Page 1 of 24
Adapun perempuan yang hamil karena zina, kami perlu merinci lebih meluas, karena pentingnya
perkara ini dan banyaknya kasus yang terjadi di seputarnya. Maka, dengan mengharap curahan
taufiq dan hidayah dari Allah Al- Alim Al-Khabir , masalah ini kami uraikan sebagai berikut.
Tentang perempuan yang telah berzina dan menyebabkan dia hamil atau tidak, dalam hal bolehnya
melakukan pernikahan dengannya, terdapat persilangan pendapat di kalangan ulama.
Secara global, para ulama berbeda pendapat dalam pensyaratan dua perkara untuk sahnya nikah
dengan perempuan yang berzina.
Syarat pertama , bertaubat dari perbuatan zinanya yang nista.
Dalam pensyaratan taubat, ada dua pendapat di kalangan ulama:
Disyaratkan bertaubat. Ini merupakan madzhab Imam Ahmad dan pendapat Qatadah, Ishaq, dan Abu
Ubaid.
Tidak disyaratkan bertaubat. Ini merupakan pendapat Imam Malik, Syafi iy, dan Abu Hanifah.
Tarjih
Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang mengatakan disyaratkan untuk bertaubat.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/109, Menikahi perempuan pezina adalah
haram sampai ia bertaubat, apakah yang menikahinya itu adalah yang menzinahinya atau
selainnya. Inilah (pendapat) yang benar tanpa keraguan.
Tarjih di atas berdasarkan firman Allah Azza Wa Jalla ,
Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik.
Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki
musyrik. Dan telah diharamkan hal tersebut atas kaum mukminin. [ An-Nur: 3 ]
Lalu, dalam hadits Amr bin Syuaib dari ayahnya, dari kakeknya, Abdullah bin Amr bin sh, beliau
berkata,
: .
)) : :
: .((
Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad Al-Ghanawy membawa tawanan perang dari Makkah, dan di
Makkah ada seorang perempuan pelacur disebut dengan (nama) Anaq dan ia adalah teman
(Martsad). (Martsad) berkata, Maka saya datang kepada Nabi shallallahu alaihi wa ala alihi wa
sallam lalu saya berkata, Ya Rasulullah, (apakah) saya (boleh) menikahi Anaq? . Martsad
berkata, Maka beliau diam, lalu turunlah (ayat), Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi
melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik . Kemudian beliau memanggilku lalu
membacakannya padaku dan beliau berkata, Jangan kamu menikahi dia . . (Hadits hasan,
riwayat Abu Daud no. 2051, At-Tirmidzy no. 3177, An-Nasa`i 6/66 dan dalam Al-Kubra 3/269, AlHakim 2/180, Al-Baihaqy 7/153, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1745, dan disebutkan oleh
Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Ash-Shahih Al-Musnad Min Asbabin Nuzul )
Ayat dan hadits ini tegas menunjukkan haram menikah dengan perempuan pezina. Namun, hukum
haram tersebut berlaku bila ia belum bertaubat. Adapun kalau ia telah bertaubat maka
terhapuslah hukum haram menikah dengan perempuan pezina tersebut, berdasarkan sabda
Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam ,
Page 2 of 24
Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak ada dosa baginya. (Dihasankan oleh Syaikh AlAlbany dalam Adh-Dhaifah 2/83 dari seluruh jalan-jalannya)
Adapun para ulama yang mengatakan bahwa kata nikah dalam ayat 3 surah An-Nurini bermakna jima
, atau yang mengatakan bahwa ayat ini mansukh terhapus hukumnya , adalah pendapat yang
jauh dari kebenaran, dan pendapat ini (yaitu yang mengatakan bermakna jima atau mansukh)
telah dibantah secara tuntas oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/112-116. Pendapat yang
mengatakan haram menikah dengan perempuan pezina sebelum bertaubat juga dikuatkan oleh
Asy-Syinqithy dalam Adhwa` Al-Bayan 6/71-84 dan lihat Zadul Maad 5/114-115.
Lihat permasalahan di atas dalam Al-Ifshah 8/81-84, Al-Mughny 9/562-563 (cet. Dar lamil Kutub), dan
Al-Jami Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah 2/582-585.
Catatan
Sebagian ulama berpendapat bahwa perlu diketahui kesungguhan taubat perempuan yang berzina ini
dengan cara dirayu untuk berzina. Kalau ia menolak, berarti taubatnya telah baik. Pendapat ini
disebutkan oleh Al-Mardawy dalam Al-Inshaf 8/133, diriwayatkan dari Umar dan Ibnu Abbas,
dan merupakan pendapat Imam Ahmad. Ibnu Taimiyah, dalam Al-Fatawa 32/125, kelihatan
condong ke pendapat ini.
Tetapi Ibnu Qudamah, dalam Al-Mughny 9/564, berpendapat lain. Beliau berkata, Tidak pantas bagi
seorang muslim mengajak perempuan untuk berzina dan memintanya. Karena permintaannya ini
(dilakukan) pada saat ber-khalwat berduaan padahal tidak halal ber-khalwat dengan Ajnabiyah
perempuan bukan mahram walaupun untuk mengajarinya (Ajnabiyah) Al-Qur`an, maka
bagaimana (bisa) hal tersebut dihalalkan dalam merayunya (Ajnabiyah) untuk berzina?
Maka yang benar adalah ia bertaubat atas perbuatan zinanya, sebagaimana ia bertaubat kalau
melakukan dosa besar yang lainnya. Yaitu dengan lima syarat:
Ikhlas karena Allah.
Menyesali perbuatannya.
Meninggalkan dosa tersebut.
Ber-azam dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya.
Pada waktu yang masih bisa bertaubat seperti sebelum matahari terbit dari Barat dan sebelum ruh
sampai ke tenggorokan.
Dan bukan di sini tempat menguraikan dalil-dalil lima syarat ini. Wallahu Alam.
Page 3 of 24
Hanifah berpendapat boleh melakukan akad nikah dengannya dan boleh ber-jima dengannya,
apabila yang menikahinya adalah orang yang menzinahinya itu sendiri. Tapi kalau yang
menikahinya selain orang yang menzinahinya maka boleh melakukan akad nikah tapi tidak boleh
ber- jima sampai istibra` (telah nampak kosongnya rahim dari janin) dengan satu kali haid atau
sampai melahirkan kalau perempuan tersebut dalam keadaan hamil.
Tarjih
Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang wajib iddah berdasarkan dalil-dalil
berikut ini.
Dalil pertama , hadits Abu Said Al-Khudry radhiyallahu anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi
wa ala alihi wa sallam bersabda tentang tawanan perang Authas,
Jangan dipergauli perempuan hamil sampai ia melahirkan dan jangan (pula) yang tidak hamil sampai ia
telah haid satu kali. (diriwayatkan olehAhmad 3/62,87, Abu Daud no. 2157, Ad-Darimy 2/224, AlHakim 2/212, Al-Baihaqy 5/329, 7/449, Ath-Thabarany dalam Al-Ausath no. 1973,dan Ibnul Jauzy
dalam At-Tahqiq no. 307. Di dalam sanadnya ada rawi yang bernama Syarik bin Abdullah AnNakhaiy dan ia lemah karena hafalannya yang jelek, tetapi hadits ini mempunyai dukungan dari
jalan yang lain dari beberapa orang shahabat sehingga dishahihkan dari seluruh jalan-jalannya
oleh Syaikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 187)
Dalil kedua , hadits Ruwaifi bin Tsabit radhiyallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wa ala alihi wa
sallam , beliau bersabda,
Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka jangan ia menyiramkan airnya ke tanaman
orang lain. (diriwayatkan olehAhmad 4/108,Abu Daud no. 2158,At-Tirmidzy no. 1131, AlBaihaqy 7/449, Ibnu Qani dalam Mujam Ash-Shahabah 1/217, Ibnu Saad dalam Ath-Thabaqat
2/114-115, dan Ath-Thabarany 5/no. 4482. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no.
2137)
Dalil ketiga , hadits Abu Ad-Darda` riwayat Muslimdari Nabi shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam ,
.
Beliau mendatangi seorang perempuan yang hampir melahirkan di pintu Pusthath. Beliau bersabda,
Barangkali orang itu ingin menggaulinya? ( Para sahabat) menjawab, Benar. Maka Rasulullah
shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam bersabda, Sungguh saya telah berkehendak untuk
melaknatnya dengan laknat yang dibawa ke kuburnya. Bagaimana ia mewarisinya sedangkan itu
tidak halal baginya dan bagaimana ia memperbudakkannya sedang ia tidak halal baginya .
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah, Dalam (hadits) ini ada dalil yang sangat jelas akan haramnya
menikahi perempuan hamil, apakah hamilnya itu karena suaminya, tuannya (kalau ia seorang
Page 4 of 24
budak-pent.), syubhat (yaitu nikah dengan orang yang haram ia nikahi karena tidak tahu atau
karena ada kesamar-samaran-pent.) atau karena zina.
Nampaklah dari sini kuatnya pendapat yang mengatakan wajib iddah dan pendapat ini yang dikuatkan
oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syinqithy, Syaikh Ibnu Baz dan Al-Lajnah Ad-Daimah
(Lembaga Fatwa Saudi Arabia). Wallahu Alam.
Catatan
Nampak dari dalil-dalil yang disebutkan di atas bahwa perempuan hamil karena zina tidak boleh
dinikahi sampai melahirkan, maka ini iddah bagi perempuan yang hamil karena zina dan ini juga
ditunjukkan oleh keumuman firman Allah Azza Wa Jalla,
Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya.
[ Ath-Thalaq: 4 ]
Adapun perempuan yang berzina dan belum nampak hamilnya, iddahnya diperselisihkan oleh para
ulama yang mewajibkan iddah bagi perempuan yang berzina. Sebagian para ulama mengatakan
bahwa iddahnya adalah istibra` dengan satu kali haid, sedangkan ulama yang lainnya berpendapat
bahwa tiga kali haid yaitu sama dengan iddah perempuan yang ditalak.
Namun, yang dikuatkan oleh Imam Malik dan Ahmad, dalam satu riwayat, adalah cukup dengan istibra`
dengan satu kali haid. Pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah berdasarkan hadits Abu
Said Al-Khudry di atas. Adapun iddah dengan tiga kali haid hanya disebutkan dalam Al-Qur`an
bagi perempuan yang ditalak (diceraikan) oleh suaminya, sebagaimana dalam firman Allah Jalla
Sya`nuhu,
Dan wanita-wanita yang ditalak (hendaknya) mereka menahan diri (menunggu) selama tiga kali
quru`(haid). [ Al-Baqarah: 228 ]
Kesimpulan
Tidak boleh menikah dengan perempuan yang berzina kecuali dengan dua syarat, yaitu bila perempuan
tersebut telah bertaubat dari perbuatan nistanya dan telah lepas iddahnya.
Ketentuan perempuan yang berzina dianggap lepas iddah adalah sebagai berikut:
Kalau ia hamil, iddahnya adalah sampai melahirkan.
Kalau ia belum hamil, iddahnya adalah sampai ia telah haid satu kali semenjak melakukan perzinahan
tersebut. Wallahu Taala Alam.
Lihat pembahasan di atas dalam Al-Mughny 9/561-565, 11/196-197, Al-Ifshah 8/81-84, Al-Inshaf 8/132133, Takmilah Al-Majmu 17/348-349, Raudhah Ath-Thalibin 8/375, Bidayatul Mujtahid 2/40, AlFatawa 32/109-134, Zadul Maad 5/104-105, 154-155, Adhwa` Al-Bayan 6/71-84, dan Jami Lil
Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah Li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah 2/582-585, 847-850.
JAWABAN KEDUA
Page 5 of 24
Telah jelas, dari jawaban di atas, bahwa perempuan yang hamil, baik hamil karena pernikahan sah,
syubhat maupun karena zina, iddahnya adalah sampai melahirkan. Para ulama bersepakat
bahwa akad nikah pada masa iddah adalah akad yang batil lagi tidak sah. Kalau keduanya tetap
melakukan akad nikah dan melakukan hubungan suami-istri setelah keduanya mengetahui
haramnya melakukan akad pada masa iddah, keduanya dianggap pezina dan keduanya harus
diberi hadd hukuman sebagai pezina kalau negara mereka menerapkan hukum Islam.
Demikian keterangan Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 11/242.
Kalau ada yang bertanya, Setelah berpisah, apakah keduanya boleh kembali setelah lepas masa iddah?
JAWABAN KETIGA
Laki-laki dan perempuan hamil yang melakukan pernikahan dalam keadaan keduanya mengetahui
tentang haramnya menikahi perempuan hamil, kemudian mereka berdua tetap melakukan jima ,
maka keduanya dianggap berzina dan wajib atas hukum hadd kalau mereka berdua berada di
negara yang diterapkan hukum Islam di dalamnya, dan tidak ada mahar bagi perempuan
tersebut.
Adapun kalau keduanya tidak mengetahui tentang haramnya menikahi perempuan hamil, ini dianggap
nikah syubhat dan harus dipisahkan antara keduanya, karena tidak sahnya nikah yang seperti ini
sebagaimana yang telah diterangkan.
Adapun mahar, si perempuan hamil ini berhak mendapatkan maharnya kalau ia memang belum
mengambil atau belum dilunasi mahar tersebut.
Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu anha bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi
wa sallam bersabda,
Perempuan mana saja yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya
batil, dan apabila ia telah masuk padanya (perempuan), baginya mahar dari dihalalkannya
kemaluannya, dan apabila mereka berselisih, penguasa adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali.
(diriwayatkan olehSyafi iy sebagaimana dalam Musnad -nya 1/220, 275 dan dalam Al-Umm
5/13, 166, 7/171, 222, Abdurrazzaq dalam Mushannaf -nya 6/195, Ibnu Wahb sebagaimana dalam
Al-Mudawwah Al-Kubra 4/166, Ahmad 6/47, 66, 165, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnad -nya 2/no.
Page 6 of 24
698, Ibnu Abi Syaibah 3/454, 7/284, Al-Humaidy dalam Musnad -nya 1/112, Ath-Thayalisy dalam
Musnad -nya no. 1463, Abu Daud no. 2083, At-Tirmidzy no. 1102, Ibnu Majah no. 1879, Ibnu
Jarud dalam Al-Muntaqa no. 700, Sa id bin Manshur dalam Sunan -nya 1/175, Ad-Darimy 2/185,
Ath-Thahawy dalam Syarh Maani Al-tsar 3/7, Abu Ya la dalam Musnad -nya no. 4682, 4750,
4837, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 4074, Al-Hakim 2/182-183, Ad-Daraquthny
3/221, Al-Baihaqy 7/105, 124, 138, 10/148, Abu Nu aim dalam Al-Hilyah 6/88, As-Sahmy dalam
Tarikh Al-Jurjan hal. 315, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1654, dan Ibnu Abdil Barr dalam AtTamhid 19/85-87. Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 1840)
Nikah tanpa wali hukumnya adalah batil, tidak sah, sebagaimana nikah di masa iddah hukumnya batil
tidak sah. Karena itu, kandungan hukum dalam hadits mencakup semuanya.
Demikian rincian Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah, dan Ibnul Qayyim.
Adapun orang yang ingin meminang kembali perempuan hamil ini setelah ia melahirkan, maka kembali
diwajibkan mahar atasnya, berdasarkan keumuman firman Allah Ta ala ,
Berikanlah kepada para perempuan (yang kalian nikahi) mahar mereka dengan penuh kerelaan. [ AnNisa`: 4 ]
Juga firman Allah Subhanahu Wa Ta ala ,
Berikanlah kepada mereka mahar mereka sebagai suatu kewajiban. [ An-Nisa`: 24 ]
Banyak lagi dalil yang semakna dengannya. Wallahu A lam .
Lihat Al-Mughny 10/186-188, Shahih Al-Bukhary ( Fathul Bary )9/494, Al-Fatawa 32/198, 200, dan Zadul
Maad 5/104-105.
Page 7 of 24
Pertama: Pendapat ulama yang melarang ( menganggap tidak sah )pernikahan wanita
hamil karena zina.
Ulama yang berpendapat seperti ini antara lain Rabiah, Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Ahmad,
Ishaq, Ibnu Sirin, Abu Hanifah dalam satu riwayat, Abu Yusuf, Ibnul Arabi dan Asysyanqithi.
Alasan-alasan:
1. Adanya masa iddah (masa menunggu) bagi wanita hamil, artinya wanita hamil karena
zina itu harus menjalankan masa iddah, yakni sampai dia melahirkan kandungannya.
Analisis:
Alasan ini bisa diterima, sebab iddah wanita yang sedang hamil dari perzinaan masuk dalam
pembicaraan ayat keempat dari surat Ath-Thalak pada lafal Wa ulatil ahmali ajaluhunna an
yadlana hamlahunna artinya wanita yang dalam keadaan hamil menunggu sampai
melahirkan kandungannya jika ingin menikah. Masa menunggu ini ditujukan untuk
membebaskan/ mengosongkan rahimnya dari kehamilan tersebut, agar tidak terjadi
kekacauan nasab janin yang sedang dia kandung.
1. Supaya suami itu tidak menyiramkan air maninya kepada tanaman orang lain. Dan
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang dari menyenggamai tawanan
perempuan yang hamil sampai dia melahirkan. (lihat Fiqhus Sunnah karya Sayyid
Sabiq, jl.2 hlm.88)
Analisis:
Alasan mereka agar suami itu tidak menyiramkan airnya kepada tanaman orang lain untuk
larangan akad nikah dengan wanita hamil karena zina itu bisa diterima, sebab dengan
melakukan akad nikah dengan wanita hamil karena zina itu menyebabkan orang laki-laki
yang menikahinya itu menyiramkan airnya kepada tanaman orang lain. Kalimat agar suami
itu tidak menyiramkan airnya kepada tanaman orang lain merupakan kiasan untuk larangan
bersenggama dengan wanita hamil yang bukan dari air maninya. Alasan mereka itu sesuai
dengan hadits Riwayat Ruwaifi bin Tsabit. Riwayat tersebut adalah sebagai berikut:.
r
Artinya: Dari Ruwaifi bin Tsabit, dari An-Nabi saw, beliau bersabda: Barang siapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah dia menyiramkan air maninya kepada
Page 8 of 24
anak orang lain. (H. R. At Turmudzi, jz.3, hlm. 428, k. 9 An Nikah, b. 35 Fi Maa Jaa FirRajuli, h.1131)
Hadits itu mengandung pengertian larangan menyenggamai perempuan yang masih dalam
keadaan hamil yang kehamilannya itu bukan dari air maninya. Asal larangan ini ditujukan
untuk tawanan wanita yang didapat dari perang Hunain. Artinya, wanita tawanan yang
menjadi budak, jika dalam keadaan hamil, tidak boleh disenggamai oleh pemiliknya, karena
kehamilan itu bukan dari maninya. Jika wanita hamil itu disenggamai, janin yang ada di
dalam rahimnya akan dinasabkan kepada orang yang menyenggamainya, padahal janin itu
tidak berhak dinasabkan kepadanya. Untuk menghindari hal ini maka tawanan wanita hamil
yang menjadi budak itu tidak boleh disenggamai oleh pemiliknya sampai dia melahirkan
kandungannya.
1. Hadits Abud Darda` tentang keinginan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk
melaknat orang yang ingin menyenggamai tawanan perempuan yang menjadi
budaknya yang sedang dalam keadaan hamil dari orang lain.
r
r
Artinya: Dari Abud Darda, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa dia datang bersama
perempuan yang hamil pada pintu gerbang lantas beliau bersabda: Barang kali dia (tuannya)
bermaksud menyenggamainya. Mereka mengatakan: Ya. Maka Rasulullah saw.bersabda:
Sungguh saya sangat ingin melaknatnya dengan laknatan yang menyertainya di dalam
kuburnya, bagaimana dia menjadikannya sebagai ahli waris padahal hal itu tidak halal
untuknya, .(H.R Muslim, jl.2 jz.4 hlm.161 k. An-Nikah b. Tahrimil Wath-il Hamilil
Musabbayah)
Maksud dari hadits ini adalah orang yang menyenggamai tawanan wanita hamil yang menjadi
budaknya itu menyebabkannya menasabkan janin yang ada dalam rahim wanita tersebut
kepada dirinya yang lantas menjadi ahli warisnya -padahal hal ini dilarang, karena janin itu
bukan dari air maninya-. Untuk menghindari hal ini, maka wanita hamil itu tidak boleh
disenggamai.
Adapun penggunaan larangan menyenggamai wanita hamil untuk melarang menikahi wanita
hamil karena zina adalah dilihat dari segi penasaban janin yang ada dalam rahim wanita itu.
Janin budak wanita hamil yang bukan dari air mani tuannya tidak dinasabkan kepadanya
Kedua: Pendapat yang membolehkan (menganggap sah ) pernikahan wanita hamil
karena zina.
Ulama yang membolehkan pernikahan wanita hamil karena zina antara lain Imam Abu
Hanifah, Imam Syafii dan Ibnu Hazm.
Alasan-alasan:
1. Menurut Imam Abu Hanifah, wanita yang hamil dari perzinaan boleh dinikahi
sebelum rahim wanita tersebut dibebaskan dari kehamilan, hanya saja tidak boleh
disenggamai sampai dia melahirkan kandungannya. Sedang Imam Syafii
membolehkan pernikahan dan persenggamaan setelah pernikahan itu dengan wanita
hamil karena perzinaan. Alasan beliau adalah, air mani dari perzinaan (yang
Page 9 of 24
Page 10 of 24
hal itu dilaporkan kepada Umar bin Khaththab, maka keduanya mengaku. Kemudian dia
(Umar) menghukum keduanya dengan hukuman had dan dia menghasung agar keduanya
disatukan (dinikahkan), namun anak laki-laki itu enggan. (Ibnu Hazm, Al-Muhalla, jz. 10,
hlm.28)
Analisis:
Hadits ini juga tidak dapat dijadikan dalil, karena isinya tidak menunjukkan bahwa Umar
membolehkan pernikahan wanita hamil karena zina, sebab beliau memerintahkan kedua
pemuda tersebut dinikahkan setelah keduanya dihukum had, sedangkan hukum had
dilaksanakan setelah wanita itu melahirkan, sebagaimana riwayat dibawah ini:
, , ,
, , , , ,
. ,
Bahwa Wahb bin Rabah menikah dengan seorang perempuan, sedang perempuan itu
mempunyai anak perempuan dari selain Mauhib dan Mauhib mempunyai anak laki-laki dari
selain perempuan itu, kemudian anak laki-laki Wahb itu berzina dengan anak perempuannya
istri Wahb itu, lantas perkara itu diadukan kepada Umar bin Al-Khaththab, maka Umar
menghukum anak laki-laki Mauhib itu dan menunda pelaksanaan hukuman perempuan itu
sampai dia melahirkan (kandungannya), kemudian dia (Umar) menghukumnya dan dia
(Umar) menghasung agar keduanya disatukan (dinikahkan), namun anak laki-laki Wahb
enggan.(H.R Abdurrazzaq, jl.7 hlm.203-204 b. Ar Rojuli Yazni Bimroatin..hd.12793)
Page 11 of 24
Page 12 of 24
dalam kondisi hamil tersebut, bagaimana hukumnya? Apakah sah? Atau jangan-jagan tidak
sah?
Perkara ini menjadi perdebatan diantara ulama, setidaknya terbagi dalam tiga pendapat:
1. Pendapat Pertama
Kalangan Hanafiyah mensahkan pernikahan ini, baik yang menikahinya itu dia yang
menzinahi atau orang lain. Mereka menambahkan boleh bagi yang menzinahi untuk
melakukan hubungan suami-istri setelah akad tersebut, akan tetapi jika yang menikainya itu
orang lain, maka dia tidak boleh melakukan hubungan suami-istri sampai si perempuannya
melahirkan. (Lihat: al-Kasai, Badai as-Shonai, 2/269)
2. Pendapat Kedua
Kalangan Syafiiyyah juga membolehkan pernikahan ini, hanya saja makruh hukumnya
menggauli istrinya yang sedang hamil itu setelah aqad. (lihat: Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir,
9/191).
Tentunya pendapat yang mensahkan ini tidak mesti mereka merestui hubungan perzinahan
yang sudah terjadi. Tidak. Zina tetap haram, dan ia merupakan perilaku yang sangat tercela.
Akan tetapi antara zina dengan nikah itu tidak ada hubungan sama sekali. Zina memang
haram, tapi nikahkan halal. Dan yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal.
Belum lagi yang demikina didukung oleh hadits Nabi Muhammad SAW berikut:
Perkara yang haram tidak bisa mengaharamkan yang halal (HR. Ibnu Majah. 2015)
Pendapat ini juga bersandar kepada beberapa atsat yang pernah ada, diantaranya ini erupakan
pendapat Abu Bakar RA, Umar RA, Ibnu Umar RA, dan Ibnu Abbas RA. (Lihat: AlMawardi,
al-Hawi al-Kabir, 9/189)
Mungkin jika ibaratkan dengan kasus lain seperti cotoh berikut: Ada orang yang sholat
dengan menggunakan pakaian hasil curian. Barang curian itu jelas haramnya, sedangkan
sholat itu wajib (5 waktu), apakah barang hasil curian yang haram itu bisa mengahramkan
sholat yang wajib? Ga bisa kan? Terlebih jika yang sholat sudah menyempurnakan syarat dan
rukun-rukunnya, maka secara fiqih hokum sholatnya sah. Walau disisi lain di juga berdosa
dengan barang hasil curian itu. Begitulah kira-kira.
Di Indonesia pendapat ini lebih dipakai, lihat saja misalnya dalam Kompilasi Hukum Islam
kita pada pasal bab VIII, pasal 53 dalam tiga ayatnya yang berisikan: 1) Seorang wanita
hamil di luar nikah, dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya. 2) Perkawinan
dengan wanita hamil yang disebut pada ayat(1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih
dulu kelahiran anaknya.
3) Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan
ulang setelah anak yang dikandung lahir.
3. Pendapat Ketiga
Page 13 of 24
Pendapat ini menyatakan bahwa perempuan yang hamil karena perzinaan tidak boleh
dinikahkan, sampai dia melahirkan. Baik bagi dia yang menzinahi maupun bagi selainnya. Ini
adalah pendapat dari kalangan Malikiyah dan Hanabilah. (Lihat: Ibnu Taimiyah, Majmu alFatawa, 32/110, dan Kasyfu al-Qona, 5/83).
Imam Ibnu Qudamah (Lihat: Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 7/107) menyatakan bahwa yang
demikian karena keumuma hadits berikut:
Janganlah kalian menggauli perempuan yang sedang hamil samapai ia melahirkan (HR.
Hakim. 2790)
Hadits ini secara redaksi sebenarnya berbicara tentang tidak bolehnya mengauli budak yang
sedang hamil, akan tetapi keumuman lafaznya juga bisa dipakai untuk selain budak.
Bukan berarti hadits tersebut melarang seorang suami untuk menggauli istrinya yang sedang
hamil. Bukan. Akan tetapi ini lebih mengarah kepada hal pernikahan. Jika dengan istri sendiri
yang sudah sah, oke-oke saja. Tidak ada masalah. Jangan panik dulu J
Belum lagi ditambah dengan penjelasan hadits berikut:
Dari Abud Darda, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa dia datang bersama
perempuan yang hamil pada pintu gerbang lantas beliau bersabda: Barang kali dia
(tuannya) bermaksud menyenggamainya. Mereka mengatakan: Ya. Maka Rasulullah
saw.bersabda: Sungguh saya sangat ingin melaknatnya dengan laknatan yang menyertainya
di dalam kuburnya, bagaimana dia menjadikannya sebagai ahli waris padahal hal itu tidak
halal untuknya, .(H.R Muslim)
Pengarang kitab Nailul Author, As-Syaukani juga menyatakan keharamannya, berdasarkan
ayat berikut:
laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau
perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh lakilaki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang
yang mukmin (QS. An-Nur: 3)
Ditambah dengan pendapat yang menyatakan bahwa jika pernikahan seperti ini dibolehkan,
maka tidak menutup kemungkinan masyarakat akan sedikit lalai serta mengangagap remeh
perkara ini.
Ga apa-apa hamil duluan, toh akhirnya nikahnya juga masih sah ko. Begitu mungkin
dalam anggapan sebagian orang. Untuk itulah mereka berpendapat bahwa pernikahan seperti
ini tidak boleh terjadi, sebagai salah satu jalan untuk menutup perilaku zina yang sekrang
terus berkembang dan menjamur diamana-mana.
Page 14 of 24
Page 22 of 24
Namun demikian, besarnya nilai ibadah dalam pernikahan tidak lantas dapat mempermudah
semua urusan nikah, apalagi jika ternyata perempuan yang hendak dinikah sedang hamil,
maka perlu keterangan lebih lanjut. Karena pastilah perempuan itu telah berhubungan dengan
lelaki yang menyebabkan kehamilannya.
Jika wanita yang hamil itu ditinggal mati oleh suaminya, maka pernikahan dengannya hanya
dapat dilakukan dengan sah setelah ia melahirkan. Begitu juga jika perempuan yang hamil itu
telah dicerai suaminya, maka baru dapat dinikahi setelah ia melahirkan.
Hal ini jelas berdasar pada surat Thalq ayat 4:
Dan wanita-wanita yang hamil, iddah mereka itu adalah setelah melahirkan kadungannya.
Berbeda jikalau ternyata perempuan hamil itu belum memiliki suami, atau hamil diluar nikah
(hamil karena zina) yang dalam bahasa sehari-hari disebut hamil gelap , maka hukumnya
sah menikahinya saat itu juga dan juga boleh me-wathi-nya (berhubungan seks dengannya),
tanpa menunggu perempuan itu melahirkan bayinya. Sebagaimana keterangan dari Hasyiatul
Bajuri :
Jika seorang lelaki menikahi perempuan yang sedang hamil karena zina, pastilah sah
nikahnya. Boleh me-wathi-nya sebelum melahirkannya, menurut pendapat yang paling
shahih.
Adapun mengenai nasab keberadaan si bayi tergantung pada lamanya jarak antara
perkawinan dan kelahiran. Jikalau jarak antara pernikahan dan kelahiran lebih dari enam
bulan walaupun dua detik, maka bayi itu bernasab pada bapaknya (lelaki yang mengawini
ibunya dalam keadaan hamil). Akan tetapi jika jarak antara perkawinan dan kelahiran itu
kurang dari enam bulan, maka nasab bayi itu kepada ibunya. Demikian dai keterangan kitab
yang di pinggir (hamis) Buaghyatul Musytarsyidin, begitulah teksnya
Page 23 of 24
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa perkara terpenting sehubungan dengan
mengawini perempuan hamil adalah memastikan terlebih dahulu, bahwa perempuan itu
sedang tidak memiliki suami yang sah baik karena ditinggal mati, dicerai atau karena hamil
zina.
Namun, jika perempuan yang hamil itu masih memiliki suami yang sah, sudah barang tentu
tidak akan sah akad nikahnya, selain itu juga bisa menyebabkan perang dengan suaminya,
karena itu sama halnya dengan menikahi istri orang. Wallahu alam
Page 24 of 24