Anda di halaman 1dari 26

Iddah, Rujuk, dan Tata Caranya

MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Perdata Islam Indonesia
Dosen Pengampu:
Dr. Rohmawati, M.A

Oleh Kelompok 10 - HKI 3D:


1. Imtitsal Muthmainnah 1860102222143
2. Kharisma Dellin Mahmudah 1860102222217
3. Raihan Wahyu Ramadhani 1860102222191

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
UIN SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG
NOVEMBER 2023
A. PENDAHULUAN

Iddah adalah masa tunggu bagi seorang wanita setelah bercerai atau
kematian suami. Iddah ini memiliki tujuan untuk memberikan waktu bagi
pasangan untuk merenungkan kembali keputusan mereka dan memberikan
perlindungan bagi wanita yang baru saja bercerai atau ditinggal mati oleh
suaminya. Masa iddah ini memiliki jenis dan tempoh yang berbeda-beda
tergantung pada kondisi yang dialami oleh wanita tersebut.
Ruju' adalah tindakan seorang suami untuk kembali kepada istrinya
yang telah diceraikan pada masa iddah. Ruju' ini memiliki syarat dan
ketentuan yang harus dipenuhi agar sah di sisi hukum Islam. Wanita juga
memiliki hak untuk menuntut suaminya menceraikannya dengan cara khulu'
jika merasa terganggu dalam kehidupan rumah tangganya.
Selama masa iddah, wanita memiliki hak untuk menerima nafkah
dari suaminya dan tetap tinggal di rumah suaminya jika kondisi
memungkinkan. Wanita juga memiliki hak untuk menolak ruju' dari
suaminya jika merasa tidak cocok lagi dengan suaminya.
Dalam Islam, iddah, ruju', dan hak perempuan selama masa iddah
memiliki peran penting dalam menjaga keutuhan keluarga dan memberikan
perlindungan bagi wanita yang baru saja bercerai atau ditinggal mati oleh
suaminya.

B. PEMBAHASAN

1. Iddah

a. Pengertian
Iddah bermakna perhitungan atau sesuatu yang dihitung. Secara
bahasa, mengandung pengertian hari-hari haid atau hari-hari suci pada
wanita. Secara istilah, iddah mengandung arti masa menunggu bagi
wanita untuk melakukan perkawinan setelah terjadinya perceraian

2
dengan suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati, dengan tujuan
untuk mengetahui keadaan rahimnya atau untuk berpikir bagi suami.1
Para ulama mendefinisikan idah sebagai nama waktu untuk menanti
kesucian seorang istri yang ditinggal mati atau diceraikan oleh suami,
yang sebelum habis masa itu dilarang untuk dinikahkan.2
Menurut Sayuti Thalib, pengertian idah dapat dilihat dari dua sudut
pandang: pertama, dilihat dari segi kemungkinan keutuhan perkawinan
yang telah ada, suami dapat rujuk kepada istrinya. Dengan demikian,
maka kata idah dimaksudkan sebagai suatu istilah hukum yang
mempunyai arti tenggang waktu sesudah jatuh talak, dalam waktu mana
pihak suami dapat rujuk kepada istrinya. Kedua, dapat dilihat dari segi
istri, maka masa idah itu akan berarti sebagai suatu tenggang waktu
mana istri belum dapat melangsungkan perkawinan dengan pihak laki-
laki lain.3
b. Dasar hukum
Dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan
dituangkan dalam pasal 11:
a. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka
waktu tunggu.
b. Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan
diatur dalam peraturan pemerintah lebih lanjut.
Dalam peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975 masalah ini
dijelaskan dalam bab VII pasal 39. Sementara dalam kompilasi hukum
Islam dijelaskan pada pasal 153,154, dan 155. Pasal 153 ayat (1)
kompilasi menyatakan: “bagi seorang istri yang putus perkawinannya

1
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid II, (Jakarta:Ikhtiar Baru Van
Houve,1996), h. 637
2
Abad al-Rahman al-Jaziri, Al-Fithrotin ‘ala madzahib al-Arba’ah, (Beirut:Dae al-Fikr,1986)
3
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, berlaku bagi umat Islam, (Jakarta:UI Press,
1986), h.122

3
berlaku waktu tunggu atau ‘iddah, kecuali qabla al-dukhul dan
perkawinannya putus bukan karena kematian suami.”
Dasarnya, firman Allah dalam surat al-ahzab [33] : 49:

‫ُن فَ َمَا لَ ُك َْم‬ َْ َ‫ل ا‬


ََّ ‫ن تَ َمس ُّْوه‬ َِ ‫ن قَ ْب‬ ََّ ‫طلَّ ْقت ُ ُم ْوه‬
َْ ‫ُن ِم‬ َِ ‫يٰٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنََ ا َمنُ َْٰٓوَا اِذَا نَ َكحْ ت ُ َُم ْال ُمؤْ ِمن‬
َ ‫ت ث ُ ََّم‬
َ ً ‫س َرا ًحا َج ِمي‬
‫ْل‬ ََّ ‫س ِر ُح ْوه‬
َ ‫ُن‬ ََّ ‫ن ِعدَّةَ تَ ْعتَد ُّْونَ َهَا فَ َمتِعُ ْوه‬
َ ‫ُن َو‬ َْ ‫ن ِم‬ ََّ ‫علَ ْي ِه‬
َ

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-


perempuan mukminat, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya, tidak ada masa idah atas mereka yang perlu kamu
perhitungkan. Maka, berilah mereka mutah (pemberian) dan
lepaskanlah mereka dengan cara yang sebaik-baiknya.”

c. Macam-macam iddah
1) Putus perkawinan karena ditinggal mati suami
Pasal 39 ayat (1) huruf a PP No. 9/1974 menjelaskan
“apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu
ditetapkan 130 hari”. Ketentuan ini dalam Kompilasi Hukum
Islam diatur dalam pasal 153 ayat (2) huruf a. Bedanya dalam
kompilasi merincinya, yaitu walaupun qabla al-dukhul. Ini
didasarkan pada QS Al-Baqarah [2]: 234:

َ‫َويَذَ ُر ْونَ َاَ ْز َوا ًجا َيَّت ََربَّصْنَ َبِا َ ْنفُ ِس ِه َّن َاَ ْربَعَةَ َاَ ْش ُهر‬ ِ َ‫َوالَّ ِذيْنَ َيُت ََوفَّ ْون‬
َ ‫َم ْن ُك ْم‬
ِ ِۗ ‫يَاَ ْنفُ ِس ِه َّنَبِ ْال َم ْع ُر ْو‬
َ‫ف‬ ْٰٓ ِ‫علَ ْي ُك ْمَفِ ْي َماَفََعَ ْلنَ َف‬
َ َ‫ع ْش ًراَفَ ِاذَاَبَلَ ْغنَ َاَ َجلَ ُه َّنَفَ َلَ ُجنَا َح‬
َ ‫َّو‬
َ‫ّٰللاَُبِ َماَتَ ْع َملُ ْونَ َ َخبِي ٌْر‬
‫َو ه‬
“Orang-orang yang mati di antara kamu dan meninggalkan istri-
istri hendaklah mereka (istri-istri) menunggu dirinya (beridah)
empat bulan sepuluh hari. Kemudian, apabila telah sampai (akhir)
idah mereka, tidak ada dosa bagimu (wali) mengenai apa yang

4
mereka lakukan terhadap diri mereka menurut cara yang patut.
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Ketentuan diatas berlaku bagi istri yang ditinggal mati


suaminya dalam keadaan tidak hamil. Apabila istri tersebut
dalam keadaan hamil, maka waktu tunggu bagi mereka adalah
sampai ia melahirkan. (ps. 39 ayat (1) huruf c PP, dan Ps. 153
ayat (2) huruf d KHI).
Apabila istri ditinggal mati suami dalam keadaan hamil,
melahirkan dalam waktu tidak sampai empat bulan sepluh hari.
Mayoritas (jumhur) ulama, menurut Ibn Rusyd berpendapat
bahwa masa iddah wanita tersebut adalah sampai melahirkan,
meskipun selisih waktu kematian suami hingga ia melahirkan
hanya setengah bulan, atau kurang dari 130 hari.
Mayoritas Ulama berpatokan kepada pertama, petunjuk
umum surat At-Thalaq [65]:4 meskipun sesungguhnya ayat
tersebut berbicara tentang talak.
Selain itu, Imam Malik dan Ibn Abbass memiliki perbedaan
pendapan dari para jumhur Ulama, menurut Malik, masa iddah
wanita diambil waktu yang terlama dari dua jenis iddah tersebut,
apakah 130 hati atau melahirkan. Ali Ibn Abi Thalib sependapat
dengan pendapat Malik tersebut. Argumentasi yang
dikemukakan adalah mempromosikan kedua ayat tentang iddah
hamil. (QS. At-Thalaq :4 ) dan ayat tentang istri yang ditinggal
mati suaminya (Al-Bawarah:234)
Dalam hukum islam di Indonesia, baik dalam Undang-
Undang Perkawinan, Peratutan pemerintah, maupun dalam
Kompilasi masih belum dijelaskan. Pendapat Malik yang
mengambil riwayat dari Ali, lebih rasional, yaitu memberi
ketentuan masa tunggu yang terlama dari dua kemungkinan
tersebut. Lebih dari itu, tenggang waktu untuk berbela sungkawa

5
relatif lebih lama. Yang akhirnya sifatnya dapat menjadi
kepantasan saja. Kematian suami, bagaimanapun juga, bukanlah
persoalan yang dapat segera dilupakan. Ia membawa dampak
psikologis yang memerlukan waktu untuk memulihkannya.
2) Putus perkawinan karena perceraian
Istri yang dicerai suaminya ada beberapa kemungkinan
waktu tunggu sebagai berikut:
a. Dalam keadaan hamil
Apabila istri dicerai suaminya dalam keadaan hamil
maka ‘iddahnya sampai ia melahirkan kandungannya (QS
At-Thalaq:4 dan Ps. 39 ayat (1) huruf c PP, jo. Ps. 153 KHI)
b. Dalam keadaan tidak hamil
1) Apabila istri dicerai sebelum terjadi hubungan kelamin,
maka tidak berlaku masa ‘iddah baginya (QS. Al-
Ahzab:49)
2) Apabila ia dicerai suaminya setelah terjadi hubungan
kelamin(dukhul)
a. Bagi yang masih datang bulan, waktu tunggunya
ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya
90 hari (Ps. 39 ayat (1) b. PP. Jo, Ps, 153 ayat (2)
huruf b KHI)
b. Bagi yang tidak atau belum berdatang buln masa
‘iddahnya tiga bulan atau 90 hari. (Ps. 39 ayat (1) b.
PP. Jo, Ps, 153 ayat (2) huruf b KHI) tidak datang
bulan disini maksudnya adalah wanita tersebut
sudah memasuki masa bebes haid atau menopouse.
c. Bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu
menjalani ‘iddah tidak haid karena menyusui maka
‘iddahnya tiga kali waktu suci
d. Dalam keadaan pada ayat (5) tersebut bukan karena
menyusui, maka ‘iddahnya selama satu tahun, akan

6
tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia
berhaid kembali, maka ‘iddahnya menjadi tiga kali
suci
3) Putus perkawinan karena khulu’, fasakh, dan li’an
Waktu ‘iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena
khulu’ (cerai gugat atas dasar tebusan atau ‘iwadl dari istri),
fasakh (putusnya perkawinan misalnya karena salah satu murtad
atau sebab lain yang seharusnya dia tidak benarkan kawin), atau
li’an, maka waktu tunggu berlaku seperti ‘iddah karena talak.
4) Istri ditalak raj’i kemudian ditinggal mati suami dalam masa
iddah
Apabila istri tertalak raj’i kemudian dalam waktu ‘iddah
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5) dan
ayat (6) pasal 153 KHI ditinggal mati oleh suaminya, maka
‘iddahnya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari atau 130
hari, terhitung saat matinya bekas suami.4
Jadi dalam hal ini, masa ‘iddah yang telah dilalui pada saat
suaminya masih hidup tidak dihitung, akan tetapi dihitung dari
saat kematian. Sebab keberadaan istri yang dicerai selama
menjalani masa ‘iddah, dianggap masih terikat dalam
perkawinan, karena memang bekas suaminya itulah yang paling
berhak untuk merujuknya, selama masih dalam masa ‘iddah (QS
Ql-Baqarah [2] : 228)
5) Tenggang waktu hitungan masa iddah
Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu bahwa salah satu
prinsip atau asas yang ditekankan Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia adalah mempersulit terjadinya perceraian, maka
perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan

4
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Depok: PT. Rajawali Press, 2017), h.
245-252

7
Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak (Ps. 115 KHI). Oleh
karena itu, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya
putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang
tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian,
tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami (Ps. 39
ayat (3) PP. Jo. Ps 153 ayat (4) KHI).
Ketentuan hukum tentang tenggang waktu hitungan waktu
tunggu tersebut adalah sebagai identitas hukum. Dalam
kenyataannya, memungkinkan timbulnya persoalan, yaitu
apabila karena faktor emosi yang tidak terkendali, sehingga
seorang suami dengan sangat gampang mengucapkan talak atau
menceraikan istrinya, dan diperburuk oleh kekurangtahuan
tentang prosedur perceraian di Pengadilan, sehingga ia tidak
dapat menahan diri dalam mencerai istrinya didepan sidang
pengadilan, dan mengucap talak pada waktu itu juga, maka sejak
saat itulah terjadi perceraian. Untuk itu, tenggang waktu tunggu
telah mulai berlaku. Langkah berikutnya adalah penetapan atau
penyaksian talak ke pengadilan yang disebut dengan itsbat al-
thalaq. Sabda Nabi Saw, riwayat dari Abu Hurairah menyatakan:

“tiga hal yang dapat terjadi baik dengan sungguh-sungguh atau


gurauan, yaitu nikah, talak,dan rujuk”

2. Hak Perempuan Selama Masa Iddah

Berikut adalah hak dan kewajiban perempuan ketika sedang dalam masa
‘iddah:
1) Perempuan yang sedang beriddah dari talak raj‘i berhak mendapat
tempat tinggal yang layak, nafkah, pakaian, dan biaya hidup lainnya

8
dari mantan suami, kecuali jika ia nusyuz (durhaka) sebelum
diceraikan atau di tengah-tengah masa iddahnya.
Hal itu berdasarkan firman Allah: “Hai Nabi, apabila kamu
menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka
pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan
hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu.
Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah
mereka (diizinkan) keluar kecuali mereka mengerjakan perbuatan
keji yang terang,”
Selain itu, Rasulullah, bersabda: “Perempuan beriddah yang bisa
dirujuk oleh (mantan) suaminya berhak mendapat kediaman dan
nafkah darinya.”
2) Perempuan yang sedang beriddah dari talak ba’in, baik karena
khulu‘, talak tiga, atau karena fasakh, dan tidak dalam keadaan
hamil, berhak mendapat tempat tinggal saja tanpa mendapat nafkah
kecuali jika ia durhaka sebelum ditalaknya atau di tengah masa
iddahnya.
3) Perempuan yang sedang beriddah dari talak ba’in dan keadaan hamil
juga berhak mendapat tempat tinggal dan nafkah saja. Tidak berhak
atas biaya lainnya. Hanya saja terjadi perbedaan pendapat, apakah
nafkah itu gugur karena nusyuz atau tidak
4) Perempuan yang sedang beriddah karena ditinggal wafat suaminya
tidak berhak mendapat nafkah walaupun dalam keadaan hamil.
5) Perempuan yang ditinggal wafat suaminya berkewajiban untuk
ihdad, yakni tidak bersolek dan tidak berdandan, seperti mengenakan
pakaian bewarna mencolok semisal kuning atau merah yang
dimaksudkan untuk berdandan. Juga tidak diperkenankan
mengenakan wewangian, baik pada badan atau pakaian.
6) Perempuan yang ditinggal wafat suami dan juga perempuan yang
telah putus dari pernikahan, baik karena talak bain sughra, talak bain
kubra, atau karena fasakh, berkewajiban untuk selalu berada di

9
rumah. Tidak ada hak bagi suaminya ataupun yang lain untuk
mengeluarkannya. Selain itu, ia juga tidak boleh keluar dari rumah
itu walaupun diridai oleh mantan suaminya kecuali karena ada
kebutuhan. Adapun kebutuhan keluar rumahnya di siang hari seperti
untuk bekerja dan belanja kebutuhan. Bahkan untuk kebutuhan
mendesak, pada malam hari pun ia boleh keluar, dengan catatan ia
kembali pulang dan bermalam di rumah tersebut kecuali memang
ada ketakutan yang menimpa diri, anak-anak, dan hartanya.
7) Perempuan yang tengah menjalani iddah dari talak raj‘i tidak
diperbolehkan menikah dengan laki-laki lain atau menerima lamaran
baru walaupun berupa sindiran, sebagaimana dalam ayat Allah
dalam Q.S al-Baqarah:235 “Dan janganlah kamu ber’azam (bertetap
hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis iddahnya,”
8) Perempuan yang sedang menjalani iddah karena ditinggal wafat atau
ditalak ba’in suaminya tidak boleh menerima lamaran terang-
terangan, tetapi boleh menerima lamaran berupa sindiran atau
penawaran,
sebagaimana firman Allah: “Dan tidak ada dosa bagi kamu
meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu
menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu.
Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka,
dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan
mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada
mereka) perkataan yang ma’ruf,” (Q.S. al-Baqarah [2]: 235).

3. Rujuk

a. Pengertian
Rujuk berasal dari bahasa Arab raja'a yarjr'u ruju", bentuk mashdar,
artinya kembali. Istilah ini kemudian dibakukan dalam hukum
perkawinan di Indonesia. Secara terminologis, rujuk adalah

10
kembalinya suami kepada hubungan nikah dengan istri yang telah
dicerai raj’i, dan dilaksanakan selama istri masih dalam masa 'iddah.
Ruiuk dapat dikategorikan sebagai tindakan hukum yang terpuji,
karena setelah pasangan suami istri tu mengalami masa-masa kritis
konflik di antara mereka yang diakhiri dengan perceraian, timbul
kesadaran baru dan napas baru untuk merajut tali perkawinan yang
pernah putus guna merenda hari esok yang lebih baik lagi. Mereka
kembali pada keutuhan ikatan perkawinan, yang disemangati oleh
hasil koreksi terhadap kekurangan diri masing-masing, dan bertekad
untuk memperbaikinya. Dari sisi ini, perceraian merupakan media
evaluasi bagi diri masing-masing suami istri untuk menata secara
jernih, komunikasi, saling pengertian, dan romantika perkawinan
yang mereka jalani.
b. Dasar Hukum
Hak rujuk bekas suami terhadap bekas istrinya yang ditalak
raj'i dinyatakan dalam firman Allah:
‫ا‬ ٍۗ ْۤ ‫ا‬
‫ف‬ ٰٰ ‫ص َن اِبَنْ ُفس اه َّن ثَ ٰلثَةَ قُ ُرْوء َوَل ََي ُّل ََلُ َّن اَ ْن يَّكْتُ ْم َن َما َخلَ َق‬
ْْٓ ‫اّللُ ا‬ ُ ‫َوالْ ُمطَلَّق‬
ْ َّ‫ٰت يََََتب‬
‫ا‬ ‫ال اخ ٍۗار وب عولَت ه َّن اَح ُّق باراد اه َّن اف ٰذلا ا‬ ‫ا ا‬ ‫ا‬
ٍۗ ‫ص ََل ًحا‬ َ ْ ٰ َ َ ُ ُ ْ ُ ُ َ ٰ ْ ‫اَْر َح اام اه َّن ا ْن ُك َّن يُ ْؤام َّن اِب ّٰٰلل َوالْيَ ْوم‬
ْ ‫ك ا ْن اََر ُادْْٓوا ا‬
‫اّللُ َع ازيٌْز َح اكْي ٌم‬ ‫ِۖا ا‬ ‫ا ا‬
ٰٰ ‫ࣖ َوََلُ َّن مثْ ُل الَّذ ْي َعلَْي اه َّن اِبلْ َم ْع ُرْوف َول ٰالر َج اال َعلَْي اه َّن َد َر َجةٌ ٍۗ َو‬
“Para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka
(menunggu) tiga kali qurū’ (suci atau haid). Tidak boleh bagi mereka
menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim mereka,
jika mereka beriman kepada Allah dan hari Akhir. Suami-suami
mereka lebih berhak untuk kembali kepada mereka dalam (masa)
itu, jika mereka menghendaki perbaikan. Mereka (para perempuan)
mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
patut. Akan tetapi, para suami mempunyai kelebihan atas mereka.
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Baqarah [2]: 228)

11
Hak rujuk yang terkandung pada ayat diatas, adalah hak yang
diberikan oleh syari‟at Islam kepada bekas suami selama masa
iddah, karena itu suami tidak membatalkannya, walaupun ada suami
yang berkata: “tidak ada rujuk bagiku”. Rujuk dapat dilakukan
manakala talak yang dijatuhkan suami adalah talak raj‟i, bukan talak
ba‟in atau talak tebus.
Masalah rujuk ini tidak diatur dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maupun dalam PP nomor
9 tahun 1975. Sementara dalam kompilasi dijelaskan pada bab
XVIII Pasal 163,164,165, dan 166.
Pasal 163
1. Seorang suami dapat merujuk istrinya yang dalam masa ‘iddah.
2. Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal:
a. Putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah
jatuh tiga kali atau talak yang dijatuhkan qabla al-dukhul.
b. Putusnya perkawinan berdasar putusan pengadilan dengan
alasan atau alasan-alasan selain zina dan khulu’.
Melakukan rujuk tidak berbeda dengan akad nikah artinya,
istri yang akan dirujuknya menyetujuinya dan disaksikan oleh dua
orang saksi. Pasal 164, kompilasi menegaskan: “seorang wanita
dalam ‘iddah talak raj’I berhak mengajukan keberatan atas kehendak
rujuk dari bekas suaminya dihadapan Pegawai Pencatat Nikah
disaksikan dua orang saksi”. Oleh karena itu, rujuk yang dilakukan
tanpa persetujuan bekas istri, dapat dinyatakan tidak sah dengan
putusan Pengadilan Agama (Ps. 165 KHI).
Masalah pentingnya saksi dalam rujuk didasarkan kepada
petunjuk umum dalam firman Allah:
“Apabila mereka sudah mendekati akhir masa ‘iddahnya
maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan
baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara
kamu”. (QS. At-Thalaq[65]: 2)

12
Imam Syafi’I menegaskan bahwa kehadiran saksi dalam
rujuk adalah wajib. Alasannya adalah bahwa tujuan rujuk sama
dengan tujuan menikah, yaitu menghalalkan hubungan seksual,
maka seperti halnya nikah, wajib menghadirkan saksi.
Rujuk yang dilakukan dalam masa ‘iddah itu, statusnya sama
dengan nikah baru setelah habis masa ‘iddah. Artinya talak raj’I itu
sudah mengurangi jumlah talak yang menjadi hak suami. Apakah
suami merujuknya selama dalam masa ‘iddah atau membiarkan
masa ‘iddah istrinya habis kemudian suami menikahinya dengan
akad yang baru. Sekiranya, ‘iddah raj’I itu dibiakan habis dan
dibiarkan juga menikah dengan laki-laki lain, kemudian mereka
bercerai, dan nikah kembali dengan bekas suaminya yang pertama,
maka jumlah talak yang menjadi hak suami, tinggal sisanya, jadi,
missal suami telak menalak raj’I satu kali, makai a tinggal memiliki
hak dua kali.
c. Rukun dan Syarat Rujuk dalam Islam
Rukun dan syarat-syarat rujuk adalah hal yang harus dipenuhi untuk
terlaksananya sebuah perbuatan rujuk tersebut.5 Di antara rukun dan
syarat-syarat rujuk tersebut adalah sebagai berikut :
1. Istri
keadaan istri disyaratkan sebagai berikut.
a. Sudah dicampuri, karena istri yang belum dicampuri apabila ditalak,
terus putus pertalian antara keduanya, 6Jika istri dicerai belum
pernah dicampuri, maka tidak sah rujuk, tetapi harus dengan
perkawinan baru lagi.
b. Istri yang tertentu. Kalau suami menalak beberapa istrinya,
kemudian ia rujuk kepada salah seorang dari mereka dengan tidak
ditentukan siapa yang dirujukkan, rujuknya itu tidak sah.

5
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2014), h. 341
6
Selamet Abidin, Fikih Munakahat, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), h. 154

13
c. Talaknya adalah talak raj‟i. jika ia ditalak dengan talak tebus atau
talak tiga, ia talak dapat dirujuk lagi.7 Kalau bercerainya dari istri
secara fasakh atau khulu atau cerai dengan istri yang ketiga kalinya,
atau istri belum pernah dicampuri, maka rujuknya tidak sah.8
d. Rujuk itu terjadi sewaktu istri masih dalam iddah talaq raj‟i. laki-
laki masih mempunyai hubungan hukum dengan istri yang
ditalaknya secara thalaq raj‟i, selama masih berada dalam iddah.
Sehabis iddah itu putuslah hubungannya sama sekali dan dengan
sendirinya tidak lagi boleh dirujuknya.9
2. Suami
Rujuk itu dilakukan oleh suami atas kehendak sendiri, artinya
bukan,10 atau laki-laki yang merujuk adalah suami bagi perempuan yang
dirujuk yang dia miliki dia menikahi istrinya itu dengan nikah yang sah,
dan laki-laki yang merujuk mestilah seseorang yang mampu
melaksanakan pernikahan dengan sendirinya, yaitu telah dewasa dan
sehat akalnya dan bertindak dengan kesadarannya sendiri. Seseorang
yang masih belum dewasa atau dalam keadaan gila tidak ada rujuk yang
dilakukan. Begitu pula bila rujuk itu dilakukan atas paksaan dari orang
lain, tidak sah rujuknya. Tentang sahnya rujuk orang yang mabuk karena
sengaja minum yang memabukan, ulama beda pendapat sebagaimana
beda pendapat dalam menetapkan sahnya akad yang dilakukan oleh
orang mabuk.11
3. Saksi

7
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar 2011), h. 328
8
Selamet Abidin, Fikih Munakahat, (Bandung: CV Pustaka Setia), h. 154
9
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, …, h. 341
10
syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, …, h. 328
11
Amir Syarifuddin, Hukum perkawinan Islam di Indonesia, …, h. 341

14
Dalam hal ini Para ulama masih berbeda pendapat, apakah saksi itu
wajib menjadi rukun atau sunat. Sebagian mengatakan wajib, sedangkan
yang lain mengatakan tidak wajib, melainkan hanya sunah.12
Fuqoha telah berpendapat tentang adanya saksi dalam rujuk, apakah
ia menjadi syarat sahnya rujuk atau tidak. Imam Malik berpendapat
bahwa saksi dalam rujuk adalah disunahkan, sedangkan Imam Syafi‟i
mewajibkan adanya dua orang saksi sebagaimana yang berlaku dalam
akad nikah.
4. Ada ucapan rujuk yang diucapkan oleh laki-laki yang merujuk.
Rujuk dalam pandangan fiqh adalah tindakan sepihak dari suami.
Tindakan sepihak itu didasarkan kepada pandangan ulama fiqh bahwa
rujuk itu merupakan hak khusus seorang suami. Adanya hak khusus itu
dipahami dari firman Allah dalam surat al-Baqarah (2) ayat 228. Oleh
karena sifatnya yang sepihak itu tidak diperlukan penerimaan dari pihak
perempuan yang dirujuk, atau walinya. Dengan begitu rujuk tidak
dilakukan dalam bentuk suatu akad. Untuk sahnya tindakan rujuk hanya
diperlukan ucapan rujuk yang dilakukan oleh orang yang merujuk.
5. Sighat (lafazh).
Sighat ada dua, yaitu:
a. Terang-terangan, misalnya dikatakan ,” Saya kembali kepada
istri saya,” atau “saya rujuk kepadamu.”
b. Melalui sindiran, misalnya “Saya pegang engkau,” atau
“menikahi engkau,” dan sebagainya, yaitu dengan kalimat boleh
dipakai untuk rujuk atau lainnya. Sighat sebaiknya merupakan
perkataan tunai, berarti tidak digantungkan dengan sesuatu.
Umpamanya dikatakan, “Saya kembali kepadamu jika engkau
suka,” atau “Kembali kepadamu kalau si Anu datang.” Rujuk
yang digantungkan dengan kalimat seperti itu tidak sah.

12
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, …, h. 238

15
c. Dengan perbuatan: Ada ikhtilaf dikalangan ulama atas hukum
rujuk dengan perbuatan. Imam Syafi‟i berpendapat tidak sah,
karena dalam ayat di atas, Allah menyuruh agar rujuk tersebut
dipersaksikan, sedangkan yang dapat dipersaksikan hanya
dengan sighat (perkataan). Perbuatan itu tidak dapat
dipersaksikan oleh orang lain. Akan tetapi menurut pendapat
kebanyakan ulama, rujuk dengan perbuatan itu sah (boleh).
d. Kedua belah pihak dan istri yakni dapat hidup bersama kembali
dengan baik. Jika keduanya, tidak yakin dapat hidup kembali
dengan baik, maka rujuknya tidak sah.13
Dalam surat Al-Baqarah ayat 230, ayat ini merupakan penjelasan
dari ayat sebelumnya, Apabila seorang suami mentalak istri dengan
sekali talak atau dua kali setelah mencampurinya, ia boleh ruju‟
kepadanya tanpa meminta ridhanya selama ia masih dalam masa
iddah. Tetapi jika bekas suaminya tidak merujuknya sampai habis
masa iddahnya atau mentalaknya sebelum mencampurinya, maka
tidak halal baginya ruju‟ kepada bekas istrinya kecuali dengan akad
nikah baru yang disetujui oleh bekas istrinya. Apabila ia
mentalaknya tiga kali sekaligus, maka tidak halal baginya ruju‟
kepada bekas istrinya kecuali jika ia sudah pernah kawin dengan
suami lain dan campur dengannya.14
d. Macam-macam Rujuk
1. Hukum rujuk pada talak raj‟i
Kaum muslimin telah sependapat bahwa suami mempunyai hak
rujuk istri pada talak raji selama masih berada dalam masa iddah tanpa
mempertimbangkan persetujuan istri, Fuqoha juga sependapat bahwa

13
Selamet abidin, Fiqih Munakahat 2, …,h.153
14
Ahmad Mustofa Al-Maragi, Tafsir Almaragi, juz 1, 2, 3, (Semarang:CV Toha Putra 1974),
h. 295

16
syariat talak raji ini harus terjadi setelah dukhul (pergaulan) dan rujuk
dapat terjadi dengan kata-kata dan saksi.
Adapun batas-batas tubuh bekas istri yang boleh dilihat oleh suami,
fuqoha berselisih pendapat mengenai batas-batas yang boleh dilihat oleh
suami dari istrinya yang dijatuhi talak raj‟i selama ia berada dalam
masa iddah.
Malik berpendapat bahwa suami tidak boleh bersepi-sepi dengan
istri tersebut, tidak boleh masuk kekamarnya kecuali atas persetujuan
istri, dan tidak boleh melihat rambutnya.
Abu Hanifah berpendapat bahwasanya tidak mengapa (tidak
berdosa) istri tersebut berhias diri untuk suaminya, memakai wangi-
wangian, serta menampakan jari-jemari dan celak. Pendapat ini
dikemukakan pula oleh Tsauri, Abu Yusuf, dan Auza‟i.15
2. Hukum Rujuk pada Talak Bain
Talak bain bisa terjadi karena bilangan talak yang kurang dari tiga.
Ini terjadi pada yang belum digauli tanpa diperselisihkan. Talak bain
bisa terjadi pada istri yang menerima khulu‟, dengan silang pendapat.
Hukum rujuk sesudah talak tersebut sama dengan nikah baru, yakni
tentang persayaratan adanya mahar, wali, dan persetujuan. Hanya saja,
jumhur fuqoha berpendapat bahwa untuk perkawinan ini tidak
dipertimbangkan berakhirnya masa iddah.
Mazhab sepakat tentang orang yang telah menalak istrinya dengan
talak tiga. Ia tidak boleh menikahinya lagi hingga istrinya yang telah
ditalaknya dinikahi oleh orang lain dan disetubuhi dalam pernikahan
yang sah. Adapun, yang dimaksud pernikahan dalam masalah ini adalah
termasuk persetubuhannya. Hal ini merupakan sayarat

15
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid , (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 593

17
diperbolehkannya menikahi lagi bagi suami pertama mantan istrinya
tersebut bercerai dengan suami yang baru.16
Dari berbagai hukum rujuk yang telah dikemukakan di atas, yang
paling utama ada lima (5) macam yang tergantung kepada kondisi,
antara lain: wajib, haram, makruh, jaiz, dan sunah.
1) Suami wajib merujuk istrinya apabila saat dithalak dia belum
menyempurnakan pembagian waktunya (apabila istrinya lebih
dari satu).
2) Suami haram merujuk istrinya apabila dengan rujuk itu justru
menyakiti hati istrinya.
3) Suami makruh merujuk istrinya apabila rujuk justru lebih buruk
dari cerai (cerai lebih baik dari rujuk).
4) Suami jaiz atau mubah (bebas) merujuk istrinya.
Suami sunah merujuk istrinya apabila rujuk itu ternyata lebih
menguntungkan bagi semua pihak (termasuk anak)17
e. Tujuan dan Hikmah Rujuk
Islam telah menganjurkan apabila perceraian telah terjadi, maka
dianjurkan agar bekas suami dan istri untuk rujuk kembali, apabila
kembalinya mereka demi kemaslahatan rumah tangganya. Diantara tujuan
dan hikmah rujuk yaitu:
1. Tujuan Rujuk
a. Untuk membangun keluarga mereka yang berantakan akibat adanya
perceraian.
b. Untuk menjalin kembali ikatan pernikahan yang hampir putus akibat
perceraian.
c. Untuk memberi kesempatan terhadap bekas suami istri untuk
kembali menjalin rumah tangga mereka denga baik seperti semula.

16
Syaikh al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman Ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab,
(Bandung: Hasyimi, 2013). h .354
17
Ibrahim dan Darsono, Penerapan Fikih, (solo: PT Tiga Srangakai Pustaka Mandiri, 2003),
h. 109

18
d. Untuk mengembalikan tujuan perkawinan, kareana kebaikan
perkawinan tidak akan terwujud sebelum kedua suami istri sama-
sama hidup dalam ikatan akadnya.18
Dengan adanya system rujuk yang diatur oleh syari‟at Islam berarti
Allah SWT, telah memberikan kesempatan bagi hambanya untuk
memperbaiki kembali ikatan dan tujuan perkawinan. Rujuk tersebut
boleh dilakukan baik istri rela atau tidak. Hanya rujuk tersebut haram
jika suami tidak sanggup membayar nafkah. Kemudian jika bekas suami
atau istri tidak bermaksud untuk menjalankan hak dan kewajibannya
sebagai suami istri atau suami ingin menganiaya, menyengsarakan dan
mempermainkan dan berbuat dzalim terhadap istrinya atau sebaliknya
wanita ingin memperolok-olok suaminya, maka apabila terjadi hal
seperti itu maka haramlah bekas suami untuk kembali kepada istrinya.19
Uraian diatas memperhatikan bahwa tujuan rujuk menurut ajaran
Islam yaitu:
1. Untuk mententramkan jiwa mereka (suami istri) dan anak-anak
mereka yang telah goncang dengan adanya perceraian .
2. Untuk mengobati hati masing-masing yang telah dihinggapi oleh
kehawatiran dengan adanya perceraian.
3. Untuk memperbaiki situasi yang buruk dalam keluarga mereka, dan
untuk memperkokoh kembali ikatan perkawinan.
2. Hikmah rujuk
Dianutnya rujuk dalam hukum syara‟ karena terdapat beberapa
hikmah yang akan mendatangkan keselamatan kepada manusia atau
menghilangkan kemaslahatan kepada manusia atau menghilangkan
kesulitan dari manusia.20

18
Sayyid Sabiq, fiqih sunnah, (Bandung: PT Alma’arif, 1987), Cet. Ke-1, h. 151
19
Tihami dan Sohari Sahrani, fikih Munakahat, …, h. 329.
20
Amir Syaruifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, …, h. 347

19
Hikmah yang terkandung dalam penetapan hak ruju‟ bagi seorang
suami ialah- bahwa seorang manusia tidak akan merasakan keagungan
nikmat dan ketinggian kedudukannya melainkan jika ia telah dijauhkan
darinya. Seorang suami yang telah berpisah dengan istrinya. Ia merasa
sangat membutuhkan kehadiran rasa cintanya terhadap bekas istrinya.
Ia merasa sangat membutuhkan kehadirannya kembali, oleh karena
banyaknya kesulitan dan kesusahan yang ia hadapi sepeninggalnya dan
setelah ia jauh darinya. Ia menyesali apa yang ia lakukan terhadap
istrinya. Dalam hal ini, seorang wanita yang tinggi hati dan suka
meremehkan suaminya dan suka meremehkan suaminya dengan tidak
menjalankan apa yang menjadi hak dan kewajiban terhadap suaminya,
apabila ia ditalak oleh suaminya, maka biasanya akan timbul kesadaran
pada dirinya. Ia akan menyadari kekeliruan yang ia lakukan selama ini,
baik dalam masalah hubungan suami istri maupun dalam urusan rumah
tangganya. Sehingga timbul dalam hatinya suatu keinginan untuk
memperbaiki semua kesalahan dan kekeliruan yang pernah ia lakukan
selama ini jika pada suatu saat nanti suami kembali kepadanya.21
Selain yang telah dijelaskan di atas bahwa hikmah rujuk juga
diantaranya:
1. Menghindarkan murka Allah, karena perceraian itu sesuatu yang
sangat dibenci.
2. Bertobat menyesali kesalahan-kesalahan yang lalu untuk
bertekad memperbaikinya.
3. Untuk menjaga keutuhan keluarga, dan menghindari perpecahan
keluarga. Terlebih lagi adalah untuk menyelamatkan masa depan
anak, bagi pasangan yang telah mempunyai keturunan. Telah
diketahui bahwa perceraian yang terjadi dengan alasan apapun
tetap saja menimbulkan efek negatif pada anak.

21
Ahmad Mustofa Al-Maragi, Tafsir Almaragi, …, h. 295

20
4. Mewujudkan islah atau perdamaian. Meski hakikatnya
hubungan perkawinan suami istri bersifat antar pribadi, namun
hal ini sering melibatkan keluarga besar masing-masing.22

3. Tata Cara Rujuk

Menurut KHI rujuk ada dalam pasal 166-169. Pada pasal 166
menjelaskan bahwa rujuk dapat dibuktikan dengan kutipan buku
pendaftaran, dan ketika buku tersebut hilang, sehingga rujuk tidak dapat
dipergunakan lagi, bisa meminta duplikasinya kepada instansi yang
memprosesnya. Pada pasal 167 menjelaskan sebagai berikut :
1) Suami yang akan merujuk istrinya datang bersama istrinya ke PPN
ataupun PPN yang mencakup wilayah tempat tinggal suami,
kemudian istri membawa penetapan tentang terjadinya talak dan
surat administrasi lainnya yang diperlukan.
2) Rujuk dilaksanakan sebab persetujuan istri dihadapan PPN ataupun
pembantu pegawai pencatat nikah.
3) Pegawai pencatat nikah memeriksa serta menyelidiki secara teliti
apakah suami yang merujuk memenuhi syarat rujuk menurut
hokum munahakat, meneliti apakah rujuk yang akan dilaksanakan
masih dalam masa iddah talak raj’I, kemudian memastikan apakah
yang dirujuk benar-benar istrinya
4) Kemudian suami menetapkan rujuknya dan kedua pihak beserta
saksi-saksi menandatangani buku pendaftaran rujuk
5) Setelah rujuk itu dilakukan PPN membrikan nasihat suami istri
tentang hukum dan kewajiban mereka yang berkorelasi dengan
rujuk
Pasal 168 berbunyi :

22
Amir Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006 cet ke 3), h.
274

21
1) Kasus rujuk dilaksanakn dihadapan pembantu pegawai pencatat
nikah, daftar rujuk dirangkap dua, dipenuhi atau diisi datanya, serta
ditandatangani oleh kedua pihak yang bersangkutan beserta para
saksi, rangkap yang pertama dikirim ke PPN yang mencakup
wilayah pemohon beserta surat administrasi yang diperlukan untuk
dicatat dalam buku pendaftaran rujuk, lalu lainnya disimpan.
2) Pengiriman rangkap pertama dari daftar rujuk oleh pembantu PPN
dilaksanakan paling lambat lima belas hari setelah rujuk
dilaksanakan.
3) Jika lembar dari daftar rujuk itu hilang, maka pembantu PPN
membuat salinan dari daftar rangkap dua, dengan berita acara
sebab hilangnya surat tersebut.
Pasal 169 menjelaskan :
1) Pegawai PPN membuatkan surat keterangan tentang terjadinya
rujuk dan mengirim ke pengadilan agama di tempat terjadinya talak
yang bersangkutan dan kepada suami istri masing-masing diberi
kutipan buku pendaftaran rujuk mengikuti contoh yang telah
ditetapkan oleh menteri agama.
2) Suami istri atau kuasanya membawa kutipan buku pendaftaran
rujuk ke pengadilan agama ditempat terjadinya talak untuk
mengurus dan mengambil kutipan akta nikah kedua belah pihak,
setelah diberi catatan oleh pengadilan agama dalam ruang yang
telah tersedia pada kutipan akta nikah, bahwa yang bersangkutan
sudah rujuk.
3) Catatan yang dimaksud dalam ayat (2) berisi tempat terjadinya
rujuk atau tanggal rujuk yang diikrarkan, nomor serta tanggal
kutipan buku pendaftaran rujuk dan tandatangan panitera.23

23
Undang-undang Perkawinan dan KHI, h. 233-234

22
Dari Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia (PERMENAG) No. 11
tahun 2007 dalam pasal 29 dan 30 tentang pencatatan rujuk dijelaskan pada
pasal 29:
1) Kedua belah pihak yang ingin melakukan rujuk, memberitahu ke
PPN secara tertulis dilengkapi dengan akta cerai atau talak.
2) PPN seperti yang dimaksud pada pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 ayat
(1) memeriksa, meneliti dan menilai persyaratan rujuk.
3) Suami mengucapkan ikrar rujuk didepan PPN atau penghulu
maupun pembantu PPN.
4) PPN mencatat kejadian rujuk dalam akta rujuk yang telah
ditandatangani oleh kedua belah pihak, para saksi dan PPN
Pasal 30 menjelaskan;
1) Kutipan buku pendaftaran rujuk yaitu sah jika telah ditandatangani
oleh kepala KUA sebagai PPN
2) Kutipan buku catatan rujuk segera diberikan kepada pihak yang
bersangkutan setelah akta rujuk disahkan.
3) KUA menyampaikan pemberitahuan rujuk kepada pengadilan untuk
pengembalian buku nikah24

24
Peraturan Menteri Agama No. 11 tahun 2007, h 11-12

23
C. KESIMPULAN

1. Iddah artinya masa menunggu bagi wanita untuk melakukan perkawinan


setelah terjadinya perceraian dengan suaminya, baik cerai hidup maupun
cerai mati, dengan tujuan untuk mengetahui keadaan rahimnya atau untuk
berpikir bagi suami. Dasar hukum iddah dijelaskan dalam undang-undang
nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, peraturan pemerintah nomor 9
tahun 1975 masalah ini dijelaskan dalam bab VII pasal 39. Dan dalam
kompilasi hukum Islam dijelaskan pada pasal 153,154, dan 155.
2. kompilasi hukum Islam dijelaskan pada pasal 153,154, dan 155. Pasal 153
ayat (1) kompilasi menyatakan: “bagi seorang istri yang putus
perkawinannya berlaku waktu tunggu atau ‘iddah, kecuali qabla al-dukhul
dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami.”
3. Macam-macam iddah diantaranya; 1) putus perkawinan karena ditinggal
mati suami; 2) putus perkawinan karena perceraian; 3) putus perkawinan
karena khulu’,fasakh, dan li’an; 4) istri ditalak raj’I suami kemudian
ditinggal mati pada saat masa iddah.
4. Menurut kesepakatan ulama fiqh, perempuan yang menjalani iddah akibat
thalak raj'i atau dalam keadaan hamil suaminya wajib menyediakan seluruh
nafkah yang dibutuhkan perempuan tersebut. Akan tetapi bila masa iddah
yang dijalani adalah iddah karena kematian suami, maka perempuan itu
tidak mendapatkan nafkah apa pun karena kematian telah menghapuskan
seluruh akibat perkawinan.
5. rujuk adalah kembalinya suami kepada hubungan nikah dengan istri yang
telah dicerai raj’i, dan dilaksanakan selama istri masih dalam masa 'iddah.
6. Dalam kompilasi dijelaskan pada bab XVIII Pasal 163,164,165, dan 166.
Pasal 163; Seorang suami dapat merujuk istrinya yang dalam masa ‘iddah.
Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal; a) putusnya perkawinan karena talak,
kecuali talak yang telah jatuh tiga kali atau talak yang dijatuhkan qabla al-
dukhul; b)Putusnya perkawinan berdasar putusan pengadilan dengan alasan
atau alasan-alasan selain zina dan khulu’.

24
7. Rukun dan syarat rujuk antara lain; istri, suami, saksi, ada ucapan rujuk yang
diucapkan oleh laki-laki yang merujuk, dan sighat (lafadz).
8. Macam rujuk ada dua: yakni Talak Ba’in dan Talak Raj’i.
9. Menurut KHI rujuk ada dalam pasal 166-169. Pada pasal 166 menjelaskan
bahwa rujuk dapat dibuktikan dengan kutipan buku pendaftaran, dan ketika
buku tersebut hilang, sehingga rujuk tidak dapat dipergunakan lagi, bisa
meminta duplikasinya kepada instansi yang memprosesnya.

25
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, S. (1999). Fikih Munakahat. Bandung: CV Pustaka Setia.


Ad-Dimasyqi, S. A.-A. (2013). Fiqih Empat Madzhab. Bandung: Hasyimi.
Al-Jaziri, A. A.-R. (1986). Al-Fithrotin 'ala madzahib al-arba'ah. Beirut: Dae al-
fikr.
Al-Maragi, A. M. (1974). Tafsir Al-Maragi. Semarang: CV Toha Putra.
Ayyub, S. H. (2011). Fikih Keluarga. Jakarta : Pustaka Al Kautsar.
Dahlan, A. A. (1996). Ensiklopedi Hukum Islam Jilid II. Jakarta: Van Houve.
Ibrahim, & Darsono. (2003). Penerapan FIkih. Solo: PT Tiga Srangkai Pustaka
Mandiri.
Nur, D. (1993). Fiqh Munakahat. bengkulu: Dina Utama Semarang.
Rofiq, A. (2017). Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Depok: PT. Rajawali Press.
Rusyd, I. (2007). Bidayatul Mujtahid. Jakarta: Pustaka Azzam.
Sabiq, S. (1987). Fiqih Sunnah. Bandung: PT Alma'arif.
Syarifuddin, A. (2014). Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Thalib, S. (1986). Hukum Kekeluargaan Indonesia (Berlaku bagi Umat Islam).
Jakarta: UI Press.

26

Anda mungkin juga menyukai