Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

LATAR BELAKANG FILOSOFIS KELUARNYA UU PERFILMAN,


KAITAN ANTARA UU PERFILMAN DAN MEDIA PENYIARAN

DI SUSUN OLEH :

NAMA : DEDY CORNELIUS BANGUN


NIM : 44114320015
JURUSAN : BROADCASTING
MATA KULIAH : HUKUM DAN ETIKA PENYIARAN
DOSEN : ARYADILLAH, S.Sos.I,MM,M.Ikom

UNIVERSITAS MERCU BUANA,PROGRAM KELAS KARYAWAN


FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan
rahmat Nya kepada saya, sehingga makalah singkat ini dapat saya
selesaikan tepat pada waktu nya sesuai yang di jadwalkan oleh Bapak
Dosen. Makalah ini berjudul “Latar Belakang Filosofis keluarnya UU
perfilman, kaitan antara UU Perfilman dan Media Penyiaran yang saya
susun dan saya kutip dari beberapa refrensi buku yang terbit secara legal
dan refrensi dari situs resmi oraganisasi perfilman. Banyak hal yang saya
dapat kan ketika menyusun makalah ini, mengetahui tentang perfilman dan
juga sejarah UU perfilman di Indonesia. Saya sangat menikmati dalam
penyusunan makalah ini yang dapat mendorong saya,dan juga teman teman
lain nya menjadi mahasiswa yang enerjik dan mengasah kemampuan untuk
mempunyai wawasan yang lebih luas lagi. Sebagian isi makalah ini memang
ada lahir nya dari pemikiran saya sendiri tetapi masih di bawah naungan
refrensi buku yang saya baca.

Saya berharap makalah yang saya buat ini dapat bermanfaat bagi
kita semua yang membaca nya dengan seksama. Apabila ada kekurangan
dari makalah ini,baik secara penulisan bahasa, saran dan kritik adalah suatu
masukan bagi saya, karena saya adalah mahasiswa yang sedang belajar
untuk memperluas wawasan di bidang komunikasi. Di akhir kata saya
mengucapkan Terima Kasih yanbg sebesar-besar nya.

Jakarta 03 November 2016

Dedy Cornelius Bangun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................. i

DAFTAR ISI................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang........................................................................................ 1


1.2 Rumusan masalah................................................................................... 2
1.3 Tujuan .................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Latar belakang Filosofis keluarnya UU Perfilman................................. 3

2.1.1 Lahir nya KPI (Komisi Penyiaran Indonesia)........................ 5

2.1.2 Peran Media............................................................................ 6

2.2 Kaitan UU Perfilman dengan Media Penyiaran..................................... 7

2.2.1 UU Perfilman Di Sah kan....................................................... 9

2.2.2 Regulasi Penyiaran................................................................ 10

2.2.3 Perjuangan Media Penyiaran menjadi suatu Demokrasi....... 12

2.2.4 Dilema KPI............................................................................ 14

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan............................................................................................ 15

3.2 Saran...................................................................................................... 15

DAFTAR ISI............................................................................................... 16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1
Sistem pemerintahan di indonesia selalu bertujuan untuk menjaga
kestabilan negara, karena setiap negara memiliki sistem pemerintahan yang
berbeda, maka dari itu makalah ini di buat untuk membahas tentang latar
belakang keluarnya UU perfilman dan juga kaitan antara UU perfilman
dengan media. Dengan masuk sistem komunikasi visual atau broadcasting
televisi di indonesia, tentunya mengalami suatu perubahan pada sistem
pemerintahan, baik secara perekonomian,politik,budaya, dan sikap perilaku
sosial secara global.

Kita mengetahui kemajuan arus komunikasi di indonesia sangat


berkembang dengan pesat. Melihat fenomena ini banyak tuntutan akan suatu
kebutuhan informasi teknologi secara tepat,akurat,tajam terpercaya di dalam
era globalisasi. Tanpa kita sadara kebutuhan ini terus mendesak dan mau
tidak mau kita harus masuk ke dalam nya. Pemerintah indonesia sangat
merespon, bahwa pemerintah sebagai regulator akan perkembangan
tersebut,maka pada tahun 1962 adalah tonggak sejarah terbesar di dalam
dunia telekomunikasi penyiaran, yaitu tepat pada 17 agustus 1962 yang di
resmikan oleh presiden republik Indonesia Ir.Soekarno.

1
Eva arifin,broadcasting to be broadcaster, jakarta,graha ilmu,2010, hal 36

1
1.2 Rumusan Masalah

Untuk mengkaji dan mengulas tentang perfilman dan dan kaitan nya dengan
media penyiaran diperlukan pokok pembahasan seperti berikut :

1. Apa yang melatarbelakangi keluarnya UU perfilman di indonesia


2. Bagaimana kaitan UU perfilman dan media penyiaran
3. Kapan UU perfilman di sah kan
4. Tentang Regulator media penyiaran

1.3 Tujuan

Tujuan makalah ini untuk mengkaji, membahas sekaligus mengetahui


sejarah dan filosofi tentang UU perfilman serta kaitan nya dengan media
penyiaran di indonesia.

2
2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Latar belakang Filosofis keluarnya UU Perfilman

Di masa orde baru dalam sejarah perkembangan perfilman nasional,


pada tanggal 5 agustus 1964 telah di terbit kan penetapan presiden nomor
1/1964 dan dalam penetapan presiden tersebut diantara nya ada penegasan
bahwa : “Film bukan lah semata-mata barang dagangan,melainkan alat
penerangan”.

Berdasarkan penetapan presiden itu,maka melalui instruksi presiden


no 12/1964, urusan film di alihkan ke kementrian penerangan sejauh
menyangkut panitia pengawas film, pada tanggal 21 mei 1965 di tindak
lanjuti dengan surat keputusan menteri penerangan no.46/SK/M/1965 yang
mengatur penyelenggaraan penyensoran film di Indonesia melalui suatu
lembaga yang bernama Badan Sensor Film.

Adapun fungsi dan tugas Badan Sensor Film tetap menitik beratkan
pada upaya menghindarkan masyarakat dari pengaruh buruk film, dan
memperjelas eksistensi dan fungsi film. Memasuki awal tahun 1990
keinginan sebagian besar masyarakat agar dibenarkan adanya bebarapa
stasiun televisi swasta untuk mendampingi TVRI semakin tak terbendung
lagi. Mulai lah di giatkan persiapan dan penyelenggaraan jajak pendapat
tentang perlunya Undang Undang tentang Perfilman.

Dan pada tanggal 30 Maret 1992 ditetapkan lah Undang Undang


No.8 tahun 1992 dinyatakan ada empat pengertian pokok yang menjadi
rujukan semua peraturan dan ketentuan di bidang Perfilman, yaitu :

1. Film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media
komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas
sinematografi dengan di rekam pada pita seluloid,pita video,piringan

2
Hidajanto,andi,dasar-dasar penyiaran,jakarta,kencana,2011,hal 248-250

3
video atau bahan penemuan teknologi lain nya dalam segala bentuk,jenis
dan ukuran yang dapat di pertunjukkan dan di tayangkan dengan sistem
proyeksi mekanik dan elektronik.
2. Perfilman adalah seluruh kegiatan yang berhubungan dengan
pembuatan,jasa
teknik,pengeksporan,pengimporan,pengedaran,pertunjukan,dan
penayangan film.
3. Jasa teknik Film adalah penyediaan jasa tenaga profesi atau peralatan
yang diperlukan dalam proses pembuatan film serta usaha pembuatan
reklame film.
4. Sensor film adalah penelitian dan penilaian terhadap film dan reklame
film untuk menentukan dapat atau tidak nya sebuah film di pertunjukkan
atau ditayangkan kepada umum, baik secara utuh maupun peniadaan
bagian gambar atau suara tertentu.

3
Masyarakat indonesia menyadari bahwa banyak perubahan yang
perlu dilakukan untuk memperbaiki dunia perfilman kita,khusus nya yang
berkaitan dengan aspek etika dan moral dalam membuat dan
mempertunjukkan atau menayangkan film untuk umum. Ada perubahan
yang lebih mendasar lagi, kalau dulu orang harus pergi ke bioskop untuk
menonton film, dan kini film itu yang mendatangi penonton dimana pun dia
berada dengan menonton di layar televisi di rumah.

Menghadapi kenyataan ini Lembaga Sensor Film harus


memberbaharui untuk dapat mengikuti perkembangan teknologi informasi
yang begitu pesat kemajuan nya. Maka tugas LSI tidak hanya sekedar
memotong atau menghapus apa yang tidak patut di tonton oleh
masyarakat,khusus nya remaja dan anak-anak,tetapi sekaligus membimbing
dan mengajak masyarakat untuk dapat mengembangkan sikap kritis.

3
Hidajanto,andi,dasar-dasar penyiaran,jakarta,kencana,2011,hal 248-250

4
2.1.1 LAHIR NYA KPI (KOMISI PENYIARAN INDONESIA)

4
Dalam UU no.32 Tahun 2002 tentang penyiaran sangat jelas
menunjukkan nuansa demokratis di bandingkan dengan sebelum nya.
Selanjut nya UU ini juga menyebutkan bahwa sistem penyiaran jaringan
pasal 31 sebagai alternatif bagi lembaga penyiaran swasta (LPS) untuk
memperluas jangkauan siaran nya.Pada tanggal 28 desember 2002 DPR
membahas tentang UU no.32 pasal 7 yang berbunyi bahwa perlu di bentuk
nya satu lembaga independen yang mengatur hal-hal mengenai penyiaran,
yaitu KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Selanjut nya pada pasal 7 ayat 2
dinyatakan bahwa KPI adalah lembaga independen yang setara dengan
lembaga negara seperti DPR,MA,BPK,dll. Beberapa Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) yang berfungsi memperkuat tugas media massa dalam
mendukung pembangunan. Beberapa BUMN ini antara lain :

1. Lembaga Sensor Film


Bertugas mensensor segala bentuk film asing dan dalam negeri yang
akan di siarkan pada stasiun televisi maupun bioskop di seluruh wilayah
indonesia. Hasil penyensoran akan mengeluarkan sebuah surat resmi
yang menyatakan yang di izinkan nya suatu film untuk di siarkan selama
satu tahun. Apabila masa waktu ini telah di lewati,maka film ini harus
dilakukan penyensoran ulang.
2. Pusat Produksi Film Negara
Bertugas memproduksi film film yang memiliki nilai budaya dan leluhur
bangsa indonesia,untuk disiarkan kepada masyarakat.
3. Percetakan Negara
Bertugas mencetak lembaran,surat,dan dokumen negara pada seluruh
institusi pemerintahan di Indonesia. Sehingga berbagai bentuk percetakan
kertas yang memiliki lambang kesatuan negara Republik Indonesia untuk
kepentingan penyelenggaraan pemerintahan harus di cetak oleh
percetakan negara.

4
Hidajanto,andi,dasar-dasar penyiaran,jakarta,kencana,2011,hal 248-250

5
2.1.2 PERAN MEDIA

5
Peran media memiliki pengaruh yang luar biasa dalam kehidupan
masyarakat yang bisa membentuk karakter bangsa secara luas dan sangat
cepat. Maka fungsi media dalam leyanan publik antara lain memberi
informasi,sarana pendidikan,hiburan,alat kontrol,dan perekat sosial. Akibat
dari perkembangan teknologi yang semakin pesat undang undang penyiaran
mengalami perubahan terutama undang undang perfilman yang telah di
sahkan secara resmi yaitu Undang undang Republik Indonesia no 33 tahun
2009 tentang Perfilman.

Berdasarkan UU no 33 tahun 2009 di bentuk lah Badan Perfilman


Indonesia (BPI) pada 17 januari 2014 yaitu sebuah badan perfilman yang di
bentuk oleh masyarakat perfilman dengan mendapatkan fasilitas negara.
Sesuai dengan UU no 33 tahun 2009 BPI bertugas untuk :

 Menyelenggarakan festival film di dalam negeri


 Mengikuti festival di luar negeri
 Meyelenggarakan festival film di luar negeri
 Mempromosikan indonesia sebagai lokasi pembuatan film asing
 Memberikan masukan untuk kemajuan perfilman
 Melakukan penelitian dan pengembangan perfilman
 Memberikan penghargaan
 Memfasilitasi pendanaan pembuatan film tertentu yang bermutu
tinggi

5 www.BPI.or.id

6
6
2.2 Kaitan UU perfilman dengan Media penyiaran

Jenis media penyiaran akan tercermin pada tayangan siaran nya di


layar kaca. Dalam hal ini terdapat beberapa klasifikasi pada jenis media
penyiaran yang dapat terbagi menurut format siaran,sumber
pendanaan,wilayah cakupan layanan,fungsi dalam jaringan,menurut kelas
dalam jaringan nasional (PP no.12/2005) dan menurut UU no.32/2002
tentang penyiaran.

Menurut format siaran,media penyiaran dapat di klasifikasikan sebagai :

 Media penyiaran pendidikan


 Media penyiaran berita
 Media penyiaran hiburan
 Media penyiaran umum

Menurut sumber pendanaan, media penyiaran diklasifikasikan juga sebagai :

 Media penyiaran publik


 Media penyiaran swasta
 Media penyiaran komunitas

Menurut wilayah cakupan layanan media penyiaran diklasifikasikan juga


sebagai berikut :

 Media penyiaran lokal seperti siaran FM radio


 Media penyiaran regional seperti siaran radio MW, yang mencakup
wilayah siaran sampai melintasi wilayah satu perkotaan.
 Media penyiaran nasional misal nya RRI dengan siaran dari stasiun
pusat jakarta.
 Media penyiaran Internasional yang mempunyai wilayah siaran
secara Internasional seperti RRI siaran luar negeri ( Voice Of
Indonesia ), BBC,ABC.

6
Hidajanto,andi,dasar-dasar penyiaran,jakarta,kencana,2011,hal 53-56

7
7
Menurut Fungsi dalam jaringan, berarti dari status dalam jaringan secara
operasional sehari-hari, yang di klasifikasikan sebagai :

 Media penyiaran Induk (stasiun pusat dari mana siaran berasal)


 Media penyiaran Relai, stasiun penerus pancaran semua program
dari stasiun induk.

Menurut kelas dalam jaringan Nasional, di klasifikasikan sebagai :

 Media penyiaran kelas A, merupakan stasiun pusat yang


berkedudukan di ibu kota Jakarta.
 Media penyiaran kelas B, merupakan stasiun daerah yang
berkedudukan di ibu kota provinsi.
 Media penyiaran kelas C, merupakan stasiun daerah yang
berkedudukan di ibu kota wilayah kota.

7
Hidajanto,andi,dasar-dasar penyiaran,jakarta,kencana,2011,hal 53-56

8
2.2.1 UNDANG UNDANG PERFILMAN DI SAH KAN

8
Media penyiaran tentu sangat berkaitan erat dengan UU perfilman karena
kita tahu perfilman di Indonesia ini sangat berkembang pesat karena adanya
media penyiaran seperti Radio dan Televisi. Sebagaimana yang tertulis pada
UU no 32 tahun 2002 pasal 3 tentang penyiaran yang berbunyi ;

1. Lembaga penyiaran yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio


atau jasa penyiaran televisi terdiri atas stasiun penyiaran jaringan
dan stasiun penyiaran lokal.
2. Lembaga penyiaran publik dapat meyelenggarakan siaran dengan
sistem jaringan yang menjangkau seluruh wilayah republik
indonesia.
3. Lembaga penyiaran swasta dapat meyelenggarakan siaran melalui
sistem stasiun jaringan dengan jangkauan terbatas.

Namun dengan demikian perfilman dan media penyiaran masih di bawah


naungan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), karena ini merupakan suatu
mata rantai yang saling berkaitan dan tak dapat di pisahkan.

8
Hidajanto,andi,dasar-dasar penyiaran,jakarta,kencana,2011,hal 53-56

9
9
2.2.2 REGULASI PENYIARAN

Menurut beberapa ahli yaitu Leen d’Haenens (2000) regulasi penyiaran di


bagi menjadi lima, yaitu :

I. Model Otoriter

Tujuan dalam model ini lebih sebagai upaya menjadikan penyiaran sebagai
alat negara, radio dan televisi sedemikian rupa di arahkan untuk mendukung
kebijakan pemerintah dalam melestarikan kekuasaan. Ciri khas dalam model
ini adalah kuatnya lembaga sensor terutama yang menyangkut perbedaan.
Hal ini sebagai konsekuensi keberbedaan yang di pandang sebagai sesuatu
yang tak berguna dan cenderung tidak bertanggung jawab, karena kadang
kala bersifat subjektif.

II. Model Komunis

Model komunis penyiaran memiliki semacam tritunggal fungsi,yaitu


propagandi,agitasi,dan organisasi. Aspek lain yang membedakan model ini
dari model otoriter adalah dilarang nya kepemilikan swasta, karena media
dalam model ini dilihat sebagai kelas pekerja, dan media merupakan sarana
sosialisasi,edukasi,informasi,motivasi,dan mobilisasi.

III. Model Barat Paternalistik

Sistem penyiaran ini banyak di terapkan oleh negara-negara eropa barat,


contoh nya inggris. Disebut paternalistik karena sifat nya yang TOP DOWN
yaitu dimana kebijakan media bukan apa yang di inginkan oleh audien tapi
lebih sebagai keyakinan penguasa, bahwa kebijakan yang di buat memang
di butuhkan dan di inginkan oleh rakyat. Dalam model ini penyiaran juga
memiliki tugas untuk melekatkan fungsi fungsi individu atas lingkungan
sosialnya.

9
Muhamad mufiq,komunikasi regulasi penyiaran,jakarta,kencana,2005,hal 70-71

10
IV. Model Barat Liberal

Secara umum sama dengan model barat paternalistik, hanya berbeda dengan
fungsi media komersial nya. Disamping sebagai penyedia informasi dan
hiburan media juga memiliki fungsi mengmbangkan hubungan yang penting
dengan aspek aspek lain yang mendukung independensi ekonomi dan
keuangan.

10
V. Demokratis Participan Model

Model ini dikembangkan oleh mereka yang mempercayai sebagai powerfull


medium, dan sifat komunikasi dalam model ini ada dua arah.

a. Secara fundamental regulasi penyiaran harus mengandung substansi,


seperti :
 Menetapkan sistem dengan bagaimana dan siapa yang berhak
mendapatkan lisensi penyiaran.
 Memupuk rasa nasionalitas
 Secara ekonomis, melindungi institusi media domestik dari
kekuatan asing
 Membangun media yang sehat serta menjaga keseimbangan
hubungan antara pengelola penyiaran,pemerintah,dan audien.
 Mengatur tata aliran keungan dari sumber yang berbeda. Dana
komersial,misal nya harus dibatasi guna melindungi konsumen
dari iklan yang eksesif paling tidak dari bentuk promosi tertentu
dan untuk mencegah pengaruh pengiklanan yang berlebihan
terhadap suatu acara.

b. Regulatory body yang berfungsi untuk :


 Mengalokasikan lisensi penyiaran
 Mengontrol dan memberi sanksi bagi pengelola penyiaran yang
melanggar mulai dari bentuk denda smpai pencabutan izin
 Memberi masukan kepada institusi legislatif

10
Muhamad mufiq,komunikasi regulasi penyiaran,jakarta,kencana,2005,hal 71-73

11
 Sebagai watchdog bagi independensi penyiaran dari pengaruh
pemerintah dan kekuatan modal
 Memberikan masukan terhadap penunjukan jajaran
kepemimpinan lembaga penyiaran publik
 Berperan sebagai penyelidik dan komisi komplain

2.2.3 PERJUANGAN MEDIA PENYIARAN MENJADI SUATU DEMOKRASI

11
Sudah banyak penelitian yang mengelaborasi relasi reformasi
dengan tuntutan demokratisasi media. Pada masa reformasi muncul desakan
untuk mengamandemenkanUU No.24 Tahun 1997 tentang penyiaran.
Rezim orde baru menerapkan sistem pengendalian dan sensor atas nama
persatuan nasional, dan juga sering kali menjalankan kontrol ketat terhadap
media yang secara faktual merupakan sensor untuk mengarahkan informasi
yang diberikan kepada publik sesuai apa yang di kehendaki oleh rezim
soeharto, dan juga mencegah penggunaan media massa untuk dapat di
gunakan sebagai instrumen kritik ata ketidak setujuan atas kebijakan rezim.

Dengan demikian media menjelma menjadi instrumen yang kuat


bagi indiktronisasi politik yang efektif bagi rezim. Setelah melewati masa
reformasi tuntutan demokratisasi media penyiaran disampaikan oleh para
pengusul pada rapat Paripurna tanggal 21 juli 2000, dan dari hasil
musyawarah DPR RI di putuskan untuk membahas dan penyempurnaan UU
tentang penyiaran. Setelah melalui proses panjang dan berbelit belit,
akhirnya Pansus (panitia khusus) menyepakati lahir nya RUU penyiaran
yang kemudia di presentasikan pada rapat paripurna DPR RI tanggal 20
maret 2001.

Seiring dengan dinamika kehidupan bangsa, yang diwarnai dengan


lengsernya Abdurahman Wahid sebagai presiden dan kemudia digantikan
oleh Megawati Soekarnoputri, yang di ikuti dengan pengubahan kabinet

11
Muhamad mufiq,komunikasi regulasi penyiaran,jakarta,kencana,2005,hal 94 -
102

12
pembahasan RUU penyiaran pun terhenti. Dan sekitar satu tahun kemudian
yakni pada tanggal 19 maret 2002, pemhbahasan RUU penyiaran di mulai
lagi. Dengan membentuk suatu lembaga penyiaran independen yaitu KPI.
Ketua KPI juga di angkat langsung oleh presiden atas usul DPR RI pada
tahun 2002.

12
Dengan lahirnya UU Penyiaran tahun 2002 di katakan bahwa ;
Untuk mempertemukan berbagai kepentingan, agar berbagai kepentingan
tersebut dapat bertemu dalam suatu lingkaran. Dan lingkaran tersebut
bernama kepentingan publik. Apakah itu masyarakat,kelompok politik,yang
memandang media sebagai alat penting,dan juga pemerintah yang
berkepentingan terhadap media untuk mensosialisasikan kebijakan.

Kontoversi terjadi karena masing masing punya ukuran yang


berbeda. Pada sisi lain masyarakat sebagai penerima juga memiliki ukuran,
yakni demokratisasi dunia penyiaran yang di tandai dengan desentralisasi
sistem penyiaran. Masing masing mereka yang memaksakan agar
kepentingan nya masuk dalam UU penyiaran, hal yang seperti itu justru
mengurangi makna demokratisasi penyiaran, karena pemilik media
mengatas nama kan publik untuk tujuan kepentingan media itu sendiri.

Terdapat proses saling mempengaruhi antar publik,nega,dan pasar.


Hal ini tidak lain karena penyusunan UU penyiaran 2002 telah menjadi apa
yang di sebut sebagai wilayah yang di perebut kan pihak pihak tersebut. UU
penyiaran 2002 sebagai realitas objektif pun bisa di warnai oleh dominasi
kelompok tertentu yang memiliki surplus sumber daya ekonomi atau politik.

12
Muhamad mufiq,komunikasiregulasi penyiaran,jakarta,kencana,2005,hal102-112

13
13
2.2.4 DILEMA KPI

Persilangan kepentingan, jika tidak bertentangan, kalangan industri


penyiaran dan KPI memang sudah lama terjadi. Hal ini menjadi logis karena
memang terdapat perbedaan kepentingan antara KPI dan industri. KPI
merupakan sebuah dari desakan demokratisasi penyiaran. Kalangan industri
penyiaran antara lain keberatan dengan posisi KPI yang diberi kewenangan
sangat besar untuk mengatur,mengawasi,dan membekukan
sementara,sampai mencabut izin siaran.

Menurut Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) KPI


mestinya tidak menetapkan standar mutu isi siaran,karena ketentuan itu
akan mengganggu kebebasan berekspresi,kebebasan pers,dan akan
memasung kreativitas. Namun dengan demikian wewenang yang di berikan
kepada KPI tidak lain untuk menjunjung tinggi PANCASILA.

13
Muhamad mufiq,komunikasi regulasi penyiaran,jakarta,kencana,2005,hal 164-
170

14
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Perfilman Indonesia sudah mencapai hampir 100 tahun, yang


merupakan waktu yang sangat panjang untuk berkarya dalam seni, kgusus
nya bagi perfilman Indonesia. Namun perfilman di Indonesia bukan sekedar
bebas untuk berkarya karena segala sesuatu hal di atur oleh Undang Undang
yang berlaku untuk menjungjung tinggi PANCASILA. Namun walau
dengan demikian industri perfilman di Indonesia masih harus terus di
perbaharui sambil menciptakan karya yang bisa menjadi suatu MahaKarya
di mancanegara.

3.2 SARAN

Semakin hari,produksi perfilman di Indonesia semakin luas, hal ini


menunjukkan kreativitas anak bangsa sudah tidak terbendung, namun segala
kreativitas itu terbendung dengan ada nya UU yang mengatur tentang
perfilman, seperti lisensi penyiaran dan izin. Hal ini tentu membatasi para
kaum muda untuk bebas berkreatif.

15
DAFTAR ISI

Arifin,eva. Broadcasting to be broadcaster. Jakarta : Graha ilmu, 2010

Andi,hidajanto. Dasar dasar Penyiaran. Jakarta : Kencana, 2011

Mufiq,muhamad. Komunikasi regulasi penyiaran. Jakarta : Kencana, 2005

www.bpi.or.id

16

Anda mungkin juga menyukai