Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah


Pernikahan merupakan suatu ikatan perkawinan yang menghalalkan antara suami
istri untuk melakukan hubungan suami istri. Di dalam pernikahan dituntut untuk
selalu dapat menjaga dan mempertahankan keharmonisan dan keutuhan rumah
tangga, sehingga tercipta keluarga yang sakinah mawaddah wa rohmah. Namun,
terkadang di dalam rumah tangga sering terjadi konflik keluarga. Hal inilah yang
dapat menyebabkan suatu keluarga tersebut terjadi perceraian.
Di dalam agama Islam perceraian merupakan perbuatan yang halal namun sangat
dibenci oleh Allah SWT. Untuk itu agama Islam menetapkan suatu aturan hukum
yang mengatur pernikahan, perceraian hingga kembali bersatu menjadi keluarga yang
utuh. Maka sebelum melakukan rujuk kepada mantan istri, ada suatu permasalahan
yang harus dibahas yaitu iddah. Iddah ini dibahas guna untuk memberikan
pemahaman kepada setiap muslim bahwa setelah perceraian dilakukan ada waktu
tenggang kepada suami istri untuk memikirkan apakah melangsungkan pernikahan
atau memutuskannya. Dan pada makalah ini akan dibahas tentang masalah iddah dan
permasalahan yang berkaitan dengan iddah itu sendiri.
Iddah memang sudah ada sejak pada zaman jahiliyah, Syari’ah islam menetapkan
adanya iddah maka dari itu iddah tetap di akui dan di jalankan oleh mereka.
Di dunia ini tidak mungkin lepas dari masalah, terutama masalah idda. Oleh
karena itu kita sebagai kaum hawa yang muslimah harus faham betul apa itu iddah.
Maka harus menjunjung tinggi akan nilai-nilai yang terkandung dalam iddah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Iddah ?
2. Ada berapa Macam-macam Iddah ?
3. Bagaimana hukum Idddah ?

C. Tujuan Penelitian
Memahami dan mengerti betul apa pengertian Iddah, Fungsi, dan Hikmanya.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Menurut bahasa kata iddah berasal dari kata ’adad (bilangan dan ihshaak
(perhitungan), seorang wanita yang menghitung dan menjumlah hari dan masa haidh
atau masa suci.
Dalam kitab fiqih iddah didefenisikan sebagai (masa tunggu yang dilalui oleh
perempuan) al-shaniya memperjelas maksud defenisinya tersebut ialah : masa suatu
masa yang seorang perempuan menunggudalam masa itu kesepakatan untuk kawin
lagi karena wafatnya suaminya. Dalam ta’rif yang lain ditemukan juga bahwa masa
tunggu yang harus dilalui oleh seseorang perempuan untuk mengetahui bersihnya
rahim perempuan itu atau untuk beribadah.
Dari defenisi di atas diketahui bahwa hakikat dari pada iddah tersebut adalah
masa iddah tersebut ialah “masa yang harus ditunggu oleh seseorang perempuan yang
telah bercerai dari suaminya” Iddah berarti perhitungan atau suatu yang dihitung.
Secara bahasa mengandung pengertian hari-hari haid atau hari-hari suci pada
wanita. Sedangkan secara istilah iddah mengandung arti masa menunggu bagi wanita
untuk melakukan perkawinan setelah terjadi perceraian dari suaminya, baik cerai hidp
maupun cerai mati, dengan tujuan untuk mengetahui keadaan rahimnya atau untuk
berfikir untuk suami.
Menurut ahmad bin gundur iddah ialah jenjang waktu yang ditentukan untuk
enenti kesucian (kebersihan rahim) dari pengaruh hubungan suami istri setelah istri
diceraikan atau ditinggal mati suaminya, yaitu waktu yang dipikul oeh istri setelah
putus ikatan pernikahan karena dikhawatirkan terjadi keshubhatan dalam pengaruh
hubungan kelamin
Menurut syayuti thalib, mengatakan bahwa iddah dapat dilihat dari sudut
pandang :
Pertama, dilihat dari segi kemungkinan keutuhan perkaeinan yang telah ada.
Suami dapat rujuk kepada istrinya. Jadi kata iddah yang dimaksud ialah suatu istilah
hukum yang mempunyai arti tenggang waktu sesudah jatuh talaq, dalam waktu
dimana suami dapat rujuk kepada istri.
Kedua dilihat dari segi istri, masa iddah itu akan berarti suatu tenggang waktu
dalam waktu dimana istri belum dapat melangsungkan pernikahan dengan laki-laki
lain.
Seseorang wanita yang telah di cerai olh suaminya, dilarang melakukan
perkawinan dengan laki-laki lain selama masa yang telah ditentukan syari’at ini
maksudnya memberikan kesempatan kepada suami istri untuk berfikir, apakah
perkaeinan tersebut masih dapat dilanjutkan dengan cara ruju’ jika perceraian itu
terjadi pada thalaq roj’i , atau perceraian yang lebih baik.
Disamping itu masa tunggu juga berguna untuk mengetahui apakah rahim istri
tersebut berisi janin atau tidak sehingga apabila wanita hamil segera diketahui
nasbnya.

B. Ayat-ayat yang terkait dengan iddah


1. Q.s Al-Baqarah : 234
َ‫علَ ْي ُك َْم‬ ََ ‫عش ًْرا َ َف ِإذَا َبَلَ ْغنََ َأَ َجلَ ُهنََّ َ َف‬
ََ ‫ل َ ُجنَا‬
َ َ‫ح‬ ْ َ ‫َوالَّذِينََ َيُت َ َوفَّ ْونََ َ ِم ْن ُك َْم َ َويَذَ ُرونََ َأ َ ْز َوا ًجا َيَت َ َربَّصْنََ َ ِبأ َ ْنفُس ِِهنََّ َأ َ ْربَعَ َةَ َأ‬
َ ‫ش ُهرَ َ َو‬
َ‫َللاَُ ِب َماَت َ ْع َملُونَََ َخ ِبير‬ َِ ‫فِي َماَفَ َع ْلنَََفِيَأ َ ْنفُس ِِهنَََّ ِبا ْل َم ْع ُر‬
ََّ ‫وفَ َو‬
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri
(hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh
hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka[147] menurut yang patut. Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat. (Al-Baqarah :234).

a. Tafsiran ayat
ََ‫َوالَّذِينَََيُت َ َوفَّ ْونَََ ِم ْن ُك َْمَ َويَذَ ُرونَََأ َ ْز َوا ًجاَيَت َ َربَّصْن‬
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri
(hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah)
Maksudnya hendaklah para istri menahan
ََّ‫ِبأ َ ْنفُس ِِهن‬
(diri mereka) untuk kawin setelah suami mereka telah meninggal itu
‫عش ًْرا‬ ْ َ ‫أ َ ْر َب َعةَََأ‬
َ ‫ش ُهرََ َو‬
(selama empat bulan sepuluh hari) maksudnya hari ini adalah mengenai wanita-
wanita yang tidak hamil, mengenai yang hamil maka iddah mereka sampai
melahirkan, sedangkan bagi wanita budak adalah setengah dari yang demikian itu.

b. Penjelasan
Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa wanita yang mati suaminya harus
menahan diri (beridah) selama satu tahun. Juga walaupun ayat ini kelihatannya umum
(mencakup semua wanita yang ditinggal mati oleh suaminya) namun ia mempunyai
pengertian khusus yaitu yang tidak dalam keadaan mengandung.
Sebab untuk wanita hamil, Allah telah memberikan hukum yang lain pada ayat
yang lain. Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut dalam tafsir ayat 240.
Idah perempuan yang mati suaminya empat bulan sepuluh hari. Selama masa itu
ia tidak boleh berhias-hias mempersiapkan diri menerima pinangan atau memberi
janji untuk menerima pinangan. Demikian juga ia tidak boleh keluar rumah kecuali
karena hal-hal yang dibolehkan oleh agama. Karena selain masa itu untuk mengetahui
kebersihan rahimnya (hamil atau tidak hamil), juga digunakan sebagai masa
berkabung. Manakala ia tidak hamil maka ia wajib berkabung menghormati tali
hubungan suami istri baik terhadap mendiang suami maupun terhadap keluarga
suaminya. Ia harus berkabung selama ia dalam idah. Setelah habis masa empat bulan
sepuluh hari tersebut dibolehkan membuat segala sesuatu tentang dirinya menurut
cara yang wajar, umpamanya menerima pinangan dan keluar rumah dan perbuatan
lain yang tidak bertentangan dengan agama.
Allah mengetahui segala apa yang dikerjakan oleh manusia. Ayat ini menegaskan
bahwa mengenai masa berkabung ini Islam memberikan jalan sebaik-baiknya yang
sesuai dengan kebutuhan manusia. Wanita-wanita pada masa jahiliah melakukan
masa berkabung selama satu tahun penuh dan tidak boleh memakai perhiasan, tidak
boleh memakan makanan yang enak dan tidak boleh pula memperlihatkan diri di
muka umum. Bahkan pada sebahagian kelompok masyarakat kaum wanita yang
menjalani masa berkabung ini harus melakukan hal-hal yang jauh lebih berat dari apa
yang dilakukan oleh orang di masa jahiliah seperti terus-menerus menangis dan
meratap. Tidak boleh mengurus dirinya dan lain sebagainya. Ada pula yang
melakukan masa berkabung ini bukannya karena kematian suaminya saja karena
kematian anak pun mereka berkabung secara demikian. Maka tepatlah apa yang
diatur oleh Islam bahwa masa berkabung untuk wanita yang kematian suami tidak
boleh lebih dari empat bulan sepuluh hari dan untuk kematian famili lainnya tidak
boleh lebih dari tiga hari.
Penyimpangan dari ketentuan ini harus dihindari karena Allah Maha Mengetahui
segala apa yang dikerjakan oleh manusia.
Berangkat dari ayat diatas, menurut kalangan fuqaha’, iddah itu terbagi
kedalam dua kategori,
Pertama, idaah yang terjadi karena wanita tersebut ditinggal mati oleh
suaminya. Kondisi yang ditinggal mati ini adakalanya wanita tersebut dalam keadaan
mengandung dan adakalanya dalam keadaan kosong. Apabila dalam mengandung
masa iddahnya adalah menunggu sampai melahirkan. Apabila tidak dalam keadaan
mengandung, dalam pengertian tidak ada benih di dalamnya, masa iddahnya empat
bulan sepuluh hari.
Kedua, iddah yang terjadi bukan karena ditinggal mati suami. Ada beberapa
perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang madsalah wanita hamil yan ditinggal
mati oleh suaminya, hingga berlaku dua masa iddaah; iddah melahirkan dan iddah
wafat.
Jumhur ulama fiqih menyatakan masa iddahnya adalah sampai ia melahirkan,
sekalipun masa kelahiran belum sampai empat bulan sepuluh hari
Menurut ali bin abi thalib dan ibn abbas iddah yang dipakai adalah yang
terlama, jika wanita tersebut melahirkan, jika wanita tersebut melahirkan sebeum
masa empat bulan sepuluh hari, jika telah lewat empat bulan sepuluh hari, tetapi
wanita tersebut belum juga melhirkan maka iddahnya sampai sesudah melahirkan.

2. Qs. Al-Baqarah : 228


ِ ‫َََللاََُفِيَأَ ْرح‬
َّ ِ‫َام ِهنَََّإِ ْنََكُنَََّيُؤْ ِمنَََّب‬
ََِ‫اَلل‬ َّ ‫ق‬ َ َ‫ََو َلََيَ ِحلََلَ ُهنَََّأ َ ْنََيَ ْكتُ ْمنَََ َماَ َخل‬َ ‫َوا ْل ُم َطلَّقَاتََُيَتَ َربََّصْنَََبِأ َ ْنفُس ِِهنَََّثَ َلثَةَََقُ ُروء‬
ََ‫لرجَا ِل‬
ِّ ِ ‫َو ِل‬
َ ‫وف‬ َ َ ‫َمثْ َُل َالَّذِي‬
َِ ‫علَي ِْهنََّ َ ِبا ْل َم ْع ُر‬ َ ‫ن َأ َ َرادُوا َإِص َْل ًحا‬
ِ ََّ‫َولَ ُهن‬ َْ ِ‫َوبُعُولَت ُ ُهنََّ َأَحَقَ َ ِب َر ِ ِّد ِهنََّ َفِي َذَ ِلكََ َإ‬
َ ‫َاْلَ ِخ َِر‬
ْ ‫َوا ْليَ ْو َِم‬
َ‫َللاََُع َِزيزََ َح ِكيم‬ َ ‫علَي ِْهنَََّد ََرجَة‬
َّ ‫ََو‬ َ
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru'[142]. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya
berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki
ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan
kelebihan daripada isterinya[143]. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

a. Asbabu nuzul
Asma’ binti Yazid bin al-Sakan al-Anshariyyah berkata mengenaiturunnya ayat
tersebut di atas sebagai berikut: “Pada zaman Rasulullah akuditolak oleh suamiku
disaat belum ada hukum iddah bagi wanita yang dicerai.Maka Allah menetapkan
hukum iddah bagi wanita, yaitu menunngu setelahbersuci dari tiga kali haid.”
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Abi Hatim, yang bersumber dari
Asma’ binti Yazid bin al-Sakan.
Isma’il bin Abdillah al-Ghifari menceraikan istrinya, Qatillah, di zamanRasulullah. Ia
sendiri tahu kalau istrinya dalam keadaan hamil. Setelah iamengetahuinya ia pun
rujuk pada istrinya, kemudian istrinya melahirkan danmeninggal demikian juga
dengan bayinya. Maka turunlah ayat di atas yangmenegaskan betapa pentingnya masa
iddah bagi wanita untuk mengetahui hamil tidak istrinya

b. Tafsiran ayat
َ‫َوا ْل ُم َطلَّقَاتََُ َيت َ َرََّبصْنَََ ِبأ َ ْنفُس ِِهنَََّثَ َلثَةَََقُ ُروء‬
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru maksudnya, quru’ dihitung dimulai pada saat thalaq dijatuhkan. Dan quru’
adalah jama’ dari qar’un, yang dapat diartikan dua hal yaitu suci dan haid. Dan hal ini
ialah mengenai wanita-wanita yang telah dicampuri.
ِ ‫َََللاََُفِيَأ َ ْرح‬
ََّ‫َام ِهن‬ َّ ‫ق‬َ َ‫َو َلََيَ ِحلََلَ ُهنَََّأَ ْنََيَ ْكت ُْمنَََ َماَ َخل‬
(dan mereka tidak boleh menyembunikan apa yang telah diciptakan oleh allah pada
rahim rahim mereka) berupa anak atau darah haid.

َ ‫ََاْلَ ِخ ِر‬
ََّ‫ََوبُعُولَت ُ ُهن‬ ْ ‫ََوا ْليَ ْو ِم‬ َّ ‫ِإ ْنََكُنَََّيُؤْ ِمنَََّ ِب‬
َ ِ‫اَلل‬
(jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir, dan suami suami mereka)
ََّ‫أَحَقََبِ َر ِ ِّد ِهن‬
(lebih baik merujuki mereka sekalipun mereka tidak mau rujuk)
‫فِيَذَ ِلكَََإِ ْنََأَ َرادُواَإِص َْل ًحا‬
(di saat demikian (menunggu) itu, jika mereka menghendaki perbaikan)
Maksudnya, agar sesama mereka kembali untuk berbaikan, dan bukan untuk
menyusahkan istri. Ini merupakan dorongan bagi orang yang berniat mengadakan
perbaikan dan bukan merupakan syarat bagi diperbolehkan ruju’, ini hanya mengenai
tha;aq raj’i dan memang tidak ada orang yang lebih utama dari pada suami mereka,
karena sewatu masa iddah, tak ada orang lain yang boleh mengawini istrinya.

c. Penjelasan
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa wanita yang diceraikan atau ditinggal oleh
suaminya, maka ia haruslah menunggu selama tiga quru’
Dan wanita-wanita yang ditalak hendaklah menunggu) atau menahan (diri
mereka) dari kawin (selama tiga kali quru') yang dihitung dari mulainya dijatuhkan
talak.
Dan quru' adalah jamak dari qar-un dengan mematahkan qaf, mengenai hal ini
ada dua pendapat, ada yang mengatakannya suci dan ada pula yang mengatakannya
haid.
Ini mengenai wanita-wanita yang telah dicampuri. Adapun mengenai yang belum
dicampuri, maka tidak ada idahnya berdasarkan firman Allah, "Maka mereka itu tidak
mempunyai idah bagimu. Juga bukan lagi wanita-wanita yang terhenti haidnya atau
anak-anak yang masih di bawah umur, karena bagi mereka idahnya selama tiga bulan.
Mengenai wanita-wanita hamil, maka idahnya adalah sampai mereka melahirkan
kandungannya sebagaimana tercantum dalam surah At-Thalaq, sedangkan wanita-
wanita budak, sebagaimana menurut hadis, idah mereka adalah dua kali quru' (Dan
mereka tidak boleh menyembunyikan apa yang telah diciptakan Allah pada rahim-
rahim mereka) berupa anak atau darah haid, (jika mereka beriman kepada Allah dan
hari akhir.
Dan suami-suami mereka) (lebih berhak untuk merujuk mereka) sekalipun
mereka tidak mau dirujuk (di saat demikian), artinya di saat menunggu itu (jika
mereka menghendaki perbaikan) sesama mereka dan bukan untuk menyusahkan
istri. Ini merupakan dorongan bagi orang yang berniat mengadakan perbaikan dan
bukan merupakan syarat diperbolehkannya rujuk. Ini mengenai talak raj`i dan
memang tidak ada orang yang lebih utama daripada suami, karena sewaktu masih
dalam idah, tidak ada hak bagi orang lain untuk mengawini istrinya.
(Dan para wanita mempunyai) dari para suaminya (hak-hak yang seimbang)
dengan hak-hak para suami (yang dibebankan kepada mereka) (secara makruf)
menurut syariat, baik dalam pergaulan sehari-hari, meninggalkan hal-hal yang akan
mencelakakan istri dan lain sebagainya. (Akan tetapi pihak suami mempunyai satu
tingkat kelebihan) tentang hak, misalnya tentang keharusan ditaati disebabkan
maskawin dan belanja yang mereka keluarkan dari kantong mereka. (Dan Allah Maha
Tangguh) dalam kerajaan-Nya, (lagi Maha Bijaksana) dalam rencana-Nya terhadap
hak-hak-Nya.
Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa wanita yang mati suaminya harus
menahan diri (beridah) selama satu tahun. Juga walaupun ayat ini kelihatannya umum
(mencakup semua wanita yang ditinggal mati oleh suaminya) namun ia mempunyai
pengertian khusus yaitu yang tidak dalam keadaan mengandung.
Sebab untuk wanita hamil, Allah telah memberikan hukum yang lain pada ayat yang
lain. Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut dalam tafsir ayat 240.
Idah perempuan yang mati suaminya empat bulan sepuluh hari. Selama masa itu
ia tidak boleh berhias-hias mempersiapkan diri menerima pinangan atau memberi
janji untuk menerima pinangan.
Demikian juga ia tidak boleh keluar rumah kecuali karena hal-hal yang
dibolehkan oleh agama. Karena selain masa itu untuk mengetahui kebersihan
rahimnya (hamil atau tidak hamil), juga digunakan sebagai masa berkabung.
Manakala ia tidak hamil maka ia wajib berkabung menghormati tali hubungan
suami istri baik terhadap mendiang suami maupun terhadap keluarga suaminya. Ia
harus berkabung selama ia dalam idah.
Setelah habis masa empat bulan sepuluh hari tersebut dibolehkan membuat segala
sesuatu tentang dirinya menurut cara yang wajar, umpamanya menerima pinangan
dan keluar rumah dan perbuatan lain yang tidak bertentangan dengan agama.
Allah mengetahui segala apa yang dikerjakan oleh manusia. Ayat ini menegaskan
bahwa mengenai masa berkabung ini Islam memberikan jalan sebaik-baiknya yang
sesuai dengan kebutuhan manusia.
Wanita-wanita pada masa jahiliah melakukan masa berkabung selama satu tahun
penuh dan tidak boleh memakai perhiasan, tidak boleh memakan makanan yang enak
dan tidak boleh pula memperlihatkan diri di muka umum.
Bahkan pada sebahagian kelompok masyarakat kaum wanita yang menjalani
masa berkabung ini harus melakukan hal-hal yang jauh lebih berat dari apa yang
dilakukan oleh orang di masa jahiliah seperti terus-menerus menangis dan meratap.
Tidak boleh mengurus dirinya dan lain sebagainya. Ada pula yang melakukan
masa berkabung ini bukannya karena kematian suaminya saja karena kematian anak
pun mereka berkabung secara demikian.
Maka tepatlah apa yang diatur oleh Islam bahwa masa berkabung untuk wanita yang
kematian suami tidak boleh lebih dari empat bulan sepuluh hari dan untuk kematian
famili lainnya tidak boleh lebih dari tiga hari.
Penyimpangan dari ketentuan ini harus dihindari karena Allah Maha Mengetahui
segala apa yang dikerjakan oleh manusia.
Dalam ayat tersebut juga dijelaskan bahwa bagi wanita-wanita yang telah
diceraikan hendaknya menunggu selama tiga kali masa haid dari sejak dijatuhkannya
thalaq kepadanya demi memastikan keadaan rahimnya, apakah ia hamil atau tidak,
masa penantian ini adalah masa iddah bagi wanita yang telah disetubuhi oleh
suaminya, maka setelah tiga kali haid ini baru boleh menikah lagi.
Selain itu, (wanita yang dithalq ini) juga tidak boleh menyembunyikan kehamilan
dan mengingkarinya dengan tujuan agar tidak kembali kepada suaminya, atau karena
ia lebih menyukai perpisahan dan melalui masa iddah.
Seseorang suami mempunyai hak untuk merujuk istrinya selam belum berakhir
masa iddah tersebut, karena pada masa tersebut sang istri masih berada dibwah
pemeliharaan dan tanggung jawabnya, itu pun jika ia (suami) menghendaki untuk
kembali membangun hubungan keluarga yang harminis dengannya dan tidak untuk
menyusahkannya . sementara istri mempunyai beberapa hak darinya, seperti
mendaoatkan pergaulan yang baik darinya, kasih sayang dan juga
nafkah,sebagaimana suami juga mempunyai hak untuk mendapatkan perlakuan yang
lembut, pergaulan yang baik dan tidak dikhianati.
Suami juga mempunyai beberapa kelebihan dan keistimewaan atas para istrinya
yaitu lebih disebabkan oleh nafkah, perlindungan, dan tanggung jawab serta
pergaulan mereka terhadap istrinya. Tetapi walau demikian halnya tidak berarti
bahwa ia(suami) lebih baik darinya, karena kelebihan itu diukur dari ketaqwaaannya
3. Q.s Al-Ahzab : 49
َ ََ‫ُنَََّم ْنََقَ ْب ِلََأ َ ْنََت َ َمسوهُنَََّفَ َماَلَ ُك ْم‬
ِ ‫علَي ِْه‬
َ‫نَََّم ْنََ ِعدَّةََتَ ْعتَدونَهَا‬ ِ ‫يَاَأَيهَاَالَّذِينَََآ َ َمنُواَ ِإذَاَنَ َكحْ ت ُ ُمََا ْل ُمؤْ ِمنَا‬
ِ ‫تََث ُ َّمََ َط َّل ْقت ُ ُموه‬
ً ‫احاَج َِم‬
َ‫يل‬ ً ‫س َر‬
َ َََّ‫س ِ ِّر ُحوهُن‬ َ ‫فَ َم ِتِّعُوه‬
َ ‫ُنَََّو‬
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan
yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka
sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta
menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah[1225] dan lepaskanlah mereka itu
dengan cara yang sebaik- baiknya.

a. Tafsiran ayat
َ ََ‫فَ َماَلَ ُك ْم‬
ِ ‫ع َلي ِْه‬
‫نَََّم ْنََ ِعدَّةََتَ ْعتَدونَهَا‬
(maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah dengan quru’ atau bilangan lainnya)
ََّ‫فَ َمتِِّعُوهُن‬
Maksudnya ialah berikanlah mereka uang maut’ah sebagai pasongan dengan
sejumlah secukupnya. Demikian itu apabila pihak lelaki belum mengucapkan jumlah
maharnya kepada mereka, apabila mereka ternyata ia telah mengucapkan jumlahnya,
maka uang mut’ah itu adalah separuh dar mahar yang telah diucapkan.
ً ‫س َرا ًحاَج َِم‬
َ‫يل‬ َ َََّ‫س ِ ِّر ُحوهُن‬
َ ‫َو‬
Dan lepasskanlah mereka itu dengan cara-cara yang sebaik-baiknya yaitu tanpa
menimbulkan kemudaratan pada diri mereka.
b. Penjelasan
Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa jika terjadi perceraian antara seorang
mukmin dan istrinya yang belum pernah dicampurinya, maka perempuan yang telah
diceraikannya itu tidak mempunyai masa idah dan perempuan itu langsung bisa
kawin lagi dengan lelaki yang lain. Bekas suami menceraikan itu hendaklah memberi
mutah, yaitu suatu pemberian untuk menghibur dan menyenangkan hati istri yang
diceraikan sebelum dicampurinya itu. Besar dan kecilnya mutah itu tergantung
kepada kesanggupan suami sesuai dengan firman Allah:

‫ال جناح عليكم إن طلقتم النساء ما لم تمسوهن أو تفرضوا لهن فريضة ومتعوهن على الموسع قدره وعلى المقتدر‬
‫قدره متاعا بالمعروف حقا على المحسنين‬
Artinya:
Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu jika kamu menceraikan
istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu
menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mutah (pemberian)
kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya, dan orang yang miskin
menurut kemampuannya (pula) yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian
itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebaikan. (Q.S. Al Baqarah:
236)
Patut diperhatikan bahwa jika perempuan itu harus meninggalkan rumahnya maka
cara mengeluarkannya hendaklah dengan sopan santun sehingga tidak menyebabkan
sakit hatinya. Kepadanya harus diberikan ongkos dan bekal yang wajar, sehingga
pemberian itu benar-benar merupakan hiburan yang meringankan penderitaan hatinya
akibat perceraian yang dialaminya. Diriwayatkan dari Sahal bin Saad dan Abu Usaid:

‫تزوج النبي صلى هللا عليه وسلم أميمة بنت شراحيل فلما أدخلت عليه بسط يده إليها فكأنها كرهت ذلك فأمر أبا‬
‫رازقيين‬ ‫ثوبين‬ ‫ويكسوها‬ ‫يجهزها‬ ‫أن‬ ‫أسيد‬.
Artinya:
Nabi saw telah mengawini Umaimah binti Syarahil. Ketika Umaimah
dimasukkan ke dalam rumah (Nabi). Nabi mengulurkan tangan kepadanya, namun
dia seakan-akan tidak menyukai (cara penyambutan Nabi tersebut). Maka Nabi
menyuruh Abu Usaid agar memberikan dua potong baju yang baik yang terkenal
pada waktu itu (sebagai hadiah perceraian). (H.R. Bukhari)
Di dalam ayat ini dijelaskan hukum talak sebagai penyempurnaan bagi
hukum-hukum yang tersebut pada ayat-ayat sebelumnya.
Apabila istri-istri yang mempunyai masa haid, dicerai oleh suaminya, maka
hendaklah dia bersabar menunggu tiga kali quru' baru boleh kawin dengan laki-laki
yang lain.
Tiga kali quru' ialah tiga kali suci menurut pendapat Jumhur ulama. Ini dinamakan
masa idah, yaitu masa harus menunggu. Selama dia masih dalam masa idah, ia tidak
boleh menyembunyikan apa yang telah terjadi dalam kandungannya, apakah dia telah
hamil ataukah dalam haid kembali. Setiap istri beriman kepada Allah dan hari kiamat,
dia harus jujur, mengakui terus terang apa yang telah terjadi dalam rahimnya.
Sering terjadi pada masa jahiliah di kalangan istri-istri yang tidak jujur, dia malu-
malu mengatakan bahwa dia telah hamil. Setelah idahnya habis dia kawin lagi dengan
laki-laki lain. Kemudian tidak lama sesudah kawin, lahirlah anaknya; terjadilah
perselisihan dan pertengkaran antara kedua suami istri. Apabila suami tidak mengakui
bahwa yang lahir itu anaknya, maka teraniayalah bayi yang tidak bersalah itu,
disebabkan dulu ibunya tidak jujur ketika masih dalam masa idah. Adapula terjadi
pada masa itu, istri tidak mau terus terang bahwa idahnya sudah habis, dia
mengatakan masih dalam haid, maksudnya dia berbohong itu supaya suaminya tetap
memberi belanja kepadanya selama dia dalam idah. Maka turunlah ayat ini melarang
istri yang dicerai untuk menyembunyikan apa yang terjadi dalam rahimnya. Selama
perempuan yang ditalak itu masih dalam idah, kalau suami hendak rujuk itulah yang
lebih baik. Jika niat rujuknya ingin membina kembali rumah tangganya yang baik.
Cukuplah waktu idah itu bagi suami untuk berpikir apakah ia akan rujuk kembali
(lebih-lebih sudah ada anak) atau akan bercerai.
Tetapi kalau rujuk itu bukan didorong oleh maksud yang baik tapi hanya untuk
membalas dendam atau untuk menyusahkan dan menyakiti istri, maka perbuatan
seperti ini dilarang Allah dan itu namanya merampas hak asasi perempuan.
Talak yang dijatuhkan kepada istri seperti ini bernama talak raj`i, yaitu talak yang
masih boleh dirujuk sebelum habis masa idah.
Kemudian firman Allah yang mengatakan bahwa perempuan itu mempunyai hak
yang seimbang dengan laki-laki dan laki-laki mempunyai kelebihan satu tingkat dari
istrinya adalah menjadi dalil bahwa dalam membuat amal kebajikan mencapai
kemajuan dalam segala aspek kehidupan lebih-lebih dalam lapangan ilmu
pengetahuan, perempuan dan laki-laki sama mempunyai hak dan kewajiban.
Meskipun demikian hak dan kewajiban itu disesuaikan dengan fitrahnya baik fisik
maupun mental. Umpamanya seorang istri mempunyai kewajiban mengurus rumah
tangga, mendidik anak-anak dan memelihara kesehatannya, menjaga kebersihan dan
rahasia rumah tangga dan lain-lain. Sedang suami bekerja dan berusaha membanting
tulang untuk mencari nafkah yang halal guna membelanjai istri dan anak-anak.
Dalam masyarakat, perempuan boleh berlomba dengan laki-laki untuk mencari
kemajuan dan berbuat amal kebajikan. Kalau ada orang menuduh bahwa Islam tidak
memberi kemerdekaan asasi kepada perempuan itu adalah tuduhan yang tidak benar.
Islamlah yang mula-mula mengangkat derajat perempuan setinggi-tingginya sebelum
dunia yang maju sekarang ini sanggup berbuat demikian. Sudah hampir 14 abad
Islam memberikan hak dan kewajiban kepada perempuan dan laki-laki sedangkan
dunia lain pada waktu itu masih dalam gelap-gulita.
Tetapi seorang suami mempunyai kelebihan sederajat dari istrinya, yaitu
suami sebagai kepala rumah tangga bertanggung jawab atas kesejahteraan dan
keselamatan rumah tangga itu dengan memberikan biaya rumah tangga yang
diperoleh dengan jalan halal.
Demikian Allah mengatur hubungan suami istri dengan cara-cara yang harmonis
untuk mencapai kebahagiaan hidup dalam berumah tangga. Dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.
4. Q.s Al-Thalaq : 4
َََّ‫تََُاْلَحْ َما ِلََأ َ َجلُ ُهن‬
ْ ‫ول‬ َ ُ ‫نَََوأ‬
َ ‫ض‬ ْ ‫اللئِيَلَ ْمََيَ ِح‬
َّ ‫ََو‬ ْ َ ‫ََارت َ ْبت ُ ْمََفَ ِع َّدت ُ ُهنَََّث َ َلثَةََُأ‬
َ ‫ش ُهر‬ َ ِ‫ََم ْنََن‬
ْ ‫سائِ ُك ْمََإِ ِن‬ ِ ‫يض‬ِ ‫نَََمنَََا ْل َم ِح‬
ِ ‫س‬ َّ ‫َو‬
ْ ِ‫اللئِيَيَئ‬
ْ ُ‫ََم ْنََأ َ ْم ِر ِهََي‬
‫س ًرا‬ ِ ُ‫َََللاَََيَجْ َع ْلََلَه‬
َّ ‫ق‬ َ َ‫أ َ ْنََي‬
َ ‫ض ْعنَََ َح َْملَ ُه‬
ِ َّ‫نَََّو َم ْنََيَت‬
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa
iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak
haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai
mereka melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah,
niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.

a. Asbabu nuzul
Ketika turun ayat tentang iddah wanita dalam surat al-Baqarah ayat 226-237,
para sahabat berkata: “masih ada masalah iddah wanita yang belum disebut(dalam
Al-Qur’an), yaitu iddah wanita muda (yang belum haid), yang sudah tua(monopouse)
dan hamil. Maka turunlah ayat ini yang menegaskan bahwa masaiddah wanita muda
yang belum haid dan wanita monopouse ialah tiga bulan,sedangkan iddah wanita
yang hamil sampai ia melahirkan.

b. Tafsiran ayat

ْ ‫اللئِيَلَ ْمََيَ ِح‬


ََ‫ضن‬ َّ ‫ََو‬ ْ َ‫ََارت َ ْبت ُ ْمََفَ ِع َّدت ُ ُهنَََّثَ َلثَةََُأ‬
َ ‫ش ُهر‬ َ ِ‫ََم ْنََن‬
ْ ‫سائِ ُك ْمََإِ ِن‬ ِ ‫يض‬ِ ‫نَََمنَََا ْل َم ِح‬
ِ ‫س‬ َّ ‫َو‬
ْ ِ‫اللئِيَيَئ‬
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-
perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah
mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak
haid. Maksudnya perempuan-perempuan yang telah melewati masa haid, mak
iddahnya adalah tiga bulan, begitu pula iddah wanita-wanita yang masih dibawah
umur yany belu pernah haid.
َ َ‫تََُاْلَحْ َمَا ِلََأَ َجلُ ُهنَََّأَ ْنََي‬
ََّ‫ض ْعنَََ َح ْملَ ُهن‬ ْ ‫ول‬ َ ُ ‫َوأ‬
. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya. Maksudnya ialah iddah wanita-wanita
yang sedang sedang mengandung adalah hingga melahrkan anaknya, baik mereka di
ceraikan ataupun di tinggal mati oleh suaminya..

ْ ُ‫ََم ْنََأ َ ْم ِر ِهََي‬


‫س ًرا‬ ِ ُ‫َََللاَََيَجْ عَ ْلََلَه‬
َّ ‫ق‬ِ َّ‫َو َم ْنََيَت‬
Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan
baginya kemudahan dalam urusannya
c. Penjelassan
Dalam ayat di atas menjelaskan bahwa orang yang tidak haid lagi iddahnya di
perhitungkan dengan bulan, yaitu tiga bulan. Dan kalau dia masih haid maka
iddahnya adalah tiga kali haid.
Dalam ayat ini juga berbicara tentang iddah dan ini diberikan tuntutan kepada
suami untuk berfikir panjang sebelum mengambil keputusan yang pasti untuk
menjatuhkan thalaq kepada istri.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Iddah menurut istilah adalah lamanya (pr) menungguh dan tidak ble menikah
setelah kematian suami atau setelah bercerai dengan suami.
2. Macam-macam iddah yaitu : iddah talak, iddah hamil, iddah wafat, iddah
wanita kehilangan suami, iddah(pr) yang di ila'
3. Kedudukan hukum :
a. Talak raji' berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal
b. Talak bain adalah suami tidak berhak merujuk kembali.
B. Hikmah
1. Untuk mengetahui bersihnya rahim seorang (pr),
sehinggah tidak tercampur antara keturunan seorang yang lain
2. Memberi kesempatan kepada suami istri yang berpisah untuk kembali kepada
kehidupan semula, jika mereka menganggap hal tersebut baik.
3.Kebaikan perkawinan tidak dapat terwujud sebelum kedua suami istri sama-sama
hidup lama dalam ikatan akadnya.
C. Saran
Harapan kami semoga dengan selesainya makalah ini dapat memenuhi kebutuhan
materi bacaan, terutama bagi para mahasiswa PBA, namun tidak menutup
kemungkinan makalah ini bisa sesempurna mungkin, maka dari itu kritik dan saran
dari para pembaca kami harapkan terutama dari Bapak dosen pengampuh.

Anda mungkin juga menyukai