Anda di halaman 1dari 23

Makalah Hukum dan Etika Penyiaran

ASPEK HUKUM TEKNOLOGI PENYIARAN

Disusun oleh :

Muhammad Rizal Fadly (3012019009)

Dosen Pembimbing : RUSLI,S.Sos,MA.

PRODI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) LANGSA

T.A 2021

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. wb.

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah swt yang telah memberikan rahmat,
taufik dan hidayahnya, sehingga makalah yang berjudul “ASPEK HUKUM TEKNOLOGI
PENYIARAN ‘’ dapat terselesaikan dengan baik dan sesuai dengan usaha dan kemampuan
penulis. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah HUKUM DAN ETIKA
KOMUNIKASI yang telah diberikan oleh Bapak RUSLI, Sos, MA. selaku dosen pada mata
kuliah HUKUM DAN ETIKA KOMUNIKASI di IAIN Langsa.

Penulis menyadari bahwa makalah ini tidak dapat diselesaikan tanpa adanya dukungan dari
beberapa pihak, terutama dari dosen pembimbing Bapak RUSLI,S.Sos,MA. Untuk itu, penulis
mengucapkan terima kasih atas segala bantuan dalam penyelesaian makalah ini.

Sudah menjadi suatu kewajaran jika dalam penulisan makalah ini masih dijumpai beberapa
kekurangan dan kesalahan, karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis dalam
mengerjakan dan menyelesaikan makalah ini. Oleh karena itu, diharapkan nasehat, kritik dan
saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan hasil pemikiran dan demi pengembangan
ilmu selanjutnya, sehingga gagasan pemikiran ini tidak berhenti sampai disini, namun ada
pengembangan yang lebih dinamis dan obyektif dan dapat di pertanggung jawabkan. Kemudian
penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian
makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi saya dan semua pembaca.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Langsa, 27 Maret 2021

PPenulis

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan teknologi pada saat ini mempunyai pengaruh yang cukup penting
terhadap perkembangan hukum, akan tetapi sering dijumpai adanya ketidakmampuan
hukum untuk mengimbangi lajunya perkembangan teknologi, hal ini selain disebabkan
pembentukan hukum memerlukan waktu yang lama, juga dikarenakan perkembangan
teknologi yang sangat cepat.
Salah satu perkembangan teknologi yang dianggap sangat penting pada saat ini
adalah teknologi dibidang telekomunikasi. Telekomunikasi merupakan rangkaian dua
kata, yaitu “tele” dan” komunikasi” “tele berarti jarak jauh dan “komunikasi “ yang
berarti hubungan pertukaran ataupun penyampaian informasi. Dalam teknologi
telekomunikasi modern cakupannya meliputi beberapa komunikasi jarak jauh yang
mencakup aural, oral dan visual.

B. Rumusan Masalah ?
1). Bagaimana memahami system kerja penyiaran?
2). Apa Pektrum Frekuensi?
3). Apa Digitalisasi penyiaran?
4). Bagaimana Sertifikat peralatan teknis?

C. Tujuan Penulisan?
a) Mengetahui dan memahami system kerja penyiaran
b) Mengetahui digitalisasi
c) Mengetahui bagaimana sertifikat peralatan teknis

3
BAB II

PEMBAHASAN

ASPEK HUKUM TEKNOLOGI PENYIARAN.

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran)


didefinisikan, bahwa penyiaran adalah:

“kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di


darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui
udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan
oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran”.

Berdasarkan pada pengertian tersebut, maka Hukum Penyiaran adalah seluruh kaidah dan
aturan yang menyangkut kegiatan pemancarluasan, termasuk sarana teknis, sistem dan
spektrum frekuensi hingga penerimaan masyarakat secara serentak melalui alat penerima
siaran. Catatan utama dari pengertian ini mengindikasikan bahwa segala bentuk teknologi
telekomunikasi yang memancarluaskan “siaran” yang dapat diterima secara serentak dan
bersamaan oleh masyarakat melalui alat penerima siaran dikategorikan sebagai penyiaran. Saat
ini, regulasi baru menetapkan dua jenis telekomunikasi yang dikategorikan sebagai penyiaran,
yaitu radio siaran dan televisi. Sehingga Hukum Penyiaran hanya berlaku bagi kedua jasa
penyiaran tersebut.

A. Memahami Sistem Kerja Penyiaran

Mengkaji hukum secara baik menuntut pemahaman yang komprehensif terhadap objek dan
subjek hukum terkait. Untuk memahami bagaimana Hukum Penyiaran berlaku, maka harus
dapat dipahami terlebih dahulu bagaimana sesungguhnya Sistem kerja teknologi penyiaran.
Dalam sistem telekomunikasi yang juga berlaku pada penyiaran, terdapat beberapa sistem
penyebarluasan siaran yang dapat dilakukan, antara lain sistem kabel, sistem nirkabel, dan
sistem satelit.

Sejarah telekomunikasi menunjukkan bahwa pada awalnya penemuan manusia terhadap


perangkat telekomunikasi diawali oleh komunikasi kaleng benang, yang mengilhami penemuan
kawat telegraf kerja sistem telekomunikasi dengan menggunakan kabel sebagai medium
penghantar tidak terlalu sulit untuk dipahami. Sistem ini hanya membutuhkan suatu alat pancar
(transmitter), kemudian kabel penghubung (dapat berupa kawat atau serabut coaxial atau serat
optik), dan sebuah alat yang dapat menerima (receiver) dan mengirimkan kembali
(retransmitting) pulsa-pulsa suara.

4
Perkembangan terakhir dari penyiaran sistem kabel adalah dengan ditemukannya serat
optik (optical) yang dapat memformulasikan cahaya sebagai sarana penghantar. Berbeda
dengan sistem kabel konvensional yang menggunakan serat kawat atau tembaga tunggal
(coaxial cable) yang menyalurkan gelombang elektromagnetik, serat optik merupakan benang
gelas yang sangat tipis dan lentur yang mampu menghantarkan cahaya dan laser. Penggunaan
serat optik lebih efisien, selain karena bentuknya yang lebih kecil, kualitas dan daya tahan
terhadap interferensi lebih baik dibandingkan sistem kabel coaxial. Karena frekuensi cahaya
yang begitu tinggi menyebabkan jumlah informasi yang mampu diangkut oleh serat optik
sangat besar, yaitu sekitar 100.000 kali lebih banyak dari yang dapat dilakukan dengan kabel
coaxial.¹

Berbeda halnya dengan sistem nirkabel atau wireless system. James Clark Maxwell adalah
orang pertama yang mengatakan bahwa telekomunikasi dapat dilakukan dengan sarana
penghantar udara yang kecepatannya sama dengan kecepatan cahaya. Teori gelombang
elektromagnetik inilah yang menjadi tonggak telekomunikasi tanpa kabel (wireless
telecommunication).

Heinrich Hertz dan Guglielmo Marconi adalah ilmuwan yang membuktikan secara
eksperimental teori Maxwell tersebut, Dalam ketentuan telekomunikasi yang dibuat oleh ITU,
sistem ini dikenal dengan istilah telekomunikasi teresterial (terrestrial telecommunication).

'John Stevenson, Telecommunications (Jakarta: Gramedia, 1987), him. Sistem penyiaran


tanpa kabel juga membutuhkan suatu alat pancar (transmitter) untuk memancarkan signal atau
materi komunikasinya sebagaimana sistem kabel, akan tetapi dengan jenis dan sistem perangkat
elektronik yang berbeda. Perbedaan mendasar lainnya adalah, sistem tanpa kabel membutuhkan
perangkat antena untuk mempropagasikan gelombang elektromagnetik yang bermuatan materi
komunikasinya. Agar propagasi berlangsung tanpa halangan, baik oleh kondisi geografis
maupun gedung bertingkat, maka antena umumnya diletakkan pada suatu ketinggian tertentu
dengan bantuan menara (tower). Orang awam biasanya salah dalam mengidentifikasi antena
dengan menyebutkan bahwa tower adalah antena, padahal sesungguhnya antena hanyalah
berupa lempengan tembaga atau perangkat parabolic yang diletakkan pada ketinggian tertentu
pada menara. Dari pemancar ke antena dihubungkan oleh sistem kabel coaxial dan dari antena
dilepas ke udara untuk merambat dan dipantulkan (ceiling) pada lapisan atmosfer untuk
kemudian diterima oleh sistem antena sederhana pada perangka' penerima (receiver).

Sistem penyiaran semakin berkembang dengan digunakannya satelit untuk mendukung


propagasi siaran dalam menjangkau wilayah yang lebih luas. Sistem penyiaran menggunakan
satelit sangat bermanfaat bagi negara-negara yang memiliki wilayah negara yang luas seperti
halnya Indonesia. Sistem penyiaran satelit pada prinsipnya sama dengan sistem terrestrial,
hanya saja memperoleh bantuan penguatan dan pantulan (ceiling) pada satelit yang mengorbit
pada garis edar GSO (Geostationery Orbit).Satelit komunikasi pada hakikatnya adalah stasiun
penghubung gelombang mikro? yang diletakkan di ruang angkasa pada suatu ketinggian

5
tertentu. Stasiun Pancar Bumi (Ground Station) mengirimkan gelombang mikro (microwaves)
melalui antena parabola yang diarahkan tepat pada kedudukan satelit pada garis edar orbit
satelit (Geostationery Orbit).

Gelombang mikro yang dikirim dari Stasiun Bumi ke Satelit menggunakan frekuensi
Uplink. Satelit yang menerima gelombang mikro tersebut kemudian memantulkannya
(scattered) ke arah bumi secara teresterial, gelombang mikro tersebut diubah frekuensinya oleh
satelit dengan menggunakan frekuensi Downlink. Oleh Stasiun Bumi Penerima, gelombang
mikro Downlink tersebut kemudian diterima melalui antena parabola. Satelit mampu
menangani hubungan telepon, pengiriman teleks, pengiriman data komputer, surat-surat
elektronik, atau pengiriman salinan dokumen, di samping untuk penyiaran.Gelombang mikro
(microwaves) adalah gelombang radio yang sangat pendek dengan frekuensi lebih dari 300
MHz (UHF) yang mudah diinterferensi oleh bangunan atau pohon sehingga propagasinya harus

Jika Stasiun Bumi Penerima adalah Stasiun Relai (retrans, mitted station) seperti halnya
penyiaran televisi dan radio, makz gelombang mikro yang diterima selanjutnya diproses dalam
suatu perangkat re-transmitter yang kemudian dipancarkan kembali untuk penerimaan langsung
masyarakat atau penggun telekomunikasi tersebut. Pemancaran kembali (re-transmitted) i dapat
melalui Sistem Kabel (Cable System) atau Sistem Nirkabel(Wireless System). Dewasa ini,
khususnya pada dinas penyiaran, tela digunakan suatu sistem satelit yang dapat secara langsun.
diterima oleh masyarakat tanpa melalui Stasiun Relai. Dir Broadcasting by Satellite (DBS)
adalah suatu sistem satelit yan dapat memantulkan gelombang mikro Uplink secara teresteri
untuk ditangkap oleh pemirsa-pemirsa televisi secara langsung dengan menggunakan antena
parabola. Dengan teknologi inilah masyarakat pedesaan pinggiran dapat menyaksikan siaran-
siaran televisi nasional dan bahkan siaran-siaran asing.

Pada Sistem Penyiaran (Broadcasting System), sebelum dipancarluaskan melalui pemancar


dan antena, terlebih dahulu dilakukan proses studio melalui berbagai perangkat elektronik.
Dalam proses studio, suara, gambar, dan informasi yang akan dipancarkan melalui pemancar
terlebih dahulu diubah ke dalam bentuk gelombang mekanik (gelombang listrik) yang
dihubungkan dari studio ke perangkat pemancar dengan menggunakan kabel coaxial. Sebagai
contoh, gambar berikut menjelaskan mekanisme dalam proses penyiaran radio dan televisi.

Pada proses penyiaran, gelombang suara (penyiar) yang dialirkan dari mixer ke transmitter
mengalami penguatan frekuensi dari oscilator dan penguatan daya dari power amplifier
kemudian disatukan ke antena. Dari antena inilah gelombang elektromagnetik dilepas ke udara.
Setelah mengalami proses perambatan, yang diwarnai oleh gangguan sinar matahari (sunspot)
dan distorsi dari alam, maka gelombang elektramagnetik tersebut kemudian diterima oleh
antena alat penerima (receiver). Dari antena penerima, biasanya akan kembali menerima
penguatan sebelum akhirnya tiba di pengeras suara (speaker) untuk diubah kembali menjadi
gelombang suara.

6
B. Spektrum Frekuensi

Seluruh sistem telekomunikasi nirkabel (terrestrial atau wireless) yang dikenal, ditemukan,
ataupun digunakan memb tuhkan apa yang disebut sebagai Spektrum Frekuensi (Fregue
Spectrum). Spektrum Frekuensi Radio adalah:

“susunan pita frekuensi radio yang mempunyai frekuensi lebih kecil dari 3000 Ghz
sebagai satuan getaran gelombang elektromagnetik, merambat dan terdapat dalam
dirgantara (ruang udara dan antariksa)”.

Spektrum frekuensi merupakan istilah penamaan yang berikan untuk mengukur jumlah
atau panjang gelombang ra yang beredar dalam ukuran satu detik. Atau dengan kata | frekuensi
adalah banyaknya gelombang dalam satu detik. Sat ukuran yang digunakan adalah Hertz (Hz),
diambil dari n Heinrich Hertz ilmuwan Jerman yang pertama kali membukti Teori Gelombang
Elektromagnetik (Electromagnetic Wave Theofj yang diutarakan Maxwell. Jika 1 Hertz sama
dengan 1 cycle detik, maka 5 Hertz sama dengan 5 cycle per detik.

Semakin pendek jarak gelombang (tanda X pada gambar) maka semakin tinggi frekuensi
kerjanya. Tinggi rendah frekuensi yang saat ini diketahui didasarkan pada kemampuan manusia
menciptakan teknologi telekomunikasi. Sebagai contoh, pada awalnya radio siaran hanya
mampu menggunakan gelombang rendah atau frekuensi tinggi (High Freguency), selanjutnya
dikenal radio siaran yang menggunakan gelombang menengah (Medium Wave atau MW)
dengan Frekuensi Menengah, hingga kini dikenal Radio Siaran FM? dengan frekuensi sangat
tinggi (Very High Freguency). Penemuan televisi kemudian menghantarkan manusia
menggunakan frekuensi ultra tinggi (Ultra High Freguency) dan teknologi telekomunikasi
berbasis satelit menggunakan gelombang mikro (Microwave) dengan frekuensi kerja super
tinggi (Ultra High Freguency).

Berdasarkan Peraturan Radio Perhimpunan Telekomunikasi Internasional (International


Telecommunication Union Radio Regulation), ukuran-ukuran frekuensi yang digunakan
gelombang radio (elektromagnetik) untuk radio komunikasi sebagai berikut:

Khusus bagi telekomunikasi satelit (satellite telecommunication) diatur pula pembagian


kelas frekuensi kerjanya. Secara sederhana, prinsip kerja satelit komunikasi sesungguhnya
hampir sama atau merupakan stasiun relay/repeater/retransmitting gelombang mikro, yang
fungsinya selain untuk menerima dan mengirimkan kembali signal dari dan ke arah stasiun
bumi, juga mengadakan proses penguatan dan perubahan frekuensi pada alat yang disebut
transponder. Untuk keperluan itu, maka dibutuhkan frekuensi kerja dari stasiun bumi-pancar ke
satelit yang dikenal dengan istilah “uplink” (lintas atas). Oleh transponder, sesaat setelah
menerima signal tersebut, kemudian memperkuat signalnya dan melakukan re-transmitting ke
stasiun bumi-penerima dengan menggunakan frekuensi kerja yang disebut “downlink” (lintas

7
bawah). Frekuensi uplink dan downlink yang diperuntukkan bagi satelit komunikasi diatur
sesuai dengan band frekuensi masing-masing, yaitu:

Dalam Radio Regulation, ITU telah membagi spektrum frekuensi ke dalam suatu Tabel
Alokasi Frekuensi (Table Freguency Allocation) yang menunjukkan jenis-jenis dinas yang
diperuntukkan dalam pita-pita frekuensi. Selain itu, juga ditetapkan Region dunia yang telah
dibagi ke dalam tiga Region.

Spektrum frekuensi adalah “res communes” atau merupakan milik bersama umat manusia
(common thing) dan bukan “res nullius” (a thing belonging to no one). Jika disebut sebagai res
nullius, maka siapa yang menemukannya, maka dia berhak mengklaim sebagai miliknya.
Walaupun dikatakan spektrum frekuensi sebagai common thing, akan tetapi untuk
menggunakan spektrum yang terbatas itu dibutuhkan suatu mekanisme perizinan, baik di
tingkat nasional maupun internasional. Kondisi ini tampak paradoksal, karena sepertinya
seseorang tidak bisa memanfaatkan sesuatu yang menjadi “haknya” begitu saja walaupun itu
dikatakan milik bersama. Kenyataan yang ada, khususnya di Indonesia, banyak sekali pengguna
frekuensi ilegal, yang salah satu alasan tindakan mereka adalah karena kerumitan dan mahalnya
perizinan tersebut.

Perizinan memang diperlukan semata-mata untuk menjamin penggunaan frekuensi secara


efisien dan efektif, serta mencegah terjadinya interferensi yang merugikan (harmful
interference). Walaupun masih debatable khususnya di kalangan hobby ataupun jika dikaitkan
dengan persoalan human rights, tetapi itulah aturan main yang berlaku. Setiap warga negara
harus sadar bahwa penggunaan spektrum frekuensi adalah suatu tanggung jawab mutlak.
Ilustrasi sederhana jika penggunaan spektrum frekuensi tidak diatur dapat digambarkan dengan
pertanyaan: “bagaimana keselamatan para penumpang pesawat udara yang hendak lepas landas
atau mendarat jika hubungan komunikasi antarpilot dan menara kemudian terinterferensi oleh
kegiatan dua orang amatir radio yang sedang 'mojok'?”

Mekanisme perizinan penggunaan spektrum frekuensi tidak hanya mengatur tentang


alokasi frekuensi yang dapat dipergunakan, tetapi perizinan juga meliputi kualitas dan
klasifikasi teknik dari alat-alat telekomunikasi yang digunakan, Sehingga untuk melakukan
permohonan izin penggunaan spektrum frekuensi atau izin mendirikan suatu stasiun teleko.
munikasi, pemohon wajib menyertakan spesifikasi teknik sesuaj standar yang ditetapkan
pemerintah masing-masing negara yang mengacu pada standar ITU yang direkomendasikan
oleh CCITT.

Dalam berbagai literatur dan regulasi, baik nasional maupun internasional, sering kali
dikatakan bahwa frekuensi adalah “sumber daya alam yang terbatas” (natural limited resource).
Hal ini mesti dipahami bahwa keterbatasan ini tidak serupa dengan keterbatasan sumber daya
alam lain seperti minyak, gas, atau mineral, yang apabila dipakai terus-menerus akan habis
cadangannya. Frekuensi sesungguhnya tidak dapat dikategorikan sebagai sumber daya alam

8
terbatas dalam pemahaman terminologi seperti di atas, karena frekuensi walaupun terbatas,
tetapi jika digunakan terus-menerus dan sampai kapan pun juga maka frekuensi tersebut tidak
akan habis. Hanya saja karena sifatnya yang hanya dapat dipergunakan untuk satu transmisi
pada suatu periode maka pada saat frekuensi itu sedang digunakan maka transmisi lainnya tidak
dapat menggunakannya secara bersamaan, kecuali jika jarak antarkedua transmisi berjauhan
atau daya pancar keduanya lemah sehingga tidak saling menggangu (interference). Karena
sifatnya yang demikian, maks lebih tepat kalau dikatakan bahwa frekuensi adalah “sumber daya
terbatas” (scarce resource).

Keterbatasan frekuensi dapat digambarkan dengan ilustrasi sederhana penggunaan


frekuensi VHF untuk radio siaran FM berikut ini:

Frekuensi kerja untuk Radio Siaran FM adalah 88 MHz — 108 MHz. Sistem penyiaran
radio FM memiliki kelemahan yaitu membutuhkan lebar band (bandwidth) yang cukup besar.
Jika untuk kualitas siaran yang baik dan menghindari interferensi yang merugikan (harmful
interference) telah diatur bahwa jarak frekuensi antar satu stasiun radio siaran di Indonesia
dengan yang lainnya adalah 800 Hz,' maka frekuensi FM ini hanya dapat dihuni oleh paling
banyak 21 stasiun radio siaran untuk satu wilayah kota.

Jika jarak antarsatu kota dengan kota yang lain sangat dekat, di mana Kota A telah
menggunakan seluruh kanal frekuensi yang dialokasikan, maka Kota B tidak dapat mendirikan
satu pun stasiun radio FM. Jika dipaksakan maka yang terjadi adalah seluruh radio siaran saling
tumpang tindih dan tidak satu pun yang dapat didengar dengan baik siarannya. Kasus ini juga
dapat terjadi pada penyiaran Televisi.

Mekanisme permohonan penggunaan frekuensi pada prinsipnya menganut sistem first-


come, first-served. Penggunaan dalam lingkungan lokal atau nasional suatu negara ditetapkan
oleh administrasi yang ditunjuk oleh negara, seperti Direktorat Jenderal Pos dan
Telekomunikasi di Indonesia. Setiap permohonan yang masuk akan dilakukan analisis terhadap
database frekuensi existing melalui prosedur clearence freguency. Jika dinyatakan frekuensi
yang diajukan belum terpakai dan sesuai peruntukannya, maka Administrasi akan melakukan
proses penunjukan (assignment) dan penetapan dalam database frekuensi yang dimilikinya.
Penggunaan frekuensi oleh suatu negara kemudian dilaporkan kepada IFRB (sekarang Radio
Regulation Board - RRB)? untuk dicatat dalam Daftar Induk Frekuensi Internasional (Master
International Freguency Register). Setiap pencatatan diberikan kode dengan istilah call sign
atau tanda panggil. Bagi stasiun televisi, call sign itu tidak hanya berupa angka, tetapi juga
konfigurasi warna (pola teknik) yang wajib dipancarkan sebelum memulai aktivitas siaran.
Pemancaran call Mengingat spektrum frekuensi adalah sumber daya yang terbatas, /FRB (RRB)
dipandang sebagai “the custodians of an international public trust Pengakuannya dimulai pada
Konvensi Telekomunikasi 1965 yang dibua/ di Montreux.

9
1) sign tersebut berguna untuk mengetahui apakah kanal frekuensi telah ada penggunanya
atau apakah frekuensi telah digunakan sebagaimana mestinya. Penggunaan frekuensi
memiliki batas waktu yang dapat dilakukan perpanjangan. Pembagian wilayah dunia ke
dalam 3 region oleh ITU tidak didasari oleh tingkat kemajuan industri telekomunikasi,
tetapi diperhitungkan berdasar fleksibilitas spektrum frekuensi yang bertujuan untuk
efisiensi dan efektivitas penggunaan spektrum serta menghindarkan terjadinya harmful
interference. Article 6 (Peraturan Nomor 339) dari ITU Radio Regulation dan yang juga
diatur dalam Konvensi Telekomunikasi menekankan bahwa para anggota harus
berusaha untuk membatasi jumlah frekuensi seminimum mungkin dengan yang
diperlukan untuk menyelenggarakan dinas-dinas secara baik dan memenuhi syarat, yang
direalisasikan dengan menerapkan kemajuan teknologi yang terakhir sedini mungkin.
Pada Article 9 Radio Regulation ditetapkan suatu aturan khusus (special rules) untuk
penunjukan dan penggunaan frekuensi.

Dalam World Administrative Radio Conference (WARC) 1977 ditetapkan bahwa dalam
pemanfaatan spektrum frekuensi dan orbit satelit harus sesuai dengan prinsip-prinsip the
eguitable, effective and economically use of the linked orbit — spectrum, the egual rights of all
countries, dan the view that the geostationery satellite orbit and the radio freguency spectrum
are limited resource. Agar terdapat keteraturan, maka mekanisme yang dilakukan ITU adalah
dengan membuat Tabel Alokasi Frekuensi (Table of Freguency Allocations) yang
mendistribusikan frekuensi berdasarkan dinas telekomunikasi, status dinas, dan region. Dengan
Tabel Alokasi Frekuensi ini maka suatu negara telah memiliki pedoman dalam pengalokasian
frekuensi bagi industri telekomunikasi di negaranya masing-masing.

Suatu negara yang akan menggunakan spektrum frekuensi harus menyampaikan notifikasi
kepada RRB untuk dicatat dalam Daftar Induk Frekuensi Internasional (Master International
Freguency Register) apabila:

1) penggunaan frekuensi tersebut dapat menimbulkan interferensi yang merugikan pada setiap
dinas dari administratif Jainnya: atau
2) jika frekuensi tersebut dipakai untuk komunikasi radio internasional, atau
3) jika penggunaan frekuensinya ingin mendapat pengakuan internasional.”

Dengan demikian, penggunaan spektrum frekuensi yang diatur berdasarkan peraturan


nasional suatu negara tidak wajib didaftarkan dengan catatan bahwa alokasi frekuensi yang
digunakan telah merujuk pada frekuensi yang dialokasikan (freguency allocations).

Bentuk notifikasi yang diajukan kepada RRB harus sesuai dengan Section D Appendix 1
Radio Regulation, di mana setiap administrasi harus menunjukkan alasan dari dasar
permintaannya, bersama dengan kemungkinan-kemungkinan perubahan yang dapat dilakukan
sebagai bahan pertimbangan Biro Pendaftar bilamana memperoleh permasalahan atas spektrum

10
yang dimintakan. Notifikasi juga harus dilengkapi dengan keterangan tentang karakteristik
dasar dinas yang akan dioperasikan, yang bilamana kurang lengkap, maka biro akan
mengembalikan dengan alasan-alasan pengembalian.

Jika suatu penunjukan frekuensi, sebelum digunakan, telah memperoleh kesimpulan yang
memuaskan dari Biro, maka akan dimasukkan sementara dalam Daftar Induk Frekuensi
Internasional (Master International Register Freguency) dengan simbol khusus pada kolom
keterangan (remarks column) yang akan dihapus bila frekuensi telah digunakan. Setiap
penunjukan sementara yang disetujui Biro diberikan tanggal penggunaan yang bilamana
melewatinya, atau terjadi pengunduran waktu (maksimal 6 bulan), di mana Biro tidak menerima
penegasan tentang penggunaan spektrum frekuensi tersebut, maka pencatatan dalam Daftar
Induk harus dibatalkan. Namun sebelum hal itu terjadi, Biro diharapkan terlebih dahulu
mengadakan perundingan dalam administrasi yang bersangkutan."

Section VI Article 12 Radio Regulation menjelaskan tentang tata cara perubahan,


pembatalan, dan peninjauan kembali terhadap pencatatan yang telah dilakukan. Bila suatu
spektrum frekuensi telah dihentikan penggunaannya secara tetap, maka administrasi harus
segera melaporkan selambat-lambatnya tiga bulan setelah penghentian tersebut. Akan tetapi,
bilamana tetap digunakan, namun terdapat pelanggaran, seperti tidak digunakan sesuai
karakteristik dasar yang dilaporkan, sepengetahuan Biro, maka akan dikonsultasikan dengan
administrasi yang bersangkutan tentang kemungkinan adanya pembatalan atau perubahan
catatan.

Mekanisme notifikasi di atas memberikan identifikasi bahwa keinginan suatu negara


(administrasi) untuk menggunakan suatu spektrum frekuensi (yang tergolong frekuensi
internasional) dapat menemui hambatan bilamana Biro berkesimpulan bahwa notifikasi tersebut
bermasalah. Misalnya, jika frekuensi yang dimaksud kemungkinan mengakibatkan harmful
interference dengan negara lain. Hal ini dimungkinkan terjadi karena dasar penetapan Biro dan
ITU adalah “firstcome, firstserved”. Kondisi ini telah banyak memperoleh sorotan dari para
sarjana hukum, di antaranya dikemukakan bahwa suatu hal yang tidak benar apabila telah
terjadi suatu interferensi yang merugikan maka upaya penyelesaiannya bertumpu pada
kebijakan tersebut. Karena dalam pertikaian, pemakai pertama suatu frekuensi bukanlah
merupakan faktor kontrol dan senantiasa hal ini tidak pernah relevan untuk suatu perhatian
terhadap hak-hak respektif negara.

Ketidakpermanenan pendaftaran merupakan wujud dari keinginan untuk merealisasikan


hak-hak persamaan (eguitable rights) akan tetapi yang perlu dipertanyakan adalah bagaimana
bentuk ketidakpermanenan tersebut. Karena yang terjadi adalah bahwa negara-negara dengan
teknologi maju tidak akan mungkin melepaskan begitu saja spektrum frekuensi yang telah
“dikuasainya”. Sehingga sifat sementara yang dimaksud tidak dapat diartikan sebagai

11
“administrasi lain dapat mengajukan notifikasi terhadap frekuensi yang telah atau sementara
digunakan oleh suatu administrasi.” Jika demikian halnya, maka bagi suatu negara berkembang
yang baru akan memulai sistem komunikasi ruang angkasanya akan kesulitan memperoleh
spektrum frekuensi karena keterbatasan alokasi. Lalu di mana letak persamaan hak antarnegara?

Persoalan ini akan semakin menarik jika berhubungan dengan status dinas berdasarkan
Peraturan Radio. Sebagaimana diatur bahwa kategori dinas-dinas dalam penggunaan frekuensi
terdiri dari Dinas Primer (Primary Service), Dinas Sekunder (Secondary Service), dan Dinas
Seizin (Permitted Service). Ditetapkan bahwa Dinas Sekunder tidak boleh menyebabkan
harmful interference kepada stasiun dinas primer yang frekuensinya telah ditetapkan atau
frekuensi tersebut akan ditetapkan di kemudian hari, kemudian tidak dapat mengajukan
perlindungan dari harmful Interference dari stasiun dinas primer yang frekuensinya telah
ditetapkan atau akan ditetapkan di kemudian hari. Jika pada pita frekuensi 460 -470 MHz Dinas
Meteorologikal-Satelit (angkasa ke Bumi) merupakan Dinas Sekunder, di mana Dinas Tetap
(Fixed Service) dan Dinas Bergerak (Mobile Service) adalah Ding Primer, maka apabila suatu
Stasiun Dinas Tetap menggangp, atau menyebabkan interferensi terhadap komunikasi Dina
Meteorologikal-Satelit maka Dinas Meteorologikal tidak memper. Oleh perlindungan dari
gangguan tersebut.
Jika demikian halnya, maka tentu saja setiap negara akan lebih memprioritaskan notifikasi
frekuensi yang memiliki klasifikasi Primer, yang kemungkinan dapat mengakibatkan kejenuhan
(saturation) pada pita frekuensi tertentu. Kondisi ini akan menumbuhkan liberalisasi berdasar
atas persaingan pasar dan monopoli negara dengan teknologi maju. Jika dalam salah satu
Region dihuni oleh negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi dan teknologi yang seimbang,
maka persoalan itu mungkin dapat direduksi. Tetapi jika sebaliknya, maka yang akan terjadi
diprediksikan sebagai berikut:
1) Notifikasi spektrum frekuensi akan didominasi oleh negara maju.
2) Kejenuhanpita frekuensi mengakibatkan suatu negara tidak memperoleh jatah frekuensi,
yang akibatnya pertumbuhan teknologi telekomunikasinya terhambat. Kondisi ini bisa
berdampak pada pertumbuhan ekonomi.
3) Negara yang terlambat pertumbuhan telekomunikasi hanya dapat “menyewa” sarana dan
prasarana telekomunikasi negara maju, sehingga hukum pasar berlaku.
4) Berarti suatu negara harus membayar mahal apa yang menurut hukum (konvensi dan
peraturan ITU lainnya) adalah hak yang sama setiap negara dan umat manusia.
5) Lebih buruk lagi, jika karena peluberan (spill over), suatu negara hanya dapat menikmati
siaran asing tanpa mampu mengoperasikan saluran TV atau radionya sendiri. Imprealisme
ideologi dan politik akan menjajah mereka.

12
1

C. Digitalisasi Penyiaran

Suatu perjanjian yang ditandatangani 16 Juni 2006 sebagai suatu keputusan dalam
Regional Radiocommunication Conference (RRC-06) yang diselenggarakan oleh International
Telecommunication Union (ITU) di Geneva, telah menandai upaya internasional untuk
melaksanakan pembangunan digitalisasi terhadap seluruh penyiaran radio dan televisi
terrestrial. Menurut Yoshio Utsumi, Secretary-General of ITU, “is that the new digital Plan
provides not only new possibilities for structured development of digital terrestrial broadcasting
but also sufficient flexibihities for adaptation to the changing telecommunication environment.”

Konferensi antarnegara anggota ITU tersebut telah menargetkan bahwa pada tahun 2015
seluruh negara di dunia telah beralih ke digital sesuai dengan target the Millennium
Development Goals (MDGs). Konferensi tersebut menyetujui bahwa periode transisi dari
analog ke digital dimulai pada pukul 00.01 UTC pada tanggal 17 Juni 2006 dan akan berakhir
pada tanggal 17 Juni 2015, walaupun beberapa negara mengajukan tambahan waktu selama 5
tahun untuk penyiaran pada band frekuensi Very High Freguency (VHF) atau kisaran 174-230
MHz.

Di Indonesia, pada tanggal 13 Agustus 2008 Wakil Presiden M. Jusuf Kalla telah
melakukan soft-launching televisi digital di Jakarta. Ini berarti babakan baru teknologi
penyiaran Indonesia telah dimulai. Migrasi dari analog ke digital dirancang akan berakhir (cut
off) pada tahun 2017. Artinya, pada tahun 2017 seluruh penyiaran di Indonesia akan berbasis
digital.

Langkah Indonesia untuk memulai percobaan untuk “me, matikan” penyiaran analog, telah
lebih dahulu dilakukan d belahan dunia lain. Di Jerman, proyek ini telah dimulai Sejap tahun
2003 lalu untuk kota Berlin dan 2005 untuk Munich Di Inggris, akhir tahun 2005 dilakukan
percobaan Untuk mematikan beberapa siaran analog. Hal ini untuk memastika, bahwa pematian
total sistem analog bisa dilakukan pada tahu 2012 (sehingga tidak shock).
1
Carl O. Christol. The Modern International Law of Outer Space, (New York: Pergemon Press,
Inc, 1982), hlm. 566
13
Jepang merencanakan era digital pada 24 Juli 2011. Dj Amerika Serikat, tanggal 17
Februari 2009 seharusnya menjadi sebagai hari selamat tinggal bagi TV Analog, tetapi karena
terkendala kesiapan masyarakatnya akibat krisis ekonomi maka ditunda hingga 12 Juni 2009.
Tahun 2010, Prancis juga akan menerapkan hal yang sama. Sementara Belanda dan Italia, saat
ini sudah berada pada era digitalisasi penyiaran.

Menurut data dari kementerian komunikasi dan informatika, road map migrasi ke digital
akan dibagi dalam tiga tahap. Tahap pertama (2008-2012) dilakukan moratorium perizinan
penyiaran analog, pengenalan televisi digital, periode simulcast (maksudnya lembaga penyiaran
menyiarkan analog dan digital bersamaan), dan migrasi secara selektif di kota-kota besar.

Tahap kedua (2013-2017) seluruh penyiaran analog telah pindah ke digital khusus di kota
besar dan beberapa daerah pilihan, serta memulai perizinan baru dalam konteks penyiaran
digital. Terakhir (2017) seluruh penyiaran telah migrasi ke digital (cut off). Argumentasi utama
pemerintah mengapa harus migrasi dari analog ke digital adalah solusi untuk ketersediaan ruang
(slot) bagi penyelenggaraan penyiaran. Maksudnya, ketersediaan spektrum frekuensi yang saat
ini digunakan untuk siaran analog tidak mencukupi. Antara permohonan pendirian lembaga
penyiaran dengan spektrum yang ada tidak seimbang. Digitalisasi menjadi solusi karena dengan
teknologi ini, satu kanal spektrum frekuensi yang dulunya hanya diisi oleh satu siaran analog,
dengan sistem digital dapat digunakan untuk melayani 6 program siaran televisi dan 28 siaran
radio.

Menurut rencana, penyiaran digital di Indonesia akan beroperasi pada band III, IV dan V
UHF (kanal 22 - 48). Band III akan diperuntukkan bagi radio siaran digital. Dengan pita
frekuensi selebar 7 MHz, maka satu kanal frekuensi pada Band III dapat menyalurkan 28
program siaran. Rencananya setiap wilayah siaran akan diberikan 2 kanal frekuensi. Jika di
Makassar terdapat 14 radio siaran FM eksisting, maka cukup dengan satu kanal, seluruh
lembaga penyiaran yang ada terlayani. Ini berarti membuka peluang 42 radio siaran baru.

Untuk televisi, rencananya akan dialokasikan pada band IV dan V. Setiap kanal frekuensi
selebar 8 MHz dapat digunakan untuk membawa 6 program siaran TV. Informasi yang
berkembang, setiap wilayah siaran akan diberi 6 kanal spektrum frekuensi. Itu berarti akan ada
36 program siaran yang dapat disalurkan. Jika sekarang di Makassar terdapat 13 siaran televisi
(nasional dan lokal) maka akan tersedia 23 program yang lowong. Itulah sebabnya mengapa
digitalisasi bukan hanya solusi terhadap keterbatasan spektrum, tetapi juga peluang bagi minat
investasi di bidang penyiaran.

Selain peningkatan di sisi kuantitas, teknologi penyiaran digital pun menawarkan


kehandalan di sisi kualitas penerimaan yang jauh lebih baik dibandingkan penyiaran analog.
Selain itu, teknologi penyiaran digital memungkinkan penggunaan menara pemancar bersama
untuk menyalurkan semua program siaran pada suatu wilayah layanan. Sehingga akan tercapai

14
suatu efisiensi infrastruktur yang sangat baik dan penerimaan siaran yang sampai di masyarakat
pun akan merata.

Dalam hal konten siaran, regulator (KPI dan pemerintah) dapat menjamin terciptanya
diversity of content yang lebih tajam. Bukanlah hal mustahil jika setiap program berbeda
segmen: tasinya. Ada program khusus berita, olahraga, anak, perempuan dan sebagainya.
Publik akan mempunyai banyak pilihan tayangan, dan tentu saja kualitas menjadi taruhannya.
Jika Indonesia tidak turut melakukan migrasi ke digital, dalam hal ini terdapat dua pilihan.
Pertama, pemerintah harus menjamin ketersediaan suku cadang karena produsen asing
umumnya akan beralih ke digital. Sebagai informasi, mayoritas peralatan yang digunakan
industri penyiaran di Indonesia diimpor dari luar negeri. Pilihan kedua adalah kita harus mampv
untuk memproduksi sendiri suku cadang analog. Ketersediaan teknologi, bahan baku, dan skill
adalah persoalan lainnya. Migrasi dari analog ke digital tidak hanya berkisar teknologi: Migrasi
ini juga akan membawa perubahan besar dalam konteks penyelenggara (lembaga) penyiaran.
Jika selama ini sebuah lembaga penyiaran memiliki keseluruhan, mulai dari studio,program,
pemancar sampai sewa Satelit, maka pada era digital tidak lagi demikian.

Pemerintah sudah merancang bahwa nantinya terdapat dua bagian dalam kelembagaan
penyiaran digital. Yaitu, penyedia infrastruktur dan penyedia program. Penyedia infrastruktur
adalah lembaga atau perusahaan yang diberikan izin untuk menyediakan infrastruktur penyiaran
digital. Dalam hal ini Sistem pemancaran, antena dan satelit. Dengan kata lain, sebagai
Penyedia hardware penyiaran digital.Penyedia program adalah lembaga yang diberikan izin
untuk menyiarkan siarannya melalui kanal programi yang disediakan oleh penyelenggara
infrastruktur. Untuk menjadi penyedia program maka sebuah perusahaan harus menyewa satu
kanal program pada penyelenggara infrastruktur. Selain itu, terlebih dahulu harus memperoleh
izin prinsip sebagai lembaga penyedia program melalui mekanisme perizinan yang melibatkan
KPI dan pemerintah,

Perdebatan yang terjadi sampai detik ini adalah bagaimana menentukan siapa
penyelenggara infrastruktur. Ada kekhawatiran terjadi monopoli bilamana pihak yang ditunjuk
atau diizinkan pemerintah sebagai penyelenggara infrastruktur berperan pula sebagai penyedia
program. Menteri Komunikasi dan Informatika RI memberi isyarat bahwa PT Telkom
kemungkinan besar akan berperan sebagai penyelenggara infrastruktur. Selain iru TVRI
didorong untuk menyediakan infrastruktur khusus bagi lembaga penyiaran publik.
Kemungkinan lain adalah konsorsium dari lembaga penyiaran swasta yang telah ada. Dampak
dari perubahan sistem kelembagaan penyiaran ini akan menimbulkan dua hal pula. Pertama,
lembaga penyiaran eksisting akan menghadapi persoalan aset. Jika aset peralatan yang dimiliki
saat ini tidak ready to digital, maka dapat dipastikan @set mereka tersebut akan menjadi besi
tua dan investasi baru harus dilakukan. Sebagai contoh, transmitter atau pemancar yang dulunya
dioperasikan untuk langsung diterima publik melalui antena UHF (teresterial) harus diganti
dengan pemancar digital yang diarahkan ke stasiun penyelenggara infrastruktur. Atau mungkin
pula menggunakan fiber optie jika jarak antarstasiun tidak jauh. Oleh penyelenggara

15
Infrastruktur baru kemudian dipancarkan ke publik dengan format digital. Hal yang kedua
adalah sisi positif karena akan terjadi efisiensi biaya Lembaga penyiaran penyedia program
harus menyewa satelit, membiaya pemancar berdaya besar 2, menggunakan tower yang tinggi
dan banyak untuk relai Seting perangkat itu disediakan oleh penyelenggara infrastruktur Karena
itu pula sistem ini menjamin kualitas penerimaan surg di seluruh wilayah layanan akan sarna,
berbeda dengan kondisi , analog yang masih bergelut dengan persoalan “semut”, “ghost
shadow" atau “blankspot”.

Sisi positif efisiensi biaya ini tentu saja akan memancy gairah investor, terutama pengusaha
lokal. Pengusaha vay bermunat mendirikan lembaga penyiaran penyedia program Cukup
berpikir bagaimana membiayai acara yang akan disiarkan Masalah kanal jangan khawatir,
karena dengan sistem di gital masih banyak kanal program yang tersedia. Tantangannya adalah
bagaimana menyiarkan acara yang berkualitas yang bermanfaat bagi masyarakat dan tentu saja
tantangan ini juga dihadapi oleh KPI sebagai regulator program.

Migrasi penyiaran analog ke digital jika dilihat dari satu sisi maka cenderung hanya untuk
merespons kecanggihan teknologi dan kebutuhan kanal bagi investor. Dalam rilis pemerintah,
pasca peluncuran, yang pertama akan dikaji pemerintah adalah model bisnis penyiaran. Aspek
kesiapan masyarakat “hanya” menjadi pelengkap. Tidak ada kejelasan tentang mengapa tahun
2017 dicanangkan sebagai tahun cut off analog ke digital? Apakah pada tahun tersebut rakyat
Indonesia benar-benar siap beralih ke digital? Mengapa migrasi ini tidak dilakukan secara
alami, seperti halnya peralihan AM ke FM, atau dari TV hitam putih ke TV penuh warna?
Mengapa harus dimatikan total secara serentak? Publik sebagai pihak yang menjadi
“komoditas” bisnis penyiaran (baca: rating) harus terlibat. Paling tidak publik harus tahu bahwa
sebentar lagi pesawat televisi dan radio analog mereka tidak akan berfungsi. Publik harus
menyediakan uang ekstra untuk membeli konverter (set top box) yang harga termurahnya saat
ini berkisar 500 ribu. Atau membuang televisi analognya dan membeli baru yang digital.
Bukankah publik saat ini kesulitan membeli makan? Harga BBM terus naik, krisis listrik dan
air, biaya pendidikan mahal dan seterusnya, yang begitu menjerat leher publik? Belum lagi
dengan pertanyaan, apakah dengan digital akan menjamin publik memperoleh penyiaran yang
sehat?

Pemerintah telah memutuskan sistem Digital Video Broadcasting-Terrestrial (DVB-T)


sebagai standar nasional Indonesia karena dari hasil uji coba yang dilakukan oleh Tim Nasional
Migrasi TV dan Radio dari Analog ke Digital, teknologi DVB-T lebih unggul dan memiliki
manfaat lebih dibandingkan dengan teknologi penyiaran digital lainnya. Teknologi ini mampu
memultipleks beberapa program sekaligus, di mana enam program siaran dapat “dimasukkan”
ke dalam satu kanal TV berlebar pita 8 MHz, dengan kualitas jauh lebih baik. Ibarat satu lahan,
yang semula hanya dapat dimanfaatkan untuk satu rumah, dengan teknologi ini mampu
dibangun enam rumah dengan kualitas bangunan jauh lebih baik dan kapasitas ruangan lebih
banyak. Di samping itu, penambahan varian DVB-H (handheld) mampu menyediakan

16
tambahan sampai enam program siaran lagi untuk penerimaan bergerak (mobile). Hal ini sangat
memungkinkan bagi penambahan siaran-siaran TV baru.

Bagi industri radio, secara logis akan ditentukan penggunaan teknologi DAB (Digital
Audio Broadcasting) yang dikembangkan sebagai penyeimbang teknologi DVB-T sebagaimana
sudah diimplementasikan di lebih dari 40 negara, khususnya negara. negara Eropa. Teknologi
DAB bila dikembangkan mengguna. kan teknologi Digital Multimedia Broadcasting (DMB),
yaitu dengan menambahkan DMB multimedia prosesor, akan mampu menyiarkan konten
gambar bergerak sebagaimana siaran TV. Hal ini telah menstimulasi para pelaku industri radio
untuk mengembangkan bisnisnya dengan menambah konten berupa gambar bergerak, seperti
informasi cuaca, petajalan, video clip, dan film, sebagaimana yang terjadi di industri televisi.

Berbeda dengan industri TV yang harus secara total bermigrasi ke digital karena tuntutan
perkembangan teknologi, migrasi digital dalam industri radio hanya sebuah pilihan karena
teknologi radio FM dianggap sudah cukup memiliki kualitas dan efisiensi yang baik. Apalagi
belum lama ini pemerintah baru selesai menata ulang alokasi frekuensi radio FM yang
berkonsekuensi pada perpindahan frekuensi bagi sebagian besar Operator radio dan timbulnya
biaya investasi tambahan bagi Operator radio tersebut. Teknologi radio FM tetap akan bertahan
sampai belasan tahun ke depan.Implementasi sistem TV digital di Eropa, Amerika, dan Jepang
sudah dimulai beberapa tahun lalu. Di Jerman, proyek ii telah dimulai sejak tahun 2003 untuk
kota Berlin dan tahun 2005 untuk Muenchen dan saat ini hampir semua kota besar di Jerman
sudah bersiaran TV digital. Belanda telah memutuskan untuk melakukan switch off
(penghentian total) siaran TV analognya sejak akhir 2007. Perancis akan menerapkan hal sama
pada tahun 2010. Inggris sejak akhir 2005 telah melakukan uji cobe memaukan beberapa siaran
analog untuk menguji penghenuan total sistem analog bisa dilakukan pada tahun 2012. Kongres
Amerika Serikat telah memberikan mandat untuk menghentikan siaran TV analog secara total
pada 2009, begitu pula Jepang pada 2011. Negara-negara di kawasan Asia juga sudah mulai
melakukan migrasi total. Di Singapura, TV digital diluncurkan sejak Agustus 2004 dan saat ini
telah dinikmati lebih kurang 250.000 rumah. Di Malaysia, uji coba siaran TV digital juga sudah
dirintis sejak 1998 dengan dukungan dana sangat besar dari pemerintah dan saat ini siarannya
sudah bisa dinikmati lebih dari 2 juta rumah.

Belajar dari pengalaman negara lain, jika kita melihat penyiaran digital di Jepang sering
dikenal dengan istilah Chyow Dejitaru Terebi Housou'? telah mulai diperkenalkan sejak 1
Desember 2003. Hal menarik yang patut dicontoh dari proses digitalisasi di negara Sakura ini
adalah sosialisasi tentang migrasi analog ke digital yang akan cut off pada 24 Juli 2011.
Langkah pertama yang dilakukan pemerintah Jepang dalam mensosialisasikan migrasi analog
ke digital adalah dengan pemberian stiker. Stiker yang berisi rencana migrasi tersebut
ditempelkan pada seluruh TV analog yang masih dijual. Masyarakat ketika akan membelinya
diharapkan sudah mengerti bahwa TV analog yang akan dibeli tersebut hanya bisa dipakai
sampai tahun 2011. Juga ada stiker yang dipasang pada televisi digital yang dijual dengan

17
harapan pembeli dapat mempertimbangkan ketika membeli agar masyarakat tidak tertipu dan
kecewa.

kualitas gambar yang baik, yaitu high vision digital television (HDTV), tapi masih dengan
jenis penyiaran analog. Pada tahun 2000 ini pula muncul tiga jenis penyiaran baru selain
penyiaran teresterial (chijou) di atas, yaitu penyiaran dengan menggunakan satelit atau
broadcasting via satellite (BS). Ketiga jenis penyiaran via satelit itu adalah (1) BS Analog
Broadcasting (2) BS Analog High Vision Broadcasting dan (3) BS Digital Broadcasting.
Kemudian baru pada tahun 2003 Jepang mempromosikan penyiaran TV digitalnya secara
teresterial, menyusul penyiaran TV digital via satelit yang sudah dilaunching sejak tahun 2000.
Munculnya penyiaran secara teresterial ini tentu mendapat sambutan sangat baik. Kualitas
penyiaran digitalnya bisa diperoleh dengan bebas tanpa harus membayar (gratis) tidak seperti
halnya jika berlangganan TV satelit. Untuk siaran via satelit sendiri, BS Analog High Vision
akan diakhiri tahun 2007 ini. Sedangkan BS analog biasa akan diakhiri bersamaan dengan
diakhirinya penyiaran analog teresterial pada 24 Juli 2011 nanti. Khusus untuk BS digital,
siaran ini tidak akan dihentikan pada 2011, melainkan akan dipakai terus bersamaan dengan
penyiaran TV digital teresterial chi-deji." Berbeda halnya dengan Amerika Serikat (AS). Negeri
paman sam ini, seharusnya akan migrasi total pada tanggal 17 Februari 2009, namun hasil riset
menunjukkan bahwa sekitar 13 juta rumah tangga di Amerika Serikat tidak siap menghadapi
transisi digital yang datang begitu cepat. Selain itu, riset juga mencatat sekitar enam juta rumah
memiliki pesawat TV yang tidak bisa lagi digunakan ketika proses transisi terjadi. Karena itu
rencana migrasi total tersebut diundur sampai tiga bulan berikutnya.

Menjelang berlakunya migrasi total tersebut, ada tiga arahap yang diberikan pemerintah AS
kepada rakyatnya, yaitu:

Pertama, berlakulah konverter (set top box) alat yang dapa mengubah siaran digital untuk
dapat disaksikan melalui, televisi analog. Artinya, tidak usah beli televisi baru. Untu tidak
memberatkan rakyatnya akibat migrasi ini, pemerinty AS menyediakan kupon senilai 40 dolar.
Program ini bernany “TV Converter Box Coupon Program'. Selain sosialisasi melaly tayangan
televisi, situs internet khusus diluncurkan (www dtv2009.com) dan nomor khusus bebas pulsa
1-888-DTV-2009 Kupon ini sudah mulai tersedia mulai 1 Januari 2008 samp4 31 Maret 2009.
Permintaan bisa melalui telepon, surat, fax, dan online internet. Setiap keluarga dapat meminta
sampai dua lembar kupon.

Saran kedua, adalah belilah televisi baru yang memiliki program digital ATSC (Advanced
Television Systems Committee) yang harganya di bawah 100 dolar. Terakhir, berlanggananlah
pada penyedia saluran televisi berbayar (pay TV), karena televisi berlangganan telah
menyalurkan siarannya dalam format digital. Jika migrasi analog ke digital di Indonesia mulai
berlangsung, maka sejumlah masalah baru menanti. Selain faktor daya beli masyarakat dan
jaminan atas konten siaran yang berkualitas, masalah regulasi dalam bidang penyiaran perlu

18
menjadi perhatian. UU Penyiaran beserta peraturan pelaksananya perlu dikaji kembali apakah
masih sesuai atau harus direvisi.Hal terpenting adalah pengertian lembaga penyiaran.

Jika sebelumnya nomenklatur ini meliputi seluruh aspek kelembagaan penyiaran, maka
dengan sistem digital tentu harus dipertegas mana yang dimaksud dengan lembaga
penyiaran.Apakah penyelenggara infrastruktur atau hanya penyedia program? Pengertian ini
akan sangat terkait dengan mekanisme perizinan. Hal krusial lain yang akan dihadapi adalah
tentang lembaga penyiaran komunitas. Dengan sistem digital, tidak lagi dapat diatur coverage
area yang hanya 2,5 kilometer dan daya pancar 50 watt bagi LPK. Sehingga redefinisi tentang
LPK diperlukan, karena dengan sistem digital hakikat komunitas yang berbasis demografi
dalam UU Penyiaran dapat teranulir.

Masih banyak masalah yang akan dihadapi dengan migrasi analog ke digital ini. Dengan
demikian, sepertinya kita harus menyambut kedatangan abad baru sistem telekomunikasi
terutama dalam bidang penyiaran. Sosialisasi dan pengkajian yang komprehensif adalah tugas
utama pemerintah. Agar rencana peluncuran migrasi pada hari kemerdekaan tahun ini tidak
berbuah penjajahan baru bagi bangsa atas nama teknologi.

D. Sertifikasi Peralatan Teknis

UU Penyiaran mensyaratkan bahwa setiap lembaga penyiaran wajib mematuhi atau


mengikuti standar teknis peralatan penyiaran yang telah ditetapkan pemerintah. Rencana dasar
teknik penyiaran memuat hal-hal yang berkaitan dengan pendirian stasiun penyiaran meliputi
arah kebijakan penyelenggaraan penyiaran dengan mempertimbangkan perkembangan
teknologi penyiaran, kecenderungan permintaan pasar, ekonomi, sosial, budaya, dan kondisi
lingkungan lainnya, kemudian pedoman propagasi maksimum dan pengembangan wilayah
jangkauan penyiaran, penggunaan spektrum frekuensi radio untuk penyiaran, pemanfaatan
teknologi baru, dan penggelaran infrastruktur penyiaran, pedoman mengenai daftar Perangkat
transmisi penyiaran yang digunakan atay dioperasikan untuk keperluan penyelenggaraan
penyiaran wajib memiliki standar nasional dan memenuhi persyaratan teknis sesuai dengan
ketentuan dan peraturan perundang-undanga yang berlaku.

Penetapan persyaratan teknis perangkat transmis dilaksanakan atas dasar hasil


pengembangan industri, inova serta rekayasa teknologi penyiaran, dan telekomunikasi nasional
adopsi standar internasional atau standar regional, atau adaptasi standar internasional atau
standar regional. Pemerintah Indonesia juga mengatur bahwa alat dan perangkat penyiaran yang
digunakan mengutamakan produksi dalam negeri. Sehingga setiap perangkat transmisi yang
dibuat, dirakit, diperdagangkan, dioperasikan dan dimasukkan ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia untuk keperluan penyiaran wajib disertifikasi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk keperluan sertifikasi tersebut,
pemerintah telah menunjuk Kementeria" Negara Komunikasi dan Informatika yang

19
membawahi Direk torat Jenderal Pos dan Telekomunikasi sebagai institusi yang pertanggung
jawab terhadap proses sertifikasi tersebut.

Kewajiban untuk Sertifikasi peralatan merupakan implikasi dari peraturan pada UU No. 36
Tahun 1999 tentang Telek mu nikasi, khususnya Pasal 32 ayat (1) yang menyebutkan, bahwa
perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan, dibuat, dirakit dimasukkan dan/atau digunakan
di wilayah Negara Republik Indonesia wajib memperhatikan persyaratan teknis d berdasarkan
izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam penjelasan yang juga
tertera di dalam UUtersebut disebutkan, bahwa persyaratan teknis alat/perangkat
telekomunikasi merupakan syarat yang diwajibkan terhadap alat/ perangkat telekomunikasi
agar pada waktu dioperasikan tidak saling mengganggu alat/perangkat telekomunikasi lain
dan/atau jaringan telekomunikasi atau alat/perangkat selain perangkat telekomunikasi.
Persyaratan teknis dimaksud lebih ditujukan terhadap fungsi alat/perangkat telekomunikasi
yang berupa parameter elektris elektronis serta dengan memperhatikan pula aspek di luar
parameter elektris/elektronis sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan aspek lainnya, misalnya
lingkungan, keselamatan, dan kesehatan.

Untuk menjamin pemenuhan persyaratan teknis alat/perangkat telekomunikasi, setiap alat


atau perangkat telekomunikasi dimaksud harus diuji oleh balai uji yang diakui oleh pemerintah
atau institusi yang berwenang. Ketentuan persyaratan teknis memperhatikan standar teknis yang
berlaku secara internasional, mempertimbangkan kepentingan asyarakat, dan harus berdasarkan
pada teknologi yang terbuka.

2
"Lihat Khoirul Anwar. Menengok Jepang dalam Mengakhiri Penyiaran TV Analog-nya.
Sumber internet: www. beritaiptek.com edisi 21 Mei 2007
3
“Ibid. Him. 44 Lihat pula Charles M. Rush. HF Propagation: What We Know and What We
Need to Know, makalah pada Second International Conference On Antennas and Propagation,
hlm. 230.
20
BAB III

PENUTUP

a. Kesimpulan
Hukum Penyiaran adalah seluruh kaidah dan aturan yang menyangkut kegiatan
pemancarluasan, termasuk sarana teknis, sistem dan spektrum frekuensi hingga penerimaan
masyarakat secara serentak melalui alat penerima siaran. Catatan utama dari pengertian ini
mengindikasikan bahwa segala bentuk teknologi telekomunikasi yang memancarluaskan
“siaran” yang dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat melalui alat
penerima siaran dikategorikan sebagai penyiaran. Saat ini, regulasi baru menetapkan dua jenis

21
telekomunikasi yang dikategorikan sebagai penyiaran, yaitu radio siaran dan televisi. Sehingga
Hukum Penyiaran hanya berlaku bagi kedua jasa penyiaran tersebut.
Sistem penyiaran semakin berkembang dengan digunakannya satelit untuk mendukung
propagasi siaran dalam menjangkau wilayah yang lebih luas. Sistem penyiaran menggunakan
satelit sangat bermanfaat bagi negara-negara yang memiliki wilayah negara yang luas seperti
halnya Indonesia. Sistem penyiaran satelit pada prinsipnya sama dengan sistem terrestrial,
hanya saja memperoleh bantuan penguatan dan pantulan (ceiling) pada satelit yang mengorbit
pada garis edar GSO (Geostationery Orbit).Satelit komunikasi pada hakikatnya adalah stasiun
penghubung gelombang mikro? yang diletakkan di ruang angkasa pada suatu ketinggian
tertentu. Stasiun Pancar Bumi (Ground Station) mengirimkan gelombang mikro (microwaves)
melalui antena parabola yang diarahkan tepat pada kedudukan satelit pada garis edar orbit
satelit (Geostationery Orbit).
Spektrum frekuensi adalah “res communes” atau merupakan milik bersama umat
manusia (common thing) dan bukan “res nullius” (a thing belonging to no one). Jika disebut
sebagai res nullius, maka siapa yang menemukannya, maka dia berhak mengklaim sebagai
miliknya. Walaupun dikatakan spektrum frekuensi sebagai common thing, akan tetapi untuk
menggunakan spektrum yang terbatas itu dibutuhkan suatu mekanisme perizinan, baik di
tingkat nasional maupun internasional. Kondisi ini tampak paradoksal, karena sepertinya
seseorang tidak bisa memanfaatkan sesuatu yang menjadi “haknya” begitu saja walaupun itu
dikatakan milik bersama. Kenyataan yang ada, khususnya di Indonesia, banyak sekali pengguna
frekuensi ilegal, yang salah satu alasan tindakan mereka adalah karena kerumitan dan mahalnya
perizinan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

'John Stevenson, Telecommunications (Jakarta: Gramedia, 1987), hlm

Carl O. Christol. The Modern International Law of Outer Space, (New York: Pergemon Press,
Inc, 1982), hlm. 566

"Lihat Khoirul Anwar. Menengok Jepang dalam Mengakhiri Penyiaran TV Analog-nya.


Sumber internet: www. beritaiptek.com edisi 21 Mei 2007

22
“Ibid. Him. 44 Lihat pula Charles M. Rush. HF Propagation: What We Know and What We
Need to Know, makalah pada Second International Conference On Antennas and Propagation,
hlm. 230.

Judhariksawan. 1993. “Pengalokasian Frekuensi dan Penetapan Daya Pancar Radio Siaran,”
hlm 129.

Ibid. Him. 44 Lihat pula Charles M. Rush. HF Propagation: What We Know and What We
Need to Know, makalah pada Second International Conference On Antennas and Propagation,
hlm. 230.

23

Anda mungkin juga menyukai