Anda di halaman 1dari 3

B.

MENIKAHI WANITA YANG DIHAMILI ORANG LAIN

Menikahi wanita yang sedang dalam keadaan hamil hukumnya ada dua. Yang pertama, hukumnya haram. Yang kedua, hukumnya boleh. Yang hukumnya haram adalah apabila yang menikahi bukan orang yang menghamili. Wanita itu dihamili oleh si A, sedangkan yang menikahinya si B. Hukumnya haram sebagaimana sabda Rasulullah SAW : "Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, dia menuangkan air (maninya) pada tanaman orang lain." (HR Abu Daud). Yang dimaksud dengan tanaman orang lain maksudnya haram melakukan persetubuhan dengan wanita yang sudah dihamili orang lain. Baik hamilnya karena zinah atau pun karena hubungan suami isteri yang sah. Pendeknya, bila seorang wanita sedang hamil, maka haram untuk disetubuhi olehlaki-laki lain, kecuali laki-laki yang menyetubuhinya. Dari dalil di atas kita mendapatkan hukum yang kedua, yaitu yang hukumnya boleh. Yaitu wanita hamil karena zinah dinikahi oleh pasangan zinah yang menghamilinya. Hukumnya boleh dan tidak dilarang. Maka seorang laki-laki menikahi pasangan zinahhnya yang terlanjur hamil dibolehkan, asalkan yang menyetubuhinya (mengawininya) adalah benar-benar dirinya sebagai laki-laki yang menghamilinya, bukan orang lain. Perbedaan Pendapat Tentang Kebolehan Menikahinya

Memang ada sebagian pendapat yang mengharamkan menikahi wanita yang pernah dizinahinya sendiri dengan berdalil kepada ayat Al-Quranul Kariem berikut ini : "Laki-laki yang berzinah tidak mengawini melainkan perempuan yang berzinah, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzinah tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzinah atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mu'min." (QS.AnNur: 3) Namun kalau kita teliti, rupanya yang mengharamkan hanya sebagian kecil saja. Selebihnya, mayoritas para ulama membolehkan. 1. Pendapat Jumhur (mayoritas) Ulama Jumhurul fuqaha' (mayoritas ahli fiqih) mengatakan bahwa yang dipahami dari ayat tersebut bukanlah mengharamkan untuk menikahi wanita yang pernah berzinah. Bahkan mereka membolehkan menikahi wanita yang pezinah sekalipun. Lalu bagaimana dengan lafaz ayat yang zahirnya mengharamkan itu?

Para fuqaha memiliki tiga alasan dalam hal ini : a) Dalam hal ini mereka mengatakan bahwa lafaz 'hurrima' atau diharamkan di dalam ayat itu bukanlah pengharaman namun tanzih (dibenci). Selain itu mereka beralasan bahwa kalaulah memang diharamkan, maka lebih kepada kasus yang khusus saat ayat itu diturunkan. Mereka mengatakan bahwa ayat itu telah dibatalkan ketentuan hukumnya (dinasakh) dengan ayat lainnya yaitu : "Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui". (QS. An-Nur:32). Pendapat ini juga merupakan pendapat sahabat Abu Bakar As-Shiddiq dan sahabat Umar bin Al-Khattab radhiyallahu 'anhuma . Mereka membolehkan seseorang untuk menikahi wanita pezinah. Dan bahwa seseorang pernah berzinah tidaklah mengharamkan dirinya dari menikah secara syah. Pendapat mereka ini dikuatkan dengan hadits berikut : Dari Aisyah ra berkata : "Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzinah dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya", lalu beliau bersabda,"Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal." (HR Tabarany dan Daruquthuny). Dan hadits berikut ini : Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW, "Isteriku ini seorang yang suka berzinah." Beliau menjawab, "Ceraikan dia!." "Tapi aku takut memberatkan diriku.""Kalau begitu mut'ahilah dia." (HR Abu Daud dan AnNasa'i) Selain itu juga ada hadits berikut ini : Dimasa lalu seorang bertanya kepada Ibnu Abbas ra, "Aku melakukan zinah dengan seorang wanita, lalu aku diberikan rizki Allah dengan bertaubat. Setelah ituaku ingin menikahinya, namun orang-orang berkata (sambil menyitir ayat Allah), "Seorang pezinah tidak menikah kecuali dengan pezinah juga atau dengan musyrik'. Lalu Ibnu Abbas berkata,"Ayat itu bukan untuk kasus itu. Nikahilah dia, bila ada dosa maka aku yang menanggungnya." (HR Ibnu Hibban dan Abu Hatim)

b) c)

Ibnu Umar ditanya tentang seorang laki-laki yang berzinah dengan seorang wanita, bolehkan setelah itu menikahinya? Ibnu Umar menjawab, "Ya, bila keduanya bertaubat dan memperbaiki diri." 2. Pendapat Yang Mengharamkan Sebagian kecil ulama ada yang berpendapat untuk mengharamkan tindakan menikahi wanita yang pernah dizinahinya sendiri. Paling tidak tercatat ada Aisyah, Ali bin Abi Thalib, Al-Barra' dan Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhum ajmain. Mereka mengatakan bahwa seorang laki-laki yang menzinahi wanita maka dia diharamkan untuk menikahinya. Begitu juga seorang wanita yang pernah berzinah dengan laki-laki lain, maka dia diharamkan untuk dinikahi oleh laki-laki yang baik (bukan pezinah). Bahkan Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa bila seorang isteri berzinah, maka wajiblah pasangan itu diceraikan. Begitu juga bila yang berzinah adalah pihak suami. Tentu saja dalil mereka adalah zahir ayat yang di sebutkan di atas (aN-Nur: 3). Selain itu mereka juga berdalil dengan hadits dayyuts , yaitu orang yang tidak punya rasa cemburu bila isterinya serong dan tetap menjadikannya sebagai isteri. Dari Ammar bin Yasir bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidak akan masuk surga suami yang dayyuts." (HR Abu Daud) Di antara tokoh di zaman sekarang yang ikut mengharamkan adalah Syeikh Al-Utsaimin rahmahullah.

Anda mungkin juga menyukai