MAKALAH
Disusun Oleh :
2018
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
: kata ini merupakan fiil mudhari’ jamak dari yuzhahiru. Ia terbentuk dari
kata zahara, tsulasi mazid biharf. Kata dasarnya ialah zhahara, yang berarti
zhahir atau nyata. Dari kata itu terbentuk pula kata zhahr yang berarti punggung.
Sedangkan kata dalam ayat ini berarti “menzhihar”, yaitu perkataan
seorang suami yang menyerupakan anggota badan zhahir istri dengan ibunya
atau wanita-wanita yang termasuk muhrimnya. Seperti ungkapan suami kepada
istrinya “punggungmu seperti punggung ibuku” atau “pipimu seperti pipi
ibuku.”1
ُم ْنكرًا : secara harfiah, perkataan ini berarti keji. Maka perkataan ُم ْن َكرًا ِمنَ ْالقَوْ ِل َو ُزرًا
berarti perkataan yang keji. Artinya, ungkapan dhihar yang diucapkan suami
kepada istrinya merupakan perkataan yang tidak baik, yang sewajarnya tidak
diucapkan.
TAFSIR AYAT
1
Kadar M. Yusuf, Tafsir Ayat Ahkam, (Jakarta: Amzah. 2011). Hlm. 256-257.
2
Ibid., hlm. 259.
3
Ibid.
Setelah menegaskan prinsip hukum secara terfokus dan jelas, ditampilkanlah keputusan
penyelesaian masalah dhihar pada ayat berikutnya (ayat 3). Apabila seorang suami mendhihar
istrinya, kemudian dia ingin kembalikepada istrinya itu, maka suami tersebut wajib membayar
kafarat, yaitu memerdekakan seorang budak.4 Kafarat merupakan peringatan dan nasihat agar
seseorang tidak kembali kepada dhihar yang tidak baik dan tidak memiliki landasan kebenaran.
Kafarat itu harus dibayarkan sebelum mempergauli istrinya. Jadi, memerdekakan budak
dilakukan sebelum dia menggauli istrinya.5
Ayat 4 menjelaskan alternatif kafarat lain; jika orang yang mendhihar itu tidak mampu
memerdekakan seorang budak atau budak itu tidak ada (seperti pada zaman sekarang), maka
boleh diganti dengan berpuasa selama dua bulan berturut-turut, atau memberi makan enam puluh
orang miskin. Yang dimaksud dengan berpuasa dua bulan berturut-turut adalah puasa terus
menerus setiap hari tanpa diselangi oleh satu haripun. Jika diselangi oleh satu hari tidak
berpuasa, maka perhitungannya dimulai kembali dari awal.6
Ketentuan dhihar ini merupakan ajaran yang Allah peruntukkan bagi orang-orang yang
beriman. Oleh sebab itu, berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya dengan mengamalkan hukum-
hukum yang telah ditetapkan-Nya. Orang-orang kafir, yang tidak mengamalkan hukum-hukum
Tuhan akan mendapat azab yang sangat pedih.
ASBABUN NUZUL
1. ‘Aisyah r.a mengatakan: “Allah Tabaraka wa Ta’ala” memang Maha mendengar suara. Pada
suatu ketika datanglah seorang perempuan yang mengadu pada Rasulullah saw, yang ketika
itu aku berada di pinggir rumah sambil mendengarkan percakapan perempuan tersebut.
Namun tidak seluruhnya saya dengarkan, ada sebagian saja yang sayup-sayup bagiku.
Perempuan itu mengaduhkan pola suaminya (yang mendhiharnya). Dia katakana: Ya
Rasulullah! Suamiku telah menguji anak-anakku, padahal perutku telah melahirkan (bayi)
untuknya, sehingga setelah usia lanjut anakku telah berpisah (disapih) tahu-tahu dia
mendhihar aku. Yaa Allah, aku mengadukan hal ini kepada-Mu.
2. Khaulah binti Malik bin Tsa’labah mengatakan: “Suamiku, Aus bin Tsamit mendhihar aku,
lalu aku menghadap Rasulullah saw. untuk mengadukan halku itu, tetapi beliau malah
4
Ibid., hlm. 260.
5
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hlm. 188.
6
Kadar M. Yusuf, op.cit., hlm. 261.
mendebatku seraya mengatakan: “Takutlah engkau kepada Allah, bahwa suamimu itu adalah
anak pamanmu.” Aku tidak pernah putus asa, higga turun ayat “Sungguh Allah
mendengarkan perkataan perempuan yang mengadu kepadamu tentang suaminya sampai
perintah memerdekakan hamba sahaya.” Katanya: “Memerdekakan hamba sahaya.”
Kujawab: Dia (suamiku) tidak mampu. Lalu Rasulullah saw. bersabda: “kalau begitu puasa
dua bulan berturut-turut.” Kujawab: Ya Rasulullah, dia sudah tua bangka, tidak mungkin
kuat puasa. Maka sabdanya: “kalau begitu hendaklah dia member makan enam puluh orang
miskin.” Kujawab: dia tidak punya apa-apa yang bisa dipergunakan untuk sedekah. Sabda
Rasulullah: “Akan ku bantu dengan sekarung kurma.” Dan kujawab: Ya Rasulullah aku
sendiri juga akan membantunya dengan sekarung kurma. Sabdanya kemudian: “bagus,
pulanglah dan berikanlah dua karung kurma itu kepada enam puluh orang miskin, dan
kembalilah engkau kepada anak pamanmu itu.”
KANDUNGAN HUKUM
Dhihar, di zaman jahiliyah berarti talak. Bahkan dipandangan talak yang paling hebat,
kerena di dalamnya terkandung suatu penyamaan isteri dengan ibu yang jelas haram bagi
seorang anak untuk selama-lamanya, dengan perkawinan cara apa pun. Kemudian Islam datang
untuk menghapus hukum tersebut, dan menjadikan dhihar ini sebagai penyebab haramnya
seorang isteri bagi suaminya membayar kaffarat terlebih dahulu. Tetapi tidak menetap sebagai
talak sebagaimana yang berlaku di zaman jahiliyah.7
Jadi, kalau seorang laki-laki mendhihar isterinya tetapi dengan maksud talak, maka tetap
menjadi dhihar; dan sebaliknya jika dia mentalak isterinya tetapi dengan maksud dhihar, tetap
menjadi talak. Penilaian di sini adalah “ungkapan” yang dipergunakannya, bukan semata-mata
niat, sehingga satu sama lain tidak bisa saling mengganti.
Ibnu Qayim berkata: “Ini, adalah karena dhihar yang oleh kebiasaan jahiliyah
dipandangnya sebagai talak itu telah dihapus. Maka tidak layak kalau hukum yang telah dihapus
itu di ulang kembali. Lalu pula, Aus bin Shamit sendiri – yang merupakan pelaku bagi sebab
turunya ayat ini memang berniat talak seperti yang biasa berlaku di zaman jahiliyah itu dengan
7
Mu’ammal Hamidy dan Imron A. Manam, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni 3, (Surabaya: PT Bina
Ilmu,1998), hlm. 165.
mempergunakan istilah dhihar, yang selanjutnya dia dikenakan hukuman dhihar bukan talak.
Dan memang hukum dhihar ini sudah cukup jelas, sehingga tidak perlu lagi mempergunnakan
kata kinayah (sindiran) terhadap hukum yanng telah dibatalkan oleh Allah itu. Sedang hukum
Allah adalah lebih cocok dan lebih wajib dilaksanankan.”
Para ulama pun telah sepakat atas haramnya dhihar ini, dan tidak boleh
dipergunakan, sebab dhihar itu suatu kedustaan, dosa dan mengada-ada. Ia jauh berbeda dengan
talak. Talak memang dibenarkan, dan dhihar ini dilarang. Jadi kalau ada seseorang mengatakan
dhihar kepada isterinya berrati dia melakukan perbuatan haram dan harus membayar kaffarat.8
b. Berapa konsekuensi hukum dhihar?
Apabila seseorang suami mendhihar isterinya, maka ada dua akibat hukum:
Haram mencampuri isterinya, sampai dia membayar kaffarat. Berdasarkan firman Allah:
“Maka dia harus memerdekakan seorang hamba sahaya, sebelum mereka berdua itu
bersentuhan.”
Wajib membayar kaffarat untuk kembali kepada isterinya itu. Karena Allah berfirman:
“Dan orang-orang yang mendhihar isteri-isteri mereka kemudian mereka hendak kembali
(mencabut) apa yang ereka katakan itu, maka merdekakanlah seorang hamba sahaya..
dan seterusnya.9
c. Apakah dhiharnya ghairu muslim seperti kafir dzimmi dan kafir kitabi itu dipandang sah?
Dalam hal ini, ulama-ulama hanafiyah, malikiyah, dan hanabilah berpendapat, bahwa
dhiharnya kafir dzimmi dan kafir kitabi itu dinilai tidak sah. Kerena dalam firman Allah tentang
dhihar itu dipergunakan kata-kata “Minkum” (diantara kamu). Sedangkan “minkum” itu untuk
orang islam. Jadi selain muslim tidak terkena hukum tersebut.
Sementara ulama Syafi’iyah mengatakan: sebagaimana talaknya kafir dzimmi itu
dipandang sah, dengan segala konsekuensinya, maka begitu juga halnya dhihar.
Tarjih
Aku (ash-Shabuni) berpendapat: yang betul adalah pendapat jumhur. Alasan mereka
dengan adanya “pembebasan hamba dan puasa” dalam kaffarat itu cukup kuat. Adapun alasan
dengan memaham kata “minkum” itu tidak begitu kuat. Karena ayat tersebut diungkapkan guna
mengecam dan mencela. Karena dhihhar itu hanya dikenal hanya dikenal di kalangan bangsa
8
Ibid.
9
http://chaerulfuad.blogspot.com/2015/03/dhihar-dan-kaffaratnya-tafsir-surat-al.html diakses pada 19 November
2018 pukul 22.26 WIB.
arab. Sehingga di dalam ayat tersebut tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan hukum dhihar
ini berlaku buat mereka (yang bukan beragama islam).10
Para ula fiqih sepakat, bahwa isteri tidak berwenang menyatakan dhihar kepada
suaminya. Jadi, misalnya ada seorang isteri mengatakan kepada suaminya: “anta a’laiya kazhahri
ummi”, maka ucapan tersebut tidak dipandang sebagai dhihar dan tidak berakibat hukum sama
sekali.
Tetapi sementara diriwayatkan dari Imam Ahmad dalam salah satu kaulnya, bahwa isteri
yang mengucapkan kalimat dhihar kepada suami itu dikarenakan kaffarat bila dia disetubuhi oleh
suaminya . Inilah yang dipilih oleh Al-Harqi.11
KAFFARAT DHIHAR
Menurut dhahir ayat di atas, bahwa hamba sahaya di sini adalah mutlak, yakni semua jenis
hamba, sekalipun kafir.
Menurut ulama hanafiyah, bahwa kaffarat itu dapat dilakukan dengan memerdekakan hamba
sahaya baik kafir maupun yang beriiman, pria maupun wanita, besar/tua maupun kecil/muda,
bahkan yang masih menyusu pun boleh. Karena sebutan ‘hamba’ meliputi semuanya itu.
Menurut ulama Syafi’iyah dan Malikiyah, bahwa dipersyaratkan hamba yang beriman. Jadi
selain hamba yang beriman tidak sah untuk kaffarat. Alasannya, karena dalam ayat qatl (ayat
yang membicarakan soal pembunuhan yang di situ disebutkan adanya pembayaran
diyat/kaffarat) disebutkan ‘haruslah memerdekakan seorang hamba yang beriman.
Puasa dua bulan berturut-turut ini diwajibkan bagi orang yang tidak mampu memerdekakan
hamba sahaya. Hitungannya berdasarkan hilal (bulan), tanpa dibedakan apakah bulan itu genap
atau ganjil (29 hari atau 30 hari penuh). Tetapi kalau dia berpuasa tanpa menggunakan hitungan
10
Ibid.
11
Mu’ammal Hamidy dan Imron A. Manam, op.cit., hlm. 172.
hilal, maka dia harus berpuasa selama 60 hari. Demikian menurut pendapat ulama Hanafiyah.
Tetapi mmenurut ulama Syafi’iyah dan Malikiyah, dia harus berpuasa sampai datangnya hilal
baru, kemudian berpuasa sebulan penuh berdasarkan perhitungan hilal, sedang yang pertama tadi
disempurnakan dengan hitungan (misalnya yang pertama tadi berpauasa di perengan bulan, maka
harus digenapkan sampai 30 hari penuh).12
Abu Hayyan berpendapat,bahwa zhahirnya bentuk makanan itu adalah mutlak, tetapi
kemudian bisa ditakhshiskan dengan makanan yang menjadi kebiasaan ketika turunnya ayat
tersebut, yaitu makanan yang mengenyagkan, tanpa dibatasi dengan mud (takaran).
Imam Malik dan Syafi’i berpendapat, makanan yang kuranng dari 60 orang tidaklah cukup.
Sedang Abu Hanifah cs, mengatakan : seandainya orang tersebut memberi makan setiap hari
kepada seoorang miskin sebanyak ½ sha’ sampai mencapai jumlah 60 hari, maka
yang demikian itu dipandang cukup. II.Qs.Al-Ahzab:4-5
{ ُون ِم ْنهُنَّ أ ُ َّم َها ِت ُك ْم َو َما َج َع َل أَ ْدعِ َيا َء ُك ْم أَ ْب َنا َء ُك ْم َذلِ ُك ْم َق ْولُ ُك ْم ِبأ َ ْف َوا ِه ُك ْم
َ اج ُك ُم الالئِي ُت َظا ِهر َ ْن فِي َج ْوفِ ِه َو َما َج َع َل أَ ْز َو
ِ َما َج َع َل هَّللا ُ ل َِرج ٍُل مِنْ َق ْل َبي
ْس َعلَ ْي ُك ْم
َ ين َو َم َوالِي ُك ْم َولَي ِ ط عِ ْندَ هَّللا ِ َفإِنْ لَ ْم َتعْ لَمُوا آ َبا َء ُه ْم َفإِ ْخ َوا ُن ُك ْم فِي ال ِّد ُ ) ْادعُو ُه ْم آل َبائ ِِه ْم ه َُو أَ ْق َس4( َوهَّللا ُ َيقُو ُل ْال َح َّق َوه َُو َي ْهدِي الس َِّبي َل
)5( ان ُ غَ فُورً ا َرحِيمًا هَّللا َ َت قُلو ُب ُك ْم َو َكُ ْ َ َ
ْ } ُج َنا ٌح فِي َما أ ْخطأ ُت ْم ِب ِه َولَكِنْ َما َت َع َّمد
Artinya: Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya, dan Dia
tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan
anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah
perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan
jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-
bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak
mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu.
Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa
yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
12
Ibid., hlm. 175.
menyetubuhuimu, haram bagiku seharam menaiki ibuku sendiri untuk menyetubuhinya.” Maka
di sini “punggung” melukiskan arti “tunggang”
2. ّدعي, yaitu orang yang dipanggil anak, padahal ia bukan anak kandung sendiri, yaitu adopsi atau
pengangkatan anak yang terkenal di zaman jahiliyyah dan dibatalkan oleh islam. Nabi saw. telah
mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anak angkat sebelum kenabian beliau, untuk suatu
hikmah yang luhur, disebutkan ّ ال ّدعيialah anak angkat yaitu orang yang dinasabkan kepada
orang bukan ayah kandungnya sendiri. الدّعوةialah pengakuan orang sebagai ayah, yang bukan
ayah kandungnya sendiri. asy-Syubaili berkata الدعوةdengan mengkasrahkan berarti mangakui
seseorang sebagai ayah, yang sebenarnya bukan ayah kandung sendiri.
TAFSIR AYAT
Surat Al-Ahzab:4 menjelaskan tentang supaya tidak menjadikan anak-anak angkat sebagai anak
kandung,bukannya melarang pengangkatan anak angkat (adopsi), atau menjadi ayah/ibu asuh yang
dilarangnya adalah menjadikan anak-anak angkat itu memiliki hal serta status hukum seperti anak
kandung. Pernyataan anak-anak angkat kamu, menunjukan diakuinya eksistensi anak angkat tetapi yang
dicegah adalah mempersamakannya dengan anak kandung.
Dalam ayat ke-5 ini Allah menghubungkan keturunan (nasab) anak-anak angkat kepada dua
nasab, pertama kepada ayahnya, kedua kepada wala’. Dan Allah menjadi wala’ dengan nikmat.
Rasulullah saw. Bersabda:”sesungguhnya wala’ adalah bagi orang yang memerdekakan.
Akhir uraian ayat 4 adalah larangan mempersamakan status hukum anak angkat dengan anak kandung.
Nah, untuk mengikis habis tradisi jahiliah itu, maka ayat ini memberi tuntunan dengan menyatakan
bahwa:panggilah mereka yakni anak-anak angkat itu dengan menggandengkan namanya dengan nama
bapak-bapak kandung mereka;itulah yang lebih dekat untuk berlaku adil pada sisi dan pandangan Allah,
dan jika kamu tidak mengetahuinya siapa atau nama bapak-bapak mereka dengan sebab apapun, maka
panggilah mereka sebagai saudara-saudara kamu seagama bila anak angkat itu telah memeluk islam dan
yakni atau maula-maula kamu yakni orang-orang dekat kamu. Dan tidak ada dosa atas kamu terhadap
apa yang kamu khilaf padanya antara lain bila kamu memanggilnya tidak seperti yang kami perintahkan
ini, tetapi yang ada dosanya ialah apa yang disengaja oleh hati kamu. Dan adalah Allah senantiasa Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
ASBABUN NUZUL
As-Suyuti meriwayatkan dari Mujahid r.a. bahwa Nabi saw. mengambil Zaid bin Haritsah
sebagai anak angkatnya, dan memerdekakannya, sebelum beliau. peristiwa ini terjadi sebelum
wahyu kepada beliau (sebelum kerasulan beliau). ketika Nabi saw. mengawini Zainab binti Jahsy
(bekas istri Zaid ) orang-orang Yahudi dan orang-orang Munafik berkata:”Muhammad kawin
dengan istri anaknya, padahal melarang melarang manusia berbuat yang demikian itu”. maka
turunlah firman Allah swt (dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak
kandungmu)
Ahli Tafsir bersepakat bahwa ayat ini turun berkaitan dengan Zaid bin Haritsah. Para Imam
meriwayatkan bahwa Ibnu Umar berkata:”Kami dulu tidak pernah memanggil Zaid bin Haritsah
tetapi memanggil Zaid bin Muhammad sampai turun ayat: Al-Ahzab:5 Dulu sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Anas bin Malik dan lainnya bahwa Zaid itu tawanan dari Negeri Syam, yang
diseret para penunggang kuda dari Tihamah, lalu dibeli oleh hakim bin Hizam bin Khuwailid
untuk dihadiah kepada bibinya yaitu Khadijah, lalu Khadijah menghadiahkan kepada Nabi saw.
Dan Beliau memerdekakan dan mengadopsinya. Lalu Zaid pun tinggal bersama Nabi beberapa
waktu sampai bapak dan pamannya datang untuk menebus dia, lalu Nabi berkata kepada
keduanya:”Silahkan berikan pilihan kepada Zaid, kalau dia memilih kalian maka menjadi milik
kalian tanpa tebusan.” Zaid pun lebih memilih Nabi dari pada kemerdekaannya dan kaumnya,
maka Nabi bersabda:”Wahai segenap orang Quraisy, saksikanlah ini anakku yang aku
mewarisinya dan dia mewarisiku.”13 Lalu Zaid berkeliling di sekitar orang Quraisy dan
menyaksikan kejadian tersebut, bapak dan pamannya pun menerima dan kembali ke kampung
halaman mereka.
Bukhari meriwayatkan dalam sahih dari Abdullah bin Umar r.a. bahwa ia berkata:”semula kami
tidak memanggil Zaid bin Haritsah selain dengan sebutan “Zaid bin Muhammad”, sampai ayat
Al_Ahzab turun
Ayat ini turun berkaitan dengan Zaid bin Haritsah segaimana pernyataan di atas pada
pernyataan Ibnu Umar tidak pernah memanggil Zaid bin Haritsah tetapi Zaid bin Muhammad
membuktikan bahwa prilaku adopsi sudah berlangsung sejak zaman jahiliah sampai awal islam,
di mana dalam hubungan tersebut terdapat hak waris kemudian Allah menghapus tradisi
tersebut dengan turunnya ayat tersebut,kemudian Allah menghapus hukum mengadopsi dan
melarangnya secara mutlaq dengan memberikan petunjuk bahwa yang terbaik dan adil adalah
menisbatkan seorang anak kepada bapaknya.
KANDUNGAN HUKUM
13
Abdul Aziz Dahlan, Enksiklopedi Hukum Islam Enksiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,1996), hlm 27
Apakah adopsi (mengambil anak angkat) diperbolehkan dalam islam?
Sebagaimana islam menghapuskan tradisi zhihar, ia menghapuskan juga adopsi (mengambil anak
angkat) dan menjadikannya haram dalam syariat islam, sebab dalam adopsi terkandung penasaban
seorang anak (yang diadopsi) kepada seorang yang bukan bapak kandungnya sendiri. Adopsi dengan
menasabkan anak yang diadopsi itu kepada orang yang bukan bapak kandungnya sendiri termasuk
dalam golongan dosa-dosa besar, yang mendatangkan kemurkaan dan la’nat. Bukhari dan muslim
meriwayatkan dari sa’ad bin Abi Waqqash, bahwasanya Rasulullah sa. Bersabda:
ال يقبل هللا تعا لى منه صرفا وال عد ال, فعليه لعنة هللا والمالءكة وال ّناس اجمعين, اوانتمى الى عير مواليه,من ادّعى الى غير ابيه
Yang artinya:”Barang siapa mengaku dirinya keturunan seorang yang bukan ayah kandungnya sendiri,
atau menasabkan dirinya sebagai hamba sahaya orang-orang yang bukan pemilik-pemiliknya maka ia
tertimpa oleh la’nat Allah, para malaikat dan segenap manusia.Allah tidak suka menerima daripadanya
pernyataan taubatnya, maka tidak pula suka menerima tebusan daripadanya.
Dalam sebuah hadis yang sahih tersebut sabda Nabi saw.:
Dan pada ayat ke-5 dijelaskan juga bahwa An-nuhas berkata:”Kandungan ayat ini menasakh tradisi
adopsi yang berlaku dikalangan orang arab. Ini adalah bentuk penasakhan hukum sunnah dengan al-
Qur’an. Kemudian al-Qur’an memerintahkan untuk menisbatkan seorang anak kepada bapaknya jika
tidak diketahui bapaknya maka kepada walinya, jika tidak diketahui walinya maka dianggap saudara
seagama.”
Bolehkah memanggil orang dengan sebutan:”Hai saudaraku” atau ”hai anakku”?
Lahir firman Allah swt.:
(Dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka panggilah mereka sebagai saudara-
saudaramu seagama dan maula-maulamu) menunjukan bahwa memanggil seorang yang tidak diketahui
bapaknya, boleh dengan memakai kata-kata”hai saudaraku”, atau “hai maulaku”, asal yang dimaksud
dengan kata-kata itu “saudara seagama” dan maula “seagama”, bukan “saudara senasab atau sebapak,
dan bukan sebagai kerabat senasab. Allah swt. Telah menjadikan orang-orang mukmin bersaudara.
KESIMPULAN
alternatif kafarat lain; jika orang yang mendhihar itu tidak mampu memerdekakan
seorang budak atau budak itu tidak ada (seperti pada zaman sekarang), maka boleh
diganti dengan berpuasa selama dua bulan berturut-turut, atau memberi makan enam
puluh orang miskin. Yang dimaksud dengan berpuasa dua bulan berturut-turut adalah
puasa terus menerus setiap hari tanpa diselangi oleh satu haripun. Jika diselangi oleh satu
hari tidak berpuasa, maka perhitungannya dimulai kembali dari awal.
Adopsi dengan menasabkan anak yang diadopsi itu kepada orang yang bukan bapak
kandungnya sendiri termasuk dalam golongan dosa-dosa besar, yang mendatangkan
kemurkaan dan la’nat.
bahwa memanggil seorang yang tidak diketahui bapaknya, boleh dengan memakai kata-
kata”hai saudaraku”, atau “hai maulaku”, asal yang dimaksud dengan kata-kata itu “saudara
seagama” dan maula “seagama”, bukan “saudara senasab atau sebapak, dan bukan sebagai
kerabat senasab. Allah swt. Telah menjadikan orang-orang mukmin bersaudara.
Daftar pustaka
Quthb sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jakarta: Gema Insani Press, 2004.