Anda di halaman 1dari 17

Makalah Etika dan Filsafat Komunikasi

“Peran Stereotip dalam Etika dan Filsafat Komunikasi”

Dosen Pengampu

Dr. NURJANAH, M.Si

RUSMADI AWZA, M.Si

Disusun oleh

Deski Tegar Wijayanto (1901110575)

Syahmidar Aini (191124175)

Trisa Miranti (1901124331)

M. Ridho Zikrillah (1901156332)

Dwi Gustina Purnama Sari (1901156580)

Etika dan Filsafat Komunikasi A Kom

Jurusan Ilmu Komunikasi


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Riau
2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya
kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta
salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta yaitu Nabi Muhammad SAW
yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
baik itu berupa sehar fisik maupun akal pikiran, sehingga kami mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah “Peran Stereotip dalam Etika dan Filsafat
Komunikasi”.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik serta
saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah
yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini
kami mohon maaf yang sebesar -besarnya.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada bapak
dosen Dr. Yasir, M.Si yang telah membimbing saya dalam menulis makalah ini.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk kami pribadi dan untuk para
pembaca makalah ini. Terima kasih.

Pekanbaru, 15 April 2020

Peran Stereotip dalam Etika dan Filsafat Komunikasi | i


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................i

DAFTAR ISI ...........................................................................................ii

BAB I

PENDAHULUAN....................................................................................1

1.1 Latar belakang masalah .....................................................................1


1.2 Rumusan masalah ..............................................................................1
1.3 Tujuan pembahasan ...........................................................................1

BAB II
PEMBAHASAN ......................................................................................2
2.1 Pengertian dan ruang lingkup etikan filsafat komunikasi .................2
2.2 Pengertian Steorotip ..........................................................................3
2.3 Faktor penyebab timbulnya Steorotip ................................................5
2.4 Peran steorotip terhadap komunikasi .................................................6
2.5 .............................................................................................................

BAB III

PENUTUP ...............................................................................................7

3.1 Kesimpulan ........................................................................................7


3.2 Saran...................................................................................................7

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................8

Peran Stereotip dalam Etika dan Filsafat Komunikasi | ii


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Stereotip adalah sebuah keyakinan positif ataupun negatif yang dipegang
terhadap suatu kelompok sosial tertentu. Setelah munculnya stereotip maka akan
munculah prejudice/ prasangka yang merupakan sikap negatif yang tidak dapat
dibenarkan terhadap anggota kelompok terebut, prasangka dapat berupa perasaan
tidak suka, marah, jijik, tidak nyaman dan bahkan kebencian. Setelah munculnya
steretip dan prasangka akhirnya dapat muncul diskriminasi yang merupakan
perilaku negatif yang tidak dibenarkan pula untuk anggota kelompok tersebut
Stangor melanjutkan bahwa stereotip itu berada dalam ranah kognitif
sedangkan prasangka dalam ranah afektif dan diskriminasi berada dalam ranah
perilaku yang munculnya.
Namun ternyata pengaruh lebih lanjut karena stereotip bukan hanya pada
perilaku kita saja, tetapi juga perilaku korban stereotip ketika kita berinteraksi
dengan mereka yang bisa menjadi dugaan pemuas diri sehingga lebih merusak.
Misalnya anggota kelompok tersbut mulai melakukan sesuatu sesuai dengan
stereotip itu dan menampilkan karakteristik yang sesuai dengan stereotip tersebut.
Kalau stereotip itu hal positif tentunya akan jadi baik, tapi apa jadinya jika
stereotip yang ditanamkan adalah hal negatif
Peran stereotip sangat berpengaruh dengan etika komunikasi yang kita
lakukan sehari-hari. Dalam berinteraksi manusia memegang suatu nilai dan norma
yang mengatur tingkah lakunya dalam berinteraksi dengan orang lain yang di
sebut dengan etika komunikasi. Etika komunikasi adalah suatu adat/kebiasaan
dalam berkomunikasi dengan orang lain sehingga orang yang di ajak
berkomunikasi tida merasa tersinggung.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dan ruang lingkup etika filsafat komunikasi?
2. Apa yang dimaksud dengan stereotip?
3. Bagaimana factor penyebab timbulnya stereotip?
4. Apa peran stereotip pada etika dan filsafat komunikasi serta contoh
kasusnya?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami pengertian dan ruang lingkup etika
filsafat komunikasi.
2. Untuk mengetahui dan memahami Pengertian stereotip
3. Untuk mengetahui dan memahamtor penyebab timbulnya stereotip

Peran Stereotip dalam Etika dan Filsafat Komunikasi | 1


4. Untuk mengetahui dan memahami peran stereotip pada etika dan filsafat
komunikasi serta contoh kasusnya

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dan Ruang Lingkup Etika Filsafat Komunikasi


Komunikasi diperlihatkan sebagai ilmuyang berhubungan dengan berbagai
macam ilmu pengetahuan yang lain. Etika komunikasi mencoba untuk
mengelaborasi standar etis yang digunakan oleh komunikator dan komunikan.
Nilsen (dalam Johannesen, 1996), mengatakan bahwa untuk mencapai etika
komunikasi, perlu diperhatikan sifat-sifat berikut:

1. penghormatan terhadap seseorang sebagai person tanpa memandang


umur, status atau hubungannya dengan si pembicara,
2. penghormatan terhadap ide, perasaan, maksud dan integritas orang lain,
3. sikap suka memperbolehkan, keobjektifan, dan keterbukaan pikiran
yang mendorong kebebasan berekspresi,
4. penghormatan terhadap bukti dan pertimbangan yang rasional terhadap
berbagai alternatif,
5. terlebih dahulu mendengarkan dengan cermat dan hati-hati sebelum
menyatakan persetujuan atau ketidaksetujuan.

Filsafat merupakan salah satu bentuk latihan untuk memperoleh


kemampuan berpikir serius. Kemampuan ini akan memberikan kemampuan
memecahkan masalah secara serius; menemukan akar persoalan yang terdalam;
menemukan sebab terakhir suatu penampakan.

Istilah “filsafat” dalam bahasa Indonesia memiliki padanan kata falsafah


(Arab), philosophy (Inggris), philosophia (Latin), philosophie (Jerman, Belanda,
Prancis). Semua istilah tersebut bersumber pada istilah Yunani, philosophia.
Istilah Yunani philein berarti “mencintai”, sedangkan philos berarti “teman”.
Selanjutnya istilah sophos berarti “bijaksana,” sedangkan sophia berarti
“kebijaksanaan”. Secara etimologis, sebetulnya ada dua arti dari filsafat yang
sedikit berbeda. Pertama, jika istilah filsafat mengacu pada asal kata philein dan
sophos, maka artinya mencintai hal-hal yang bersifat bijaksana. Kedua, jika

Peran Stereotip dalam Etika dan Filsafat Komunikasi | 2


filsafat mengacu pada asal kata philos dan sophia, maka artinya adalah teman
kebijaksanaan.

Sekurangnya terdapat tiga isu filosofis dalam studi komunikasi, yakni isu-
isu yang berkenaan dengan epistemologi (issues of epistemology), isuisu ontologi
(issues of ontology), dan isu-isu aksiologi (issues of axiology)

Epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari pengetahuan, atau


bagaimana orang mengetahui apa yang mereka akui mengetahuinya. Setiap
diskusi yang baik pada penelitian dan teori, sudah tentu akan kembali ke isu
epistemologinya. Karena berbagai disiplin terlibat dalam studi komunikasi dan
perbedaan hasil pemikiran mengenai penelitian dan teori, maka isu-isu
epistemologi terlalu penting untuk diabaikan begitu saja dalam filsafat
komunikasi. Dalam kaitan ini, banyak isu dasar dapat diekspresikan melalui
pertanyaan-pertanyaan seperti:
1. Sampai sejauh mana pengetahuan dapat eksis sebelum pengalaman?
2. Sampai sejauh mana pengetahuan dapat dipastikan?
3. Dengan proses apa pengetahuan muncul?
4. Apakah pengetahuan paling baik dipahami secara parsial
(sebagiansebagian) atau secara keseluruhan?
5. Sejauh mana pengetahuan dapat dinyatakan secara eksplisit?

Ontologi adalah cabang filsafat yang berhubungan dengan alam, atau dalam
pengertian yang lebih sempit, alam benda-benda yang biasanya ingin kita ketahui.
Sebenarnya, epistemologi dan ontologi bergandengan tangan karena konsepsi kita
tentang pengetahuan tergantung pada bagian pikiran kita tentang alam yang dapat
diketahui. Dalam ilmu-ilmu sosial, ontologi berhubungan, sebagian besar, dengan
alam eksistensi manusia, dan dalam komunikasi mereka berpusat pada alam
interaksi sosial manusia. Isu-isu ontologis penting karena cara seorang penyusun
teori mengonseptualisasikan komunikasi tergantung, sebagian besar, pada cara
mengukur bagaimana komunikator dipandang. Seluruh teori komunikasi dimulai
dengan asumsi tentang makhluk, dan isu-isu pada area ini merefleksikan
ketidaksepakatan mengenai alam pengalaman manusia. Isu-isu ontologis itu
adalah:

1. Sampai sejauh mana manusia membuat pilihanpilihan nyata?


2. Sampai sejauh mana manusia memahami ihwal keadaan versus sifat?
3. Sampai sejauh mana pengalaman manusia individual versus sosial?
4. Sampai sejauh mana komunikasi dikontekstualisasikan?

Peran Stereotip dalam Etika dan Filsafat Komunikasi | 3


Aksiologis adalah cabang filsafat yang berkenaan dengan nilai-nilai. Bagi
pakar komunikasi, tiga isu aksiologis berikut ini harus pula dianggap sebagai isu-
isu penting, yakni:

1. Dapatkah teori bebas nilai?


2. Sampai sejauh mana praktik penelitian mempengaruhi proses yang
dipelajari?
3. Sampai sejauh mana ilmu pengetahuan harus berupaya mencapai
perubahan sosial?

2.2 Pengertian Steorotip


Kata stereotip berasal dari gabungan dua kata Yunani, yaitu stereos
yang berarti padat-kaku dan typos yang bermakna model. Lebi jauh Amanda
menjelaskan bahwa stereotip sebagai pemberian sifat tertentu terhadap seseorang
atau sekelompok orang berdasarkan kategori yang bersifat subjektif, hanya karena
ia berasal dari suatu kelompok tertentu (in group atau out group) yang bisa
bersifat positif maupun negatif. Stereotip didasarkan pada penafsiran yang kita
hasilkan atas dasar cara pandang dan latar belakang budaya kita. Stereotip juga
dihasilkan dari komunikasi kita dengan pihak-pihak lain, bukan dari sumbernya
langsung. Stereotip seringkali diasosiasikan dengan karakteristik yang bisa
diidentifikasi. Ciri-ciri yang kita identifikasi sering kali kita seleksi tanpa alasan
apapun. Artinya bisa saja kita dengan begitu saja mengakui suatu ciri tertentu dan
mengabaikan ciri yang lain. Stereotip merupakan generalisasi dari kelompok
kepada orang-orang di dalam kelompok tersebut.

Dalam buku “Social Psychology” yang ditulis oleh Franzoi


mengatakan bahwa Stereotype adalah Stereotypes involve beliefs about specific
groups. Social beliefs, which are typically learned from others and maintained
through regular social interaction, are stereotypes. Menurut A. Samovar & E.
Porter (dalam Mulyana, 2000:218) stereotip adalah Persepsi atau kepercayaan
yang dianaut mengenai kelompok atau individu berdasarkan pendapat dan sikap
yang lebih dulu terbentuk. Keyakinan ini menimbukan penilaian yang cenderung
negatif bahkan merendahkan orang lain. Ada kecenderungan memberikan label
tertetu pada kelompok tertentu dan termasuk problem yang perlu diatasi adalah

Peran Stereotip dalam Etika dan Filsafat Komunikasi | 4


stereotipe negatif atau merendahkan kelompok lain. Menurut Philippot bahwa
regulasi emosi melibatkan seluruh domain penting dari kognisi seperti persepsi,
perhatian (attention), memory, pembuatan keputusan dan kesdaran (consciusness),
kemudian dengan konsep dual memory model nya, ia menyebutkan bahwa
regulasi emosi dapat dicapai secara tidak langsung dengan melakukan feedback
loops yang memelihara dan meningkatkan aktifasi schema.

Di dalam menghadapi fenomena budaya yang ada di tanah air ini, kita
perlu memberi informasi yang benar tentang berbagi hal yang berkaitan dengan
ras, suku, agama, dan antar agama. Seringkali, keberadaan individu dalam suatu
kelompok telah dikategorisasi. Menurut Myers (dalam Hanurawan & Diponegoro,
stereotip adalah suatu bentuk keyakinan yang dimiliki oleh seseorang atau suatu
kelompok tentang atribut personal yang ada pada kelompok tertentu. Menurut
Sherif & Sherif dalam Sobur, stereotip adalah kesepakatan di antara anggota-
anggota kelompok terhadap gambaran tentang kelompok lain berikut anggota-
anggotanya. Kecendrungan dari seseorang atau kelompok untuk menampilkan
gambar atau gagasan yang keliru (false idea). Menurut A. Samovar & E. Porter
(dalam Mulyana, stereotip adalah persepsi atau kepercayaan yang dianaut
mengenai kelompok atau individu berdasarkan pendapat dan sikap yang lebih
dulu terbentuk. Narwoko & Suyanto stereotip adalah pelabelan terhadap pihak
atau kelompok tertentu yang selalu berakibat merugikan pihak lain dan
menimbulkan ketidakadilan.

Matsumo mendefinisikan stereotip sebagai generalisasi kesan yang


kita miliki mengenai seseorang terutama karakter psikologis atau sifat
kepribadian. Beberapa contoh stereotip terkenal berkenaan dengan asal etnik
adalah stereotip yang melekat pada etnis jawa, seperti lamban dan penurut.
Stereotip etnis Batak adalah keras kepala dan maunya menang sendiri. Stereotip
orang Minang adalah pintar berdagang. Stereotip etnis Cina adalah pelit dan
pekerja keras. Melalui stereotip kita bertindak menurut apa yang sekiranya sesuai
terhadap kelompok lain. Misalnya etnis jawa memiliki stereotip lemah lembut dan
kurang suka berterus terang, maka kita akan bertindak berdasarkan stereotip itu

Peran Stereotip dalam Etika dan Filsafat Komunikasi | 5


dengan bersikap selembut- lembutnya dan berusaha untuk tidak mempercayai
begitu saja apa yang diucapkan seorang etnis jawa kepada kita. Sebagai sebuah
generalisasi kesan, stereotip kadang-kadang tepat dan kadang-kadang tidak.
Misalnya stereotip etnis jawa yang tidak suka berterus terang memiliki kebenaran
cukup tinggi karena umumnya etnis jawa memang kurang suka berterus terang.
Namun tentu saja terdapat pengecualian-pengecualian karena banyak juga etnis
jawa yang suka berterus terang. Menurut Johnson & Johnson, stereotip
dilestarikan dan di kukuhkan dalam empat cara, yaitu:

1. Stereotip mempengaruhi apa yang kita rasakan dan kita


ingat berkenaan dengan tindakan orang-orang dari kelompok lain.
2. Stereotip membentuk penyederhanaan gambaran secara
berlebihan pada anggota kelompok lain. ndividu cenderung untuk begitu
saja menyamakan perilaku individu-individu kelompok lain sebagi
tipikal sama.
3. Stereotip dapat menimbulkan pengkambinghitaman.
4. Stereotip kadangkala memang memiliki derajat kebenaran yang
cukup tinggi, namun sering tidak berdasar sama sekali. Mendasarkan pada
stereotip bisa menyesatkan.
Orang Jawa Solo seringkali diidentikkan dengan kelemah
lembutan, gaya dan nada bicara yang pelan, meskipun dalam mengekspresikan
kemarahannya. Sehingga
apabila ada perlombaan mendorong mobil, orang Solo akan menjadi suku terlama
yang menyelesaikan tugasnya, dan yang akan menjadi pemenangya adalah orang
Ambon, karena kecepatan dan kelugasannya dalam berhitung. Stereotip sebagai
orang pelit seringkali dilekatkan pada saudara kita yang berlatar belakang etnis
Tionghoa, padahal ini tidak terlepas dari pola hidup hemat dan suka menabung
yang mereka miliki.
Dalam lingkup komunikasi global, kita sering menghakimi
bahwa orang Barat, bule, baik dari Eropa maupun Amerika, sebagai manusia yang
kurang sopan hanya
karena, misalnya ada perbedaan nilai kesopanan dalam penggunaan tangan kiri

Peran Stereotip dalam Etika dan Filsafat Komunikasi | 6


dan kanan. Karena dalam budaya Indonesia, hanya tangan kanan yang boleh
digunakan dalam memberikan atau menunjuk sesuatu. Tangan kiri bisa saja
digunakan asal diikuti oleh ungkapan penanda kesopanan, seperti tabik atau maaf.
Ini semua membawa kita terjebak dalam stereotip, overgeneralisasi, dan
prasangka budaya, yang seringkali menghambat komunikasi dan bisa saja
membawa konsekuensi yang lebih parah, yaitu ketersinggungan. Karena orang
tidak serta-merta atau begitu saja menerima, saat budaya atau gaya hidupnya
dikatakan tidak santun atau kurang patut. Sangat sering sekali kita memberikan
penilaian yang salah tentang orang lain. Padahal dalam memberikan penilaian
tersebut seringkali kita
hanya me-libatkan kesan, perasaan, dan intuisi subyektiftas semata. Dengan kata
lain, penilaian itu seringkali hanya dengan memakai kacamata budaya atau
perilaku kita sendiri, untuk mengukur dan menilai budaya atau perilaku orang
lain. Sehingga dapat dipastikan penilaian yang kita berikan tersebut tidaklah
obyektif, karena parameter kebenaran yang kita gunakan adalah budaya kita
sendiri. Sehingga apabila kita berbicara mengenai nilai-nilai kesopanan, norma-
norma, patut tidak patut, hal tersebut akan menjadi sangat relatif dalam wacana
kebudayaan.

Perbedaan-perbedaan cara memahami bentuk-bentuk


komunikasi, baik verbal maupun nonverbal, bisa menimbulkan kesalahpahaman
dalam komunikasi lintas
budaya. Sehingga tidak jarang pendapat atau opini kita terhadap suatu budaya atau
komunitas tertentu bergerak menjadi suatu identitas yang menyebabkan terjadinya
streotip.

Namun, Day mengatakan bahwa, bagaimanapun kita tidak boleh


membiarkan stereotip yang tak terhindarkan tersebut kemudian menghalangi kita
untuk melawan dan menolak tindakan yang merusak sendi sosial, sekaligus
kebiasaan yang memiliki konsekuensi yang tidak adil tersebut. Guru besar dalam
jurnalisitik Hawaii University, Tom Brislin, menulis bahwa ketika media
menyuguhkan informasi dan hiburan pada saat itu pula media melakukan

Peran Stereotip dalam Etika dan Filsafat Komunikasi | 7


transmisi nilai-nilai sosial. Media menghasilkan stereotip yang berperan besar
terhadap pengabdian diskriminasi, gangguan, kekerasan terhadap kelompok
tertentu, dan penggambaran gender dalam dunia nyata.
Pada sisi lain adalah menjadi tanggung jawab praktisi media
untuk bisa membedakan antara stereotip dan dunia nyata. Lippmann mengatakan
bahwa, pola-pola stereotip adalah tidak netral. Karena stereotip meliputi persepsi
personal kita tentang realitas, maka ia sangat bertanggung jawab terhadap
pembentukan perasaan kita. Juga, karena
stereotip merupakan mekanisme pertahanan diri, maka dengannya kita akan
merasa aman dalam posisi kita seperti apa adanya. Pandangan terakhir hendak
mengatakan
bahwa stereotip, sebagai proses yang netral, mempunyai peran dalam menjaga
kesehatan jiwa kita.

Di Amerika misalnya, kerja untuk menyadarkan audiens dari


stereotip media telah menampakkan hasil. Beberapa segmen audiens misalnya
sudah bisa bersikap terhadap tayangan komedi Seinfeld di televisi NBC padatahun
1998. Dalam episode terakhir diceritakan bahwa tokoh dalam komedi tersebut
yakni Jerry, Elaine, George, dan Kramer terjebak kemacetan karena ada parade
Puerto Rican Day. Kramer lalu melemparkan kembang api ke kerumunan parade
tersebut yang tanpa sengaja lalu mengenai bendera Puerto Riko hingga terbakar.
Peserta parade menjadi marah, lalu mereka mengejar Kramer sementara yang
lainnya menjungkirbalikkan mobil yang mereka naiki. Dalam tayangan berikutnya
Kramer, berkata bahwa kekacauan seperti ini adalah hal yang biasa terjadi di
Puerto Riko.
Reaksi dari tayangan kontroversial ini kemudian bermunculan. Manueal Mirabal,
Presiden Koalisi Nasional Puerto Riko, menyebut komedi tersebut sebagai
"unconscionable insult" atau penghinaan yang merendahkan bagi komunitas
Puerto Riko. Tanggapan serupa datang dari Fernando Ferrer, Presiden New York
City cabang Bronx, yang menuduh episode Seinfeld tersebut telah melewati batas
antara humor dan kefanatikan (bigotry). Menurut
Ferrer, adalah termasuk penghinaan ketika menggambarkan orang yang

Peran Stereotip dalam Etika dan Filsafat Komunikasi | 8


melakukan kerusuhan dan kekerasan terhadap sebuah mobil sebagai kejadian yang
biasa di Porto
Riko. Namun demikian, NBC membela diri, dengan mengatakan bahwa
penayangan tersebut bukanlah dimaksudkan untuk merusak stereotip etnis
tertentu, karena audiens Seinfield pasti mengetahui bahwa hal tersebut merupakan
humor belaka.

Berdasarkan hal tersebut stereotype merupakan generalisasi dari


kelompok kepada orang-orang di dalam kelompok. Stereotypee adalah pemberian
sifat tertentu terhadap sesorang berdasarkan kategori yang bersifat subjektif hanya
karena dia berasal dari kelompok lain. Stereotype didasarkan pada penafsiran yang
kita hasilkan atas dasar cara pandang dan latar belakang budaya.

2.3 Faktor Penyebab Timbulnya Steorotip


Ada beberapa faktor yang mempengaruhi dan mendorong timbulnya
steorotip, yaitu:
1. Keluarga
Steorotip dalam fungsi keluarga misalnya saja adanya perlakuan ayah dan
ibu terhadap anak laki-laki dan perempuan yang berbeda. Orang tua
mempersiapkan kelahiran bayi yang berbeda atas laki-laki dan perempuan.
Mereka juga menganggap bahwa bayi laki-laki kuat, keras tangisannya, sementara
bayi perempuan lembut dan tangisannya tidak keras.
2. Teman Sebaya
Teman sebaya cukup memiliki pengaruh perubahan sosial yang besar pada
steorotip anak sejak masa prasekolah dan menjadi sangat penting ketika anak di
Sekolah Menengah Pertama maupun Sekolah Menengah Atas. Teman sebaya
mendorong agar anak laki-laki bermain dengan permainan laki-laki seperti sepak
bola, sementara anak perempuan bermain dengan permainan perempuan seperti
bermain boneka.

3. Sekolah

Peran Stereotip dalam Etika dan Filsafat Komunikasi | 9


Sekolah sebagai salah satu pengertian lembaga pendidikan memberikan
sejumlah pesan gender kepada anak-anak. Sekolah memberikan perlakuan yang
berbeda diantara mereka, terutama memberikan pandangan antara seragam wanita
dan yang dikenakan pria.

4. Masyarakat
Masyarakat memberikan steorotip anak melalui sikap mereka dalam
memandang apa yang telah disediakan untuk anak laki-laki dan perempuan
mengidentifikasi dirinya. Perempuan cenderung memerlukan bantuan dan laki-
laki pemecah masalah.

5. Media Massa
Melalui penampilan pria dan wanita yang sering terlihat di Tv maupun
Koran. Tidak hanya frekuensi yang lebih banyak terhadap laki-laki daripada
perempuan tetapi jga pada jenis-jenis pekerjaan yang ditampilkan laki-laki banyak
dan lebih bergengsi daripada perempuan.

2.4 Peran Stereotip Terhadap Komunikasi


Etika komunikasi adalah norma, nilai, atau ukuran tingkah laku baik dalam
kegiatan komunikasi di suatu masyarakat. Sedangkan filasafat komunikasi adalah
"suatu disiplin yang menelaah pemahaman secara fundamental, metodologis,
sistematis, analitis kritis, dan holistis teori dari proses komunikasi yang meliputi
segaa dimensi.

Stereotip adalah kepercayaan publik yang diselenggarakan umum tentang


kelompok sosial tertentu atau jenis individu. Konsep "stereotipe" dan "
prasangka"sering bingung dengan banyak arti yang berbeda lainnya. Stereotip
yang dibakukan dan konsep-konsep yang disederhanakan dari kelompok
berdasarkan beberapa asumsi sebelumnya.

Secara umum, stereotip tidak didasarkan pada kebenaran obyektif melainkan


subjektif dan kadang-kadang kandungan bahan diverifikasi. Jadi menurut Wibur
Schramm Streotip Etika Dan Filsafat Komunikasi adalah "suatu perangkat
pernyataan yang saling berkaitan pada abstraksi dengan kadar yang tinggi, dan
daripadanya proposisi dapat dihasilkan yang dapat diuji secara ilmiah, dan pada
landasannya dapat dilakukan prediksi mengenai tingkah laku". Contoh kasus yang

Peran Stereotip dalam Etika dan Filsafat Komunikasi | 10


dapat dilihat adalah ketika seseorang melakukan pertukaran makna, salah satu
komunikator maupun keduanya melakukan interaksi dengan persepsi subjektif
terhadap masing-masing latar belakang dari komunikator, yang berpotensi
menyebutkan pernyataan yang kurang bijak karena dianggap tidak sopan serta
melanggar nilai dan norma yang ada.

Dalam perkembangan teori komunikasi massa, konsep masyarakat massa


mendapat relasi kuat dengan produk budaya massa yang pada akhirnya akan
mempengaruhi bagaimana proses komunikasi dalam konteks masyarakat massa
membentuk dan dibentuk oleh budaya massa yang ada. Bukan kebetulan bahwa
dua pemahaman tentang masyarakat massa dengan budaya massa mempunyai titik
permasalahan yang menggantung.

Media massa sendiri dalam masyarakat mempunyai fungsi pengawasan


media, interpretasi, transmisi nilai dan hiburan, dengan penjelasan sebagai berikut
ini:

1. Fungsi pengawasan media adalah fungsi yang khusus menyediakan


informasi dan peringatan kepada masyarakat tentang apa saja dilingkungan
mereka.

2. Fungsi interpretasi adalah fungsi media yang menjadi sarana memproses,


menginterpretasikan, dan mengorelasikan seluruh pengetahuan atau hal yang
diketahui oleh manusia.

3. Fungsi transmisi nilai adalah fungsi media untuk menyebarkan nilai, ide
dari generasi satu ke generasi yang lain.

4. Fungsi hiburan adalah fungsi media untuk menghibur manusia.

Dalam perkembangan selanjutnya, media massa mempunyai fungsi-fungsi


baru, yaitu membentuk komunitas dan komunikasi virtual, seperti halnya
kelompok internet di dunia maya. Internet dapat dipahami sebagai alat atau media
umum yang bisa secara komplet memenuhi fungsi media massa “tua”. Internet
bisa menyempurnakan transaksi komersial, menyediakan dukungan social, dan
mengirim jasa pemerintahan.

Konten media dalam semua bentuk berita, hiburan dan iklan terkait dengan
stereotip. Stereotip tidak merupakan alat untuk mengkonstruksi realitas untuk
kemudian disebarkan kepada audiensnya. Hal ini dikarenakan stereotip
merupakan alat bagi individu untuk memahami lingkungan sekitar dan pada saat
yang sama media merupakan jendela bagi individu untuk melihat dunia luar.
Dengan demikian, media merupakan institusi yang memiliki kemampuan untuk
menyeleksi symbol dan image untuk kemudian meniadakan aspek lain.

Peran Stereotip dalam Etika dan Filsafat Komunikasi | 11


Efek awal dari stereotip dalam media adalah terjadinya diskriminasi dan
prejudice. Dalam masnyarakat pluralistic, praktisi media memiliki kewajiban
untuk mendorong perwujudan nilai-nilai keadilan (fairness) dalam system social.
Maraknya stereotip dalam media justru memunculkan pertanyaan seputar peran
media dalam masyarakat, yakni apakah justru mediahanya berperan sebagai
cermin (reflector) dari nilai nilai social? Jawaban atas pertanyaan tersebut telah
menjadi perdebadan yang tak berujung, baik di kalangan akademisi maupun
praktisi media.

Peran Stereotip dalam Etika dan Filsafat Komunikasi | 12


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Etika merupakan nilai-nilai dan norma yang menjadi pegangan seseorang


atau kelompok tertentu yang mengatur tingkah lakunya dalam berinteraksi dengan
orang lain dan mempelajari tentang baik atau buruknya tingkah laku seseorang.
Etika komunikasi adalah adat, kebiasaan dan akhlak dalam berkomunikasi kepada
orang lain sehingga orang yang diajak berkomunikasi tidak merasa tersinggung
atau merasa tidak nyaman.
Filsafat komunikasi adalah ilmu yang mengkaji setiap aspek dari
komunikasi dengan menggunakan pendekatan dan metode filsafat sehingga
didapatkan penjelasan yang mendasar, utuh, dan sistematis seputar
komunikasi. Stereotipe adalah penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan
persepsi terhadap kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan.
Stereotip dalam etika dan filsafat komunikasi berarti penilaian seseorang
berdasarkan persepsi kelompok terhadap orang/kelompok lain yang dilakukan
dengan menggunakan etika komunikasi yang baik dan berakhlak serta
mencaritahu lebih dalam segala hal maupun fenomena tentang orang/kelompok
tersebut.

3.2 Saran

Sebagai pelaku komunikasi kita harus berkomunikasi sesuai dengan etika


sehingga apa yang kita sampai kan tidak menyinggung / membuat tidak nyaman
lawan interaksi kita, dan apa yang kita sampaikan dapat di terima dengan baik
sehingga tidak  menimbulkan persepsi yang negatif.

Peran Stereotip dalam Etika dan Filsafat Komunikasi | 13


DAFTAR PUSTAKA

Corry W, Andy. 2009 Etika Berkomunikasi Dalam Penyampaian Aspirasi. Jurnal


Komunikasi Universitas Tarumanagara, ISSN : 2085 1979

Mufid, Muhamad. Etika dan filsafat komunikasi. Prenada Media, 2012.

Rakhmat, Jalaluddin. 1994. Psikologi Komunikasi. Edisi Revisi. Bandung: PT


Remaja Rosdakarya.

Saguni, Fatimah. “Pemberian Stereotype Gender”. Jurnal Muswa IAIN Palu 6.2
(2014): 195-224.

Susanto, Astrid S. 1995. Filsafat Komunikasi. Bandung: Binacipta.

Sobur,Alex. 2004. Mitos dan Kenikmatan Filsafat: Pengantar ke Pemikiran


Filsafat Komunikasi. MEDIATOR, Vol. 5 No.1

Peran Stereotip dalam Etika dan Filsafat Komunikasi | 14

Anda mungkin juga menyukai