Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di zaman modern, terkenal tokoh Inkar al-Sunnah di berbagai daerah, seperti
Taufiq Shidqi di Mesir, Garrah Ali dan Gulam Ahmad Parwez di India-Pakistan,
Kassim Ahmad di Malaysia, Rasyad Khalifah di Amerika, Haji Abdurrahman,
Ustadz H. Sanwani, dan Ir. Irham Sutarto di Jakarta, Dailami Lubis di Sumatera
Barat, dan untuk Medan juga sudah ada, baik yang terus terang menolaknya
maupun yang menolaknya secara ilmiah. Paham Inkar al-Sunnah pun tak elak
terdengar dalam perkembangan dunia Islam. Aliran-aliran politik dan teologi
seperti Mu’tazilah, Syi’ah, Khawarij dan sebagainya pada abad kedua hijriyah.
Sebagian dari mereka menolak hadis yang dijadikan sebagai sumber hukum Islam.
Mereka berpendapat bahwa hadis bersifat zhanny, sementara al-Qur’an bersifat
qath’iy.
Kassim Ahmad, seorang sarjana muslim Malaysia yang dikenal sebagai ‘anti
hadis’. yang mengaku dirinya muslim dan mencintai agama Islam, tapi tidak
meyakini hadis bersumber dari Nabi dan menolak hadis sebagai sumber hukum
Islam. Dia penulis buku Hadis Satu Penilaian Semula yang kemudian
diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Hadith: A Re-Evaluation, yang terbit pada
tahun 1986.
Untuk lebih jelasnya, mari kita mencoba mengorek biografi beliau beserta
dengan pemikirannya tentang hadits.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Kassim Ahmad?
2. Bagaimana pemikiran pemikiran Kassim Ahmad seputar hadis?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui biografi Kassim Ahmad
2. Untuk mengetahui pemikiran pemikiran Kassim Ahmad seputar hadis

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Kassim Ahmad


Kassim Ahmad merupakan putra pertama dari tiga bersaudara. Kasim
dilahirkan di Bukit Pinang Kota Setar Kedah Malaysia pada tanggal 9 September
1933. Pada mulanya Kasim bernama Osman, namun ketika masih kecil ia sering
sakit-sakitan, maka namanya diubah menjadi Kassim. Ayahnya bernama Ahmad bin
Ishak berprofesi sebagai guru agama Islam dan ibunya bernama Ummi Kalthom
seorang ibu rumah tangga. Orang tua dari pihak bapaknya adalah generasi keempat
keturunan Minangkabau, Sumatera Barat. Sementara dari pihak ibunya berasal dari
Thai Melayu Provinsi Pattani. 1
Semasa kecilnya, Kassim Ahmad tinggal dengan selalu berpindah-pindah
mengikuti tugas bapaknya yang berprofesi sebagai guru agama di berbagai tempat.
Sebelum menetap di Bukit Pinang, Ahmad bin Ishak, ayah Kasim Ahmad, tinggal di
beberapa bandar kecil di wilayah Kedah Malaysia.
Riwayat pendidikan Kassim dimulai dari tahun 1939-1946 dengan memasuki
sekolah Melayu di Bandar Baru. Setelah tamat sekolah Kassim melanjutkan studinya
ke Maktab Sulthan Abdul Hamid di Alor Setar Kedah pada tahun 1947-1954 dan
lulus dengan predikat “Post School Certificate”. Kassim Ahmad, dikenal sebagai anak
genius dan rajin. Hal ini terbukti dari prestasi akademis yang selalu dia peroleh
semenjak dari bangku sekolah rendah sampai perguruan tinggi. Jenjang pendidikan
tinggi, Kassim tempuh dengan memasuki Universitas Malaya Singapura dan selesai
pada tahun 1959 dengan meraih gelar Bachelor of Art (BA) dan kemudian
melanjutkan ke Universitas Malaya di Kuala Lumpur dan selesai pada tahun 1961
dengan meraih gelar Master of Art (MA).
Kassim Ahmad pernah bekerja sebagai pegawai penyelidik di Dewan Bahasa
dan Pustaka Kuala Lumpur, mengajar bahasa dan sastera Melayu di School of
Oriental and African Studies (SOAS), University London, pada tahun 1962 hingga
tahun 1966. Kemudian pulang ke Malaysia, dan ia mengajar di sebuah sekolah
menengah di Pulau Pinang.2

1
Zikri Darussamin, Kassim Ahmad Pelopor ingkar sunnah di Malaysia, hal. 4
2
M. Abid Al-Jabiri, dkk, Pemikiran Islam Kontenporer (Yogyakarta:2003) Hal. 92

2
B. Pemikiran Kassim Ahmad

Kassim Ahmad dalam menggunakan pendekatan sama seperti sejarawan pada


umumnya, yakni menggunakan pendekatan historis-sosiologis untuk menolak
eksistensi hadis sebagai sumber hukum Islam. Asumsi dasar yang dipakai adalah
bahwa fenomena sosial yang hadir di alam ini tidak terlepas dari kondisi dan situasi
sosial yang melingkupinya. Pendekatan model ini menafikan adanya realitas non
empiris yang ikut berperan dalam sebuah fenomena sosial.3

Dalam berbagai macam penjelasannya tentang hadis Nabi, Kassim banyak


mengcounter hadis dengan pendekatan empiris atau sejarah. Ia banyak menggali
problem-problem atau anomali-anomali yang dimiliki oleh hadis.

Pemikiran dan argumentasi yang dikemukakan Kassim Ahmad, dinilai


kontroversial dengan alasan sebagai berikut:
1. Kassim Ahmad berargumen bahwa hadis Nabi Muhammad SAW adalah
sesuatu yang diada-adakan, Kassim mengatakan jika hadis Nabi Muhammad
SAW lahir lama setelah Nabi Muhammad SAW wafat, yakni tepatnya pada
zaman al-tabi’in dan atbau al-tabi’in. Selain itu hadis bukanlah peninggalan
dari Nabi Saw, karena Bagi Kassim, peninggalan Nabi hanyalah al-Qur’an.4
Ketika Nabi khutbah haji akhirnya (Haji Wada’) dan yang didengar
berpuluh-puluh ribu orang, mendesak pengikutnya untuk berpegang pada al-
Qur’an dan sunnahnya, adalah suatu yang paling tidak beralasan untuk tidak
mengharapkan pada khalifah awal yang memerintahkan pencatatan dan
penyusunan hadis Nabi tersebut. Tak satu pun di antara mereka (para khalifah)
menjalankannya (menyusun hadis), sehingga bisa dikatakan bahwa Nabi tidak
pernah membuat pernyataan tersebut. Oleh karena itu, Kassim menyimpulkan
bahwa hadis tersebut adalah suatu penemuan baru yang dihubungkan dengan
Nabi.
Dalam menanggapi hadis larangan penulisan hadis yang merupakan
hadis paling shohih (shahih al-isnad). Namun penilaian yang terkenal,
menganggap bahwa pelarangan dalam hadis ini hanya bersifat temporal yaitu
selama priode Nabi atau masa turunnya al-Qur’an, untuk menghindari

3
Hendri, Telaah Kritis atas Pemikiran Kassim Ahmad, Jurnal TAHDIS Volume 9 Nomor 1 Tahun 2018
hal. 5
4
Ibid., Hal. 9

3
pencampuradukan antara hadis dengan al-Qur’an. Bagi Kassim, penilaian-
penilaian ini tidak memuaskan, yaitu kental dengan subyektifitas penilai
sebagai penulis hadis. Bagi Kassim, pelarangan itu jika dipahami, ia lebih
semacam bentuk kekuwatiran Nabi, yaitu kekuwatiran akan berpalingnya
perhatian umat atau generasi selanjutnya dari al-Qur’an kepada hadis/sunnah.
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa Kassim menolak
hadis/sunnah sebagai suatu sumber bimbingan yang tidak terbantahkan yang
setara dengan al-Qur’an (wahyu). Penolakan ini bukan berarti penolakan
terhadap Nabi Muhammad saw selaku sumber atau produsen hadis/sunnah.
Sebaliknya, penolakan ini untuk membersihkan nama baik Nabi saw. dari
ajaran-ajaran palsu yang mengatasnamakan beliau. Penolakan ini lebih
memposisikan hadis pada tempat yang sewajarnya.5
Namun pada kenyataannya sejak masa Islam paling awal hadis Nabi
SAW telah lahir dan mendapat perhatian luas dari kalangan sahabat,
sebagaimana yang ditunjukkan oleh Ibn Abbas (w.69H/689M) dan Ibn Amr
bin al-Ash (w.65H/685M) yang dikenal sebagai sahabat yang rajin mencatat
hadis Nabi Muhammad SAW. Meskipun pentadwinan atau pengkodifikasian
hadis Nabi Muhammad SAW baru dilakukan pada masa khalifah Umar bin
Abdul Azis (w.101H/720M), namun pencatatannya telah dilakukan jauh
sebelumnya.
2. Kassim menyatakan bahwa dalam kitab-kitab hadis standar terdapat hadis-
hadis yang berkualitas dha’if atau bahkan diduga maudhu’ tidaklah dibantah.
Beliau juga mengatakan bahwa seluruh hadis yang ada di dalamnya
berkualitas demikian sehingga harus ditolak kehujjahannya. Begitu pula
dengan hadis yang secara lahir tampak bertentangan dengan al-Quran, logika,
sejarah atau dengan hadis-hadis lain tidak bisa dengan serta merta ditolak
kehujjahannya.
3. Kassim Ahmad mengungkapkan semacam tuduhan kepada Imam Syafi’i yang
dikatakan telah merekayasa hadis untuk dijadikan sumber hukum. Kassim
Ahmad mengatakan bahwa orang-orang Islam mesti berpegang dengan al-
Quran dan al-hadis mengikut ajaran fiqh. Teori fiqh itu sendiri digagas oleh
Imam Syafi’i dua ratus tahun sesudah meninggalnya Rasulullah SAW.

5
Ibid., Hal. 9-10

4
Imam al-Syafi’i, yang merupakan pemarkarsa teori hukum klasik,
mengutip tentang hadis dengan ayat-ayat berikut (Qs. Al-Baqarah [2]: 129
untuk mendukung pendirian mereka:
َ‫اب َو ْال ِح ْك َمة‬
َ َ ‫وًل ِم ْن ُه ْم يَتْلُو َعلَ ْي ِه ْم آ َياتِ َك َويُ َع ِل ُم ُه ُم ْال ِكت‬‫س ا‬
ُ ‫ث فِي ِه ْم َر‬ ْ ‫َربَّنَا َوا ْب َع‬
)129( ‫ح ِكي ُم‬ َ ‫يز ْال‬
ُ ‫ت ْال َع ِز‬
َ ‫َويُزَ ِكي ِه ْم إِنَّ َك أ َ ْن‬
Imam al-Syafi’, menafsirkan kata ‘hikmah’ dalam ayat di atas dan ayat yang
serupa sebagai sunnah atau hadis.
Kassim Ahmad menolak penafsiran ayat-ayat al-Qur’ān yang selama
ini dijadikan rujukan untuk menetapkan hadis/sunnah sebagai sumber hukum
dalam Islam.6 Bagi Kassim, penafsiran kata ‘hikmah’ sebagai hadis bisa
melahirkan keraguan yang besar. Menurut Kassim Tuhan sendiri telah
berfirman dalam al-Qur’an bahwa Dia-lah penjelas al-Qur’an. Ini berarti
bahwa al-Qur’an menjelaskan dirinya sendiri. Dengan isyarat ini, dan dengan
mempelajari penggunaan kata ‘hikmah’ yang terdapat dalam al-Qur’an ada
dua puluh kali; sangat jelas bahwa hal itu merujuk pada ajaran-ajaran al-
Qur’an.7
4. Kassim Ahmad menyebutkan dalam pandangannya bahwa taat kepada Nabi
Muhammad Saw, hanya terbatas semasa beliau hidup. Setelah Nabi wafat,
maka tidak boleh dipanggil Nabi dan tiada ketaatan kepada orang yang telah
meninggal.
Ini merupakan pemikiran Kassim Ahmad yang telah terpengaruh oleh
agama Baha`i. Bahkan lebih sesat dari agama tersebut. Sebab, dalam agama
Baha`i masih mengakui ada satu rangkaian Nabi yang disebut Mazharullah.
Tidak membedakan antara meninggal dengan berjauhan. Bagi seorang muslim
taat kepada Nabi tidak terbatas hanya seketika beliau masih hidup atau
sesudah beliau meninggal. Dan juga tidak terbatas, baik berada di sampingnya
atau berada di tempat lain. Tidak ada bedanya taat kepada Nabi waktu beliau
masih hidup dengan ketaatan kepadanya sesudah beliau meninggal. Karena
pada hakikatnya kewafatan itu hanya sejenis berjauhan. Sebab risalah al-
Quran dan al-hadis itu abadi dan tidak terikat oleh waktu dan tempat.

6
Zikri Darussamin, Kassim Ahmad Pelopor ingkar sunnah di Malaysia, hal. 10
7
Hendri, Telaah Kritis atas Pemikiran Kassim Ahmad, Jurnal TAHDIS Volume 9 Nomor 1 Tahun 2018 hal.
17

5
5. Kassim Ahmad dan kelompoknya menyebut mereka sebagai Jama’ah Ahl al-
Quran Malaysia (JAM). Dalam sejarah pemikiran Islam terdapat dua
golongan yang dikenal dengan nama ahl al-hadis dan ahl alra` yu. Mazhab
Hanafi dikenal sebagai ahl al-ra`yu dan mazhab Maliki sebagai ahl al-hadis.
Sementara mazhab Syafi’i merupakan madzhab ”penyesuaian” dari dua
mazhab itu. Tidak terdapat istilah ahl al-Quran sebagaimana dalam konsep
Kassim Ahmad, yaitu golongan orang yang berpegang kepada al- Qur`an saja
dan menolak hadis. Ahl al-ra`yu tidak menolak hadis. Ahl al-Quran dalam
bahasa sehari dipahami sebagai orang yang menghafal al-Quran, menulis atau
membaca al- Qur’ān untuk tujuan ibadat. Kassim Ahmad telah mengelabui
masyarakat dengan membuat istilah sendiri yang tidak pernah digunakan oleh
para ilmuan Islam sepanjang sejarah.
6. Pendapat Kassim Ahmad yang menyatakan bahwa jika hadis menafsir atau
memperjelas al-Qur’an, maka berarti al-Qur’an tidaklah jelas dan tidak
lengkap.
Kassim Ahmad membantah tugas Nabi SAW sebagai penafsir al-
Qur’an, dan tafsiran beliau diperoleh melalui hadis. Kassim Ahmad
menolaknya dengan mengatakan bahwa andaikata keterangan Nabi SAW
terhadap hal-hal yang mujmal ini tidak terpelihara dan terjamin dari campur
tangan pihak luar, niscaya tidak dapat digunakan lagi nas-nas al-Qur’an itu.
Dengan begitu akan gugurlah sebahagian besar nash-nash al-Qur’an yang
wajib kita jalankan. Jika demikian, tentu kita tidak dapat mengetahui maksud
Allah sebenarnya.8
Itu semua merupakan pendapat yang salah. Al-Qur’an sudah sangat
lengkap dan sudah jelas, tetapi tidak semua orang bisa menafsirkan ayat al-
Qur’an dengan tafsiran yang tepat. Memang betul al-Quran itu jelas dan
lengkap, karena di dalamnya juga mengandung perintah untuk mengikuti
perintah Nabi Muhammad sebagai Rasulullah, seperti firmanNya, ”Taatilah
Allah dan taatilah RasulNya...”,9 dan firmanNya, ”Dan Kami turunkan
kepadamu (Muhammad) al-Quran agar kamu menerangkan kepada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”.10 Tanpa dua ayat seperti

8
Zikri Darussamin, Kassim Ahmad Pelopor ingkar sunnah di Malaysia, hal. 12
9
Q.S. An-Nisa’ : 59
10
Q.S An-Nahl : 44

6
contoh di atas, maka al-Qur’an menjadi tidak lengkap. Tegasnya al-Qur’an itu
lengkap, karena dilengkapkan dengan ayat-ayat yang menyuruh kaum
muslimin untuk mengikuti Rasul sebagai penjelas isi al-Qur’an. Penjelasan itu
diistilahkan dengan hadis/sunnah. Ayat-ayat seperti contoh di atas sangatlah
jelas membuktikan bahwa hadis atau sunnah dalam perkara agama adalah
wahyu dari Allah. Taat kepada Rasul berarti ikut al-Quran, meninggalkan
hadis/sunnah berarti mengingkari al-Quran. Ayat-ayat seperti ini sangat jelas
tujuannya bagi orang-orang yang menguasai bahasa Arab dan Ulum al-Quran.

BAB III

PENUTUP

7
1. Kassim Ahmad berargumen bahwa hadis Nabi Muhammad SAW adalah
sesuatu yang diada-adakan, Kassim mengatakan jika hadis Nabi Muhammad
SAW lahir lama setelah Nabi Muhammad SAW wafat, yakni tepatnya pada
zaman al-tabi’in dan atbau al-tabi’in
2. Dalam arti yang pertama, menurut Kassim, hadis adalah al-Qur’an, dan tidak
ada hadis lain kecuali al-Qur’an. Adapun hadis dalam arti laporan tentang
perkataan dan perbuatan Nabi, ia memang ada. Buktinya, Piagam Madinah,
Pidato Perpisahan, Perjanjian Hudaibiyah dan surat-surat Nabi kepada raja-
raja negara pada waktu itu.
3. Kassim menyatakan bahwa dalam kitab-kitab hadis standar terdapat hadis-
hadis yang berkualitas dha’if atau bahkan diduga maudhu’ tidaklah dibantah
4. Kassim Ahmad menyebutkan dalam pandangannya bahwa taat kepada Nabi
Muhammad Saw, hanya terbatas semasa beliau hidup.
5. Kassim Ahmad yang menyatakan bahwa jika hadis menafsir atau memperjelas
al-Qur’an, maka berarti al-Qur’an tidaklah jelas dan tidak lengkap

DAFTAR PUSTAKA

8
Darussamin, Zikri. Kassim Ahmad Pelopor ingkar sunnah di Malaysia Jurnal
AlFikraVol. 8, No. 1, 2009
Hendri. Telaah Kritis atas Pemikiran Kassim Ahmad, Jurnal TAHDIS
Volume 9 Nomor 1 Tahun 2018
M. Abid Al-Jabiri, dkk. 2003 Pemikiran Islam Kontenporer. Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai