulan Hasil Persidangan yang disampaikan baik
oleh Investigator maupun Terlapor (selanjutnya disebut sebagai fakta
persidangan). Majelis Komisi menilai, menganalisis, menyimpulkan dan
memutuskan perkara berdasarkan fakta persidangan yang obyektif, alat
bukti yang cukup tentang telah terjadi atau tidak terjadinya pelanggaran
terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang diduga dilakukan
53

oleh Terlapor dalam Perkara Nomor 10/KPPU-I/2016. Dalam melakukan


penilaian dan analisis, Majelis Komisi menguraikan dalam beberapa
bagian, yaitu:
a. Tentang Identitas Terlapor;
Majelis Komisi menilai Identitas PT Telekomunikasi Indonesia
(Persero) Tbk. adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang
didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah No.25 tahun 1991, status
Perusahaan diubah menjadi perseroan terbatas milik negara
(“persero”) berdasarkan Akta Notaris Imas Fatimah, S.H. No.128
tanggal 24 September 1991 yang disetujui oleh Menteri Kehakiman
Republik Indonesia dengan Surat Keputusan No.C2-
6870.HT.01.01.Tahun.1991 tanggal 19 Nopember 1991 dan Salinan
halaman 102 dari 124 diumumkan dalam Berita Negara Republik
Indonesia No.5 tanggal 17 Januari 1992, Tambahan No.210
Dalam prakteknya, Terlapor melakukan kegiatan usaha penjualan
jasa berupa Layanan Jasa dan Jaringan telekomunikasi terintegrasi
(Telecommunication, Information, Media dan Edutainment);

b. Tentang Dugaan Pelanggaran;


Majelis Komisi menilai dugaan pelanggaran yang dilakukan
Terlapor adalah dugaan pelanggaran ketentuan Pasal 15 ayat (2), Pasal
17 dan Pasal 25 ayat (1) huruf a dan c UU Nomor 5 Tahun 1999, yang
menyatakan:
Pasal 15 ayat (2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang
menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang
dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.
Berdasarkan keterangan Saksi dan alat bukti yang diperoleh,
Majelis Komisi memberikan pendapat bahwa terdapat dua pasar
bersangkutan yang berbeda, yaitu:
i. Pasar bersangkutan yang pertama adalah Terlapor
mengikatkan diri untuk menyediakan jaringan
54

telekomunikasi di wilayah pemasarannya dengan pasar


produk yang pertama adalah jaringan telekomunikasi berupa
fiber optic (kabel serat) dan copper (tembaga);
ii. Pasar bersangkutan yang kedua adalah konteks hubungan
Terlapor dengan pihak lain dimana Terlapor menyediakan
layanan jaringan internet. Pasar produk yang kedua adalah
layanan jaringan internet yang merupakan layanan berupa
jasa untuk mengirim dan/atau menerima data. Dahulu
layanan internet menggunakan akses dial-up dengan
menggunakan jaringan telepon. Dalam perkembangannya
akses dial-up dinilai lambat bila dibandingkan dengan akses
broadband. Broadband adalah istilah yang digunakan untuk
berbagai jenis koneksi internet dengan transmisi kecepatan
tinggi. Secara harfiah, broadband berarti pita lebar atau jalur
lebar atau jangkauan yang luas yang digunakan untuk
mengirim dan menerima data. Layanan internet ini juga
mencakup layanan televisi dengan jaringan Internet yang
menggunakan arsitektur jaringan dan metode suite protokol
Internet melalui paket-switched atau IP TV;
iii. Selanjutnya berkaitan dengan pasar produk tersebut,
Investigator menyatakan yang pada pokoknya bahwa jasa
telepon tetap (fixed line) sebagai Tying Product, dan Jasa
Internet (fixed broadband), Jasa TV berbayar (IPTV) sebagai
Tyied Product. Atas hal tersebut maka Majelis Komisi perlu
memberikan pendapat sebagai berikut:
iv. Majelis Komisi menilai berdasarkan alat bukti dokumen
diketahui pangsa pasar jasa telepon tetap (fixed line) sebesar
99% (sembilan puluh sembilan persen).
v. Namun demikian, berdasarkan alat bukti diketahui bahwa
pendapatan Terlapor berkaitan dengan jasa telepon tetap
tersebut ternyata cenderung mengalami penurunan.
55

Majelis Komisi berpendapat bahwa tidak terdapat cukup bukti


adanya paksaan yang dilakukan oleh Terlapor dalam pemasaran produk
kepada konsumen, sehingga Majelis Komisi menilai pembeli produk
masih memiliki pilihan untuk membeli produk dari Terlapor secara
terpisah, pendapat tersebut didukung oleh pendapat Majelis Komisi
sebelumnya yang menyatakan bahwa berdasarkan alat bukti yang
diperoleh selama proses persidangan perkara a quo justru menunjukkan
produk yang memiliki nilai tawar tinggi adalah internet dan walaupun
produk telepon tetap (fixed line) memiliki pangsa pasar 99% namun
produk tersebut memiliki kecenderungan semakin tidak diminati.

4. Sanksi
Berdasarkan Pasal 43 (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,
Majelis Komisi menetapkan sanksi sebagai berikut:
Menyatakan bahwa Terlapor tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan melanggar Pasal 15 ayat (2), Pasal 17 dan Pasal 25 ayat (1)
huruf a dan c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

5. Analisis
Berdasarkan Putusan KPPU Perkara Nomor 10/KPPU-I/2016
tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 15 ayat (2), Pasal 17 dan Pasal 25 ayat
(1) huruf a dan c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dalam Industri
Telekomunikasi terkait Jasa Telepon Tetap, Jasa Internet dan Jasa IP TV
di Indonesia oleh PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk. Pendekatan yang
dipakai untuk menilai pelanggaran pasal 15 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat mengenai perjanjian tertutup adalah pendekatan rule of
reason, oleh karenanya harus dibuktikan bahwa strategi pemasaran yang
dilakukan oleh para Terlapor dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
56

Perjanjian antara PT. Telekomunikasi dengan konsumen


IndiHome diduga oleh Inestigator adalah salah satu perjanjian tertutup
yaitu Tying Agreement. Tying Agreement adalah bentuk perjanjian
distribusi berdasarkan mana distributor diperbolehkan untuk membeli
suatu barang tertentu (tying product) dengan syarat harus membeli barang
lain (tied product). Suatu perjanjian berdasarkan perjanjian tersebut, si
penjual menjual produknya kepada pembeli dengan menetapkan
persyaratan bahwa pembeli akan membeli produk lain dari penjual.
Produk yang diinginkan oleh pembeli adalah produk pengikat (tying
product) dan produk yang oleh penjual diwajibkan untuk dibeli oleh
pembeli disebut sebagai produk ikatan (tied product). Dalam hal
kewajiban untuk membeli produk ini ditetapkan secara sepihak tanpa
dapat dihindari oleh pembeli karena tidak ada pilihan penjual lainnya,
penjual akan memiliki posisi tawar yang tinggi (dominant bargaining
power/position) dan menjadikan perjanjiannya berat sebelah. Nilai tawar
yang dimiliki oleh penjual akan menjadi tinggi karena penjual memiliki
market power yang besar.
Namun berdasarkan analisis saya, perjanjian yang dilakukan oleh
PT.Telekomunikasi Indonesia bukan merupakan tying aggrement, karena
dalam pemilihan paket IndiHome, konsumen dapat memilih
menggunakan paket 1play, 2play ataupun 3play. Sedangkan menurut
investigator konsumen hanya memiliki pilihan 3play. Triple play adalah
layanan yang diberikan operator telekomunikasi bagi pelanggan rumah
berupa langganan TV kabel, telepon rumah, dan akses internet. Di
Indonesia pemain triple play yang bisa diapungkan adalah Telkom
IndiHome, First Media, MNC Play, atau Biznet
Berdasarkan analisis saya, apa yang dilakukan oleh
PT.Telekomunikasi bukanlah tying aggrement melaikan bundling. Paket
bundling adalah suatu cara, metode dan strategi pemasaran yang menjual
dua produk dalam satu paket dengan harga yang lebih murah. Strategi
bundling ini diterapkan oleh penjual dengan tujuan untuk meningkatkan
penjualan produk dengan memberikan kemudahan pembelian,
57

pengehematan waktu, memperkecil biaya promosi, serta memberikan


nilai tambah yang lebih besar kepada konsumen. Terkait dengan pasal 17
dan pasal 25 ayat 1 huruf a dan c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
penyalahgunaan Posisi Monopoli merupakan perilaku (conduct) yang di
dalamnya mengandung unsur: Pencegahan, Pembatasan, dan Penurunan
Persaingan, dan Eksploitasi. Oleh karena itu berdasarkan keterangan
pelaku usaha pesaing tersebut maka Majelis Komisi menilai tidak ada
bukti yang cukup terjadinya upaya pencegahan, pembatasan, dan
penurunan persaingan yang dialami pelaku usaha pesaing akibat perilaku
Terlapor pada pasar jasa layanan internet pada pasar bersangkutan.Penulis
sependapat dengan Majelis komisi karena pasar pelayanan internet saat
ini sangat luas dan banyak perusahaan-perusahaan swasta yang
memberikan pelayanan intenet tersebut dengan kualitas yang sama yaitu
58

fiber optic dan dengan harga yang cukup bersaing, sehingga


konsumen dapat memilih perusahaan mana yang ingin digunakan.
59

BAB IV

TINAJAUAN ISLAM DALAM MONOPLI PRODUK INDIHOME OLEH


PT. TELEKOMUNIKASI INDONESIA, TBK (TELKOM) DITINJAU DARI
UU NO. 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI
DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

A. Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Menurut Islam


1. Pengertian Monopoli Menurut Islam
Monopoli di dalam bahasa Arabnya dikenal dengan istilah ihtikar yang
artinya zalim (aniaya) dan merusak pergaulan. Adapun secara istilah adalah :
“Seseorang membeli makanan ketika harganya tinggi untuk diperjualbelikan,
tetapi dia tidak menjualnya pada waktu itu, justru malah ditimbunnya agar
menjualnya dengan harga yang lebih tinggi.64 Untuk itu, monopoli menurut islam
yaitu upaya penimbunan barang dagangan untuk menunggu melonjaknya harga
barang penimbunan barang adalah salah satu perkara dalam perdagangan yang
diharamkan oleh agama karena bisa membawa madhorot.
Defenisi lain Ihtikar artinya menimbun barang agar yang beredar di
masyarakat berkurang, lalu harganya naik. Yang menimbun memperoleh
keuntungan besar, sedang masyarakat dirugikan.65 Menurut Adimarwan
"Monopoli secara harfiah berarti di pasar hanya ada satu penjual" berdasarka
hadis :

ُ ‫ِّث أ َ َّن َم ْع َم ًرا قَا َل قَا َل َر‬


َّ ‫سو ُل‬
ِ‫َّللا‬ ُ ‫ب يُ َح ِد‬
ِ َّ‫سي‬َ ‫س ِعيدُ ب ُْن ْال ُم‬َ ‫ع ْن‬َ
‫َاطئ‬ِ ‫احتَ َك َر فَ ُه َو خ‬ ْ ‫سلَّ َم َم ِن‬َ ‫ع َل ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ
Artinya: “Barang siapa yang melakukan ihtikar maka ia
berdosa” (HR. Muslim (1605)).

Monopoli seperti ini dilarang dan hukumnya adalah haram, karena


perbuatan demikian didorong oleh nafsu serakah, loba dan tamak, serta
64
Imam Hawawi, Syarh Shahih Muslim: 10/219.
65
H. A. Aziz Salim Basyarahil, 22 Masalah Agama, hlm.56, Gema Insani Press, Jakarta.
Tanpa Tahun.
60

mementingkan diri sendiri dengan merugikan orang banyak. Selain itu juga
menunjukan bahwa pelakunya mempunyai moral dan mental yang rendah.
Beberapa definisi penimbunan barang (ihtikar) menurut beberapa ahli dan
ulama:
1. Imam al-Ghazali (Mazhab Syafi’I) mengatakan ihtikar sebagai
penyimpanan barang dagangan oleh penjual makanan untuk menunggu
melonjaknya harga penjualannya ketika harga melonjak.
2. Ulama Mazhab Maliki mengatakan ihtikar adalah penyimpanan barang
oleh produsen baik, makanan, pakaian, dan segala barang yang
merusak pasar.
3. As-syyid Sabiq dalam Fiqh as-Sunnah menyatakan ihtikar sebagai
membeli suatu barang dan menyimpannya agar barang tersebut
berkurang dimasyarakat sehingga harganya meningkat sehingga
manusia akan mendapatkan kesulitan akibat kelangkaan dan mahalnya
harga barang tersebut.66
4. Adiwarman Karim mengatakan bahwa al-ikhtikar adalah mengambil
keuntungan diatas keuntungan normal dengan cara menjual lebih
sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi, atau istilah ekonominya
disebut dengan monopoly’s rent.67

Dari beberapa pandangan diatas, maka secara umum dapat dipahami,


monopoli dalam pandangan islam yaitu menimbun barang atau bahan pokok
komoditi apapun yang dihajatkan masyarakat agar menjadikan harganya
melambung naik karena ada motif ekonomi untuk mencari keuntungan setinggi
mungkin.68

2. Dasar Hukum Monopoli (Ihtikar)


Dasar hukum yang digunakan oleh para ulama fiqh yang tidak
memperbolehkan adanya ikhtikar terkandung dalam nilai-nilai al-Qur’an yang

66
As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah (Libanon: Dar al-Fikr, 1981), hal.162
67
Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islam (Jakarta: IIIT Indonesia, 2000), hal. 154
68
Yusuf Al-Qaradhawi, Peranan Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam,
penerjemah : Didin Hafidhudin dkk, (Jakarta : Robbani Press, 1997) , hal. 321
61

menyatakan setiap perbuatan aniaya yang termasuk didalamnya ikhtikar


diharamkan oleh al-Qur’an maupun oleh agama islam.
1. Al-Qur’an
a. QS. Al-Hasyr (59) ayat 7, Firman Allah SWT

Artinya: “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan


Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal
dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk
Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin
dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu
jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara
kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka
terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka
tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.”

b. QS. Almaidah ayat 2, Firman Allah SWT

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu


melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar
kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu)
62

binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id,


dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang
mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan
keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah
menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan
janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum
karena mereka menghalang-halangi kamu dari
Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada
mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat
berat siksa-Nya.”

2. Hadis
Dalam Hadist Nabi Muhammad SAW bersabda:

Artinya: “Barang siapa melakukan Ihtikar atas bahan


makanan selama empat puluh malam, maka terlepaslah ia
benar-benar dari jaminan Allah dan Allah pun melepaskan
jaminanNya dari orang itu”. (HR. Ahmad, Al Hakim, Ibnu
Abi Syaibah dan Ali Bazzar)

Dari ayat diatas, dapat kita simpulkan secara jelas akan pesan dan
maknanya antara lain tentang perintah untuk saling tolong menolong
sesama manusia serta larangan untuk saling menganiaya kepada sesama
manusia termasuk dalam hal perniagaan yaitu seperti penimbunan barang.
Seseorang dilarang untuk menimbun barang karena akan merugikan salah
satu pihak tersebut.

3. Kriteria Ihtikar dalam Islam


63

Dalam hal ini para ulama berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan
penimbunan yang haram adalah yang memiliki kriteria sebagai berikut : 69
1. Bahwa barang yang ditimbun adalah kelebihan dari kebutuhannya berikut
tanggungan untuk persediaan setahun penuh. Karena seseorang boleh
menimbun untuk persediaan nafkah dirinya dan keluargannya dalam tenggang
waktu kurang dari satu tahun.
2. Bahwa orang tersebut menunggu saat-saat memuncaknya harga barangagar
dapat menjualnya dengan harga yang lebih tinggi karena orang sangat
membutuhkan barang tersebut kepadanya.
3. Bahwa penimbunan dilakukan pada saat dimana manusia sangat
membutuhkan barang yang ditimbun, saperti makanan, pakaian, dan lain-lain.
Jika barang-barang yang ada ditangan pedagang tidak dibutuhkan masyarakat,
maka hal itu tidak dianggap sebagai penimbunan, karena tidak mengakibatkan
kesulitan pada masyarakat.
Maka syarat terjadinya penimbunan adalah sampainya pada suatu batas
yang menyulitkan warga setempat untuk membeli barang yang tertimbun semata
karena fata penimbunan tersebut tidak akan terjadi selain dalam keadaan semacam
ini. Kalau seandainya tidak menyulitkan warga setempat membeli barang tersebut,
maka penimbunan barang tidak akan terjadi kesewenang-wenangan terhadap
barang tersebut sehingga bisa dijual dengan harga yang mahal.70

4. Persamaan Monopoli dan Ihtikar


Secara terminologi bahwa Ihtikar dalam dataran konseptual berbeda
dengan monopoli, namun jika dilihat dari dataran faktualnya memiliki banyak
persamaan, yaitu sebagai berikut :71
1. Monopoli dan Ihtikar sama-sama memiliki unsur kepentingan sepihak
(motivasi yang kuat) dalam mempermainkan harga (price maker)
2. Pelaku dan Ihtkar sama-sama memiliki hak opsi untuk menawarkan barang-
barang ke pasaran atau tidak

69
Sayyid Sabiq, op.cit, hal. 100.
70
Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian dalam Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2004),
ha.l 47-48.
71
Iswardono, Ekonomi Mikro (Yogyakarta: UPP AMP YKPN,1990), hal. 104.
64

3. Monopoli dan Ihtikar sama-sama dapat mengakibatkan polemik dan


ketidakpuasan pada masyarakat
4. Monopoli dan Ihtikar merupakan salah satu cara golongan orang kaya untuk
mengekpoitasi (zulm) golongan miskin

5. Perbedaan Monopoli dan Ihtikar


Sedangkan diantara perbedaan monopoli dan ihtikar, antara lain adalah :72
1. Bahwa monopoli terjadi jika seseorang memiliki modal yang besar dan dapat
memproduksi suatu barang tertentu di pasaran yang dibutuhkan oleh
masyarakat, sedangkan Ihtikar tidak hanya bisa dilakukan oleh pemilik modal
besar namun masyarakat menengah dengan modal apa adanya pun bisa
melakukannya
2. Suatu perusahaan monopolis cenderung dalam melakukan aktifitas ekonomi
dan penetapan harga mengikuti ketentuan pemerintah (adanya regulasi
standard pemerintah), sedangkan ihtikar dimana dan kapan pun bisa dilakukan
oleh siapa saja, sebab penimbunan sangat mudah untuk dilakukan.
3. Untuk mendapatkan keuntungan yang maksimum, dalam ihtikar kelangkaan
barang dan kenaikan harga suatu barang terjadi dalam waktu dan tempo yang
tentitif dan mendadak dan dapat mengakibatkan inflasi. Sementara dalam
monopoli kenaikan harga biasanya cenderung dipengaruhi oleh mahalnya
biaya produksi dan operasional suatu perusahaan walaupun kadang-kadang
juga dipengaruhi oleh kelangkaan barang.
4. Praktek monopoli adalah legal dan bahkan di negara tertentu dilindugi oleh
undang-undang atau aturan suatu negara, sedangkan ihtikar merupakan
aktifitas ekonomi yang ilegal.

6. Jenis Barang Yang Haram Ditimbun


Menurut pendapat Yusuf al-Qardawi bahwa penimbunan barang
diharamkan jika memiliki keriteria sebagai berikut:73

72
Ibid
73
Yusuf al-Qardawi, Halal Haram Dalam Islam, (Terj), (Surabaya: PT Bina Ilmu, 2000)
hal. 358.
65

1. Dilakukan di suatu tempat yang penduduknya akan menderita sebab adanya


penimbunan tersebut.
2. Penimbunan dilakukan untuk menaikkan harga sehingga orang merasa susah
dan supaya ia dapat keuntungan yang berlipat ganda.

Kelompok ulama mendifisikan ikhtikar terbatas pada makanan pokok


antaranya Imam al-Gazali (ahli fikih mazhab asy-Syafi’i), sebagian Mazhab
Hambali dimana beliau berpendapat bahwa yang dimaksud al-ikhtikar hanyalah
terbatas pada bahan makanan pokok saja sedangkan selain bahan makanan pokok
(sekunder) seperti obat-obatan, jamu-jamuan, dan sebagainya tidak termasuk
objek yang dilarangan dalam penimbunan barang walaupun sama-sama barang
yang bisa dimakan karena yang dilarang dalam nash hanyalah menyangkut
kebebasan pemilik barang untuk menjual barangnya. Maka larangan itu harus
terbatas pada apa yang di tunjuk oleh nash.
Sedangkan kelompok ulama yang mendefinisikan ikhtikar secara luas dan
umum diantaranya adalah Imam Abu Yusuf (ahli fikih mazhab Hanafi), mazhab
Maliki berpendapat bahwa larangan ikhtikar tidak hanya terbatas pada makanan,
pakaian, dan hewan, tetapi meliputi seluruh produk yang dibutuhkan oleh
masyarakat. Menurutnya, yang menjadi ‘ilat (sebab hukum) dalam larangan
melakukan ikhtikar tersebut adalah kemudharatan yang menimpa orang banyak.
Oleh karena itu kemudaratan yang menimpa orang banyak tidak hanya terbatas
pada makanan, pakaian, dan hewan, tetapi mencakup seluruh produksi yang
dibutuhkan orang banyak.74

7. Kriteria Ihtikar Dalam Islam


Dalam hal ini para ulama berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan
penimbunan yang haram adalah yang memiliki kriteria sebagai berikut 75 :
1. Bahwa barang yang ditimbun adalah kelebihan dari kebutuhannya, berikut

74
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT.Ikhtiar Baru, 1996), hal.
655
75
As-Sayyid Sabiq, op.cit, hal. 100.
66

tanggungan untuk persediaan setahun penuh. Karena seseorang boleh


menimbun untuk persediaan nafkah dirinya dan keluarganya dalam tenggang
waktu selama satu tahun.
2. Bahwa orang tersebut menunggu saat-saat memuncaknya harga barang agar
dapat menjualnya dengan harga yang lebih tinggi karena orang sangat
membutuhkan barang tersebut kepadanya.
3. Bahwa penimbunan dilakukan pada saat dimana manusia sangat
membutuhkan barang yang ditimbun, seperti makanan, pakaian dan lain-lain.
Jika barang-barang yang ada di tangan para pedagang tidak dibutuhkan
manusia, maka hal itu tidak dianggap sebagai penimbunan, karena tidak
mengakibatkan kesulitan pada manusia.76

Dari ketiga syarat itu, jika dianalisa aspek keharamannya maka dapat
disimpulkan, bahwa penimbunan yang diharamkan adalah kelebihan dari
keperluan nafkah dirinya dan keluarganya dalam masa satu tahun. Hal ini berarti
apabila menimbun barang konsumsi untuk mengisi kebutuhan keluarga dan
dirinya dalam waktu satu tahun tidaklah diharamkan sebab hal itu adalah tindakan
yang wajar untuk menghindari kesulitan ekonomi dalam masa paceklik atau krisis
ekonomi lainnya. Sedangkan syarat terjadinya penimbunan, adalah sampainya
pada suatu batas yang menyulitkan warga setempat untuk membeli barang yang
tertimbun semata karena fakta penimbunan tersebut tidak akan terjadi selain
dalam keadaan semacam ini. Kalau seandainya tidak menyulitkan warga setempat
membeli barang tersebut, maka penimbunan barang tidak akan terjadi
kesewenangan-wenangan terhadap barang tersebut sehingga bisa dijual dengan
harga yang mahal.
Menurut Yusuf al-Qardawi penimbunan itu diharamkan jika memiliki
keriteria sebagai berikut:
1. Dilakukan di suatu tempat yang penduduknya akan menderita sebab adanya
penimbunan tersebut.

76
Abd ar-Rasul, 1980, dan As-Sayyid Sabiq, 100 : 1981.TGF]\
67

2. Penimbunan dilakukan untuk menaikkan harga sehingga orang merasa susah


dan supaya ia dapat keuntungan yang berlipat ganda.77

8. Hikmah di Balik Larangan Monopoli (Ihtikar)


Imam Nawawi menjelaskan hikmah dari larangan monopoli (ihtikar)
adalah mencegah hal-hal yang menyulitkan manusia secara umum. Oleh
karenanya para ulama sepakat apabila ada orang memiliki makanan lebih,
sedangkan mausia sedang kelaparan dan tidak ada makanan kecuali yang ada pada
orang tadi, maka wajib bagi orang tersebut menjual atau memberikan dengan
cuma-cuma makanannya kepada manusia supaya manusia tidak kesulitan.
Demikian juga apabila ada yang menimbun selain bahan makanan (seperti
pakaian musim dingin dan sebagainya) sehingga manusia kesulitan
mendapatkannya, dan membahayakan mereka, maka hal ini dilarang dalam Islam.
Islam mengharamkan orang menimbun dan mencegah harta dari
peredaran. Islam mengancam mereka yang menimbunnya dengan siksa yang
pedih di hari kiamat. Allah SWT berfirman dalm surat At Taubah ayat 34-35:

َّ ‫س ِبي ِل‬
ِ‫َّللا‬ َّ ‫َب َو ْال ِف‬
َ ‫ضةَ َو ََل يُ ْن ِفقُونَ َها فِي‬ َ ‫َوالَّذِينَ َي ْك ِن ُزونَ الذَّه‬
‫َار َج َهنَّ َم‬ َ ‫) َي ْو َم ي ُْح َمى‬34( ‫ب أ َ ِل ٍيم‬
ِ ‫علَ ْي َها فِي ن‬ ٍ ‫ش ْر ُه ْم ِبعَذَا‬
ِّ ِ َ‫فَب‬
‫ور ُه ْم َهذَا َما َكن َْزت ُ ْم‬ ُ ‫فَت ُ ْك َوى ِب َها ِجبَا ُه ُه ْم َو ُجنُوبُ ُه ْم َو‬
ُ ‫ظ ُه‬
35( َ‫) ِِل َ ْنفُ ِس ُك ْم فَذُوقُوا َما ُك ْنت ُ ْم تَ ْكنِ ُزون‬
Artinya: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan
perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah maka
beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan
mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas
perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya
dahi mereka, lambung, dan punggung mereka (lalu
dikatakan kepada mereka): “Inilah harta bendamu yang

77
Yusuf al-Qardawi, 358 : 2000.
68

kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah


sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.

Menimbun harta maksudnya membekukannya, menahannya dan


menjauhkannya dari peredaran. Padahal, jika harta itu disertakan dalam usaha-
usaha produktif seperti dalam perencanaan produksi, maka akan tercipta banyak
kesempatan kerja yang baru dan mengurangi pengangguran. Kesempatan-
kesempatan baru bagi pekerjaan ini bisa menambah pendapatan dan daya beli
masyarakat sehingga bisa mendorong meningkatnya produksi, baik itu dengan
membuat rencana-rencana baru maupun dengan memperluas rencana yang telah
ada. Dengan demikian, akan tercipta situasi pertumbuhan dan perkembangan
ekonomi dalam masyarakat.
Larangan Ihtikar juga dapat didasarkan pada Dalil dari Kaidah Adh-
Dhararu Yuzalu. Adh-Dhararu Yuzalu adalah kemudharatan/kesulitan harus
dihilangkan. Jadi konsepsi kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia
harus dijauhkan dari idhrar (tindak menyakiti), baik oleh dirinya maupun orang
lain, dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain.78
Dasar dari kaidah ini adalah firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 56 dan surat
al-Qashash ayat 77:

Artinya: ”Dan janganlah kamu membuat kerusakan di


muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan
berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan
diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya
rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat
baik”. (Q.S. al-a’raf (7) : 56)

78
Nashr farid Muhammad washil, Qawa’id Fiqhiyyah, hal. 17.
69

Firman Allah SWT dalam Q.S. al-qashash (28) : 77 yang menjelaskan


tentang larangan berbuat kerusakan :

Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan


Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan)
duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan”. (Q.S. al-qashash (28) : 77)

Menurut tingkatan Masalahah Indihome termasuk kedalam tingkatan


Masalahah Haajiyah (sekunder). Definisi dari Maslahah Haajiyah adalah
berbagai macam persoalan yang diperlukan manusia guna menghilangkan
kesulitan yang dihadapi. Dengan kata lain, dilihat dari segi kepentingannya, maka
maslahat ini lebih rendah tingakatannya dari Maslahah Daruriyah (primer).

C. Perjanjian Menurut Islam


Perjanjian (akad) disebut juga dengan al-‘aqd yang secara etimologi
berarti perikatan, perjanjian dan permufakatan. Kata al-‘aqd terdapat dalam (Q.S.
al-Mâ-idah (5) : ayat 1)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-


aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang
70

akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan


tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang
mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-
hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”

Menurut Faturahman Djamil, istilah al-‘aqd ini dapat disamakan dengan


istilah verbintesis dalam KUHperdata. Sedangkan istilah al-‘ahd dapat disamakan
dengan istilah perjanjian atau overeenkomst, yaitu suatu pernyataan dari seseorang
untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu yang tidak berkaitan dengan
orang lain.79 Istilah ini terdapat dalam (Q.S. Ali Imran (3): 76), yaitu :

Artinya: “sebenarnya siapa yang menepati janji yang


dibuatnya dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertakwa.”

Perjanjian baku pada umumnya telah tercetak (boilerplate) sehingga pihak


lain tidak memiliki kesempatan untuk menegosiasi, pilihan yang ada adalah
mengambil kontrak tersebut atau meninggalkannya.80 Dalam konteks hukum
Islam kontrak baku sebagai suatu perjanjian yang pengikat para pihak dianggap
sah selama tidak ada melanggar ketentuan Syariah lainnya. Selain karena ini
sudah menjadi kebiasaan, hal ini juga agar mewujudkan efsiensi dalam melakukan
transaksi. Islam tidak melarang kebiasaan selama kebiasaaan itu tidak melanggar
ketentuan yang telah ditetapkan.
Di tengah bisnis yang semakin pesat diperlukan kontrak yang baku untuk
mengefsiensikan biaya, tenaga, dan waktu81 dalam perjalanan bisnis. Banyak
contoh perjanjian yang bisa kita lihat penggunaan kontrak baku seperti tiket
pesawat, kredit bank, jual beli, asuransi, dan lain-lain.
79
Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007),
hal. 45.
80
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Buku Kedua,
(Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 76.
81
Salim HS, dkk. Perancangan Kontrak dan Momerandum of Understanding (MoU),
(Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 7.
71

Ciri-ciri kontrak baku menurut Mariam Badrulzaman, yaitu:


a. isi ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat;
b. masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi
perjanjian;
c. terdorong oleh kebutuhannya, debitur terpaksa menerima perjanjian itu;
d. bentuknya tertulis; dan
e. dipersiapkan secara massal dan kolektif82

Perjanjian baku dalam Islam boleh digunakan dengan memperhatikan


beberapa prinsip sebagai berikut:
a) Prinsip Kesepakatan
b) Prinsip Kesetaraan Kewajiban dan Hak.
Prinsip ini berkaitan erat dengan keadilan dalam melakukan transaksi.
Sebagaimana pendapat Murtadho Muthahari mengatakan bahwa keadilan itu
bisa dilihat dari tiga makna.
1. keadilan berarti perimbangan atau keadaan seimbang, atau tidak pincang;
2. keadilan berarti persamaan, atau menghilangkan diskriminasi
3. keadilan berarti pemberian hak pribadi dan pemberian hak kepada siapa
yang berhak;
c) Prinsip Bertanggung Jawab.
Prinsip bertanggung jawab di sini bukan hanya bertanggung jawab kepada
sesama. Bertanggung jawab dalam ekonomi Islam lebih luas dari itu, yaitu
bertanggung jawab kepada Allah Swt. yang telah memberikan amanah kepada
manusia. Prinsip ini lahir dari adanya nilai ketauhidan (pengesaan Allah Swt.)
d) Prinsip Itikad Baik
e) Prinsip Sesuai Dengan Syariah
f) Prinsip Adanya Khiyar
Prinsip ini tidak hanya sebagai alasan kebebasan berkontrak, tapi juga
lebih luas dari itu. Prinsip ini mengandung arti bahwa perjanjian baku tersebut
harus diserahkan terlebih dahulu kepada pihak konsumen yang menerima
kontrak baku tersebut.

82
Ibid, hal 70-71.
72

Kesepakatan dalam hukum Islam berawal dari pengakuan prinsip “an


taradin” yaitu saling rida. Keridaan di sini tidak hanya dalam arti saling
menyatakan “sepakat”.83 Tapi perbuatan yang menunjukkan kesepakatan juga bisa
dijadikan dasar adanya kesepakatan, selama isyarat tersebut tidak dilakukan dalam
keadaan tidak sadar atau dalam keadaan paksaan.

D. Tinjauan Islam Dalam Layanan Jasa Telekomunikasi Indonesia Dengan


Produk Indihome
Pelanggan yang melakukan pembelian layanan internet melalui jual beli
diperbolehkan oleh Islam. Pembelian dengan cara melalui layanan jasa didalam
Islam disebut dengan ijaroh. Didalam pembelian tersebut terdapat al-aqd antara
pembeli dengan penjual, dimana di dalam al-aqd menurut syariat islam terrdapat
memiliki beberapa prinsip, yaitu prinsip kesepakatan, prinsip kesetaraan
kewajiban dan hak, prinsip bertanggung jawab, prinsip beritikad baik, prinsip
sesuai dengan Syariah, dan prinsip adanya khiyar.
Didalam al-aqd IndiHome dengan pembelinya, PT Telekomunikasi
Indonesia mengsyaratkan harus memilih ketiga layanan triple play yang terdiri
dari layanan telepon tetap (fixed line), layanan internet (fixed broadband), dan
layanan TV berbayar (IP TV).
Menurut penulis produk IndiHome merupakan salah satu cara penjual
untuk melakukan bundling. Bundling merupakan suatu cara, metode dan strategi
pemasaran yang menjual dua produk dalam satu paket dengan harga yang lebih
murah. Strategi bundling ini diterapkan oleh penjual dengan tujuan untuk
meningkatkan penjualan produk dengan memberikan kemudahan pembelian,
penghematan waktu, memperkecil biaya promosi, serta memberikan nilai tambah
yang lebih besar kepada konsumen.
Dalam hal ini, PT Telekomunikasi Indonesia tidak memberikan kebebasan
kepada konsumen untuk menentukan pilihan. Sehingga apa yang dilakukan oleh
PT Telekomunikasi Indonesia menurut penulis termasuk ta’alluq, memberikan

83
Eva Zulfa Nailufar, Pengupahan Berkeadilan Menurut Hukum Islam: Kajian UMP DKI,
(Jakarta: A-Empat, 2014), hal. 41.
73

persyaratan kepada pembeli dan tidak memberikan kebebasan pada pemebeli


untuk memilih
74

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Dalam produk IndiHome PT Telekomunikasi Indonesia mewajibkan


konsumen/pelanggan untuk memilih paket Triple play tersebut. Pada paket
Triple play tersebut terdiri dari layanan telepon tetap (fixed line), layanan
internet (fixed broadband), dan layanan TV berbayar (IP TV). IndiHome
Triple Play memberikan benefit yang lebih banyak jika dibandingkan dengan
Single Play maupun Dual Play. Pelanggan IndiHome Triple Play mendapatkan
langsung tiga produk, yaitu telepon rumah, internet cepat, dan TV interaktif
dalam satu paket dengan harga satuan yang lebih hemat.
2. Objek dalam perkara ini adalah perjanjian PT Telekomunikasi Indonesia Tbk
dengan produknya IndiHome merupakan salah satu perjanjian tertutup yang
berupa Tying Agreement yang berkaitan dengan produk layanan jasa
telekomunikasi, dimana konsumen diwajibkan untuk memilih ketiga layanan
(triple play) sekaligus. Dalam perjanjian tertutup, produk Indihome
merupakan tying product dimana pembeli harus membeli produk yang lainnya
(tyied product). Berdasarkan keterangan tersebut yang dilakukan oleh PT
Telekomunikasi bukanlah tying agreement melainkan bundling. Bundling
merupakan suatu cara, guna untuk menjual produk dalam satu paket dengan
harga lebih murah.
3. PT. Telekomunikasi Indonesia pada produknya Indihome mewajibkan
pembeli untuk membeli semua layanan triple play yang terdiri dari layanan
telepon tetap (fixed line), layanan internet (fixed broadband), dan layanan TV
berbayar (IP TV). Sehingga, pembeli tidak dapat memilih. Dalam hal ini PT
Telekomunikasi Indonesia tidak dapat memberikan kebebasan kepada pembeli
untuk memilih produk layanan yang di perlukan oleh pembeli. Sehingga apa
yang dilakukan oleh PT Telekomunikasi Indonesia menurut penulis termasuk
75

ta’alluq, karena tidak dapat memberikan pilihan/kebebasan pada pembeli


untuk memilih.

B. Saran

1. Kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha, seharusnya dalam menyelidiki


kasus ini lebih teliti lagi, dan seharusnya lebih mendalami lagi dalam keluhan
konsumen agar tidak terulang lagi dalam menyelidiki kasus selanjutnya.
2. Komisi Pengawas Persaingan Usaha untuk lebih mendalami lagi barang bukti
yang berupa kontrak layanan pada produk Indihome, dikarenakan dalam
produk tersebut tidak hanya triple play saja, melainkan juga terdapat pilihan
lain yaitu one play, dan double play.
3. Sebagai umat muslim sudah dianjurkan kita untuk patuh dan taat pada syariat-
syariat islam. baik dalam hubungan perjanjian jual-beli dalam islam yang
merupakan dapat memberi manfaat untuk masyarakat sekitar.

DAFTAR PUSTAKA
76

1. Al-Qur’an
Department Agaman RI, Al-Qur’an dan terjemahannya. Bandung: Diponegoro,
2008.

2. Buku
Karim, Adiwarman. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: IIIT Indonesia, 2000.

As-Sayyid Sabiq. Fiqh as-Sunnah. Libanon: Dar al-Fikr, 1981.

Aziz, Abdul. Ekonomi Islam Analisis Mikro dan Makro. Yogyakarta: Graha Ilmu,
2008.

Basyarahil, H. A. Aziz Salim. 22 Masalah Agama. Jakarta: Gema Insani, Tanpa


Tahun.

Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT.Ikhtiar Baru, 1996.

Fuady, Munir. Hukum Anti Monopoli Menyosong Era Persaingan Sehat.


Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999.

___________. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Buku


Kedua. Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti, 2003.

Dewi, Gemala. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2007.

Hermansyah. Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Cet. 2.


Jakarta: Kencana, 2009.

HS, Salim. Perancangan Kontrak dan Momerandum of Understanding (MoU). Jakarta:


Sinar Grafika, 2011.

Iswardono. Ekonomi Mikro. Yogyakarta: UPP AMP YKPN,1990.


77

Meyliana, Devi, Hukum Persaingan Usaha., Malang: Setara Press, 2013.

Nailufar, Eva Zulfa. Pengupahan Berkeadilan Menurut Hukum Islam: Kajian


UMP DKI. Jakarta: A-Empat, 2014.

Nugroho, Susanti Adi. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Cet. 1. Jakarta:


Kencana, 2012.

Pasaribu, Chairuman. Hukum Perjanjian dalam Islam (Jakarta: Sinar Grafika,


2004.

Purwaningsih, Endang, Hukum Bisnis. Cet. 1.Bogor: Ghalia Indonesia, 2015.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 3. Jakarta: Universitas


Indonesia (UI PRESS), 2015.

Siswanto, Arie. Hukum Persaingan Usaha, Cet. 2. Bogor: Ghalia Indonesia, 2004.

Sjahdeini, Sutan Remy, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Seimbang Bagi


Para Pihak dalam Perjanjian Kredit di Indonesia. Jakarta: Institut
Bankir. Indonesia, 1993.

Usman, Rachamadi. Hukum Acara Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta: Sinar


Grafika, 2013.

Warassih, Esmi. Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologi. Semarang: PT.


Suryadanu Utama, 2009.

Wibowo, Destivano., dan Sinaga Harjon, Hukum Acara Persaingan Usaha.


Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
78

Wijaya, I. G. Rai. Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas. Jakarta: Kesaint


Blanc, 2005.

Yusuf Al-Qaradhawi. Peranan Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam,


penerjemah: Didin Hafidhudin dkk. Jakarta : Robbani Press, 1997.

____________, Halal Haram Dalam Islam, (Terj), Surabaya: PT Bina Ilmu, 2000.

3. Jurnal
Mahkamah Agung RI, Nasakah Akademik, tentang Persaingan Usaha dan Anti
Monopoli. Jakarta, 2005.

4. Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia, Undang-Undang Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Pesaingan
Usaha Tidak Sehat, UU Nomor 5 Tahun 1999, LN Tahun 1999
Nomor 33, TLN Nomor 3817.

___________, Undang-Undang Tentang Telekomunikasi. UU No. 36 Tahun 1999,


LN No. 154 Tahun 1999, TLN. 3881.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia, “Putusan Perkara


Nomor 10/KPPU-I/2016”.

5. Internet
Gudangnya Ilmu, “Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat”,
http://muzajjaddotcom.wordpress.com/2012/12/24/praktek-monopoli-dan-
persaingan-usaha-tidak-sehat, diakses Tanggal 24 Desember 2012.

Kevin Santoso, “Hukum Bisnis Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat”,https://www.academia.edu/34697864/K.6_Hukum_Bisnis_Laranga
n_Monopoli_Dan_Persaingan_Usaha_Tidak_Sehat.
79

Ngaji Ekonomi Islam, “Monopoli Perspektif Islam”,


http://ngajiekonomiislam.wordpress.com/2017/09/10/monopoli-perspektif-islam/,
diakses pada Tanggal 10 September 2017.

Rani Putri Yasmin, “Telekomunikasi Mengenai Penyediaan Sistem


Telekomunikasi”.
http://www.academia.edu/34682312/makalah_sistem_telekomunikasi_mengenai_
Penyediaan_sistem_telekomunkasi.docx

Republik Online, “Persaingan Usaha Dalam Perspektif Hukum Nasional dan


Islam”, http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/dalam/perspektif-hukum-
nasional-dalam-islam, diakses pada tanggal 3 April 2012

Situs Resmi Telkom Indonesia,


https://www.telkom.co.id/servlet/tk/about/id_ID/stock landing/profil -dan-
riwayat-singkat.html diakses pada tanggal 8 Maret 2018.

Anda mungkin juga menyukai