Anda di halaman 1dari 14

A.

PENDAHULUAN
Alquran merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada manusia sebagai
petunjuk bagi manusia. Dalam Alquran terdapat hukum-hukum yang mencakup seluruh
aspek kehidupan. Alquran memuat semua hal baik hubungan antara manusia dengan
Allah dan manusia dengan sesama manusia. Alquran juga mengatur tentang kehidupan
berumah tangga, agar umat manusia dapat mewujudkan kehidupan yang Sakinah,
mawaddah, warrahmah. Dalam rumah tangga pastilah ada perselisihan hingga hubungan
pernikahan tidak bisa dipertahankan maka Alquran memberikan solusi yang adil berupa
talak (perceraian).
Talak merupakan suatu bentuk cara memutuskan hubungan perkawinan. Talak
adalah melepaskan hubungan pernikahan dengan dengan menggunakan lapaz talak dan
sejenisnya. Talak juga diartikan sebagai pemutusan tali pernikahan dari seorang suami
terhadap isteri dengan alasan yang diterima secara syar’i. Talak merupakan perbuatan
halal, namun dibenci oleh Allah swt. sebagaimana Rasul ‘Alaihi as-Shalatu wa as-
Salam bersabda:

‫َأْبَغُض اَحْلَالِل ِإىَل الَّلِه َتَعاىَل الَّطَالُق‬


“Perkara HALAL yang paling dibenci Allah Ta’ala adalah talak (perceraian).”
Dari Hadis diatas dapat diambil pelajaran bahwa perceraian adalah perbuatan
yang halal, namun dibenci oleh Allah Swt. Maka dari awal membangun rumah tangga
itu harus diniatkan untuk langgeng sampai ke surga, jadi bukan hanya berjodoh di dunia
tapi juga berjodoh di akhirat. Karena selama tidak terjadi perceraian maka akan
berkumpul bersama-sama di surga kalau seiman.
Dalam pembahasan kali ini penulis akan menjelaskan bagaimana tafsir hukum
dari ayat-ayat talak, ‘iddah, dan khulu’. Semoga dengan selesainya makalah ini, Allah
Swt. senantiasa memberi keberkahan dalam berumah tangga yang sakinah, mawaddah,
dan rahmah until jannah. Baik bagi penulis sendiri maupun bagi seluruh pembaca yang
terhormat.

1
B. PEMBAHASAN
1. Surat Al-Baqarah Ayat 228

‫َو ٱْلُم َطَّلَٰق ُت َيَتَر َّبْص َن ِبَأنُف ِس ِه َّن َثَٰل َثَة ُقُر وٍء َو اَل ِحَي ُّل ُهَلَّن َأن َيْك ُتْم َن َم ا َخ َلَق ٱلَّلُه ىِف َأْر َح اِم ِه َّن ِإن ُكَّن ُيْؤ ِم َّن‬
‫ِبٱلَّلِه ٱْل ِم ٱْل اِخ ِر وَل َّن َأ ُّق ِب ِّدِه َّن ىِف َٰذ ِل ِإْن َأ ا وا ِإ َٰل ا َّن ِم ْث ٱَّلِذ ى َل ِه َّن ِبٱْل وِف‬
‫َم ْع ُر‬ ‫َع ْي‬ ‫َك َر ُد ْص ًح َو ُهَل ُل‬ ‫َو َيْو َء َو ُبُع ُتُه َح َر‬
‫ِك‬ ‫ِل ِل ِه‬
‫َو لِّر َج ا َعَلْي َّن َدَرَج ٌة َو ٱلَّلُه َعِز يٌز َح يٌم‬
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga
kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya
berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki
ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan
daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Dalam ayat ini Allah Swt. mensyariatkan kepada wanita-wanita merdeka yang
ditalak oleh suaminya untuk menahan diri (maksud menahan diri yakni menunggu
dengan sabar tanpa boleh menikah dengan lelaki lain) selama tiga kali quru’ (quru’
adalah waktu/masa ‘iddah talak).1
Ulama Salaf dan Khalaf serta para imam berbeda pendapat tentang makna yang
dimaksud dari istilah quru'. Apakah makna yang sebenarnya? Ada dua pendapat
mengenainya, yaitu:
Pendapat pertama, yang dimaksud dengan istilah quru' ialah masa suci.
Imam Malik mengatakan di dalam kitab Muwatta'-nya, dari Ibnu Syihab, dari Urwah,
dari Siti Aisyah, bahwa Hafsah binti Abdur Rahman ibnu Abu Bakar pindah ketika
memasuki darah haid-nya yang ketiga kali (yakni pindah ke rumah suaminya). Ketika
hal tersebut diceritakan kepada Umrah binti Abdur Rahman, ia mengatakan bahwa
Urwah benar dalam kisahnya. Akan tetapi, ada sejumlah ulama yang membantah;
mereka mengatakan bahwa sesungguhnya Allah telah berfirman di dalam Kitab-
Nya: tiga kali quru'. (Al-Baqarah: 228) Maka Aisyah berkata, "Kalian memang benar,
tetapi tahukah kalian apa yang dimaksud dengan quru" Sesungguhnya yang dimaksud
dengan istilah quru' ialah masa suci."
1
Tafsir Ibnu Katsir (Ringkas) / Fathul Karim Mukhtashar Tafsir al-Qur'an al-'Adzhim, karya
Syaikh Prof. Dr. Hikmat bin Basyir bin Yasin, professor Fakultas Alquran Universitas Islam Madinah.

2
Imam Malik meriwayatkan pula dari Ibnu Syihab, bahwa ia pernah mendengar
Abu Bakar ibnu Abdur Rahman mengatakan, "Aku belum pernah menjumpai seorang
pun dari kalangan ahli fiqih kami melainkan ia mengatakan hal yang sama (yakni quru'
adalah masa suci)." Yang dimaksud ialah sama dengan apa yang dikatakan oleh Aisyah.
Pendapat kedua yang dimaksud dengan quru' ialah masa haid. Pendapat ini merupakan
mazhab Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya, dan sebuah riwayat dari Imam Ahmad
ibnu Hambal yang paling sahih di antara kedua riwayatnya. Al-Asram meriwayatkan
darinya, bahwa ia (Imam Ahmad) pernah mengatakan, "Para pembesar sahabat
Rasulullah saw. mengatakan bahwa quru' artinya haid." Pendapat inilah yang dipegang
oleh mazhab As-Sauri, Al-Auza'i, ibnu Abu Laila, Ibnu Syabramah, Al-Hasan ibnu
Saleh ibnu Hay, Abu Ubaid, dan Ishaq Ibnu Rahawaih.
Pendapat ini diperkuat oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu
Daud dan Imam Nasai melalui jalur Al-Munzir ibnul Mugirah, dari Urwah ibnuz
Zubair, dari Fatimah binti Abu Hubaisy, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda
kepadanya:
‫َدِعي الَّصاَل َة َأَّيا َأ اِئِك‬
‫َم ْقَر‬
“Tinggalkanlah salat dalam hari-hari quru'-mu (haidmu).”
Seandainya disebutkan dengan jelas bahwa quru' artinya haid, maka hal ini lebih sahih,
tetapi Al-Munzir (salah seorang perawinya) disebutkan oleh Ibnu Abu Hatim sebagai
perawi yang majhul (tak dikenal) lagi tidak masyhur. Ibnu Hibban menyebutkannya di
dalam kitab As-Siqat
(Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya) baik itu mengenai tali pusar atau haid. Ini dijelaskan oleh Ibnu 'Abbas, Ibnu
Umar, Mujahid, Asy-Sya'bi, Al-Hakam bin'Utaibah, Ar-Rabi’ Anas, Adh-Dhahhak, dan
lainnya.2
(jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat) sebagai ancaman kepada
mereka yang berlaku menyimpang dari kebenaran. Hal ini menunjukkan bahwa perkara
ini merujuk kepada mereka, karena ini adalah perkara yang hanya diketahui oleh
mereka. Seringkali, hal ini sulit untuk dijelaskan. Jadi perkara ini dikembalikan kepada
mereka agar mereka tidak memberitahukan selain kebenaran, baik itu dipercepat untuk
mengakhiri masa iddah atau memperpanjangnya demi tujuan tertentu. Oleh karena itu,
2
Ibid.

3
mereka diperintahkan untuk memberitahukan kebenaran tanpa ada tambahan atau
pengurangan.
(Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka
(para suami) menghendaki ishlah) yaitu bahwa suami yang telah menceraikan istri
memiliki hak yang lebih utama untuk kembali dengan istrinya selama masa 'iddah. Ini
berlaku jika niatnya adalah untuk memperbaiki hubungan dan memberikan kebaikan.
Ini hanya berlaku untuk talak yang bisa rujuk. Adapun bagi wanita yang telah telah
ditalak ba’in, maka situasi ini tidak berlaku. Kondisi tersebut tidak boleh untuk talak
yang ketiga. Adapun konteks turunnya ayat ini adalah bahwa suami lebih berhak untuk
rujuk dengan istrinya, meskipun dia telah menceraikannya seratus kali. Lalu mereka
dibatasi setelah turnnya ayat-ayat yang menjelaskan tentang talak tiga, sehingga hal itu
menjadi thalaq ba’in, Jika memperhatikan hal ini bahwa jelas bagi anda terkait
kelemahan pendekatan beberapa ulama’ ushul fiqh berupa pembuktian mereka terkait
kata yang dirujuk oleh kata ganti dalam ayat ini. apakah itu spesifik untuk kata yang
telah disebutkan sebelumnya yang berupa kata umum atau tidak. Adapun perumpamaan
atas hal itu tidak sesuai dengan apa yang telah mereka sebutkan, dan hanya Allah yang
lebih mengetahui.3
(Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma'ruf) yaitu bahwa mereka memiliki hak yang sama dengan hak
para laki-laki atas mereka. Maka masing-masing harus menunaikan apa yang wajib
baginya satu sama lain dengan baik sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits
shahih Muslim dari Jabir bahwa Rasulullah saw. berkata dalam khutbah saat Haji
Wada': “Bertakwalah kepada' Allah dalam memperlakukan wanita. Sesungguhnya
kalian mengambil mereka dengan amanat Allah dan menghalalkan kemaluan mereka
dengan kalimat Allah. Hak kalian atas mereka adalah bahwa mereka tidak boleh
memasukkan seorang pun yang kalian benci ke dalam rumah kalian. Jika mereka
melakukan itu, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menciderai. Dan
mereka berhak mendapatkan nafkah dan pakaian dengan cara yang ma'ruf (baik).”.
Begitu juga dalam hadits Bahz bin Hakim dari Mu'awiyah bin Hadah Al-Qusyairi dari
ayahnya, dari kakeknya bahwa dia bertanya, “Wahai Rasulullah, apa hak istri seseorang
dari kita?” Beliau bersabda, “Bahwa kamu memberinya makan ketika kamu makan,

3
Tafsir Ibnu Katsir (Ringkas)...,

4
memberinya pakaian ketika kamu memakai pakaian, tidak memukul wajahnya, tidak
mengolok-oloknya, dan tidak meninggalkan dia, kecuali di rumah.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Sesungguhnya aku senang
mempercantik penampilan untuk istri sebagaimana aku senang dia mempercantik diri
untukku, karena Allah SWT berfirman (Dan para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf).4
(Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
isterinya) yaitu keutamaan dalam hal penciptaan, akhlak, kedudukan, ketaatan dalam
perintah, pengeluaran harta, menjaga kepentingan, serta keutamaan dalam urusan dunia
dan akhirat, sebagaimana Allah berfirman: (Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi
kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas
sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian
dari harta mereka) (Surah An-Nisa: 34).
(Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana) yakni Maha Perkasa dalam
menghukum orang yang durhaka dan melanggar perintahNya, serta Maha Bijaksana
dalam mengatur perintah, syariat, dan takdirNya".5

2. Surat Al-Baqarah Ayat 229

‫ٱلَّطَٰل ُق َم َّرَتاِن َفِإْم َس اٌك َمِبْع ُر وٍف َأْو َتْس ِر يٌح ِبِإْح َٰس ٍن َو اَل ِحَي ُّل َلُك ْم َأن َتْأُخ ُذ وا َّمِما َءاَتْيُتُم وُه َّن َش ْئًـا ِإاَّل َأن‬
‫ِه ِت‬ ‫ِف‬ ‫ِه‬ ‫ِق‬ ‫ِخ‬ ‫ِه‬ ‫ِق‬
‫َخَياَفا َأاَّل ُي يَم ا ُح ُد وَد ٱلَّل َفِإْن ْف ُتْم َأاَّل ُي يَم ا ُح ُد وَد ٱلَّل َفاَل ُج َناَح َعَلْيِه َم ا يَم ا ٱْفَتَدْت ِبۦ ْلَك ُح ُد وُد‬
‫َّٰظ‬
‫ٱلَّلِه َفاَل َتْع َتُد وَه ا َو َم ن َيَتَعَّد ُح ُد وَد ٱلَّلِه َفُأوَٰلِئَك ُه ُم ٱل ِلُم وَن‬
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi
kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali
kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu
khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah,
maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk
menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya.

4
Tafsir Ibnu Katsir (Ringkas)...,
5
Ibid.

5
Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang
zalim”.
(Talak yang dapat dirujuk itu dua kali. Setelah itu, suami dapat menahan
dengan baik, atau melepaskan dengan baik). Maksudnya, Jumlah talak yang
diperbolehkan untuk rujuk adalah dua kali saja. Setelah terjadi dua kali pengucapan
talak, laki-laki hanya dapat memilih salah satu dari dua hal, yaitu; menahan isterinya
dan menggaulinya dengan baik; atau menceraikannya dengan cara yang baik (yakni
membiarkannya sampai masa ‘iddah talak keduanya habis dan tidak merujukinya).6
Kata yang digunakan dalam menjelaskan talak adalah ‫ مراتن‬,artinya: dua kali,
bukan dua perceraian. Hal ini mengisyaratkan bahwa penjatuhan talak dilakukan secara
terpisah, berbeda waktu, dan tidak sekaligus. Dengan demikian, mengumpulkan dua
atau tiga talakan adalah haram. Pendapat ini dipegang oleh sejumlah sahabat, antara
lain: Umar, Usman, Ali, Abdullah bin Mas’ud, dan Abu Musa al Asy’ari. Pendapat ini
didasarkan pada Hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Umar bahwa Rasulullah saw.
bersabda:

‫إمنا السنة أن تستقبل الطهر استقباال فتطلق لكل قرء تطليقة‬


(Talak yang sesuai dengan aturan agama adalah kau tunggu hingga datang
masa suci isterimu lalu kamu menjatuhkan satu talak pada setiap qur’).
Adanya tenggang waktu antara talak satu dan kedua untuk memberi kesempatan
kepada suami-isteri melakukan pertimbangan ulang, memperbaiki diri, serta
merenungkan sikap dan tindakan masing-masing.
Kalimat ‫ان‬N‫ريح بإحس‬N‫ تس‬bermakna talak ketiga. Pemahaman ini didasarkan pada
hadis Abu Razin al Asadi yang disebutkan dalam Sunan Abu Dawud dan lain-lain
bahwa ia bertanya kepada Rasulullah saw., “Saya dengar Allah berfirman: “talak itu dua
kali” lalu mana talak yang ketiga? Beliau bersabda: “Yang ketiga adalah tasrihun bi
ihsan.7
Menurut al-Biqa’i, sebagaimana yang dikutip oleh Quraish Shihab, bahwa kata
tasrih berbeda dengan talak. Tasrih bermakna melepaskan sesuatu bukan untuk

6
Wahbah, Tafsir al-Munir, juz.2, h. 333.
7
Ibid., h. 334.

6
mengembalikan, sedang talak adalah melepaskan dengan harapan dapat
mengembalikannya.8
Dalam ayat tersebut, ada perbedaan sifat yang diberikan pada kata ‫( إمساك‬rujuk)
dengan kata ‫( تسريح‬perceraian). Kata ‫ إمساك‬disifati dengan ‫ معروف‬, artinya, rujuk setelah
talak harus dengan niat melakukan yang terbaik untuk kepentingan kelangsungan hidup
rumah tangga, bukan untuk menyakiti hati isteri sebagaimana yang terjadi pada masa
Jahiliyah. Sedang kata ‫ تسريح‬disifati dengan ‫إحسان‬. Kata ihsan mempunyai makna yang
lebih tinggi dan mendalam dari pada kata adil. Adil bermakna mengambil semua hak
Anda dan atau memberi semua hak orang lain, sedang ihsan adalah memberi lebih
banyak daripada yang harus Anda berikan dan mengambil lebih sedikit dari yang
seharusnya Anda ambil. Menurut Quraish, penggunaan kata ihsan dalam keadaan
demikian memberi pengertian bahwa dalam kondisi itu suami masih berkewajiban
memberi mut’ah/kesenangan hati berupa pemberian nafkah kepada isterinya, dan
dengan demikian, isteri tidak kehilangan dua hal sekaligus, yakni cinta serta pemberian
nafkah.9
Terkait dengan firman Allah: Tidak halal bagi kamu mengambil kembali…, Abu
Dawud dalam Nasikh wa al Mansukh, meriwayatkan dari Ibn Abbas, katanya: dulu
lelaki bisa mengambil mahar dan lain-lain yang telah diberikannya kepada isterinya.
Perbuatan itu tidak dipandang dosa, lalu Allah menurunkan firman-Nya: Tidak halal
bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka.
Ibn Jarir al-Tabari meriwayatkan dari Ibn Juraij, katanya: Ayat ini turun
berkenaan dengan Thabit bin Qais dan isterinya, Habibah. Perempuan ini mengadukan
suaminya kepada Rasulullah saw., kemudian beliau menanyai perempuan itu, “maukah
kamu mengembalikan kebun Thabit? Ia menjawab, “ya, saya mau”. Beliau kemudian
memanggil Thabit dan menceritakan permintaan isterinya. Ia berkata: “Apakah halal
kalau saya mengambil kebun itu? Rasulullah bersabda, ya, Thabit berkata: Baiklah
kalau begitu”. Maka turunlah ayat: “Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari
sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak
akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya
(suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah…”.10

8
Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 1, h. 460-461.
9
Ibid.
10
Wahbah, Tafsir al-Munir, juz.2, h. 231-232.

7
Imam Bukhari, Ibn Majah, dan Nasa’i meriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa
Jamilah, yang merupakan saudari Abdullah bin Ubaiy bin Salul serta isteri Thabit bin
Qais, menemui Rasulullah saw. lalu berkata, “wahai Rasulullah, sebenarnya saya tidak
mencela perangai maupun ketaatan Thabit bin Qais kepada agama, tapi saya tidak suka
dengan perawakannya yang jelek, sementara saya tidak ma u melakukan perbuatan-
perbuatan kafir setelah masuk Islam.” Beliau bertanya, “Apakah kau bersedia
mengembalikan kebunnya?” Ia menjawab, “ya”. Beliau kemudian bersabda kepada
Thabit, “Terimalah kembali kebun itu dan jatuhkan satu talak kepadanya”.11
(bahwa Jika kamu khawatir keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum
Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang diberikan (oleh isteri) untuk
menebus dirinya). Perceraian yang terjadi dengan penebusan harta dari pihak isteri
disebut dengan khulu’. Ayat tersebut menjelaskan bahwa suami boleh mengambil
tebusan harta yang dibayarkan oleh isteri untuk mendapatkan talak. Namun, para ulama
berbeda pendapat tentang sebab kebolehan pengambilan tebusan tersebut. Jumhur
berpendapat bahwa suami boleh mengambil tebusan itu, jika nushu>z terjadi dari pihak
isteri. Sebagian ulama (Dawud al-Zahiri) berpendapat bahwa yang membolehkan
pengambilan tebusan ini adalah kekhawatiran bahwa keduanya (suami- isteri) tidak
dapat menjalankan hukum-hukum Allah karena masing-masing tidak suka hidup
bersama pasangannya. Wahbah Zuhailiy menguatkan pendapat pertama (jumhur), yakni
adanya nushuz dan keburukan tingkah laku isteri merupakan alasan bolehnya
mengambil tebusan. 12
Ayat ini dijadikan dasar oleh kebanyakan ulama tentang bolehnya khulu’ baik
dalam kondisi adanya kekhawatiran maupun tidak dalam kondisi seperti itu.
Di samping itu, ulama juga berbeda pendapat tentang jumlah tebusan yang
diberikan oleh isteri yang boleh diambil suami. Jumhur berpendapat bahwa harta
tebusan dalam khulu’ boleh lebih dari jumlah harta yang telah diberikan oleh suami
kepada isterinya. Dengan alasan bahwa khulu’ adalah akad pertukaran yang seharusnya
tidak terikat dengan ukuran/jumlah tertentu, hanya saja menurut madhhab Hanafi, hal
ini dihukumi makruh. Menurut madhhab lainnya, suami tidak dianjurkan mengambil
tebusan lebih banyak dari apa yang sudah ia berikan kepada isterinya. Pendapat ini
didasarkan pada kisah Thabit bin Qais. Bahwa Rasulullah saw. bersabda dalam kisah
11
Ibid.
12
Wahbah, Tafsir..., h. 342.

8
tersebut: “Apakah kamu akan mengembalikan kebunnya kepadanya?” perempuan itu
menjawab. “ya, bahkan akan saya tambah”. Nabi saw. kemudian bersabda:
Tambahannya tidak boleh). Sedangkan al-Sha’bi, al-Zuhri, dan Hasan al Bashri
melarang khulu’ dengan tebusan yang lebih besar dari apa yang sudah diberikan suami
kepada isterinya, dengan dasar ayat ini, yang artinya: “maka tidak ada dosa atas
keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri–untuk menebus dirinya--dari harta
yang kamu (suami) berikan kepada isteri”.13
(Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa
yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim) Ayat ini
menjelaskan tentang larangan secara tegas atas pelanggaran hukum-hukum yang telah
ditetapkan-Nya dalam hubungan suami isteri dan lainnya, yakni hukum-hukum yang
mencakup perintah dan larangan. Selanjutnya Allah memperingatkan dan mengancam
orang-orang yang melampaui hukum-hukum syariat dan mengerjakan apa yang tidak
sepatutnya dikerjakan. Allah mensifati mereka sebagai orang yang dhalim atau aniaya.

3. Surat Al-Baqarah Ayat 230

‫َفِإن َطَّلَق َه ا َفاَل ِحَت ُّل َل ۥُه ِم ن َبْع ُد َح ٰىَّت َتنِكَح َز ْو ًج ا َغْيَر ۥُه َفِإن َطَّلَق َه ا َفاَل ُج َناَح َعَلْيِه َم ا َأن َيَتَر اَجَعا ِإن َظَّنا‬

‫َأن ُيِق يَم ا ُح ُد وَد ٱلَّلِه َو ِتْلَك ُح ُد وُد ٱلَّلِه ُيَبِّيُنَه ا ِلَق ْو ٍم َيْع َلُم وَن‬
Artinya: “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua),
maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.
Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi
keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah,
diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui”.
(Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka
perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain)
Menurut Quraish Shihab penggunaan kata ‫( إن‬yang bermakna seandainya) dalam ayat
tersebut mengisyaratkan bahwa sebenarnya perceraian itu merupakan suatu hal yang
jarang terjadi di kalangan orang-orang yang memperhatikan tuntunan-tuntunan ilahi,

13
Ibid., h. 342-343.

9
atau dengan kata lain, perceraian adalah sesuatu yang diragukan terjadi di kalangan
orang-orang beriman. Hal itu dikarenakan kata ‫ إن‬biasanya digunakan untuk sesuatu
yang diragukan atau jarang terjadi. Selanjutnya, Quraish Shihab menjelaskan bahwa
ayat ini memberi pelajaran yang sangat berat dan pahit bagi suami-isteri yang bercerai
untuk ketiga kalinya. Seandainya perceraian pertama terjadi, maka peristiwa tersebut
dapat menjadi pelajaran bagi keduanya untuk introspeksi diri bagi keduanya untuk
melakukan perbaikan. Dan jika pun terjadi perceraian kedua, maka kesempatan rujuk
yang diberikan harus dapat menjamin keberlangsungan pernikahan tersebut, tetapi jika
tidak, maka akan terjadi perceraian yang ketiga yang tidak ada lagi kesempatan untuk
kembali membina keluarga dengan mantan isterinya, kecuali setelah isteri menikah
dengan laki-laki lain dengan pernikahan yang sah menurut syariat dan diniatkan sebagai
ikatan pernikahan abadi (bukan diniatkan untuk sekedar menghalalkan perempuan yang
ditalak tadi bagi suaminya/ nikah tahlil). Selain itu, bahwa yang dimaksud dengan
pernikahan dalam ayat ini adalah persetubuhan, bukan sekedar akad ijab qabul.14
(Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi
keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah) Jika suami kedua itu sudah
menceraikannya sebagaimana mestinya dan masa iddahnya telah habis, maka suami
pertama boleh melaksanakan akad pernikahan baru dengan perempuan itu (mantan
isterinya), jika mereka berdua menduga akan dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban
pernikahan dan menaati perintah Allah untuk melakukan pergaulan yang baik.
Dalam ayat tersebut menggunakan kata ‫( ظنا‬menduga) bukan‫( علما‬mengetahui).
Artinya, Allah membolehkan mereka berdua membuka lembaran baru dengan
melakukan pernikahan kembali cukup dengan dugaan yang kuat, bahwa mereka akan
mampu untuk hidup harmonis kembali. Sebaliknya, kalau dia ragu apalagi yakin tidak
akan mampu rukun/damai kembali, maka niat untuk hidup bersama kembali, hendaknya
dibatalkan.15
(Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau)
mengetahui) Ketika Allah menjelaskan tentang hukum-hukum yang agung tersebut, Dia
berfirman, “itulah hukum-hukum Allah,” maksudnya, syariat-syariatNya yang telah
ditetapkan, dijelaskan, dan “diterangkanNya kepada kaum yang (mau) mengetahui.”
14
Quraish, Tafsir al-Mishbah, vol.1, 464
15
Ibid.

10
Karena merekalah orang-orang yang mengambil manfaat dengannya dan mereka
bermanfaat bagi orang lain. Ini menunjukkan keutamaan orang yang berilmu dan itu
jelas, karena Allah menjadikan penjelasan tentang hukum-hukumNya khusus buat
mereka dan bahwa merekalah yang dimaksudkan dengan hal tersebut.
Allah hanya mengatakan : { ‫" } ِلَق ْو ٍم َيْع َلُم وَن‬kepada kaum yang (mau)
mengetahui" , dan Allah tidak mengatakan kepada kaum yang jahil, karena jika perintah
dan larangan banyak ditujukan kepada orang-orang jahil sesungguhnya mereka tidak
akan menjaganya dan tidak akan mengambil sumpah atasnya, sedangkan orang yang
berilmu dan faham niscaya akan menjaga perintah dan larangan itu; oleh karena itu
Allah hanya berbicara kepada orang-orang yang berilmu dan tidak kepada orang jahil.16

4. Surat Al-Baqarah Ayat 231

‫َو ِإَذا َطَّلْق ُتُم ٱلِّنَس اَء َفَبَلْغَن َأَج َلُه َّن َفَأْم ِس ُك وُه َّن َمِبْع ُر وٍف َأْو َس ِّر ُح وُه َّن َمِبْع ُر وٍف َو اَل ْمُتِس ُك وُه َّن ِض َر اًر ا‬

‫ِّلَتْع َتُد وا َو َم ن َيْف َعْل َٰذ ِلَك َفَقْد َظَلَم َنْف َس ۥُه َو اَل َتَّتِخ ُذ وا َءاَٰيِت ٱلَّلِه ُهُز ًو ا َو ٱْذُك ُر وا ِنْع َم َت ٱلَّلِه َعَلْيُك ْم َو َم ا‬

‫َأنَز َل َعَلْيُك م ِّم َن ٱْلِكَٰت ِب َو ٱِحْلْك َم ِة َيِعُظُك م ِبِه َو ٱَّتُق وا ٱلَّلَه َو ٱْع َلُم واَأَّن ٱلَّلَه ِبُك ِّل َش ْى ٍء َعِليم‬
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka
rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang
ma'ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena
dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka
sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan
hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah
diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi
pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada
Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

‫( َو ِإَذا َطَّلْق ُتُم الِّنَس آَء َفَبَلْغَن َأَج َلُه َّن‬Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka

mendekati akhir iddahnya)Yakni apabila kalian mentalak isteri-isteri kalian, kemudian


mereka telah menjalani masa iddah sampai mendekati akhir.

16
Li Yaddabbaru Ayatih / Markaz Tadabbur di bawah pengawasan Syaikh Prof. Dr. Umar bin
Abdullah al-Muqbil, professor Fakultas Syari'ah Universitas Qashim - Saudi Arabia.

11
‫( َفَأْمِس ُك وُهَّن ِبَم ْعُروٍف‬maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf) Yakni tanpa berniat
untuk memberinya madharat.
‫( َأْو َس ِّر ُحوُهَّن ِبَم ْع ُروٍف‬atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf). Yakni
membiarkannya menyelesaikan masa iddah tanpa meminta rujuk.
‫( َو اَل ُتْمِس ُك وُهَّن ِضَر اًرا‬Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan). Yakni
tidak untuk kebutuhan juga bukan demi rasa cinta, akan tetapi untuk memperpanjang
masa iddahnya, dan memperlama waktu menunggu sebagai dengan maksud memberi
madharat dan menyakiti sang istri.
‫( ۚ َو َم ن َيْفَع ْل ٰذ ِلَك َفَقْد َظَلَم َنْفَس ۥُه‬Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat
zalim terhadap dirinya sendiri). Yakni menjadikan dirinya terkena azab.
‫( ۚ َو اَل َتَّتِخ ُذ ٓو ۟ا َء اٰي ِت الَّلـِه ُه ُز ًو ا‬Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan).
Karena semuanya adalah kesungguhan, maka barangsiapa yang bermain-main dengan
ayat-ayat tersebut maka berarti ia memang telah mempermainkannya.
Dalam ayat ini Allah melarang mereka untuk tidak melakukan yang mereka lakukan
dimasa jahiliyyah, dahulu mereka mentalak, memerdekakan, atau menikahkan
kemudian berkata: aku tadi hanya main-main. Maka barangsiapa yang mentalak dengan
main-main maka talak itu jatuh sebagai talak yang sebenarnya.
‫( َو اْذ ُك ُرو۟ا ِنْع َم َت الَّلـِه َع َلْيُك ْم‬dan ingatlah nikmat Allah padamu)
Yakni berupa agama Islam dan syari’at-syari’atnya setelah kalian dulu berada dalam
kejahiliyahan dan kegelapan diatas kegelapan.
‫( اْلِكٰت ِب‬Al Kitab). Yakni al-Qur’an.
‫( َو اْلِح ْك َم ِة‬Al Hikmah). Yakni as-Sunnah.
‫( َيِع ُظُك م ِبِهۦ‬Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu)
Yakni mengajari dan menjadikan kalian takut dengan apa yang diturunkan kepada
kalian.17

C. PENUTUP
Rasul ‘Alaihi as-Shalatu wa as-Salam bersabda:

‫َأْبَغُض اَحْلَالِل ِإىَل الَّلِه َتَعاىَل الَّطَالُق‬


“Perkara HALAL yang paling dibenci Allah Ta’ala adalah talak (perceraian).”
17
Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir / Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, mudarris
tafsir Universitas Islam Madinah.

12
Dari Hadis diatas dapat diambil pelajaran bahwa perceraian adalah perbuatan
yang halal, namun dibenci oleh Allah Swt. Maka dari awal membangun rumah tangga
itu harus diniatkan untuk langgeng sampai ke surga, jadi bukan hanya berjodoh di dunia
tapi juga berjodoh di akhirat. Karena selama tidak terjadi perceraian maka akan
berkumpul bersama-sama di surga kalau seiman.

DAFTAR PUSTAKA

Li Yaddabbaru Ayatih / Markaz Tadabbur di bawah pengawasan Syaikh Prof. Dr. Umar
bin Abdullah al-Muqbil, professor Fakultas Syari'ah Universitas Qashim - Saudi
Arabia.

13
Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 1.

Tafsir Ibnu Katsir (Ringkas) / Fathul Karim Mukhtashar Tafsir al-Qur'an al-'Adzhim,
karya Syaikh Prof. Dr. Hikmat bin Basyir bin Yasin, professor Fakultas Alquran
Universitas Islam Madinah.

Wahbah, Tafsir al-Munir, juz.2

Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir / Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar,
mudarris tafsir Universitas Islam Madinah.

14

Anda mungkin juga menyukai