Anda di halaman 1dari 53

Masa Iddah wanita yang mengajukan Khulu' (al-mukhtali'ah)

Dalam hal ini para ulama terbagi kepada dua pendapat. Menurut Jumhur ulama, Iddah wanita
yang mengajukan Khulu' sama dengan Iddahnya wanita yang ditalak yaitu tiga kali quru', tiga
kali haid. Di antara dalilnya adalah:

1. Khulu' adalah talak dan karenanya masuk ke dalam keumuman ayat berikut ini:

َ ‫َو ْال ُم‬


)228 :‫طلَّقَاتُ يَت ََربَّصْنَ بِأ َ ْنفُ ِس ِه َّن ث َ ََلثَةَ قُ ُروءٍ (البقرة‬

Artinya: "Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'" (QS.
Al-Baqarah: 228).

2. Khulu' adalah perceraian setelah dukhul, maka Iddahnya adalah tiga kali haid sebagaimana
dengan yang selain Khulu'.

3. Dalam sebuah riwayat dikatakan:

]‫ عدة المطلقة)) [رواه مالك بسند صحيح‬,‫ ((عدتها أي المختلعة‬:‫عن نافع عن ابن عمر قال‬

Artinya: Dari Nafi' dari Ibn Umar berkata: "Iddahnya wanita yang mengajukan Khulu' sama
dengan Iddahnya wanita yang ditalak (yaitu tida kali haid)" (HR. Malik dengan sanad Shahih).

Pendapat kedua mengatakan bahwa Iddahnya adalah satu kali haid. Pendapat ini adalah
pendapatnya Utsman bin Affan, Ibn Umar, Ibn Abbas, Ibn Taimiyyah dan yang lainnya. Di
antara alasannya adalah:

1. Dalam sebuah riwayat dikatakan:

‫ ((ال عدة عليك إال أن تكونى‬:‫ ماذا علي من العدة؟ فقال‬:‫ اختلعت من زوجى ثم جئت عثمان فسألته‬:‫عن الربيع بنت معوذ قالت‬
]‫حديثة عهد به فتمكثى حتى تحيضى حيضة)) [رواه ابن أبي شيبة بسند صحيح‬

Artinya: "Dari ar-Rabi' bint Mu'awwadz berkata: "Saya mengajukan Khulu' dari suami saya.
Lalu saya datang kepada Utsman bin Affan sambil bertanya: "Apa Iddah saya?" Utsman
menjawab: "Tidak ada Iddah bagi kamu kecuali jika kamu tidak menikah lagi dengannya
(dengan suaminya itu), maka tinggallah (ber-Iddahlah) selama satu kali haid)" (HR. Ibn Abi
Syaibah dengan sanad Shahih).

2. Demikian juga dengan riwayat berikut:

‫أن امرأة ثابت بن قيس اختلعت منه فجعل النبي صلى هللا عليه وسلم عدتها حيضة [رواه أبو داود‬:‫ وحسنه‬,‫والبي داودوالترمدي‬
]‫بسند حسن‬

Artinya: "dan Bagi Abu Dawud dan Tirmidzi dan ia hasankan, bahwasannya isteri Tsabit bin
Qais mengajukan Khulu'' dari suaminya. Rasulullah saw lalu menjadikan Iddahnya satu kali
haid" (HR. Abu Dawud dengan sanad Hasan).

3. Ibnu Qayyim dalam hal ini berkata dalam bukunya Zadul Ma'ad (V/197): "Iddah wanita yang
mengajukan Khulu' satu kali haid, ini lebih mendekati kepada maksud syara. Karena Iddah itu
dijadikan tiga kali haid dengan maksud untuk memperpanjang kesempatan untuk rujuk, sehingga
si suami dapat merujuknya selama masa Iddah tadi. Apabila sudah tidak ada kesempatan untuk
rujuk, maka maksudnya adalah untuk membersihkan rahim saja (bara'atur rahm) dari kehamilan,
dan hal itu cukup dengan satu kali haid saja".

Kedudukan Khulu’

Jumhur Fuqoha berpendapat bahwa Khulu adalah talak ba’in, karena apabila suami dapat
merujuk istrinya pada masa iddah, maka penebusannya itu tidak akan berarti lagi. pendapat ini
dikemukakan pula oleh imam Malik. Abu hanifah menyamakan Khulu’ dengan talak dan fasakh
secara bersamaan. Sedangkan imam syafi’I berpendapat bahwa khulu’ adalah Fasakh pendapat
ini juga dikemukakan Ahmad dan Dawud dan sahabat Ibnu Abbas r.a. Diriwayatkan pula dari
syaf’I bahwa khulu itu adalah kata-kata sindiran. Jadi, jika dengan kata-kata sindiran itu suami
menghendaki talak, maka talakpun jadi, dan jika tidak maka menjadi fasakh. Tetapi dalam dalam
pendapat barunya (al-qaul al-jadid) ia menyatakan bahwa khulu’ itu talak.

Abu Tsaur berpendapat bahwa apabila khulu’ tidak menggunakan kata-kata talak, maka suami
tidak dapat merujuk istrinya, sedang apabila khulu’ tersebut menggunakan kata-kata talak, maka
suami dapat merujuk istrinya. Fuqaha yang menganggap khulu’ sebagai talak mengemukakan
alasan, bahwa fasakh itu tidaklain merupakan perkara yang menjadikan suami sebagai pihak
yang kuat dalam pemutusan ikatan perkawinan tetapi tidak berasal dari kehendaknya. Sedangkan
khulu’ ini berpangkal pada kehendak, oleh karenya khulu’itu bukan fasakh.

Adapun fuqaha yang tidak menganggap khulu’ sebagai talak mengemukakan alasan bahwa
dalam Al-Qur’an mula-mula Alloh menyebutkan tentang talak:

)۲۲۹ :‫ (البقرة‬.‫الطَلق مرتان‬

Artinya: “talak yang dapat dirujuk itu dua kali”. (Q.S. albaqarah: 2290

Kemudian Alloh menyebutkan tentang tebusan (Khulu’), dan selanjutnya berfirman:


Artinya: “kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu
tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain.” (Q.S. Albaqarah : 230).

Jika tebusan tersebut adalah talak, berarti yang menyebabkan istri tidak halal lagi bagi suami,
kecuali sesudah ia kawin lagi dengan lelaki yang lain itu menjadi talak keempat. Mereka
berpendapat bahwa fasakh itu dapat terjadi dengan suka sama suka karena disamakan denga
fasakh dalam jual beli, yakni kegagalan atau pengunduran diri.

Jadi jelaslah bahwa Khulu’ Adalah Fasakh, Bukan Talak, Jika seorang isteri telah menebus
dirinya dan dicerai oleh suaminya. Maka ia berkuasa penuh atas dirinya sendiri, sehingga
suaminya tidak berhak untuk rujuk kepadanya, kecuali dengan ridhanya dan perpecahan tidak
dianggap sebagai talak meskipun dijatuhkan dengan redaksi talak. Namun ia adalah perusakan
akad nikah demi kemaslahatan sang isteri dengan balasan menebus dirinya kepada suaminya.

Ibnul Qayyim r.a. menulis sebagai berikut, ”Dan yang menunjukkan khulu’ bukan talak adalah
bahwa Allah SWT telah menetapkan tiga ketentuan yang berlaku pada talak terhadap (isteri)
yang telah dikumpuli jika talak tersebut telah mencapai talak tiga. Ketetapan-ketetapan itu, tidak
pada khulu’. Pertama: Suamilah yang lebih berhak rujuk kepada isterinya dalam masa iddah.
Kedua: Talak maksimal tiga kali, sehingga setelah terjadi talak ketiga, isteri tidak halal bagi
suaminya, terkecuali ia kawin lagi dengan suami kedua dan pernah bercampur dengannya.
Ketiga: Iddah yang berlaku dalam talak terdiri atas tiga kali quru’ (bersih dari iddah).

Sementara itu, telah sah berdasarkan nash (ayat Qur-an ataua hadits) dan ijma’ (kesepatakan)
bahwasanya tidak sah istilah rujuk dalam khulu’. Dan, sudah sah berdasar sunnah Nabi saw dan
pendapat para shahabat bahwa iddah untuk khulu’ hanya satu kali haidh. Demikian pula telah sah
juga berdasar nash syar’i bahwa boleh melakukan khulu’ setelah talak kedua dan talak ketiga. Ini
jelas sekali menunjukkan bahwa khulu’ bukanlah talak. Oleh sebab itu Allah SWT menegaskan,
”Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan Cara yang ma’ruf atau
menceraikan dengan cara yang baik dan tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu
yang pernah kami berikan pada mereka kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
melaksanakan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak
dapat mejalangkan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran
yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.” (Al-Baqarah:229).

Dan ini tidak dikhususkan bagi wanita yang telah ditalak dua kali, karena hal ini ia mencakup
isteri yang dicerai dua kali. Tidak boleh dhamir (kata ganti). Itu kembali kepada oknum, yang
tidak disebutkan dalam ayat di atas dan meninggalkan oknum yang disebutkan dengan jelas akan
tetapi mungkin dikhususkan bagi oknum yang pernah disebutkan sebelumnya atau meliputi juga
selain yang sudah disebutkan sebelumnya. Kemudian Allah SWT berfirman, ”Kemudian jika
suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua) maka perempuan itu tidak halal lagi baginya.”
(Al-Baqarah:230).

Ayat al-Qur’an ini meliputi perempuan yang dicerai setelah khulu’ dan setelah dicerai, dua kali
secara qath’i (pasti) karena dialah yang disebutkan dalam ayat di atas. Maka ia (wanita yang di
khulu’) harus masuk ke dalam kandungan lafazh ayat tersebut. Demikianlah yang difahami
Imam Ahli tafsir Ibnu Abbas r.a. yang pernah dido’akan oleh Rasulullah saw. agar Allah
mengajarinya tafsir Qur’an. Dan pasti doa itu terkabul, tanpa keraguan. Manakala hukum-hukum
yang berlaku dalam khulu’ berlainan dengan hukum-hukum talak maka hal itu menunjukkan
bahwa keduanya berlainan. Jadi inilah yang sesuai dengan ketentuan na’ah, qiyas, dan dengan
pendapat para shahabat Nabi saw. (Zaadul Ma’ad V:199).

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Pernikahan adalah sarana untuk menyatukan dua orang manusia yang berlainan jenis (laki-laki
dan perempuan) dalam sebuah ikatan suci guna mencari ridho Allah swt, namun dalam
realitanya, pernikahan banyak di jadikan oleh sebagian orang sebagai kedok belaka, untuk
menjaga gengsi dan lain sebagainya yang pada dasarnya telah menyalahi tujuan dari di
syariatkannya sebuah pernikahan, yaitu ibadah.

Sakinah, mawaddah dan kasih sayang adalah asas dan tujuan disyariatkannya pernikahan dan
pembentukan rumah tangga. Dijelaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

ٍ ‫َو ِم ْن آ َياتِ ِه أ َ ْن َخلَقَ لَ ُك ْم ِم ْن أ َ ْنفُ ِس ُك ْم أ َ ْز َوا ًجا ِلت َ ْس ُكنُوا ِإلَ ْي َها َو َج َع َل َب ْينَ ُك ْم َم َودَّةً َو َرحْ َمةً ۚ ِإ َّن فِي َٰذَلِكَ ََل َيا‬
َ‫ت ِلقَ ْو ٍم َيتَفَ َّك ُرون‬

“Dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di
antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” [Ar-Rum : 21]

Namun kenyataannya banyak terjadi dalam kehidupan berkeluarga timbul masalah-masalah yang
mendorong seorang isteri melakukan gugatan cerai dengan segala alasan. Fenomena ini banyak
terjadi dalam media massa, sehingga diketahui khalayak ramai. Yang pantas disayangkan,
mereka tidak segan-segan membuka rahasia rumah tangga, hanya sekedar untuk bisa
memenangkan gugatan,. Padahal, semestinya persoalan gugatan cerai ini harus dikembalikan
kepada agama, dan menimbangnya dengan Islam. Dengan demikian, kita semua dapat ber-Islam
dengan kaffah (sempurna dan menyeluruh).

Dalam masyarakat kita sering menjumpai berbagai macam kasus atau kejadian rumah tangga,
seperti keretakan rumah tangga yang berujung pada perceraian, namun lazimnya hak cerai itu
dimiliki oleh laki-laki (suami), namun bukan berarti hal ini menunjukan bentuk diskriminasi
terhadap wanita, karena hukum kita (islam) telah memberikan solusi bagi wanita yang
mengalami gencatan atau beban rumah tangga untuk melakukan gugatan cerai pada suami,
dengan cara memberikan upah atau iwadhsebagai bentuk membebaskan dirinya dari ikatan
suami istri.

Namun pada prakteknya dilapangan, ternyata terjadi kontradiksi antara konsep gugatan cerai
menurut persepektif hukum fiqh dan Pengadilan Agama dilingkungan kita. Sehingga penulis
mencoba untuk mengulas sedikit tentang masalah gugatan cerai, dengan tujuan menemukan
kebenaran, baik secara nisbiy maupun absolut.

Khulu’ menurut bahasa ialah melepas. Adapun khulu’ menurut istilah syara’ ialah seorang istri
meminta kepada suami supaya dirinya diceraikan dengan memberikan suatu tebusan (‘iwadl),
misalnya mengembalikan mahar yang dulu diberikan oleh suaminya.

HUKUM AL-KHULU’

Al-Khulu disyariatkan dalam syari’at Islam berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

َّ َ‫َّللاِ ۖ فَإ ِ ْن ِخ ْفت ُ ْم أ َ َّال يُ ِقي َما ُحد ُود‬


‫َّللاِ فَ ََل ُجنَا َح َعلَ ْي ِه َما فِي َما‬ َ ‫َو َال يَ ِح ُّل لَ ُك ْم أ َ ْن ت َأ ْ ُخذُوا ِم َّما آت َ ْيت ُ ُموه َُّن‬
َّ َ‫ش ْيئًا إِ َّال أَ ْن يَخَافَا أَ َّال يُ ِقي َما ُحدُود‬
َّ َٰ ُ
َ‫َّللاِ فَأولَئِكَ ُه ُم الظا ِل ُمون‬ َّ َ‫َّللاِ فَ ََل ت َ ْعتَد ُوهَا ۚ َو َم ْن يَتَعَدَّ ُحد ُود‬َّ ُ ‫ت بِ ِه ۗ تِ ْلكَ ُحد ُود‬ ْ َ‫ا ْفتَد‬
“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada
mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum
Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk
menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa
yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim’ [Al-Baqarah :
229]

Surat An-Nisa ayat 4:

‫سا فَ ُكلُ ْوهُ َهنِ ْيئًا َم ِر ْيئًا‬ َ ‫صدَقَتِ ِه َّن نِحْ لَةً فَأ ِْن تِبْنَ لَ ُك ْم َع ْن‬
ً ‫ش ْيءٍ ِم ْنهُ نَ ْف‬ َ ِِّ‫َو َءات ُ ْو الن‬
َ ‫سا َء‬

Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian
dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan)
yang sedap lagi baik akibatnya.”

Surat An-Nisa ayat 19:

‫ش ٍة ُم َب ِِّينَ ٍة‬ ِ َ‫ض َّما َءات َ ْيت ُ ُم ْوه َُّن أِالَّ أَ ْن يَأتِيْنَ ِبف‬
َ ‫اح‬ ٍ ‫ضلُ ْوه َُّن ِلتَذْ َهب ُْوا ِببَ ْع‬
ُ ‫سا َء ك َْرهًا َوالَ ت َ ْع‬َ ِِّ‫يَأَيُّ َها الَّ ِذيْنَ َءا َمنُ ْوا الَ يَ ِح ُّل لَ ُك ْم أ َ ْن ت َِرث ُ ْوا الن‬
ً
‫ش ْيئا َو َيجْ عَ ُل هللاُ فِ ْي ِه َخي ًْرا َكثِي ًْرا‬ ْ ْ
َ ‫سي أن تَك َره ُْوا‬ َ َ َ‫ف فَأ ِْن ك َِر ْهت ُ ُم ْوه َُّن فَع‬ ِ ‫َو َعا ِش ُر ْوه َُّن بِال َم ْع ُر ْو‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan
jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali
sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan
pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu
tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,
Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”

Surat An-Nisa ayat 21:

ً ‫ض َوأ َ َخذْنَ ِم ْن ُك ْم ِم ْيثَاقا ً َغ ِل ْي‬


‫ظا‬ ٍ ‫ض ُك ْم أِلَي بَ ْع‬ َ ‫ْف ت َأ ُخذُ ْونَهُ َوقَدْ أ َ ْف‬
ُ ‫ضي بَ ْع‬ َ ‫َو َكي‬

Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul
(bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil
dari kamu Perjanjian yang kuat.”

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

َ‫ق َو ال‬ ٍ ُ‫ اِنِّى َما ا َ ْعتِبُ َعلَ ْي ِه فِى ُخل‬،ِ‫س ْو َل هللا‬ ْ ‫ي ص فَقَا َل‬
ُ ‫ يَا َر‬:‫ت‬ ِّ ‫اس اِلَى النَّ ِب‬ َ ‫ت ب ِْن قَي ِْس ب ِْن‬
ٍ ‫ش َّم‬ ِ ‫ت ا ْم َرأَة ُ ثَا ِب‬
ِ ‫ َجا َء‬:َ‫َّاس قَال‬
ٍ ‫َع ِن اب ِْن َعب‬
َ َ ْ ْ
‫ اِقبَ ِل ال َح ِد ْيقة َو‬:‫س ْو ُل هللاِ ص‬ َ َ
ُ ‫ فقا َل َر‬.‫ نَعَ ْم‬:‫ت‬ َ َ َ َ َ
ْ ‫ ات َُردِّيْنَ َعل ْي ِه َح ِد ْيقتَهُ؟ قال‬:‫س ْو ُل هللاِ ص‬ َ َ َ ْ ْ
ُ ‫ فقا َل َر‬.‫ َو لَ ِكنِّى اك َرهُ الكف َر فِى ا ِال ْسَل ِم‬،‫ِدي ٍْن‬
ْ ُ ْ َ
6:276 ‫ فى نيل االوطار‬،‫ البخارى و النسائى‬.ً‫َط ِل ْيقَة‬ ْ ‫طلِّ ْق َها ت‬
َ

Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata : Istri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Nabi SAW, lalu
ia berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku tidak mencela dia (suamiku) tentang akhlaq dan
agamanya, tetapi aku tidak menyukai kekufuran dalam Islam”. Kemudian Rasulullah SAW
bertanya, “Maukah kamu mengembalikan kebunmu kepadanya ?”. Ia menjawab, “Ya”. Lalu
Rasulullah SAW bersabda (kepada Tsabit), “Terimalah kebunmu itu dan thalaqlah dia sekali”.
[HR. Bukhari dan Nasai, dalam Nailul Authar juz 6, hal. 276]

‫ق َو ل ِكنِّى اَ ْك َرهُ اْل ُك ْف َر فِى‬ ٍ ُ‫ت فِى ِدي ٍْن َو الَ ُخل‬ ٍ ‫ َو هللاِ َما ا َ ْعتِبُ َعلَى ثَا ِب‬:‫ت‬ ْ َ‫ي ص فَقَال‬ ِ َ ‫سلُ ْو ٍل اَت‬
َّ ‫ت النَّ ِب‬ َ َ‫َّاس ا َ َّن َج ِم ْي َلةَ ِب ْنت‬
ٍ ‫َع ِن اب ِْن َعب‬
َ‫س ْو ُل هللاِ ص اَ ْن يَأ ْ ُخذَ ِم ْن َها َح ِد ْي َقتَهُ َو ال‬ َ َ ْ َ َ َ َ َ َ
ُ ‫ فا َم َرهُ َر‬.‫ نَعَ ْم‬:‫ ات َُردِّيْنَ َعل ْي ِه َح ِد ْيقتهُ؟ قالت‬:‫ي ص‬ ُّ ِ‫ فقا َل ل َها النب‬.‫ الَ ا ُ ِط ْيقهُ بُغضًا‬،‫اْ ِال ْسَلَ ِم‬
َّ َ َ َ ْ ُ
‫ ابن ماجه‬.َ‫يَ ْزدَاد‬

Dari Ibnu ‘Abbas bahwasanya Jamilah binti Salul datang kepada Nabi SAW lalu berkata, “Demi
Allah, aku tidak mencela kepada Tsabit tentang agama dan akhlaqnya, tetapi aku tidak menyukai
kekufuran dalam Islam, aku tidak kuat menahan rasa benci kepadanya”. Lalu Nabi SAW
bertanya, “Maukah kamu mengembalikan kebunnya kepadanya ?” Ia menjawab, “Ya”.
Kemudian Rasulullah SAW menyuruh Tsabit agar mengambil kembali kebunnya dari Jamilah,
dan tidak minta tambahan”. HR. Ibnu Majah]
ِّ َ‫ِي َج ِم ْيلَةُ ِب ْنتُ َع ْب ِد هللاِ ب ِْن اُب‬
‫ فَاَت َى ا َ ُخ ْوهَا‬،‫ي‬ َ ‫س َر يَدَهَا َو ه‬َ ‫ب ْام َرأَتَهُ فَ َك‬
َ ‫ض َر‬
َ ‫اس‬ َ ‫ت ُم َع ِّو ٍذ ا َ َّن ثَا ِبتَ بْنَ قَي ِْس ب ِْن‬
ٍ ‫ش َّم‬ ِ ‫الربَيِّعِ ِب ْن‬
ُّ ‫َع ِن‬
‫س ْو ُل‬ َ َ َ
ُ ‫ فا َم َرهَا َر‬.‫ نَعَ ْم‬:َ‫ قال‬.‫سبِ ْيل َها‬َ َ ‫عليْكَ َو َخ ِّل‬ َ َ
َ ‫ي ل َها‬ َّ ُ َ
ْ ‫ خ ِذ ال ِذ‬:ُ‫ت فقا َل له‬َ َ َ َ
ٍ ِ‫س ْو ُل هللاِ ص اِلى ثاب‬
ُ ‫س َل َر‬ َ َ
َ ‫ فا ْر‬:‫س ْو ِل هللاِ ص‬ َ
ُ ‫يَ ْشت َ ِك ْي ِه اِلى َر‬
ْ
6:277 ‫ فى نيل االوطار‬،‫ النسائى‬.‫احدَة ً َو تَل َحقَ ِبا َ ْه ِل َها‬ ِ ‫ضةً َو‬ َ ‫َّص َح ْي‬ َ ‫هللاِ ص ا َ ْن تَت ََرب‬

Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz bahwasanya Tsabit bin Qais bin Syammas memukul tangan
istrinya yang bernama Jamilah binti ‘Abdullah bin Ubaiy sehingga patah, kemudian saudaranya
datang kepada Rasulullah SAW untuk mengadukannya, lalu Rasulullah SAW mengutus
(seseorang) kepada Tsabit, kemudian Nabi SAW bersabda kepadanya, “Ambillah kembali apa
yang pernah kamu berikan kepada istrimu, dan lepaskanlah dia”. Tsabit menjawab, “Ya”. Lalu
Rasulullah SAW menyuruh Jamilah agar menunggu satu kali haidl dan pulang kepada
keluarganya”. [HR. Nasai, dalam Nailul Authar juz 6, hal. 277]

َ ‫ي ص اَ ْن ت َ ْعتَدَّ بِ َح ْي‬
‫ حديث‬:‫ ابو داود و الترمذى و قال‬.ٍ‫ضة‬ ْ َ‫اختَلَع‬
ُّ ِ‫ فَا َ َم َرهَا النَّب‬،‫ت ِم ْن زَ ْو ِج َها‬ ِ ِ‫َّاس ا َ َّن ا ْم َرأَة َ ثَاب‬
ْ ‫ت ب ِْن قَي ٍْس‬ ٍ ‫َع ِن اب ِْن َعب‬
‫حسن غريب‬

Dari Ibnu ‘Abbas bahwasanya istri Tsabit bin Qais menebus dirinya dari suaminya, kemudian
Nabi SAW menyuruhnya supaya ber’iddah sekali haidl. [HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dan ia
berkata, “Hadits hasan gharib, dalam Nailul Authar juz 6, hal. 277]

ْ ‫ي ص ا َ ْو ا ُ ِم َر‬
َ ‫ت ا َ ْن ت َ ْعتَدَّ بِ َح ْي‬
‫ حديث‬:‫ الترمذى و قال‬.ٍ‫ضة‬ ُ ‫ت َعلَى َع ْه ِد َر‬
ُّ ِ‫س ْو ِل هللاِ ص فَا َ َم َرهَا النَّب‬ ْ ‫اختَلَ َع‬
ْ ‫ت ُم َع ِّو ٍذ اَنَّ َها‬
ِ ‫الربَيِّعِ بِ ْن‬
ُّ ‫َع ِن‬
6:277 ‫ فى نيل االوطار‬،‫الربيع الصحيح انها امرت ان تعتد بحيضة‬

Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz, bahwasanya ia pernah menebus dirinya (khulu’) di masa
Rasulullah SAW, kemudian Nabi SAW menyuruhnya atau dia disuruh agar ber’iddah sekali
haidl. [HR. Tirmidzi, dan ia berkata, “Hadits Rubayyi’ ini sah, bahwa ia disuruh oleh Nabi SAW
agar ber’iddah dengan sekali haidl, dalam Nailul Authar juz 6, hal. 277]

‫يص‬ ُّ ‫ فَقَا َل النَّ ِب‬،ٌ‫صدَقَ َها َح ِد ْيقَة‬


ْ َ ‫سلُ ْو ٍل َو َكانَ ا‬َ ‫ي ب ِْن‬ِّ ‫هللا ب ِْن ا ُ َب‬
ِ ‫َت ِع ْندَهُ ِب ْنتُ َع ْب ِد‬ ْ ‫اس كَان‬ ٍ ‫ش َّم‬َ ‫الز َبي ِْر ا َ َّن ثَا ِبتَ بْنَ َقي ِْس ب ِْن‬
ُّ ‫َع ْن ا َ ِبى‬
َ
‫ َو‬.ُ‫ فَا َ َخذَهَا له‬.‫ نَعَ ْم‬:‫ت‬ َ
ْ ‫ قَال‬.ُ‫ َو ل ِك ْن َح ِد ْيقَتُه‬،َ‫الزيَادَة ُ فََل‬
ِّ ‫ ا َ َّما‬:‫ي ص‬ ُّ ِ‫ فَقَا َل النَّب‬.ً‫ َو ِزيَادَة‬،‫ نَعَ ْم‬:‫ت‬ َ
ْ ‫اك؟ قَال‬ َ َّ
ِ ‫اَت َُردِّيْنَ َعلَ ْي ِه َح ِد ْيقَتَهُ التِى ا َ ْعط‬
‫ سمعه ابو الزبير من‬:‫ الدارقطنى باسناد صحيح و قال‬.‫س ْو ِل هللاِ ص‬ ُ ‫ضا َء َر‬ َ َ‫ قَ ِب ْلتُ ق‬:َ‫ فَلَ َّما َبلَ َغ ذلِكَ ثَا ِبتَ بْنَ قَي ٍْس قَال‬.‫س ِب ْيلَ َها‬
َ ‫َخلَّى‬
6:277 ‫ فى نيل االوطار‬،‫غير واحد‬

Dari Abu Zubair bahwasanya Tsabit bin Qais bin Syammas mempunyai istri anak perempuan
dari ‘Abdullah bin Ubaiy bin Salul. Dahulu ia memberikan mahar kepada istrinya berupa sebuah
kebun. Kemudian Nabi SAW bertanya (kepada si istri), “Maukah kamu mengembalikan kebun
pemberian suamimu itu ?”. Ia menjawab, “Ya, dan akan saya tambah”. Lalu Nabi SAW
bersabda, “Adapun tambahan itu tidak usah, cukup kebunnya saja”. Ia berkata, “Ya”. Kemudian
Nabi SAW mengambil kebun itu untuk diberikan kepada Tsabit dan beliau menceraikannya.
Kemudian setelah hal itu sampai kepada Tsabit bin Qais, ia berkata, “Sungguh aku menerima
putusan Rasulullah SAW”. [HR. Daruquthni dengan sanad yang sah, ia berkata, “Hadits ini
didengar oleh Abu Zubair tidak hanya dari seorang saja”, dalam Nailul Authar juz 6, hal. 277].

Meskipun khulu diperbolehkan tetapi harus diikuti dengan alasan-alasan yang kuat, seperti suami
seorang pemabuk, pezina, penjudi, tidak menafkahi keluarganya dan lain-lain. Dalam hal
seorang wanita atau isteri meminta cerai tanpa alasan atau dicari-cari, maka diharamkan
untuknya bau syurga. Sesuai dengan hadits Nabi SAW:

َ‫اء َحةُ ْال َجنَّة‬ َ ْ ‫طَلقَ َغي ُْر َما َبأ‬


ِ ‫س فَ َح َرا ٌم َعلَ ْي َها َر‬ َ ‫ت زَ ْو َج َها ال‬
ْ َ‫ساَل‬
َ ٍ‫ اَيُّ َما ْام َر َءة‬: ‫ص َم‬ ُ ‫قَا َل َر‬
َ ِ‫س ْو ْْ ُل هللا‬

Artinya: “Dari Tsauban, Rasul SAW bersabda: “Siapapun perempuan yang meminta cerai
kepada suaminya tanpa sebab, maka haram baginya bau syurga”.(HR Abu Dawud no 1928, At-
Thirmidzi dan Ibnu Maajah, dan dihahihkan oleh Syaikh Albani)

Hadits ini menunjukkan ancaman yang sangat keras bagi seorang wanita yang meminta
perceraian tanpa ada sebab yang syar'i yang kuat yang membolehkannya untuk meminta cerai.
Berkata Abu At-Toyyib Al'Adziim Aabaadi, "Yaitu tanpa ada kondisi mendesak memaksanya
untuk meminta cerai…((Maka haram baginya bau surga)) yaitu ia terhalang dari mencium
harumnya surga, dan ini merupakan bentuk ancaman dan bahkan bentuk mubaalaghoh (berlebih-
lebihan) dalam ancaman, atau terjadinya hal tersebut pada satu kondisi tertentu yaitu artinya ia
tidak mencium wanginya surga tatkala tercium oleh orang-orang yang bertakwa yang pertama
kali mencium wanginya surga, atau memang sama sekali ia tidak mencium wanginya surga. dan
ini merupakan bentuk berlebih-lebihan dalam ancaman" ('Aunul Ma'buud 6/308)
Ibnu Hajar berkata :

‫أن األخبار الواردة في ترهيب المرأة من طلب طَلق زوجها محمولة على ما إذا لم يكن بسبب يقتضى ذلك‬

"Sesungguhnya hadits-hadits yang datang tentang ancaman terhadap wanita yang meminta cerai,
dibawakan kepada jika sang wanita meminta cerai tanpa sebab" (Fathul Baari 9/402)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda :

ُ‫ْال ُم ْخت َ ِلعَاتُ َو ْال ُم ْنت َِز َعاتُ ه َُّن ْال ُمنَا ِفقَات‬

"Para wanita yang khulu' dari suaminya dan melepaskan dirinya dari suaminya, mereka itulah
para wanita munafiq" (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no 632)

Yaitu para wanita yang mengeluarkan biaya untuk meminta cerai dari suami mereka tanpa ada
udzur yang syari' (lihat At-Taisiir bi Syarh Al-Jaami' As-Shogiir 1/607)

Berdasarkan dalil-dalil Al Qur’an serta Hadist tersebut cukuplah menjadi fakta kekuatan
pengadilan dalam menangani kasus khulu. Sehingga untuk melindungi hak wanita dalam
perkawinan, pemberian hak khulu kepada wanita sangat diperlukan guna menghindari hal-hal
yang tidak diinginkan terjadi.

Sebab-Sebab Dibolehkan Khulu'

Para ulama telah menyebutkan perkara-perkara yang membolehkan seorang wanita meminta
khulu' (pisah) dari suaminya.

Diantara perkara-perkara tersebut adalah :

1. Jika sang suami sangat nampak membenci sang istri, akan tetapi sang suami sengaja tidak
ingin menceraikan sang istri agar sang istri menjadi seperti wanita yang tergantung

2. Akhlak suami yang buruk terhadap sang istri, seperti suka menghinanya atau suka
memukulnya.

3. Agama sang suami yang buruk, seperti sang suami yang terlalu sering melakukan dosa-dosa,
seperti minum khomr, berjudi, berzina, atau sering meninggalkan sholat, suka mendengar music,
dll

4. Jika sang suami tidak menunaikan hak utama sang istri, seperti tidak memberikan nafkah
kepadanya, atau tidak membelikan pakaian untuknya, dan kebutuhan-kebutuhan primer yang
lainnya, padahal sang suami mampu.

5. Jika sang suami ternyata tidak bisa menggauli istrinya dengan baik, misalnya jika sang suami
cacat, atau tidak bisa melakukan hubungan biologis, atau tidak adil dalam mabit (jatah
menginap), atau tidak mau atau jarang memenuhi kebutuhan biologisnya karena condong kepada
istri yang lain

6. Jika sang wanita sama sekali tidak membenci sang suami, hanya saja sang wanita khawatir
tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai istri sehingga tidak bisa menunaikan hak-hak
suaminya dengan baik. Maka boleh baginya meminta agar suaminya meridoinya untuk khulu',
karena ia khawatir terjerumus dalam dosa karena tidak bisa menunaikan hak-hak suami

7. Jika sang istri membenci suaminya bukan karena akhlak yang buruk, dan juga bukan karena
agama suami yang buruk. Akan tetapi sang istri tidak bisa mencintai sang suami karena
kekurangan pada jasadnya, seperti cacat, atau buruknya suami

Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :

‫وجمله األمر أن المرأة إذا كرهت زوجها لخلقه أو خلقه أو دينه أو كبره أو ضعفه أو نحو ذلك وخشيت أن ال تؤدي حق هللا في‬
‫طاعته جاز لها أن تخالعه بعوض تفتدي به نفسها‬
"Dan kesimpulannya bahwasanya seorang wanita jika membenci suaminya karena akhlaknya
atau perawakannya/rupa dan jasadnya atau karena agamanya, atau karena tuanya, atau lemahnya,
dan yang semisalnya, dan ia khawatir tidak bisa menunaikan hak Allah dalam mentaati sang
suami maka boleh baginya untuk meminta khulu' kepada suaminya dengan memberikan
biaya/ganti untuk membebaskan dirinya" (Al-Mughni 8/174)

Hukum Khulu'

Para ulama Fiqh mengatakan bahwa Khulu' itu mempunyai tiga hukum tergantung kondisi dan
situasinya. Ketiga hukum dimaksud adalah:

1. Mubah.

Isteri boleh-boleh saja untuk mengajukan Khulu' manakala ia merasa tidak nyaman apabila tetap
hidup bersama suaminya, baik karena sifat-sifat buruk suaminya, atau dikhawatirkan tidak
memberikan hak-haknya kembali atau karena ia takut ketaatan kepada suaminya tidak
menyebabkan berdiri dan terjaganya ketentuan-ketentuan Allah. Dalam kondisi seperti ini,
Khulu' bagi si isteri boleh dan sah-sah saja, sebagaimana firman Allah:

َّ َ‫فَإ ِ ْن ِخ ْفت ُ ْم أ َ َّال يُ ِقي َما ُحد ُود‬


ْ َ‫َّللاِ فَ ََل ُجنَا َح َعلَ ْي ِه َما فِي َما ا ْفتَد‬
)229 :‫ت ِب ِه (البقرة‬

Artinya: "Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-
hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk
menebus dirinya" (QS. Al-Baqarah: 229).

Demikian juga berdasarkan hadits berikut ini:

‫ ثابت بن قيس ما أعيب عليه فى خلق‬,‫ يا رسول هللا‬:‫عن ابن عباس أن امرأة ثابت بن قيس أتت النبي صلى هللا عليه وسلم فقالت‬
‫ فرددت عليه‬,‫ نعم‬:‫ فقالت‬,))‫ ((أتردين عليه حديقه‬:‫ فقال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬,‫ ولكنى أكره الكفر فى اإلسَلم‬,‫وال دين‬
]‫ ((اقبل الحديقة وطلقها تطليقة)) [رواه البخارى‬:‫فقال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬

Artinya: "Dari Ibnu Abbas, bahwasannya isteri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi saw sambil
berkata: "Ya Rasulullah, Saya tidak mendapati kekurangan dari Tsabit bin Qais, baik akhlak
maupun agamanya. Hanya saja, saya takut saya sering kufur (maksudnya kufur, tidak
melaksanakan kewajiban kepada suami dengan baik) dalam Islam. Rasulullah saw lalu bersabda:
"Apakah kamu siap mengembalikan kebunnya?" Wanita itu menjawab: "Ya, sanggup. Saya akan
mengembalikan kebun itu kepadanya". Rasulullah saw lalu bersabda (kepada Tsabit): "Terimalah
kebunnya itu dan ceraikan dia satu kali cerai". (HR. Bukhari).

Dalam riwayat ini jelas bahwa istri Tsaabit bin Qois sama sekali tidak mengeluhkan akan
buruknya akhlak suaminya atau kurangnya agama suaminya. Akan tetapi ia mengeluhkan
tentang perkara yang lain. Apakah perkara tersebut??

Dalam sebagian riwayat yang lain menjelaskan bahwa istri Tsabit meminta khulu' karena buruk
rupanya Tsabit.

‫عن حجاج عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده قال كانت حبيبة بنت سهل تحت ثابت بن قيس بن شماس وكان رجَل دميما‬
‫فقالت يا رسول هللا وهللا لوال مخافة هللا إذا دخل علي لبصقت في وجهه‬

Dari Hajjaj dari 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya dan dari kakeknya berkata, "Dahulu Habibah
binti Sahl adalah istri Tsaabit bin Qois bin Syammaas. Dan Tsaabit adalah seorang lelaki buruk
dan pendek, maka Habibah berkata, "Wahai Rasulullah, demi Allah, kalau bukan karena takut
kepada Allah maka jika ia masuk menemuiku maka aku akan meludahi wajahnya". (HR Ibnu
Maajah no 2057 dan didho'ifkan oleh Syaikh Al-Albani)

Namun telah datang dalam riwayat yang shahih dari Ibnu Abbas berkata:

‫ يا رسول هللا ال يجمع رأسي‬:‫ أنها أتت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم فقالت‬،‫ أخت عبد هللا بن أبي‬،‫إن أول خلع كان في اإلسَلم‬
‫ وأقبحهم وجها! قال‬،‫ وأقصرهم قامة‬،‫ فإذا هو أشدهم سوادا‬،‫ فرأيته أقبل في عدة‬،‫ورأسه شيء أبدا! إني رفعت جانب الخباء‬
!‫ وإن شاء زدته‬،‫ نعم‬:‫"ما تقولين؟" قالت‬:‫ فإن ردت على حديقتي! قال‬،‫ إني أعطيتها أفضل مالي! حديقة‬،‫ يا رسول هللا‬:‫زوجها‬
‫ ففرق بينهما‬:‫قال‬
"Khulu' yang pertama kali dalam sejarah Islam adalah khulu'nya saudari Abdullah bin Ubay
(Yaitu Jamilah bintu Abdullah bin Ubay bin Saluul gembong orang munafiq, dan saudara
Jamilah bernama Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Saluul-pen). Ia mendatangi Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata, "Wahai Rasulullah, tidak mungkin ada sesuatu yang
bisa menyatukan kepalaku dengan kepala Tsabit selamanya. Aku telah mengangkat sisi tirai
maka aku melihatnya datang bersama beberapa orang. Ternyata Tsaabit adalah yang paling
hitam diantara mereka, yang paling pendek, dan yang paling jelek wajahnya"

Suaminya (Tsaabit) berkata, "Wahai Rasulullah, aku telah memberikan kepadanya hartaku yang
terbaik, sebuah kebun, jika kebunku dikembalikan, (maka aku setuju untuk berpisah)". Nabi
berkata,"Apa pendapatmu (wahai jamilah)?". Jamilah berkata, "Setuju, dan jika dia mau akan
aku tambah". Maka Nabipun memisahkan antara keduanya" (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir At-
Thobari dalam tafsirnya (4/552-553, no 3807), tatkala menafsirkan surat Al-Baqoroh ayat 229,
dan sanadnya dinilai shahih oleh para pentahqiq Tafsir At-Thobari)

Catatan :

Pertama : Para ulama berselisih tentang nama istri Tsabit bin Qois, apakah namanya Jamilah
binti Abdillah bin Ubay bin Saluul ataukah Habibah binti Sahl?. Akan tetapi Ibnu Hajar
rahimahullah condong bahwa Tsabit pernah menikahi Habibah lalu terjadi khuluk, kemudian ia
menikahi Jamilah dan juga terjadi khulu' (lihat Fathul Baari 9/399)

Kedua : Dalam sebagian riwayat yang shahih menunjukkan bahwa Tsaabit bin Qois radhiallahu
'anhu pernah memukul istrinya hingga tangannya patah. Sehingga inilah yang dikeluhkan oleh
istri beliau sehingga minta khulu'

Dari Ar-Rubayyi' bin Mu'awwidz berkata :

‫أن ثابت بن قيس بن شماس ضرب امرأته فكسر يدها وهي جميلة بنت عبد هللا بن أبي فأتى أخوها يشتكيه إلى رسول هللا صلى‬
‫هللا عليه و سلم فأرسل رسول هللا صلى هللا عليه و سلم إلى ثابت فقال له خذ الذي لها عليك وخل سبيلها قال نعم فأمرها رسول‬
‫هللا صلى هللا عليه و سلم أن تتربص حيضة واحدة فتلحق بأهلها‬

"Sesungguhnya Tsaabit bin Qois bin Syammaas memukul istrinya hingga mematahkan
tangannya. Istrinya adalah Jamilah binti Abdillah bin Ubay. Maka saudara laki-lakinya pun
mendatangi Nabi mengeluhkannya. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengirim
utusan ke Tsabit dan berkata, "Ambillah harta milik istrimu yang wajib atasmu dan ceraikanlah
dia". Maka Tsaabit berkata, "Iya". Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan
Jamilah untuk menunggu (masa 'iddah) satu kali haid. Lalu iapun pergi ke keluarganya" (HR An-
Nasaai no 3487 dan dishahihkan oleh Al-Albani)

َّ ‫سو َل‬
-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫َّللا‬ ْ ‫ض َها فَأَت‬
ُ ‫َت َر‬ َ ‫س َر بَ ْع‬َ ‫ض َربَ َها فَ َك‬
َ َ‫اس ف‬
ٍ ‫ش َّم‬ ِ ‫َت ِع ْندَ ثَا ِب‬
َ ‫ت ب ِْن قَي ِْس ب ِْن‬ ْ ‫س ْه ٍل كَان‬ َ َ‫شةَ أ َ َّن َحبِيبَةَ بِ ْنت‬ َ ِ‫َع ْن َعائ‬
.» ‫ار ْق َها‬
ِ َ‫ض َما ِل َها َوف‬َ ‫ ثَا ِبتًا فَقَا َل « ُخذْ بَ ْع‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ى‬ ُّ ‫صبْحِ فَا ْشت َ َكتْهُ ِإلَ ْي ِه فَدَ َعا النَّ ِب‬
ُّ ‫بَ ْعدَ ال‬

‫ « ُخذْ ُه َما‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ى‬ ْ َ ‫ قَا َل فَإِنِِّى أ‬.» ‫َّللاِ قَا َل « نَعَ ْم‬
ُّ ِ‫صدَ ْقت ُ َها َحدِيقَتَي ِْن َو ُه َما ِبيَ ِدهَا فَقَا َل النَّب‬ ُ ‫صلُ ُح ذَلِكَ يَا َر‬
َّ ‫سو َل‬ ْ َ‫فَقَا َل َوي‬
.َ‫ فَفَ َعل‬.» ‫ار ْق َها‬
ِ َ‫فَف‬

Dari Aisyah bahwasanya Habibah binti Sahl dulunya istri Tsabit bin Qois, lalu Tsabit
memukulnya hingga patahlah sebagian anggota tubuhnya. Habibah pun mendatangi Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam setelah subuh dan mengadukan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam tentang suaminya. Maka Nabi berkata kepada Tsabit, "Ambillah sebagian harta Habibah,
dan berpisahlah darinya"

Tsaabit berkata, "Apakah dibenarkan hal ini wahai Rasulullah?", Nabi berkata, "Benar". Tsabit
berkata, "Aku telah memberikan kepadanya mahar berupa dua kebun, dan keduanya berada
padanya". Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Ambilah kedua kebun tersebut dan
berpisalah dengannya". (HR Abu Dawud no 2230, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

Dari riwayat-riwayat yang ada, seakan-akan ada pertentangan, karena sebagian riwayat
menunjukkan bahwa istri Tsabit meminta cerai karena perangai Tsaabit yang telah memukulnya
hingga menyebabkan patah tangan. Dan sebagian riwayat yang lain sangat jelas dan tegas bahwa
sang istri tidak mencela akhlak dan agama Tsaabit, akan yang dikeluhkan ada kondisi tubuh
Tsaabit yang hitam, pendek, dan buruk rupa.

Ibnu Hajar menjamak kedua model riwayat diatas dengan menyebutkan suatu riwayat dimana
istri Tsabit berkata :

‫وهللا ما أعتب على ثابت في دين وال خلق ولكني أكره الكفر في اإلسَلم ال أطيقه بغضا‬

"Demi Allah aku tidak mencela Tsabit karena agamanya dan juga akhlaknya, akan tetapi aku
takutkan kekufuran dalam Islam, aku tidak sanggup dengannyakarena aku membencinya" (HR
Ibnu Maajah no 1673 dan dishahihkan oleh Al-Albani)

‫ لكن لم‬... ‫لكن تقدم من رواية النسائي أنه كسر يدها فيحمل على أنها أرادت أنه سيء الخلق لكنها ما تعيبه بذلك بل بشيء آخر‬
‫تشكه واحدة منهما بسبب ذلك بل وقع التصريح بسبب آخر وهو أنه كان دميم الخلقة‬

"Akan tetapi telah lalu dalam riwayat An-Nasaai bahwasanya Tsaabit mematahkan tangan sang
istri, maka dibawakan kepada makna bahwasanya sang istri ingin mengatakan bahwa Tsabit
buruk akhlaknya akan tetapi ia tidak mencela Tsaabit karena hal itu, akan tetapi karena perkara
yang lain…tidak seorangpun dari kedua istrinya (Jamilah maupun Habibah) yang mencela Tsabit
karena "sebab mematahkan tulang", akan tetapi telah datang penjelasan yang tegas akan sebab
yang lain, yaitu perawakan Tsaabit buruk" (Fathul Baari 9/400)

Dari sinilah para ulama menyatakan bahwa diantara salah satu sebab yang membolehkan seorang
wanita meminta khulu' adalah jika sang suami buruk rupa, dan sang istri sama sekali tidak bisa
mencintai sang suami. Dan jika sudah tidak cinta maka sulit untuk meraih kebahagiaan dan kasih
sayang yang merupakan salah satu dari tujuan pernikahan. Wallahu A'lam.

2. Haram.

Khulu'' bisa haram hukumnya apabila dilakukan dalam dua kondisi berikut ini:

1) Apabila si isteri meminta Khulu' kepada suaminya tanpa ada alasan dan sebab yang jelas,
padahal urusan rumah tangganya baik-baik saja, tidak ada alasan yang dapat dijadikan dasar oleh
isteri untuk mengajukan Khulu'. Hal ini didasarkan kepada firman Allah berikut ini:

َّ َ‫َّللاِ فَإ ِ ْن ِخ ْفت ُ ْم أ َ َّال يُ ِقي َما ُحد ُود‬


‫َّللاِ فَ ََل ُجنَا َح َعلَ ْي ِه َما ِفي َما‬ َ ‫َو َال َي ِح ُّل لَ ُك ْم أ َ ْن تَأ ْ ُخذُوا ِم َّما َءات َ ْيت ُ ُموه َُّن‬
َّ َ‫ش ْيئًا ِإ َّال أ َ ْن َيخَافَا أ َ َّال يُ ِقي َما ُحد ُود‬
.)229 :‫ت بِ ِه (البقرة‬ ْ َ‫ا ْفتَد‬

Artinya: " Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan
kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum
Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum
Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk
menebus dirinya" (QS. Al-Baqarah: 229).

‫ فحرام عليها رائحة‬,‫ ((أيما امرأة سألت زوجها طَلقا فى غير ما بأس‬:‫عن ثوبان قال قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
]‫الجنة)) [رواه أبو داود وابن ماجه وأحمد‬

Artinya: "Tsauban berkata, Rasulullah saw bersabda: "Wanita yang mana saja yang meminta
cerai kepada suaminya tanpa alasan yang jelas, maka haram baginya untuk mencium wangi
surta" (HR. Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).

2) Apabila si suami sengaja menyakiti dan tidak memberikan hak-hak si isteri dengan maksud
agar si isteri mengajukan Khulu', maka hal ini juga haram hukumnya. Apabila Khulu' terjadi, si
suami tidak berhak mendapatkan dan mengambil 'iwadh, uang gantinya karena maksudnya saja
sudah salah dan berdosa. Dalam hal ini Allah berfirman:

.)19 :‫ش ٍة ُم َبيِِّنَ ٍة (النساء‬ ِ َ‫ض َما َءات َ ْيت ُ ُموه َُّن إِ َّال أ َ ْن يَأْتِينَ بِف‬
َ ‫اح‬ ِ ‫ضلُوه َُّن ِلتَذْ َهبُوا ِببَ ْع‬
ُ ‫َو َال ت َ ْع‬

Artinya: "Dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali
sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan
pekerjaan keji yang nyata" (QS. An-Nisa: 19).
Namun, apabila si suami berbuat seperti di atas lantaran si isteri berbuat zina misalnya, maka apa
yang dilakukan si suami boleh-boleh saja dan ia berhak mengambil 'iwadh tersebut.

3. Sunnah.

Khulu' juga bisa sunnah hukumnya apabila, menurut Hanabilah, si suami tidak melaksanakan
hak-hak Allah, misalnya si suami sudah tidak pernah melaksanakan shalat wajib, puasa
Ramadhan atau yang lainnya, atau apabila si suami melakukan dosa besar, seperti berzina,
nyandu dengan obat-obat terlarang dan lainnya. Sebagian ulama lainnya menilai bahwa untuk
kondisi seperti ini, Khulu' bukan lagi sunnah, akan tetapi wajib hukumnya.

Rukun Khulu'

Khulu' dapat dipandang sah dan jatuh, apabila memenuhi persyaratan rukun-rukunnya. Yang
termasuk rukun Khulu' ada empat, yaitu suami (al-mukhala', yang diKhulu'), isteri (al-
mukhtali'ah, yang mengKhulu'), shigat Khulu' dan iwadh, atau uang tebusan, uang ganti.

1. Al-mukhala' (yang diKhulu' yaitu suami).

Para ulama sepakat bahwasannya orang yang diKhulu'' atau suami hendaknya orang yang
mempunyai hak untuk mentalak. Dalam hal ini ada kaidah yang mengatakan: "man jaza
thalakuhu, jaza Khulu' uh (Barangsiapa yang boleh mentalak, boleh juga untuk mengKhulu'
nya)".

2. Al-mukhtali'ah (wanita yang mengKhulu', yakni isteri).

Bagi isteri yang hendak mengKhulu'' disyaratkan hal-hal berikut:

1). Hendaknya dia itu adalah isterinya yang sah secara syar'i. Hal ini karena Khulu' bertujuan
untuk mengkahiri ikatan pernikahan, maksudnya posisinya sebagai isteri. Ikatan ini baru dapat
pudar manakala dihasilkan dari pernikahan yang sah. Apabila dari pernikahan yang tidak sah,
maka si isteri tidak ada hak untuk mengajukan Khulu'.

Persoalan berikutnya adalah apakah wanita yang sedang dalam masa Iddah boleh mengajukan
Khulu'? Untuk hal ini ada dua keadaan:

a) Apabila wanita tersebut sedang dalam masa Iddah karena Thalak Raj'i, maka wanita tersebut
diperbolehkan mengajukan Khulu', lantaran wanita yang sedang dalam masa Iddah Talak Raj'i
masih dipandang sebagai isterinya yang sah dan karenanya, ia diperbolehkan untuk mengajukan
Khulu' dengan jalan membayar sejumlah 'iwadh.

b) Apabila wanita tersebut sedang dalam masa Iddah Thalak Ba'in, maka tidak diperbolehkan
mengajukan Khulu'. Apabila tetap mengajukan, maka Khulu' nya menjadi tidak sah. Hal ini
lantaran dia sudah dipandang sebagai orang lain dan sudah dipandang tidak ada lagi ikatan
pernikahan. Karena tidak ada lagi ikatan pernikahan, maka tidak dapat mengajukan Khulu'' dan
Khulu'' hanya terjadi bagi mereka yang masih terikat dalam ikatan suami isteri. Demikian
menurut Madzhab Syafi'iyyah dan Hanabilah.

Sedangkan menurut Hanafiyyah dan Malikiyyah, wanita yang sedang dalam masa Iddah Talak
Ba'in diperbolehkan untuk mengajukan Khulu'. Namun, pendapat pertama tentu lebih kuat dan
lebih mendekati kepada kebenaran.

2). Isteri yang mengajukan Khulu' hendaknya orang yang dipandang sah untuk melaksanakan
tasharruf (penggunaan) harta juga dipandang sah untuk berderma. Hal ini dengan melihat wanita
tersebut sudah baligah, berakal dan dapat dipercaya.

Apabila wanita tersebut belum baligh atau orang yang tidak waras akalnya, maka Khulu'nya
tidak sah. Karena baik orang gila maupun anak kecil bukan termasuk orang yang dipandang sah
untuk melakukan derma dan menggunakan hartanya.

3. 'Iwadh (Uang ganti)


'Iwadh adalah sejumlah harta yang diambil oleh suami dari isterinya karena si isteri mengajukan
Khulu'. Syarat dari iwadh ini hendaknya harta tersebut layak untuk dijadikan sebagai mas kawin.
Semua hal yang dapat dijadikan mas kawin, maka dapat pula dijadikan sebagai Iwadh dalam
Khulu' (ma jaza an yakuna mahran, jaza an yakuna badalal Khulu').

Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Menurut Hanafiyyah dan Malikiyyah, Khulu' sah
meskipun tidak memakai 'iwadh misalnya si isteri mengatakan: "Khulu'lah saya ini", lalu si
suami mengatakan: "Saya telah mengKhulu' kamu", tanpa menyebutkan adanya iwadh. Di antara
alasannya adalah:

1) Khulu' adalah pemutus pernikahan, karenanya boleh-boleh saja tanpa iwadh sebagaimana
talak yang tidak memakai iwadh.

2) Pada dasarnya, Khulu' ini terjadi lantaran si isteri sudah sangat membenci suaminya lantaran
perbuatan suaminya itu sehingga ia memintanya untuk menceraikannya. Ketika si isteri meminta
untuk diKhulu', lalu si suami mengabulkannya, maka hal demikian sah-sah saja meskipun tidak
memakai iwadh.

Sedangkan menurut Madzhab Syafi'i, Dhahiriyyah dan yang lainnya, bahwa Khulu' tidak sah
kecuali harus memakai iwadh. Di antara dalil dan alasannya adalah:

1) Dalam firmanNya, Allah mengaitkan Khulu' ini dengan tebusan sebagaimana firmanNya yang
terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 229: "Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran
yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya". Ini menunjukkan bahwa memang Khulu'' itu
harus memakai iwadh.

2) Ketika isteri dari Tsabit bin Qais hendak melakukan Khulu', Rasulullah saw memintanya
untuk mengembalikan kebunnya. Ini sebagai syarat bahwa Khulu' baru sah manakala memakai
iwadh.

Dari kedua pendapat di atas, penulis lebih condong untuk mengambil pendapat kedua bahwa
Khulu' hanya sah apabila memakai iwadh. Hal ini lantaran sepengetahuan penulis tidak ada nash
baik dari ayat al-Qur'an maupun dari hadits yang membolehkan praktek Khulu' tanpa memakai
iwadh.

4. Shigat Khulu'

Shigat Khulu' maksudnya adalah kata-kata yang harus diucapkan sehingga terjadinya akad
Khulu'. Shigat ini mencakup dua hal, Ijab dari salah satu pihak dan Qabul dari pihak lainnya.
Dengan demikian, Shigat Khulu' ini adalah kata-kata yang dapat digunakan sebagai Ijab Qabul
dalam Khulu'.

Pada dasarnya, Shigat ini harus dengan kata-kata. Namun, untuk kondisi yang tidak
memungkinkan, seperti karena bisu misalnya, maka shigatnya boleh dengan isyarat yang dapat
dipahami.

Masa Iddah wanita yang mengajukan Khulu' (al-mukhtali'ah)

Dalam hal ini para ulama terbagi kepada dua pendapat. Menurut Jumhur ulama, Iddah wanita
yang mengajukan Khulu' sama dengan Iddahnya wanita yang ditalak yaitu tiga kali quru', tiga
kali haid. Di antara dalilnya adalah:

1. Khulu' adalah talak dan karenanya masuk ke dalam keumuman ayat berikut ini:

َ ‫َو ْال ُم‬


)228 :‫طلَّقَاتُ يَت ََربَّصْنَ بِأ َ ْنفُ ِس ِه َّن ث َ ََلثَةَ قُ ُروءٍ (البقرة‬

Artinya: "Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'" (QS.
Al-Baqarah: 228).

2. Khulu' adalah perceraian setelah dukhul, maka Iddahnya adalah tiga kali haid sebagaimana
dengan yang selain Khulu'.
3. Dalam sebuah riwayat dikatakan:

]‫ عدة المطلقة)) [رواه مالك بسند صحيح‬,‫ ((عدتها أي المختلعة‬:‫عن نافع عن ابن عمر قال‬

Artinya: Dari Nafi' dari Ibn Umar berkata: "Iddahnya wanita yang mengajukan Khulu' sama
dengan Iddahnya wanita yang ditalak (yaitu tida kali haid)" (HR. Malik dengan sanad Shahih).

Pendapat kedua mengatakan bahwa Iddahnya adalah satu kali haid. Pendapat ini adalah
pendapatnya Utsman bin Affan, Ibn Umar, Ibn Abbas, Ibn Taimiyyah dan yang lainnya. Di
antara alasannya adalah:

1. Dalam sebuah riwayat dikatakan:

‫ ((ال عدة عليك إال أن تكونى‬:‫ ماذا علي من العدة؟ فقال‬:‫ اختلعت من زوجى ثم جئت عثمان فسألته‬:‫عن الربيع بنت معوذ قالت‬
]‫حديثة عهد به فتمكثى حتى تحيضى حيضة)) [رواه ابن أبي شيبة بسند صحيح‬

Artinya: "Dari ar-Rabi' bint Mu'awwadz berkata: "Saya mengajukan Khulu' dari suami saya.
Lalu saya datang kepada Utsman bin Affan sambil bertanya: "Apa Iddah saya?" Utsman
menjawab: "Tidak ada Iddah bagi kamu kecuali jika kamu tidak menikah lagi dengannya
(dengan suaminya itu), maka tinggallah (ber-Iddahlah) selama satu kali haid)" (HR. Ibn Abi
Syaibah dengan sanad Shahih).

2. Demikian juga dengan riwayat berikut:

‫أن امرأة ثابت بن قيس اختلعت منه فجعل النبي صلى هللا عليه وسلم عدتها حيضة [رواه أبو داود‬:‫ وحسنه‬,‫والبي داودوالترمدي‬
]‫بسند حسن‬

Artinya: "dan Bagi Abu Dawud dan Tirmidzi dan ia hasankan, bahwasannya isteri Tsabit bin
Qais mengajukan Khulu'' dari suaminya. Rasulullah saw lalu menjadikan Iddahnya satu kali
haid" (HR. Abu Dawud dengan sanad Hasan).

3. Ibnu Qayyim dalam hal ini berkata dalam bukunya Zadul Ma'ad (V/197): "Iddah wanita yang
mengajukan Khulu' satu kali haid, ini lebih mendekati kepada maksud syara. Karena Iddah itu
dijadikan tiga kali haid dengan maksud untuk memperpanjang kesempatan untuk rujuk, sehingga
si suami dapat merujuknya selama masa Iddah tadi. Apabila sudah tidak ada kesempatan untuk
rujuk, maka maksudnya adalah untuk membersihkan rahim saja (bara'atur rahm) dari kehamilan,
dan hal itu cukup dengan satu kali haid saja".

Kedudukan Khulu’

Jumhur Fuqoha berpendapat bahwa Khulu adalah talak ba’in, karena apabila suami dapat
merujuk istrinya pada masa iddah, maka penebusannya itu tidak akan berarti lagi. pendapat ini
dikemukakan pula oleh imam Malik. Abu hanifah menyamakan Khulu’ dengan talak dan fasakh
secara bersamaan. Sedangkan imam syafi’I berpendapat bahwa khulu’ adalah Fasakh pendapat
ini juga dikemukakan Ahmad dan Dawud dan sahabat Ibnu Abbas r.a. Diriwayatkan pula dari
syaf’I bahwa khulu itu adalah kata-kata sindiran. Jadi, jika dengan kata-kata sindiran itu suami
menghendaki talak, maka talakpun jadi, dan jika tidak maka menjadi fasakh. Tetapi dalam dalam
pendapat barunya (al-qaul al-jadid) ia menyatakan bahwa khulu’ itu talak.

Abu Tsaur berpendapat bahwa apabila khulu’ tidak menggunakan kata-kata talak, maka suami
tidak dapat merujuk istrinya, sedang apabila khulu’ tersebut menggunakan kata-kata talak, maka
suami dapat merujuk istrinya. Fuqaha yang menganggap khulu’ sebagai talak mengemukakan
alasan, bahwa fasakh itu tidaklain merupakan perkara yang menjadikan suami sebagai pihak
yang kuat dalam pemutusan ikatan perkawinan tetapi tidak berasal dari kehendaknya. Sedangkan
khulu’ ini berpangkal pada kehendak, oleh karenya khulu’itu bukan fasakh.

Adapun fuqaha yang tidak menganggap khulu’ sebagai talak mengemukakan alasan bahwa
dalam Al-Qur’an mula-mula Alloh menyebutkan tentang talak:

)۲۲۹ :‫ (البقرة‬.‫الطَلق مرتان‬


Artinya: “talak yang dapat dirujuk itu dua kali”. (Q.S. albaqarah: 2290

Kemudian Alloh menyebutkan tentang tebusan (Khulu’), dan selanjutnya berfirman:


Artinya: “kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu
tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain.” (Q.S. Albaqarah : 230).

Jika tebusan tersebut adalah talak, berarti yang menyebabkan istri tidak halal lagi bagi suami,
kecuali sesudah ia kawin lagi dengan lelaki yang lain itu menjadi talak keempat. Mereka
berpendapat bahwa fasakh itu dapat terjadi dengan suka sama suka karena disamakan denga
fasakh dalam jual beli, yakni kegagalan atau pengunduran diri.

Jadi jelaslah bahwa Khulu’ Adalah Fasakh, Bukan Talak, Jika seorang isteri telah menebus
dirinya dan dicerai oleh suaminya. Maka ia berkuasa penuh atas dirinya sendiri, sehingga
suaminya tidak berhak untuk rujuk kepadanya, kecuali dengan ridhanya dan perpecahan tidak
dianggap sebagai talak meskipun dijatuhkan dengan redaksi talak. Namun ia adalah perusakan
akad nikah demi kemaslahatan sang isteri dengan balasan menebus dirinya kepada suaminya.

Ibnul Qayyim r.a. menulis sebagai berikut, ”Dan yang menunjukkan khulu’ bukan talak adalah
bahwa Allah SWT telah menetapkan tiga ketentuan yang berlaku pada talak terhadap (isteri)
yang telah dikumpuli jika talak tersebut telah mencapai talak tiga. Ketetapan-ketetapan itu, tidak
pada khulu’. Pertama: Suamilah yang lebih berhak rujuk kepada isterinya dalam masa iddah.
Kedua: Talak maksimal tiga kali, sehingga setelah terjadi talak ketiga, isteri tidak halal bagi
suaminya, terkecuali ia kawin lagi dengan suami kedua dan pernah bercampur dengannya.
Ketiga: Iddah yang berlaku dalam talak terdiri atas tiga kali quru’ (bersih dari iddah).

Sementara itu, telah sah berdasarkan nash (ayat Qur-an ataua hadits) dan ijma’ (kesepatakan)
bahwasanya tidak sah istilah rujuk dalam khulu’. Dan, sudah sah berdasar sunnah Nabi saw dan
pendapat para shahabat bahwa iddah untuk khulu’ hanya satu kali haidh. Demikian pula telah sah
juga berdasar nash syar’i bahwa boleh melakukan khulu’ setelah talak kedua dan talak ketiga. Ini
jelas sekali menunjukkan bahwa khulu’ bukanlah talak. Oleh sebab itu Allah SWT menegaskan,
”Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan Cara yang ma’ruf atau
menceraikan dengan cara yang baik dan tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu
yang pernah kami berikan pada mereka kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
melaksanakan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak
dapat mejalangkan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran
yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.” (Al-Baqarah:229).

Dan ini tidak dikhususkan bagi wanita yang telah ditalak dua kali, karena hal ini ia mencakup
isteri yang dicerai dua kali. Tidak boleh dhamir (kata ganti). Itu kembali kepada oknum, yang
tidak disebutkan dalam ayat di atas dan meninggalkan oknum yang disebutkan dengan jelas akan
tetapi mungkin dikhususkan bagi oknum yang pernah disebutkan sebelumnya atau meliputi juga
selain yang sudah disebutkan sebelumnya. Kemudian Allah SWT berfirman, ”Kemudian jika
suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua) maka perempuan itu tidak halal lagi baginya.”
(Al-Baqarah:230).

Ayat al-Qur’an ini meliputi perempuan yang dicerai setelah khulu’ dan setelah dicerai, dua kali
secara qath’i (pasti) karena dialah yang disebutkan dalam ayat di atas. Maka ia (wanita yang di
khulu’) harus masuk ke dalam kandungan lafazh ayat tersebut. Demikianlah yang difahami
Imam Ahli tafsir Ibnu Abbas r.a. yang pernah dido’akan oleh Rasulullah saw. agar Allah
mengajarinya tafsir Qur’an. Dan pasti doa itu terkabul, tanpa keraguan. Manakala hukum-hukum
yang berlaku dalam khulu’ berlainan dengan hukum-hukum talak maka hal itu menunjukkan
bahwa keduanya berlainan. Jadi inilah yang sesuai dengan ketentuan na’ah, qiyas, dan dengan
pendapat para shahabat Nabi saw. (Zaadul Ma’ad V:199).
Pernikahan dianggap sebagai sesuatu yang sakral. Namun demikian, angka perceraian kerap
melonjak tinggi di beberapa Pengadilan Agama di Indonesia. Ketika seseorang memutuskan
untuk menikah, keputusan tersebut tentunya diambil untuk kehidupan jangka panjang karena
menikah merupakan salah satu unsur untuk kesempurnaan kehidupan. Namun dalam realitas
kehidupan, ternyata putusnya perkawinan semakin lama semakin menjadi persoalan dalam
masyarakat, karena di samping kasus perceraian semakin banyak, sebabnya pun semakin
beragam dan kompleks. Meskipun diizinkan, perceraian tetaplah suatu perbuatan yang tidak
dianjurkan dalam agama, terutama agama Islam yang menganggap perceraian sebagai “Perkara
halal yang paling dibenci”.

Islam adalah agama yang sangat sesuai dengan kebutuhan manusia dengan segala bentuk
perubahannya. Islam memang mengharapkan agar setiap perkawinan akan langgeng, sehingga
berbagai aturan telah ditetapkan untuk menjaga kelanggengan itu. Seperti; dibimbing untuk
memilih pasangan yang baik, diatur akad nikahnya, diatur pula hak dan kewajiban masing-
masing pasangan, dan diajarkan pula tahapan penyelesaian masalah bila terjadi.

Namun demikian, Islam tidak memungkiri bahwa ada pasangan yang mengalami kesulitan dalam
kehidupan berumah-tangga, sehingga kebersamaan tidak lagi mendatangkan kebahagiaan, malah
sebaliknya menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan. Karena itu, disamping Islam menyuruh
memelihara kelanggengan perkawinan, juga membuka peluang kecil untuk keluar dari kesulitan
perkawinan dengan membolehkan perceraian bila memang keadaan menuntut. Apabila kesulitan
itu ada di pihak suami, dan persoalan itu tidak bisa terselesaikan, maka ia dibolehkan menempuh
jalan “cerai” atau “talak”. Sebaliknya, apabila istri yang merasa tersiksa di rumah tangga karena
suaminya, maka ia dibenarkan mengajukan perceraian atau “khulu‘“. Hanya saja, di Indonesia
kata khulu’ lebih familiar dengan istilah “gugat cerai”.

Bentuk Perceraian di Indonesia


Di Indonesia, kita mengetahui adanya tiga bentuk perceraian yang diberlakukan oleh negara,
yaitu:

1. Gugat cerai: yaitu Seorang Istri yang akan menggugat perceraian dari suami. Hal ini
diberlakukan bagi masyarakat yang beragama Islam.
2. Cerai talak: yaitu seorang Suami yang akan memohon izin untuk menjatuhkan talak
kepada istrinya. Ini juga berlaku untuk mereka yang beragama Islam.
3. Gugatan perceraian: yaitu seorang suami atau Istri yang memiliki alasan cukup kuat
untuk melakukan perceraian. Yang ketiga ini berlaku bagi masyarakat non-Muslim.

Dari ketiga forma perceraian di atas, disinyalir kasus cerai gugat di Indonesia terus meningkat
dibanding perkara cerai talak. Pemicunya beragam, tapi yang paling banyak adalah kurangnya
tanggung jawab sang suami terhadap problem internal keluarga. Kemudian ada juga Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (KDRT), kehidupan rumah tangga tidak harmonis atau sering terjadinya
percekcokan, poligami tidak sehat, dan faktor ekonomi.

Di Indonesia, perkara cerai gugat ini diatur dalam Undang-undang, baik itu undang-undang
Negara (UU Perkawinan) maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI)[2]. Dasar hukum cerai gugat
mengacu pada PP No. 09 tahun 1975 pasal 156 yang mengatur tentang putusnya perkawinan
sebagai akibat (cerai gugat). Selain rumusan hukum dalam Undang-undang Perkawinan, dalam
KHI pasal 113 sampai pasal 162 merumuskan garis hukum yang lebih rinci mengenai sebab
terjadinya perceraian, tata cara, dan akibat hukumnya. Sebagai contoh misalnya; Pasal 113 KHI
sama dengan pasal 38 UU Perkawinan.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) membedakan cerai gugat dengan khulu’. Namun demikian, ia
mempunyai kesamaan dan perbedaan di antara keduanya. Persamaannya adalah; keinginan untuk
bercerai datangnya dari pihak isteri. Lain halnya perbedaannya, yaitu cerai gugat tidak
selamanya membayar ‘iwadl (uang tebusan) yang menjadi dasar terjadinya khulu’ atau
perceraian. Khulu’ yang dimaksud, diatur dalam pasal 148 KHI dengan prosedur sebagai berikut:

1. Seorang isteri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan khulu‘, menyanpaikan
permohonannya kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai
alasan atau alasan-alasannya.
2. Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil isteri dan suaminya untuk
didengar keterangannya masing-masing.
3. Dalam persidangan tersebut Pengadilan Agama memberikan penjelasan tentang akibat
khulu‘, dan memberikan nasehat-nasehatnya.
4. Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya ‘iwadl atau tebusan, maka
Pengadilan Agama memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan
talaknya didepan sidang Pengadilan Agama. Terhadap penetapan itu tidak dapat
dilakukan upaya banding dan kasasi.
5. Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam pasal 131 ayat 5.
6. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusan atau ‘iwadl, Pengadilan
Agama memeriksa dan memutuskan sebagai perkara biasa.

Dari uraian di atas, nampak perbedaan antara cerai gugat dan khulu’. Namun, Undang-Undang
No. 7 Tahun 1989 (pada umumnya disebut UUPA) dan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975
tidak membedakan antara keduanya sehingga tidak membicarakannya.

Khulu’ dalam Syariat Islam

Setelah memahami tentang undang-undang di Indonesia yang membahas tentang khulu’,


layaknya perlu kita baca juga khulu’ dari kaca-mata Syariat. Maka akan kita dapatkan dalam
literatur Fikih, bahwa istilah khulu’ diambil dari kata “khala‘a“ yang berarti melepaskan.
Digunakan dalam kalimat seperti khala‘a al-tsaubu (dia telah melepaskan pakaian), khala‘a an-
na’lu (dia telah melepaskan sandal) dll. Pada umumnya, kata khala‘a dipakai dalam kalimat
yang bermakna “melepaskan sesuatu yang telah dipakai”. Kemudian kata ini digunakan dalam
istilah Fikih ketika seorang suami “melepaskan” istrinya dari ikatan pernikahan dengan
menerima tebusan atau imbalan yang diberikan sang istri. Dinamakan sedimikian rupa, karena
Allah Swt. telah menjadikan seorang istri sebagai ”pakaian” bagi suaminya, begitu juga seorang
suami sebagai “pakaian” bagi sang istri. Allah swt. berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 187:
“Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka“.
Menurut mayoritas ulama, khulu’ adalah sesuatu yang dibolehkan, karena kebutuhan manusia
akan hal ini. Dilegalkan apabila kedua pasangan suami istri tidak bisa lagi untuk hidup damai.
Jika seorang istri merasa tidak cocok dengan suaminya karena akhlaknya yang buruk, lemah
agamanya, atau karena si suami tidak bisa memenuhi hak-hak istri dan alasan-alasan syar’i
lainnya. Jika hal-hal seperti ini dialami sang istri, maka boleh baginya meminta khulu’ kepada
suami. Begitu juga jika keduanya atau salah satu dari keduanya khawatir tidak dapat
melaksanakan hukum-hukum Allah. Maka boleh melakukan khulu’.

Landasan yang mendasari legalitas khulu’ di antaranya Firman Allah Swt. Dalam QS. Al-
Baqarah ayat 229: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan
cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil
kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya
khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa
keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa
atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah
hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar
hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.”

Selain itu, dalil dari Sunnah adalah hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa Istri Tsabit
bin Qais datang kepada Rasulullah Saw. lalu berkata: “Wahai Rasulullah, tidak ada satu aib pun
dari Tsabit dalam hal akhlak dan agamanya, tetapi aku takut kufur (melenceng) di dalam
islam”. Rasululullah bersabda: “Apakah kamu mau mengembalikan kebunnya?”. Istri Tsabit bin
Qais berkata: “Ya”. Kemudian Rasulullah berkata kepada Tsabit bin Qais: “Terimalah kebunnya
dan talaklah ia satu talak!“ (HR. Bukhari dan Nasa’i)[3]

Dari dua dalil di atas, dapat dipahami juga bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Segala
sisi kehidupan telah diatur oleh syariat dengan berbagai maslahat. Termasuk masalah khulu’.
Islam telah memberikan “kelonggaran” jika seorang istri tidak bisa menunaikan hak-hak suami
atau takut “melenceng” dari Islam karena tidak dapat menaati suami. Maka dalam kasus seperti
itu diperbolehkan baginya untuk menempuh jalur khulu’.

Pada hakikatnya, khulu’ hampir sama dengan talak yang kita kenal, karena keduanya memiliki
arti sepadan, yaitu pemutusan tali pernikahan antara suami-istri. Hanya saja di dalam khulu’
terdapat “tebusan” (i‘wadhl) yang diberikan istri kepada suaminya.

Meski khulu’ adalah sesuatu yang diperbolehkan, namun bukan berarti mutlak tanpa syarat.
Khulu’ diperbolehkan apabila terpenuhi sebabnya yang telah diisyaratkan oleh Al-Quran dalam
surat al-Baqarah ayat 229, yaitu ketakutan suami-isteri apabila tetap berada di dalam ikatan
pernikahannya, mereka tidak bisa melaksanakan hukum-hukum Allah.

Ibnu Abbas ra. dan sebagian besar ahli ilmu menerangkan hal di atas dikarenakan Allah telah
berfirman: “Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan
kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-
hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan
hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh
isteri untuk menebus dirinya”.

Secara mafhum, dapat ditarik kesimpulan bahwa; jika penebusan diri tersebut dilakukan tanpa
sebab yang syar’i, maka kedua suami-istri berdosa. Kemudian Allah memberikan ancaman
dengan firman-Nya: “Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya.
Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.”

Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud disebutkan juga bahwa jika ada wanita yang
mengajukan talak tanpa adanya sebab, maka diharamkan baginya bau surga. Dalam hadits lain
yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dikatakan bahwa para wanita yang mengajukan khulu’ adalah
wanita-wanita yang munafik (maksudnya; bermaksiat secara batin, adapun secara lahir
menampakkan ketaatan). Dari beberapa hadits ini dapat disimpulkan juga bahwa asal hukum
khulu’ pada dasarnya “tidak diperbolehkan” sebagaimana talak, kecuali jika terdapat sebab syar’i
yang mengharuskan pasangan suami-istri tersebut untuk berpisah.

Rukun Khulu’
Secara garis besar rukun khulu’ ada empat; yang pertama adalah al-Mukhaali’ (suami), kedua al-
Mukhtalia’h (Isteri), ketiga Shigah al-Khul’i (lafadz khulu’) dan terakhir al-I’wadl (tebusan atau
imbalan).

Syarat yang harus dipenuhi oleh seorang Mukhaali’ (suami) diantaranya harus baligh, berakal
(tidak gila), dan mukhtar (tidak atas dasar paksaan). Hal itu karena khulu’ adalah talak. Oleh
karenanya khulu’ menjadi tidak sah apabila dilakukan oleh anak-anak, orang gila, dan orang
yang diintimidasi (terpaksa). Intinya, apabila laki-laki tersebut sah untuk melakukan talak, berarti
sah pula baginya untuk mendapat gugatan khulu’.

Adapun syarat yang harus dipenuhi oleh seorang Mukhtali’ah (istri) adalah balighah, berakal,
rasyiidah (memiliki kemampuan manajemen). Dan tentunya status “istri” tersebut didapatkan dar
jaluri pernikahan yang sah.

Sedangkan rukun yang ke-3 adalah sighah, yaitu perkataan dari kedua belah pihak yang
menunjukkan adanya khulu’. Dengan ketentuan ijab dari salah satu pihak dan qabul dari pihak
lain. Tidak disyaratkan harus dengan lafadz tertentu, yang penting dengan memakai lafadz-lafadz
yang menunjukkan makna khulu’ dengan disertai niat.

Dan rukun yang terakhir adalah I’wadl (Tebusan), yaitu tebusan yang harus diberikan istri
kepada suami. Maka khulu’ menjadi tidak sah tanpa adanya tebusan. Namun ulama telah berbeda
pendapat dalam masalah ini; apakah khulu’ tetap sah walaupun tanpa adanya tebusan?. Menurut
Syafi’iyyah dan Hanabilah khulu’ menjadi tidak sah tanpa adanya tebusan. Sedangkan menurut
Hanafiyyah walaupun tanpa tebusan khulu’ tetap sah. Adapun ulama Malikiyyah mengatakan
khulu’ tetap sah baik itu dengan tebusan atau tanpa tebusan.

Sedangkan syarat sah sebuah tebusan adalah; semua harta yang sah untuk dijadikan mahar dalam
akad nikah, maka sah pula dijadikan sebagai tebusan (I’wadl) dalam khulu’. Sedangkan
mengenai jumlah tebusan, dalam hal ini ulama memiliki pendapat yang variatif. Hanya saja
jumhur ulama menegaskan bahwa besarnya ‘iwadl tersebut ditentukan oleh kesepakatan kedua
belah pihak (suami-istri) baik itu lebih besar, lebih kecil atau sama dengan pemberian yang telah
diberikan suami dalam maharnya.

Lalu para pakar Fikih kemudian mengerucut kepada permasalahan; apakah boleh seorang suami
mengambil tebusan lebih banyak dari jumlah mahar yang dulu ia berikan kepada istrinya?

Menyangkut permasalahan ini, Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughni memaparkan pendapat
mayoritas ulama di antaranya yang diriwayatkan oleh Ustman, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Imam
Hanafi, Imam Malik dan Imam Syafii’; bahwa boleh bagi suami mengambil harta tebusan
melebihi mahar yang diberikan kepada istrinya berdasarkan kerelaan sang sitri. Dengan landasan
dalil QS. Al-Baqarah: 229 bahwa Allah berfirman, ”Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh isterinya untuk menebus dirinya”.

Kemudian pendapat kedua, dari Imam Atha’, Thawus dan Zuhri yang diriwayatkan dari Imam
Ali ra. dengan sanad munqati’; menyatakan tidak diperbolehkan bagi suami mengambil harta
tebusan melebihi mahar yang diberikan kepada istrinya.
Terlepas dari kedua pendapat di atas, para ulama telah menyatakan makruh bagi suami yang
mengambil ‘iwadl lebih banyak dari mahar. Hal tersebut sebagaimana dalam hadist istri Tsabit
bin Qais ketika Rasulullah Saw. bertanya kepadanya: “Apakah kamu mau mengembalikan
kebunnya?”. Yang dapat dipahami bahwa Rasulullah telah menentukan standar ‘iwadl itu
dengan menyebutkan nominal mahar yang dulu pernah diberikan sang suami kepada istrinya.

Beberapa Permasalahan Tentang Khulu’

1. Khulu’ di Masa Haidh

Khulu’ tidak terikat dengan waktu tertentu, untuk itu boleh dilakukan diwaktu suci atau haidh,
hal ini berbeda dengan talak yang diharamkan untuk dilakukan di saat haidh. Yang demikian itu
dimaksudkan agar suami tidak mengulur-ulur waktu ‘iddah, sedangkan khulu’ adalah permintaan
istri untuk menghilangkan “bahaya” yang dialaminya. Begitu juga karena Rasululllah Saw. tidak
menanyakan keadaan Mukhtali’ah (Istri Tsabit bin Qais tatakala ia meminta khulu’ dari
suaminya) apakah ia saat itu dalam keadaan suci atau haidh. Dan tidak adanya dalil yang
mengatakan tidak boleh meminta khulu’ ketika haidh. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa khulu’
dapat dilakukan kapan saja meskipun sang istri sedang haidh.

1. Masa ‘Iddah Bagi Khulu’

Sebagaimana talak, bagi wanita yang khulu’ juga diharuskan untuk ‘Iddah. Dengan maksud
istibra’ (meyakinkan bahwa dalam rahimnya tidak ada janin/kandungan). Namun berapakah
tempo I’ddah yang harus ditempuh wanita dalam khulu’?, ulama telah berbeda pendapat dalam
hal ini. Salah satunya adalah pendapat Jumhur ulama (Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan
Hanabilah) yang mengatakan bahwa ‘iddah seorang wanita yang meminta khulu’ adalah sama
dengan ‘iddah wanita yang ditalak, yaitu tiga quru’ (tiga kali haidh)[4]. Landasannya adalah
firman Allah Swt. dalam QS. Al-Baqarah ayat 228: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah
menahan diri (menunggu) tiga kali quru'”. Dan juga karena khulu’ adalah perpisahan antara
suami istri setelah adanya perkawinan (dukhul), maka ‘iddah-nya tiga quru’ sebagaimana
perpisahan selain khulu’.[5]

Selain pendapat jumhur, terdapat juga pendapat kedua yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari
Ustman bin Affan, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas bahwa ‘iddah bagi wanita khulu’ adalah cukup
dengan satu kali haidh. Dalilnya yaitu; sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Nasa’i dan
Ibnu Majah bahwa Rasulullah Saw. telah menjadikan ‘iddah istri Tsabit bin Qais satu haidh saja.

1. Apakah Khulu’ Talak atau Faskh?

Ulama telah berbeda pendapat. Menurut Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafii’yyah dan salah satu
riwayat dari Imam Ahmad mengatakan bahwa khulu’ adalah thalaq ba-in. Sedangkan menurut
riwayat lain dari Imam Ahmad bahwa khulu’ adalah faskh.

Konsekuensi dari perbedaan pendapat di atas dapat terlihat ketika seorang suami telah men-
thalaq istrinya dua kali, kemudian meng-khulu’-nya, maka; Bagi yang mengangap khulu’ itu
thalaq, berarti telah jatuh thalaq tiga, yang berarti suami tidak lagi halal untuk merujuk kembali
istrinya, kecuali wanita tersebut telah menikah dengan laki-laki lain kemudian diceraikan.

Sedangkan bagi yang menganggap khulu’ itu faskh, maka suami tersebut berhak untuk merujuk
istrinya, meskipun wanita tersebut belum menikah lagi dengan laki-laki lain, apabila sudah habis
masa ‘iddah-nya.

1. Rujuk Setelah Khulu’

Tidak ada rujuk bagi seorang suami dari seorang istri yang telah pisah dengan sebab khulu’. Baik
itu bagi yang menganggap khulu’ itu thalaq ba-in maupun faskh. Jika dia menginginkan kembali
kepada isterinya maka harus dengan akad pernikahan dan mahar yang baru.

Epilog

Melihat realita khulu’ yang terjadi di Indonesia –dimana warga muslim yang akad pernikahannya
tercatat di KUA– maka ketika seorang istri akan menuntut cerai terhadap suaminya, ia harus
merujuk kembali ke Pengadilan Agama. Walaupun ulama berpendapat bahwa khulu’ tidak perlu
dilakukan di depan qadhi atau hakim. Hal tersebut tiada lain dimaksudkan untuk melindungi
kedua belah pihak atas segala hak dan kewajiban yang timbul sebagai akibat dari hukum
perceraian (khulu’) itu.

Selain itu, meskipun khulu’ dibolehkan, namun itu merupakan jalan terakhir ketika seluruh
alternatif yang telah ditempuh kedua pasangan tidak menghasilkan titik temu. Dalam keadaan
seperti ini, diperbolehkan bagi sang istri untuk mengajukan khulu’ terhadap suaminya.
Sebaliknya, jika alasan khulu’ yang diajukan masih dapat diselesaikan secara kekeluargaan,
maka bersabar merupakan jalan terbaik bagi istri dalam menghadapi cobaan yang menimpa
kehidupan rumah tangganya. Pada saat bersamaan, suami juga dituntut untuk mengimbangi
kesabaran istri dengan memperbaiki perilakunya sehingga rumah tangga harmonis kembali
terbina. Wallahu A’lam.

Bibliografi

 Terjemahan Al-Quran Departemen Agama


 Ibnu Qudamah al-Maqdisy, Al-Mughni, Jilid ke-10, Dar El-Hadist, 2004.
 Abdul Karim Zaidan, Al-Mufasshal fi Ahkami Al-Mar’ah Wa Baiti al-Muslim fi Al-
Syariah Al-Islamiyyah, Jilid ke-8, Muassah Risalah Cet-III Thn. 2000.
 Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqhu Al-Islami Wa Adilalatuhu, Jilid ke-9, Darul Fikr Cet-X,
2007.
 Kementrian Wakaf dan Departemen Keislaman, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-
Kuwaitiyyah. Cet-II. Kuwait
 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
 Kompilasi Hukum Islam Republik Indonesia

[2] KHI: Kompilasi Hukum Islam yang digunakan oleh pengadilan agama mencakup hukum-
hukum privat (ahwal syaksiyyah) seperti pernikahan, hukum waris, dan perceraian serta khulu’.

3. Istri Tsabit bin Qais meminta khulu’ lantaran ia belum bisa menerima kekurangan Tsabit
secara fisik, oleh karenanya Rasulullah membolehkannya dengan syarat sang istri mebayar
‘iwadl –dalam kasus ini sebuah kebun– yang dulu dijadikan Tsabit sebagai mahar untuk
menikahinya.

[4] Quru’ dapat diartikan masa suci atau masa haidh.

[5] al-mausua’h kuwaitiyyah.

Advertisement
Iklan
Report this ad
Report this ad

Bagikan ini:

 Twitter
 Facebook
 Google

Terkait

Globalisasi dan Toleransi; Antara Kesempatan dan Tantangandalam "Tak Berkategori"

Kedudukan Wanita dalam Rumah Tangga (2)dalam "Tak Berkategori"

Puasa Bagi Ibu Hamil dan Menyusuidalam "Tak Berkategori"


Diterbitkan oleh nengrodhiyyatillah
Seorang Ibu, Istri, dan Mahasiswi yang sedang menyelesaikan Program Master dalam Bidang
Fikih, Fakultas Dirasah Islamiyyah di American Open University Cairo. Alumni Universitas Al-
Azhar Mesir Spesialisasi Syari'ah Islamiyah. Lihat semua pos milik nengrodhiyyatillah

Navigasi pos
Sebelumnya Previous post: Fiqh Haidh (Part 1)
Berikut Next post: Najis dan Cara Menghilangkannya

Tinggalkan Balasan

Arsip

 Januari 2017
 Desember 2016
 April 2014

Iklan
Report this ad

© 2019 Belajar Tiada Henti

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.

Privasi & Cookie: Situs ini menggunakan cookie. Dengan melanjutkan menggunakan situs web
ini, Anda setuju dengan penggunaan mereka.
Sebaliknya, kalau kasusnya memang benar-benar khulu’ secara syar’i, bukan salah istilah, maka
dalam hal ini masih ada perbedaan pendapat tentang lama masa iddahnya.

Dan juga menjadi bahan perbedaan pandangan di kalangan ulama di masa lalu. Dalam hal ini ada
dua kubu pendapat yang berbeda, yaitu antara jumhur ulama (mayoritas) dengan pendapat
kalangan Al-Hanabilah (mazhab imam Ahmad bin Hanbal).

1. Masa Iddah Khulu’: 3 Kali Haidh

Mayoritas ulama selain Al-Hanabilah cenderung menyamakan antara khulu’ dengan talak,
sehingga masa ‘iddah wanita yang mengkhulu’ suaminya 3 kali masa quru’.

Menurut jumhur ulama, quru’ adalah masa suci dari haidh. Sedangkan sebagian ulama lain
mengatakan bahwa quru’ adalah masa haidh itu sendiri. Dengan demikian, dalam masalah berapa
lama masa quru’ itu sendiri masih ada perbedaan waktu.

2. Masa Iddah Khulu’: 1 Kali Haidh

Sedangkan pendapat Al-Hanabilah mengatakan bahwa khulu’ itu adalah fasakh, bukan talak.
Pendapat ini juga didukung sebelumnya oleh fatwa Khalifah Utsman bin Affan, Ibnu Umar dan
Ibnu Abbas ridhwanullahi ‘alaihim ajmai’in.

Dan masa ‘iddah buat wanita yang mengkhulu’ suaminya adalah 1 kali mendapat haidh, bukan
tiga kali haidh. Hal itu juga ditegaskan di dalam riwayat dari sabda Rasulullah SAW, di
antaranya adalah hadits-hadits berikut ini.

‫)أن امرأة ثابت بن قيس اختلعت منه فجعل النبي صلى هللا عليه وسلم عدتها حيضة ( رواه أبو داود والترمذي‬:‫ابن عباس‬

Dari Ibnu Abbas ra bahwa isteri Tsabit bin Qais mengkhulu’ suaminya, maka Rasulullah SAW
menjadikan masa ‘iddahnya sekali mendapat haidh. (HR Abu Daud dan Tirimizi, serta
dishahihkan oleh Al-Albani)

Namun salah satu perawi hadits ini yaitu Al-Imam At-Tirmizy justru mengatakan bahwa
kedudukan atau status hadits ini hasan gharib.

‫وعن الربيع بنت معوذ أنها اختلعت على عهد رسول هللا صلى هللا عليه وسلم فأمرها النبي صلى هللا عليه وسلم أو أمرت أن‬
‫ رواه الترمذي وابن ماجة‬.‫تعتد بحيضة‬

Dari Ar-rabi’ binti Muawwaz bahwa dirinya melakukan khulu’ di masa Rasulullah SAW. Beliau
memerintahkan untuk beriddah selama satu kali haidh. (HR Tirimizy dan Ibnu Majah serta
dishahihkan oleh Al-Albani)

Ibnu Umar berkata, "Masa iddah buat seorang wanita yang mengkhulu’ suaminya adalah satu
kali haidh." (HR Abu Daud)

Sehingga kalau pun seorang wanita yang mengkhulu’ suaminya itu baru sekali mendapat haidh,
lantas menerima pinangan dari orang lain, tidak bisa disalahkan. Karena meski bukan pendapat
jumhur ulama, namun ada qaul yang mengatakan demikian, sehingga sudah cukup untuk
dijadikan landasan dalam mengambil pendapat hukum.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

Gugatan Cerai

Lalu bagaimana dengan gugatan cerai dari pihak istri?

Sebenarnya istilah 'gugatan' cerai dari pihak istri kepada suaminya yang sering kita kenal itu pada
hakikatnya bukanlah istri mentalak suami. Tetapi yang sesungguhnya terjadi adalah sekedar
'permohonan' atau 'permintaan' yang diajukan oleh pihak istri kepada suami. Maksudnya istri meminta
agar suami menjatuhkan talak. Istilah gugatan disini tidak berarti istri punya wewenang menjatuhkan
talak.

Bahkan yang lebih sering terjadi adalah suami sudah sejak awal pernikahan mentalak istrinya. Kita sering
menyebutnya dengan shighat ta'liq. Shighat ini adalah lafadz talak yang diucapkan suami tetap sehabis
menikahi istrinya. Biasanya penghulu menyodorkan kertas yang seolah-olah wajib dibaca oleh suami,
tanpa dirinya sadar bahwa yang sedang dibacanya itu adalah penjatuhan talak kepada istrinya.

Memang tidak langsung jatuh talak saat itu juga, sebab lafadznya bersifat menggantung. Intinya bila
suami meninggalkan istri sekian lama, atau tidak menafkahinya, dan seterusnya dan seterusnya,
kemudian istrinya mengajukan keberatan kepada pihak pengadilan agama dan diterima, maka jatuhlah
talak satu.

Dalam hal ini yang menjatuhkan talak bukan istri, melainkan suaminya sendiri. Dijatuhkannya sejak awal,
yaitu ketika akad nikah belum genap dua menit. Cuma talak ini sifatnya menggantung, belum langsung
jatuh, kecuali bila suami sendiri yang melanggar janjinya sendiri.

Khulu'

Lalu bagaimana dengan khulu'?

Para ulama menyebutkan bahwa khulu' itu adalah permintaan dari pihak istri agar suami mentalak
dirinya dengan membayar uang tebusan. Maka khulu' itu termasuk talak juga, yang mana inisiatifnya
datang dari istri, tetapi tetap saja suami yang berwenang melakukan eksekusinya.

Dan bedanya terletak pada adanya uang tebusan yang dibayarkan istri kepada suaminya. Maka kita
boleh menyebut bahwa khulu' adalah talak dengan tebusan.

Tentu dengan adanya uang tebusan ini, istri lebih punya kekuatan dari segi hukum, ketimbang hanya
sekedar menghimbau suaminya ajar menjatuhkan talak.

Sedangkan gugatan cerai yang biasa kita kenal itu itu adalah talak dengan permohonan dari istri tanpa
uang tebusan. Sifatnya hanya sekedar himbauan, permohonan atau harapan.

Umumnya para ulama menyebutkan bahwa uang tebusan itu tidak boleh berlebihan, setidaknya setara
dengan mahar yang pernah diberikan suami kepada istri. Dan buat budaya kita orang Indonesia, nilai
uang tebusannya menjadi tidak ada artinya, karena waktu memberi mahar pun nilainya teramat rendah.
Bangsa kita ini entah bagaimana sudah terbiasa memberi mahar cuma sekedar seperangkat alat shalat
dan mushaf Al-Quran yang sama sekali tidak ada harganya.

Namun budaya di negeri Arab, termasuk di masa Nabi SAW, uang tebusan itu sangat berarti dari segi
nilai. Sebab nilainya setidak-tidaknya setara dengan nilai mahar sewaktu menikah dulu. Salah satu
riwayat menyebutkan bahwa ketika menikahi Khadijah, Rasulullah SAW memberi 100 ekor unta.
Sebagian riwayat yang lain menyebutkan 10 ekor unta.

Kalau harga seekor unta kita anggap 30 juta, maka 10 ekor unta itu 300 juta. Kalau 100 ekor sama
dengan 3 milyar.

Ketika seorang suami memberi mahar 3 milyar, tentu istri tidak bisa seenaknya setelah itu minta cerai.
Kalau tetap nekat minta diceraikan juga tentu ada syaratnya. Apa syaratnya? Kembalikan dulu uang 3
milyar itu sebagai tebusan, baru nanti dijatuhkan talak. Dan itulah hakikat khulu' di masa Nabi SAW.
Secara definitif, menurut syariat, khuluk ialah pengajuan talak oleh istri, sebagaimana
diungkapkan oleh Mustafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha dalam al-Fiqh al-Manhaji ‘ala
Madzhab al-Imam al-Syâfi’i (Surabaya: Al-Fithrah, 2000), juz IV, hal. 127:

‫الخلع‬: ‫ذلك على منها وإصرار الزوجة من برغبة يقع الذي الطالق وهو‬، ‫لذلك شرع وقد‬
‫الخلع سبيل‬، ‫إياه تعطيه مهرها من عليه يتفقان بشئ زوجها من نفسها تفتدي أن وهو‬

Artinya: “Khuluk ialah talak yang dijatuhkan sebab keinginan dan desakan dari pihak istri, hal
semacam itu disyariatkan dengan jalan khuluk, yakni pihak istri menyanggupi membayar seharga
kesepakatan antara dirinya dengan suami, dengan (standar) mengikuti mahar yang telah
diberikan.”

Dari pemaparan tersebut bisa kita pahami bahwa khuluk secara syariat hukumnya boleh diajukan
jika memenuhi persyaratan. Selain itu, dalam khuluk harus terjadi kesepakatan antara kedua
belah pihak, suami maupun istri tentang nominal tebusan. Kesepakatan ini sekaligus
menunjukkan bahwa dalam akad khuluk, harus ada kerelaaan dari pihak suami untuk menerima
tebusan, dan kesanggupan dari pihak istri untuk membayar tebusan tersebut. Namun dengan
catatan, nominal harga tebusan tidak boleh melebihi nominal maskawin pada saat pernikahan.

Khulu’ secara bahasa diambil dari kata Khala’a ats-tsauba yang artinya melepaskan baju. Karena
pada hakikatnya isteri adalah pakaian suami dan suami adalah pakaian bagi isteri. Allah Ta’ala
berfirman:

ُ َّ‫ل ُهنَّ لِبَاسَّ وَأَن ُتمَّ ل ُكمَّ لِبَاس‬


َّ‫هن‬

“Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” [Al-Baqarah:
187]

Read more https://almanhaj.or.id/988-al-khulu-minta-cerai.html

Pengertian yang sama juga dikemukakan oleh Abdurrah


man al-
Jaziri bahwa
khulu’
adalah
mashdar
dari
khala'a
artinya menanggalkan.
‫أة‬

‫ا و‬
‫ا‬ ‫ا‬ ‫أ‬
ْ
‫زو‬- ‫ت إذا ا‬
6
Artinya: Seorang laki-laki meng-
khulu’
istrinya, berarti dia
menanggalkan istrinya itu sebagai pakaiannya apabil
a istri
membayar tebusan.
Ibnu Rusyd menyebutkan kata-kata
khulu’, shulh, dan mubara’ah
,
semuanya mengacu pada satu makna, yaitu pemberian g
anti rugi oleh
seorang perempuan atas talak yang diperolehnya, han
ya saja, masing-
masing kata tersebut mempunyai arti khusus.
Khulu’
adalah pemberian
oleh istri kepada suami semua harta yang telah dibe
rikan oleh suami
kepadanya.
Shulh
adalah pemberian sebagian harta dan
mubara’ah
adalah
penghapusan oleh istri atas suami dari hak-hak yang
dimilikinya.
7
Ulama empat
madzhab
mendefinisikan
khulu’
sebagai beri
Abdurrrahmân al-Jazirî,
Kitab al-Fiqh ‘ala Madzahib al-‘Araba’ah,
Juz IV, Beirut
Lebanon : Daar al-Kutub al-‘Ilmiyah 1972, hlm. 342.

TESIS KONTROVERSI PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR (STUDI KOMPILASI


ILMU FIQH DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM) (PRODI : ILMU KEISLAMAN)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan salah satu perbuatan hukum yang sudah melembaga dalam kehidupan
masyarakat. Lembaga perkawinan merupakan faktor yang penting sebagai salah satu sendi
kehidupan dan susunan masyarakat Indonesia, dan perkawinan itu sendiri merupakan masalah
hukum, agama dan masyarakat.
Di dalam lingkungan peradaban barat maupun yang bukan barat, perkawinan merupakan
persekutuan hidup antara seorang pria dan seorang wanita yang dikukuhkan secara formal dan
berdasarkan aturan-aturan baik secara yuridis formal (undang-undang hukum positif) atau secara
religius (aturan agama yang diyakini) yang dilakukan selama hidupnya sesuai dengan lembaga
perkawinan. Oleh karena itu pelaksanaan perkawinan harus berdasarkan aturan-aturan yang telah
ditetapkan baik oleh pemerintah maupun oleh agama (ajaran Islam). Pelaksanaan perkawinan
yang berdasarkan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah telah disepakati untuk
dipatuhi, dan bagi yang melanggarnya akan mendapat sanksi. Aturan perundangan tentang
perkawinan dikemas dalam peraturan; Kompilasi Hukum Islam (sumber hukum Islam yang
menjadi Hukum Positif) dan Undang-Undang NO. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Peraturan
Pemerintah NO. 9 Tahun 1989 Tentang Pelaksanaan dari Undang-Undang Perkawinan.
Menurut hukum agama pada umumnya perkawinan merupakan perbuatan yang suci yaitu suatu
ikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan YME. agar kehidupan
keluarga dan berkerabat berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Jadi
perkawinan dilihat dari segi ajaran agama, membawa akibat hukum terhadap agama yang dianut
kedua calon mempelai beserta keluarga kerabatnya. Hukum agama telah menetapkan kedudukan
manusia dengan 'iman dan taqwanya, apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang harus
ditinggalkan. Agama tidak membenarkan perkawinan yang berlangsung tidak berdasarkan ajaran
agama.
Khusus hukum agama Islam yang dijadikan dasar hukum utama adalah al-Qur'an dan Hadith
Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi kadang-kadang ada ayat-ayat al-Qur'an dan hadith Nabi
yang tidak bisa dipahami secara langsung oleh manusia, oleh sebab itu bisa melalui jalan Ijtihad.
Dari hasil Ijtihad para ulama itu terkumpul, sehingga menjadi suatu ilmu yang disebut Ilmu Fiqh.
Sehingga Ilmufiqh dapat diartikan Ilmu yang menjelaskan tentang hukum-hukum shara' dengan
dalil-dalil secara terperinci, atau disebut juga fiqh adalah mengetahui cabang-cabang hukum
shar'i mengenai perbuatan yang dikeluarkan dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Ketentuan hukum dalam ilmu fiqh menjadi rujukan umat Islam khususnya dalam menerapkan
suatu hukum. Di dalam ilmu fiqh telah banyak dijelaskan secara detil oleh para imam madhab,
bahwa perkawinan dapat dilakukan apabila telah memenuhi sharat dan rukun perkawinan. Dari
beberapa syarat perkawinan adalah calon mempelai harus baligh, ukuran baligh (dewasa) bagi
orang laki-laki dan perempuan berbeda menurut ulama fiqh. Beberapa ulama telah berpendapat
bahwa perempuan dikatakan baligh; apabila telah mengalami masa haid (menstruasi), sedangkan
laki-laki dikatakan baligh apabila telah bermimpi basah (dukhul). Shari'at (al-Qur'an dan hadith)
telah menetapkan sebuah aturan, bahwa dalam melaksanakan perkawinan harus ada syarat dan
rukun yang harus dipenuhi oleh subyek hukum, karena ajaran Islam tidak mengajarkan adanya
pergaulan laki-laki dan perempuan selain mahram secara bebas tanpa batas.
Selain al-Qur'an dan Hadith Nabi, kumpulan kitab-kitab fiqh senantiasa menjadi salah satu
rujukan oleh manusia dalam melakukan suatu perbuatan hukum. Oleh sebab itu dengan
perkembangan zaman, muncullah beberapa pemikiran tentang pemberlakuan hukum Islam bagi
umat Islam, hal ini berkembang bahwa hukum Islam menjadi hukum positif. Akhirnya dibuatlah
rumusan hukum Islam dengan instruksi presiden RI NO. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam yang memuat tiga bidang yaitu bidang hukum Perkawinan, Hukum Waris, dan
Hukum Wakaf. Dalam bidang Hukum Perkawinan Kompilasi Hukum Islam, menjelaskan
tentang batasan usia di perbolehkan melakukan perkawinan apabila mempelai laki-laki telah
berusia 19 tahun sedangkan mempelai perempuan telah berusia 16 tahun.
Kompilasi Hukum Islam merupakan rujukan yang dipakai oleh hakim di lingkungan pengadilan
agama di Indonesia. Disebut juga bahwa Kompilasi Hukum Islam merupakan rangkuman dari
ilmu fiqh, maksudnya bahwa Kompilasi Hukum Islam dirumuskan dari beberapa kitab-kitab fiqh
yang telah ditulis oleh ulama terdahulu yang di ambil dari beberapa dalil-dalil shara' secara
terperinci. Namun pada bidang perkawinan terdapat ketentuan yang sangat berbeda mengenai
batas usia bolehnya melakukan perkawinan, antara calon mempelai laki-laki dan calon mempelai
perempuan. Ketentuan dalam ilmu fiqh jelas berdasarkan al-Qur'an dan hadith-hadith Nabi
Muhammad yang telah ditafsiri oleh ulamafiqh. Secara historis, ketentuan dalam Kompilasi
Hukum Islam, diambil dari beberapa kitab fiqh. Dan dari kedua ketentuan baik ilmu fiqh maupun
Kompilasi Hukum Islam sama-sama menjadi rujukan umat Islam terutama hakim di lingkungan
Pengadilan Agama.
Adanya perbedaan yang sangat kuat tentang batasan usia sebagai syarat menikah dari ilmu fiqh
dan Kompilasi Hukum Islam ini, menjadi perdebatan hangat di kalangan masyarakat (baik
formal maupun non formal). Bagi yang tidak memenuhi kriteria usia yang telah ditentukan dalam
Kompilasi Hukum Islam dianggap melanggar hukum dan disebut Perkawinan di Bawah umur.
Sedangkan masyarakat masih menyakini bahwa shariat Islam tidak melarangnya dengan
berpedoman pendapat para imam madhab.
Lebih menarik pendapat yang kontroversi di kalangan masharakat, baru-baru ini terjadi sebuah
pernikahan seorang yang bernama Pujiono Cahyo Widianto dipanggil shekh puji dengan seorang
gadis di bawah umur yang tempatnya di kota Semarang. Pernikahan di bawah umur yang
dilakukan oleh Shekh Puji ini, mengundang perhatian banyak orang dan Organisasi Masharakat
(ORMAS) untuk ikut berkomentar. Bagi mereka berpendapat tidak ada masalah menikahi
perempuan dibawah umur. Dengan alasan bahwa dalam ajaran Islam tidak ada batasan usia (usia
minimal) sebagai sharat bolehnya menikah, akan tetapi ajaran Islam hanya menjelaskan bahwa
calon mempelai laki-laki dan perempuan harus baligh. Mereka membuktikan dengan Hadith
yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad menikahi Siti 'Aishah pada waktu usia 9 tahun.
Dalam hal ini yang ditanyakan bagaimana peran Kompilasi Hukum Islam sebagai Undang-
Undang Hukum Islam yang dijadikan pedoman oleh hakim Pengadilan Agama. Perdebatan ini
terus berkembang, sebagaimana pelaksanaan perkawinan di bawah umur sebenarnya juga masih
banyak dilakukan oleh masyarakat. Persoalan ini berkembang bukan hanya di lingkungan
akademisi saja, melainkan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Lembaga formal
(KOMNAS Perlindungan Anak dan HAM), juga ikut berpartisipasi menyumbangkan aspirasinya
bahwa Pernikahan di bawah umur melanggar Undang-Undang. Ternyata benar-benar ada
perbedaan antara KHI dengan ketentuan yang terdapat dalam teori fiqh.
KH Husein Muhammad berpendapat; pandangan fiqh berbeda-beda mengenai usia minimal
menikah, kita di Indonesia mengadopsi pandangan Hanafi. Masih terdapat dualisme hukum fiqh
di beberapa kalangan ilmuan di Indonesia sebagian masih mengadopsi fiqh lama dan
menekankan pada teks, sebagian yang lain menerapkan fiqh secara kontekstual. Seto Mulyadi
berpendapat Perkawinan di bawah umur walaupun mungkin menurut shariat Islam itu benar,
tetapi menurut hukum positif di Indonesia hal itu tidak bisa di benarkan. Karena bertentangan
dengan undang-undang perkawinan dan juga undang-undang perlindungan anak. Di Mesir
sebagai negara yang berdasarkan shariat Islam, pencatat penikahan diberi instruksi untuk
menolak pendaftaran dan menolak mengeluarkan surat nikah bagi calon suami berumur di bawah
18 tahun, dan calon isteri di bawah 16 tahun. Kemudian tahun 1931, sidang dalam organisasi
hukum dan shari'ah menetapkan untuk tidak merespons pernikahan bagi pasangan dengan umur
di atas.
Pendapat kontroversi ini berkembang terus sampai pada pembahasan adanya beberapa pendapat
bahwa sebenarnya Nabi menikahi Siti 'Aishah bukan pada usia 9 tahun. Pendapat yang lain
menjelaskan bahwa Nabi menikahi 'Aishah pada usia 9 tahun, akan tetapi belum diajak kumpul
satu rumah dengan Nabi melainkan masih bersama Abu Bakar (orang tua 'Aishah). Beberapa
pendapat perkawinan di bawah umur, ditemukan beberapa pendapat dengan dikuatkan adanya
analisa hadith tentang perkawinan Nabi dengan A'ishah, dapat dipahami bahwa sebenarnya usia
'Aishah saat itu bukan 9 tahun melainkan 19 tahun. Dalam hal ini, bagaimana pendapat ulama
madhab fiqh tentang batas usia di perbolehkannya menikah, dan apa dasar ketentuan baligh atau
mumayiz bagi seseorang. Oleh sebab itu perlu adanya kajian lanjutan yang menemukan sebuah
formulasi hukum, sebagai dasar rujukan masyarakat khususnya umat Islam.

B. Batasan Masalah
Penelitian tesis ini di batasi pada sebuah perbedaan yang sangat kuat antara konsep Ilmu Fiqh
dengan konsep Kompilasi Hukum Islam tentang Pernikahan di Bawah Umur, Apa dasar
hukumnya sehingga kedua konsep tersebut mengalami perbedaan. karena kedua konsep tersebut
menjadi salah satu rujukan dari umat Islam termasuk oleh seorang hakim. Adapun penelitian ini
akan dimulai dari beberapa konsep yang terdapat di ilmufiqh dan kompilasi hukum Islam tentang
batasan usia bolehnya menikah.

C. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Mengapa ilmu fiqh tidak memberikan batasan usia calon mempelai sebagai syarat menikah?
2. Mengapa Kompilasi Hukum Islam membatasi usia calon mempelai sebagai syarat menikah?
3. Mengapa terdapat perbedaan antara konsep ilmu fiqh dengan kompilasi hukum Islam tentang
batas usia bolehnya menikah?
4. Apa dampak yang terjadi apabila syarat batasan usia dalam perkawinan tidak dipenuhi?

D. Penjelasan Judul
Maksud judul pada penelitian tesis ini adalah adanya perbedaan pendapat di lingkungan
masyarakat mengenahi dasar ketentuan pernikahan di bawah umur (ketentuan Ilmu Fiqh dan
Kompilasi Hukum Islam). Pernikahan di bawah umur maksudnya; penikahan yang dilakukan
oleh seseorang sebelum berusia yang cukup sesuai ketentuan yang telah ditetapkan. Adapun
dasar yang dikuatkan adalah Ilmu Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam.

E. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian tesis ini adalah :
1. Untuk menganalisa ketentuan apa yang terkandung dalam ilmu fiqh sehingga tidak membatasi
usia dibolehkannya seseorang menikah.
2. Untuk menganalisa ketentuan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam dalam membatasi
batas usia dibolehkannya seseorang menikah.
3. Menganalisa adanya perbedaan yang kuat diantara konsep ilmu fiqh dan Kompilasi Hukum
Islam tentang batas usia bolehnya menikah.
4. Untuk mengetahui dampak yang terjadi apabila batasan usia dalam syarat perkawinan tidak
dipenuhi.

F. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah:
1. Diharapkan dapat menjadi pijakan pada penulisan lanjutan dalam pengembangan hukum
Islam.
2. Memberikan alternatif pemecahan (solusi) masalah tentang batas usia bolehnya menikah
dalam ketentuan hukum Islam sebagai hukum positif dan bisa mengamandemen Kompilasi
Hukum Islam.
3. Diharapkan menjadi sebuah pemikiran, wawasan yang lebih luas dalam menyikapi sebuah
kontroversi yang terdapat dalam kehidupan masyarakat.
4. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya hazanah perpustakaan Islam, khususnya dalam
bidang hukum Islam (fiqh) di Indonesia. Sasaran pembacanya adalah masyarakat, terutama
mereka yang ingin mendalami masalah fiqh atau hukum Islam.

G. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif yang berupaya memecahkan permasalahan
dengan cara mengumpulkan data melalui metode komparatif (perbandingan) dan observasi untuk
menjelaskan perbedaan konsep Ilmu Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam tentang batasan usia
sebagai syarat perkawinan. Data-data yang telah terkumpul akan dianalisis secara Induktif
dengan ulasan atau penjelasan secara deskriptif.
1. Sumber data
Kajian ini bersifat kepustakaan (library reseach). Karena itu, data-data yang akan dihimpun
merupakan data-data kepustakaan yang representatif dan relevan dengan obyek studi ini. Adapun
sumber data terdiri dari sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer
berasal dari; pendapat para imam madhab fiqh yang diambil dari kitab-kitab fiqh, kitab-kitab
hadith, dan kitab tafsir, selain itu juga diambil dari Kompilasi Hukum Islam, Hukum perkawinan
di Indonesia, Sejarah pemberlakuan hukum Islam, Artikel tentang perkawinan di bawah umur.
Sedangkan sumber data sekunder adalah buku-buku yang representatifdan membahas tentang
perkawinan di bawah umur, sharat dan rukun perkawinan.
2. Metode pengumpulan data.
Penulis akan menghimpun data-data yang meliputi dasar penetapan pendapat ulama madhab
tentang batas usia bolehnya menikah. Dan penulis juga menghimpun data-data yang meliputi
kondisi sosial, historis dirumuskannya Kompilasi Hukum Islam. Namun demikian data-data yang
dihimpun, sudah tentu tidak hanya berupa kajian normatif sebagai kajian ontologis. Secara
internal dalam kajian filsafat pengetahuan tentang hakikat ilmu mengacu pada tiga aspek, yaitu:
ontologi, epistemologi dan aksiologi.
3. Analisis data.
Secara metodologis, penelitian ini akan menggunakan pendekatan dan library reasech dan
sejarah (historical approach). Oleh sebab itu penelitian ini menggunakan analisis kualitatif yang
bertitik tolak pada interpretasi ayat al-Qur’an dan Hadith Nabi sebagai dasar, mengemukakan
pendapat oleh ulama madhab fiqh, qawaid al-fiqhiyah dan fenomenologi (agar dalam memahami
pemikiran masa lalu tidak hanya berhenti pada term-term tertentu saja, tetapi juga mengungkap
landasan filosofisnya). Dalam mengambil konklusi, pendekatan ini menggunakan tiga langkah,
interpretasi, eksplorasi dan pemaknaan. Interpretasi digunakan untuk mengungkap latar
belakang, konteks, materi yang ada agar dapat diketahui konsep atau gagasan yang jelas.
Eksplorasi dimaksudkan untuk menangkap apa yang ada dibalik yang tersimpan atau
memperdalam pengetahuan suatu gejala dalam rangka merumuskan masalah yang lebih rinci,
sedangkan pemaknaan untuk mengetahui yang etis transendental dari apa yang terjadi.
Pemaknaan hasil analisis bertujuan untuk menarik kesimpulan penelitian. Penarikan kesimpulan
didasarkan atas rumusan masalah yang difokuskan lebih spesifik.
4. Sistematika Pembahasan
Untuk lebih mudah memahami bangunan pemikiran secara makro proposal tesis ini, penulis akan
menampilkan rencana pembahasan yang disusun sebagai berikut:
Bab pertama adalah pendahuluan yang berfungsi mengantarkan masalah yang diteliti secara
metodologis, dan penelitian ini, berisi latar belakang masalah, penjelasan judul, perumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan
sistematika pembahasan.
Bab kedua berupaya mendeskripsikan teori-teori yang terdapat dalam shari'at Islam (al-Qur'an)
dan hadith, Ilmu fiqh yang terdapat dalam kitab-kitab ilmu fiqh, qawaid al-fiqhiyah dan rumusan
dalam kompilasi hukum Islam tentang batas usia yang menjadi rukun dalam perkawinan. Pada
bab ini juga mengantarkan pembaca untuk mengetahui hal-hal yang menjadi dasar ketetapan
pendapat ulama madhab fiqh dan sejarah yang melatarbelakangi dirumuskannya Kompilasi
hukum Islam.
Bab ketiga, mengantarkan pembaca mengetahui dampak yang terjadi apabila batas usia sebagai
rukun perkawinan tidak dipenuhi oleh pihak-pihak yang melaksanakan perkawinan, baik secara
fisik maupun psikis.
Bab keempat, berisi uraian yang berupaya menganalisis ketentuan yang terkandung dalam
ilmufiqh dan kompilasi hukum Islam, kemudian menganalisis adanya kontroversi yang sangat
mencolok di antara kedua konsep tersebut. Hasil analisis merupakan jawaban dari persoalan
penelitian yang ditetapkan.
Bab kelima, dari beberapa uraian merupakan penutup, yang di dalamnya memuat kesimpulan
dan saran. Penarikan kesimpulan didasarkan atas rumusan masalah yang difokuskan lebih
spesifik dan telah ditetapkan sebelumnya. Sehingga pembaca mengetahui jawaban dari persoalan
yang telah diteliti. Kemudian penulis memberikan saran yang terkait dengan materi pembahasan
dalam mengaplikasikannya, baik pada pribadinya maupun pada orang lain, dan penulis berharap
ada penelitian lanjutan yang lebih maksimal.
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN QAWAID FIQHIYAH


Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia
disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad warson menambahkan
bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar),
al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara)[1]. Sedangkan dalam tinjauan
terminologi kaidah punya beberapa arti, menurut Dr. Ahmad asy-syafi’i dalam buku Usul
Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah :
ُ‫ضايَااْلك ُِّليَ ُة‬
َ َ‫اح َد ٍة ِّمُْن َها ُح ْك ُمُ ُج ْزُىِّيَّاتٍُ َكثِّ ْي َر ٍُة ا َ ْلق‬ َ ‫الَّتِّىيَ ْند َِّرجُُتَحْ تَ ُك ُِّل‬
ِّ ‫ُو‬
”Kaum yang bersifat universal (kulli) yangh diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i yang
banyak”.
Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan :

ُ‫قُع َٰلىُ َج ِّم ْي ِّعُ ُج ْز ِّىيَّا ِّت ِّه‬ َ ‫ُح ْك ُمُك ُِّل ٌّىُ َي ْن‬
ُ ‫ط ِّب‬
”Hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar
bagiannya”.
Sedangkan arti fiqh ssecara etimologi lebih dekat dengan ilmu, sebagaimana yang banyak
dipahami, yaitu :

ِّ ‫ِّليَتَفَقَّ ُهواُفِّيُال ِّد‬


ُ‫ين‬
”Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama”
(Q.S. At-Taubat : 122)
Dan juga Sabda Nabi SAW, yaitu :

ُ‫ىُالد ْي ِّن‬
ِّ ِّ‫َم ْنُيُ ِّر ِّدهللاُُ ِّب ِّهُ َخ ْي ًرايُفَ ِّق ْههُُف‬
Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya diberikan kepadanya kepahaman
dalam agama. (‫)روه البخارى ومسلم‬
Sedangkan menurut istilah, Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’
yang bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili (terperinci). Jadi,
dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul fiqhiyah adalah :
”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian
atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu”.

D. MANFAAT KAIDAH FIQH


Manfaat dari kaidah Fiqh (Qawaidul Fiqh) adalah [4]:
1) Dengan kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan
mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-
masalah fiqh
2) Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-
masalah yang dihadapi
3) Dengan kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam waktu dan tempat
yang berbeda, untuk keadaan dan adapt yang berbeda
4) Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama, pada
dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah,
meskipun dengan cara yang tidak langsung
Menurut Imam Ali al-Nadawi (1994):
1) Mempermudah dalam menguasai materi hokum
2) Kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan
3) Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk
memahami permasalahan-permasalahnan baru.
4) Mempermudah orang yang berbakar fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hokum
dengan mengeluarkannya dari tema yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topic
5) Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan bahwa hokum dibentuk untuk
menegakkan maslahat yang saling berdekatan atau menegakkan maslahat yang lebih besar
6) Pengetahuan tentang kaidah fiqh merupakan kemestian karena kaidah mempermudah cara
memahami furu’ yang bermacam-macam

E. KEDUDUKAN QAWAIDUL FIQHIYAH


Kaidah fiqh dibedakan menjadi dua, yaitu[5] :
1) Kaidah fiqh sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah
menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan sunnah.
2) Kaidah fiqh yang dijadikan sebagai dalil pelengkap tidak ada ulama yang memperdebatkannya,
artinya ulama “sepakat” tentang menjadikan kaidah fiqh sebagai dalil pelengkap. Kaidah fiqh
sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukumyang berdiri sendiri,
tanpa menggunakan dua dalil pokok. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang
kedudukan kaidah fiqh sebagai dalil hokum mandiri. Imam al-Haramayn al-Juwayni berpendapat
bahwa kaidah fiqh boleh dijadikan dalil mandiri.
Namun al_Hawani menolak pendapat Imam al-Haramayn al-juwayni. Menurutnya,
menurut al-Hawani, berdalil hanya dengan kaidah fiqh tidak dibolehkan. Al-Hawani mengatakan
bahwa setiap kaidah bersifat pada umumnya, aglabiyat, atau aktsariyat. Oleh karena itu, setiap
kaidah mempunyai pengecualian-pengecualian. Karena memiliki pengecualian yang kita tidak
mengetahui secara pasti pengecualian-pengecualian tersebut, kaidah fiqh tidak dijadikan sebagai
dalil yang berdiri sendiri merupakan jalan keluar yang lebih bijak.
Kedudukan kaidah fiqh dalam kontek studi fiqh adalah simpul sederhana dari masalah-
masalah fiqhiyyat yang begitu banyak. Al-syaikh Ahmad ibnu al-Syaikh Muhammad al-Zarqa
berpendapat sebagai berikut : “kalau saja tidak ada kaidah fiqh ini, maka hukum fiqh yang
bersifat furu’iyyat akan tetap bercerai berai.” Dalam kontek studi fiqh, al-Qurafi menjelaskan
bahwa syar’ah mencakup dua hal : pertama, ushul; dan kedua, furu’, Ushul terdiri atas dua
bagian, yaitu ushul al-Fiqh yang didalamnya terdapat patokan-patokan yang bersifat kebahasaan;
dan kaidah fiqhyang di dalamnya terdapat pembahasan mengenai rahasia-rahasia syari’ah dan
kaidah-kaidah dari furu’ yang jumlahnya tidak terbatas.
F. Perbedaan Qawaid Fiqhiyah dengan Dhawabith Fiqhiyah
Secara umum cakupan dhabith fiqhiyah lebih sempit dari cakupan qawaidh
fiqhiyah dan pembahasan qawaid fiqhiyah tidak dikhususkan pada satu bab tertentu, lain halnya
dengan dhabith fiqhiyah. Al Allamah Ibnu Nujaim juga membedakan antara qawaid dan
dhawabith bahwa, qawaid menghimpun/ mengumpulkan beberapa furu’ (cabang/bagian) dari
beberapa bab, sedangkan dhabith hanya mengumpulkan dari satu bab, dan inilah yang disebut
dengan asal.
Senada dengan Al Allamah Ibnu Nujaim, Imam Suyuthi rahimahullah pun berpendapat
demikian dalam “Asybah wa Nadhair fi An Nahwi”, bahwa qawaid mengumpulkan beberapa
cabang dari beberapa bab yang berbeda, sedangkan dhabith mengumpulkan bagian dari satu bab
saja. Tidak berbeda dari kedua ulama tersebut Abu Baqa juga berpendapatDhabith
mengumpulkan bagian dari satu bab.

G. Perbedaan Qawaid Fiqhiyah dengan Ushul Fiqh beserta Kaidah Ushuliyyahnya


Dalam kajian keislaman, fiqh merupakan suatu disiplin ilmu tersendiri, sebagaimana
ushul fiqh yang merupakan disiplin ilmu tersendiri. Kedua displin ilmu ini mempunyai kaidah-
kaidah tersendiri yang satu sama lain berbeda. Menurut Ali al-Nadawi, Imam Syihab al-Din al-
Qarafi merupakan ulama yang pertama kali membedakan antara kaidah ushuliyyah dan kaidah
fiqhiyah. Al-Qarafi menegaskan bahwa syariah yang agung diberikan Allah kemuliaan dan
ketinggian melalui ushul dan furu’. Adapun ushul dari syariah tersebut ada dua macam. Pertama,
ushul fiqh. Ushul fiqh memuat kaidah-kaidah istinbath hukum yang diambil dari lafal-lafal
berbahasa Arab. Diantara yang dirumuskan dari lafal bahasa Arab itu kaidah tentang nasakh,
tarjih, kehendak lafal amar untuk wajib dan kehendak lafal nahi untuk menunjukkan haram, dan
sighat khusus untuk maksud umum. Kedua, al-qawaid fiqhiyyah yang bersifat kulli (umum).
Jumlah kaidah tersebut cukup banyak dan lapangannya luas yang mengandung rahasia-rahasia
dan hikmah syariat. Setiap kaidah diambil dari furu’ yang terdapat dalam syariah yang tidak
terbatas jumlahnya. Hal itu tidak disebutkan dalam kajian ushul fiqh, meskipun secara umum
mempunyai isyarat yang sama, tetapi berbeda secara perinciannya[6].
Dalam penilaian Ibn Taimiyyah, ada perbedaan mendasar antara qawaid ushuliyyah
dengan qawaid fiqhiyah. Qawaid ushuliyyah membahas tentang dalil-dalil umum. Sementara
qawaid fiqhiyah merupakan kaidah-kaidah yang membahas tentang hukum yang bersifat umum.
Jadi, qawaid ushuliyah membicarakan tentang dalil-dalil yang bersifat umum, sedangkan qawaid
fiqhiyah membicarakan tentang hukum-hukum yang bersifat umum.
Perbedaan al-qawaid fiqhiyah dan kaidah ushul fiqh secara lebih rinci dan jelas dapat diamati
dalam uraian di bawah ini:
1) Qawaid ushuliyyah adalah kaidah-kaidah bersifat kulli (umum) yang dapat diterapkan pada
semua bagian-bagian dan objeknya. Sementara qawaid fiqhiyah adalah himpunan hukum-hukum
yang biasanya dapat diterapkan pada mayoritas bagian-bagiannya. Namun, kadangkala ada
pengecualian dari kebiasaan yang berlaku umum tersebut.
2) Qawaid ushuliyyah atau ushul fiqh merupakan metode untuk mengistinbathkan hukum secara
benar dan terhindar dari kesalahan. Kedudukannya persis sama dengan ilmu nahwu yang
berfungsi melahirkan pembicaraan dan tulisan yang benar. Qawaid ushuliyyah sebagai metode
melahirkan hukum dari dalil-dalil terperinci sehingga objek kajiannya selalu berkisar tentang
dalil dan hukum. Misalnya, setiap amar atau perintah menunjukkan wajib dan setiap larangan
menunjukkan untuk hukum haram. Sementara qawaid fiqhiyah adalah ketentuan (hukum) yang
bersifat kulli (umum) atau kebanyakan yang bagian-bagiannya meliputi sebagian masalah fiqh.
Objek kajian qawaid fiqhiyah selalu menyangkut perbuatan mukallaf.
3) Qawaid ushuliyyah sebagai pintu untuk mengistinbathkan hukum syara’ yang bersifat amaliyah.
Sementara qawaid fiqhiyah merupakan himpunan sejumlah hukum-hukum fiqh yang serupa
dengan ada satu illat (sifat) untuk menghimpunnya secara bersamaan. Tujuan adanya qawaid
fiqhiyah untuk menghimpun dan memudahkan memahami fiqh.
4) Qawaid ushuliyah ada sebelum ada furu’ (fiqh). Sebab, qawaid ushuliyyah digunakan ahli fiqh
untuk melahirkan hukum (furu’). Sedangkan qawaid fiqhiyah muncul dan ada setelah ada furu’
(fiqh). Sebab, qawaid fiqhiyah berasal dari kumpulan sejumlah masalah fiqh yang serupa, ada
hubungan dan sama substansinya.
5) Dari satu sisi qawaid fiqhiyah memiliki persamaan dengan qawaid ushuliyyah. Namun, dari sisi
lain ada perbedaan antara keduanya. Adapun segi persamaannya, keduanya sama-sama memiliki
bagian-bagian yang berada di bawahnya. Sementara perbedaannya, qawaid ushuliyyah adalah
himpunan sejumlah persoalan yang meliputi tentang dalil-dalil yang dapat dipakai untuk
menetapkan hukum. Sedangkan qawaid fiqhiyah merupakan himpunan sejumlah masalah yang
meliputi hukum-hukum fiqh yang berada di bawah cakupannya semata.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Qawaidul fiqhiyah adalah Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada
semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-
hukum cabang itu. Manfaat dari kaidah Fiqh (Qawaidul Fiqh) adalah :
1) Dengan kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan
mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-
masalah fiqh
2) Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-
masalah yang dihadapi
3) Dengan kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam waktu dan tempat
yang berbeda, untuk keadaan dan adapt yang berbeda
4) Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama, pada
dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah,
meskipun dengan cara yang tidak langsung
Kaidah fiqh dibedakan menjadi dua, yaitu:
1) Kaidah fiqh sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah
menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan sunnah.
2) Kaidah fiqh yang dijadikan sebagai dalil pelengkap tidak ada ulama yang memperdebatkannya,
artinya ulama “sepakat” tentang menjadikan kaidah fiqh sebagai dalil pelengkap. Kaidah fiqh
sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukumyang berdiri sendiri,
tanpa menggunakan dua dalil pokok. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang
kedudukan kaidah fiqh sebagai dalil hokum mandiri. Imam al-Haramayn al-Juwayni berpendapat
bahwa kaidah fiqh boleh dijadikan dalil mandiri.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kaidah Asasi


Kaidah Asasi semula dinamakan kaidah ushul, yakni kaidah pokok dari segala kaidah
fiqhiyah yang ada. Setiap permasalahan furu’iyah dapat diselesaikan dengan kalimat kaidah
tersebut walaupun seorang mujtahid belum sempat memperhatikan dasar-dasar hukum secara
tafshili.
Kaidah Asasi itu digali dari sumber-sumber hukum baik melalui al-Qur’an dan as-Sunnah
maupun dalil-dalil istinbath. Karena itu, setiap kaidah didasarkan atas nash-nash pokok yang
dapat dinilai sebagai standar hukum fiqih, sehingga sampai dari nash itu dapat diwakili dari
sekian populasi nash-nash ahkam.

B. Al-Qawaid al - Khamsah (Lima Kaidah Asasi)


Kelima kaidah tersebut dibawah ini sangat masyhur dikalangan mazhab al-Syafi’I
khususnya dan di kalangan mazhab-mazhab lain umumnya meskipun urutannya tidak selalu
sama.
1. Kaidah yang berkaitan dengan niat
a. Teks kaidahnya
ِ ‫األ ُ ُم ْو ُربِ ِمقَا‬
‫ص ِدهَا‬
Artinya: “Segala perkara tergantung kepada niatnya”.
b. Dasar-dasar nash kaidah
Firman Allah SWT:
tûïÏe$!$# ã&s! tûüÅÁÎ=øƒèC ©!$# (#r߉ç6÷èu‹Ï9 žwÎ) (#ÿrâ•ÉDé& !$tBur
Artinya: “ Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…” (QS. al-Bayyinah [98]: 5).
Sabda Nabi SAW:
ِ ‫إِنَّ َما ْاالَ ْع َما ُل بِا لنِِّبَا‬
ٍ ‫ت َواِ نَّ َما ِل ُك ِِّل ْام ِر‬
‫ئ َما ن ََو ى‬
Artinya: “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi seseorang
itu hanyalah apa yang ia niati.”
c. Eksistensi niat
Niat dikalangan ulama-ulama Syafi’iyah diartikan dengan bermaksud melakukan sesuatu
disertai dengan pelaksanaannya.
‫ار ُن ِل ْل ِف ْع ِل‬ ْ َ‫ْئ ُم ْقت َِرنًا بِ ِف ْع ِل ِه أَوالق‬
ِ َ‫ص ُرال ُمق‬ ِ ‫شي‬ ْ َ‫ق‬
َ ‫ص ُرال‬
Didalam shalat misalnya yang dimaksud dengan niat adalah bermaksud didalam hati dan
wajib niat disertai dengan takbirat al-ihram.1[1]
ُ َ‫ب أ َ ْن ت َ ُك ْونَ ال ِنِّيَةُ ُمق‬
‫ار نَةً للت َ ْكبِي ِْر‬ ِ ‫صدُ ِبا لقَ ْل‬
َ ‫ب َويَ ِج‬ ْ َ‫الق‬
Dikalangan mazhab Hambali juga menyatakan bahwa tempat niat ada didalam hati
karena niat adalah perwujudan dari maksud dan tempat dari maksud adalah hati. Jadi apabila
meyakini/beritikad didalam hatinya. Itu pun sudah cukup dan wajib niat didahulukan dari
perbuatan. Yang lebih utama, niat bersama-sama dengan takbirat al-ihram didalam shalat, agar
niat ikhlas menyertainya dalam ibadah.
Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang,
apakah seseorang melakukan suatu perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah dengan
melakukan perbuatan yang diperintahkan atau yang disunnahkan agama ataukah dia melakukan
perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah kepada Allah, tetapi semata-mata karena kebiasaan
saja. Apabila seseorang mampir disebuah mesjid, kemudian duduk atau tiduran dimesjid
tersebut, maka apakah dia berniat I’itikap ataukah tidak. Apabila dia berniat ihtikaf dimesjid
tersebut, maka dia mendapat pahala dari ibadah ikhtikafnya.
Dikalangan para ulama ada kesepakatan bahwa suatu perbuatan ibadah adalah tidak sah
tanpa disertai niat, kecuali untuk beberapa hal saja, yang termasuk kekecualian dari kaidah-
kaidah tersebut diatas.
Dari penjelasan diatas bisa disimpulkan bahwa fungsi niat adalah:
1. Untuk membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan.
2. Untuk membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan.
3. Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta membedakan yang wajib
dari yang sunah.
Secara lebih mendalam lagi para fuqaha (ahli hukum islam) merinci masalah niat ini baik
dalam bidang ibadah mahdlah, seperti thaharah (bersuci), wudhu, tayamum, mandi junub, shalat,
qasar jamak, wajib, sunnah, zakat, haji, saum ataupun didalam muamalah dalam arti luas atau
ibadah ghair mahdlah, seperti pernikahan, talak, wakaf, jual beli, hibah, wasiyat, sewa-menyewa,
perwakilan, utang-piutang, dan akad-akad lainnya.
Diantara kekecualian kaidah diatas antara lain:
1. Suatu perbuatan yang sudah jelas-jelas ibadah bukan adat, sehingga tidak bercampur dengan
yang lain. Dalam hal ini tidak diperlukan niat, seperti iman kepada Allah, makrifat, khauf, zikir
dan membaca al-Qur’an kecuali apabila membacanya dalam rangka nazar.
2. Tidak diperlukan niat didalam meninggalkan perbuatan, seperti meninggalkan perbuatan zina
dan perbuatan-perbuatan lain yang dilarang karena dengan tidak melakukan perbuatan tersebut
maksudnya sudah tercapai.
3. Keluar dari shalat tidak diperlukan niat, karena niat diperlukan dalam melakukan suatu
perbuatan bukan untuk meninggalkan suatu perbuatan.2[2]
Dikalangan mazhab Hanafi ada kaidah:
َ ‫الَ ث َ َو‬
‫اب ِإ َال ِبالنِيَ ِة‬
Artinya: “Tidak ada pahala kecuali niat”.
Kaidah ini dimasukkan ke dalam al-qawa’id al-kulliyah yang pertama sebelum al-umur
bimaqashidiha.
Sedangkan dikalangan mazhab Maliki, kaidah tersebut menjadi cabang dari kaidah al-
umur bimaqashidiha, seperti diungkapkan oleh Qadhi Abd Wahab al-Baqdadi al-Maliki.
Tampaknya pendapat mazhab Maliki ini bisa lebih diterima karena kaidah diatas asalnya.
‫اب ِإالَ ِبا النِيَ ِة‬ َ ‫الَث َ َو‬
َ َ‫اب َوالَ ِعق‬
Artinya: “Tidak ada pahala dan tidak ada siksa kecuali karena niatnya”.
2. Kaidah yang berkenaan dengan keyakinan
a. Teks kaidahnya
‫ا َ ْليَ ِقي ُْن الَيُزَ ا ُل بِا لش َِك‬
Artinya: “Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan kerugian”.
Didalam kitab-kitab fikih banyak dibicarakan tentang hal yang berhubungan dengan
kenyakinan dan keraguan. Misalnya: orang yang sudah yakin suci dari hadas, kemudian dia ragu,
apakah sudah batal wudhunya atau belum? Maka dia tetap dalam keadaan suci. Hanya saja untuk
ihtiyath (kehati-hatian), yang lebih utama adalah memperbarui wudhunya.
Contoh lain dalam fiqh jinayah, apabila seseorang menyangka kepada orang lain
melakukan kejahatan, maka sangkaan tersebut tidak dapat diterima. Kecuali ada bukti yang sah
dan menyakinkan bahwa orang tersebut telah melakukan kejahatan.
b. Dasar-dasar nash kaidah
Sabda Nabi SAW:
‫ش ْي ٌءأ َ ْم الَفََلَ َي ْخ ُر َجنَ ِمنَ ْال َمس ِْج ِد َحت َى َي ْس َم َع‬ َ ‫ش ْيئًا فَآ َ ْش َك َل‬
َ ُ‫علَ ْي ِه اَخ ََر َج ِم ْنه‬ ْ ‫اِذَ َاو َجدَ أ َ َحدُ ُك ْم فِي َب‬
َ ‫صنِ ِه‬
)‫ص ْوتًاأ َ ْو َي ِجد ِْر ْي ًحا (رواه مسلم عن أبى هريرة‬ َ
Artinya: “Apabila seseorang diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya. Kemudian dia
ragu apakah sesuatu itu telah keluar dari perutnya atau belum. Maka orang tersebut tidak boleh
keluar dari mesjid sampai dia mendengar suara (kentut) atau mencium baunya”. (HR. Muslim
dari Abu Hurairah).
َ‫ع َماي ُِر ْيبُكَ ِإلَى َماالَي ُِر ْيبُك‬
ْ َ‫د‬
Artinya: “Tinggalkanlah apa yang meragukanmu, berpindahlah kepada yang tidak
meragukanmu”. (HR. al-Nasai dan al-Turmudzi dari Hasan bi Ali).
Yang dimaksud dengan yakin disini adalah:
‫ظرأَواالدَّ ِليْل‬
َ َ‫ُه َو َما َكانَ ثَابِتًابِالن‬
Artinya: “Sesuatu yang menjadi tetap karena penglihatan panca indra atau dengan adanya
dalil”.
Adapula yang mengertikan yakin dengan ilmu tentang sesuatu yang membawa kepada
kepastian dan kemantapan hati tentang hakikat sesuatu itu dalam arti tidak ada keraguan lagi.
Adapun yang dimaksud dengan al-Syak disini adalah:
‫علَى اال َح ِر‬
َ ‫اء د ُْونَ ت َْر ِجيْعِ ا َ َح ِر ِه َما‬
ِ ‫ط‬َ ‫ب َوال َخ‬ َ ‫سا ِوى‬
َ ‫ط َرفَ ِرال‬
ِ ‫ص َوا‬ َ َ ‫عدَ ِمهَ َم َع ت‬ ِ ‫ُه َو َما َكانَ ُمت ََر ِدِّدًا َبيْنَ الثُب ُْو‬
َ ‫ت َو‬
Artinya: “Suatu pertentangan antara kepastian dengan ketidakpastian tentang kebenaran dan
kesalahan dengan kekuatan yang sama dalam arti tidak dapat ditarjihkan salah satunya”.
Ada kekecualian dari kaidah tersebut diatas, misalnya wanita yang sedang menstruasi
yang meragukan, apakah sudah berhenti atau belum. Maka ia wajib mandi besar untuk shalat.
Contoh lain: baju seseorang terkena najis, tetapi ia tidak tahu bagian mana yang terkena najis
maka ia wajib mencuci baju seluruhnya.
Sesungguhnya contoh-contoh diatas menunjukkan kepada ihtiyath dalam melakukan
ibadah tidak langsung merupakan kekecualian. Mazhab Hanafi mengecualikan dari kaidah
tersebut dengan menyebut 7 macam contoh. Sedangkan mazhab Syafi’I menyebut 11 contoh.
Sedangkan materi-materi fikih yang terkandung dalam kaidah al-yaqin la yuzal bi al-
syak, tidak kurang dari 314 masalah fikih.
Mazhab yang tidak mau menggunakan hal-hal yang meragukan adalah mazhab Maliki
dan sebagian ulama Syafi’iyah, karena mereka menerapkan konsep ihtiyath-nya. Memang dalam
ibadah memerlukan kepastian dan kepuasan batin hanya bisa dicapai dengan ihtiyah (kehati-
hatian).
Tentang syak atau keraguan ini barangkali perlu dikemukan disini pendapat Ibnu Qayyim
al-Jauziyah: “Perlu diketahui bahwa didalam syariah tidak ada sama sekali yang meragukan.
Sesungguhnya syak (keraguan) itu datang kepada mukallaf (subyek hukum) karena
kontradiksinya dua indikator atau lebih, maka masalahnya menjadi meragukan baginya
(mukallaf).
Dari kaidah asasi al-yaqin la yuzal bi al-syak ini kemudian muncul kaidah-kaidah yang
lebih sempit ruang lingkupnya, misalnya:
1. ‫اليَ ِقي ُْن يُزَ ا ُل بِاليَ ِقي ِْن ِمثْ ِل ِه‬
Artinya: “Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti lain yang menyakinkan pula”.
Kita yakin sudah berwudhu, tetapi kemudian kita yakin pula telah buang air kecil, maka wudhu
kita menjadi batal.
2. ‫أ َ َّن َماثَبَتَ بِيَ ِقي ِْن الَي ُْرتَفَ ُع ِإالَ ِبيَ ِقي ٍْن‬
Artinya: “Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kacuali dengan keyakinan
lagi”.
Thawaf ditetapkan dengan dasar dalil yang menyakinkan yaitu harus tujuh putaran. Kemudian
dalam keadaan thawaf, seseorang ragu apakah yang dilakukannya putaran keenam atau kelima.
Maka yang menyakinkan adalah jumlah yang kelima, karena putaran yang kelima itulah yang
menyakinkan.
ْ َ‫اََل‬
3. ‫ص ُل َب َراءةُال ِذ َم ِة‬
Artinya: “Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab”.
Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dari tuntutan, baik yang berhubungan
dengan hak Allah maupun dengan hak Adami. Setelah dia lahir muncullah hak dan kewajiban
pada dirinya.
4. ُ‫علَى َما َكانَ َمالَ ْم يَ ُك ْن َمايُغَيِ ُره‬ ْ َ‫اَل‬
َ َ‫ص ُل بقَا ُء َما َكان‬
Artinya: “Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal lain yang
mengubahnya”.
5. ‫ض ِةال َعدَ ُم‬
َ ‫ار‬ ِ ‫الصفَا‬
ِ ‫ت ال َع‬ ْ َ‫اََل‬
ِ ‫ص ُل فِ ْي‬
Artinya: “Hukum asal pada sifat-sifat yang datang kemudian adalah tidak ada”.
6. ‫ب أَوقَا ِت ِه‬
ِ ‫لرأ َ ْق َر‬ ِ ‫ضافَةُال َحا ِد‬
َ ‫ث ِإ‬ ْ َ‫اََل‬
َ ‫ص ُل ِإ‬
Artinya: “Hukum asal adlah penyandaran suatu peristiwa kepada waktu yang lebih dekat
kejadiannya”.
Apabila terjadi keraguan karena perbedaan waktu dalam suatu peristiwa, maka hokum yang
ditetapkan adalah menurut waktu yang paling dekat kepada peristiwa tersebut, karena waktu
yang paling dekat yang menjadikan peristiwa itu terjadi, kecuali ada bukti lain yang
menyakinkan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada waktu yang lebih jauh.
َ ‫اإلبَا َحةُ َحت َى يَدُ َل الدَ ِل ْي ُل‬
7. ‫علَى التَحْ ِري ِْم‬ ِ ‫اء‬ِ َ‫ص ُل فِي اَلَ ْشي‬
ْ َ‫اََل‬
Artinya: “Hukum asal segala sesuatu itu adalah kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan
keharamnya”.
Contohnya: apabila ada binatang yang belum ada dalil yang tegas tentang keharamannya, maka
hukumnya boleh dimakan.
8. ُ‫ص ُل فِي ال َكَلَ ِم ال َح ِق ْيقَة‬
ْ َ ‫اَأل‬
Artinya: “Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya”.
9. Qadhi Abd al-Wahab al-Maliki menyebutkan dua kaidah lagi yang berhubungan dengan
kaidah,” al-yaqin la yuzal bi al-syak”, yaitu:
ُ‫طا ُءه‬ ْ َ‫ظ ِن الَذِي ي‬
َ ‫ظ َه ُر َخ‬ َ ‫الَ ِعب َْرةَبِال‬
Artinya: “Tidak dianggap (diakui) persangkaan yang jelas salahnya”.
10. ‫الَ ِعب َْرة َ ِللت ََو ُه ِم‬
Artinya: “Tidak diakui adanya waham (kira-kira)”.
Bedanya zhann dan waham adalah didalam zhann yang salah itu persangkaannya. Sedangkan
dalam waham, yang salah itu zatnya.
11. ‫علَى ِخَلَ ِف ِه‬
َ ‫اء ِه َمالَ ْم َيقُ ْم الدَ ِل ْي ُل‬
ِ َ‫َماثَت َ َبتَ ِبزَ َم ٍن يُحْ َك ُم بَ َبق‬
Artinya: “Apa yang ditetapkan berdasarkan waktu, maka hukumnya ditetapkan berdasarkan
berlakunya waktu tersebut selama tidak ada dalil yang bertentangan dengannya”.3[3]

3. Kaidah yang berkenaan dengan kondisi menyulitkan


a. Teks kaidahnya
ُ ‫شقَةُ تَجْ ِل‬
‫ب الت َ ْي ِسي ُْر‬ َ ‫ال َم‬
Artinya: “Kesulitan mendatangkan kemudahan”.
b. Dasar-dasar nash kaidah
Firman Allah SWT:

َ ُ‫ي ُِر ْيدُ هللاُ ِب ُك ْم ْاليُس ِْر َوالَي ُِر ْيدُ ِب ُك ُم ْالع‬
‫سر‬
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan Dia tidak menghendaki kesulitan bagi
kalian”. (QS. al-Baqarah[2]: 185).
Sabda Nabi SAW:
)‫س ْم َحةَ (رواه البخر‬
َ ‫ب ال ِدي ِْن إلَى هللاِ الخ ِفيَةَ ال‬
ُ ‫ال ِدي ُْن يُس ٌْرا ُخ‬
Artinya: “Agama itu memudahkan, agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar dan
mudah”. (HR. Bukhari dari Abu Hurairah).4[4]
Dalam ilmu fikih, kesulitan yang membawa kepada kemudahan itu setidaknya ada tujuh
macam yaitu:
1. Sedang dalam perjalanan, misalnya boleh qasar shalat, buka puasa, dan meninggalkan shalat
jum’at.
2. Keadaan sakit, misalnya boleh tayamum ketika sulit memakai air shalat fardhu sambil duduk.
3. Keadaan terpaksa yang membahayakan kepada kelangsungan hidupnya.
4. Lupa, misalnya seseorang lupa makan dan minum pada waktu puasa, lupa membayar utang tidak
diberi sanksi tetapi bukan pura-pura lupa.
5. Ketidaktahuan, misalnya orang yang baru masuk Islam karena tidak tahu, kemudian makan
makanan yang diharamkan, maka dia tidak dikenai sanksi.
6. Umum al-Balwa, misalnya kebolehan bai al-salam (Uangnya dahulu, barangnya belum ada).
Kebolehan dokter melihat kepada bukan mahramnya demi untuk mengobati sekadar yang
dibutuhkan dalam pengobatan.
7. Kekuranganmampuan bertindak hukum (al-naqsh), misalnya anak kecil, orang gila, orang dalam
keadaan mabuk.5[5]

c. Klasifikasi kesulitan
Dr. Wahbah az-Zuhaili mengklasifikasikan kesulitan dalam 2 kategori, yaitu:
1. Kesulitan Mu’tadah
Kesulitan mu’tadah adalah kesulitan yang alami, dimana manusia mampu mencari jalan
keluarnya sehingga ia belum masuk pada keterpaksaan. Kesulitan model ini tidak dapat di
hilangkan taklif dan tidak menyulitkan untuk melakukan ibadah. Misalnya seseorang kesulitan
mencari pekerjaan, ia dapat pekerjaan yang sangat berat, keberatan ini bukan berarti
diperbolehkan keringanan dalam melakukan shalat atau puasa dan sebagainya, atau karena
kesulitan mencari ma’isah ittu menggugurkan hukum qishas.
2. Kesulitan Qhairu Mu’tadah
Kesulitan qhairu mu’tadah adalah kesulitan yang tidak pada kebiasaan, dimana manusia
tidak mampu memikul kesulitan itu. Karena jika ia melakukannya niscaya akan merusak diri dan
memberatkan kehidupannya, dan kesulitan-kesulitan ini dapat diukur oleh criteria akal sehat.
Syariat sendiri serta kepentingan yang dicapainya, kesulitan semacam ini diperbolehkan
menggunakan dispensasi (rukhsah).
d. Tingkatan kesulitan dalam ibadah
Dr. Wahbah az-Zuhaili membagi tingkatan kesulitan dalam ibadah menjadi 3 macam,
yaitu:
1. Kesulitan Adhimah
Yaitu kesulitan yang dikhawatirkan akan rusaknya jiwa ataupun jasad manusia.
2. Kesulitan Khofifah
Yaitu kesulitan karena sebab yang ringan, seperti kebolehan menggunakan muza jika
sangat dingin menyentuh air.
3. Kesulitan Mutawasithah
Yaitu kesulitan yang tengah-tengah antara yang berat dan yang ringan. Berat ringannya
kesulitan tergantung pada persangkaan manusia, sehingga tidak diwajibkan memilih rukhshah
juga tidak dilarang memilihnya.6[6]
e. Bentuk-bentuk keringanan dalam kesulitan
Syekh Izzudin bin Abdis salam menyatakan bahwa bentuk-bentuk keringanan dalam
kesulitan itu ada 6 macam, yaitu:
1. Tahfitul isqoth (meringankan dengan menggugurkan)
Misalnya menggugurkan kewajiban shalat jum’at, ibadah haji dan umrah serta jihad jika
ada uzur.
2. Tahfitul tanqish (meringankan dengan mengurangi)
Misalnya bolehnya menggashar shalat dari 4 rakaat menjadi 2 rakaat.
3. Tahfitul ibdal (meringankan dengan mengganti)
Misalnya dengan mengganti wudhu dengan tayamum, mengganti berdiri dengan duduk
atau berbaring ketika shalat.
4. Tahfitul taqdim (meringankan dengan mendahulukan waktunya)
Misalnya kebolehan jamak taqdim, yakni shalat ashar dilakukan shalat zuhur,
mendahulukan zakat sebelum setahun, mendahulukan zakat fitrah sebelum akhir ramadhan.
5. Tahfitul ta’khir (meringankan dengan mengakhirkan waktu)
Misalnya jamak takhir, yakni shalat zuhur dapat dilakukan pada waktu shalat ashar,
mengakhiri puasa ramadhan bagi yang bepergian dan yang sakit.
6. Tahfitul tarkhsih (meringankan dengan kemurahan)
Misalnya kebolehan menggunakan benda najis atau khomr untuk keperluan berobat.
4. Kaidah yang berkenaan dengan kondisi membahayakan
a. Teks kaidahnya
‫ض َر ُريُزَ ا ُل‬
َ ‫ال‬
Artinya: “Kemudaratan harus dihilangkan”.
Seperti dikatakan oleh Izzuddin Ibn Abd al-Salam bahwa tujuan syariah itu adalah untuk
meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan. Kaidah tersebut di atas kembali kepada tujuan
untuk merealisasikan maqashid al-syari’ah dengan menolak yang mafsadah, dengan cara
menghilanhkan kemudaratan atau setidaknya meringankannya.

Contoh-contoh dibawah ini antara lain memunculkan kaidah diatas:


- Larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena perbuatan tersebut
mengakibatkan kemudaratan bagi rakyat.
- Adanya berbagai macam sanksi dalam fiqh jinayah (hukum pidana Islam) adalah juga untuk
menghilangkan kemudaratan.
- Adanya aturan al-Hajr (kepailitan) juga dimaksudkan untuk menghilangkan kemudaratan.7[7]
b. Dasar-dasar nash yang berkaitan
Firman Allah SWT:
ِ ‫ت ُ ْفس ُِر َوافِى ْاالَ ْر‬
َ‫ ه ه) َوال‬:‫ض (االعراف‬
Artinya: “Dan jangan kamu sekalian membuat kerusakan dibumi. “. (QS. al-A’raf : 55).
Sabda Nabi SAW:
‫ار‬ ِ َ‫ض َر َر َوال‬
َ ‫ض َر‬ َ َ‫ال‬
Artinya: “…Tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta membuat kerusakan pada
orang lain”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).
c. Kaidah-kaidah yang berkenaan dengan kondisi mudarat
Kaidah pertama:
‫ت‬ ُ ْ‫ض ُر ْو َراتُ تُبِ ْي ُح ْال َمح‬
ِ ‫ظ ْو َرا‬ َ َ‫ا‬
Artinya: “Kemudaratan-kemudaratan itu dapat memperbolehkan keharaman”.
Batasan kemudaratan adalah suatu hal yang mengancam eksistensi manusia yang terkait
dengan lima tujuan, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara
keturunan dan memelihara keturunan dan memelihara kehormatan atau harta benda.
Kaidah kedua:
‫ت يُقَدَ ُربِقَدَ ِرهَا‬
ِ ‫ورا‬ َ ‫َماأُبِ ْي َع لل‬
َ ‫ض ُر‬
Artinya: “ Apa yang dibolehkan karena darurat diukur sekadar kedaruratannya”.
Kebolehan berbuat atau meninggalkan sesuatu karena darurat adalah untuk memenuhi
penolakan terhadap bahaya, bukan selain ini. Dalam kaitan ini Dr. Wahbah az-Zuhaili membagi
kepentingan manusia akan sesuatu dengan 4 klasifikasi, yaitu:
1. Darurat
2. Hajah
3. Manfaat
4. Fudu
Kaidah ketiga:
َ َ‫َجازَ ِلعُ ْذ ٍر ب‬
‫ط َل بَزَ َوا ِل ِه َما‬
Artinya: “Apa yang diizinkan karena adanya udzur, maka keizinan itu hilang manakala
udzurnya hilang”.
Kaidah keempat:
ُ ‫ط بِا ْل َم ْع‬
‫س ْو ِر‬ ُ ‫ا َ ْل َم ْي‬
ُ ‫س ْو ُرالَيُ ْس َق‬
Artinya: “Kemudahan itu tidak dapat digugurkan dengan kesulitan”.
Kaidah kelima:
‫اريُب ِْط ُل َحقَ ْالغَي ِْر‬ ْ ‫ا َ ْ ِال‬
َ ‫ض‬
ُ ‫ط َر‬
Artinya: “Keterpaksaan itu tidak dapat membatalkan hak orang lain”.
Kaidah keenam:

َ ‫صلَ َحةٌ قُ ِد َم دَ ْف ُع ْال َم ْف‬


‫سدَ ِة غَا ِلبًا‬ َ ‫ض َم ْف‬
ْ ‫سدَة ٌ َو َم‬ َ ‫دَ ْر ُء ْال َمفَا ِس ِدا َ ْولَى ِم ْن َج ْل ِبى ْال َم‬
َ ‫صا ِلعِ فَ ِاذَا ت َ َع‬
َ ‫ار‬
Artinya: “Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada menarik mashlahah dan apabila
berlawanan antara yang mafsadah dan mashlahah maka yang didahulukan adalah menolak
mafsadahnya”.
Kaidah ketujuh:

َ ‫ض َر ُرالَيُزَ ا ُل ِبا ل‬
‫ض َر ِر‬ َ ‫اَل‬
Artinya: “Kemudaratan itu tidak dapat dihilangkan dengan kemudaratan yang lain”.
Kaidah kedelapan:
‫ب ْال َخ ِفِّ ِه َما‬
ِ ‫ار تِ َكا‬
ْ ِ‫ض َر ًراب‬ َ ‫َان ُر ْو ِع ْي ا َ ْع‬
َ ‫ظ ُم َها‬ َ ‫ض َم ْف‬
ِ ‫سدَ ت‬ َ َ‫اِذَاتَع‬
َ ‫ار‬
Artinya: “Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar
mudaratnya dengan memilih yang lebih ringan mudaratnya”.
Kaidah kesembilan:

َ ‫ا َ ْل َحا َجةُ ْال ْعا َمةُ ا َ ِو ْالخَا‬


َ ‫صةُ ت َ ْن ِز ُل َمي ِْز لَةَ ال‬
ِ‫ض ُر ْو َرة‬
Artinya: “Kebutuhan umum atau khusus dapat menduduki tempatnya darurat”.8[8]
5. Kaidah yang berkenaan adat kebiasaan
a. Teks kaidahnya
ٌ‫اَلعَا دَة ُ ُم َح َك َمة‬
Artinya: “Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”.
Sebelum Nabi Muhammad SAW diutus, adat kebiasaan sudah berlaku di masyarakat baik
di dunia Arab maupun dibagian lain termasuk di Indonesia. Adat kebiasaan suatu masyarakat
dibangun atas dasar nilai-nilai yang dianggap oleh masyarakat tersebut. Nilai-nilai tersebut
diketahui, dipahami, disikapi, dan dilaksanakan atas dasar kesadaran masyarakat tersebut.
b. Dasar-dasar nash kaidah
Firman Allah SWT:
ِ ‫عا ِش ُر َو ُهنَ بِا ْال َم ْع ُر ْو‬
‫ف‬ َ ‫َو‬
Artinya: “ Dan pergaulilah mereka (istri-istrimu) dengan cara yang ma’ruf(baik)”. (HR. Ahmad
dari Ibnu Mas’ud).
Sabda Nabi SAW:

َ ‫علَى ُح ْك ِم ْال َم ْعقُ ْو ِل َو‬


‫عاد ُْوا اِلَ ْي ِه َم َرة ً بَ ْعدَا ُ ْخ َرى‬ َ ‫علَ ْي ِه‬ ُ ‫ا َ ْلعَادَة ُ َما ا ْست َ َم َرالن‬
َ ‫َاس‬
Artinya: “Apa yang dipandang baik oleh muslim maka baik pula disisi Allah”. (HR. Ahmad dari
Ibnu Mas’ud).
c. Pengertian ‘Adah atau ‘uruf
Jumhur ulama mengidentikkan term ‘adah dengan ‘uruf, keduanya mempunyai arti yang
sama. Namun sebagai fuqaha membedakannya. Al-Jurjani misalnya mendefinisikan ‘adah
dengan:
Adah adalah suatu (perbuatan) yang terus menerus dilakukan manusia, karena logis dan
dilakukan secara terus menerus. Sedangkan ‘uruf adalah:
‘Uruf tidak hanya merupakan perkataan, tetapi juga perbuatan atau juga meninggalkan
sesuatu. Karena itu dalam terminology bahasa Arab antara ‘uruf dan ‘adah tiada beda.
Misalnya ‘uruf / ‘adah adalah menggunakan kalender haid bagi wanita, setiap bulan
seseorang wanita mengalami menstruasi dan cara perhitungannya ada yang menggunakan
metode tamyiz dan ada juga metode ‘adah (yakni menganggap haid atas hari-hari kebiasaan
keluarnya darah tiap bulan). Bagi Imam hanafi mewajibkan penggunaan metode adah sedang
Imam Syafi’I menguatkan metode tamyiz.
d. Syarat diterimanya ‘uruf /‘adah
Menurut pengertian diatas, maka adah dapat diterima jika memenuhi syarat sebagai
berikut:
1. Perbuatan yang dilakukan logis dan relevan dengan akal sehat.
2. Perbuatan, perkataan yang dilakukan selalu terulang-ulang boleh dikata sudah mendarah daging
pada perilaku masyarakat.
3. Tidak bertentangan dengan ketentuan nash, baik al-Qur’an maupun as-Sunnah
4. Tidak mendatangkan kemudaratan serta sejalan dengan jiwa dan akal yang sejahtera.9[9]

e. Kaidah yang berkaitan dengan adah


Diantara kaidah-kaidah cabang dari kaidah al-adah muhkamah adalah sebagai berikut:
1. Kaidah pertama:
ُ ‫َاس ُح َجةٌ يَ ِج‬
‫ب ال َع َم ُل ِب َها‬ ِ ‫ِإ ْستِ ْع َما ُل الن‬
Artinya: “Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah yang wajib diamalkan”.
2. Kaidah kedua:
‫ت‬ َ ‫ت أ َ ْو‬
ْ ‫غلَ َب‬ َ ‫ض‬
ْ َ‫ط َر د‬ ْ ‫ِإنَ َما ت ُ ْعت َ َب ُر ال َعادَة ُ ِإذَا ا‬
Artinya: “Adat yang dianggap(sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat yang terus
menerus berlaku atau berlaku umum”.
3. Kaidah ketiga:
‫ب الشَا ئِعِ الَ ِللنَا د ِِر‬
ِ ‫ال ِعب َْرة ُ ِللفَا ِل‬
Artinya: “Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang dikenal oleh manusia bukan
dengan yang jarang terjadi”.
4. Kaidah keempat:
ً ‫ع ْر فًا َكا لَ َم ْش ُر ْو ِط ش َْر‬
‫ص‬ ُ ‫ْال َم ْع ُر ْو‬
ُ ‫ف‬
Artinya: “Sesuatu yang telah dikenal karena ‘urf seperti yang disyaratkan dengan suatu syarat”.
5. Kaidah kelima:
ُ ‫ْال َم ْع ُر َو‬
ِ ‫ف بَيْنَ الت ُ َج‬
‫ار كَ ل َم ْش ُر ْو ِط بَ ْينَ ُه ْم‬
Artinya: “Sesuatu yang telah dikenal diantara pedagang berlaku sebagai syarat diantara
mereka”.
6. Kaidah keenam:
‫ف َكا لت َ ْع ِبي ِْن بِا لنَص‬
ِ ‫الت َ ْع ِيي ُْن ِبا لعُ ْر‬
Artinya: “Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan berdasarkan nash”.
7. Kaidah ketujuh:

َ ‫ْال ُم ْمتَنَ ُع‬


ً‫عا دَة ً َكا ل ُم ْمتَنَع َحقَ ْيقَة‬
ِ
Artinya: “Sesuatu yang tidak berlaku berdasarkan adat kebiasaan seperti yang tidak berlaku
dalam kenyataan”.
8. Kaidah kedelapan:
ِ‫ال َح ِق ْيقَةُ تُتْ َر كُ بِدَ الَ لَ ِةا لعَا دَة‬
Artinya: “Arti hakiki ditinggalkan karena ada petunjuk arti menurut adat”.
9. Kaidah kesembilan:
‫اإل ْذ ُن العُ ْر فِى َكا ِإل ْذ ِن اللَ ْف ِظى‬
ِ
Artinya: “ Pemberian izin menurut adat kebiasaan adalah sama dengan pemberian izin menurut
ucapan”.10[10]
BAB III

PENUTUP

Simpulan:
Kaidah asasi dinamakan kaidah ushul, yaitu kaidah pokok dari segala kaidah fiqhiyah
yang ada. Lima kaidah asasi yaitu:
1. Kaidah yang berkaitan dengan niat
a. Teks kaidahnya
ُ ‫األ ُ ُم‬
ِ ‫ور بِ ِمقَا‬
‫صدَ هَا‬
“Segala perkara tergantung kepada niatnya”
b. Dasar-dasar nash kaidahnya yaitu al-Qur’an surah al-Bayyinah ayat 5 dan Hadits Nabi SAW.
2. Kaidah yang berkenaan dengan keyakinan
a. Teks kaidahnya
‫ا َ ْليَ ِقي ُْن الَيُزَ ا ُل بِا لش َِك‬
“Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan kerugian”.
b. Dasar-dasar nash kaidahnya yaitu Hadits Nabi
3. Kaidah yang berkenaan dengan kondisi menyulitkan
a. Teks kaidahnya
ُ ‫شقَةُ تَجْ ِل‬
‫ب الت َ ْي ِسي ُْر‬ َ ‫ال َم‬
“Kesulitan mendatangkan kemudahan”.
b. Dasar-dasar nash kaidahnya yaitu al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 185 dan Hadits Nabi SAW.

4. Kaidah yang berkenaan dengan kondisi membahayakan


a. Teks kaidahnya
‫ض َر ُريُزَ ا ُل‬
َ ‫ال‬
“Kemudaratan harus dihilangkan”.
b. Dasar-dasar nash kaidahnya yaitu al-Qur’an surah al-A’raf ayat 55 dan Hadits Nabi SAW.
5. Kaidah yang berkenaan adat kebiasaan
a. Teks kaidahnya
ٌ‫اَل َعا دَة ُ ُم َح َك َمة‬
“Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hokum”.
b. Dasar-dasar nash kaidahnya yaitu al-Qur’an surah an-Nisa ayat 19 dan Hadits Nabi SAW.
DINAS KESEHATAN KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

UPT

PUSKESMAS MERBAU MATARAM

KECAMATAN MERBAU MATARAM

Jalan Raya Suban desa Merbau Mataram Lam-Sel. 35.357

KERANGKA ACUAN PROGRAM KESEHATAN JIWA TAHUN 2016 PUSKESMAS


MERBAU MATARAM

A. Pendahuluan

Sehat adalah keadaan sejahtera, fisik mental dan sosial dan tidak sekedar terbebas dari keadaan
cacat dan

kematian. Definisi sehat ini berlaku bagi perorangan maupun penduduk (masyarakat). Derajat
kesehatan

masyarakat dipengaruhi oleh empat faktor yang saling berinteraksi yaitu, lingkungan, perilaku,

keturunan dan pelayanan kesehatan. Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi mental sejahtera yang

memungkinkan hidup harmonis dan produktif sebagai bagian yang utuh dari kualitas hidup
seseorang,

dengan memperhatikan semua segi kehidupan manusia dengan ciri menyadari sepenuhnya
kemampuan

dirinya, mampu menghadapi tekanan hidup yang wajar, mampu bekerja produktif dan memenuhi

kehidupan hidupnya, dapat berperan serta dalam lingkungan hidup, menerima dengan baik apa
yang ada

pada dirinya merasa nyaman bersama orang lain. Jadi kesehatan jiwa (mental) merupakan bagian
yang

tidak dapat dipisahkan dari kesehatan secara keseluruhan.


B.

Latar Belakang

Perubahan pesat dari masyarakat agraris ke industri beserta dampaknya, keadaan ini

sangat rawan

terjadinya masalah kesehatan jiwa. Gangguan kesehatan jiwa menimbulkan penderitaan yang

mendalam bagi individu dan keluarganya, baik mental maupun materi. Pengertian,

pengetahuan dan stigma masyarakat terhadap penderita jiwa dianggap hina dan memalukan,

pemahaman yang masih kurang tentang kesehatan jiwa di berbagai kalangan, didukung

mayoritas oleh faktor kemiskinan keluarga. Dengan masalah tersebut diatas kami terketuk

untuk melaksanakan program kesehatan jiwa. Kegiatan program kesehatan jiwa di Puskesmas

DTP Mande sudah mulai dilaksanakan dari tahun 2011 sampai dengan sekarang sampai bulan

mei 2015 pasien yg sudah ditangani sejumlah 188 pasien dengan rincian 152 pasien

gangguanjiwaringan, 36 gangguanjiwaberat yang sebagiansudahberobatrutin di

Puskesmasdansebagianberobatjalanke RSUD.

C.

TUJUAN

Umum :

1.

Me

mberi pelayanan kesehatan jiwa kepada masyarakat Merbau Mataram.

2.

Meningkatkan derajat kesehatan jiwa di Indonesia sebagai bagian dari derajat kesehatan

masyarakatdi wilayah kerja Puskesmas Merbau Mataram.

2.

Meningkatkan

pengetahuan,pemahaman,dan kesadaran masyarakat terhadap kesehatan jiwa.

3.

Meningkatnya upaya untuk mencegah gangguan jiwa

4.

Terdeteksi dan tertanggulanginya masalah kesehatan jiwa secara komprehensip.

Khusus :

1.

Tercapainya penurunanan penderita gangguan kesehatan jiwa.


2.

Terlaksananya talalaksana Program kesehatan jiwa sesuai standar.

3.

Diketahuinya situasi epidemiologi dan besarnya masalah penyakit gangguan kesehatan jiwa di

masyarakat, sehingga dapat dibuat perencanaan dalam pencegahan, penanggulangan

maupun pengobatan di semua jenjang pelayanan.

4.

Terwujudnya masyarakat yang mengerti, menghayati dan melaksanakan hidup sehat jiwa

melalui promosi program kesehatan jiwa yang terintegrasi.

5.

Tersusunnya rencana kegiatan Pengendalian Penyakit gangguan kesehatan jiwa masyarakat

di suatu wilayah kerja yang meliputi target, kebutuhan sasaran dan pengelolaannya.

D.

CARA PELAKSANAAN :

1.

Melaksanakandeteksidinipenjaringanpenderitaluargedungdenganmelibatkankaderposyandu,tok

ohmasyarakatdanpemerintahandesa.

2.

Kerjasamalintassektordanbidandesadalampenyuluhankesehatan

di

desabinaandenganmenitikberatkanpadasektor program kesehatanjiwa.

3.

Melaksanakandeteksidinipemeriksaandalamgedungpolikklinikrawatjalandenganmetodeklasifikas

ijenisgangguanjiwadengankode ICD F

4.

Meningkatkatkanpenyuluhankesehatankeseluruhdesabinaan

5.

Melaksanakanupayakegiatanpencegahan yang efektif.

6.

Melaksanakan monitoring danevaluasi

E.

SASARAN :

1.
Pasien penderita Gangguan jiwa

2.

Masyarakat

F.

KEGIATAN

NO

JENIS KEGIATAN

HARI

SENIN

SELASA

RABU

KAMIS

JUMAT

SABTU

Melaksanakandeteksidinipenjaringanpen

deritaluargedungdenganmelibatkankade

rposyandu,tokohmasyarakatdanpemerin

tahandesa.

Kerjasamalintassektordanbidandesadala

mpenyuluhankesehatan

di

desabinaandenganmenitikberatkanpada

sektor program kesehatanjiwa

Melaksanakandeteksidinipemeriksaanda

lamgedungpolikklinikrawatjalandenganm

etodeklasifikasijenisgangguanjiwadenga

nkode ICD F

Meningkatkatkanpenyuluhankesehatank

eseluruhdesabinaan
5

Melaksanakanupayakegiatanpencegaha

n yang efektif.

Melaksanakan monitoring danevaluasi

G.

BIAYA

1.

APBN

2.

APBD I dan II

3.

BLN

4.

Dana Operasional Puskesmas

H.

PENCATATAN, PELAPORAN DAN DOKUMENTASI

1.

Dilaksanakan sesuai dengan prosedur pelaksanaan.

2.

Dokumentasipenunjangdanfotokegiatan

Mengetahui:

Mande, .....................2016

KepalaPuskesmas DTP Mande,

Petugas,

drg. TutikSuprihatin, M.Kes.

JejenIskandar, Amd. Kep.

NIP. 19650408 199403 2002

NIP. 19811109 201410 1 001

1.

PENDAHULUAN

Bahwa dalam rangka mendukung dan mencapai target Indonesia bebas pasung tahun

2020.
2.

LATAR BELAKANG

Program kesehatan jiwa merupakan upaya kesehatan bersumber daya masyarakat (UKBM) yang

dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat dalam penyelenggaraan

pembangunan kesehatan, guna memberdayakan masyarakat dan memberikan kemudahan kepada

masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan jiwa sebagai upaya mendukung pencapaian

Indonesia bebas pasung tahun 20

20

. Jumlah pasien dengan gangguan jiwa yang terdaftar di wilayah

kerja Puskesmas

Merbau mataram

sebanyak .... Orang.

3.

TUJUAN

a.

Tujuan Umum

Me

mberi pelayanan kesehatan jiwa kepada masyarakat Merbau Mataram.

b.

Tujuan Khusus

1.

Mendukung pencapaian Indonesia bebas pasung

2.

Meningkatkan pelayan kesehatan psikiatri

3.

Meningkatkan kemampuan masyarakat dan keluarga melalui penyuluhan tentang kesehatan jiwa

4.

Mengenali penderita yang memerlukan pelayanan kesehatan psikiatri

5.

Memberi pertolongan pertama psikiatri, dengan memberikan pengobatan atau merujuk pasien ke

RS jiwa

4.

KEGIATAN POKOK DAN RINCIAN


Program kesehatan jiwa dapat dilaksanakan melalui berbagai kegiatan seperti :

a.

Kunjungan rumah pasien gangguan jiwa

b.

Pemantauan dan kontroling status pengobatan pasien gangguan jiwa

5.

CARA MELAKSANAKAN KEGIATAN

1.

Melaksanakan pemeriksaan menggunakan metode 2 menit

2.

Melaksanakan rujukan kasus yang tidak bisa ditangani

3.

Melaksanakan kunjungan rumah dalam rangka penjaringan kasus jiwa

4.

Melakukan penyuluhan khusus kesehatan jiwa

5.

Pelaporan kasus kesehatan jiwa bidang Yankesfar Dinas Kesehatan Kab.

Lampung selatan

6.

Melakukan Evaluasi Program kesehatan jiwa

7.

Membuat rencana tindak lanjut

6.

SASARAN

Puskesmas melaksanakan pelayanan kesehatan jiwa:

Melaksanakan pelayanan kesehatan jiwa dengan mengintegrasikannya dalam pelayanan

kesehatan lainnya diseluruh rentang usia

Memberikan penyuluhan kesehatan jiwa kepada pengunjung /pasien puskesmas baik individu

atau kelompok masyarakat.

Memberikan psikoterapi lingkungan atau keluarga kepada pasien dengan gangguan


kesehatan jiwa.

7.

JADWAL PELAKSANAAN KEGIATAN

8.

EVALUASI KEGIATAN DAN PELAPORAN

9.

PENCATATAN PELAPORAN DAN EVALUASI

Anda mungkin juga menyukai