Anda di halaman 1dari 10

PENTINGNYA PENEGAKKAN PRINSIP JURNALISME BAGI SEORANG

WARTAWAN

M. ALTHAF GHAZALI
NIM: 210501123
Program Studi ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Riau

ABSTRAK
Jurnalistik adalah pengumpulan bahan berita (peliputan), pelaporan peristiwa
(reporting), penulisan berita (writing), penyuntingan naskah berita (editing), dan
penyajian atau penyebarluasan berita (publishing/broadcasting) melalui
media.Definisi jurnalistik di atas seperti dikemukakan Roland E. Wolseley dalam
buku Understanding Magazines (1969): jurnalistik adalah pengumpulan, penulisan,
penafsiran, pemrosesan, dan penyebaran informasi umum, pendapat pemerhati,
hiburan umum secara sistematis dan dapat dipercaya untuk diterbitkan pada
suratkabar, majalah, dan disiarkan.Ahli atau akademisi lainnya membuat definisi
jurnalistik antara lain sebagai berikut:– Jurnalistik adalah kepandaian dalam hal
mengarang yang tujuan pokoknya adalah untuk memberikan kabar/ informasi pada
masyarakat umum secepat mungkin dan tersiar seluas mungkin. Jurnalistik
merupakan suatu kegiatan untuk mengumpulkan, mengolah dan menyebarkan berita
secepat mungkin dan seluas mungkin kepada khalayak

KATA KUNCI : Jurnalistik, Wartawan, Pers

1. Pendahuluan

Keberadaan pers dalam interaksi antara pers dan masyarakat publik, dan
institusi-institusi lain yang ada di tengah masyarakat, selalu bersinggungan dengan
kepentingan publik, politik dan negara. Berkaitan dengan penyebarluasan informasi
dan komunikasi di ruang publik tersebut akan memberikan dampak positif dan negatif
pada khalayak. Akibat ketidaksesuaian kehendak dari pemberitaan pers, sehingga
memunculkan permasalahan hukum dengan adanya kepentingan publik yang disoroti oleh
media. Akibat pemberitaan pers yang memunculkan persoalan hukum diperlukan
penyelesaian sengketa pers yang berkeadilan (Astuti, 2014). Penyelesaian hukum yang
berkeadilan dan melembaga diinginkan berjalan memenuhi rasa keadilan antara hak dan
kewajiban yang harus dilakukan oleh pers, masyarakat dan institusiyang memiliki
kewenangandalam penanganan dibidang hukum berkaitan dengan tanggungjawab hukum dari
institusi pers. Dari pemahaman tentang tanggung jawab hukum, setiapinsan pers ini
dalam memenuhi kompetensinya maka dipandang penting untuk mengetahui pelaksanaan
UU Pers. Hal ini dikarenakan banyak insan pers, tidak mengetahui substansi dan isi
(content) dari tujuan sejatinya diadakan UU Pers itu. Di dalam Penjelasan Umum UU
Pers, dapat dilihat bahwa sesungguhnya UU Pers adalah undang-undang yang mengatur
dan menjamin terselenggaranya kemerdekaan pers sebagai salah satu wujud kedaulatan
rakyat yang berasaskan prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Kemerdekaan
pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Hal itu menunjukkan bahwa kemerdekaan
pers bukan monopoli wartawan dan atau perusahaan pers saja, tetapi kemerdekaan pers
adalah milik masyarakat yang berdaulat. UU Pers memberikan jaminan adanya
kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga

negara, dan bahwa pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan dan atau penekanan agar
hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin. Karena kemerdekaan pers adalah
kemerdekaan yang disertai kesadaran akan pentingnya penegakkan supremasi hukum
yang ilaksanakan oleh pengadilan, dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam
kode etik jurnalistik serta sesuai dengan hati nurani insan pers (Astuti, 2014).
Wartawan sebagai pelaku profesi dalam jurnalisme seharusnya berperan sebagai
penengah dalam mewujudkan rasa percaya masyarakat kepada media. Namun, dalam
beberapa kasus, jurnalisme diambil alih oleh media untuk mem-promosikan calon dari
parpolnya agar menang saat pemilihan nanti. Jurnalis atau wartawan berada di antara
dua pilihan. Pertama, pada hakikatnya ia independen dan berpihak pada kebenaran.
Kedua, ia mengikuti redaksi media tempat di mana ia bekerja sebagai jurnalis atau
wartawan
Fenomena wartawan yang tidak menaati Kode Etik jurnalistik dalam memberitakan
suatu informasi erat kaitannya dengan sikap profesionalitas. Apabila Kode Etik
jurnalistik yang merupakan produk Peraturan Dewan Pers telah mengatur mengenai
independensi dan aturan lainnya tersebut, maka ketidaktaatan wartawan terhadap
peraturan tersebut merupakan bentuk sikap tidak professional (Kode Etik & Sabrina Ayurani,
2021).
2. PEMBAHASAN
2.1 Profesionalisme Wartawan Dan Jurnalisme Multimedia
Internet telah membawa perubahan besar di segala aspek kehidupan masyarakat modern.
hubungan sosial, perilaku politik, model bisnis, hingga praktik jurnalime saat ini jauh berbeda
dibandingkan dengan keadaan pada awal 2000-an. Saat ini, media daring mengalami
dinamika luar biasa, baik dalam hal ragam konten, saluran distribusi, khalayak, maupun cara
untuk memperoleh pemasukan (Wendratama, 2017). Persaingan merebut perhatian khalayak
di antara segala jenis media itu juga dianggap ikut menurunkan kualitas media. Hal ini karena
media harus mengejar jumlah klik dari khalayak dan kecepatan menerbitkan media
(Wendratama, 2017). Dalam mendapatkan perhatian khalayak atau viewers sebanyak-
banyaknya tentunya media daring harus membuat judul yang menarik dan terkesan
mengundang sensasional khalayak untuk mengkliknya. Ankesh Anand dalam tulisannya yang
berjudul We Used Neural Networks to Detect Clickbait: You Won’t Believe what happened
Next, mengatakan bahwa clickbait merupakan istilah yang digunakan pada judul berita untuk
menggoda pembacanya. Biasanya menggunakan pilihan diksi yang provokatif sehingga dapat
menarik perhatian (Zaenudin, 2018).
Era digital menuntut kita untuk terampil dalam menggunakan alat multimedia. Begitu juga
dengan wartawan daring yang sehari-harinya menggunakan alat multimedia untuk
penyampaian berita tidak terlepas dari tuntutan tersebut. Oleh karena itu ketika wartawan
terjun ke media daring, sudah selayaknya ia harus membekali diri dan memiliki kecakapan
multimedia. Ada tiga kecakapan yang dituntut dari jurnalis pada era digital diantaranya:
(Wendratama, 2017) Pertama, jurnalis media harus mampu menggunakan berbagai alat
multimedia untuk mendukung penyampaian cerita. Alat ini beragam, seperti tautan ke situs
lain untuk menambahkan fakta terkait, lebih banyak foto, video, infografik, peta interaktif,
dan animasi GIF sederhana. Kedua, secara umum, penulisan teks media daring lebih ringkas
daripada media cetak, tetapi lebih panjang daripada radio dan televisi. Semakin lama, bahasa
media daring menjadi semakin informal, tetapi tetap baik dan efisien. Ketiga, jurnalis harus
bekerja cepat, meskipun kecepatan bukan segalanya. Ada media daring yang menerbitkan
cerita setiap 10 menit, ada juga media daring internasional yang sehari menerbitkan rata-rata
lima belas cerita. Bergantung target khalayak dan kebijakan tiap redaksi. Mengacu pada poin
ketiga dari tiga kecakapan yang dituntut jurnalis multimedia pada era digital di atas , yakni
kecepatan dan tuntutan yang mengharuskan wartawan membuat cerita setiap sepuluh menit ,
hal inilah yang memunculkan fenomena clicbait. Judul berita yang menjebak adalah modus
media daring untuk mendapatkan keuntungan dari jumlah pengunjung. Pada akhirnya jurnalis
multimedia pun mengikuti ketentuan yang ada sesuai dengan target yang ditetapkan redaksi
sehingga berdampak pada pelanggaran kode etik jurnalistik.
Sebagai organisasi profesi, dihimbau kepada wartawan untuk mengacu kepada kode etik
jurnalistik (KEJ) seperti diamanatkan oleh Pasal 7 Ayat 2 Undang-Undang Pers No.40 tahun
1999. Sebagai media yang hidup di ranah publik, para wartawan diharapkan senantiasa tetap
menjaga independensi, dan bekerja menggunakan standar profesionalisme yang berlaku di
dunia wartawan, antara lain dengan menyajikan berita secara berimbang. Dalam rangka
melayani hak masyarakat untuk tahu (rights to know), tanggung jawab profesional seorang
wartawan bukan hanya kepada pemilik, tetapi terutama sekali adalah kepada publik.
Hakikatnya ada empat asas dalam KEJ yaitu (1) asas moralitas yaitu nilai-nilai moral yang
terkandung di dalamnya, (2) asas profesionalitas yang meliputi membuat berita yang akurat,
faktual, jelas sumbernya, dapat membedakan fakta dan opini, tidak membuat berita bohong
dan fitnah, menghargai off the record dan lain-lain, (3) asas demoktaris, wartawan harus
bertindak adil, fair dan berimbang, (4) asas supremasi hukum, yang menyangkut wartawan
tidak boleh melakukan plagiat, menghormati praduga tidak bersalah, memiliki hak tolak dan
tidak menyalahgunakan profesinya (Sukardi & Armada, 2008)
Sesungguhnya tuntutan jurnalisme media daring dalam membuat berita lebih banyak
bersinggungan dengan praktik jurnalisme dalam hal ini etika, idealis dan profesionalisme.
Wartawan sering dihadapkan pada kondisi mengikuti hati nurani sebagai seorang wartawan
yang idealis atau mengikuti kekuasaan media. Pergolakan batin dalam membuat berita yang
kredibel di mata khalayak disebabkan oleh adanya unsur-unsur ekonomi atau komersialisasi
media.
Karena tuntutan jurnalisme media daring dalam membuat berita lebih banyak bersinggungan
dengan praktik jurnalisme dalam hal ini etika, idealisme dan profesionalisme, wartawan saat
ini selalu dihadapkan pada dua sisi, mengikuti hati nurani sebagai seorang wartawan yang
idealis atau mengikuti kekuasaan media yang memodali keberlangsungan profesinya.
Wartawan yang idealis mengikuti tugas dan fungsinya sesuai dengan ranahnya seperti yang
termaktub dalam elemen-elemen jurnalisme. Elemen-elemen jurnalisme salah satunya
menyebutkan esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi dan loyalitas pertama adalah kepada
khalayak. Pergolakan batin dalam membuat berita yang kredibel di mata khalayak disebabkan
oleh adanya tuntutan yang berkaitan dengan unsur-unsur ekonomi atau komersialisasi media.
Sedangkan wartawan profesional versi ekonomi politik media harus bekerja dengan suatu
format yang ditentukan media tersebut yang sudah tentu bertugas menjadikan informasi
sebagai komoditas dalam kerangka memenuhi permintaan pasar yaitu pasar yang
didefinisikan oleh perusahaan media. Tidak bisa dimungkiri bahwa pekerja media harus
mengikuti ritme kerja dari perusahaan atau ritme penguasa media (345243132, n.d.).

2.1 Profesionalisme Wartawan Dan Jurnalisme Online


Tidak berbeda dengan media elektronik dan media cetak, wartawan media online juga
ditutuntut harus memiliki kemampuanjurnalistik yang memada. Yancheff menilik ukuran
profesionalisme wartawan sebagaiprofesinal yang membutuhkan banyak kompetensi
(multi-kompetensi). Karakteristik performanya menekankan kekuatan penulisan dan
oral,ketekunan kerja, dan pemilikan dasar pengetahuan yang mengkombinasikan
aplikasi lintas disiplin.Tuntutan jurnalisme terhadap para jurnalis media online bukan
hanya berupa ketekunan bekerja dan penguasaan atas pengetahuan, melainkan juga upaya
mencapai standar integritas sesuai dengan tanggung jawab yang dibebankan kepada
mereka. Para jurnalis dituntut bukan hanya menyajikan fakta, namun juga
kecepatan, ketrampilan, kreatifitas yang harus dituangkan dalam berbagai platform.Dalam
persepsi diri jurnalis sendiri, istilah “profesional” memiliki tiga arti. Pertama, profe
sional adalah kebalikan dari amatir, kedua, ialah sifat pekerjaan
wartawan menurut pelatihan khusus, dan yang terakhir adalah norma-norma yang mengatur
perilakunya yang dititikberatkan pada kepentingan khalayak pembacanya yang tidak terlepas
dari aspek etika jurnalisme online.Kepentingan khalayak yang umum dipersepsikan oleh
para jurnalis pada dasarnya mencakup tahap-tahap penting dalam rangkaian pemrosesan
berita sebelum sampai di hadapan pembaca/pendengar. Beberapa aspek tersebut antara
lain adalah aspek pengumpulan berita, aspek pelaporan berita dan aspek penyajian
berita. Pada era digital saat ini, aspek pengumpulan berita
, konsep berita online yang mengutamakan kecepatan telah menggeser konsep-
konsep tradisional jurnalisme. Salah satu pergeseran yang cukup mendasar adalah makin
tipisnya batas antara media profesional dan media sosial. Jurnalisme bukan hanya
memanfaatkan media sosial sebagai sarana penyebaran informasi tambahan, tapi juga
sebagai sarana menggali informasi. karena jurnalis tidak hanya terpaku pada teknik
pengumpulan informasi lawas, namun mampu melakukan inovasi pencarian berita se
suai perkembangan teknologi.Karakteristik jurnalisme online yang dituntut untuk serba
cepat dan up to date, menuntut kecepatan jurnalis pula dalam menjalankan pekerjaannya
yang turut ditunjang dengan hadirnya teknologi internet yang memungkinkan pencarian data
tanpa batas. Terlepas dengan kemudahan dalam mengumpulkan bahan berita ataudata,
mempermudah dalam mempublikasikan hasil ke publik atau meng-update berita atau
artikel yang telah ditulis. Keberadaan teknologi digital dalam konteks jurnalisme juga
menjadi kesempatan dan digunakan oleh beberapa orang yang tidak bertanggung
jawab,sehingga menambah persoalan dalam dunia jurnalisme online.
Dengan kemudahan teknologi internet dan pengaksesasan kemudahan jaringan
data, menjadikan dunia jurnalisme online menjadi sasaran ‘empuk’ dalam plagiasi.
Kenyataannya, tidak sedikit jurnalis yang secara sadar maupun tidak sadar memiliki
kebiasaan sekadar cop-paste(copypaste journalist).Namun disisi lain kenyataan yang
terjadi juga banyaknya fenomena yang mendukung kebiasaan copy-paste berita ini.
Kadang jurnalis memiliki perkumpulan yang didukung dengan perangkat komunikasi
seperti halnya chatgroup atau messenger, yang digunakan untuk berbagi berita yang akan
diolah menjadi berita. Kadang, media satu dengan yang lain memuat konten yansama
dengan format dan kata-kata yang sama. Hal ini tentunya menjadi pertanyaan besar
mengenai originalitas dan bagaimana peran hak cipta dalam konten jurnalisme
online itu sendiri.Dalam hal pelaporan beritapada dunia jurnalismeonline,kompetisidalam hal
kecepatan unuk mempublikasikan berita merupakan
hal yang penting. Sementara peristiwa masih berkembang dan fakta kunci belum diketahui,
kompetisi untuk menjadi yang pertama menerbitkan sebuah berita sering kali mendorong
para jurnalisuntuk melalaikan peran mereka sebagai filter untuk membedakan berita dari
rumor yang belum jelas.Audiens pada era digital pada umumnya ingin mendapatkan
informasi secara cepat danbahkan real time. Hal tersebut tetunya mendorong para
jurnalis untuk bergerak cepat dan seolah-olah mengesampingkan kredibilitas dari ber
ita itu sendiri. Selain itu persaingan yang ketat antar media dalam kecepatan
menghadirkan berita juga menjadi sebab kurang akuratnya berita pada beritaonline.
Profesionalitas jurnalisme online juga semakin diragukan ketika kecepatan untuk
mempublikasikan berita seolah menggeser praktik verifikasi berita itu sendiri. Pada
media konvensional,verifikasipada umumnyadilakukan oleh editor sebelum publikasi atau
biasa dikenal dengan verifikasi pra publikasi
. Padajurnalisme online, praktek verifikasi pra-publikasi tersebut seringkalibergeser
menjadi verifikasi pska publikasi, dimana verifikasi dilakukan setelah berita dipublikasi.
Menurut Romli, tugas jurnalis online adalah menginformasikan atau mengungkap
kebenaran (truth). Kebenaran dalam dunia jurnalistik adalah fakta (fact) yang disajikan
secara akurat (accuracy). Untuk mencapai akurasi dan kebenaran itulah dibutuhkan
verifikasi.Veirfikasi yang seola-olah diabaikan tentunya bukan tanpa alasan,
namunmerupakan konsekuensi langsungdari kemajuan teknologi itu sendiri dimana
kontenberita yang dimuat dapat diedit atau diperbaiki lagi dengan mudah, kapan dan dimana
saja.Bahkan,menghapus konten beritayang sudah terlanjur diterbitkan juga bukan halyang
sulit dalam praktek jurnalisme online.Penyajian Beritadalam konteks jurnalisme online
berkaitan erat dengan alasan untuk bertahan hidupdari situs-situs berita online.
Hal inimenjadikan konsep beritaonline yang lebihmengutamakan kecepatan telah
menggeser konsep-konsep tradisional jurnalisme. Salah satu pergeseran yang cukup
mendasar adalah makin tipisnya batas antara media profesional dan media sosial. Jurnalisme
bukan hanya memanfaatkan media sosial sebagai sarana penyebaran informasi tambahan, tapi
juga sebagai sarana menggali informasi. Realitas ini dapat disaksikan dengan semakin
banyaknya turunan online dari media mainstran yang turut merambah media sosial
sebagai basis sumber informasi mereka. Portal berita profesional seperti halnya
Kompas.com, Tempo.com, Detik.com dan lain sebagainya turut merambah media sosial
seperti Facebook, Twitter, bahkan Youtubeuntuk bukan saja menyebarluaskan berita
yang mereka produksi melainkan juga untuk mendapatkan bahabahan untuk
pembuatan berita mereka. Pemanfaatan media sosial dalam dunia jurnalisme tentunya
melahirkan dampak-dampak baru dalam jurnalisme online, diantaranya adalah jurnalisme
judul dan chungking journalisme.JurnalismeJudul atau Headline Journalismadalah sebutan
lainjurnalistik onlinekarena media onlinesebagai sarana publikasi jurnalistik onlineyang
menjadikan judul sebagai "jualan utama" untuk mendatangkan pembaca (reader),
pengunjung(visitor), atau pengguna user)(RomelTea.Judul yang bombastis, tak
presisi atau bahkan menjebak pembaca kian jamak kita temui di dunia maya.
Konten di media sosialyang ringkas dan singkat, yang biasa dikonsumsi dengan
perangkat ponsel yang berlayar kecil, membentuk pembaca dengan daya baca yang
pendek. Mereka mementingkan judul sebuah berita. Karena beranggapan judul
merupakan perwakilan isi berita. Judul-juduyag telah diposting tersebut lalu di shared-
linkatau dihubungkan dengan web berita formal yang telah disediakan oleh para penyedia
konten berita.Para jurnalis profesional dituntut untuk memiliki keterampilan lebih
daripada jurnalis di media massa konvensional dalam penulisan judul yang menarik serta
kecakapan dalam menuliskan berita dengan ringkas, terlebih dalam media
sosial judul menjadi poin utama untuk menarik perhatian pembaca. Selain itu
kadangkala para jurnalis baik profesional maupun amatir jugaharus dapat
menuliskan konten berita ataupun informasinya dengan semenarik dan sesingkat
mungkin ketika harus mempublikasikan beritanya secara lengkap di twitterdengan
metodekultwi, dikarenakan setiap posting dalam twitter hanya dapat mencakup 140 kata.
Karakter berita yang dimuat dalam berbagai media sosial yang dituntut ringkas dan menarik
tentunya menimbulkan berbagai masalah, karena kadang judul
dan konten seolah ambigu. Karakter berita dalam jurnalisme online yang cenderung
ringkasjuga turut menghairkan chungking journalism, atau biasa disebut dengan jurnalis
tautan.
Idealnya, tautan dimanfaatkan jurnalis mengatasi keterbatasan media konvensional, namun
pada kenyatannya tautan bukan untuk memberikan informasi pendukung melainkan
memenggal cerita. Satu berita sengaja tidak dituliskan lengkap di satu laman melainkan
bersambung di laman lain yang ditautkan. Pola ini tidak memberikan tambahan
informasi berarti bagi pembaca tetapi memaksa pembaca men-klik laman berikutnya.
Pola ini bertujuan meninkatkan hits suatu halaman website. Alih-alih memberikan keragaman
perspektif, media online memanfaatkan tautan untuk sekedar meningkatkan jumlah klik dan
pada setiap halaman tentunya sudah tertera iklan, yang kadang tidak hanya satu atau dua
iklan sajanamun beragam yang tentunya tautan ini bukan bertujuan untuk mencukupi
kebutuhan informasi pembaca namun justru untuk meraup untung dari iklan yang dimuat.

Kecanggihan teknologi tentunya memberikan banyak sekali dampak positif dan


kemudahan bagi para penyedia konten, wartawan, bahkanmasyarakat juga dapat turut
andil dalam penyebaran berita dan informasi dengan penggunaan media atau jejaring sosial.
Tidak hanya mengenai permasalahan verifikasi dan keakuratan berita saja, namun
kualitas jurnalis di media online juga sering bermasalah. Dalam menjadi jurnalis di
mediaonlin,seseorangdituntut untuk memiliki keterampilan yang lebih beragam dibandingkan
dengan jurnalis di media massa konvensional. Munculnya fenomena jurnalisme online ini
menuntut penyedia konten berita konvensional merubah dirinya menjadi multiplatform.
Para jurnalis online dituntut untuk menguasai pembuatan berita dengan multiplatform,
yaitu selain memiliki ketrampilan menulis jugadituntut untuk dapat menguasai multi
media, digital narative, Adobe Flash, Video Editing,dan lain sebagainya yang
diaplikasikan kedalam berbagaiplatformberita, baik pada portal induk maupun media
sosial. Jurnalisme multiplatfromdapat menunjukan kreativitas para jurnalis untuk
mengoptimalkan jurnalisme yang sesungguhnya, yaitu dituntut untuk lebih terampil dalam
penyediaan konten baik visual, maupun penulisan, juga dituntut untuk lebih
cepat dan kreatif dalam berinovasi penampilan berita dan informasi.

Digitalisasi media yang telah menyasar ke dunia jurnalistik tentunya


berimplikasbesar terhadap perkembangan jurnalisme di Indonesia bahkan dunia.Kecanggihan
teknologi tentunya memberikan banyak sekali dampak positif dan kemudahan bagi para
penyedia konten serperti halnya para jurnalis online yang
dapat menunjukan kreativitas para jurnalis untuk mengoptimalkan jurnalisme yang
sesungguhnya, yaitu dituntut untuk lebih terampil dalam penyediaan konten baik visual,
maupun penulisan. Selain itu, merekajuga dituntut untuk lebih cepat dan kreatif dalam
berinovasi di bidang penampilan berita dan informasi. Namun disisi lain dengan pesatnya
perkembangan teknologi internet yang menuntut jurnalis untuk serba cepat ini juga
memunculkan berbagai pertanyaan mengenai profesionalitas jurnalis online itu sendiri.
Profesionalitas jurnalisme online yangseringkali dipertanyakandimana jurnalisme online
sendiri masih menjadi kompleks karena disamping perkembangannya yang begitu
pesat,perkembangan tersebut tidak diimbangi dengan hadirnya standar dan aturan yang
mengatur.Persoalan-persoalan yang muncul mengenai etika jurnalisme dalam
jurnalisme online sendiri dikelompokkan dalam tiga ranah, yang pertama
adalahmengenai pengumpulan beritadimana seringkali jurnalis online dituntut untuk
serba cepat dalam mempublikasi berita (View of JURNALISME ERA DIGITAL: DIGITALISASI
JURNALISME DAN PROFESIONALITAS JURNALISME ONLINE, n.d.).
DAFTAR PUSTAKA
345243132. (n.d.).

Astuti, S. A. (2014). The Law Enforcement of Journalism Profession in The Context of Press Freedom
Penegakan Hukum Profesi Pers dalam Konteks Kebebasan Pers. 1(2), 131–204.
http://ojs.umsida.ac.id/index.php/rechtsidee

Kode Etik, P., & Sabrina Ayurani, C. (2021). PENEGAKAN KODE ETIK JURNALISTIK SEBAGAI DASAR
PENGATURAN PROFESIONALITAS DAN INDEPENDENSI WARTAWAN. In Res Publica (Vol. 5, Issue 2).

View of JURNALISME ERA DIGITAL: DIGITALISASI JURNALISME DAN PROFESIONALITAS JURNALISME


ONLINE. (n.d.). Retrieved October 29, 2022, from
http://journal.uinsi.ac.id/index.php/lentera/article/view/1168/647

Anda mungkin juga menyukai