Anda di halaman 1dari 6

REVIEW JURNAL INTERNASIONAL

Ethical Journalism and Human Rights

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Etika dan Filsafat Komunikasi
yang diampu oleh:
Prof. Drs. Pawito, Ph.D

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI NON REGULER


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVESITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2019
Judul Ethical Journalism and Human Rights
Jurnal CommDH (Commissioner for Human Rights)
Tahun 2011
Penulis Aidan White
Reviewer Mutiara NS
Tanggal 13 November 2019

Media dikenal sebagai pilar ke-4 demokrasi setelah lembaga eksekutif (pemerintahan),
yudikatif (lembaga hukum), dan legislatif (Parlemen/DPR). Hal ini menunjukkan besarnya
peran media dalam sebuah negara sebagai penghubung antara rakyat dan pejabat publik.
Menjadi penegak hak asasi manusia, menjaga kedamaian, dan membawa kebenaran. Memiliki
tanggung jawab sebesar itu, tentu diperlukan profesionalitas dan idealisme dari para jurnalis.
Walaupun pada kenyataannya, media telah berubah menjadi megafon propaganda bagi mereka
yang berkuasa. Untuk itu, agar jurnalis bekerja sesuai porsinya maka diperlukan etika
jurnalistik. Seperti yang disoroti dalam jurnal yang berbentuk makalah diskusi masalah ini,
menyoal tentang kode etik jurnalistik dan hak asasi manusia (HAM). Ditulis oleh seorang
jurnalis senior sekaligus sekretaris umum dari International Federation of Journalist (IFJ),
Aidan menganalisis isu-isu dengan sudut pandangnya.
Pada pendahuluan dalam jurnal ini diawali dengan pengertian jurnalisme etis yakni segala
sesuatu yang menyangkut cara wartawan, editor, dan lainnya memberikan komentar tentang
peristiwa yang membentuk kehidupan masyarakat. Jurnalisme etis erat kaitannya dengan nilai-
nilai moral yang berkembang di masyarakat. Namun, era digital bersinggungan dengan nilai
etis yang mengaburkan nilai-nilai moral yang menjadi tantangan baru bagi etika jurnalisme
pada era digital.
Sebuah dilema muncul antara kebebasan berekspresi dengan perlindungan HAM terkait objek
pemberitaan. Kebaruan bentuk media juga semakin mengaburkan kode etik jurnalistik, karena
berkembangnya jurnalis amatir yang berasal dari latar belakang yang beragam (seperti citizen
journalist). Gagasan-gagasan yang dijabarkan dalam jurnal ini diantaranya menyoal:
1. Hubungan Erat antara Etika Jurnalistik dan Standar HAM
2. Lanskap Media Baru dan Perubahan Jurnalisme
3. Kebebasan berekspresi terancam: Pembatasan Hukum terhadap Jurnalisme
4. Argumen dalam Etika Jurnalisme
5. Membangun dukungan untuk hak dan etika
Pada tulisan ini reviewer tertarik untuk mengangkat dua gagasan untuk dibahas lebih
menadalam, yakni Lanskap media baru dan perubahan bentuk jurnalisme, dan kebebasan
berekspresi yang terancam. Hal ini didasari oleh tingkat relevan yang tinggi dengan keadaan
yang sedang terjadi di Indonesia. Selain itu, data-data dan gagasan yang disampaikan penulis
jurnal juga menarik untuk dikritisi dan ditelaah lebih lanjut.
1. Lanskap Media Baru dan Perubahan Jurnalisme
Berkembangnya media baru menyebabkan kebangkrutan media-media cetak yang mulai
tergantikan dengan media digital seperti portal berita online. Hal ini berdampak pada
perubahan struktural dan pasar yang telah mengurangi profitabilitas perusahaan media.
Menanggapi perubahan nasib ini, banyak pengusaha media telah mengorbankan standar
pelaporan dalam mengejar tujuan komersial, mengesampingkan nilai-nilai etika dengan
jurnalisme yang populis, sensasional, dan bias.

Sederhananya, media membutuhkan uang untuk tetap hidup, maka diperlukan investor yang
menjadi bibit adanya keberpihakan media dan tidak lagi netral. Begitupula dengan jurnalis,
jurnalis tidak hanya bekerja dengan media, tetapi juga dengan pemilik media. Hasil liputannya
bisa dipotong dan diarahkan untuk mengambil sudut pandang tertentu agar menguntungkan
pihak yang berkuasa pada media tersebut. Konsekuensi demokratis dari hal ini adalah
berkurangnya pengawasan kekuasaan, terutama di tingkat lokal dan regional, dan pelemahan
pada perlindungan hak asasi manusia.

Ranah jurnalisme memang mempunyai kekhasannya dibandingkan dengan bentuk produksi


budaya yang lain. Ada tiga hal yang menandai kekhasan jurnalisme yang terkait langsung
dengan etika komunikasi:
1. Jurnalisme sangat tergantung pada tekanan kekuatan dari luar, yaitu hukum
permintaan. Maka sangat ditentukan oleh sanksi pasar dan plebisit pemirsa.
2. Pembedaan kutub dengan orientasi komersial atau tidak terasa sangat kuat sehingga
keuntungan lebih dinikmati oleh orientasi komersial, bahkan kualitas sering diukur
dari kekuatan finansialnya; kecenderungannya lalu menganggap kemampuan
membentuk opini publik disamakan dengan kekuatan finansial.
3. Suasana profesi sangat diwarnai oleh berlakunya keadilan imanen (semacam hukum
karma). Prinsip ini mau meyakinkan bahwa mereka yang melanggar larangan tertentu
akan terkena tulah dengan sendirinya, sedangkan yang menyesuaikan diri dengan
aturan main sangat dipuji dan dihargai. (Zamzamy, 2015)

Kemudahan akses media online bukan hanya dalam aspek konsumsi media saja, tetapi juga
dalam produksinya. Kini, siapa pun dapat menjadi wartawan, membagikan peristiwa melalui
akun sosial medianya dan menjadi viral. Semakin beragamnya pengguna media yang anonim,
dan mudahnya membagikan berita tanpa adanya filter, kekhawatiran akan adanya penyalah
gunaan informasi semakin tingggi. Jurnal ini juga disebutkan terdapat bentuk komunikasi baru
yakni "jurnalisme warga" dan "jurnalisme jaringan".
Jurnalisme warga atau lebih dikenal sebagai citizen journalism dimulai saat beredarnya video
amatir detik-detik gempa dan tsunami di Aceh pada 26 Desember 2016. Menurut Dan Gillmor,
seorang wartawan senior amerika, video amatir tersebut merupakan titik balik kemunculan
jurnalisme warga. Semakin dipercepat pula perkembangannya dengan kemunculan blog, dan
media mainstream membuka berita kiriman audiensnya. Jurnalisme warga mampu mendorong
atau menumbuhkan terciptanya pembaca tetap. Salah satu yang menjadi faktor pembaca
menyukai blog adalah tidak adanya kode etik, sehingga informasi yang disajikan dapat begitu
vulgar. (Yusuf, 2017)
Pasar media multiplatform ini bergerak 24 jam dan sangat bergantung pada pasar, sehingga
wartawan akan tuntutan menyediakan informasi sesuai fakta atau sesuai arahan pemilik media.
Pemerintah perlu mengambil andil untuk menjaga kualitas karya jurnalistik ditengah krisis
seperti ini. Seperti dengan membuat kebijakan yang menegakkan kode etik jurnalis dan
melindungi hak-hak jurnalis. Memperjelas undang-undang yang dapat menjadi bumerang bagi
wartawan dalam mencari kebenaran (seperti pencemaran nama baik). Dengan begitu, jurnalis
akan merasa aman dan terbebas dari tekanan yang dapat mengintervensi independen dan
netralitas karyanya.
2. Kebebasan berekspresi terancam: Pembatasan Hukum terhadap Jurnalisme
Sesuai dengan bentuk jurnal ini yang berupa makalah diskusi masalah, berikut permasalahan
mengenai pembatasan secara legal kepada jurnalisme:
a) Akses informasi dan Hak masyarakat untuk tahu (Transparansi)
Penulis mengemukakan sebuah data bahwa sekitar 70 negara, yang mencakup lebih dari
setengah populasi dunia, memiliki undang-undang kebebasan informasi. Di Eropa, tradisi
keterbukaan adalah tradisi yang panjang, merentang kembali ke tahun 1766 ketika Swedia
menetapkan hak warga negara untuk meminta dan menerima dokumen apa pun dari penguasa
mereka. Tetapi beberapa negara di Eropa tidak menjunjung tinggi tradisi ini. Hal ini disebabkan
karena kekhawatiran tentang keamanan dan terorisme telah menyebabkan penyempitan
informasi yang tersedia dengan jauh lebih banyak pengecualian terhadap apa yang
mungkin dirilis.
Padahal dengan adanya keterbukaan informasi dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat
kepada pemerintahan, dan apabila pemerintah melakukan pekerjaannya dengan benar tidak
khawatir kalau wartawan mencari data dan menggali informasi karena memang tidak ada yang
ditutup-tutupi.
b) Pencemaran Nama Baik
Jurnalis selayaknya pemerintah yang memiliki tanggung jawab untuk menegakan hak asasi
manusia, dan pekerjaan seorang jurnalis sering kali beririsan dengan HAM terkait dengan
penelusuran suatu kasus. Jurnalisme yang baik membangkitkan kesadaran tentang apa
yang dapat diterima dan tidak dapat diterima, dan dapat mengingatkan kita akan tanggung
jawab moral. Pada bagian ini, penulis memberikan contoh-contoh riil yang terjadi di Eropa
yang berkaitan dengan undang-undang pengaturan etika jurnalistik dan ham. Namun, yang
terjadi malah adanya keterbatasan jurnalis dalam mengemukakan pendapat. Contohnya dalam
pengaturan keamanan reputasi individu, seringkali kebenaran yang dikuak oleh wartawan
bersinggungan dengan seorang tokoh dan pemberitaan yang tidak baik dapat mencoreng citra
dirinya.
Apabila dikaitkan dengan yang terjadi di Indonesia, menurut KUHP pencemaran nama baik
harus memenuhi dua unsur, yaitu ada tuduhan dan tuduhan dimaksudkan menjadi konsumsi
publik. Berkaitan dengan penghinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 310 sampai dengan
Pasal 321 KUHP masih tetap mempertahankan penghinaan (blediging) ini bisa beragam
wujudnya, misalnya ada yang menista, termasuk menista dengan tulisan, ada yang memfitnah,
melapor memfitnah dan menuduh secara memfitnah (Wadjo, 2011). Selain dalam KUHP,
diatur juga dalam UUITE pasal 27 ayat (3), pasal 36, pasal 45 dan pasal 51 ayat (2)
Kasus yang terjadi di Indonesia contohnya yang menimpa Bambang Harymurti, pemimpin
Redaksi Majalah Berita Mingguan Tempo yang dihukum 1 tahun dalam kasus pencemaran
nama baik Tomy Winata, salah seorang pengusaha ternama di Jakarta. Selanjutnya Pimpinan
Redaksi Rakyat Merdeka, Karim Paputungan, juga dihukum penjara 5 bulan dengan masa
percobaan sepuluh bulan karena dianggap menghina Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Akbar
Tanjung, dan Redaktur Eksekutif Harian Rakyat Merdeka, Supratman dijatuhi hukuman
penjara 6 bulan dengan masa percobaan 12 bulan karena dianggap menghina Presiden
Megawati.
Masalah serupa ternyata terjadi pula di Eropa yang pernah masuk pengadilan Strasbourg.
Berdasarkan jurnal ini, adanya perlindungan reputasi seperti ini dapat mengekang kebebasan
pers dan membuat para jurnalis rawan dipidana. Maka, agar dapat membuat penilaian yang
dapat dipertahankan secara moral dan hukum, jurnalis harus kompeten, terlatih,
diinformasikan dan, di atas segalanya, dapat beroperasi secara bebas dalam kondisi yang
mendorong mereka untuk bertindak secara etis. Namun, semua ini tidak mudah dicapai
di dunia yang penuh tekanan dan bergolak di mana media bekerja.

Adanya pengaturan mengenai perlindungan nama baik mampu mengekang dan


mengkriminalisasikan jurnalis. Dampaknya, jurnalis takut melakukan fungsinya sebagai
pengawas untuk melakukan investigasi kepada tokoh-tokoh penting dan kebebasannya
terhalangi. Batas untuk kritik terhadap politisi sebenarnya harus lebih luas, Pengadilan
Strasbourg telah menetapkan. Dalam hal ini Pengadilan Strasbourg menyatakan bahwa
politisi harus menerima bahwa kata-kata dan tindakan mereka terbuka untuk pengawasan
tingkat tinggi baik dari jurnalis dan publik pada umumnya. Namun timbul masalah lain, bukan
tentang pencemaran terhadap individu, tetapi terkait dengan hal itu yakni hukum penghinaan
dan penistaan agama. Dalam jurnal bentuk penistaan agama yang dimaksud ialah penghujatan
dan penghinaan terhadap hal-hal yang dianggap suci oleh orang/kelompok lain.
c) Ujaran Kebencian
Kebebasan berekspresi tidak lepas dari pandangan subjektif yang tanpa disadari mengandung
unsur provokatif mengarah kepada kebencian. Persoalan mengenai ujaran kebencian (hate
speech) semakin mendapatkan perhatian masyarakat baik nasional maupun internasional
seiring dengan meningkatnya kepedulian terhadap perlindungan atas hak asasi manusia
(HAM). Dalam jurnal ini diberikan contoh kasus yang terjadi di negara-negara Eropa seperti
Prancis dan Turki. Di Indonesia, ujaran kebencian diatur pada Pasal 45A ayat (2) UU No.19
Tahun 2016 tentang ITE.
Kasus yang terkait dengan ujaran kebencian yang diduga dilakukan oleh oknum wartawan
dalam kerusuhan Papua Agustus lalu. Dewan Pers melakukan investigasi terhadap dua oknum
jurnalis televisi yang diduga melakukan provokasi di Sorong, Papua Barat, seperti dalam
potongan video yang beredar (Berita ini dirilis bulan September 2019, sebulan setelah review
jurnal ini ditulis). Adapun video hasil suntingan kedua jurnalis ini menimbulkan keresahan
masyarakat karena berisi provokasi dan kebencian.
Komentar umum :
Jurnal ini membuka wawasan bahwa permasalahan mengenai etika jurnalistik dan ham telah
lama menjadi sorotan di negara lain bahkan sejak 8 tahun lalu. Dengan adanya gambaran
seperti ini, Indonesia dapat menentukan langkah seperti apa yang tepat dan mempelajari
bagaimana negara lain mengendalikan permasalahannya. Adapun, kultur Eropa dan Asia tidak
sama, tetapi permasalahan ham merupakan hal yang universal dan yang dapat disetarakan
menggunakan standar yang serupa.
Secara keseluruhan, jurnal ini sangat nyaman dibaca dan mudah dipahami dengan contoh-
contoh kasus riil dan gaya kutipan berupa footnote yang langsung dapat dibaca pada lembar
yang sama memudahkan saya untuk mencari tahu tulisan asli dari kutipan tersebut. Bagi saya,
hal ini lebih efektif daripada harus membolak-balik daftar pustaka (mengingat kutipan dan
referensi yang cukup banyak). Saya juga suka dengan kesimpulan dan saran yang diberikan
untuk pemerintah pada bagian akhir jurnal ini. Namun, menurut saya jurnal ini terkesan
memberi beban yang berat kepada pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Memang benar, pemerintah merupakan pihak berwenang yang mampu menciptakan aturan-
aturan, tetapi perlu diingat pula aturan pun perlu didukung oleh warganya. Selain penegakkan
aturan, masyarakat dan pelaku media (pemilik media/jurnalis) juga harus memiliki kesadaran
akan etika dan HAM.

Referensi
Saubani, Andri. (2019). Dewan Pers Investigasi Dugaan Provokasi Jurnalis di Papua,
https://nasional.republika.co.id/berita/pxd0zd409/dewan-pers-investigasi-dugaan-
provokasi-jurnalis-di-papua (diakses tanggal 13 Oktober 2019 pukul 23.45 WIB)
Wadjo, H. Z. (2011). Pencemaran Nama Baik dalam Pemberitaan Pers. Jurnal Sasi Vol. 17
No.2, 1-8.
White, Aidan. (2011). Ethical Journalism and Human Rights. CommDH/Issue Paper 40.
Yusuf, J. (2017). Pengantar Jurnalisme Multiplatform. Depok: Prenadamedia Group.
Zamzamy, A. (2015). Peranan Profesi Jurnalisme dalam Penegakan Etika pada Kehidupan
Publik. Jurnal Imu Komunikasi , Vol. 7 No. 2, 11-20.

Anda mungkin juga menyukai