Anda di halaman 1dari 3

‫ِخ ۡف ُتۡم َأاَّل‬ ‫ٱلَّطَٰل ُق َم َّرَتاِۖن َفِإۡم َس اُۢك ِبَم ۡع ُروٍف َأۡو َتۡس ِريُۢح ِبِإۡح َٰس ٖۗن

ٖن َو اَل َيِح ُّل َلُك ۡم َأن َتۡأ ُخ ُذ وْا ِمَّم ٓا َء اَتۡي ُتُم وُهَّن َش ًٔ‍ۡيا ِإٓاَّل َأن َيَخاَف ٓا َأاَّل ُيِقيَم ا ُح ُد وَد ٱِۖهَّلل َف ِإۡن‬
‫َّٰظ‬ ‫َٰٓل‬
‫ٱل ِلُم وَن‬ ‫ُيِقيَم ا ُحُد وَد ٱِهَّلل َفاَل ُجَناَح َع َلۡي ِهَم ا ِفيَم ا ٱۡف َتَد ۡت ِبۗۦِه ِتۡل َك ُحُدوُد ٱِهَّلل َفاَل َتۡع َتُد وَهۚا َوَم ن َيَتَع َّد ُحُد وَد ٱِهَّلل َفُأْو ِئَك ُهُم‬
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau
menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah
kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-
hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum
Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus
dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar
hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.”
Asbabun Nuzul
“Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, bahwasanya ada seorang laki-laki
yang mengatakan kepada istrinya, “Aku tidak akan pernah menceraikanmu untuk selama-lamanya dan
tidak juga mencampurimu untuk selama-lamanya.” “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Tanya istrinya itu.
Maka ia menjawab: “Aku akan menceraikanmu hingga apabila masa iddahmu sudah dekat, aku akan
merujukmu kembali.” Kemudian wanita itu pun datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
shallallahu ‘alaihi wasallam, dan menceritakan hal itu kepada beliau, maka Allah Ta’ala menurunkan ayat
ini. Hadis tersebut juga diriwayatkan Ibnu Jarir dalam tafsirnya, juga Abd bin Humaid dalam tafsirnya,
dan At-Tirmidzi sebagai hadis mursal, dan ia mengatakan ini lebih sahih. Selain itu, hadis tersebut juga
diriwayatkan Al-Hakim dalam Kitab Al-Mustadrak, dan menurutnya hadis tersebut bersanad sahih.”
Kata thalaq dalam bahasa arab berasal dari kata-kata “thalaqayatlhuqu-thalaaqan” yang artinya melepas
atau mengurai tali pengikat, baik tali pengikat itu bersifat kongkrit seperti tali pengikat kuda maupun
yang bersifat abstrak seperti tali pengikat perkawinan. Thalak merupakan isim mashdar dari kata
“thalaqa-yatlhuqu-thalaaqan” jadi kata ini semakna dengan kata tahliq yang bermakna “irsal” dan “tarku”
yaitu melepaskan dan meninggalkan.
Dalam istilah fiqh talak mempunyai dua arti, yaitu arti yang umum dan arti yang khusus. Talak menurut
arti yang umum ialah segala macam bentuk perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan
oleh Hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau perceraian karena meninggalnya salah
seorang dari suami atau isteri.
Menurut Imam Nawawi dalam bukunya Tahzib, talak adalah tindakan orang terkuasai terhadap suami
yang terjadi tanpa sebab kemudian memutus nikah.
• Dari kalangan Ulama’ Hanafiyah berpendapat bahwa talak itu terlarang kecuali bila diperlukan
• Sedang menurut madzhab Syafi’i membedakan hukum talak menjadi empat yaitu:
a. Wajib yaitu seperti talaknya orang yang tidak bisa bersetubuh.
b. Haram yaitu menjatuhkan talak sewaktu isteri dalam keadaan haid.
c. Sunnah yaitu seperti talaknya orang yang tidak bisa melaksanakan kewajibannya sebagai suami karena
tidak ada keinginan sama sekali kepada isterinya.
d. Makruh seperti terpeliharannya semua peristiwa tersebut di atas.
• Ulama Hanabilah memperinci hukum talak sebagai berikut:
a. Haram yaitu talak yang tidak diperlukan atau talak tanpa alasan. Karena merugikan bagi suami-
isteri dan tidak ada kemaslahatan yang mau dicapai dengan perbuatan talaknya itu.
b. Wajib yaitu talak yang dijatuhkan oleh pihak hakam dalam perkara syiqoq yakni perselisihan
isteri yang tidak dapat didamaikan lagi, dan kedua belah pihak memandang bahwa perceraian
adalah jalan terbaik dalam menyelesaikan persengketaan mereka.
c. Sunnah yaitu talak yang dijatuhkan kepada isteri yang sudah keterlaluan dalam melanggar
perintah Allah.
d. d. Mubah yaitu talak yang terjadi hanya apabila diperlukan, missal karena kelakuan isteri jelek
Kandungan hukum yang terdapat dalam Ayat 229
1. Bilangan talak dan sunnah talak
• Bilangan talak adalah dua kali yang dapat dirujuk sedangkan setelah talak yang ketiga tidak dapat
dirujuk lagi. Al-Daruqutnin, mengkhabarkan kepadanya Wahab bin Nafi' (pamannya), ia berkata:
aku mendengar 'Ikrimah meriwayatkan hadis dari Ibn 'Abbas, ia berkata: Talak itu ada 4 cara.
Dua cara adalah halal dan dua cara yang lain adalah haram. talak yang halal adalah talak yang
dilakukan ketika isteri dalam keadaan suci sebelum di jima' (disetubuhi) pada masa suci itu dan
talak yang dilakukan ketika isteri dalam keadaan hamil yang jelas kehamilannya. Sedangkan talak
yang haram adalah talak yang dilakukan ketika isteri dalam keadaan haid dan talak yang
dilakukan dalam masa suci tetapi setelah disetubuhi.
• Hamka menyebutkan bahwa dua cara talak yang halal disebut dengan talak sunnah sedangkan
dua talak yang haram dengan talak bid'ah. Lebih lanjut, meskipun bid'ah talak tetap jatuh juga.
Berbeda dengan pendapat Sa'id bin al-Musayyab yang mengatakan bahwa talak dalam masa haid
tidak jatuh talak, karena menyimpang dari sunnah. Pendapat ini juga merupakan pendapat dari
golongan Shi'ah.
• Menurut imam Shafi'i talak tidak dapat dikatakan bid'ah apabila dilakukan pada masa suci
meskipun di ucapkan tiga sekaligus. Abu Hanifah berpendapat bahwa talak sunnah adalah talak
yang dilakukan pada masa suci dan hanya satu talak sedangkan apabila tiga talak sekaligus
dianggap bid'ah. Lain halnya menurut Shi'ah yang mengatakan bahwa termasuk talak yang
diperbolehkan adalah talak dalam keadaan suci meskipun disetubuhi pada masa suci tersebut.
2. Khulu'
• Allah swt melarang suami untuk mengambil sesuatu yang diberikan kepada isterinya dengan
jalan yang tidak diperkenankan yaitu untuk memberi kemudaratan kepada isteri. Akan tetapi bila
isteri menuntut talak dengan membayar tebusan kepada suami maka hal itu diperbolehkan.
• Dawud al-Zahiri mensyaratkan bahwa khulu' hanya boleh dilakukan dalam hal khawatir tidak
dapat melaksanakan ketentuan-ketentuan Allah dalam hubungan perkawinan karena masing-
masing suami atau isteri tidak saling menyukai sehingga dikhawatirkan melakukan nushuz atau
melakukan hal yang buruk atas hubungan perkawinan.
• Jumhur ulama berpendapat bahwa diperbolehkan dalam khulu' memberikan tebusan lebih dari
yang diberikan suami kepada isteri. Menurut Hanafiyah hal itu adalah makruh. Mereka yang
menolak khulu' dengan tebusan yang lebih besar dari yang diberikan suami adalah golongan
Shi'ah, al-Zuhry, dan Hasan al-Basry berdasarkan firman Allah; ‫ فال جناح عليهما فيما افتدت به‬yakni
apa yang diberikan suami kepada isteri ( ‫)مما أتيتموهّن‬

Anda mungkin juga menyukai