Anda di halaman 1dari 7

Konsep Dasar 

Pemberitaan

Filed under: Materi Jurnalistik by aliefnews — 2 Komentar

Januari 11, 2008

1. Fungsi Pemberitaan 
Fungsi utama pemberitaan bukanlah untuk memperingatkan, menginstruksikan, dan membuat
khalayak tercengang; tetapi memberitahu (Halsberstam 1992: 14). Setelah memberitahu khalayak,
terserah khalayak untuk memanfaatkan sebuah berita. Tertapi, kalau sebuah berita hanya berhenti
sampai memberitahu saja, maka berita itu disebut tidak bermanfaat bagi khalayak.Lalu, bagaimana
caranya agar berita bisa bermanfaat untuk khalayak? Jawabnya ada dua, yaitu:a. Mengusahakan
berita sebagai pengetahuan umum
Pengetahuan umum adalah pengertian-pengertian bersama tentang satu hal yang bisa dimanfaatkan
khalayak untuk berinteraksi sosial. Bila seorang individu tidak memiliki pengetahuan umu, biasanya
ia tidak berdaya dalam berinteraksi dengan individu atau kelompok lain. Tidak heran kalau
pengetahuan umum menjadi bagian yang penting dari kehidupan khalayak.

Pengalaman menunjukkan, bahan baku pengetahuan umum adalah informasi. Agar menjadi
pengetahuan umu, informasi harus diinterpretasikan dan diberi konteks tertentu (Ericson, Baranek
dan Chan 1987: 11). Sedangkan yang bisa digolongkan sebgai informasi antara lain:
berita, laporan, data statistic, peraturan-peraturan, keputusan-keputusan penting, resolusi.
Kenyataan ini menimbulkan pendapat bahwa usaha menjadikan berita menjadi pengetahuan umum
bisa ditempuh dengan menginterpretasikan berita dan memberinya konteks tertentu.

Lalu, siapa yang harus menginterpretasikan berita dan memberinya konteks tertentu? Jawabnya,
khalayak. Tetapi, para wartawan perlu merangsang khalayak untuk melakukan kedua hal itu, yaitu
denganmenyiarkan berita yang memiliki nilai sosial dan yang menguntungkan kepentingan umum.
Sebuah berita disebut menyiarkan berita yang memiliki nilai sosial kalau berita tersebut memenuhi
kepentingan umum. Berita tentang pertengkaran suami-istri dan ulang tahun pejabat pemerintah
misanlnya, bukanlah berita yang memenuhi kepentingan umum.

Sedangkan berita disebut menguntungkan kepentingan umum, kalau berita tersebut tidak mendikte
khalayak. Sebuah berita yang menyiarkan informasi yang berasal dari hanya satu narasumber jelas
tidak menguntungkan kepentingan umum. Di samping khalayak tidak mendapatkan gmabaran
permasalahan dari berbagai pihak, khalayak seolah-olah dipaksa untuk mengikuti pendapat satu
orang saja.

Kalau selama ini para pengamat menilai bahwa khalayak belum bisa menjadikan berita-berita yang
disiarkan pers Indonesia sebgai pengetahuan umum, maka menjadi tantangan begi pers Indonesia
untuk menyiarkan berita yang memenuhi dan menguntungkan kepentingan umum. Andaikata pers
Indonesia bisa menjadikan berita sebagai pengetahuan umum, pers indonesia disebut telah
memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi peningkatan daya nalar khalayak. Bukankah
pengetahuan umum bisa dijadikan khalayak untuk mengontrol diri dan
lingkungan mereka?

b. Mengusahakan berita sebagai alat kontrol sosial


Maksud berita sebagai alat kontrol sosial adalah: memberitakan peristiwa yang buruk, keadaan yang
tidak pada tempatnya dan ihwal yang menyalahi aturan, supaya peristiwa buruk tidak terulang lagi
dan kesadaran berbuat baik serta mentaati peraturan makin tinggi. Makanya berita sebagai alat
kontrol sosial bisa disebut ”berita buruk”.

Selama ini ada pendapat yang dianut oleh banyak orang bahwa ”berita buruk” akan melahirkan hal
yang buruk pula. Misalnya: berita menyeluruh tentang gerakan Papua Merdeka dikhawatirkan akan
mengancam persatuan nasional. Tetapi, akhir-akhir ini, di negara maju, berkembang pendapat
bahwa ”berita buruk” justru melahirkan pelajaran yang baik untuk memperkuat nilai dan identitas
kolektif yang sudah dimiliki (Ericson, Baranek dan Chan 1987: 65). Sebab, khalayak cenderung
memproyeksikan keadaan yang mereka lihat pada diri mereka. Begitu mereka melihat kehidupan
gerakan Papua Merdeka yang tidak enak dan tidak tentram, saat itu pula mereka tidak ingin meniru
mereka.

Pada sisi yan lain, penyiaran ”berita buruk” tentang sebuah lembaga pemerintah bisa melahirkan
opii publik yang baru dan citra yang baru pula tentang lembaga pemerintah tersebut. Biarpun begitu,
ia bisa merangsang gagasan-gagasan dari khalayak untuk ikut membantu memperbaiki lembaga
pemerintah tersebut. Kalau berita itu tidak disiarkan, bukan mustahil gagasan-gagasan khalayak
untuk memperbaiki lembaga tersebut tidak muncul.

Bagi individu yang terlibat langsung dalam sebuah ”berita buruk” penyiaran beritanya akan
membuat ia selalu ingat bahwa khalayak tahu ia pernah teledor dan khilaf. Ingatan ini akan
membuatnya berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Ini dimungkinkan karena
sesungguhnay seorang individu akan merasa gundah dan resah bila khalayak tahu ia pernah berbuat
salah.

Kalau selama ini ada kekhawatiran bahwa berita sebagai kontrol sosial akan meresahkan khalyak dan
merugikan kepentingan umum, kenyataan di atas menimbulkan pendapat bahwa berita sebagai
kontrol sosial lebih banyak mendatangkan keuntungan daripada kerugian. Salah satu keuntungan itu
adalah merangsang tinbulnya gagasan-gagasan khalayak.

2. Batas Pemberitaan 
Sesungguhnya yang menjadi batas pemberitaan resmi di Indonesia ada tiga, yaitu Undang-Undang,
Kode Etik Jurnalistik dan Code of Conduct yang dimiliki media pers. Undang-Undang membatasi
media pers dari hjal-hal yang boleh diberitakan melalui pasal-pasalnya. Ia merupakan hukum positif.
Bila ada media pers yang melanggar, maka ia akan dituntut di pengadilan. Sebuah Undang-Undang
yang harus dipatuhi media pers sekarang adalah Undang-Undang No. 40 Tahun 1999.

Kode Etik Jurnalistik membatasi wartawan tentang apa yang baik dan tidak baik diberitakan. Ia
dikeluarkan oleh asosiasi profesi wartawan. Karena itu, sanksi bagi pelanggarnya diberikan oleh
asosiasi profesi wartawan bersangkutan. Sanksi ini lebih bersifat moral. Wartawan yang
melanggarnya akan disebut tidak bermoral, dikucilkan dari kehidupan media pers atau
diskors.

Sekarang, siapa pun wartawan Indonesia harus mematuhi Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI)
yang sudah disusun bersama-sama oleh berbagai asosiasi profesi wartawan Indonesia di Bandung, 6
Agustus 1999. KEWI terdiri atas tujuh pasal, yaitu: (i) Wartawan Indonesia menghormati hak
masyarakat utnuk memperoleh informasi yang benar; (ii) Wartawan Indonesia menempuh cara yang
etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber
informasi; (iii) Wartawan Indonesia menghormati azas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan
fakta dan opini, berimbang dan selalu meneliti kebenaran informasi, serta tidak melakukan plagiat;
(iv) Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis dan cabul,
serta tidak menyebutkan identitas korban
kejahatan susila; (v) Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi;
(vi) Wartawan Indonesia memiliki hak tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar
belakang dan off the record sesuai kesepakatan; (vii) Wartawan Indonesia segera mencabut dan
meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani hak jawab.

Code of Conduct, dalam pada itu, merupakan peraturan yang dikeluarkan oleh sebuah media pers
tentang apa yang boleh dan tidak boleh diberitakan. Ia mengikat wartawan sebagai pekerja di
sebuah media pers. Karena itu, sanksi bagi pelanggarnya diberikan oleh media pers yang
menerbitkan Code of Conduct itu. Tidak jarang sanksi itu lebih keras dari sanksi yang diberikan oleh
asosiasi profesi wartawan, misalnya pemutusan hubungan kerja.

Dengan ketiga batas pemberitaan di atas terlihat bahwa media pers tidak bebas begitu saja
menyiarkan berita. Ada peraturan-peraturan yan membatasinya menyiarkan berita kepada khalayak.
Kalau ada pihak yang mengatakan bahwa media pers sangat bebas, itu tidak benar. Media pers
memiliki berbagai batasan pemberitaan. Justru karena batasan pemberitaan itulah diaeksis sebagai
kekuatan keempat (fourth estate), setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

3. Layak Berita 
Secara praktis, layak berita merupakan gabungan antara nilai berita dan tujuan media. Nilai berita
merupakan titik awal utnuk meliput sebuah peristiwa. Sedangkan tujuan media merupan saringan
yang menentukan apakah peristiwa yang sudah memiliki nilai berita pantas disiarkan atau tidak.
Dengan perkataan lain, tidak semua peristiwa yang memiliki nilai berita bisa diberitakan. Sebaliknya,
semua informasi yang layak berita tentu memiliki nilai berita. Di Amerika Serikat, seperti kata Doris
A. Graber, nilai berita yang banyak dianut media massa adalah: luar biasa, menghibur, tidak asing,
dekat, konflik, dan kekerasan (Graber 1993: 131). Artinya, semua peristiwa yang luar biasa, bisa
menghibur khalayak, tidak asing bagi khalayak, berdekatan dengan khalayak (baik emosional
maupun geografis), mengandung konflik dan mengungkapkan kekerasan, perlu diberitskan. Di
Indonesia, nilai berita yang memasyarakat adalah penting, terkenal, luar biasa, dekat, aktual, dan
manusiawi. Dengan begitu media massa di Indonesia merasa peristiwa yang penting bagi khalayak,
menyangkut orang terkenal, luar biasa, dekat dengan khalayak (baik emosional maupun geografis),
baru terjadi dan bersifat manusiawi, pantas diberitakan. Meskipun demikian, tidak ada satu
kekuatan pun yang bisa memaksa media massa, baik di Amerika Serikat maupun di Indonesia, untuk
memenuhi nilai berita yang umum tersebut. Semua media massa bebas menentukan nilai berita
yang akan dianut.

Bila seorang wartawan sudah menulis berita sesuai dengan kriteria nilai berita yang dianut
medianya, berita itu tidak langsung disiarkan. Ia diserahkan pada redaktur untuk diuji. Pada saat
ujian ini, kriteria yang dipakai bukan hanya nilai berita, tetapi juga tujuan media. Kalau tidak ada
masalah, barulah berita tersebut layak berita. Kalau masih ada masalah, berita tersebut diserahkan
kepada gatekeeper (di Indonesia, fungsi ini biasanya dijalankan oleh redaktur pelaksana, wakil
pemimpin redaksi dan pemimpin redaksi). Gatekeeper yang akan memutuskan berita tersebut layak
berita atau tidak.

Gatekeeper adalah orang yang sangat memahami konsep layak berita yang dianut media tempat ia
bekerja. Dalam bekerja, ia lebih mengutamakan kepentingan medianya. Kalau ia merasa berita yang
sedang ditangannya akan merugikan medianya, misalnya tidak akan menguntungkan secara
ekonomis, atau akan menyebabkan pemerintah tersinggung, maka berita tersebut dianggap tidak
layak berita. Tidak heran kalau berita lantas merupakan hasil sebuah proses penerapan konsep layak
berita yang dipandu leoh gatekeeper. Akibatnya, sulit bagi orang untuk menjadikan berita model
begini sebagai cermin sebuah realitas sosial.

Dengan penerapan konsep layak berita ini, wartawan tidak bekerja denga pikiran yang kosong.
Kendati sebagian besar wartawan tahu persis konsep layak berita media tempat mereka bekerja,
mereka sangat peka dengan nilai berita. Nilai berita menjadi pedoman pokok dalam meliput berita.
Semua peristiwa atau pernyataan yang mereka amati senantiasa diukur denga nilai berita.

Apakah wartawan bisa bebas menentukan peristiwa yang memenuhi nilai berita? Jawabnya, tidak.
Menurut Brian Dutton, wartawan dipengaruhi oleh aspek ekonomi dan budaya (Dutton 1986: 33-34).
Aspek ekonomi di sini adalah keinginan media tampat mereka bekerja untuk senantiasa
meningkatkan jumlah khalayak, semakin banyak pula kesempatan untuk memperoleh keuntungan.
Tidak heran kalau wartawan berusaha mengetahui keinginan masyarakat.

Keinginan masyarakat tersebut bisa diketahui bila wartawan sangat memahami nilai dan norma yang
dianut masyarakat bersangkutan (Pemahaman tentang nilai dan norma yang dianut masyarakat
inilah yang disebut Brian Dutton sebagai aspek budaya). Dengan pemahaman ini wartawan menjadi
paham peristiwa atau pernyataan apa yang luar biasa, manusiawi, dekat, dan sebagainya bagi
masyarakat. Dengan pengertian ini wartawan mampu menebak peristiwa yang akan berkenan di hati
masyarakat.

Semua ini bisa diketahui bila wartawan dekat dengan masyarakat, baik melalui pergaulan sosial
maupun tinggal di lingkungan masyarakat tersebut. Pengamatan sepintas tidak menjamin wartawan
bisa mengetahui aspek budaya ini. Lebih dari itu, keadaan di atas makin meyakinkan bahwa pers
tidak bisa lepas dari sistem sosial yang melingkupi masyarakat tempat pers itu beroperasi.

Sesungguhnya konsep layak berita yan dianut media tidak lepas dari usaha pengejawantahan
ideologi. Herbert Marcuse misalnya, menyiratkan bahwa berita yang ada di media massa
memanipulasi kenyataan yang sebenarnya, sehingga masyarakat tidak tahu kebutuhan mereka yang
sesungguhnya (ibid.,35). Dengan demikian konsep layak berita difokuskanpada usaha mencari
keuntungan materi. Keadaan seperti ini hanya akan menguntungkan pemilik modal.

Pandangan Antonio Gramsci mengesankan bahwa berita yang ada di media massa membuat
penguasa mampu mengontrol masyarakat secara haluis, tidak lagi menggunakan kekerasan
(ibid.,37). Sebab media massa sekarang sangat berperan dalam membentuk akal sehat masyarakat.
Lihatlah, dengan hanya menerapkan konsep layak berita yang terfokus pada pemberitaan yang baik
saja tentang penguasa, masyarakat menjadi tidak kritis lagi terhadap pemerintah. Masyarakat
menjadi percaya dan patuh saja kepada pemerintah.
Barangkali media massa di Indonesia tidak menganut salah satu atau kedua ideologi tersebut di atas.
Tetapi, wartawan perlu mengetahui bahwa dari kenyataan tersebut, banyak orang lantas menyebut
berita yang disiarkan media massa adalah alat orang-orang yang memiliki kekuatan politik dan
ekonomi. Berbarengan dengan itu media massa juga memberi legitimasi terhadap ideologi tertentu.
Terpulang kepada wartawan untuk memilih media massa yang cocok dengan ideologi yang
dianutnya. Bagaimanapun kepuasan erja wartawan juga berkaitan dengan pengejawantahan
ideologi wartawan itu sendiri.

4. Model Proses Penulisan Berita 


Menurut Doris A. Graber, model proses penulisan penulisan berita terdiri atas: model cermin, model
profesional, model organisasi, dan model politik (Graber 1993;24-26). Setiap model memiliki
karakteristik sendiri. Model sermin adalah model yang mengharuskan berita dilaporkan apa adanya.
Artinya, tugas wartawan adalah melaporkan sebuah peristiwa seakurat dan sejujur mungkin. Dalam
pandangan ini wartawan tidak berhak memberi perspektif terhadap peristiwa tersebut.

Model profesional mengisyaratkan berita sebagai hasil kemampuan profesionalisme jurnalisme yang
tinggi, yang memadukan ketrampilan memilih peristiwa yang memenuhi kriteria nilai berita dengan
ketrampilan menyeimbangkan kepentingan berbagai pihak dalam sebuah peristiwa disertai dengan
rasa susastra yang tinggi. Dengan demikian, tugas wartawan adalah menyajikan berita yang
komprehensif kepada khalayak tanpa menyertakan penilaiannya dengan bahasa yang enak dibaca.
Menurut pandangan ini hanya khalayak yang berhak menilai peristiwa yang diberitakan.

Model organisasi menekankan bahwa berita perlu disesuaikan dengan tujuan organisasi media yang
menyiarkan berita tersebut. Berita yang tersaji diangankan mendatangkan keuntungan bagi
organisasi. Tidak jarang, bahkan, berita dimasukkan sebagai alat untuk membentuk citra positif bagi
organisasi bersangkutan. Dalam hal ini, biasanya pengurus inti organisasilah yang menjadi anggota
bidang redaksi.

Sedangkan model politik meletakkan berita sebagai produ sebuah ideologi dan mampu memberi
legitimasi terhadap sebuah ideologi. Karena itu, berita diarahkan untuk menjelek-jelekan ideologi
yang bertentangan dengan ideologi yang dianut pemilik media dan memuji-muji ideologi yang dianut
pemilik media. Adalah wajar berita produk profesionalisme jurnalisme model begini selalu
mengundang konflik.

Mengikuti keempat model di atas, timbul pertanyaan: model proses penulisan yang mana yang ideal
bagi pers di Indonesia? Sebelum menentukan pilihan, diperlukan sebuah pedoman. Apa
pedomannya? Yaitu: model proses penulisan yang bisa merefleksikan semua dinamika sosial yang
terjadi dalam masyarakat. Ini perlu digarisbawahi. Sebab, merefleksikan dinamika ini bukanlah
pekerjaan yang mudah. Pengalaman menunjukkan, wartawan sering kali dihadapkan kepada
pertanyaan: kepentingan siapa yang harus didulukan ketika berusaha merefleksikan dinamika
tersebut? Kepentingan masyarakat, kepentingan profesionalisme jurnalisme, kepentingan media
atau kepentingan pemerintah? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa ditinggalkan begitu saja.
Bagaimana pun wartawan harus menjawabnya.

Untuk bisa melaksanakan tugas tersebut, model proses penulisan berita profesional akan banyak
membantu. Artinya, model inilah yang ideal. Sebab, model ini memungkinkan wartawan menyajikan
informasi yang bermanfaat buat masyarakat dan mengontrol pemerintah tanpa mengorbankan
profesionalisme jurnalismenya. Model ini juga memungkinkan wartawan ”bermain” untuk
mnegutamakan kepentingan masyarakat tanpa mengorbankan media tempatnya bekerja.

5. Fakta dan Opini dalan Pemberitaan 


Menurut prinsip etika jurnalistik yang paling sederhana, informasi yang boleh diberitakan wartawan
adalah fakta. Secara umum fakta adalah semua fenomena yang benar-benar terjadi. Sedangkan
secara praktis fakta adalah semua keterangan yang diungkapkan oleh narasumber dan semua hasil
observasi wartawan.

Berpedoman kepada penjelasan ini, semua pertanyaan seorang narasumber yang diperoleh
wartawan, baik melalui wawancara maupun tulisannya, adalah fakta. Karena itu, wartawan tidak
perlu ragu terhadap keterangan yang diperoleh dari seorang narasumber. Kalau ada yang perlu
diragukan, barangkali, adalah soal realitas hasil pengamatan narasumber tersebut. Sebab, menurut
Alastair Reid, fakta hanya sebagian dari relitas (dalam Olen 1988:82). Realitas hanya akan diperoleh
dari penggabungan berbagai fakta yang terdapat dalam setting tertentu dan berlaku dalam konteks
tertentu pula. Dengan perkataan lain, bila para wartawan ingin mengungkapkan realitas yang
sebenarnya dari pernyataan seorang narasumber, mereka perlu mengamati setting dan konteks
yang dipilih si narasumber dalam melakukan pengamatannya.

Kalau sudah mencapai taraf realitas, apakah sudah bisa disebut kebenaran? Kebenaran, menurut
prinsip umum etika jurnalistik, adalah penjelasan lengkap yang sesungguhnya fakta. Misalnya begini:
pernyataan seorang narasumber adalah fakta. Penjelasan lengkap dari pernyataan itu, yang antara
lain berisi makna pernyataan yang sebenarnya dan alasan pengungkapan pernyataan yang
sesungguhnya adalah kebenaran. Kenyataan ini melahirkan pengertian, kalau khalayak hanya ingin
mengetahui pernyataan seorang narasumber, yang mereka peroleh adalah fakta. Tetapi, kalau
mereka ingin mengetahui penjelasan lengkap yang sesungguhnya mengenai pernyataan seorang
narasumber, maka mereka akan menangkap kebenaran.

Mengikuti logika ini, ketika membaca sebuah berita, khalayak diminta membedakan ”pernyataan
dan makna yang dikandungya”, serta ”pernyataan dan penjelasannya ”. Untuk mengetahui
kebenaran, tidak cukup hanya mengetahui pernyataannya saja, tetapi perlu ditambah dengan
penjelasan lengkap mengenai pernyataan bersangkutan. Ini perlu digarisbawahi supaya khalayak
tidak tergesa-gesa mengaku mengetahui kebenaran setelah
mengetahui fakta semata.

Lalu, bagaimana dengan opini? Opini adalah penilaian moral seseorang terhadap satu peristiwa dan
fenomena. Mengikuti pengertian yang sangat sederhana ini, maka opini seorang wartawan adalah
penilaian moralnya terhadap peristiwa atau fenomena yang disaksikannya. Kalau seorang wartawan
memasukkan opininya dalam berita yang ditulisnya, maka posisinya tidak lagi sebagai ”pengamat”,
tetapi sudah berubah menjadi ”penganjur”, dan bukan mustahil pula mengarah pada ”partisipan ”.
Ketiga jenis wartawan ini memiliki ciri yang berbeda. Wartawanpengamat akan berlaku netral dalam
penyiaran berita. Wartawan penganjur akan menyiarkan berita yang merangsang timbulnya gerakan
sosial, seperti protes umum, unjuk rasa, demonstrasi dan sebagainya. Sedangkan wartawan
partisipan lebih suka mempertanyakan mottif seorang narasumber sebelum menyiarkan berita yang

1.bersumber dari dirinya.


Kalau seorang ingin menjadi wartawan pengamat, ia harus sejauh mungkin menghindari isi
pemberitaan dari opininya. Ia diizinkan memberikan opini sehubungan dengan penerapan nilai dan
layak berita. Dengan perkataan lain, ahram baginya mencampur fakta dengan opininya.

Bagaimana membedakan fakta dan opini melahirkan istilah jurnalisme yang berbeda, seperti
”Jurnalisme Baru”, ”Jurnalisme Evaluatif”, dan ”Jurnalisme Partisipan ”. ”Jurnalisme Baru ”
mengandung hasrat wartawan untuk memasukkan subjektivitas dirinya dalam melaporkan peristiwa
yang dilihatnya. ”Jurnalisme Evaluatif” mencampurkan fakta-fakta yang diperoleh dan subjektivitas
wartawan untuk mengevaluasi birokrasi dan para pejabat pemerintah. Sedangkan ”Jurnalisme
Partisipan” biasa dilakukan penerbitan pers untuk memperjuangkan kebenaran versi wartawannya
(Anwar 1983:5

Anda mungkin juga menyukai