Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH PENDIDIKAN PANCASILA

Tema : Demokrasi Pancasila

KOMUNIKASI POLITIK DAN PERS


PANCASILA

Disusun Oleh Kelompok 4:


Nama Anggota :

Zohriatun

(A1C015148)

Tjok Putri Ayuning Sujati (A1C015135)


Sinta Almanika

(A1C015121)

Rani Kurnia

(A1C015108)

Nisa Nurbaiti

(A1C015101)

Sri Handayani

(A1C015125)

Sirhi Diana Putri


Tohri Rahman

(A1C015122)
(A1C015136)

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, karena berkat
rahmat dan hidayah-Nya, saya bisa menyusun dan menyajikan makalah yang berisi tentang Pers
Pancasila salah satu tugas kuliah. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Adi Iqbal,
S.Sos selaku dosen mata kuliah Sejarah Pers Nasional yang telah memberikan bimbingannya
kepada penulis dalam proses penyusunan makalah ini. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih
kepada berbagai pihak yang telah memberikan dorongan dan motivasi.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan
dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik serta saran yang
membangun guna menyempurnakan makalah ini dan dapat menjadi acuan dalam menyusun
makalah-makalah atau tugas-tugas selanjutnya.
Penulis juga memohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat kesalahan
pengetikan dan kekeliruan sehingga membingungkan pembaca dalam memahami maksud penulis.

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..............................................................................................................

DAFTAR ISI

......................................................................................................................

BAB I. PENDAHULUAN.......................................................................................................

1.1 Latar Belakang................................................................................................................


1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................................
1.3 Tujuan dan Manfaat Karya Tulis....................................................................................

3
3
3

BAB II. PERS DAN POLITIK................................................................................................

2.1 Pengertian Pers ...............................................................................................................


2.2 Fungsi dan Peranan Pers di Indonesia............................................................................
2.3 Kaitan Pers dan Politik....................................................................................................
2.4 Pers Politik dan Pers Bisnis............................................................................................
2.5 Hubungan Pers dengan Partai Politik.............................................................................
2.6 Hubungan Pers dengan Pemerintah................................................................................

4
5
6
7
8
9

BAB III. PERKEMBANGAN POLITIK DAN PERS DI INDONESIA.................................

11

3.1 Sejarah Perkembangan Partai Politik di Indonesia.........................................................


3.2 Perubahan Sistem Pers dan Sistem Politik......................................................................
3.3 Dampak dari penyalahgunaan Pers/Media Massa..........................................................
3.4 Upaya pemerintah dalam Mengendalikan Kebebasan Pers............................................

11
12
14
15

KESIMPULAN ......................................................................................................................

16

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................

17

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Seiring dengan laju perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, pers di Indonesia
mengalami perkembangan yang demikian pesat. Liberalisasi dan globalisasi pun ternyata ikut andil
bagi pergerakan pers di Indonesia.
Pers Pancasila di jadikan sebagai pedoman bagi perkembangan pers di Indonesia. Seiring
berkembangnya waktu, keberadaan pers di Indonesia masa orde reformasi ini, mulai kehilanag arah
dan pedoman. Mengingat keberadaan pancasila yang hingga saat ini masih berfungsi sebagai dasar
filsafat kehidupan berbangsa dan bernegara, maka tidak ada salahnya jika kita menengok kembali
kepada Pancasila untuk mendapatkan pedoman serta arahan bagi perkembangan Pers di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian pers?
2. Bagaimana fungsi dan peranan pers di Indonesia?
3. Bagaimana bentuk kaitan pers dengan politik?
4. Bagaimana perbedaan antara pers politik dengan pers bisnis?
5. Bagaimana hubungan antara pers dengan partai politik?
6. Bagaimana hubungan antara pers dengan pemerintah?
7. Bagaimana perkembangan pers dan politik di Indonesia?
8. Bagaimana perubahan system pers tersebut dari masa kemerdekaan hingga masa orde baru?
9. Bagaimana dampak penyalahgunaan pers?
10. Apa saja manfaat pers?
1.3 Tujuan dan Manfaat Karya Tulis
1. Mengetahui bagaimana fungsi dan peranan pers di Indonesia seiring dengan
perkembangannya.
2. Mengetahui manfaat apa yang dapat digali dari pers.
3. Mengetahui perkembangan pers dari masa kemerdekaan hingga orde baru.
4. Mengetahui apa saja dampak penyalahgunaan pers sehingga dapat menerapkan pers yang
baik di Indonesia.

BAB II
PERS DAN POLITIK
2.1 Pengertian Pers
Pers dikaji sebagai objek studi ilmiah, dan bahkan berhasil melambungkan analisa tentang
pers menjadi suatu ilmu (zeitungswissenschaft di jerman dan journalism di Amerika Serikat) sampai
pada tahun 1930. Telah banyak lahir pemikiran, ulasan dan teori tentang pers. Max Weber (18641920) misalnya telah menyebut pers sebagai lembaga sosial yang memiliki sifat-sifat kelembagaan
(institutional character). Selain itu pers juga dipandang sebagai lembaga ekonomi atau perusahaan
dan bahkan industry jasa yang mampu memberikan keuntungan sebanyak-banyaknya. Demikian
juga pers dapat dijadikan sebagai lembaga pendidikan, yang dapat mengubah masyarakat secara
teratur dan sistematis. Dalam rangka semua itu pers dapat menjalankan fungsi politik, seperti
meyiarkan berita-berita politik, melakukan propaganda politik, melakukan kritik dan control dengan
melayani kepentingan politik tertentu. Itulah sebabnya pers sebagai objek studi ilmiah, dapat dikaji
baik sebagai gejala sosial, maupun sebagai gejala ekonomi, cultural (pendidikan) dan politik,
melalui berbagai teori dan pendekatan.
Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dipahami jika pers ternyata tidak mewakili suatu
pengertian yang tunggal. Para pakar ilmu komunikasi menyebut pers sebagai media komunikasi
massa, sosiolog menanamkan pers sebagai lembaga sosial yang menyelenggarakan kegiatan
komunikasi, dan politisi atau negarawan menyebut pers sebagai alat perjuangan. Ketiga pengertian
ini kemudian dirangkum menjadi satu, sebagai pengertian pers di Indonesia yang digunakan dalam
studi yang bersifat lintas disiplin ini, adalah sebagai berikut :
Pers adalah lembaga kemasyarakatan alat revolusi yang mempunyai karya sebagai salah
satu media komunikasi massa yang bersifat umum berupa penerbitan yang teratur waktu
terbitnya, diperlengkapi atau tidak diperlengkapi dengan alat-alat milik sendiri berupa
percetakan, alat-alat foto, klise, mesin-mesin stensil atau alat-alat teknik lainnya.
Sesungguhnya pers mempunyai beberapa pengertian. Dari segi atimologi, pers (Indonesia) berasal
dari perkataan pressa (Latin) atau press (Inggris) yang artinya tekan atau tindis. Pengertian ini
kemudian berkembang menjadi mesin cetak dan percetakan. Kemudian pengertian pers meluas
menjadi semua barang cetakan, dan lebih khusus lagi yang ditujukan kepada khalayak. Kemudian
pengertian ini lebih dipersempit lagi menjadi khusus surat kabar dan majalah, dan lebih khusus
lagi hanya surat kabar. Bahkan lebih khas, ialah wartawan (orang yang bekerja dibidang redaksi
dan pemberitaan). Selain pengertian diatas, pers dalam arti yang luas, sama dengan media massa,
yaitu mencangkup surat kabar, radio, film dan televise, sedang dalam arti yang sempit adalah surat
kabar. Penggolongan ini dianut di Amerika Serikat.

2.2 Fungsi Dan Peranan Pers Di Indonesia


Fungsi dan peranan pers Berdasarkan ketentuan pasal 33 UU No. 40 tahun 1999 tentang
pers, fungi pers ialah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. Sementara
Pasal 6 UU Pers menegaskan bahwa pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:
memenuhi hak masyarakat untuk mengetahuimenegakkkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong
terwujudnya
supremasi
hukum
dan
hak
asasi
manusia,
serta
menghormati
kebhinekaanmengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan
benarmelakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan umummemperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Albert Camus, novelis terkenal dari Perancis pernah mengatakan bahwa pers bebas dapat
baik dan dapat buruk, namun tanpa pers bebas yang ada hanya celaka. Oleh karena salah satu
fungsinya ialah melakukan kontrol sosial itulah, pers melakukan kritik dan koreksi terhadap segal
sesuatu yang menrutnya tidak beres dalam segala persoalan. Karena itu, ada anggapan bahwa pers
lebih suka memberitakan hah-hal yang salah dari pada yang benar. Pandangan seperti itu
sesungguhnya melihat peran dan fungsi pers tidak secara komprehensif, melainkan parsial dan
ketinggalan jaman. Karena kenyataannya, pers sekarang juga memberitakan keberhasilan seseorang,
lembaga pemerintahan atau perusahaan yang meraih kesuksesan serta perjuangan mereka untuk
tetap hidup di tengah berbagai kesulitan.
Selain diatas ada juga fungsi-fungsi menurut UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, disebutkan
dalam pasal 3 fungsi pers adalah sebagai berikut :
1. Sebagai Media Informasi : ialah pers itu memberi dan menyediakan informasi tentang peristiwa
yang terjadi kepada masyarakat, dan masyarakat membeli surat kabar karena memerlukan
informasi.
2. Fungsi Pendidikan, ialah pers itu sebagi sarana pendidikan massa (mass Education), pers
memuat tulisan-tulisan yang mengandung pengetahuan sehingga masyarakat bertambah
pengetahuan dan wawasannya.
3. Fungsi Menghibur, ialah pers juga memuat hal-hal yang bersifat hiburan untuk mengimbangi
berita-berita berat (hard news) dan artikel-artikel yang berbobot. Berbentuk cerita pendek, cerita
bersambung, cerita bergambar, teka-teki silang, pojok, dan karikatur.
4. Fungsi Kontrol Sosial, terkandung makna demokratis yang didalamnya terdapat unsur-unsur
sebagai berikut:
a. Social particiption yaitu keikutsertaan rakyat dalam pemerintahan.
b. Social responsibility yaitu pertanggungjawaban pemerintah terhadap rakyat.
c. Social support yaitu dukungan rakyat terhadap pemerintah.
d. Social Control yaitu kontrol masyarakat terhadap tindakan-tindakan pemerintah.
5. Sebagai Lembaga Ekonomi, yaitu pers adalah suatu perusahaan yang bergerak dibidang pers
dapat memamfaatkan keadaan disekiktarnya sebagai nilai jual sehingga pers sebagai lembaga
sosial dapat memperoleh keuntungan maksimal dari hasil prodduksinya untuk kelangsungan
hidup lembaga pers itu sendiri.
2.3 Kaitan Pers dan Politik

Secara teoritik terdapat kaitan antara pers dengan politik. Para pengkaji komunikasi politik,
telah membahas keterkaitan pers dan politik, dalam dua cara atau pendekatan yang berbeda.
Pertama, pers dipandang sebagai sumber kekuatan perubahan yang dapat mempengaruhi kehidupan
politik (seperti disajikan dalam studi mengenai propaganda dan pendapat umum), dan kedua, pers
memiliki ketergantungan dari kehidupan politik (seperti terlihat dalam studi mengenai system pers
dan pembrangusan pers).
Kedu macam pendekatan itu berakar dari dua sudut pandang yang berbeda. Pendekatan yang
pertama bertolak dari pandangan serba media, sebaliknya pendekatan yang kedua bertumbuh pada
pandangan serba masyarakat. Secara umum pandangan serba media itu, menekankan keperkasaan
media sebagai kekuatan penggerak perubahan, baik melalui teknologi maupun mengenai isi yang
dibawakannya, sehingga institusi lainnya harus melakukan penyesuaian terhadap tekanan yang
dilakukan oleh pers beserta dampaknya. Sedang pandangan serba masyarakat menekankan
ketergantungan institusi pers pada kekuatan lain dalam masyarakat terutama kepada politik atau
uang (bisnis).
Ditinjau dari pandangan yang kedua diatas, institusi pers merupakan hasil daripada proses
sejarah serta refleksi dan konsekuensi pertumbuhan sosial politik, serta respons terhadap kebutuhan
pelayanan yang berasal dari Negara lain. Hal ini dapata dikaji dalam teori normatif pers yang
diperkenalkan oleh Siebert dan kawan-kawan. Selain itu, pengkajian politik di Indonesia, secara
aktif telah memberi bentuk dan corak perkembangan pers.
Sebenarnya kedua pendekatan di atas dapat saling melengkapi, karena institusi pers menurut
McQuail tergantung pada pendayagunaan kekuasaan oleh unsur kekuatan lain atau paling maksimal
berperan sebagai alat bagi kekuatan lain (politik atau uang). Dalam hal ini pers sanggup melayani
kepentingan yang berbeda-beda, baik kepentingan politik maupun kepentingan ekonomi. Namun
demikian pers juga dapat menjadi saluran yang dimanfaatkan untuk mengendalikan arah dan
memberikan dorongan terhadap perubahan sosial maupun perubahan politik.
Dalam Keputusan Dewan Pers tentang Pedoman Pembinaan Idiil Pers, dijelaskan bahwa
perkembangan pers senantiasa akan dipengaruhi oleh struktur sosial dan struktur politik yang
berlaku dalam masyarakat tempat pers itu bekerja. Adanya ketergantungan pers terhadap politik,
menurut McQuail, antara lain disebabkan karena pers seringkali memiliki posisi yang lemah,
sehingga dengan mudah ditundukkan oleh kekuasaan. Hal ini dapat dilihat dari kajian empirik
Smith di Indonesia (1950-1965), yang menunjukkan bahwa eksistensi dan kehidupan pers sangat
ditentukan oleh kekuasaan.
Menurut Altchsull setiap model pers memandang model pers lainnya sebagai model pers
yang menyimpang. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan ideologi yang mendasari setiap
system pers tersebut. Ideologi memang merupakan dimensi yang penting dari pengaruh politik
terhadap kehidupan pers. Siebert, Peterson dan Schramn, telah menunjukkan betapa besarnya
peranan ideologi sebagai dasar kehidupan pers. Ideologi liberal (liberalisme) menjadi dasar yang
kokoh bagi pers di Amerika, dan komunisme telah menjadi tumpuan bagi pers di Soviet. Sebaliknya
6

kedua macam ideologi itu tidak boleh menjadi dasar bagi pers di Indonesia. Bahkan semua surat
kabar yang bertumpu di luar ideologi pancasila setelah tahun 1966, dilarang di Indonesia. Memang
pemerintah memiliki kekuasaan mengawasi atau melarang semua penerbitan yang tidak sesuai
dengan ideologi resmi Negara.
2.4 Pers Politik dan Pers Bisnis
Pengaruh pers terhadap kehidupan dan perkembangan pers dapat terlihat pada citra pers,
yaitu gambaran tentang realita pers, berdasarkan kepentingan yang dilayani. Pers yang melayani
kepentingan politik, memperoleh citra sebagai pers politik. Menurut A. Muis, pers politik dapat
dibagai paling sedikit dua tipe yaitu pers sebagai organ partai yang menyuarakan ideologi politik
tertentu (party-bound press), dan simpatisan partai atau ideologi politik tertentu (party-directed
press). Tipe pertama adalah pers yang tunduk sepenuhnya kepada kehendak atau kebijakan partai,
dan tipe kedua adalah pers yang tidak didominasi oleh partai melainkan hanya mendukung secara
bebas suatu cita-cita politik.
Selain itu terdapat pula satu tipe pers politik yang dikenal dalam sejarah, ialah pers
perjuangan, yaitu pers yang melayani kepentingan perjuangan kemerdekaan. Pers perjuangan dapat
didominasi oleh suatu partai dan dapat juga hanya merupakan pendukung secara bebas terhadap
cita-cita suatu partai. Citra pers dalam suatau massa tertentu dapat mengalami perubahan atau
pergeseran.
Pers perjuangan maupun pers partai didirikan dan dipimpin oleh politisi atau aktivitas dan
bukan oleh professional. Nimmo membedakan antara politisi, aktivis dan professional sebagai
komunikator politik. Politisi adalah mereka yang menjadikan politik sebagai kegiatan umumnya,
dan aktivis adalah orang-orang yang disamping aktif dalam politik, juga aktif dalam kegiatan pers
(setengah politisi dan semi profesional). Sedang professional adalah orang-orang yang memiliki
pekerjaan pokok sebagai wartawan (tidak aktif dalam kegiatan politik).
Jika pers itu dikuasai oleh politisi atau aktivis, maka surat kabar itu akan memperoleh citra
sebagai pers politik. Sebaliknya jika surat kabar itu dibina oleh professional, maka surat kabar itu
dapat memiliki citra sebagai pers informasi yang pada umumnya melayani kepentingan bisnis,
sehingga dapat disebut sebagai pers bisnis (pers komersial).
Pers politik digunakan untuk melayani kepentingan politik. Surat kabar semacam ini
digunakan sebagai media politik atau alat perjuangan politik oleh kelompok politik tertentu. Juga
surat kabar politik dapat diwarnai oleh ideologi atau aliran politik tertentu. Ideologi itu akan
menjadi dasar dalam penyusunan kebijaksanaan redaksi, yang dikenal sehari-hari sebagai politik
surat kabar.
Dengan adanya dominasi oleh politisi ataupun aktivis, maka pers akan selalu memihak
kepada kepentingan kelompok tertentu. Itulah sebabnya prinsip pemberitaan objektif yang menjadi
kebanggaan wartawan atau professional, tidak mungkin bisa diterapkan oleh pers politik. Pers
seperti ini tidak mungkin bisa netral, dan menjadi pengamat saja dalam kontroversi yang terjadi
7

dalam masyarakat, melainkan aktif sebagai peserta. Justru itu pers politik akan lebih mengutamakan
opini, dari pada pemberitaan yang hanya menyampaikan fakta yang terjadi setiap hari.
Tujuan pokok pers politik atau pers perjuangan, adalah tujuan ideal, bukan tujuan
komersial. Hal ini sekaligus memberi perbedaan dengan pers yang mengutamakan kepentingan
komersial, yang dapat dinamakan sebagai pers komersial atau pers bisnis, yang dinegara industry
dinamakan juga pers industry. A. Muis menjelaskan bahwa pers industry dapat dihubungkan dengan
munculnya cirri kelima yang pernah diungkapkan oleh Baschwitz yaitu pers yang berorientasi pada
kepentingan pembaca dan pembasang iklan. Dengan demikian cirri-ciri pers komersial berbalikan
dengan pers politik atau pers perjuangan.
Perbedaan antara pers politik dengan pers pers bisnis, dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Jika pers politik memiliki orientasi politik yang kuat, maka pers bisnis mengutamakan
kepentingan komersial.
2. Jika pers politik didominasi oleh politisi, maka pers bisnis dikuasai oleh wartawan professional
3. Jika pers politik berpihak kepada kepentingan politik kelompok tertentu, maka pers bisnis
berusaha netral.
4. Jika pers politik memiliki sirkulasi yang kecil, maka pers bisnis memiliki sirkulasi yang besar.
2.5 Hubungan Pers dengan Partai Politik
Pengaruh politik terhadap kehidupan pers, akan terlihat pada dimensi hubungan pers dengan
partai politik. Secara umum Budiardjo merumuskan partai politik sebagai suatu kelompok yang
terorganisasi, yang anggota-anggotanya memiliki orientasi nilai-nilai yang sama. Kelompok ini
bertujuan untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik untuk melaksanakan
kebijaksanaannya.
Dalam upaya memperoleh kekuasaan dan melaksanakan kebijaksanaannya itu, partai politik
akan berusaha memperoleh dukungan yang seluas-luasnya. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai
cara, termasuk menggunakan surat kabar. Dari sinilah muncul pola hubungan antara pers dengan
partai politik.
Hubungan antara pers dengan partai politik, dalam sejarah politik pers, melahirkan beberapa
jenis surat kabar yang dikenal dengan nama pers partai, pers mandiri (independen) dan pers afiliasi.
Hal ini juga mencerminkan pemilikan pers yang tidak bisa dilepaskan dengan system politik yang
berlaku di mana pers itu lahir dan berkembang.
Pers partai adalah surat kabar yang didirikan dan dimiliki oleh partai politik dan kemudian
dimanfaatkan demi kepentingan partai politik itu sendiri. Surat kabar semacam ini dengan
sendirinya memiliki politik dan ideologi yang sama dengan politik dan ideologi partai.
Pada umumnya surat kabar partai memperoleh modal dan subsidi dana dari partai atau
orang-orang tertentu yang aktif dalam partai politik yang menguasai surat kabar tersebut. Itulah
sebabnya pers partai dapat lebih leluasa menyarakan kepentingan partai dibanding memperhatikan
8

kepentingan khalayak pembaca. Hal ini merupakan salah satu sebab dari kurang berkembangnya
pers partai.
Selain dari faktor dana, pers partai dapat juga mengalami kemunduran dari segi politik dan
ideologi. Dalam kajian Smith mengenai pembreidelan pers di Indonesia (1950-1965), dapat dilihat,
bahwa banyak surat kabar partai yang mati karena faktor ideologi dan politik.
Pers mandiri (pers independen) adalah surat kabar yang berdiri sendiri sebagai lembaga,
dan secara organisasi tidak terkait baik dengan partai politik maupun pemerintah. Surat kabar
semacam ini dapat menentukan sendiri politik dan ideologinya tanpa keterkaitan formal dengan
partai politik.
Kendatipun demikian surat kabar mendiri tetap dapat dipengaruhi oleh partai politik maupun
oleh pemerintah secara tidak resmi melalui orang-orang yang bekerja dalam pers, terutama
pemimpin surat kabar itu. Pemimpin surat kabar yang merangkap pemimpin atau aktivis partai
dengan sendirinya mampu mengendalikan isi surat kabar sesuai dengan kepentingan politik dan
ideologi partai.
2.6 Hubungan Pers dengan Pemerintah
Pengaruh system politik terhadap kehidupan pers, juga akan terlihat pada dimensi hubungan
pers dengan pemerintah. Pemerintah senantiasa mengatur hubungannya dengan pers melalui
peraturan atau undang-undang. Siebert, Peterson dan Schramm telah mengkaji system pers yang
berlaku di beberapa Negara (Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Soviet) dan kemudian dirumuskan
menjadi teori pers. Siebert dan kawan-kawan itu memperkenalkan empat macam teori pokok
mengenai pers, yaitu teori Otoritarian, teori Libertarian, teori Tanggung Jawab Sosial dan Soviet
Komunis. Kemudian McQuail menambahkan dua teori lagi, yaitu teori Media Pembangunan dan
teori Media Demokratis-Partisipan.
1. Teori Otoritarian
Dalam teori pers otoritarian, menurut Siebert, pers diletakkan sebagai pelayan Negara, yang
bertanggung jawab kepada Negara. Dalam hal ini pers digunakan oleh penguasa untuk
menyampaikan informasi kepada rakyat tentang kebijaksanaannya, dan juga pers harus
mendukung kebijaksanaan itu.
2. Teori Libertarian
Setelah teori otoritarian mengalami kemunduran dengan berkembangnya gagasan tentang
kebebasan individu, yang kemudian dikenal sebagai faham liberal dan individual (liberalisme dan
individualisme). Faham ini lahir dan berkembang sebagai reaksi total terhadap faham otoriter.
Faham ini juga melahirkan suatu system pers yang dinamakan pers Libertarian. Menurut Siebert,
dalam teori ini pers dianggap sebagai mitra dalam mencari kebenaran, sehingga pers bukan lagi
menjadi perkakas penguasa, melainkan sarana bagi individu untuk mengawasi kekuasaan.
9

3. Teori Tanggung Jawab Sosial


Kurangnya pengawasan pemerintah terhadap pers atau media massa, melahirkan suatu
kekuatan baru dalam masyarakat yang justru dapat membahayakan kebebasan dan demokrasi itu
sendiri, yaitu munculnya pengelola dan penguasa media yang mendominasi pendapat umum.
Peterson yang memperkenalkan teori ini menyebutkan bahwa kekuasaan dan kedudukan orangorang yang memonopoli media menimbulkan pula kepada mereka keharusan bertanggung jawab
kepada masyarakat.
4. Teori Soviet Komunis
Teori yang bertolak dari faham Komunis (Komunisme/Marxisme) menempatkan pers
sebagai alat partai yang berkuasa, dan karena itu pers merupakan pelayan Negara, seperti dalam
teori otoritarian. Di soviet pers harus menjadi milik Negara, sehingga tidak ada surat kabar yang
boleh diterbitkan oleh swasta. Justru itu surat kabar Soviet sama sekali tidak mengenal tujuan
untuk mencari keuntungan (bisnis).
5. Teori Media Pembangunan
Teori media pembangunan pada prinsipnya menganut pemikiran pers ditangan swasta,
namun menekankan juga bahwa media seyogyanya menerima dan melaksanakan tugas
pembangunan positif sejalan dengan kebijaksanaan yang ditetapkan secara nasional, sehingga
kebebasan media hendaknya dibatasi sesuai dengan prioritas ekonomi dan kebutuhan
pembangunan masyarakat.
6. Teori Media Demokratik-Partisipan
Teori ini menolak keharusan adanya media yang seragam, sentralisasi, mahal, sangat
diprofesionalkan dan dikendalikan oleh pemerintah. Teori ini menekankan bahwa organisasi dan
isi media hendaknya tidak tunduk pada pengendalian politik atau pengendalian pemerintah.
Warga Negara secara individu dan kelompok minoritas memiliki hak untuk memanfaatkan
media dan hak untuk dilayani oleh media sesuai dengan kebutuhan.

10

BAB III
PERKEMBANGAN POLITIK DAN PERS DI INDONESIA
3.1 Sejarah Penerbitan Surat Kabar Partai Politik Indonesi
Pengelompokkan beberapa partai politik dan aliran-aliran politik yang melembaga di
Indonesia, merupakan suatu konfigurasi dalam tatanan politik Indonesia pada masa lalu.
Pengelompokan dan aliran-aliran itu juga memasuki dunia persurat kabaran, dengan seluruh
dinamikanya, karena partai politik menerbitkan surat kabar.
1. Partai Masyumi menerbitkan harian Abadi tahun 1950, dengan sirkulasi mencapai kira-kira
17.000 lembar.
2. Partai Komunis Indonesia (PKI) menerbitkan harian Rakyat pada tahun 1951, dengan sirkulasi
mencapai 23.000 lembar
3. Partai Nasional Indonesia (PNI) menerbitkan pula Suluh Indonesia pada tahun 1953 dan
mencapai peredaran 10.000 lembar.
4. Partai Nahdatul Ulama (NU) menerbitkan juga Duta Masyarakat tahun 1953 dengan sirkulasi
15.000 lembar.
5. Partai Sosialis Indonesia (PSI) menerbitkan harian Pedoman pada tahun 1948 dengan sirkulasi
mencapai 30.000 lembar.
Selain surat kabar yang diterbitkan oleh partai politik tersebut, juga terdapat beberapa buah surat
kabar yang peranan dan pengaruhnya sangat penting dalam dinamika politik dan Pers Nasional. Surat
kabar yang dimaksud bukanlah surat kabar partai, melainkan surat kabar yang mandiri (independen),
beberapa diantaranya adalah :
1. Harian Indonesia Raya yang konsekuen dan keras antikomunis, terbit pertama kali tahun 1949
dengan sirkulasi mencapai sekitar 30.000 lembar.
2. Harian Merdeka, Berita Indonesia dan Bintang Timur, terbit pada tahun 1945 dengan sirkulasi
masing-masing mencapai 20.000 dan 10.000 lembar. Harian Merdeka dikenal sebagai harian
revolusioner yang hampir selalu mendapat restu Soekarno.
Selain partai politik, juga organisasi sosial yang menerbitkan surat kabar yang masing-masing
membawa aliran politik yang berbeda, seperti:
1. Muhammadiyah menerbitkan surat kabar Mercusuar
2. Serikat Buruh Muslimin Indonesia (sarbumusi) memiliki harian Duta Revolusi.
3. ABRI memiliki harian Berita Yudha (1965) dan harian Angkatan Bersenjata (1965).
Menjelang akhir system pers Terpimpin dan system politik Demokrasi Terpimpin (1965), semua
surat kabar diwajibkan oleh pemerintah memperjelas posisi aliran politiknya, dengan mengharuskan
semua surat kabar memiliki afiliasi dengan salah satu kekuatan sosial politik yang ada atau kepada
pemerintah. Semua surat kabar baik yang terbit di Jakarta maupun di daerah lain haruslah masuk
11

slag orde yang ditentukan. Masing-masing parpol atau ormas hanya dibenarkan memiliki satu organ
resmi, sedang surat kabar-surat kabar dan majalah-majalah lainnya harus berafiliasi kepadanya.
Dari uraian dimuka jelas bahwa surat kabar Indonesia terbagi-bagi dalam aliran-aliran politik
yang berbeda satu dengan yang lain. Pers Indonesia juga merupakan penjelmaan dari kekuatankekuatan premodial yang ada di Indonesia. Dengan pola seperti ini dikalangan surat kabar terjadi
konflik dan persaingan yang tercermin dari polemik yang sering terjadi.
3.2 Perubahan Sistem Pers dan Sistem Politik
Pemerintah selalu mengatur hubungannya dengan pers melalui peraturan atau undangundang tentang pers, dan dari situlah terungkap secara normatif mengenai system pers suatu Negara,
yang merupakan bagian integral dari ideologi dan system politik yang belaku. Selama masa
kemerdekaan, di Indonesia telah berlaku tiga macam system politik yang berbeda satu dengan yang
lain, sehingga dikenal juga tiga macam system pers. Ketiga macam system per situ adalah Sistem
Pers Merdeka yang berkaitan dengan masa perjuangan (1945-1950) dan Sistem Politik Demokrasi
Liberal (1950-1959), Sistem Pers Terpimpin yang terpaut dengan System Politik Demokrasi
Terpimpin (1959-1965), dan Sistem Pers Pancasila yang bergandengan dengan Sistem Politik
Demokrasi Pancasila (mulai tahun 1966).
1. Pers Merdeka
Dalam bulan Oktober tahun 1945, pemerintah mengumumkan kebijakannya tentang kehidupan
pers yang kemudian dikenal sebagai asas Pers Merdeka bagi Republik Indonesia yang
diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945. Dalam pengumuman Menteri Penerangan (Mr. Amir
Syarifuddin), ditegaskan bahwa pikiran masyarakat umum atau pendapat umum merupakan sendi
dasar pemerintahan yang berkedaulatan rakyat, sehingga pers yang tidak merdeka tidak mungkin
menyatakan pikiran masyarakat, melainkan hanya pikiran beberapa orang yang berkuasa saja. Itulah
sebabnya ditegaskan bahwa asas yang dianut oleh pemerintah Indonesia ialah pers harus merdeka.
System pers merdeka ini, diperkuat dengan berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara
(UUDS) tahun 1950, yang menjadi dasar dari system Demokrasi Parlementer (1950-1959). UndangUndang dasar ini mencerminkan system demokrasi liberal seperti yang terdapat di beberapa Negara
Barat. System politik ini sejalan dengan system pers Libertarian.Dalam system pers yang berpola
liberal itu, surat kabar pada umumnya dimiliki oleh swasta termasuk partai politik atau golongan
sosial, dan sama sekali bebas dari pengaruh pemerintah.
2. Pers Terpimpin
Dalam keadaan darurat perang atau SOB (Staat van Oorlog en Beleg) yang berlangsung tanggal
14 Maret 1957 sampai 30 April 1963, pemerintah mengambil sejumlah tindakan terhadap pers. Salah
satu alasan penting ialah bahwa pers telah menyalahgunakan kebebasannya dengan mengabaikan
tanggung jawab nasionalnya, dan bahkan per situ telah turut menpertajam konflik dan ketidak
12

stabilan politik di tanah air. System pers ini bertumpu pada falsafah politik otoriter, yang
diperkenalkan oleh Siebert dengan nama system pers Otoritarian.
System pers terpimpin runtuh juga sejalan dengan runtuhnya kekuasaan Soekarno, begitu pula
dengan system demokrasi parlementer.
3. Pers Pancasila
Sesuai dengan system politik yang dibangun yaitu Demokrasi Pancasila, maka dalam
perkembangan selanjutnya pers Indonesia pun kemudian dikenal sebagai pers Pancasila, untuk
membedakan dengan system pers sebelumnya, yaitu pers merdeka (1945-1959) dan pers terpimpin
(1959-1966). Dalam undang-undang pers (pasal 11), dijelaskan bahwa penerbitan pers yang
bertentangan dengan Pancasila seperti halnya yang bertolak dari paham komunsime/MarxismeLeninisme dilarang. Demikian pula dalam ketetapan MPRS No. XXXII/ MPRS/1966, tercantum
(pasal 2 ayat 2) bahwa kebebasan pers Indonesia adalah kebebasan untuk menyatakan kebenaran
dan keadilan, dan bukanlah kebebasan dalam arti liberalism. Bahkan dalam keteapan MPRS NO.
XXXII/1996 tersebut ditegaskan (pas 2 ayat 1) bahwa kebebasan pers berhubungan erat dengan
keharusan adanya pertanggung jawaban kepada (a) Tuhan yang maha esa, (b) kepentingan rakyat,
(c) kelangsungan dan penyelesaian revolusi, (d) moral dan tata susila, (e) kepribadian bangsa.
Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 11/1966, dirumuskan (5 ayat ) bahwa kebebasan pers
sebagai hak asasi warganegara dijamin (ayat 1), dan kebebasan pers itu didasarkan atas tanggung
jawab nasional, dan pelaksanaan kewajiban dan hak pers (ayat 2).
Lahirnya Undang-undang pers pada akhir tahun 1966 itu, telah memantapkan kehadiran pers
nasional dalam system politik demokrasi pancasila. System pers dalam alam demokrasi pancasila,
telah jelas berbeda dengan system pers pada masa demokrasi parlementer, dan juga berbeda dengan
system pers pada jaman demokrasi terpimpin. Jika dalam pers merdeka titik berat diletakkan pada
kebebasan dan dalam pers terpimpin tekanan diberikan kepada tanggung jawab, maka dalam pers
pancasila, kebebasan dan tanggung jawab diletakkan secara seimbang, sehingga menjadi pers yang
bebas dan bertanggung jawab. Itulah sebabnya maka konsep bebas dan bertanggung jawab itu
merupakan salah satu ciri pokok dari system pers pancasila. System pers pancasila berkembang
sejalan dengan berkembangnya system politik demokrasi pancasila, yang dibangun diatas
reruntuhan dua system politik sebelumnya.
Pemantapan ideology pancasil memang mencapai sukses, termasuk dalam bidang pers.
Dewan pers (1984) menetapkan bahwa pers nasional adalah pers pancasila yaitu pes yang
berorientasi, bersikap dan bertingkah laku berdasarkan nilai-nilai pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945. Dengan demikian jelas bahwa pers pancasila, adalah pers yang bertolak dari filsafat
pancasila.
System pers pancasila, pada dasarnya menghendaki tumbuhnya pers yang sehat dari segi
pengusahaan sebagai sebuah bidang usaha bagi swasta dengan modal sendiri, tanpa larangan
mencari keuntungan. Namun harus tetap dijaga agar bisnis pers itu senantiasa mengutamakan sifat13

sifat idiil sebagai alat perjuangan nasional. Dengan kata lain pers Indonesia dalam system pers
pancasila sama sekali tidak boleh menjadi pers mata duitan, sebagaimana yang dituduhkan pada
pers di Negara-negara liberal.
3.3 Dampak Dari Penyalahgunaan Kebebasan Pers/Media Massa
Kebebasan pers adalah kebebasan media komunikasi baik melalui media cetak maupun
melalui media elektronik. Dengan demikian kebebasan pers merupakan suatu yang sangat
fundamental dan penting dalam demokrasi karena menjadi pilar yang ke 4 setelah lembaga
eksekutif, lembaga legislatif dan lembaga yudikatif. Jadi, pers yang bebas berfungsi sebagai
lembaga media atau aspirasi rakyat yang tidak bisa diartikulasikan oleh lembaga formal atau resmi
tetapi bisa diartikulasikan melalui pers atau media massa. Pers yang bebas tidak bertanggung jawab,
sering menimbulkan dampak yang tidak baik bagi masyarakat. Dewasa ini, penggunaan pers atau
media massa sebagai sarana komunikasi sangatlah menguntungkan karena kita bisa mendapatkan
berita yang hangat dengan cepat tanpa mengeluarkan uang yang banyak. Media komunikasi modern
seperti radio, televisi dan lainnya dengan muda dapat kita gunakan. Dengan media komunikasi
tersebut pertukaran nilai-nilai budaya antar bangsa akan cepat terjadi. Padahal belum tentu sesuai
dengan budaya-budaya indonesia. Program ditayangkan seperti kejahatan, perangdan hal-hal yang
menjurus pornografi dapat menimbulkan dampak negatif yang menjurus pada kemerosotan moral
masyarakat. Hal tersebut tentu dapat membahayakan bangsa ini, karena dampak yang ditimbulkan
akan mengancam kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Faktor-faktor penyebab penyalahgunaan
kebebasan berpendapat dan berbicara di muka diantaranya adalah:
1.
2.
3.
4.
5.

Lebih mengutamakan kepentingan ekonomis (oriented bisnis).


Campur tangan pihak ketiga.
Keberpihakan.
Kepribadian
Tidak mempertimbangkan kondisi sosial budaya masyarakat.

Sedangkanbentuk-bentuk penyalahgunaan kebebasan berpendapat dan berbicara melalui media


massa diantaranya dapat berupa:
1. Penyiaran berita/informasi yang tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik, seperti penyebutan
nama tersangka dan gambar lengkap tersangka untuk melengkapi informasi kriminal.
2. Peradilan oleh pers (trial by press) seperti berita yang menyimpulkan bahwa seorang atau
golongan atau instansi telah melakukan kesalahan tanpan melalui informasi yang seimbang dan
lengkap tanpa melalui proses peradilan.
3. Membentuk opini yang meyesatkan, seperti penulisan berita yang tidak yang tidak
memperhatikan objektifitas dan membela kepentingan tertentu sehingga disadari atau tidak
disadari rangkaian informasi yang disampaikan dapat menyesattkan pola pikir pembaca dan
penontonnya.
4. Berisi tulisan/siaran yang bersifat profokatif seperti isi berita dan tayangan yang mengarahkan
pembaca dan penontonnya untuk membenci individu, golongan, pejabat, atau instansi tertentu.
14

5. Iklan yang menipu, yaitu iklan yang bersifat tidak jujur, menipu, menyesatkan, dan merugikan
suatu pihak baik secara morill, material maupun kepentingan umum.
6. Pelanggaran terhadap kitab undang-undang hukum pidana (KUHP), seperti:
Pasal 37 KUHP Barang siapa menyiarkan, mempertontongkan tau menempelkan tulisan
atau gambar yang isinya menghina presiden atau wakil presiden dengan niat supaya
diketahui oleh orang banyak dihukum selama-lamanya satu tahun atau denda sebanyakbanyaknya Rp. 4.500.000.
Pasal 154 KUHP barang siapa dimuka umum menyatakan perasaan permusuhan,
kebencian, atau penghinaan terhadap kepala pemerintahan indonesia dihukum penjara
selama-lamanya tujuh tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.4.500.000
Pasal 155 KUHP Barang siapa yang menyiarkan, mempertontongkan atau menempelkan
surat atau gambar yang isinya menyatakan perasaan kebencian tau penghinaan terhadap
pemerintah indonesia dengan maksud supaya isi surat atau gambar itu diketahui orang
banyak dihukum penjara selama-lamanya 4 tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.
4.5000.000
3.4 Upaya Pemerintah Dalam Mengendalikan Kebebasan Pers
Upaya pemerintah dalam mengendalikan kebebasan pers pada masa orde baru, pengawas
kebebasan pers pemerintah mengadakan sensor sebelum disiarkan atau sebelum diterbitkan. Untuk
menghindari hal-hal yang tidak di inginkan maka pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan,
antara lain: (a) UUD 1945, (b) Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi
Manusia. (c) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (d) UU No. 9 Tahun 1998 Tentang
Kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum (e) UU No. 40 tahun 1999 tentang pers (f)
UU No. 40 tahun 2000 tentang pers Nasional (g) UU No. 32 tahun 2002 tentang penyiaran. Dengan
adanya batasan batasan tersebut diharapkan pers dapat melakukan hal-hal yang dapat
meningkatkanperkembangan masyarakat indonesia diantaranya:
a.
b.
c.
d.

Memberikan hiburan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat


Meningkatkan kemampuan dan pengetahuan masyarakat.
Menghindari terjadinya gangguan stabilitas yang menyangkut SARA.
Melindungi hak-hak pribadi agar golongan minoritas tidak tertindas oleh golongan mayoritas.

15

KESIMPULAN
Komunikasi politik dan system pers di Indonesia bukan hanya diwarnai oleh filsafat
pancasila, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh adanya perubahan system politik. Bahkan ternyata
kehidupan politik nasional secara aktif memberi warna dan corak perkembangan pers pada
khususnya dan komunikasi politik pada umumnya.
System pers tumbuh sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan system politik demokrasi
pancasila yang dibangun diatas reruntuhan system politik demokrasi liberal (1950-1959) dan system
politik demokrasi terpimpin (1959-1965). Setiap system politik itu ternyata melahirkan juga system
pers, yang berbeda satu dengan yang lain.

16

DAFTAR PUSTAKA
http://nyaw-artikel.blogspot.co.id/p/dampak-dari-penyalahgunaan-kebebasan.html
http://arjaenim.blogspot.co.id/2012/11/pers-pancasila.html
Arifin, anwar. 1992. Komunikasi Politik dan Pers Pancasila. Jakarta. Yayasan Media

17

Anda mungkin juga menyukai