Anda di halaman 1dari 6

Surat At-Thalaq Ayat 1-4 Tafsir dan Asbabun Nuzulnya

َ‫ص وا ال ِْع َّدةَ َو َّات ُق وا اللَّهَ َربَّ ُك ْم ال‬ ِ ِ ُ ‫ي أَا ُّيه ا النَّبِ ُّي إِذَا طَلَّ ْقتُم النِّس آء فَطَلِّ ُق‬
ْ ‫وه َّن لع َّدتِ ِه َّن َوأ‬
ُ ‫َح‬ َ َ ُ َ َ

‫ود اللَّ ِه َو َمن َيَت َع َّد‬ َ ‫ش ٍة ُّمَبِّينَ ٍة َوتِْل‬ ِ ‫تُ ْخ ِرج وه َّن ِمن بي وتِ ِه َّن والَ ي ْخ رجن إِالَّ أَن ي أْتِين بَِف‬
ُ ‫ك ُح ُد‬ َ ‫اح‬ َ َ َُْ َ َ ُُ ُ ُ

َ ِ‫ث َب ْع َد َذل‬
‫ك أ َْم ًرا‬ ُ ‫سهُ الَ تَ ْد ِري لَ َع َّل اللَّهَ يُ ْح ِد‬ ِ َّ َ ‫ح ُد‬
َ ‫ود الله َف َق ْد ظَلَ َم َن ْف‬ ُ

Artinya: 1. “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu
ceraikan mereka pada waktu mereka dapat menghadapi iddahnya dan hitunglah waktu iddah
itu serta tawakallah kepada Allah Tuhanmu; Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah-
rumah mereka dan janganlah mereka keluar, kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan
keji dengan terang-terangan; itulah hukum-hukum Allah dan barang siapa yang melanggar
hukum-hukum Allah maka seseungguhnya dia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri.
Kamu tidak mengengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu yang baru.”

Di dalam tafsir As-Shabuni disebutkan bahwa al-Kalabi berkata sebab turunnya ayat
ini ialah, bahwa Rasulullah saw. marah kepada Hafsah karena Nabi merahasiakan suatu
perkara kepadanya tetapi kemudian ia bocorkan kepada Aisyah lalu ia ditalak kemudian turun
ayat ini.1

Sebagian ulama telah mengharamkan pada suami yang menceraikan isterinya dalam
keadaan haid. Suami itu harus mencerainya ketika suci dan suci pula dari perbuatan
senggama. Sebab jika telah terjadi senggama lalu timbul kehamilan maka berarti iddahnya
menjadi panjang, sebab harus menunggu kandungan itu lahir yang menunjukkan berakhirnya
iddah tersebut.2

Ditinjau dari segi pejatuhan talak dan kondisi istri yang ditalak, maka talak dibedakan
menjadi dua yaitu talak sunni dan talak bid’i. Talak sunni ialah talak yang dijatuhkan seorang
suami kepada istrinya yang dalam keadaan suci (tidak sedang menstruasi) dan tidak terlebih
dahulu digauli (disetubuhi). Sedangkalah talak bid’i adalah talak yang dijatuhkan seorang

1
Imam As-Shabuni, Tafsir As-Shabuni, Surabaya: Bina ilmu, 1987, hlm 237

2
Ahmad Syarabasyi, Himpunan Fatwa, Surabaya: al-Ikhlas, 1987, hlm 333
suami kepada istrinya yang sedang dalam keadaan haid, atau dalam keadaan suci tetapi baru
saja digauli.3

Para fuqaha telah membagi talak kepada tiga jenis, yaitu:4

1. Talak sunnah, yaitu talak yang dijatuhkan ketika si istri dalam keadaan suci dan
belum disetubuhi atau dalam keadaan jelas hamil.
2. Talak bid’ah, yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri dalam keadaan haid
3. Talak yang bukan termasuk kedua jenis tersebut, yaitu talak yang dijatuhkan terhadap
si istri yang belum cukup umur, perempuan yang sudah tidak haid lagi (monopous)
dan yang tidak disetubuhi.

‫َش ِه ُدوا َذ َو ْي َع ْد ٍل ِّمن ُك ْم‬ ٍ ‫وف أَو فَ ا ِرقُوه َّن بِمع ر‬


ْ ‫وف َوأ‬ ٍ ‫فَ ِإ َذا بلَ ْغن أَجلَه َّن فَأَم ِس ُكوه َّن بِمع ر‬
ُ َْ ُ ْ ُ َْ ُ ْ ُ َ َ َ
ِ ِ ِ
ُ‫ظ بِ ِه َمن َك ا َن ُي ْؤم ُن بِاللَّ ِه َوالَْي ْوم اآْل خ ِر َو َمن َيت َِّق اللَّهَ يَ ْج َع ل لَّه‬ َ ُ‫ادةَ لِلَّ ِه ذَلِ ُك ْم ي‬
ُ ‫وع‬ َّ ‫يموا‬
َ ‫الش َه‬ ِ
ُ ‫َوأَق‬
‫َم ْخ َر ًجا‬

Artinya : 2. “Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya maka rujuklah mereka dengan
cara baik atau lepaskanlah mereka dengan cara yang baik atau lepaskanlah mereka dengan
baik, dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu dan hendaklah
kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah; demikianlah peringatan itu diberikan kepada
orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah
niscaya Dia akan memberi jalan keluar baginya.”

Di dalam tafsir As-Shabuni, Imam Ar-Razi berujar At-Thalaaq ayat 2 terkandung


talak bid’i sebab kalau perempuan yang ditalak itu dalam keadaan haidh maka iddahnya
menjadi lebih panjang melebihi tiga kali suci sehingga seolah-olah empat kali suci yang
sudah dicampuri maka akan menimbulkan pandangan buruk terhadap pihak suami yang
mentalaknya. Sedangkan kalau perempuan yang ditalak itu dalam keadaan suci yang belum
dicampuri maka aman dari kedua hal tersebut karena perempuan itu dapat beriddah sesudah
ditalak dalam keadaan aman dari hamil.5

3
Harun Nasution, Ensklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992, hlm 922

4
Teungku Muhammad Hasbi, Tafsir Al-Quranul Majid An-Nuur, Semarang: Pustaka Rizki, hlm. 4259

5
Imam As-Shabuni, Op.cit 239
Para ulama berbeda pendapat tentang jatuh tidaknya talak bid’i, yaitu:

1. Pendapat mazhab Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Maliki, dan Imam Hambali
menyatakan bahwa talak bid’i walaupun talaknya haram, tetapi hukumnya adalah sah
dan talaknya jatuh. Namun sunnah untuk merujuknya lagi. Pendapat ini adalah
pendapat Imam Abu Hanifah dan Syafi’i. Adapun menurut Imam Maliki hukum
merujuknya itu justru wajib.
2. Segolongan ulama yang lain berpendapat bahwa tidak sah, mereka menolak talak
bidah seperti talak pada umumnya, karena talak bid’ah bukan talak yang diizinkan
oleh Allah Swt., bahkan diperintah oleh Allah Swt. untuk meninggalkannya.

Di dalam pengadilan Agama UU Nomor 1 tahun 1974 dengan peraturan pemerintah


nomor 9 tahun 1975 bahwa penalakan dan perceraian hanya dapat dilakukan di depan
pengadilan agama, hal itu sudah betul sesuai dengan maksud ayat Al-Quran mengenai
sengketa untuk bercerai tersebut. Ringkasnya menurut hukum penjatuhan talak yang
diucapkan di luar pengadilan adalah tidak sah alias tidak berlaku.6

Bila dilihat hubungan diantara surat At-Thalaaq ayat 2 dengan UU Nomor 1 tahun
1974 adalah selaras. Artinya lembaga pengadilan agama adalah pranata yang menghadirkan 2
orang saksi dari talak yang dijatuhkan suami kepada istri. Saksi-saksi tersebut untuk
mengesahkan kondisi hubungan perceraian yang terjadi diantara mereka.

ِ ِ
ُ‫ب َو َمن َيَت َو َّك ْل َعلَى اللَّ ِه َف ُه َو َح ْسبُهُ إِ َّن اللَّهَ بَال ُغ أ َْم ِره قَ ْد َج َع َل اللَّه‬ ِ ُ ‫َو َي ْر ُزقْهُ ِم ْن َح ْي‬
ُ ‫ث الَ يَ ْحتَس‬
‫لِ ُك ِّل َش ْي ٍء قَ ْد ًرا‬

Artinya : 3. “Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan
barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)
nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya
Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”

Adapun asbabun nuzul ayat ketiga surat At-Thalaaq ini diriwayatkan Al-Hakim yang
bersumber dan As-Suddi bahwa Auf bin Malik al-Asyja’i menghadap kepada Rasullulah dan
6
Hasbullah Bakry, Pedoman Islam di Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia, hlm. 183
berkata: “anakku ditawan musuh, dan ibunya sangat gelisah. Apa yang tuan perintahkan
kepada ku?”, Rasulullah bersabda: “Aku perintahkan agar engkau dan istrimu memperbanyak
mengucapkan “La haula wala quwata illa billah”. Berkatalah istrinya: “Alangkah baiknya apa
yang diperintahkan oleh Rasul kepadamu”. Kedua suami istri itu membanyakkan bacaan itu.7

Riwayat lain menyebutkan bahwa ayat 3 ini turun berkenaan dengan suku Asyja yang
fakir, cekatan, dan banyak anak. Ia menghadap kepada Rasullulah Saw. meminta bantuannya
(tentang anak yang ditawan musuh dan tentang penderitaaan hidupnya). Rasul bersabda:
“Bertakwalah kepada Allah dan sabarlah. Tidak lama kemudian datanglah anaknya( yang
ditawan itu) sambil membawa seekor kambing (hasil rampasan dari musuh) hal ini dilaporkan
kepada nabi Muhammad. Kemudian Rasulullah bersabda: “Makanlah (kambing itu).”

Maka ayat 3 ini berkenan dengan tawakkal, dan adapun orang-orang yang bertawakal
itu terbagi dalam tiga tingkatan. Pertama, tawakalnya orang-orang mukmin, dimana syaratnya
dikemukakan oleh Abu Thurab An-Nakhsyabi tatkala ditanya tentang tawakal, “Tawakal
adalah melemparkan diri dalam penghambaan (Ubuddiyah), ketergantungan hati dengan Sang
Maha Memelihara (Rububiyah), dan tenang dengan kecukupan.8

Tingkatan tawakal yang pertama memang ditunjukan kepada orang awam. Karena
pada tingkatan ini yang diperlukan dengan tingkat ketaatan kepada Allah, hati yang selalu
tentram bersamanya. Melalui kedua hal tersebut, maka perjalanan hidup menjadi tenang dan
segala hal baik duka maupun suka yang datangnya dari Allah.

Kedua adalah tingkatan tawakalnya orang-orang khusus, sebagaimana yang dikatakan


oleh Abu al-Abbas Ahmad bin ‘Atha’ Al-Adami Rahimahullah, “Barangsiapa bertawakal
kepada Allah, maka sebenarnya ia belum bertawakal kepada Allah, dengan Allah dan karena
Allah. Ia hanya akan bertawakal kepada Allah dalam tawakalnya, bukan karena faktor atau
sebab lain.

Ketiga, adalah tawakalnya orang-orang kelas paling khusus (khushushul-khushush).


Ini sebagaimana yang pernah dikatakan As-Syibli rahimahullah tatkala ditanya tentang
tawakal, “Anda selaku milik Allah hendaknya sebagaimana Anda tidak ada. Sementara Allah
terhadap Anda sebagaimana tidak pernah sirna.”9

7
Shaleh, Asbabun Nuzul, Bandung: Diponegoro, 1982, hlm. 82
8
Abu Nashr As-Sarraj, Al-Luma Rujukan Lengkap Ilmu Tasawuf, Jakarta: Risalah Gusti, hlm.106
9
Ibid
Tawakal tingkat kedua merupakan tingkatan awliya Allah. Artinya seseorang tersebut
berusaha di dalam tawakalnya ingin benar-benar bahwa Allah merupakan pemberi jalan atas
semua permasalahan yang ada. Karena tanpa tawakal, manusia akan menyerahkan kehidupan
pada sisi hawa nafsu. Sedangkan tawakal tingkat ketiga dimiliki para nabi. Kita bisa lihat
bagaimana tawakal seorang rasulullah ketika diuji dengan kesusahan ini datangnya dari
Allah, dan kesenangan juga dari Allah.

ْ ‫س ائِ ُك ْم إِ ِن ْارَت ْبتُ ْم فَ ِع َّد ُت ُه َّن ثَالَثَ ةُ أ‬


‫َش ُه ٍر َوالالَّئِي لَ ْم‬ ِ ِ ‫والالَّئِي يئِس ن ِمن الْم ِح‬
َ ِّ‫يض من ن‬ َ َ َ ْ َ َ
‫ض ْع َن َح ْملَ ُه َّن َو َمن َيت َِّق اللَّهَ يَ ْج َعل لَّهُ ِم ْن أ َْم ِر ِه يُ ْس ًرا‬
َ َ‫َجلُ ُه َّن أَن ي‬ ِ ‫َحم‬
َ ‫ال أ‬ َ ْ ‫ت اأْل‬ ْ ‫يَ ِح‬
ُ َ‫ض َن َوأ ُْوال‬

Artinya : 4. “Dan perempuan-perempuan yang tidak haidh lagi (monopause) di antara


perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya) maka idah mereka
adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haidh. Dan
perempuan- perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan
kandungannya. Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan
baginya kemudahan dalam urusannya.”

Asbabun Nuzul dari Surat Ath-Thalaq ayat 4 yaitu ada riwayat yang telah
dikemukakan bahwa ketika turun ayat tentang iddah dalam surat Al-Baqarah ayat 226-237
para sahabat berkata: “Masih ada masalah iddah wanita yang belum disebut (di dalam Al-
Quran) yaitu iddah wanita muda (yang belum haid), yang sudah tua, dan yang hamil. Maka
turunlah surat At-Thalaaq ayat 4 yang menegaskan bahwa masa iddah bagi mereka ialah tiga
bulan, dan bagi yang hamil apabila telah melahirkan. Dalam riwayat lain juga dikemukakan
bahwa Khalad bin Amr bin Al-Jamuh bertanya kepada Nabi Muhammad SAW tentang iddah
wanita yang sudah tidak haid lagi. Maka turunlah ayat 4 ini atas jawaban dari pertanyaan
itu.10

Di dalam tafsir An-Nuur mengatakan perempuan-perempuan yang telah melewati


masa haid, maka masa iddahnya adalah tiga bulan. Begitu pula iddah perempuan-perempuan
yang masih di bawah umur yang belum pernah haid. Adapun perempuan yang sedang
mengandung hingga ia melahirkan bayinya, baik iddah cerai atau ditinggal mati oleh
suaminya. Demikian iddah bagi perempuan yang sedang hamil menurut pendapat Umar dan

10
Mudjab Mahali, Asbabul Nuzul, Jakarta: Raja Grafindo, 2002, hlm. 827
Ibn Umar. Baik bayi yang dilahirkannya itu masih berupa segumpal darah atau segumpal
daging, bayi yang belum sempurna atau bayi yang telah sempurna.11

Melalui keterangan diatas maka wanita yang telah melewati masa haid dan wanita
dibawah umur maka iddahnya tiga bulan. Adapun mereka yang ragu terhadap darah haid atau
istihadhah maka dihukumkan iddahnya tiga bulan. Akan tetapi bila si wanita sedang
mengandung maka dia harus menunggu sampai bayi itu melahirkan. Selain itu bila si wanita
dalam kondisi monopous maka iddahnya ditetapkan tiga bulan.

11
Teungku Muhammad, Op.cit, hlm 4263

Anda mungkin juga menyukai