WARTAWAN
M. ALTHAF GHAZALI
NIM: 210501123
Program Studi ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Riau
ABSTRAK
Jurnalistik adalah pengumpulan bahan berita (peliputan), pelaporan peristiwa
(reporting), penulisan berita (writing), penyuntingan naskah berita (editing), dan
penyajian atau penyebarluasan berita (publishing/broadcasting) melalui
media.Definisi jurnalistik di atas seperti dikemukakan Roland E. Wolseley dalam
buku Understanding Magazines (1969): jurnalistik adalah pengumpulan, penulisan,
penafsiran, pemrosesan, dan penyebaran informasi umum, pendapat pemerhati,
hiburan umum secara sistematis dan dapat dipercaya untuk diterbitkan pada
suratkabar, majalah, dan disiarkan.Ahli atau akademisi lainnya membuat definisi
jurnalistik antara lain sebagai berikut:– Jurnalistik adalah kepandaian dalam hal
mengarang yang tujuan pokoknya adalah untuk memberikan kabar/ informasi pada
masyarakat umum secepat mungkin dan tersiar seluas mungkin. Jurnalistik
merupakan suatu kegiatan untuk mengumpulkan, mengolah dan menyebarkan berita
secepat mungkin dan seluas mungkin kepada khalayak
1. Pendahuluan
Keberadaan pers dalam interaksi antara pers dan masyarakat publik, dan
institusi-institusi lain yang ada di tengah masyarakat, selalu bersinggungan dengan
kepentingan publik, politik dan negara. Berkaitan dengan penyebarluasan informasi
dan komunikasi di ruang publik tersebut akan memberikan dampak positif dan negatif
pada khalayak. Akibat ketidaksesuaian kehendak dari pemberitaan pers, sehingga
memunculkan permasalahan hukum dengan adanya kepentingan publik yang disoroti oleh
media. Akibat pemberitaan pers yang memunculkan persoalan hukum diperlukan
penyelesaian sengketa pers yang berkeadilan (Astuti, 2014). Penyelesaian hukum yang
berkeadilan dan melembaga diinginkan berjalan memenuhi rasa keadilan antara hak dan
kewajiban yang harus dilakukan oleh pers, masyarakat dan institusiyang memiliki
kewenangandalam penanganan dibidang hukum berkaitan dengan tanggungjawab hukum dari
institusi pers. Dari pemahaman tentang tanggung jawab hukum, setiapinsan pers ini
dalam memenuhi kompetensinya maka dipandang penting untuk mengetahui pelaksanaan
UU Pers. Hal ini dikarenakan banyak insan pers, tidak mengetahui substansi dan isi
(content) dari tujuan sejatinya diadakan UU Pers itu. Di dalam Penjelasan Umum UU
Pers, dapat dilihat bahwa sesungguhnya UU Pers adalah undang-undang yang mengatur
dan menjamin terselenggaranya kemerdekaan pers sebagai salah satu wujud kedaulatan
rakyat yang berasaskan prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Kemerdekaan
pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Hal itu menunjukkan bahwa kemerdekaan
pers bukan monopoli wartawan dan atau perusahaan pers saja, tetapi kemerdekaan pers
adalah milik masyarakat yang berdaulat. UU Pers memberikan jaminan adanya
kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga
negara, dan bahwa pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan dan atau penekanan agar
hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin. Karena kemerdekaan pers adalah
kemerdekaan yang disertai kesadaran akan pentingnya penegakkan supremasi hukum
yang ilaksanakan oleh pengadilan, dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam
kode etik jurnalistik serta sesuai dengan hati nurani insan pers (Astuti, 2014).
Wartawan sebagai pelaku profesi dalam jurnalisme seharusnya berperan sebagai
penengah dalam mewujudkan rasa percaya masyarakat kepada media. Namun, dalam
beberapa kasus, jurnalisme diambil alih oleh media untuk mem-promosikan calon dari
parpolnya agar menang saat pemilihan nanti. Jurnalis atau wartawan berada di antara
dua pilihan. Pertama, pada hakikatnya ia independen dan berpihak pada kebenaran.
Kedua, ia mengikuti redaksi media tempat di mana ia bekerja sebagai jurnalis atau
wartawan
Fenomena wartawan yang tidak menaati Kode Etik jurnalistik dalam memberitakan
suatu informasi erat kaitannya dengan sikap profesionalitas. Apabila Kode Etik
jurnalistik yang merupakan produk Peraturan Dewan Pers telah mengatur mengenai
independensi dan aturan lainnya tersebut, maka ketidaktaatan wartawan terhadap
peraturan tersebut merupakan bentuk sikap tidak professional (Kode Etik & Sabrina Ayurani,
2021).
2. PEMBAHASAN
2.1 Profesionalisme Wartawan Dan Jurnalisme Multimedia
Internet telah membawa perubahan besar di segala aspek kehidupan masyarakat modern.
hubungan sosial, perilaku politik, model bisnis, hingga praktik jurnalime saat ini jauh berbeda
dibandingkan dengan keadaan pada awal 2000-an. Saat ini, media daring mengalami
dinamika luar biasa, baik dalam hal ragam konten, saluran distribusi, khalayak, maupun cara
untuk memperoleh pemasukan (Wendratama, 2017). Persaingan merebut perhatian khalayak
di antara segala jenis media itu juga dianggap ikut menurunkan kualitas media. Hal ini karena
media harus mengejar jumlah klik dari khalayak dan kecepatan menerbitkan media
(Wendratama, 2017). Dalam mendapatkan perhatian khalayak atau viewers sebanyak-
banyaknya tentunya media daring harus membuat judul yang menarik dan terkesan
mengundang sensasional khalayak untuk mengkliknya. Ankesh Anand dalam tulisannya yang
berjudul We Used Neural Networks to Detect Clickbait: You Won’t Believe what happened
Next, mengatakan bahwa clickbait merupakan istilah yang digunakan pada judul berita untuk
menggoda pembacanya. Biasanya menggunakan pilihan diksi yang provokatif sehingga dapat
menarik perhatian (Zaenudin, 2018).
Era digital menuntut kita untuk terampil dalam menggunakan alat multimedia. Begitu juga
dengan wartawan daring yang sehari-harinya menggunakan alat multimedia untuk
penyampaian berita tidak terlepas dari tuntutan tersebut. Oleh karena itu ketika wartawan
terjun ke media daring, sudah selayaknya ia harus membekali diri dan memiliki kecakapan
multimedia. Ada tiga kecakapan yang dituntut dari jurnalis pada era digital diantaranya:
(Wendratama, 2017) Pertama, jurnalis media harus mampu menggunakan berbagai alat
multimedia untuk mendukung penyampaian cerita. Alat ini beragam, seperti tautan ke situs
lain untuk menambahkan fakta terkait, lebih banyak foto, video, infografik, peta interaktif,
dan animasi GIF sederhana. Kedua, secara umum, penulisan teks media daring lebih ringkas
daripada media cetak, tetapi lebih panjang daripada radio dan televisi. Semakin lama, bahasa
media daring menjadi semakin informal, tetapi tetap baik dan efisien. Ketiga, jurnalis harus
bekerja cepat, meskipun kecepatan bukan segalanya. Ada media daring yang menerbitkan
cerita setiap 10 menit, ada juga media daring internasional yang sehari menerbitkan rata-rata
lima belas cerita. Bergantung target khalayak dan kebijakan tiap redaksi. Mengacu pada poin
ketiga dari tiga kecakapan yang dituntut jurnalis multimedia pada era digital di atas , yakni
kecepatan dan tuntutan yang mengharuskan wartawan membuat cerita setiap sepuluh menit ,
hal inilah yang memunculkan fenomena clicbait. Judul berita yang menjebak adalah modus
media daring untuk mendapatkan keuntungan dari jumlah pengunjung. Pada akhirnya jurnalis
multimedia pun mengikuti ketentuan yang ada sesuai dengan target yang ditetapkan redaksi
sehingga berdampak pada pelanggaran kode etik jurnalistik.
Sebagai organisasi profesi, dihimbau kepada wartawan untuk mengacu kepada kode etik
jurnalistik (KEJ) seperti diamanatkan oleh Pasal 7 Ayat 2 Undang-Undang Pers No.40 tahun
1999. Sebagai media yang hidup di ranah publik, para wartawan diharapkan senantiasa tetap
menjaga independensi, dan bekerja menggunakan standar profesionalisme yang berlaku di
dunia wartawan, antara lain dengan menyajikan berita secara berimbang. Dalam rangka
melayani hak masyarakat untuk tahu (rights to know), tanggung jawab profesional seorang
wartawan bukan hanya kepada pemilik, tetapi terutama sekali adalah kepada publik.
Hakikatnya ada empat asas dalam KEJ yaitu (1) asas moralitas yaitu nilai-nilai moral yang
terkandung di dalamnya, (2) asas profesionalitas yang meliputi membuat berita yang akurat,
faktual, jelas sumbernya, dapat membedakan fakta dan opini, tidak membuat berita bohong
dan fitnah, menghargai off the record dan lain-lain, (3) asas demoktaris, wartawan harus
bertindak adil, fair dan berimbang, (4) asas supremasi hukum, yang menyangkut wartawan
tidak boleh melakukan plagiat, menghormati praduga tidak bersalah, memiliki hak tolak dan
tidak menyalahgunakan profesinya (Sukardi & Armada, 2008)
Sesungguhnya tuntutan jurnalisme media daring dalam membuat berita lebih banyak
bersinggungan dengan praktik jurnalisme dalam hal ini etika, idealis dan profesionalisme.
Wartawan sering dihadapkan pada kondisi mengikuti hati nurani sebagai seorang wartawan
yang idealis atau mengikuti kekuasaan media. Pergolakan batin dalam membuat berita yang
kredibel di mata khalayak disebabkan oleh adanya unsur-unsur ekonomi atau komersialisasi
media.
Karena tuntutan jurnalisme media daring dalam membuat berita lebih banyak bersinggungan
dengan praktik jurnalisme dalam hal ini etika, idealisme dan profesionalisme, wartawan saat
ini selalu dihadapkan pada dua sisi, mengikuti hati nurani sebagai seorang wartawan yang
idealis atau mengikuti kekuasaan media yang memodali keberlangsungan profesinya.
Wartawan yang idealis mengikuti tugas dan fungsinya sesuai dengan ranahnya seperti yang
termaktub dalam elemen-elemen jurnalisme. Elemen-elemen jurnalisme salah satunya
menyebutkan esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi dan loyalitas pertama adalah kepada
khalayak. Pergolakan batin dalam membuat berita yang kredibel di mata khalayak disebabkan
oleh adanya tuntutan yang berkaitan dengan unsur-unsur ekonomi atau komersialisasi media.
Sedangkan wartawan profesional versi ekonomi politik media harus bekerja dengan suatu
format yang ditentukan media tersebut yang sudah tentu bertugas menjadikan informasi
sebagai komoditas dalam kerangka memenuhi permintaan pasar yaitu pasar yang
didefinisikan oleh perusahaan media. Tidak bisa dimungkiri bahwa pekerja media harus
mengikuti ritme kerja dari perusahaan atau ritme penguasa media (345243132, n.d.).
Astuti, S. A. (2014). The Law Enforcement of Journalism Profession in The Context of Press Freedom
Penegakan Hukum Profesi Pers dalam Konteks Kebebasan Pers. 1(2), 131–204.
http://ojs.umsida.ac.id/index.php/rechtsidee
Kode Etik, P., & Sabrina Ayurani, C. (2021). PENEGAKAN KODE ETIK JURNALISTIK SEBAGAI DASAR
PENGATURAN PROFESIONALITAS DAN INDEPENDENSI WARTAWAN. In Res Publica (Vol. 5, Issue 2).