Anda di halaman 1dari 24

Hukum Nikah dalam Keadaan Hamil

April 18, 2010 - Fiqh - Tagged: hamil, nikah - 5 comments


PERTANYAAN
Bagaimana hukum pernikahan dengan wanita yang sedang hamil?
Bila terlanjur menikah, apa yang harus dilakukan? Apakah harus bercerai terlebih dahulu kemudian
menikah lagi, atau langsung menikah tanpa harus bercerai terlebih dahulu?
Dalam hal ini, apakah masih diperlukan mas kawin (mahar)?
Manakah cara berdzikir yang benar sesudah shalat, dengan cara bersama-sama (kur) atau sendirisendiri? Dan mengeraskan suara atau tidak?
Dari Mugiyono, Jakarta Pusat
Kami jawab -dengan meminta pertolongan dari Allah Al- Alim Al-Hakim sebagai berikut.
JAWABAN PERTAMA
Perempuan yang dinikahi dalam keadaan hamil ada dua macam:
Perempuan yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil.
Perempuan yang hamil karena melakukan zina, sebagaimana yang banyak terjadi di zaman ini -wal
iyadzu billah , mudah-mudahan Allah menjaga kita dan seluruh kaum muslimin dari dosa
terkutuk ini-.
Adapun perempuan hamil yang diceraikan oleh suaminya, maka tidak boleh dinikahi sampai lepas
iddah[1] nya, dan iddahnya ialah sampai ia melahirkan, sebagaimana dalam firman Allah
Subhanahu Wa Ta ala ,
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka sampai mereka melahirkan
kandungannya. [ Ath-Thalaq: 4 ]
Hukum menikah dengan perempuan hamil seperti ini adalah haram, dan nikahnya batil, tidak sah,
sebagaimana dalam firman Allah Ta ala ,
Dan janganlah kalian ber- azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis iddahnya. [ AlBaqarah: 235 ]
Berkata Ibnu Katsir, dalam Tafsir -nya, tentang makna ayat ini, Yaitu, jangan kalian melakukan akad
nikah sampai lepas iddahnya. Kemudian beliau berkata, Dan para ulama telah bersepakat
bahwa akad tidaklah sah pada masa iddah.
Lihat Al-Mughny 11/227, Takmilah Al-Majmu 17/347-348, Al-Muhalla 10/263, dan Zadul Ma ad 5/156.

Page 1 of 24

Adapun perempuan yang hamil karena zina, kami perlu merinci lebih meluas, karena pentingnya
perkara ini dan banyaknya kasus yang terjadi di seputarnya. Maka, dengan mengharap curahan
taufiq dan hidayah dari Allah Al- Alim Al-Khabir , masalah ini kami uraikan sebagai berikut.
Tentang perempuan yang telah berzina dan menyebabkan dia hamil atau tidak, dalam hal bolehnya
melakukan pernikahan dengannya, terdapat persilangan pendapat di kalangan ulama.
Secara global, para ulama berbeda pendapat dalam pensyaratan dua perkara untuk sahnya nikah
dengan perempuan yang berzina.
Syarat pertama , bertaubat dari perbuatan zinanya yang nista.
Dalam pensyaratan taubat, ada dua pendapat di kalangan ulama:
Disyaratkan bertaubat. Ini merupakan madzhab Imam Ahmad dan pendapat Qatadah, Ishaq, dan Abu
Ubaid.
Tidak disyaratkan bertaubat. Ini merupakan pendapat Imam Malik, Syafi iy, dan Abu Hanifah.
Tarjih
Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang mengatakan disyaratkan untuk bertaubat.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/109, Menikahi perempuan pezina adalah
haram sampai ia bertaubat, apakah yang menikahinya itu adalah yang menzinahinya atau
selainnya. Inilah (pendapat) yang benar tanpa keraguan.
Tarjih di atas berdasarkan firman Allah Azza Wa Jalla ,
Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik.
Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki
musyrik. Dan telah diharamkan hal tersebut atas kaum mukminin. [ An-Nur: 3 ]
Lalu, dalam hadits Amr bin Syuaib dari ayahnya, dari kakeknya, Abdullah bin Amr bin sh, beliau
berkata,
: .
)) : :

: .((
Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad Al-Ghanawy membawa tawanan perang dari Makkah, dan di
Makkah ada seorang perempuan pelacur disebut dengan (nama) Anaq dan ia adalah teman
(Martsad). (Martsad) berkata, Maka saya datang kepada Nabi shallallahu alaihi wa ala alihi wa
sallam lalu saya berkata, Ya Rasulullah, (apakah) saya (boleh) menikahi Anaq? . Martsad
berkata, Maka beliau diam, lalu turunlah (ayat), Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi
melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik . Kemudian beliau memanggilku lalu
membacakannya padaku dan beliau berkata, Jangan kamu menikahi dia . . (Hadits hasan,
riwayat Abu Daud no. 2051, At-Tirmidzy no. 3177, An-Nasa`i 6/66 dan dalam Al-Kubra 3/269, AlHakim 2/180, Al-Baihaqy 7/153, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1745, dan disebutkan oleh
Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Ash-Shahih Al-Musnad Min Asbabin Nuzul )
Ayat dan hadits ini tegas menunjukkan haram menikah dengan perempuan pezina. Namun, hukum
haram tersebut berlaku bila ia belum bertaubat. Adapun kalau ia telah bertaubat maka
terhapuslah hukum haram menikah dengan perempuan pezina tersebut, berdasarkan sabda
Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam ,

Page 2 of 24

Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak ada dosa baginya. (Dihasankan oleh Syaikh AlAlbany dalam Adh-Dhaifah 2/83 dari seluruh jalan-jalannya)
Adapun para ulama yang mengatakan bahwa kata nikah dalam ayat 3 surah An-Nurini bermakna jima
, atau yang mengatakan bahwa ayat ini mansukh terhapus hukumnya , adalah pendapat yang
jauh dari kebenaran, dan pendapat ini (yaitu yang mengatakan bermakna jima atau mansukh)
telah dibantah secara tuntas oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/112-116. Pendapat yang
mengatakan haram menikah dengan perempuan pezina sebelum bertaubat juga dikuatkan oleh
Asy-Syinqithy dalam Adhwa` Al-Bayan 6/71-84 dan lihat Zadul Maad 5/114-115.
Lihat permasalahan di atas dalam Al-Ifshah 8/81-84, Al-Mughny 9/562-563 (cet. Dar lamil Kutub), dan
Al-Jami Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah 2/582-585.

Catatan
Sebagian ulama berpendapat bahwa perlu diketahui kesungguhan taubat perempuan yang berzina ini
dengan cara dirayu untuk berzina. Kalau ia menolak, berarti taubatnya telah baik. Pendapat ini
disebutkan oleh Al-Mardawy dalam Al-Inshaf 8/133, diriwayatkan dari Umar dan Ibnu Abbas,
dan merupakan pendapat Imam Ahmad. Ibnu Taimiyah, dalam Al-Fatawa 32/125, kelihatan
condong ke pendapat ini.
Tetapi Ibnu Qudamah, dalam Al-Mughny 9/564, berpendapat lain. Beliau berkata, Tidak pantas bagi
seorang muslim mengajak perempuan untuk berzina dan memintanya. Karena permintaannya ini
(dilakukan) pada saat ber-khalwat berduaan padahal tidak halal ber-khalwat dengan Ajnabiyah
perempuan bukan mahram walaupun untuk mengajarinya (Ajnabiyah) Al-Qur`an, maka
bagaimana (bisa) hal tersebut dihalalkan dalam merayunya (Ajnabiyah) untuk berzina?
Maka yang benar adalah ia bertaubat atas perbuatan zinanya, sebagaimana ia bertaubat kalau
melakukan dosa besar yang lainnya. Yaitu dengan lima syarat:
Ikhlas karena Allah.
Menyesali perbuatannya.
Meninggalkan dosa tersebut.
Ber-azam dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya.
Pada waktu yang masih bisa bertaubat seperti sebelum matahari terbit dari Barat dan sebelum ruh
sampai ke tenggorokan.
Dan bukan di sini tempat menguraikan dalil-dalil lima syarat ini. Wallahu Alam.

Syarat Kedua , telah lepas iddah.


Para ulama berbeda pendapat apakah lepas iddah, apakah merupakan syarat bolehnya menikahi
perempuan yang berzina atau tidak, ada dua pendapat:
Pertama , wajib iddah. Ini adalah pendapat Hasan Al-Bashry, An-Nakhaiy, Rabiah bin Abdurrahman,
Imam Malik, Ats-Tsaury, Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih.
Kedua , tidak wajib iddah. Ini adalah pendapat Imam Syafiiy dan Abu Hanifah, tapi ada perbedaan
antara mereka berdua pada satu hal, yaitu menurut Imam Syafiiy boleh untuk melakukan akad
nikah dengan perempuan yang berzina dan boleh ber-jima dengannya setelah akad, apakah orang
yang menikahinya itu adalah orang yang menzinahinya itu sendiri atau selainnya. Sedangkan Abu

Page 3 of 24

Hanifah berpendapat boleh melakukan akad nikah dengannya dan boleh ber-jima dengannya,
apabila yang menikahinya adalah orang yang menzinahinya itu sendiri. Tapi kalau yang
menikahinya selain orang yang menzinahinya maka boleh melakukan akad nikah tapi tidak boleh
ber- jima sampai istibra` (telah nampak kosongnya rahim dari janin) dengan satu kali haid atau
sampai melahirkan kalau perempuan tersebut dalam keadaan hamil.

Tarjih
Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang wajib iddah berdasarkan dalil-dalil
berikut ini.
Dalil pertama , hadits Abu Said Al-Khudry radhiyallahu anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi
wa ala alihi wa sallam bersabda tentang tawanan perang Authas,


Jangan dipergauli perempuan hamil sampai ia melahirkan dan jangan (pula) yang tidak hamil sampai ia
telah haid satu kali. (diriwayatkan olehAhmad 3/62,87, Abu Daud no. 2157, Ad-Darimy 2/224, AlHakim 2/212, Al-Baihaqy 5/329, 7/449, Ath-Thabarany dalam Al-Ausath no. 1973,dan Ibnul Jauzy
dalam At-Tahqiq no. 307. Di dalam sanadnya ada rawi yang bernama Syarik bin Abdullah AnNakhaiy dan ia lemah karena hafalannya yang jelek, tetapi hadits ini mempunyai dukungan dari
jalan yang lain dari beberapa orang shahabat sehingga dishahihkan dari seluruh jalan-jalannya
oleh Syaikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 187)

Dalil kedua , hadits Ruwaifi bin Tsabit radhiyallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wa ala alihi wa
sallam , beliau bersabda,




Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka jangan ia menyiramkan airnya ke tanaman
orang lain. (diriwayatkan olehAhmad 4/108,Abu Daud no. 2158,At-Tirmidzy no. 1131, AlBaihaqy 7/449, Ibnu Qani dalam Mujam Ash-Shahabah 1/217, Ibnu Saad dalam Ath-Thabaqat
2/114-115, dan Ath-Thabarany 5/no. 4482. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no.
2137)

Dalil ketiga , hadits Abu Ad-Darda` riwayat Muslimdari Nabi shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam ,



.
Beliau mendatangi seorang perempuan yang hampir melahirkan di pintu Pusthath. Beliau bersabda,
Barangkali orang itu ingin menggaulinya? ( Para sahabat) menjawab, Benar. Maka Rasulullah
shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam bersabda, Sungguh saya telah berkehendak untuk
melaknatnya dengan laknat yang dibawa ke kuburnya. Bagaimana ia mewarisinya sedangkan itu
tidak halal baginya dan bagaimana ia memperbudakkannya sedang ia tidak halal baginya .
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah, Dalam (hadits) ini ada dalil yang sangat jelas akan haramnya
menikahi perempuan hamil, apakah hamilnya itu karena suaminya, tuannya (kalau ia seorang

Page 4 of 24

budak-pent.), syubhat (yaitu nikah dengan orang yang haram ia nikahi karena tidak tahu atau
karena ada kesamar-samaran-pent.) atau karena zina.
Nampaklah dari sini kuatnya pendapat yang mengatakan wajib iddah dan pendapat ini yang dikuatkan
oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syinqithy, Syaikh Ibnu Baz dan Al-Lajnah Ad-Daimah
(Lembaga Fatwa Saudi Arabia). Wallahu Alam.

Catatan
Nampak dari dalil-dalil yang disebutkan di atas bahwa perempuan hamil karena zina tidak boleh
dinikahi sampai melahirkan, maka ini iddah bagi perempuan yang hamil karena zina dan ini juga
ditunjukkan oleh keumuman firman Allah Azza Wa Jalla,
Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya.
[ Ath-Thalaq: 4 ]
Adapun perempuan yang berzina dan belum nampak hamilnya, iddahnya diperselisihkan oleh para
ulama yang mewajibkan iddah bagi perempuan yang berzina. Sebagian para ulama mengatakan
bahwa iddahnya adalah istibra` dengan satu kali haid, sedangkan ulama yang lainnya berpendapat
bahwa tiga kali haid yaitu sama dengan iddah perempuan yang ditalak.
Namun, yang dikuatkan oleh Imam Malik dan Ahmad, dalam satu riwayat, adalah cukup dengan istibra`
dengan satu kali haid. Pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah berdasarkan hadits Abu
Said Al-Khudry di atas. Adapun iddah dengan tiga kali haid hanya disebutkan dalam Al-Qur`an
bagi perempuan yang ditalak (diceraikan) oleh suaminya, sebagaimana dalam firman Allah Jalla
Sya`nuhu,
Dan wanita-wanita yang ditalak (hendaknya) mereka menahan diri (menunggu) selama tiga kali
quru`(haid). [ Al-Baqarah: 228 ]

Kesimpulan
Tidak boleh menikah dengan perempuan yang berzina kecuali dengan dua syarat, yaitu bila perempuan
tersebut telah bertaubat dari perbuatan nistanya dan telah lepas iddahnya.
Ketentuan perempuan yang berzina dianggap lepas iddah adalah sebagai berikut:
Kalau ia hamil, iddahnya adalah sampai melahirkan.
Kalau ia belum hamil, iddahnya adalah sampai ia telah haid satu kali semenjak melakukan perzinahan
tersebut. Wallahu Taala Alam.

Lihat pembahasan di atas dalam Al-Mughny 9/561-565, 11/196-197, Al-Ifshah 8/81-84, Al-Inshaf 8/132133, Takmilah Al-Majmu 17/348-349, Raudhah Ath-Thalibin 8/375, Bidayatul Mujtahid 2/40, AlFatawa 32/109-134, Zadul Maad 5/104-105, 154-155, Adhwa` Al-Bayan 6/71-84, dan Jami Lil
Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah Li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah 2/582-585, 847-850.

JAWABAN KEDUA

Page 5 of 24

Telah jelas, dari jawaban di atas, bahwa perempuan yang hamil, baik hamil karena pernikahan sah,
syubhat maupun karena zina, iddahnya adalah sampai melahirkan. Para ulama bersepakat
bahwa akad nikah pada masa iddah adalah akad yang batil lagi tidak sah. Kalau keduanya tetap
melakukan akad nikah dan melakukan hubungan suami-istri setelah keduanya mengetahui
haramnya melakukan akad pada masa iddah, keduanya dianggap pezina dan keduanya harus
diberi hadd hukuman sebagai pezina kalau negara mereka menerapkan hukum Islam.
Demikian keterangan Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 11/242.
Kalau ada yang bertanya, Setelah berpisah, apakah keduanya boleh kembali setelah lepas masa iddah?

Jawabannya adalah ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.


Jumhur (kebanyakan) ulama berpendapat, Perempuan tersebut tidak diharamkan baginya bahkan
boleh ia meminangnya setelah lepas iddahnya.
Tetapi pendapat mereka diselisihi oleh Imam Malik. Beliau berpendapat bahwa perempuan telah
menjadi haram baginya untuk selama-lamanya. Beliau berdalilkan dengan atsar Umar bin
Khaththab radhiyallahu anhu yang menunjukkan hal tersebut. Pendapat Imam Malik ini juga
merupakan pendapat terdahulu dari Imam Syafi iy, tetapi belakangan Imam Syafi iy
berpendapat bolehnya menikah kembali setelah dipisahkan. Pendapat yang terakhir ini
merupakan zhahir yang dikuatkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir -nya, dan beliau melemahkan
atsar Umar yang menjadi dalil bagi Imam Malik, bahkan Ibnu Katsir juga membawakan atsar
yang serupa dari Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu yang menunjukkan bolehnya. Maka
sebagai kesimpulan pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah boleh keduanya menikah
kembali setelah lepas iddah. Wal ilmu indallah .
Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/355 (Darul Fikr).

JAWABAN KETIGA
Laki-laki dan perempuan hamil yang melakukan pernikahan dalam keadaan keduanya mengetahui
tentang haramnya menikahi perempuan hamil, kemudian mereka berdua tetap melakukan jima ,
maka keduanya dianggap berzina dan wajib atas hukum hadd kalau mereka berdua berada di
negara yang diterapkan hukum Islam di dalamnya, dan tidak ada mahar bagi perempuan
tersebut.
Adapun kalau keduanya tidak mengetahui tentang haramnya menikahi perempuan hamil, ini dianggap
nikah syubhat dan harus dipisahkan antara keduanya, karena tidak sahnya nikah yang seperti ini
sebagaimana yang telah diterangkan.
Adapun mahar, si perempuan hamil ini berhak mendapatkan maharnya kalau ia memang belum
mengambil atau belum dilunasi mahar tersebut.
Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu anha bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi
wa sallam bersabda,


Perempuan mana saja yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya
batil, dan apabila ia telah masuk padanya (perempuan), baginya mahar dari dihalalkannya
kemaluannya, dan apabila mereka berselisih, penguasa adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali.
(diriwayatkan olehSyafi iy sebagaimana dalam Musnad -nya 1/220, 275 dan dalam Al-Umm
5/13, 166, 7/171, 222, Abdurrazzaq dalam Mushannaf -nya 6/195, Ibnu Wahb sebagaimana dalam
Al-Mudawwah Al-Kubra 4/166, Ahmad 6/47, 66, 165, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnad -nya 2/no.

Page 6 of 24

698, Ibnu Abi Syaibah 3/454, 7/284, Al-Humaidy dalam Musnad -nya 1/112, Ath-Thayalisy dalam
Musnad -nya no. 1463, Abu Daud no. 2083, At-Tirmidzy no. 1102, Ibnu Majah no. 1879, Ibnu
Jarud dalam Al-Muntaqa no. 700, Sa id bin Manshur dalam Sunan -nya 1/175, Ad-Darimy 2/185,
Ath-Thahawy dalam Syarh Maani Al-tsar 3/7, Abu Ya la dalam Musnad -nya no. 4682, 4750,
4837, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 4074, Al-Hakim 2/182-183, Ad-Daraquthny
3/221, Al-Baihaqy 7/105, 124, 138, 10/148, Abu Nu aim dalam Al-Hilyah 6/88, As-Sahmy dalam
Tarikh Al-Jurjan hal. 315, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1654, dan Ibnu Abdil Barr dalam AtTamhid 19/85-87. Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 1840)
Nikah tanpa wali hukumnya adalah batil, tidak sah, sebagaimana nikah di masa iddah hukumnya batil
tidak sah. Karena itu, kandungan hukum dalam hadits mencakup semuanya.
Demikian rincian Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah, dan Ibnul Qayyim.
Adapun orang yang ingin meminang kembali perempuan hamil ini setelah ia melahirkan, maka kembali
diwajibkan mahar atasnya, berdasarkan keumuman firman Allah Ta ala ,
Berikanlah kepada para perempuan (yang kalian nikahi) mahar mereka dengan penuh kerelaan. [ AnNisa`: 4 ]
Juga firman Allah Subhanahu Wa Ta ala ,

Berikanlah kepada mereka mahar mereka sebagai suatu kewajiban. [ An-Nisa`: 24 ]
Banyak lagi dalil yang semakna dengannya. Wallahu A lam .
Lihat Al-Mughny 10/186-188, Shahih Al-Bukhary ( Fathul Bary )9/494, Al-Fatawa 32/198, 200, dan Zadul
Maad 5/104-105.

Page 7 of 24

Pertama: Pendapat ulama yang melarang ( menganggap tidak sah )pernikahan wanita
hamil karena zina.
Ulama yang berpendapat seperti ini antara lain Rabiah, Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Ahmad,
Ishaq, Ibnu Sirin, Abu Hanifah dalam satu riwayat, Abu Yusuf, Ibnul Arabi dan Asysyanqithi.
Alasan-alasan:
1. Adanya masa iddah (masa menunggu) bagi wanita hamil, artinya wanita hamil karena
zina itu harus menjalankan masa iddah, yakni sampai dia melahirkan kandungannya.
Analisis:
Alasan ini bisa diterima, sebab iddah wanita yang sedang hamil dari perzinaan masuk dalam
pembicaraan ayat keempat dari surat Ath-Thalak pada lafal Wa ulatil ahmali ajaluhunna an
yadlana hamlahunna artinya wanita yang dalam keadaan hamil menunggu sampai
melahirkan kandungannya jika ingin menikah. Masa menunggu ini ditujukan untuk
membebaskan/ mengosongkan rahimnya dari kehamilan tersebut, agar tidak terjadi
kekacauan nasab janin yang sedang dia kandung.
1. Supaya suami itu tidak menyiramkan air maninya kepada tanaman orang lain. Dan
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang dari menyenggamai tawanan
perempuan yang hamil sampai dia melahirkan. (lihat Fiqhus Sunnah karya Sayyid
Sabiq, jl.2 hlm.88)
Analisis:
Alasan mereka agar suami itu tidak menyiramkan airnya kepada tanaman orang lain untuk
larangan akad nikah dengan wanita hamil karena zina itu bisa diterima, sebab dengan
melakukan akad nikah dengan wanita hamil karena zina itu menyebabkan orang laki-laki
yang menikahinya itu menyiramkan airnya kepada tanaman orang lain. Kalimat agar suami
itu tidak menyiramkan airnya kepada tanaman orang lain merupakan kiasan untuk larangan
bersenggama dengan wanita hamil yang bukan dari air maninya. Alasan mereka itu sesuai
dengan hadits Riwayat Ruwaifi bin Tsabit. Riwayat tersebut adalah sebagai berikut:.


r
Artinya: Dari Ruwaifi bin Tsabit, dari An-Nabi saw, beliau bersabda: Barang siapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah dia menyiramkan air maninya kepada

Page 8 of 24

anak orang lain. (H. R. At Turmudzi, jz.3, hlm. 428, k. 9 An Nikah, b. 35 Fi Maa Jaa FirRajuli, h.1131)
Hadits itu mengandung pengertian larangan menyenggamai perempuan yang masih dalam
keadaan hamil yang kehamilannya itu bukan dari air maninya. Asal larangan ini ditujukan
untuk tawanan wanita yang didapat dari perang Hunain. Artinya, wanita tawanan yang
menjadi budak, jika dalam keadaan hamil, tidak boleh disenggamai oleh pemiliknya, karena
kehamilan itu bukan dari maninya. Jika wanita hamil itu disenggamai, janin yang ada di
dalam rahimnya akan dinasabkan kepada orang yang menyenggamainya, padahal janin itu
tidak berhak dinasabkan kepadanya. Untuk menghindari hal ini maka tawanan wanita hamil
yang menjadi budak itu tidak boleh disenggamai oleh pemiliknya sampai dia melahirkan
kandungannya.
1. Hadits Abud Darda` tentang keinginan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk
melaknat orang yang ingin menyenggamai tawanan perempuan yang menjadi
budaknya yang sedang dalam keadaan hamil dari orang lain.
r
r


Artinya: Dari Abud Darda, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa dia datang bersama
perempuan yang hamil pada pintu gerbang lantas beliau bersabda: Barang kali dia (tuannya)
bermaksud menyenggamainya. Mereka mengatakan: Ya. Maka Rasulullah saw.bersabda:
Sungguh saya sangat ingin melaknatnya dengan laknatan yang menyertainya di dalam
kuburnya, bagaimana dia menjadikannya sebagai ahli waris padahal hal itu tidak halal
untuknya, .(H.R Muslim, jl.2 jz.4 hlm.161 k. An-Nikah b. Tahrimil Wath-il Hamilil
Musabbayah)
Maksud dari hadits ini adalah orang yang menyenggamai tawanan wanita hamil yang menjadi
budaknya itu menyebabkannya menasabkan janin yang ada dalam rahim wanita tersebut
kepada dirinya yang lantas menjadi ahli warisnya -padahal hal ini dilarang, karena janin itu
bukan dari air maninya-. Untuk menghindari hal ini, maka wanita hamil itu tidak boleh
disenggamai.
Adapun penggunaan larangan menyenggamai wanita hamil untuk melarang menikahi wanita
hamil karena zina adalah dilihat dari segi penasaban janin yang ada dalam rahim wanita itu.
Janin budak wanita hamil yang bukan dari air mani tuannya tidak dinasabkan kepadanya
Kedua: Pendapat yang membolehkan (menganggap sah ) pernikahan wanita hamil
karena zina.
Ulama yang membolehkan pernikahan wanita hamil karena zina antara lain Imam Abu
Hanifah, Imam Syafii dan Ibnu Hazm.
Alasan-alasan:
1. Menurut Imam Abu Hanifah, wanita yang hamil dari perzinaan boleh dinikahi
sebelum rahim wanita tersebut dibebaskan dari kehamilan, hanya saja tidak boleh
disenggamai sampai dia melahirkan kandungannya. Sedang Imam Syafii
membolehkan pernikahan dan persenggamaan setelah pernikahan itu dengan wanita
hamil karena perzinaan. Alasan beliau adalah, air mani dari perzinaan (yang

Page 9 of 24

menyebabkan kehamilan wanita) itu tidak dihargai, sehingga kehamilan yang


disebabkan oleh air mani tersebut tidak dinasabkan kepadanya.
Analisis:
Pendapat Abu Hanifah dan Syafii tentang bolehnya melaksanakan akad nikah dengan wanita
hamil karena zina itu kurang tepat, sebab wanita hamil karena zina harus menunggu sampai
melahirkan kandungannya jika ingin menikah. Masa menunggu ini ditujukan untuk
membebaskan rahim wanita tersebut dari janin yang sedang ia kandung agar tidak terjadi
kekacauan nasab janin yang ada dalam rahim wanita tersebut.
Adapun pendapat Imam Syafii yang membolehkan menyenggamai wanita hamil karena zina
setelah pernikahan tersebut dengan alasan bahwa air mani yang menyebabkan adanya
kehamilan itu tidak dihargai, sehingga tidak bisa dinasabkan kepada orang laki-laki yang
menyebabkan adanya kehamilan itu , kurang tepat, sebab tidak ada dalil yang dijadikan
sandaran untuk pendapat tersebut.
1. Hadits riwayat Abuz Zubair yang menceritakan perintah Umar kepada seseorang agar
dia menikahkan saudara perempuannya yang dikatakan pernah berzina.
- :
, . : ,
:
Artinya: Kami meriwayatkannya dari jalan Malik dari Abuz Zubair, dia berkata: Aku
melamar kepada seorang laki-laki akan saudara perempuannya, Dia menuturkan bahwa dia
(saudara perempuannya) telah berbuat dosa -yakni berzina- Maka kabar itu sampai kepada
Umar, kemudian dia memukulnya atau hampir memukulnya, dan dia berkata: apa urusanmu
dengan kabar itu. Ibnu Wahb berkata, telah mengabari aku Amr bin Al-Harits dengan kabar
ini dari Abiz Zubair. Dan didalamnya (disebutkan) bahwa Umar berkata kepadanya:
Nikahkanlah dia dan diamlah! (Ibnu Hazm, Al-Muhalla, jz. 10, hlm.28)
Analisis:
Hadits ini kurang tepat untuk dijadikan dalil tentang kebolehan menikahi wanita hamil karena
zina. Sebab isinya tidak menceritakan tentang pernikahan wanita hamil karena zina. Yang
diceritakan adalah tentang pernikahan seorang wanita yang pernah berzina.
1. Hadits riwayat Abu Yazid tentang perintah Umar bin Al-Khaththab kepada seorang
agar menikahkan seorang pemuda dan pemudi yang berzina -dengan perzinaan
tersebut pemudi itu hamil- setelah keduanya dihukum had.
:






.
Dan dari jalan Ismail bin Ishaq, telah menghabari kami Ali bin Abdirrahman, telah
mengabari kami Sufyan bin Uyainah, telah mengabari kami Ubaidullah bin Abi Yazid dari
bapaknya, dia berkata: Suba bin Tsabit menikahi anak perempuan Mauhib bin Rabah
sedangkan dia mempunyai anak laki-laki dari selainnya dan dia (istri Suba itu) mempunyai
anak perempuan dari selainnya. Maka anak laki-laki itu berzina dengan perempuan tersebut
Kemudian anak gadis tersebut nampak hamil, kemudian ia ditanyai maka ia mengakui. Lalu

Page 10 of 24

hal itu dilaporkan kepada Umar bin Khaththab, maka keduanya mengaku. Kemudian dia
(Umar) menghukum keduanya dengan hukuman had dan dia menghasung agar keduanya
disatukan (dinikahkan), namun anak laki-laki itu enggan. (Ibnu Hazm, Al-Muhalla, jz. 10,
hlm.28)
Analisis:
Hadits ini juga tidak dapat dijadikan dalil, karena isinya tidak menunjukkan bahwa Umar
membolehkan pernikahan wanita hamil karena zina, sebab beliau memerintahkan kedua
pemuda tersebut dinikahkan setelah keduanya dihukum had, sedangkan hukum had
dilaksanakan setelah wanita itu melahirkan, sebagaimana riwayat dibawah ini:
, , ,

, , , , ,
. ,
Bahwa Wahb bin Rabah menikah dengan seorang perempuan, sedang perempuan itu
mempunyai anak perempuan dari selain Mauhib dan Mauhib mempunyai anak laki-laki dari
selain perempuan itu, kemudian anak laki-laki Wahb itu berzina dengan anak perempuannya
istri Wahb itu, lantas perkara itu diadukan kepada Umar bin Al-Khaththab, maka Umar
menghukum anak laki-laki Mauhib itu dan menunda pelaksanaan hukuman perempuan itu
sampai dia melahirkan (kandungannya), kemudian dia (Umar) menghukumnya dan dia
(Umar) menghasung agar keduanya disatukan (dinikahkan), namun anak laki-laki Wahb
enggan.(H.R Abdurrazzaq, jl.7 hlm.203-204 b. Ar Rojuli Yazni Bimroatin..hd.12793)

Page 11 of 24

Hamil lalu dinikahkan, tidak sah?


Beberapa tahun terakhir ini ada fenomena baru yang sangat mengharukan. Khususnya yang
terjadi berbagai pelosok negri kita Indonesia. Setelah sebelumnya perkara ini hampir tidak
pernah terjadi.
Hamil diluar nikah. Iya, itu yang penulis maksud. Jika dikota-kota besar, mungkin yang
demikian sudah tidak asing ditelinga kita. walaupun sebenarnya ini adalah perkara yang
asing. Namun sekarang, fenomena ini menjamur hingga kepedesaan yang sebelumnya amanaman saja dari pelaku kejahatan ini.
Dulunya, disebuah daerah di salah satu pedalaman sumatera sana, seseorang bisa kena
denda lantaran mencolek salah satu anggota badan perempuan. Makanya pada waktu itu kita
tidak akan medapati ada sepasang muda-mudi yang berpegangan tangan, atau main colakcolek, lantaran takut didenda dengan sejumlah harta yang lumayan besar nominalnya pada
waktu itu.
Tapi sekarang, menurut desas-desus cerita yang penulis dapatkan, denda seperti itu sudah
hilang entah pergi kemana, dan yang mengagetkan serta membuat gempar warga
menjamurnya fenomena hamil di luar nikah, sehingga sang Ayah seakan terpaksa
menikahkannya, dengan hati yang menangis darah.
Fonomena seperti ini ternyata sudah menjamur di berbagai tempat di negri kita, kemarin
penulis sempat mendengar beberapa cerita dari teman-teman tentang perkara ini, mereka
semua mengeluhkan bahwa akhir-akhir ini ada banyak sepasang pengantin yang menikah
dan didapati pengantin perempuannya sudah hamil sekian bulan.
Konon katanya para pelajar dan mahasiswa/i di negri kita ini sudah sekian persen yang tidak
bersegel lagi. Bahkan diantara mereka ada yang menjadiakannya sebagai modal untuk
mencari duit, biar bisa membeli hape yang bagus, de el el.
Pendapat Ulama
Tidak ada orang tua yang senang jika mendapati anakya berlaku mesum seperti itu,
sebagai langkah preventif jauh hari Islam sudah mengajarkan bagaimana tatacara bergaul
antara lawan jenis, hingga akhirnya Islam menjadikan perilaku zina itu sebagai dosa besar.
Dan pelakunya harus di cambuk atau dirajam, walau dalam tataran aplikakasinya tidak
semudah yang kita bayangkan.
Namun yang terjadi memang sudah terjadi, tidak ada yang bisa disalahkan, kita semua salah.
Jika memang ada seorang perempuan yang hamil diluar nikah, lalu kemudian dinikahkan

Page 12 of 24

dalam kondisi hamil tersebut, bagaimana hukumnya? Apakah sah? Atau jangan-jagan tidak
sah?
Perkara ini menjadi perdebatan diantara ulama, setidaknya terbagi dalam tiga pendapat:
1. Pendapat Pertama
Kalangan Hanafiyah mensahkan pernikahan ini, baik yang menikahinya itu dia yang
menzinahi atau orang lain. Mereka menambahkan boleh bagi yang menzinahi untuk
melakukan hubungan suami-istri setelah akad tersebut, akan tetapi jika yang menikainya itu
orang lain, maka dia tidak boleh melakukan hubungan suami-istri sampai si perempuannya
melahirkan. (Lihat: al-Kasai, Badai as-Shonai, 2/269)
2. Pendapat Kedua
Kalangan Syafiiyyah juga membolehkan pernikahan ini, hanya saja makruh hukumnya
menggauli istrinya yang sedang hamil itu setelah aqad. (lihat: Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir,
9/191).
Tentunya pendapat yang mensahkan ini tidak mesti mereka merestui hubungan perzinahan
yang sudah terjadi. Tidak. Zina tetap haram, dan ia merupakan perilaku yang sangat tercela.
Akan tetapi antara zina dengan nikah itu tidak ada hubungan sama sekali. Zina memang
haram, tapi nikahkan halal. Dan yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal.
Belum lagi yang demikina didukung oleh hadits Nabi Muhammad SAW berikut:

Perkara yang haram tidak bisa mengaharamkan yang halal (HR. Ibnu Majah. 2015)
Pendapat ini juga bersandar kepada beberapa atsat yang pernah ada, diantaranya ini erupakan
pendapat Abu Bakar RA, Umar RA, Ibnu Umar RA, dan Ibnu Abbas RA. (Lihat: AlMawardi,
al-Hawi al-Kabir, 9/189)
Mungkin jika ibaratkan dengan kasus lain seperti cotoh berikut: Ada orang yang sholat
dengan menggunakan pakaian hasil curian. Barang curian itu jelas haramnya, sedangkan
sholat itu wajib (5 waktu), apakah barang hasil curian yang haram itu bisa mengahramkan
sholat yang wajib? Ga bisa kan? Terlebih jika yang sholat sudah menyempurnakan syarat dan
rukun-rukunnya, maka secara fiqih hokum sholatnya sah. Walau disisi lain di juga berdosa
dengan barang hasil curian itu. Begitulah kira-kira.
Di Indonesia pendapat ini lebih dipakai, lihat saja misalnya dalam Kompilasi Hukum Islam
kita pada pasal bab VIII, pasal 53 dalam tiga ayatnya yang berisikan: 1) Seorang wanita
hamil di luar nikah, dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya. 2) Perkawinan
dengan wanita hamil yang disebut pada ayat(1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih
dulu kelahiran anaknya.
3) Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan
ulang setelah anak yang dikandung lahir.
3. Pendapat Ketiga

Page 13 of 24

Pendapat ini menyatakan bahwa perempuan yang hamil karena perzinaan tidak boleh
dinikahkan, sampai dia melahirkan. Baik bagi dia yang menzinahi maupun bagi selainnya. Ini
adalah pendapat dari kalangan Malikiyah dan Hanabilah. (Lihat: Ibnu Taimiyah, Majmu alFatawa, 32/110, dan Kasyfu al-Qona, 5/83).
Imam Ibnu Qudamah (Lihat: Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 7/107) menyatakan bahwa yang
demikian karena keumuma hadits berikut:

Janganlah kalian menggauli perempuan yang sedang hamil samapai ia melahirkan (HR.
Hakim. 2790)
Hadits ini secara redaksi sebenarnya berbicara tentang tidak bolehnya mengauli budak yang
sedang hamil, akan tetapi keumuman lafaznya juga bisa dipakai untuk selain budak.
Bukan berarti hadits tersebut melarang seorang suami untuk menggauli istrinya yang sedang
hamil. Bukan. Akan tetapi ini lebih mengarah kepada hal pernikahan. Jika dengan istri sendiri
yang sudah sah, oke-oke saja. Tidak ada masalah. Jangan panik dulu J
Belum lagi ditambah dengan penjelasan hadits berikut:
Dari Abud Darda, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa dia datang bersama
perempuan yang hamil pada pintu gerbang lantas beliau bersabda: Barang kali dia
(tuannya) bermaksud menyenggamainya. Mereka mengatakan: Ya. Maka Rasulullah
saw.bersabda: Sungguh saya sangat ingin melaknatnya dengan laknatan yang menyertainya
di dalam kuburnya, bagaimana dia menjadikannya sebagai ahli waris padahal hal itu tidak
halal untuknya, .(H.R Muslim)
Pengarang kitab Nailul Author, As-Syaukani juga menyatakan keharamannya, berdasarkan
ayat berikut:
laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau
perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh lakilaki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang
yang mukmin (QS. An-Nur: 3)
Ditambah dengan pendapat yang menyatakan bahwa jika pernikahan seperti ini dibolehkan,
maka tidak menutup kemungkinan masyarakat akan sedikit lalai serta mengangagap remeh
perkara ini.
Ga apa-apa hamil duluan, toh akhirnya nikahnya juga masih sah ko. Begitu mungkin
dalam anggapan sebagian orang. Untuk itulah mereka berpendapat bahwa pernikahan seperti
ini tidak boleh terjadi, sebagai salah satu jalan untuk menutup perilaku zina yang sekrang
terus berkembang dan menjamur diamana-mana.

Page 14 of 24

HAMIL DI LUAR NIKAH MENURUT ISLAM


Hamil di luar nikah menurut hukum islam ?
Zaman sekarang ini banyak Remaja atau perempuan
yang hamil di luar nikah karena pergaulan bebas,
kemudian dikarena tidak mau menanggung malu,
pihak orang tua menikahkan anak yang hamil
dengan laki-laki (baik yang menghamili maupun
yang tidak menghamili).
Lalu, apakah pernikahannya ini sah?
Ada ustadz yang bilang bahwa pernikahannya ini
tidak sah sebab harus menunggu bayi itu lahir dan
baru menikah. tapi, yang seperti ini sepertinya tidak
lazim dan malah membuat malu (aib) di kalangan
masyarakat kita.
Ada ustadz berpendapat atau (barangkali didukung
dengan hadits Nabis SAW) menganggap bahwa
pernikahan tersebut tidak sah. katanya, ketika
anaknya sudah lahir kelak, ia harus menikah ulang
lagi.
Tentang hamil diluar nikah sendiri sudah kita ketahui
sebagai perbuatan zina baik oleh pria yang
menghamilinya maupun wanita yang hamil. Dan itu
merupakan dosa besar.
QS 17 : 32. Dan janganlah kamu mendekati zina;
sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang
keji. Dan suatu jalan yang buruk.
QS 24 : 2. Perempuan yang berzina dan laki-laki
yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
Page 15 of 24

keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas


kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
(menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman
kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan orang-orang yang beriman.
QS 3 : 135. Dan (juga) orang-orang yang apabila
mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri
sendiri[*], mereka ingat akan Allah, lalu memohon
ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi
yang dapat mengampuni dosa selain dari pada
Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan
kejinya itu, sedang mereka mengetahui.
. Yang dimaksud perbuatan keji (faahisyah) ialah
dosa besar yang mana mudharatnya tidak hanya
menimpa diri sendiri tetapi juga orang lain, seperti
zina, riba. Menganiaya diri sendiri ialah melakukan
dosa yang mana mudharatnya hanya menimpa diri
sendiri baik yang besar atau kecil.
Jumhur ulama berdasar pada hadis Aisyah dari AthThobary dan ad-Daruquthny, sesungguhnya
Rasulullah SAW ditanya tentang seorang laki-laki
yang berzina dengan seorang perempuan dan ia mau
mengawininya. Beliau berkata:Awalnya zina
akhirnya nikah, dan yang haram itu tidak
mengharamkan yang halal.Sahabat yang
mebolehkan nikah wanita berzina adalah Abu Bakar,
Umar, Ibnu Abbas yang disebut madzab Jumhur. (Ali
Assobuny/I/hlm49-50).
Sedangkan boleh tidaknya perempuan yang berzina
menikah dengan laki-laki yang bukan
menghamilinya, para ulama berbeda pendapat
terhadap hal tersebut:
Pendapat pertama menyatakan bahwa hal tersebut
diharamkan, pendapat ini adalah pendapatnya
Hasan al-Bishry dan lain-lainya. Mereka berdasar
pada firman Allah SWT :
Dan perempuan yang berzina tidak menikahinya
kecuali laki-laki yang berzina atau pun musrik dan
Page 16 of 24

hal tersebut diharamkan bagi orang-orang yang


beriman (An-Nur: 3).
Ayat ini menurut mereka menyatakan akan
keharaman menikahnya perempuan yang berzina
dengan laki-laki yang bukan menzinahinya.
Pendapat kedua menyatakan bahwa hal tersebut
dibolehkan. Sedang ayat di atas bukan menjelaskan
keharaman hal tersebut tetapi mununjukan atas
pencelaan orang yang melakukannya. Pendapat ini
dikemukakan oleh Jumhur Ulama.
Mereka pun berdasar kepada hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Daud dan Nasay dari Ibnu
Abbas, ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada
Nabi SAW, ia berkata: Sesungguhnya istriku tidak
bisa menjaga dirinya dari perbuatan zinah. Nabi pun
bersabda: Jauhkalah dia. Orang itu menjawab: aku
khawatir jiwaku akan mengikutinya (karena
kecintaannya). Nabi pun bersabda padanya: Kalau
begitu bersenang-senanglah dengannya (Nailul
Author)
Juga hadits yang diriwayatkan dari Aisyah:
Sesuatu yang harom tidak dapat menghalalkan yang
haram. (HR Baihaqy)
Akan tetapi mereka yang berpendapat tentang
kebolehan menikahnya seorang wanita yang
berzinah dengan laki-laki yang bukan menzinahinya
dalam beberapa hal;
1. Fuqoha Hanafiyah menyatakan: Jika wanita yang
berzina tidak hamil. Maka aqad nikahnya dengan
laki-laki yang bukan menzinahinya adalah sah.
Demikian juga jika si wanita tersebut sedang hamil,
demikian menurut Abu Hanifah dan Muhammad.
Akan tetapi ia tidak boleh menggaulinya selama
belum melahirkan. Dengan dalil sebagain berikut:
a. perempuan yang berzina tidak termasuk wanita
yang haram dinikahi. Oleh karena itu hukumnya
Page 17 of 24

mubah (boleh) dan termasuk dalam firman-Nya: Dan


kami menghalalkan bagi kalian selain dari itu (anNisaa: 24)
b. Tidak ada keharaman karena disebabkan air
(sperma) hasil zina. Dengan dalil hal tersebut tidak
bisa menjadi sebab penasaban anak tersebut kepada
bapaknya. Oleh karena itu zina tidak bisa menjadi
penghalang pernikahan.
Adapun sebab tidak bolehnya laki-laki tersebut
menggauli wanita tersebut sampai ia melahirkan,
adalah sabda Rasulullah SAW : Barang siapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia
menyirami dengan airnya ladang orang lain (HR Abu
Daud dan at- Tirmidzy) yang dimaksud adalah wanita
hamil disebabkan orang lain.
2. Abu Yusuf dan Zufar berpendapat: tidak bolah
melakukan aqad nikah terhadap wanita yang hamil
karena zina. Karena kehamilan tersebut
menghalanginya untuk menggauli wanita tersebut
dan juga menghalangi aqad dengannya. Sebagimana
halnya kehamilan yang sah, yaitu; sebagaimana
tidak bolehnya melaksanakan aqad nikah dengan
wanita yang hamil bukan karena zina maka dengan
wanita yang hamil karena zina pun tidak sah.
3. Fuqoha Malikiyah menyatakan: tidak boleh
melaksanakan aqad nikah dengan wanita yang
berzina sebelum diketahui bahwa wanita tersebut
tidak sedang hamil (istibraa), hal tersebut diketahui
dengah haid sebanyak tiga kali atau ditunggui tiga
bulan. Karena aqad dengannya sebelum istibra
adalah aqad yang fasid dan harus digugurkan. Baik
sudah nampak tanda-tanda kehamilan atau belum
karena dua sebab, pertama adalah kehamilannya
sebagimana hadits janganlah ia menyirami dengan
airnya ladang orang lain atau dikhawtirkan dapat
tercampurnya nasab jika belum nampak tanda-tanda
kehamilan.
4. Fuqoha Syafiiyah: Jika ia berzina dengan seorang
wanita, maka tidak diharamkan menikah dengannya,
Page 18 of 24

hal tersebut berdasar pada firman Allah: Dan kami


menghalalkan bagi kalian selain dari itu (an-Nisaa:
24) juga sabda Rasulullah SAW : sesuatu yang haram
tidak dapat mengharamkan yang halal

Menikah dalam Kondisi Hamil


JI saya mau tanya, apa hukumnya kalau saya
menikah dengan isteri saya dalam keadaan sedang
hamil? Apakah saya harus menikah ulang setelah
isteri saya melahirkan?
Saya sangat mengharapkan jawaban nya. Saya
ucapkan banyak terima kasih atas saran-sarannya.
Jawaban:
Page 19 of 24

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,


Sahabat JI, Haram hukumnya seorang laki-laki
menikahi seorang wanita yang sedang mengandung
anak dari orang lain. Karena hal itu akan
mengakibatkan rancunya nasab anak tersebut.
Dalilnya adalah beberapa nash berikut ini:
Nabi SAW bersabda, "Janganlah disetubuhi
(dikawini) seorang wanita hamil (karena zina) hingga
melahirkan." (HR Abu Daud dan dishahihkan oleh AlHakim)
Nabi SAW bersabda, "Tidak halal bagi seorang
muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir
untuk menyiramkan airnya pada tanaman orang
lain." (HR Abu Daud dan Tirmizy)
Adapun bila wanita yang hamil itu diniakhi oleh lakilaki yang menghamilinya di luar nikah, maka
umumnya para ulama membolehkannya, dengan
beberapa varisasi detail pendapat:
1. Pendapat Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah menyebutkan bahwa bila yang
menikahi wanita hamil itu adalah laki-laki yang
menghamilinya, hukumnya boleh. Sedangkan kalau
yang menikahinya itu bukan laki-laki yang
menghamilinya, maka laki-laki itu tidak boleh
menggaulinya hingga melahirkan.
2. Pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad bin
Hanbal
Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal
mengatakan laki-laki yang tidak menghamili tidak
Page 20 of 24

boleh mengawini wanita yang hamil. Kecuali setelah


wanita hamil itu melahirkan dan telah habis masa
'iddahnya.
Imam Ahmad menambahkan satu syarat lagi, yaitu
wanita tersebut harus sudah tobat dari dosa zinanya.
Jika belum bertobat dari dosa zina, maka dia masih
boleh menikah dengan siapa pun. Demikian
disebutkan di dalam kitab Al-Majmu' Syarah AlMuhazzab karya Al-Imam An-Nawawi, jus XVI
halaman 253.
3. Pendapat Imam Asy-Syafi'i
Adapun Al-Imam Asy-syafi'i, pendapat beliau adalah
bahwa baik laki-laki yang menghamili atau pun yang
tidak menghamili, dibolehkan menikahinya.
Sebagaimana tercantum di dalam kitab Al-Muhazzab
karya Abu Ishaq Asy-Syairazi juz II halaman 43.
4. Undang-undang Perkawinan RI
Dalam Kompilasi Hukum Islam dengan instruksi
presiden RI no. 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991,
yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan keputusan
Menteri Agama RI no. 154 tahun 1991 telah
disebutkan hal-hal berikut:
Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat
dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada
ayat (1) dpat dilangsungkan tanpa menunggu lebih
duhulu kelahiran anaknya.
Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat
wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang
setelah anak yang dikandung lahir.
Page 21 of 24

Semua pendapat yang menghalalkan wanita hamil di


luar nikah dikawinkan dengan laki-laki yang
menghamilinya, berangkat dari beberapa nash berikut
ini
Dari Aisyah ra berkata,`Rasulullah SAW pernah
ditanya tentang seseorang yang berzina dengan
seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu
beliau bersabda,`Awalnya perbuatan kotor dan
akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa
mengharamkan yang halal`. (HR Tabarany dan
Daruquthuny).
Juga dengan hadits berikut ini:
Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW,`Isteriku
ini seorang yang suka berzina`. Beliau
menjawab,`Ceraikan dia`. `Tapi aku takut
memberatkan diriku`. `Kalau begitu mut`ahilah dia`.
(HR Abu Daud dan An-Nasa`i)
Tidak Perlu Nikah Ulang
Ketika seorang laki-laki menikah dengan wanita yang
terlanjur dihamilinya, maka akad nikahnya itu sudah
sah. Sehingga tidak perlu diulangi lagi, karena akad
nikah cukup sekali saja. Kalau sudah sah, maka tidak
perlu ada pengulangan.

MENIKAH DALAM KEADAAN HAMIL


Menikahi perempuan perawan maupun janda hukumnya adalah sah-sah saja. Bahkan jika
dengan syarat yang benar dan niat yang baik bisa menjadi amal ibadah yang sangat besar
pahalanya. Karena pada dasarnya pernikahan adalah ibadah.

Page 22 of 24

Namun demikian, besarnya nilai ibadah dalam pernikahan tidak lantas dapat mempermudah
semua urusan nikah, apalagi jika ternyata perempuan yang hendak dinikah sedang hamil,
maka perlu keterangan lebih lanjut. Karena pastilah perempuan itu telah berhubungan dengan
lelaki yang menyebabkan kehamilannya.
Jika wanita yang hamil itu ditinggal mati oleh suaminya, maka pernikahan dengannya hanya
dapat dilakukan dengan sah setelah ia melahirkan. Begitu juga jika perempuan yang hamil itu
telah dicerai suaminya, maka baru dapat dinikahi setelah ia melahirkan.
Hal ini jelas berdasar pada surat Thalq ayat 4:

Dan wanita-wanita yang hamil, iddah mereka itu adalah setelah melahirkan kadungannya.
Berbeda jikalau ternyata perempuan hamil itu belum memiliki suami, atau hamil diluar nikah
(hamil karena zina) yang dalam bahasa sehari-hari disebut hamil gelap , maka hukumnya
sah menikahinya saat itu juga dan juga boleh me-wathi-nya (berhubungan seks dengannya),
tanpa menunggu perempuan itu melahirkan bayinya. Sebagaimana keterangan dari Hasyiatul
Bajuri :




Jika seorang lelaki menikahi perempuan yang sedang hamil karena zina, pastilah sah
nikahnya. Boleh me-wathi-nya sebelum melahirkannya, menurut pendapat yang paling
shahih.
Adapun mengenai nasab keberadaan si bayi tergantung pada lamanya jarak antara
perkawinan dan kelahiran. Jikalau jarak antara pernikahan dan kelahiran lebih dari enam
bulan walaupun dua detik, maka bayi itu bernasab pada bapaknya (lelaki yang mengawini
ibunya dalam keadaan hamil). Akan tetapi jika jarak antara perkawinan dan kelahiran itu
kurang dari enam bulan, maka nasab bayi itu kepada ibunya. Demikian dai keterangan kitab
yang di pinggir (hamis) Buaghyatul Musytarsyidin, begitulah teksnya







Page 23 of 24



Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa perkara terpenting sehubungan dengan
mengawini perempuan hamil adalah memastikan terlebih dahulu, bahwa perempuan itu
sedang tidak memiliki suami yang sah baik karena ditinggal mati, dicerai atau karena hamil
zina.
Namun, jika perempuan yang hamil itu masih memiliki suami yang sah, sudah barang tentu
tidak akan sah akad nikahnya, selain itu juga bisa menyebabkan perang dengan suaminya,
karena itu sama halnya dengan menikahi istri orang. Wallahu alam

Page 24 of 24

Anda mungkin juga menyukai