Anda di halaman 1dari 43

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG IDDAH DAN HAID

A. IDDAH

1. Pengertian ‘iddah

Istilah „iddah sebenarnya sudah dikenal sejak zaman jahiliyah.

Dimana orang-orang pada saat itu hampir tidak pernah meninggalkan

kebiasaan „iddah ini. Kemudian ketika Islam datang kebiasaan ini diakui

dan dijalankan terus, karena ada beberapa kebaikan yang terkandung

didalamnya, kemudian para ulama sepakat „iddah itu wajib hukumnya 45.

Secara etimologi, al-„iddah diambil dari kata al-„add dan al-hisab

adalah masdar Fi‟il madhi ( ‫ ) عد‬yang artinya “ menghitung “46. Jadi kata

„iddah artinya menghitung, hitungan atau sesuatu yang terhitungkan.

„iddah adalah merupakan masa menunggu bagi wanita untuk melakukan

perkawinan setelah terjadinya perceraian dengan suaminya, baik cerai

hidup maupun cerai mati, dengan tujuan untuk mengetahui keadaan

rahimnya47.

Sedangkan secara terminology, para ulama telah merumuskan

pengertian „iddah menjadi beberapa pengertian, seperti Ash Shon‟ani

memberi defenisi sebagai berikut:

45
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, penerjemah: Muh. Tholib (Bandung: Al-Ma‟arif, 1993),
Cet. 2, jilid 8. h. 139-140
46
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir (Darul Ma‟arif, 1984), h. 969, Lihat di
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Munakahat Khitbah,
Nikah dan Talak, (Jakarta : Amzah, 2011), Cet. II, h. 318.
47
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996), Cet. 6, h. 637

30
31

‫اسم لمدة تتر بص بها المر اة عن التز ويخ بعد وفازة وجها وفر اقة لها اما‬
48
‫بالوالدة او االقر اءاو االشهر‬
Artinya : “„iddah adalah suatu nama bagi suatu masa tunggu yang wajib
dilakukan oleh wanita untuk tidak melakukan perkawinan
setelah kematian suaminya atau perceraian dengan suaminya
itu, baik dengan melahirkan anaknya, atau beberapa kali
suci/haid atau beberapa bulan tertentu.

Abu Zahrah49 memberi defenisi „iddah sebagai berikut:

50
‫اجل ضرب النفضاءما بفي من اثر النكا ح‬
Artinya : “„iddah adalah suatu masa yang ditetapkan untuk mengakhiri

pengaruh-pengaruh perkawinan”.

Sedangkan menurut ulama Syafi‟iyah „iddah diartikan sebagai berikut:

51
‫مدة تتر بض فيها المر اة المعر فة بر اءة رحمها او لتفجعها على زوج‬
Artinya : “Masa yang harus dilalui oleh istri (yang ditinggal mati atau

diceraikan oleh suaminya) untuk mengetahui kesucian

rahimnya, mengabdi atau berbela sungkawa atas kematian

suaminya”.

48
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Di Indonesia Anatara Fiqih Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2009), Cet. 3, h. 303
49
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ahmad bin Mustafa Abu Zahrah. Lahir
dikota al-Mahalla al-Kubro, Mesir tahun 1898. Ia adalah seorang ulama, pejuang, mandiri,
berwibawa, ahli Fiqih, dan ijtiha, serta menghabiskan umurnya untuk menyebarkan agama Islam.
Syekh Abu Zahrah memiliki madrasah yang meluluskan ribuan ulama di timur dan barat. Ia adalah
orang yang pertama kali mengajar difakultas hukum Universitas Kairo sejak didirikannya dan juga
sebagai orang yang pertama yang membuka jurusan Syari‟ah Islam difakultas tersebut, sekaligus
mengajar tanpa gaji. Lihat dalam. Amirullah Kandu, Lc. Ensiklopedi Dunia Islam, (Bandung:
Pustaka Setia, 2010), h. 569
50
Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah, (Kairo : Dar Al-Fikr Al-„Arabi,
t.th), h. 435, Lihat juga di Departemen Agama RI, Ilmu Fiqih, (Jakarta: Proyek Pembinaan
Prasarana dan sarana Perguruan tinggi Agama, tth), Cet. II, h. 274
51
Abdul Rahman Al Jaziri, Kitab Fiqih „ala Madhahibil Ar Ba‟ah, (Darul Kutub Al
„Ilmiah, tth), juz. IV, h. 451
32

2. Dasar Hukum ‘Iddah

Setelah terjadinya perceraian adanya masa iddah bagi wanita, masa

iddah disini maksudnya adalah masa penantian yang telah ditentukan oleh

syari‟at. Dalil mengenai adanya iddah ini ada dalam Al-kitab, As-Sunnah,

dan Ijma‟ Ulama52.

1) Al-Qur’an

a) Dalam surat Al-Baqarah ayat 228 Allah telah menjelaskan

tentang „iddah wanita yag diceraikan suaminya, sebagai berikut:

ُّ ُ ُ ۡ َّ ۡ
َ‫س ُِ َّي َذلَٰرث َك ُر ٓوء ٖۚ َوَل ََيِل َل ُُ َّي َأن‬ ِ ‫ج َحَت َّبصي َةِأًف‬ َ ُ َٰ‫وَٱل ُىطنق‬
َّ ۡ ُ َّ ۡ
َ ‫ِف َأ ۡرحا ِم ُِ َّي َإِن َز َّي َيُؤو َِّي ََة ِٱ‬
َِ ‫ّلل‬ َُ ‫يس ُخ ۡىي َوا َخنق َٱ‬
ٓ ِ َ ‫ّلل‬
ْ ُ ۡ
َ‫َِف َذَٰل ِم َإِن َأرَاد ٓوَا‬ ‫ِي‬ َّ َ‫خ َر َو ُب ُعَِلُ ُُ َّي َأح ُّق َةر ّ ِد‬ ِ ‫ٓأۡل‬ ‫ٱ‬َ َ
‫م‬ِ ۡ ‫وَٱ ۡۡل‬
ِ
ِ ِ ِٖۚ
َ‫ال َعن ۡي ُِ َّي‬ ‫ج‬ّ ‫وف َول‬
‫ِنر‬ َ
ٖۚ ِ ُ ‫إ ِ ۡصل َٰ ٗحاَ َول ُُ َّي َو ِۡر ُل َٱ ََّّلِي َعن ۡيُ َّي ََةٱلۡى ۡع‬
‫ر‬
ِ ِ ِ ِ
ٌ ‫يزَحك‬ ٌ ‫ّللَعز‬ ُ َّ
َ َ53٢٢٨َ‫ِيه‬ ِ َ ‫َوَٱ‬ٞۗ‫درجث‬
Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka
Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari
akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami)
menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak
yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara
yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu
tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Al-
Baqarah [2]: 228).

b) Surat At-Thalaq ayat 1 yang berbunyi :

52
Saleh al-Fauzan, Fiqih sehari-hari, penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, Dkk,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2005), Cet. 1, h. 729
53
Departemen Agama RI, Op. Cit, h. 36
33

ۡ ْ ُ ُّ ٓ ّ ۡ َّ
54
‫إِذاَطنل ُخ ُهَٱمنِساءََذطنِلَِ َّيَمِعِ َّدح ِ ُِ َّيَوأ ۡح ُصِاَٱمعِ َّد َة‬
Artinya : “Apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka

hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka

dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)” (QS.

Ath-Thalaq [65]: 1).

Ayat di atas menjelaskan bahwa seorang suami jika

hendak menceraikan istrinya haruslah pada saat atau waktu-waktu

yang dibenarkan oleh syari‟at, seperti tidak dalam masa haid.

c) Surat Al-Baqarah ayat 234 :

ُ ۡ ‫ٌِس ۡه َويذ ُرون َأ ۡزو َٰ ٗجا َحَت َّب‬ ُ َّ ُ َّ


َ‫س ُِ َّي‬‫ًف‬
ِ ِ ‫أ‬ ‫ة‬ َ ‫ي‬‫ص‬ ‫و‬ َ ‫ن‬ِۡ ‫ف‬ ِ‫خ‬ ‫ح‬ َ ‫ِيي‬
َ ‫َّل‬ ‫وَٱ‬
ُ
َ‫َجٌاح َعن ۡيس ۡه‬ ُ ‫ۡشا َفإذا َةن ۡغي َأجن ُُ َّي َفَل‬ ٗ ۡ ‫أ ۡربعث َأ ۡش ُُر َوع‬
ِ
ُ َّ ۡ ُ ٓ ۡ
َ٢٣٤َ‫ّللَةِىاَت ۡعىنِنَختِري‬ َُ ‫وفَوَٱ‬ َ ِ ‫س ُِ َّيََة ِٱلى ۡع ُر‬
ِ ‫َِفَأًف‬ ِ ‫ذِيىاَذعني‬
Artinya : “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu
dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para
isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat
bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis
'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka
menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat” (QS. Al-Bqarah [2]: 234).
Ayat di atas menjelaskan bahwa bagi seorang wanita yang

ditinggal oleh suaminya karena sebab meninggal dunia maka sang

istr tersebut wajib menangguhkan atau menahan dirinya

(beriddah) selama empat bulan sepuluh hari.

d) Surat Al-Ahzab ayat 49 yang berbunyi :


54
Departemen Agama RI, Op. Cit, h. 38
34

ُ ۡ َّ ُ َٰ ۡ ُ ۡ ُ ُ ۡ ْ َّ
َ‫ج َث َّه َطنل ُخ ُىَِ َّي‬
َِ ‫يأ ُّحُا َٱَّلِييَ َءاو ٌُ ِٓا َإِذا ًَسحخه َٱلىؤوِن‬ َٰٓ
ُ ُ
َ‫وِيَر ۡت ِل َأنَتى ُّسَِ َّي َذىاَمس ۡه َعن ۡي ُِ َّي َو ِۡي َع َِّدة َت ۡعخ ُّدوجُا‬
ٗ ٗ ‫َِ َّيَس‬ ُ ُ ّ َّ ُ ُ ّ
َ 55َ٤٩َ‫احاََجِيَل‬ ‫سح‬ِ ‫ذىخِعَِيَو‬
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
menikahi perempuan- perempuan yang beriman,
kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas
mereka 'iddah bagimu yang kamu minta
menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah
dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang
sebaik- baiknya” (QS. Al-Ahzab [33]: 49).

Ayat di atas menjelaskan bahwa seorang wanita yang telah

dinikahi akan tetapi belum dicampuri oleh suaminya maka tidak

ada iddah bagi perempuan tersebut jika terjadi perceraian diantara

keduanya.

e) Surat At-Thalaq ayat 4 :

ُ ُ ٓ ّ ۡ ۡ ‫وَٱ َّ َٰٓلـٔيَيه‬
َ‫يضَوِيَن ِسانِس ۡهَإ ِ ِنَٱ ۡرح ۡب ُخ َۡهَف ِع َّدت ُُ َّي‬
َِ ‫ح‬ ِ ‫ى‬ ‫ل‬‫ٱ‬َ ‫ِي‬ ‫و‬ َ ‫ي‬‫س‬ ِ ِ
ُ ۡ ۡ ُ َٰ ْ ُ ۡ َّ ۡ ُ
َ‫ج َٱۡلۡحا َِل َأجن ُُ َّي َأن‬ ‫ذلَٰرث َأش ُُر َوَٱ َٰٓل ِـٔي َل ۡه ََيِظي َوأول‬
َ٤َ‫ۡسا‬ ُ َّ ‫َيع‬
ٗ ۡ ُ ‫لَّلۥَو ِۡيَأ ۡمرَه ِۦَي‬
َ
ۡ َّ َّ ۡ
َ ‫يظ ۡعيَۡحن ُُ َّيَوويَحخ ِقَٱ‬
َ‫ّلل‬
ِ
56

Artinya : “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi


(monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika
kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa
iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula)
perempuan-perempuan yang tidak haid. dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah
mereka itu ialah sampai mereka melahirkan
kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa

55
Departemen Agama RI, Op. Cit, h. 424
56
Departemen Agama RI, Op. Cit, h. 558
35

kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya


kemudahan dalam urusannya” (QS. Ath-Thalaq [65]:
4).
Ayat di atas menjelaskan tentang beberapa hal yaitu yang

pertama, iddah bagi perempuan yang telah monopause atau tua

serta perempauan yang tidak haid lagi maka iddahnya adalah tiga

bulan, sedangkan yang kedua menjelaskan tentang bahwa iddah

bagi perempuan yang hamil adalah sampai ia melahirkan.

2) Al-Hadits

a) Selain di dalam Al-Qur‟an „iddah juga dijelaskan di dalam hadist

Rasulullah, sebagai berikut:

َ‫ت َس ْع ِد بْ ِن َخ ْولَة‬ َ ‫ت تَ ْح‬ ْ َ‫ث األَ ْسلَ ِميَّ ِة أَنَّهاَ كان‬ ِ ‫ت الْحا ِر‬
َ
ِ ‫َعن سب ْي َعةَ بِْن‬
َُ ْ
‫الو َد ِاع َو ِى َي‬ ِ ِ
َ ‫َو ُى َو م َّم ْن َش ِه َد بَ ْد ًرا فَتُ ُو فِّ َي َع ْن َها َزْو ُج َما في َح َّجة‬
ِ
‫ت ِم ْن‬ ْ َّ‫ت َح ْملَ َها بَ ْع َد َوفَاتِ ِو فَ لَ َّما تَ َعل‬ ْ ‫ض َع‬َ ‫ب أَ ْن َو‬ ْ ‫ش‬ َ ‫َح ِام ٌل فَ لَ ْم تَ ْن‬
‫ك‬ ٍ ‫السنَابِ ِل بْن ب ْع َك‬
َ ُ َّ ‫اب فَ َد َخ َل َعلَْي َها أَبُ ْو‬ ِ َّ‫ْخط‬ ُ ‫ت لِل‬ ْ َ‫اس َها تَ َج َّمل‬ ِ ‫نَِف‬
‫ك تُ ِريْ ِديْ َن‬ِ َّ‫اك متَج ِّملَةً لَ َعل‬ ِ ِ َّ ‫َر ُج ٌل ِم ْن بَنِ ْي َع ْب ِد‬
َ ‫الدا ِر فَ َق‬
َ ُ ‫ال لَ َها َما لي أ ََر‬
‫ك أ َْربَ َعةُ أَ ْش ُه ِر‬ ِ ‫ت تَم َّر َعلَْي‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ‫النِّ َك‬
ُ َّ ‫اح أنَّك َواهلل َما اَنْت بنَاك ِح َح‬ َ
‫ت َعلَ َّي ثِيَابِي ِح ْي َن‬ ُ ‫ك َج َم ْع‬ َ ِ‫ال لِي ذَل‬ َ َ‫ت ُسبَ ْي َعةُ فَ لَ َّما ق‬ ْ َ‫َو َع ْش ًرا قَال‬
‫ك‬ َ ِ‫سأَلْتُوُ َع ْن ذَل‬ َّ ِ
َ َ‫صلى اهللُ َعلَْيو َو َسل َم ف‬
َّ َ ‫هلل‬ِ ‫رسوال‬
َ ‫ت‬ ُ ‫ت فَأَتَ ْي‬ ُ ‫س ْي‬
َ ‫أ َْم‬
‫ويج إِ ْن‬ِ ‫ت َح ْملِي َوأ ََم َرنِي بِالت َّْز‬ ُ ‫ض ْع‬َ ‫ْت ِح ْي َن َو‬ ُ ‫فَأَفْ تَانِي بِأَنِّي قَ ْد َحلَل‬
57 ِ
‫بَ َدا لي‬
Artinya : “Dari Subai‟ah binti Al-Harits Al-Aslamiyah ia
merupakan Sa‟ad bin Khaulah, salah seorang

57
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (Ar-Riyad: Darussalam, 1420 H/ 1999 M), Cet. Ke-1,
h. 2027
36

syuhada‟ perang badar. Ia wafat pada haji wada‟ dan


istrinya sedang hamil. Ia tidak menetap sehingga
melahirkan setelah suaminya wafat. Setelah bersih
dari darah nifasnya ia berhias untuk pinangan.
Datanglah kepadanya Abu As-Sanabil bin Ba‟kak
_seorang laki-laki dari Bani Abdi Ad-Dar, berkatalah
kepadanya: “Diriku tidak melihatmu seorang yang
berhias, apakah engkau ingin menikah? Demi Allah,
aku tidak menikahimu sehingga berlalu empat bulan
sepuluh hari. “Subai‟ah berkata: “ketika ia berkata
demikian kepadaku, aku beresi pakaianku hingga
sore. Lalu kutemui Rasulullah, aku tanyakan
masalahku kepadanya. Nabi memberi fatwa bahwa
kau telah halal ketika telah melahirkan dan menyuruh
menikah jika telah jelas bagiku” (HR. Ibnu Majah)
Hadits di atas menjelaskan bahwa bagi seorang perempuan

yang suaminya meninggal saat ia sedang hamil maka iddahnya

adalah masa yang terpanjang, yaitu sampai ia melahirkan tanpa

harus menambah masa iddahnya empat bulan sepuluh hari.

b) Hadist kedua yang menjelaskan tentang adanya „iddah bagi

wanita yaitu sebagai berikut:

‫يس َع ْن ُعبَ ْي ِد‬ ِ ِ ِ َّ ِ


َ ‫َح َّدثَنَا أَبُو بَ ْك ِر بْ ُن أَبي َش ْيبَةَ َح َّدثَنَا َع ْب ُد اللو بْ ُن إ ْدر‬
ِ َ َ‫اللَّ ِو َع ْن نَافِ ٍع َع ْن ابْ ِن ُع َم َر ق‬
‫ض فَ َذ َك َر‬ ٌ ِ‫ت ْام َرأَتِي َوى َي َحائ‬ ُ ‫ال طَلَّ ْق‬
‫اج ْع َها‬ ِ ‫ال مرهُ فَ لْي ر‬ َّ ِ َّ َّ َ ِ‫ول اللَّو‬ ِ ‫ك ُعمر لِر ُس‬ ِ
َ ُ ْ ُ َ ‫صلى اللوُ َعلَْيو َو َسل َم فَ َق‬ َ ُ َ َ ‫ذَل‬
‫يض ثُ َّم تَط ُْه َر ثُ َّم إِ ْن َشاءَ طَلَّ َق َها قَ ْب َل أَ ْن يُ َج ِام َع َها‬ ِ
َ ‫َحتَّى تَط ُْه َر ثُ َّم تَح‬
ُ‫س َك َها فَِإنَّ َها الْعِ َّدةُ الَّتِي أ ََم َر اللو‬
58 َّ
َ ‫َوإِ ْن َش‬
َ ‫اء أ َْم‬
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu
Syaibah berkata, telah menceritakan kepada kami
Abdullah bin Idris dari Ubaidullah dari Nafi' dari Ibnu
Umar ia berkata, "Aku telah menceraikan isteriku
58
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (Ar-Riyad: Darussalam, 1420 H/ 1999 M), Cet. Ke-1,
h. 289
37

padahal ia sedang haid." Lalu Umar menceritakan hal


itu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam,
beliau lalu bersabda: "Perintahkanlah ia untuk
merujuknya hingga kembali suci, kemudian haid,
kemudian suci, kemudian mencerainya sebelum ia
mensetubuhinya kembali, atau tetap menahannya
sebagai isteri jika ia mau, itulah iddah yang Allah
telah perintahkan”. (HR.Ibnu majah, No 2023).

Hadits di atas menjelaskan bahwa seseorang hendak

menceraikan istrinya haruslah pada waktu-waktu yang

dibenarkan oleh syari‟at, seperti sang istri yang tidak dalam masa

haid.

3) Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan KHI

Selain dalam Al-Qur‟an dan Al-Hadits „iddah juga diatur dalam

undang-undang perkawinan, yaitu undang-undang No. 1 tahun 1974

pasal 29 yang berbunyi:

a. Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam pasal

11 ayat 2 undang-undang ditentukan sebagai berikut:

1) Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu

ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.

2) Apabila perkawinan putus karena perceraian waktu tunggu

bagi yang masih haid ditetapkan 3 (kali) suci dengan

sekurang-kurangnya 90 (Sembilan puluh) hari.

3) Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut sedang

dalam hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan59.

59
Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
38

b. Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan

karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas

suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin.

c. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu

tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang

mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi

perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu

dihitung sejak kematian suaminya60.

Masalah „iddah sudah diatur dalam undang-undang

perkawinan, sehingga bagi wanita yang diceraikan suaminya maka

berlaku „iddah baginya tergantung keadaan yang dialami oleh wanita

tersebut. Selain didalam undang-undang perkawinan masalah „iddah

juga sudah ada diatur didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Mengenai waktu tunggu dalam KHI yaitu pasal 153 yang berbunyi:

1. Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu

tunggu atau „iddah, kecuali qabla al dukhul dan perkawinannya

atau bukan karena kematian suami.

2. Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:

a. Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qabla

al dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh)

hari.

60
Undang-undang Perkawinan, (Bandung: Fokus Media, 2005), h. 45
39

b. Apabila perkawinan putus karena perceraian waktu tunggu

bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan

sekurang-kurangnya 90 (Sembilan puluh) hari, dan bagi yang

tidak haid ditetapkan 90 (Sembilan puluh) hari.

c. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda

tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan

sampai melahirkan.

d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda

tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan

sampai melahirkan.

3. Tidak ada waktu tunggu bagi wanita yang putus perkawinan

karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas

suaminya qabla al dukhul.

4. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu

tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan agama yang

mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi

perkawinan yang putus karena kematian tanggang waktu tunggu

dihitung sejak kematian suami.

5. Waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedangkan pada waktu

menjalani „iddah tidak haidh karena menyusui, maka „iddahnya

tiga kali suci.

6. Dalam hal keadaan pada ayat 5 bukan karena menyusui, maka

„iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu
40

tahun tersebut ia berhaid kembali, „iddahnya menjadi tiga kali

suci61.

Didalam KHI beberapa „iddah sudah dijelaskan, dan wanita

bisa menjalani „iddah sesuai dengan perceraian yang dialaminya,

seperti percerain karena thalaq, kematian suami, kematian suami tapi

dalam keadaan hamil kecuali wanita itu belum berhubungan dengan

mantan suaminya maka tidak ada „iddah baginya.

3. Macam-macam ‘iddah

Secara garis besar „iddah dibagi menjadi dua:

1. „iddah karena meninggalnya suami

Dalam hal ini posisi „iddah ada dua kemungkinan, yaitu wanita

yang dalam keadaan hamil dan tidak hamil. Apabila wanita yang

ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil maka „iddahnya sampai

melahirkan62. Allah SWT. Berfirman dalam surat At-Thalaq ayat 4:

ُ ُ ُ ٓ ّ ۡ َّ
َ‫يضَوِيَن ِسانِس ۡهَإ ِ ِنَٱ ۡرح ۡب ُخ َۡهَفعِ َّدت ُُ َّيَذلَٰرث‬ َِ ‫ح‬ ۡ
ِ ‫وَٱ َٰٓل ِـٔيَيهِسيَوِيَٱَلى‬
ۡ
ََّ‫َۡحن ُُي‬ ۡ ُ ُ ۡ ۡ ُ َٰ ْ ُ ۡ َّ ۡ
‫ال َأجنُي َأنَيظعي‬ َّ َِ ‫أش ُُر َوَٱ َٰٓلـِٔي َل ۡه ََيِظي َوأولج َٱۡلۡح‬
َ٤َ‫ۡسا‬ ُ َّ ‫َيع‬
ٗ ۡ ُ ‫لَّلۥَو ِۡيَأ ۡمرَه ِۦَي‬
َ
ۡ َّ َّ
َ‫ّلل‬
َ ‫وويَحخ ِقَٱ‬
ِ
63

Artinya : “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi


(monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu

61
Himpunan Peraturan Perundang-undangan tentang Kompilasi Hukum Islam, (Bandung:
Fokus Media, 2005), Cet. 1, h. 49
62
Abdul „Azhim, Al- Wajiz Panduan Fiqih Lengkap, (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2007),
Cet. 1, h. 545
63
Departemen Agama RI, Op. Cit, h. 558
41

ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah


mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-
perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan
yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang
bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya
kemudahan dalam urusannya”. (QS. Ath-Thalaq [65]: 4).
Semua fuqaha sepakat bahwa wanita yang ditinggal mati

suaminya dan tidak dalam keadaan hamil, baik ia sudah atau belum

bercampur dengan suaminya yang meninggal itu, maka „iddah mereka

4 bulan 10 hari64. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT. Dalam surat

Al-Baqarah 2: 234.

ُ ۡ ٗ ۡ ُ َّ َّ
ِ ‫وَٱَّلِييَ َ ُحخِف ِۡن َوٌِس ۡه َويذ ُرون َأزوَٰجاَحَت َّبصي َةِأًف‬
َ‫س ُِ َّي َأ ۡربعث‬
ۡ ُ ُ ‫ۡشا َفإذاَةن ۡغي َأجن ُُ َّي َفَل‬ ٗ ۡ ‫أ ۡش ُُر َوع‬
َ‫َجٌاح َعن ۡيس ۡه َذِيىاَذعني‬ ِ
ُ َّ ۡ ُ ٓ
َ َ٢٣٤َ‫ّللَةِىاَت ۡعىنِنَختِري‬ َ ِ ‫س ُِ َّيََة ِٱلى ۡع ُر‬
َُ ‫وفَوَٱ‬ ِ ‫ِفَأًف‬ِ
Artinya : “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu)
menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh
hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada
dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat
terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui
apa yang kamu perbuat”. (QS. Al-Bqarah [2]: 234).

Ayat di atas menjelaskan bahwa bagi seorang wanita yang

ditinggal oleh suaminya karena sebab meninggal dunia maka sang istr

tersebut wajib menangguhkan atau menahan dirinya (beriddah) selama

empat bulan sepuluh hari.

2. „iddah karena perceraian atau thalak

64
Muhammad Ibrahim Jannati, Durus fi al-Fiqh al-Muqaroan, penerjemah: Ibnu Alwi
Bafaqih, Dkk, Fiqih Perbandingan Lima Mazhab 3, (Jakarta: Cahaya, 2007), h. 575
42

Mengenai „iddah karena thalak ini maka ada beberapa macam:

a) Wanita yang dithalak suaminya dalam keadaan hamil maka

„iddahnya sampai melahirkan.

ُ ُ ٓ ّ ۡ َّ
َ‫يض َوِي َن ِسانِس ۡه َإ ِ ِن َٱ ۡرح ۡب ُخ َۡه َفعِ َّدت ُُ َّي‬ ۡ
ِ ‫وَٱ َٰٓل ِـٔي َيهِسي َوِي َٱلى‬
َِ ‫ح‬
ۡ َّ ُ ُ ۡ ۡ ُ َٰ ْ ُ ۡ ۡ َٰٓ
َّ ُ ۡ ُ َٰ
َ‫ال َأجنُي َأنَيظعي‬ َِ ‫ذلرث َأشُر َوَٱلـِٔي َله ََيِظي َوأولج َٱۡلۡح‬
ۡ ُ ۡ َّ ۡ َّ َّ ۡ
65 ٗ ۡ
َ٤َ‫لَّلۥَوِيَأم ِرَه ِۦَيۡسا‬ ُ
َ ‫ّللََيع‬ َ ‫ۡحن ُُ َّيَوويَحخ ِقَٱ‬
Artinya : “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi
(monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika
kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa
iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula)
perempuan-perempuan yang tidak haid. dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah
mereka itu ialah sampai mereka melahirkan
kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa
kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya
kemudahan dalam urusannya”. (QS. Ath-Thalaq [65]:
4).
Ayat di atas menjelaskan tentang beberapa hal yaitu yang

pertama, iddah bagi perempuan yang telah monopause atau tua serta

perempauan yang tidak haid lagi maka iddahnya adalah tiga bulan,

sedangkan yang kedua menjelaskan tentang bahwa iddah bagi

perempuan yang hamil adalah sampai ia melahirkan.

b) Wanita yang dithalak suaminya karena masih haid, maka „iddahnya

adalah tiga kali suci. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT.

Dalam surat Al-Baqarah ayat 228.

65
Departemen Agama RI, Op. Cit, h. 558
43

ُّ ُ ُ ۡ َّ ۡ
َ‫س ُِ َّي َذلَٰرثَ َك ُر ٓوء ٖۚ َوَل ََيِل َل ُُ َّي َأن‬ ِ ‫ج َحَت َّبصي َةِأًف‬ َ ُ َٰ‫وَٱل ُىطنق‬
ۡ َّ َّ ۡ ُ َّ ُ َّ ۡ
َ ‫ِف َأ ۡرحا ِم ُِ َّي َإِنَزي َيؤوِي ََة ِٱ‬
َ‫ّللِ َوَٱۡل ِۡ َِم‬ َُ ‫يس ُخ ۡىي َواَخنق َٱ‬
ٓ ِ َ ‫ّلل‬
ْ ُ ۡ َّ ّ ُّ
َ‫َِف َذَٰل ِم َإِن َأرَاد ٓوَا َإ ِ ۡصل َٰ ٗحا َول ُُ َّي‬ َّ ُ ُ ُ ُ ِ ‫ٱٓأۡل‬
ِ ‫خ َِرٖۚ َوبعَِلُي َأحق َةِر ِدَِي‬
َُ‫ّلل‬ َّ ٞۗ َّ ۡ ّ ُ ۡ ۡ َّ ۡ َّ ُ ۡ
َ ‫ال َعني ُِي َدرجث َوَٱ‬ ِ ‫ِنرج‬
ِ ‫وف َول‬ َٖۚ ِ ‫وِرل َٱَّلِي َعني ُِي ََة ِٱلىعر‬
ٌ ‫يزَحك‬
َ٢٢٨َ‫ِيه‬ ٌ ‫عز‬
ِ
66

Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri


(menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka
Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari
akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam
masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki
ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan
tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan
daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana”. (QS. Al-Baqarah [2]: 228).

Ayat di atas menjelaskan bahwa seorang wanita yang masih

bisa haid, serta telah dicampuri dan jika terjadi perceraian maka

iddahnya adalah tiga kali quru‟.

c) Wanita yang dithalak suaminya sudah tidak hamil dan tidak pula

haidh baik masih kecil atau mengalami masa menopause lantaran

sudah lanjut usia atau sebab lain yang tidak mungkin lagi akan

mengalami haidh, maka „iddahnya tiga bulan 67 . Hal ini sesuai

dengan firman Allah dalam surat Thalak ayat 4:

66
Departemen Agama RI, Op. Cit, h. 38
67
Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, Shahih Fiqih Wanita, (Jakarta: Akbar Media Eka
Sarana, 2011), Cet. V, h. 394
44

ُ ُ ٓ ّ ۡ َّ
َ‫يض َوِي َن ِسانِس ۡه َإ ِ ِن َٱ ۡرح ۡب ُخ َۡه َفعِ َّدت ُُ َّي‬ َِ ‫ح‬ ۡ
ِ ‫وَٱ َٰٓل ِـٔي َيهِسي َوِي َٱلى‬
ۡ ُ ُ ۡ ۡ ُ َٰ ْ ُ ۡ َّ ۡ ُ
َ‫الَأجنُيَأنَيظعي‬ َّ َِ ‫ذلَٰرثَأش ُُرَوَٱ َٰٓلـِٔيَل ۡهََيِظيَوأولجَٱۡلۡح‬
َ َ٤َ‫ۡسا‬ ُ َّ ‫َيع‬
ٗ ۡ ُ ‫لَّلۥَو ِۡيَأ ۡمرَه ِۦَي‬
َ
ۡ َّ َّ
َ ‫ۡحن ُُ َّيَوويَحخ ِقَٱ‬
َ‫ّلل‬
ۡ
ِ
Artinya : “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi
(monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika
kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa
iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula)
perempuan-perempuan yang tidak haid dan perempuan-
perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -
siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah
menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”.
Ayat di atas menjelaskan tentang beberapa hal yaitu yang

pertama, iddah bagi perempuan yang telah monopause atau tua serta

perempauan yang tidak haid lagi maka iddahnya adalah tiga bulan,

sedangkan yang kedua menjelaskan tentang bahwa iddah bagi

perempuan yang hamil adalah sampai ia melahirkan.

d) Wanita yang dicerai sebelum digauli, maka tiada „iddah baginya68.

Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 49

َّ ُ ُ ُ ۡ َّ َّ ُ َٰ ۡ ُ ۡ ُ ُ ۡ ْٓ ُ َّ ُّ
َ‫ج َثه َطنلخىَِي َوِي‬ َِ ‫يأحُا َٱَّلِييَ َءاوٌِا َإِذاًَسحخه َٱلىؤوِن‬ َٰٓ
ُ ُ
َ‫ر ۡت ِل َأن َتى ُّسَِ َّي َذىا َمس ۡه َعن ۡي ُِ َّي َو ِۡي َع َِّدة َت ۡعخ ُّدوجُا‬
ٗ ُ ُ ّ
ٗ ‫َِ َّيَس‬ ُ ُّ
َّ َِ
َ َ٤٩َ‫احاََجِيَل‬ ‫سح‬
ِ ‫َو‬ ‫ي‬ ‫ذىخِع‬
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu
ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka
sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang

68
Ali Yusuf As-Subki, Op. Cit, h. 357
45

kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka


mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang
sebaik- baiknya”.
Ayat di atas menjelaskan bahwa seorang wanita yang telah

dinikahi akan tetapi belum dicampuri oleh suaminya maka tidak ada

iddah bagi perempuan tersebut jika terjadi perceraian diantara

keduanya.

4. Hikmah dan tujuan ‘Iddah

Ditetapkan „iddah bagi istri setelah putus perkawinannya, mengandung

beberapa hikmah, diantara lain sebagai berikut:

1. „iddah bagi wanita yang dithalak raj‟i69

Bagi wanita yang dithalak raj‟i oleh suaminya mengandung arti

memberi kesempatan bagi mereka untuk saling memikirkan,

memperbaiki diri, mengetahui dan memahami kekurangan serta

mempertimbangkan kemaslahatan bersama. Kemudian mengambil

langkah dan kebijaksanaan untuk bersepakat rujuk kembali dengan

suami istrinya.

2. „iddah bagi wanita yang dithalak ba‟in70

„iddah bagi istri yang dithalak baik oleh suaminya atau

perceraian dengan keputusan pengadilan berfungsi sebagai berikut:

69
Yaitu thalak dimana suami boleh rujuk (kembali) kepada bekas istrinya dengan tidak
perlu melakukan perkawinan atau akad nikah baru, asal istrinya itu masih dalam masa „iddah
seperti halnya thalak satu atau thalak dua.
70
Yaitu thalak dimana suami tidak boleh rujuk kembali kepada bekas istrinya, kecuali
dengan melakukan akad nikah baru setelah bekas istrinya itu dikawini oleh orang lain, ba‟da
dukhul dan diceraikan.
46

a. Untuk meyakinkan bersihnya kandungan istri dari akibat

hubungannya dengan suami, baik dengan menunggu beberapa

kali suci atau haidh, beberapa bulan atau melahirkan

kandungannya. Sehingga terpelihara kemurnian keturunan dan

nasab anak yang dilahirkan.

b. Memberi kesempatan untuk bekas suami untuk nikah kembali

dengan akad nikah yang baru dengan belas istrinya selama dalam

masa „iddah tersebut jika itu dipandang maslahat.

3. „iddah bagi istri yang ditinggal mati oleh suaminya

a. Dalam rangka belasungkawa dan sebagai tanda setia kepada

suami yang dicintainya.

b. Menormalisir keguncangan jiwa istri akibat ditinggal oleh

suaminya.

c. Berkabungnya wanita yang ditinggal meninggal suami untuk

memenuhi dan menghormati perasaan keluarga.

Menurut Zaenuddin Abd. Al Azizi Al Maribari, „iddah adalah masa

penantian perempuan untuk mengetahui apakah kandungan istri bebas

dari kehamilan atau untuk tujuan ibadah atau untuk masa penyelesaan

karena baru ditinggal mati suaminya 71 . Sedangkan tujuan „iddah

menurut syari‟at digunakan untuk menjaga keturunan dari percampuran

benih lain atau untuk mengetahui kebersihan rahim (li

ma‟arifatulbaroatur rohim, lita‟abbudi, li tahayyiah) yaitu

71
Syafiq Hasyim, Hal-Hal Yang Tak Terpikirkan Tentang Isu-Isu Perempuan Dalam
Islam, (Bandung: Mizan, 2001), Cet. I, h. 173
47

mempersiapkan diri dan memberikan kesempatan terjadinya proses

ruju‟72.

Pertama: untuk mengetahui bersihnya rahim perempuan tersebut

dari bibit yang ditinggalkan mantan suaminya. Hal ini disepakati oleh

ulama. Pendapat ulama waktu itu didasarkan kepada dua alur pikir:

1. Bibit yang ditinggal oleh mantan suami dapat berbaur dengan bibit

orang yang akan mengawininya untuk menciptakan satu janin dalam

perut tersbebut. Dengan pembauran itu diragukan anak siapa

sebenarnya yang dikandung oleh perempuan tersebut. Untuk

menghindarkan pembauran bibit itu, maka perlu diketahui atau

diyakini bahwa sebelum perempuan itu kawin lagi rahimnya bersih

dari peninggalan mantan suaminya.

2. Tidak ada cara untuk mengetahui apakah perempuan yang baru

berpisah dengan suaminya mengandung bibit dari mantan suaminya

atau tidak kecuali dengan datangnya beberapa kali haidh dalam masa

itu. Untuk itu diperlukan masa tunggu.

Alur pertama tersebut diatas tampaknya waktu ini tidak relevan

lagi karena sudah diketahui bahwa bibit yang akan menjadi janin hanya

dari satu bibit dan berbaurnya beberapa bibit dalam Rahim tidak akan

mempengaruhi bibit yang sudah memproses menjadi janin itu. Demikian

pula alur yang kedua tidak relevan lagi karena waktu itu sudah ada alat

yang canggih untuk mengetahui bersih atau tidaknya rahim perempuan

72
Ibid, h. 176
48

tersebut dari mantan suaminya. Meskipun demikian, „iddah tetap wajib

dilaksanakan73.

Kedua: untuk taabud, artinya semata untuk memenuhi kehendak

dari Allah meskipun secara rasio kita mengira tidak perlu lagi. Contoh

dalam hal ini, umpamanya perempuan yang kematian suami dan belum

digauli oleh suaminya itu, ia masih tetap wajib menjalani masa „iddah,

meskipun dapat dipastikan bahwa mantan suaminya tidak meninggalkan

bibit janin dalam Rahim istrinya.

Hikmah yang dapat diambil dari ketentuan „iddah adalah agar

suami yang telah menceraikan istrinya itu berpikir kembali dan

menyadari tindakan itu tidak baik dan menyesal atas tindakannya itu.

Dengan adanya „iddah dia dapat menjalin kembali hidup perkawinan

tanpa harus mengadakan akad baru74.

5. Hak dan kewajiban bagi istri yang ber’iddah

Perempuan yang ber„iddah memiliki hak dan kewajiban yang harus

dijalankan menurut syari‟at islam. Adapun hak perempuan pada masa

„iddah adalah:

1. Istri yang ber‟iddah thalak raj‟i

73
Amir Syarifuddin, Op. Cit. h. 305
74
Ibid
49

Untuk wanita yang dithalak raj‟i atau thalak yang masih ada

kemungkinan bagi mantan suaminya untuk rujuk kembali, berhak

mendapatkan:75

a. Tempat tinggal (rumah)

b. Pakaian dan nafkah untuk kebutuhan hidup

Kedua hal tersebut diatas hanya diberikan kepada istri yang taat,

sedangkan istri yang durhaka tidak berhak mendapatkan apa-apa

Rasulullah bersabda:

‫ َح َّدثَنَا َسعِي ُد بْ ُن‬: ‫ال‬ َ َ‫ ق‬، ‫ َح َّدثَنَا أَبُو نُ َع ْي ٍم‬: ‫ال‬َ َ‫ ق‬، ‫َح َم ُد بْ ُن يَ ْحيَى‬ ْ ‫أَ ْخبَ َرنَا أ‬
ِ َ‫ ح َّدثَ ْتنِي ف‬: ‫ال‬ َ َ‫ ق‬، ‫يَ ِزي َد األَ ْح َم ِس ُّي‬
‫ت‬ُ ‫اط َمةُ بِْن‬ َ َ َ‫ ق‬، ‫الش ْعبِ ُّي‬ َّ ‫ َح َّدثَنَا‬: ‫ال‬
‫آل‬ِ ‫ت‬ ُ ‫ فَ ُقل‬، ‫ت النَّبِ َّي صلى اهلل عليو وسلم‬
ُ ‫ أَنَا بِْن‬: ‫ْت‬ ُ ‫ أَتَ ْي‬: ‫ت‬ ْ َ‫ قَال‬، ‫س‬ ٍ ‫قَ ْي‬
ُ ‫ َوإِنِّي َسأَل‬، ‫ َوإِ َّن َزْو ِجي فُالَنًا أ َْر َس َل إِلَ َّي بِطَالَقِي‬، ‫َخالِ ٍد‬
َ‫ْت أ َْىلَوُ النَّ َف َقة‬
‫ث‬ ِ َ‫ إِنَّوُ قَ ْد أَرسل إِلَْي َها بِثَال‬، ‫اهلل‬ ِ ‫ول‬ َ ‫ يَا َر ُس‬: ‫ قَالُوا‬، ‫الس ْكنَى فَأَبَ ْوا َعلَ َّي‬ ُّ ‫َو‬
َ َْ
ُ‫ إِنَّ َما النَّ َف َقة‬: ‫اهلل صلى اهلل عليو وسلم‬ ِ ‫ول‬ ُ ‫ال َر ُس‬
َ ‫ فَ َق‬: ‫ت‬ ْ َ‫ قَال‬، ‫ات‬ ٍ ‫تَطْلِي َق‬
َّ ‫الس ْكنَى لِل َْم ْرأَةِ إِذَا َكا َن لَِزْو ِج َها َعلَْي َها‬
76
.ُ‫الر ْج َعة‬ ُّ ‫َو‬
Artinya : “Mengkhobarkan kepada kami Ahmad bin Yahya, berkata:
menceritakan kepada kami Abu Nu‟aim berkata:
menceritakan kepada kami Sa‟id bin Yazid Ahmasi,
berkata: menceritakan Sya‟bi, berkata: menceritakan
kepada kami Fatimah bintu Qoisy, berkata: aku datang
kepada Nabi SAW. Lalu aku berkata: saya anak
perempuan keluarga Khalid, dan sesungguhnya suamiku
:Fulan,mengirimkan surat kepadaku tentang Thalak dan
aku bertanya kepada keluarganya tentang nafkah dan

75
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1993), Cet. III, h. 235
76
An-nasa‟I Abu Abdurrahman Ahmad bin Su‟aib bin Ali, Sunan An-Nasa‟I, (Aletto,
Maktaba Al-matbu‟at al-Islamiyah, 1986), Cet 2, Juz 6, h. 144
50

tempat tinggal. Yang ayahnya golongan atas.mereka


berkata: ya Rasulallah SAW. Sesungguhnya dia mengirim
surat dengan thalak tiga. Rasul bersabda: sesungguhnya
Nafkah dan tempat tinggal hak istri. Suaminya memiliki
hak untuk merujuknya”. (HR. An-Nasa‟I, No. 3403).

c. Warisan

Hal ini masih dimiliki oleh wanita yang dithalak raj‟i

karena pada dasarnya perkawinan dengan suaminya dianggap

masih utuh disaat „iddah masih berjalan. Begitu juga jika yang

meninggal itu si istri, maka mantan suaminya juga berhak atas

harta peninggalan mantan istrinya. Hal ini disebabkan karena

ikatan perkawinan keduanya dapat terjalinkan jika mantan

suaminya tersebut merujuknya77.

2. Istri yang ber‟iddah thalak ba‟in

Untuk wanita „iddah ba‟in atau thalak yang tidak membolehkan ruju‟

kembali kepada bekas suaminya sebelum dinikahi laki-laki lain 78 ,

berhak mendapatkan:

a. Bagi istri yang tidak hamil

Bagi perempuan yang „iddah thalak ba‟in, baik dengan thalak

tebus maupun dengan thalak tiga yang tidak dalam keadaan hamil

mereka hanya memperolehkan tempat tinggal. Firman Allah

SWT dalam surat At-Thalaq ayat:6

77
Fatkhurrahman, Ilmu Waris, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1968), h. 115
78
Moh. Riva‟I, dkk, Kifayatul Akhyar (terjemahan Khulashoh), (Semarang: CV. Toha
Putra, 1983), h. 337
51

ُ ُّ ُ ُ ُ ّ ُ ُ ُ
َ‫ٓاروَ َّي‬‫َو ۡج ِدك ۡه َوَل َحظ‬ ‫ي َو ِۡي َح ۡيد َسكٌخه َوِي‬ََّ ٌَُِِ ‫أ ۡسك‬
ْ ُ
َ ُِ ‫َِلُظ ّيِلِاَعن ۡي‬
79 َّ
‫ي‬
Artinya : “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu
bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan
janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka”. (QS. Ath-Thalaq [65]:
6).
b. Bagi istri yang hamil

Bagi istri yang dithalak ba‟in dan dalam keadaan hamil berhak

memperoleh tempat tinggal, nafkah dan pakaian. Firman Allah

SWT. Dalam surat At-Thalaq ayat 6:

َّ‫ي‬ ُ ۡ ۡ َّ َّ ۡ ْ ُ ۡ ْ ُ َّ ُ
َ 80 َٰ
َ ُ‫جَۡحلَفأًفِلِاَعني ُِيَحَّتَيظعيَۡحن‬ َٰ
ِ ‫ِإَونَزيَأول‬
Artinya : “Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu

sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka

nafkahnya hingga mereka bersalin” (QS. Ath-Thalaq

[65]: 6).

c. Istri yang ber‟iddah wafat

Bagi istri yang ber‟iddah wafat, mereka tidak mempunyai hak

sama sekali meskipun ia mengandung, karena ia dan anak yang

dalam kandungannya telah mendapatkan hak pusaka (warisan)

dari suaminya yang meninggal. Rasulullah SAW bersabda:

79
Departemen Agama RI, Op. Cit, h. 559
80
Departemen Agama RI, Op. Cit, h. 559
52

‫ قال" ال‬,‫ فى الحا مل المتو فى عنها زو جها‬,‫وعن جا بر يرفعو‬


81
)‫نفقة لها" (راوه البيهقى‬
Artinya : “dari Jabir RA dan ia menganggapnya hadits marfu‟

tentang istri hamil yang suaminya meninggal, ia

berkata: “istri itu tidak mendapat nafkah”. (HR.

Baihaqi).

Bagi perempuan yang ber‟iddah wafat thalak raj‟I

menurut kesepakatan ulama fiqih berhak menerima harta

warisan, sedangkan wanita yang menjalani „iddah wafat thalak

ba‟in ia tidak berhak menerima harta warisan dari suami yang

wafat82.

Sedangkan kewajiban bagi perempuan ber‟iddah adalah:

1) Tidak boleh menerima pinangan laki-laki lain, baik secara terang-

terangan maupun sindiran. Bagi perempuan yang menjalani „iddah

wafat, pinangan wafat dilakukan secara sindiran, Allah Swt berfirman

dalam surat Al-Baqarah ayat 235:

ٓ ّ ُ ۡ ُ
َ‫خ ۡطتثِ َٱمنِساءَِ َأ ۡو‬
ِ َ ‫جٌاح َعن ۡيس ۡه َذِيىا َع َّرطخه َة ِ ٍَِۦ َو ِۡي‬ ُ َ َ‫وَل‬
ُ ُ ٓ ُۡ ۡ
َ َ‫سس ۡه‬ ِ ‫َِفَأًف‬
ِ ‫أزٌنخه‬

81
Ibnu Hajar al-Asyqalani, Bulughul Maram, (tp: Dar al-kutup al-Ilmiyah, tth), h. 241
82
Abdul Aziz Dahlan, Op.Cit, h. 641
53

Artinya : “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita

itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan

(keinginan mengawini mereka) dalam hatimu”.

2) Tidak boleh nikah atau dinikahi

Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 235:

َّ َّ ْ ۡ ۡ ُ ُۡ ْ ُ ۡ
َ ‫ب َأجن ٍَُۥَ َوَٱعن ُى َِٓا َأن َٱ‬
َ‫ّلل‬ َ ُ َٰ‫َّت َح ۡتنغ َٱمكِت‬
َٰ َّ ‫ح َح‬ َِ ‫َخلدةَ َٱلّ َِك‬
َ ‫وَل َتع ِزمِا‬
ٌ ‫ّللَد ُف‬َّ َّ ْ ۡ ُ ُ ٓ
َ٢٣٥َ‫ِرَحنِيه‬ َ ‫وهَُوَٱعن ُى َِٓاَأنَٱ‬ َ ‫سس ۡهَفَٱ ۡحذ ُر‬ ِ ‫اَِفَأًف‬ ُ ۡ
ِ ‫حعنهَو‬
Artinya : “dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk
beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah
bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam
hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah
bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.
Ayat di atas menjelaskan bahwa seseorang tidak boleh

berkeinginan untuk menikah atau dinikahi jika iddahnya perempuan

yang telah diceraikan habis.

3) Dilarang keluar rumah (wajib tinggal dirumah sampai „iddahnya

selesai), Allah berfirman dalam surat At-Thalaq ayat 1:

ۡ ْ ُ ُّ ٓ ّ ۡ َّ
ََ‫بَإِذاَطنل ُخ ُهَٱمنِساءََذطنِلَِ َّيَمِعِ َّدح ِ ُِ َّيَوأ ۡح ُصِاَٱمعِ َّدة‬ َُّ ِ َّ‫يأ ُّحُاَٱل‬
َٰٓ
ٓ َّ ۡ ُ ۡ ُ ُۡ ُ َّ ْ ُ َّ
َ‫ّلل َر َّبس ۡه ََل َُت ِرجَِي َ ِوي َبيِح ِ ُِي َوَل ََيرجي َإَِل َأن‬
َّ ُ ُ ۢ َّ ُ َ ‫ِا َٱ‬ َ ‫وَٱتل‬
َّ ُ ُ َّ َّ ُ ُ ُ ۡ ّ ُّ ۡ
َِ ‫ّلل‬
َ ‫ّللِ َووي َحخعد َحدود َٱ‬ َ ‫ود َٱ‬ َ ‫حشث َوتيٌِثٖۚ َوح ِنم َح َد‬ َٰ
ِ ‫يأتِني َةِف‬
ُ ۡ ُ َّ َّ ۡ
َ١َ‫ّللََي ِدثَب ۡعدَذَٰل ِمَأ ۡم ٗرا‬ َ ‫ذل ۡدَظنهَجفس ٍَُۥَََلَح ۡدرِيَمعلَٱ‬
Artinya : “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka
dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah
waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu.
janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan
54

janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka


mengerjakan perbuatan keji yang terang, Itulah hukum-
hukum Allah, Maka Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim
terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui
barangkali Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal
yang baru”.

4) Wajib ihdad

Secara etimologi, kata ihdad berasal dari kata, (had) ‫ الحد‬yang

artinya ‫( الممنوع‬dicegah) 83 . Sedangkan secara terminologi yaitu

mencegah diri dari lambang-lambang perhiasan dan keindahan serta

mencegah diri dari menggunakan alat-alat kosmetik untuk

mempercantik diri seperti halnya yang digunakan wanita ketika

berdandan untuk suaminya84.

6. Perhitungan ‘Iddah Menurut Para Ulama

Berkaitan dengan iddah, ada beberapa permasalahan iddah yang menjadi

perdebatan di kalangan para ulama.

1. Iddah wanita yang khalwat

Hanafi, Maliki, dan Hambali mengatakan: apabila telah

berkhalwat dengannya, tetapi tidak sampai mencampurinya, lalu

isterinya tersebut ditalak, maka si isteri harus menjalani iddah persis

seperti isteri yang telah dicampuri. Sedangkan menurut Imamiyah dan

Syafi‟i, khalwat tidak membawa akibat apapun85.

83
Ahmad Warson Munawwir, Op. Cit, h. 262
84
Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani, 2000), Cet. VI, h.
632
85
Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab,( Jakarta : Bisrie Press, 1994), Cet.
I, h. 191.
55

2. Arti quru‟

Di dalam Al-Qur‟an telah diterangkan secara jelas bahwasanya

wanita yang ditalak suaminya sedangkan ia masih terbiasa haid, maka

waktu tunggu baginya adalah tiga kali quru‟. Akan tetapi, para ulama

berbeda pandangan dalam memahami arti quru‟ ini. Menurut Maliki

dan Syafi‟i quru‟ adalah masa suci. Sedangkan menurut pendapat

Hanafi, quru‟ adalah haid86.

3. Tidak haidh selama menjalani „iddah kematian

Imam Malik berpendapat bahwa di antara syarat sempurnanya

iddah ialah agar isteri tersebut haid satu kali dalam masa tersebut. Jika

ia tidak mengalami haid, Malik menganggapnya sebagai orang yang

diragukan hamil. Oleh karena itu, ia menjalani iddah hamil87. Menurut

Ibnu Qosim, apabila iddah kematian telah berlaku, sedang wanita itu

tidak terdapat tanda-tanda kehamilan, maka ia boleh kawin. Pendapat

ini dipegangi oleh jumhur fuqaha‟ Amshar, yaitu Abu Hanifah,

Syafi‟i, dan Tsauri88.

4. Iddah wanita yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil

Para ulama sepakat bahwa iddah wanita yang ditinggal mati

suami adalah 4 bulan 10 hari baik yang pernah haid maupun yang

tidak haid sebagaimana ketetapan dalam Al-Qur‟an. Namun, ada

86
Syaikh al-„Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Damasyqi, Fiqih Empat Mazhab,
penerjemah: „Abdullah Zaki Alkaf, (Bandung : Hasyimi, 2012), Cet. XIII, h. 380.
87
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Analisa Fikih Para Mujtahid, (Jakarta: Pustaka
Amani, 2007) Cet. III, Jilid II, h. 618.
88
Ibid, h. 618-619
56

ikhtilaf di kalangan para ulama apabila wanita yang ditinggal mati

suami itu dalam keadaan hamil. Mayoritas ulama mazhab yakni Imam

Maliki, Imam Syafi‟i, Imam Hanafi, dan Imam Hambali berpendapat

bahwa dia harus menunggu sampai dia melahirkan anaknya, sekalipun

hanya beberapa saat sesudah dia ditinggal mati oleh suaminya itu.

Bahkan, andai jasad suaminya belum dikuburkan sekalipun89.

Sedangkan Imamiyah, mengatakan, iddah wanita hamil yang

ditinggal mati suaminya adalah iddah paling panjang di antara waktu

melahirkan dan empat bulan sepuluh hari. Kalau dia telah melewati

waktu empat bulan sepuluh hari, tapi belum melahirkan, maka

iddahnya hingga dia melahirkan. Akan tetapi bila dia melahirkan

sebelum empat bulan sepuluh hari, maka iddahnya adalah empat bulan

sepuluh hari90.

5. „iddah bagi wanita yang suaminya hilang (mafqud)

Menurut pendapat Imam Hanafi dan Imam Syafi‟i dalam qaul

jadid-nya, serta pendapat Imam Hambali dalam salah satu riwayatnya

menyebutkan, isteri tersebut tidak boleh menikah lagi hingga berlalu

masa (menurut adat) bahwa suaminya tidak hidup lagi sesudah berlalu

masa tersebut. Hanafi memberi batasan untuk masa penantian itu

adalah 120 tahun. Sedangkan Syafi‟i dan Hambali memberi batasan

waktu 90 tahun. Namun, menurut pendapat Imam Maliki dan Imam

89
Muhammad Jawad Mughniyah, Op. Cit, h. 469
90
Ibid, h. 470
57

Syafi‟i dalam qaul qadim-nya dan yang dipilih oleh kebanyakan para

ulama pengikutnya serta yang diamalkan oleh Umar r.a. tanpa ada

seorangpun di antara para sahabat lainnya yang mengingkari

perbuatannya, dan juga menurut pendapat Imam Hambali dalam

riwayat lainnya: isteri hendaknya menanti selama 4 tahun, yaitu

ukuran maksimal masa mengandung di tambah 4 bulan 10 hari, yakni

sebagai masa iddah atas kematian suami. Setelah itu, ia boleh menikah

lagi91.

6. „iddah wanita yang istihadhah

Wanita yang mengalami istihadah, yakni mengeluarkan darah

dari kemaluannya tetapi bukan darah haid, menurut Imam Malik

wanita tersebut ber‟iddah selama satu tahun, jika ia tidak dapat

membedakan antara kedua darah itu (yakni darah haidh dan darah

istihadhah).

Sedang apabila ia dapat membedakan antara kedua darah itu,

maka ada dua riwayat daripadanya, riwayat pertama mengatakan

bahwa „iddahnya adalah selama satu tahun. Riwayat kedua

mengatakan bahwa ia disuruh mengadakan pembedaan, kemudian

ber‟iddah berdasarkan haidh (Quru‟) 92 . Abu Hanifah berpendapat

bahwa iddahnya adalah bilangan haid, jika sudah terang baginya

darahnya. Jika belum jelas baginya, maka ia ber‟iddah selama tiga

91
Syaikh al-„Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Damasyqi, Op. Cit., h. 381.
92
Ibnu Rusyd, Bidayatu Mujtahid, penerjemah: Abdurrahman, Haris Abdullah,
(Semarang: CV. Asy Syifa‟, 1990), Cet.1, Jilid II, h. 540
58

bulan. Sedangkan menurut Imam Syafi‟i, iddah wanita itu berdasarkan

pembedaan jika darahnya dapat dibeda-bedakan. Darah merah tua

adalah darah hari-hari haidh, sedang yang berwarna kuning adalah

termasuk darah hari-hari suci. Jika jenis darah tersebut sesuai

baginya, maka ia beriddah dengan bilangan haidhnya pada hari-hari

sehatnya93.

B. HAID

1. Pengertian Haid

Haid menurut bahasa adalah mashdar dari fi‟il ( ‫اض‬


َ ‫يَ ِحيْض َح‬

‫ ) َحيْضًا‬, artinya darah haid. Menurut W.J.S Poerwadarminta, haid

artinya mendapat kain kotor (melihat bulan, datang bulan). Sedangkan

pengertian haid secara istilah menurut Huzaemah Tahido Yanggo

dalam bukunya Fikih Perempuan Kontemporer ada beberapa

pendapat 94 : pertama, haid artinya darah yang keluar dari pangkal

rahim perempuan setelah sampai umur balig dalam keadaan sehat,

dalam waktu tertentu. Kedua, haid adalah pendarahan dari uterus yang

terjadi setiap bulan. Ketiga, menstruasi (haid) ialah mengalirnya

sejumlah kecil cairan darah dari jaringan yang semula dibentuk. Di

dalam kitab Yaqutun Nafis dijelaskan bahwa haid secara bahasa

berarti mengalir, sedangkan secara istilah haid diartikan sebagai darah

kebiasaan yang keluar dari pusat rahim perempuan dalam keadaan

93
Ibid
94
Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Ghalia Indonesia: t.tp,
2010), h. 20
59

sehat dan diwaktu tertentu95. Sedangkan di dalam kitab Ianatun Nisa‟

dijelaskan bahwa haid secara bahasa artinya mengalir, sedangkan

secara istilah adalah darah yang keluar dari farjinya perempuan yang

sudah berumur 9 tahun lebih dan bukan sebab melahirkan96.

Su‟ud Ibrahim Shalih di dalam bukunya Fiqih Ibadah Wanita

menuturkan bahwa haid merupakan bentuk mashdar dari hadha-

haidh. Hadhat al-mar‟ah haidhan, mahadhan, dan mahidhan berarti

“ia haid”. Kata al-haidhah berarti kain yang dipakai untuk menutupi

seorang wanita. Kata al-mahid dan al-haid berasal dari kata asal

(masdar) dari fi‟il (kata kerja) hada-yahidu- haidan wa mahidan, yang

berarti “keluar darah” haidah “datang bulan” 97 . Adapun pengertian

haid menurut para imam madzhab adalah sebagai berikut: Menurut

Ulama‟ Hanafiyah, haid adalah nama untuk darah khusus, yaitu darah

yang keluar dari tempat khusus, yaitu kemaluan perempuan, tempat

keluarnya anak dan melakukan hubungan dengan cara-cara tertentu,

jika ia menemukan darah itu maka ia haid dan jika di luar itu maka ia

istihadhah. Al-Kasani dalam kitabnya Al-Bada‟i yang dikutip oleh

Su‟ud Ibrahim Shalih didalam bukunya Fiqih Ibadah Wanita

menjelaskan bahwa haid dalam terminology syariat adalah nama

untuk darah yang keluar dari rahim yang tidak diikuti kelahiran,

95
Sayyid Ahmad Bin Amar Ash Syatiri, Yaqutun Nafis, (t.kt : Tabi‟ Hadzal Kitab, t.t ), h.
29
96
Muhammad Ustman, Ianatun Nisa‟, (Petok 1/5 Mojo Kediri 64162, t.t), h. 3-4
97
Su‟ud Ibrahim Shalih, Fiqih Ibadah Wanita, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2011),
h.195-196
60

memiliki waktu-waktu tertentu dan tempo yang sudah diketahui.

Sedangkan menurut Ulama Malikiyah mendefinisikan haid sebagai

darah yang keluar sendiri dari kemaluan wanita dan biasanya wanita
98
yang sudah bisa hamil . Dari beberapa definisi diatas dapat

disimpulkan bahwa darah haid adalah darah yang keluar dari

perempuan yang sudah baligh, dan darah ini keluar karena sebab

alami perempuan pada waktu-waktu tertentu dan bukan karena darah

penyakit ataupun karena melahirkan.

2. Dasar Hukum

Adapun dasar hukum yang berkaitan dengan haid yaitu :

a. Al-Qur‟an

1) Surat Al-Baqarah ayat 222 yaitu :

ٓ ّ ْ ُ ۡ ٗ ُ ُۡ ۡ ُ ۡ
ََ‫ِا َٱمنِساء‬ َ ‫َتل‬ ِ ‫خ‬‫ٱ‬ ‫ىَف‬
َ ‫ذ‬ ‫َأ‬ ِ ََ ‫ل‬ ‫ك‬ َ َ
‫يض‬ِ ‫ح‬
ِ ‫ى‬ ‫ل‬‫ٱ‬َ ‫ي‬
ِ ‫ع‬ َ ‫م‬
َ ًِ ‫ويسَٔن‬
ُ ُ ۡ ۡ
َ‫َّت َح ۡط ُُ ۡرن َفإِذا َتط َُّ ۡرن‬ َٰ َّ ‫َِ َّي َح‬ ‫يض َوَل َتلرب‬ َِ ‫ح‬ ِ ‫ِِف َٱلى‬
َٰ َّ َّ ُّ ُ َّ َّ ُ َّ ُ ُ ُ ۡ ۡ َّ ُ ُ ۡ
ََ‫ّلل ََيِب َٱَلوبِني‬ َ ‫ّلل َإِن َٱ‬ َ ‫فأحَِي َوِي َحيد َأمركه َٱ‬
ّ ُ ۡ ُّ ُ
٢٢٢ََ‫حبَٱلىخط ُِ ِريي‬ ِ ‫وي‬
Artinya : mereka bertanya kepadamu tentang haidh.
Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran".
oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri 99
dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu
mendekati mereka, sebelum mereka suci 100 .
apabila mereka telah Suci, Maka campurilah

98
Ibid, h. 198-199
99
Maksudnya menyetubuhi wanita di waktu haidh.
100
Ialah sesudah mandi. Adapula yang menafsirkan sesudah berhenti darah keluar.
61

mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah


kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang
yang mensucikan diri.

b. Hadits

1) Hadits riwayat dari Ummu Salamah yaitu :

‫ت‬ ْ َ‫َن ْام َرأَةً َكان‬ َّ ‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم أ‬َ ‫َع ْن أ ُِّم َسلَ َمةَ َزْو ِج النَّبِ ِّي‬
‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم‬ ِ ِ ‫تُهرا ُق الدِّماء َعلَى َع ْه ِد رس‬
َ ‫ول اللَّو‬ َُ ََ ََ
‫ال‬َ ‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم فَ َق‬ ِ َ ‫ت لَها أ ُُّم سلَمةَ رس‬
َ ‫ول اللَّو‬ َُ َ َ َ ْ َ‫استَ ْفت‬ ْ َ‫ف‬
َّ ‫ض ُه َّن ِم ْن‬
‫الش ْه ِر قَ ْب َل‬ ُ ‫ت تَ ِحي‬ ْ َ‫لِتَ ْنظُْر ِع َّد َة اللَّيَالِي َو ْاألَيَّ ِام الَّتِي َكان‬
َّ ‫ك ِم ْن‬
‫الش ْه ِر‬ َ ِ‫الص َال َة قَ ْد َر َذل‬ َّ ‫َصابَ َها فَ لْتَْت ُر ْك‬ ِ ِ
َ ‫أَ ْن يُصيبَ َها الَّذي أ‬
‫ص ِّل فِ ِيو‬ ِ ٍ ‫ك فَ لْت غْت ِسل ثُ َّم لِتستثْ ِفر بِثَو‬ ِ ْ ‫فَِإذَا َخلَّ َف‬
َ ُ‫ب ثُ َّم لت‬ ْ ْ َ ْ َ ْ َ َ َ ‫ت ذَل‬
Artinya : Dari Ummu Salamah, istri Nabi SAW, bahwasanya
ada seorang wanita pada masa Rasulullah SAW
selalu keluar darah (penyakit). Maka Ummu
Salamah meminta fatwa untuknya kepada
Rasulullah SAW, lalu beliau bersabda, "Hendaklah
dia menunggu selama waktu yang biasa keluar
haid setiap bulan, sebelum dia terkena darah
penyakit. Maka tinggalkanlah shalat sebanyak
bilangan haidnya yang biasa setiap bulan. Apabila
telah melewatinya, hendaklah dia mandi, kemudian
memakai pakaian dan mengerjakan shalat101.

2) Hadits riwayat „Aisyah yaitu :

‫ت‬َ ‫ش َو ِى َي تَ ْح‬ ٍ ‫ت َج ْح‬ ُ ‫ت أ ُُّم َحبِيبَةَ بِْن‬ َ ‫استُ ِح‬


ْ ‫يض‬ ْ ‫ت‬ َ ِ‫َع ْن َعائ‬
ْ َ‫شةَ قَال‬
ِ‫ف سبع ِسنِين فَأَمرَىا النَّبِ ُّي صلَّى اللَّوُ َعلَيو‬ ٍ َّ ‫َع ْب ِد‬
ْ َ َ َ َ َ ْ َ ‫الر ْح َم ِن بْ ِن َع ْو‬

101
Abu Daud Sulaiman bin As „As As-Sajastani, Sunan Abu Daud, (Beirut : Dar Al-KItab
Al‟Arabi, t.th), juz. 1, h. 111
62

‫ت‬ َّ ‫ضةُ فَ َد ِعي‬


ْ ‫الص َال َة َوإِ َذا أَ ْدبَ َر‬ َ ‫ْح ْي‬ َ َ‫َو َسلَّ َم ق‬
ْ َ‫ال إِذَا أَقْبَ ل‬
َ ‫ت ال‬
‫صلِّي‬ ِِ
َ ‫فَا ْغتَسلي َو‬
Artinya : Dari Aisyah RA, dia berkata, "Ummu Habibah binti
Jahsy, yaitu istri Abdurrahman bin Auf, terserang
darah penyakit selama tujuh tahun." Maka
Rasulullah SAW memerintahkan kepadanya,
seraya bersabda, "Apabila dating haid, maka
tinggalkanlah shalat, dan kalau telah berhenti,
maka mandilah, kemudian kerjakanlah shalat102.

3) Hadits riwayat Mu'adzah yaitu :

ُ ِ‫ْحائ‬
‫الص َال َة‬
َّ ‫ض‬ ِ َ ِ‫ت َعائ‬ َّ ‫َع ْن ُم َعا َذ َة أ‬
ْ َ‫َن ْام َرأَ ًة َسأَل‬
َ ‫شةَ أَتَ ْقضي ال‬
ِ ِ ‫ت لََق ْد ُكنَّا نَ ِحيض ِع ْن َد رس‬ ِ ْ‫ت أَحروِريَّةٌ أَن‬
ُ‫صلَّى اللَّو‬
َ ‫ول اللَّو‬ َُ ُ ُ َ ْ َ‫فَ َقال‬
‫ض ِاء‬
َ ‫ضي َوَال نُ ْؤَم ُر بِالْ َق‬ِ ‫َعلَْي ِو وسلَّم فَ َال نَ ْق‬
َ ََ
Artinya : Dari Mu'adzah, bahwasanya ada seorang wanita
pernah bertanya kepada Aisyah RA, Apakah
wanita yang haid harus mengqadha" shalat? "
Kata Aisyah, "Apakah kamu orang Haruriah?
Sesungguhnya kami biasa haid pada masa
Rasulullah SAW, lalu kami tidak
mengqadha'(shalat) dan tidak pula diperintahkan
untuk menqadha'nya103."

Biasanya perempuan pertama kali haid ketika berumur dua

belas sampai lima belas tahun. Terkadang ada juga perempuan

yang sudah mengalami haid sebelum atau setelah umur tersebut.

Keadaan ini tergantung kondisi fisik dan psikisnya. Para ulama

berbeda pendapat mengenai batasan umur untuk perempuan haid,

102
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughiroh Al-Bukhori, Shoheh Bukhori,
(Mesir : Dar As-Sa‟ab, 1987), Juz. 1, h. 90
103 103
Abu Daud Sulaiman bin As „As As-Sajastani, Op.cit, h. 108
63

sehingga ketika ada perempuan yang mengalami haid sebelum

atau sesudah batasan usia tersebut bisa dipastikan darah yang

keluar dari rahim perempuan adalah darah penyakit dan bukan

darah haid. Perbedaan itu disebabkan tidak adanya penjelasan dari

nash mengenai hal itu. Para ulama menetapkan batasan itu dengan

melihat kebiasaan dan keadaan perempuan.

Menurut Hanafi usia perempuan ketika pertama kali haid

adalah sembilan tahun qamariah atau tiga ratus lima puluh empat

hari dan umur berhentinya haid adalah limapuluh lima tahun.

Sedangkan menurut maliki, perempuan itu mengalami haid dari

umur Sembilan tahun sampai tujuhpuluh tahun. Menurut Syafii

tidak ada batasan umur bagi terhentinya masa haid, selama

perempuan itu hidup haid masih mungkin terjadi padanya. Tetapi

biasanya sampai umur enam puluh dua. Hambali batas akhir umur

perempuan haid adalah limapuluh tahun, hal ini berdasarkan qaul

aisyah ketika perempuan sampai umur limapuluh tahun, dia sudah

keluar dari batasan haid” dan ia juga menambahkan : perempuan

tidak hamil setelah ia berumur limapuluh tahun104.

Ad-Darimi berkata, setelah melihat pendapat yang berbeda

tentang hal tersebut, ia berkata, semua pendapat itu menurutku

salah. Karena semua pendapat itu didasarkan pada keluarnya

darah haid. Maka, jika sudah keluar darah dari rahim perempuan

104
Wahbah al Zuhaili, Op. cit, hlm.524
64

pada keadaan bagaimanapun atau usia berapapun pastilah ia

haid.” pendapat itu juga yang dipakai ibnu taimiyah, kapan saja

perempuan haid, walaupun usianya kurang dari sembilan tahun

atau lebih dari limapuluh tahun ia tetap dihukumi haid. Karena

hukum haid itu dikaitkan dengan keluarnya darah tersebut dan

bukan pada usia tertentu105.

3. Perbedaan Haid, Nifas dan Istihadhah

Ada tiga macam darah yang keluar dari kemaluan perempuan :

a. Darah Haid

Haid adalah darah yang keluar dari rahim perempuan dalam

keadaan sehat dan tidak karena melahirkan atau sakit yang terjadi

pada waktu tertentu.

b. Darah Nifas

Nifas adalah darah yang keluar dari rahim dengan sebab

melahirkan, baik itu keuarnya itu bersamaan ketika melahirkan,

setelahnya ataupun sebelumnya dua atau tiga hari disertai rasa

sakit.

c. Darah Istihadhah

Istihadhah adalah darah yang tidak biasa dan bukan bersifat

alamiah dari fisik perempuan, melainkan karena adanya pembuluh

darah yang terputus. Hukum perempuan istihaḍah ada tiga, yaitu:

105
Abu Ubaidah Usamah bin Muhammad al Jamal, Shahih Fiqih Wanita,(Surakarta:
Insan Kamil, 2010), h. 33-34
65

1) Seperti hukum perempuan suci dan tidak dikenai hukum

perempuan haid ataupun nifas.

2) Disunahkan berwudhu setiap mau melaksanakan shalat

3) Penghitungan siklus haid dan istihadahah dengan beberapa

cara: pertama, dengan membedakan sifat darah haid dan darah

istihadhah. kedua, dengan melihat kebiasaan haid yang

sebelumnya. ketiga dengan melihat kebiasaan haid perempuan

pada umumnya.

Sedangkan hukum nifas sama dengan haid, segala sesuatu

yang diharamkan bagi perempuan haid juga haram bagi

perempuan nifas. Tetapi ada beberapa hukum yang berbeda

antara haid dan nifas, yaitu106:

a) Iddah

Masa iddah itu dihitung dari haid bukan nifas. Karena jika

thalak terjadi sebelum melahirkan, maka habisnya iddah

setelah ia melahirkan bukan karena nifasnya dan jika

thalak terjadi setelah melahirkan, perempuan tersebut

menunggu masa haidnya sebagai masa iddahnya.

b) Masa ila‟

Ila‟ itu dihitung selama masa haid dan tidak dihitung

selama masa nifas. Yang dimaksud dengan ila‟ adalah

seorang suami bersumpah untuk tidak menggauli istrinya

106
Abu Ubaidah Usamah bin Muhammad al Jamal, Shahih Fiqih Wanita,(Surakarta:
Insan Kamil, 2010), h. 62
66

selamanya atau lebih dari empat bulan. Maka, jika suami

telah bersumpah kemudian istri memintanya untuk

berjima‟, dijadikanlah masa empat bulan sebagai masa

sumpahnya. Jika sudah habis masa empat bulan ia boleh

berjima‟ atau berpisah karena permintaan istrinya. Selama

masa tersebut, jika istri mengalami nifas itu tidak dihitung

bagi suami dan ditambahkan selama empat bulan sesuai

dengan hitungan masanya. Berbeda dengan haid, maka

masa haidnya dihitung bagi suami.

c) Tanda Baligh

Balighnya seorang perempuan ditandai dengan haid dan

bukan dengan nifas. Karena seorang perempuan tidak

mungkin bisa hamil sampai ia haid. Maka tanda balighnya

perempuan itu dengan keluarnya darah haid dan itu pasti

terjadi sebelum melahirkan.

4. Masa Haid dan Masa Suci

Para ulama berbeda pendapat mengenai lamanya masa haid,

menurut syafii dan ahmad paling sedikitnya haid adalah sehari

semalam dan paling lama adalah lima belas hari. Sedangkan menurut

Abu Hanifah paling sedikit tiga hari tiga malam dan jika kurang dari

itu disebut darah fasad dan paling lama haid adalah sepuluh hari.
67

Menurut Maliki tidak ada batasan minimal dan batas maksimal bagi

haid, walau hanya keluar satu tetes sudah terhitung haid107.

Sedangkan sedikitnya masa suci diantara haid menurut jumhur

ulama adalah lima belas hari. Karena dalam satu bulan biasanya

perempuan mengalami siklus haid dan suci, sedangkan maksimal haid

adalah lima belas hari sehingga minimal suci adalah lima belas hari

juga. Menurut hanabilah sedikitnya suci diantara haid adalah tiga

belas hari. Seperti yang diriwayatkan Ahmad dari Ali, sesengguhnya

seorang perempuan yang ditalak suaminya datang kepada Ali. Dia

berkata bahwa sedang haid di hari yang ketiga belas108.

5. Hukum Perempuan Haid dan Larangan-Larangan Bagi

Perempuan Haid

a. Hukum Perempuan Haid

Dalam tradisi fiqh, terdapat lima hukum yang berkaitan

dengan perempuan haid, sebagaimana yang dirumuskan oleh para

ahli fikih. Yakni109:

1) Perempuan yang haid wajib mandi setelah selesai masa

haidnya

2) Haid sebagai pertanda baligh.

107
Wahbah al Zuhaili, Op. cit, h. 527. lihat juga, Abdurrahman al Jaziri, Kitab al Fiqh
‟ala al Madzahib al Arba‟ah, (Beirut: dar al kutub al -alamiah, 1990) h.119
108
Ibid, h. 529
109
Ibid, h. 534
68

3) Penentuan kosongnya rahim seorang perempuan pada masa

iddah dengan haid. Sebab, pada dasarnya hikmah iddah adalah

untuk mengetahui kosongnya rahim.

4) Penghitungan mulainya masa iddah dengan haid, menurut

madzab Hanafi dan Hanbali. Karena mereka memaknai lafadh

tslasata quru‟ dengan haid. Iddahnya perempuan yang tidak

hamil otomatis selesai dengan selesainya haid yang ketiga dan

haid yang terjadi ketika talak tidak terhitung. Sedangkan

menurut madzab maliki dan syafi‟i quru‟ berarti at thuhru,

maka penghitungan iddah dimulai dengan masa suci dan

berakhirnya masa iddah dengan mulainya haid yang ketiga.

Masa suci saat jatuhnya talak terhitung dalam hitungan

tsalasata quru‟ walaupun Cuma sebentar.

5) Ditetapkannya kafarah atau hukuman karena melakukan jima‟

pada masa haid.

b. Larangan-Larangan Bagi Perempuan Haid

Ada delapan hal yang dilarang bagi perempuan haid, yakni sebagai

berikut110:

1) Shalat

2) Sujud tilawah

3) Menyentuh mushaf

4) Masuk masjid

110
Ibid, h. 535-539
69

5) Thawaf

6) I‟tikaf

7) Membaca al quran

8) Thalak

6. Haid Menurut Pakar Kesehatan

Didalam kesehatan Haid lebih dikenal dengan istilah Mentruasi.

Menstruasi (Menarche) merupakan proses yang alamiah dan wajar

dialami pada perempuan. Menstruasi (Menarche) adalah suatu tanda

dimana seorang anak perempuan sudah mulai beranjak dewasa. Awal

dimulainya proses menstruasi berarti dimulainya juga berfungsinya

alat-alat reproduksi. Hal ini berkaitan dengan pendapat Wong 111

pubertas biasanya akan di alami setiap wanita pada usia remaja di

tandai dengan menarche yaitu mendapatkan mensturasi (haid)


112
pertama. Menurut Pardede Menstruasi adalah “suatu proses

pelepasan lapisan dalam dinding rahim akibat pengaruh hormon yang

terjadi secara berkala pada perempuan usia subur”. Umumnya, remaja

yang mengalami menstruasi (menarche) adalah pada usia 12 sampai

dengan 16 tahun. Periode ini akan mengubah perilaku dari beberapa

aspek, misalnya psikologi dan lainnya. Pada wanita biasanya pertama

kali mengalami menstruasi pada umur 12-16 tahun. Siklus menstruasi

(menarche) 13 normal terjadi setiap 22-35 hari, dengan lamanya

111
Wong D.L.,Whaly. 2004. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik, Alih bahasa Sunarno,
Agus dkk. Edisi 6 Volume I. Jakarta:EGC.
112
Pardede. 2009. Masa Remaja. Dalam Moersintowati BN, Titi SS, Soetjiningsih,
Hariyono S, IG. N dan Gde G, Sambas W. Editors. Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Jakarta :
Sagung Seto ; 2002. 138-170.
70

menstruasi (menarche) selama 3-7 hari. Menurut Bobak, Lowdermilk,

& Jensen113; Proverawati &Misaroh114 Menstruasi adalah pengeluaran

darah, mukus, dan debris sel dari mukosa uterus disertai pelepasan

(deskuamasi) endometrium secara periodik dan siklik, yang dimulai

sekitar 14 hari setelah ovulasi.

Gejala menstruasi timbul atau dapat dirasakan oleh wanita

beberapa hari menjelang mentruasi. Perubahan fisik maupun

psikologis sebelum menstruasi disebut Premenstrual Syndrome

(PMS).

Gejala psikologis pada masa menstruasi ini dapat menyebabkan

terganggunya aktivitas- aktivitas seseorang yang mengalami gejala

psikis, diantaranya: kecemasan atau ketakutan terhadap menstruasi,

sehingga menimbulkan ketidak konsentrasian, malas, tegang, rendah

diri, perasaan yang tidak menentu, mudah tersinggung atau mudah

marah, merasa gelisah dan gangguan tidur, merasa terhalangi atau

terbatasi kebebasan dirinya oleh datangnya menstruasi. misalnya,

wanita terbatas dalam melakukan ibadah, aktivitas olahraga dan

aktivitas lainnya.

Gangguan fisik pada umumnya wanita yang mengalami pms akan

merasakan gejala fisik seperti : berat badan bertambah, bengkak pada

kaki dan pergelangan tangan, perubahan / nyeri pada payudara, sakit

113
Bobak, I. M., Jensen, M. D., & Lowdermilk, D. L. 2004. Buku ajar keperawatan
maternitas (Alih bahasa: Maria A. Wijayarini & Peter I. Anugerah ) (Edisi 4).Jakarta: EGC.
114
Proverawati, A., & Misaroh, S. 2009. “Menarche: Menstruasi pertama penuh
makna.Yogyakarta: Nuha Medika.
71

kepala, pusing, kram pada bagian rahim (biasanya sebelum dan

beberapa hari pertama dari periode menstruasi), keinginan akan

makanan yang tertentu, timbulnya jerawat, lemah, sakit perut dan sakit

pada bagian punggung dan otot.

Sebagian perempuan mengalami haid yang tidak normal.

Gangguan menstruasi ini sendiri jika dianggap sepele akan berdampak

serius. Misalnya seorang gadis yang mengalami menstruasi tidak

teratur, dapat menjadi pertanda bahwa gadis tersebut tidak subur

(infertil). Gangguan menstruasi paling umum terjadi pada awal dan

akhir masa reproduksi, yaitu di bawah usia 19 tahun dan di atas usia

39 tahun. Gangguan ini mungkin berkaitan dengan lamanya siklus

menstruasi, 17 atau jumlah dan lamanya menstruasi, seseorang wanita

dapat mengalami kedua gangguan tersebut. Pada saat menstruasi

perempuan kadang mengalami nyeri. Sifat dan tingkat nyeri

bervariasi, tergantung berdasarkan ambang batas sakit masing-masing

individu. Rasa nyeri yang berlebihan disebut Dismenorrhoe.

Berdasarkan macamnya, nyeri haid terbagi atas 2 macam : 1. Primer

Timbul dari haid pertama dan akan hilang sendri dengan berjalannya

waktu. Hal ini disebabkan oleh kstabilan hormon dalam tubuh atau

posisi rahim setelah menikah dan melahirkan. Gejala ini tidak

membahayakan, dan hanya timbul karena dipengaruhi psikis dan fisik

(ketahanan tubuh). 2. Skunder Timbul jika adanya penyakit atau


72

kelainan menetap, seperti infeksi rahim, tumor atau kelainan

kedudukan rahim.

Anda mungkin juga menyukai