PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Terhitung sejak abad ke-14 H. sampai sekarang, sering disebut-sebut sebagai era
kebangkitan studi hadis yang kedua setelah stagnan sekitar abad ke-10 hingga ke-14 H.
Selain menuai tanggapan positif, hal ini juga banyak ditanggapi negatif oleh beberapa pihak
yang menganggap gerakan ini sebagai aliran inkār al-sunnah modern. Gerakan pembaruan ini
pertama kali di lontarkan oleh Muhammad Abduh.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaiamana biografi tentang Abu Rayyah ?
2. Bagaiamana pemikiran abu rayyah dalam bidang hadits ?
1
BAB II
PEMBAHASAN
Nama asli Rayyah ialah Mahmud Abu Rayyah, ia dilahirkan di tahun 1887 H dan
wafat pada tahun 1970 M tepatnya di usia 83. ‘Abduh dan Ridla merupakan dua tokoh yang
sangat dikagumi, terpesona dengan nalar pemikiran mereka, hingga pesona gemilang
pemikiran mereka terpancar dalam diri Abu Rayyah, yang meneruskan pembibitan
pemikiran tersebut. Madrasah al-da’wah wa al-irshad merupakan singgahan awal ilmu ke-
Islaman-nya, sebuah lembaga dakwah muslim yang dirintis oleh Ridla sendiri. Bermula dari
gagasan ‘Abduh dan Ridla tentang penolakan keras terhadap taqlid, khususnya terhadap
madzhab, membuat Abu Rayyah mengacuhkan teori para ulama dan sarjana yang lebih
berpengalaman dalam melakukan studi ke-Islam-an. Hingga akhirnya dia menyimpulkan
bahwa taqlid sebagai penyumbat pengembangan idea, dan para ulama serta sarjana dinilai
bersikap jumud (pasif) hingga imajinasi dan inspirasi meraka sendiri akhirnya mati.1
Pada saat melakukan studi kesusastraan Arab, dia menemukan beberapa hadis riwayat
Abu Hurairah yang dinilai negatif. Salah satu hadisnya berbunyi:
َّ سو ُل
َِّللا ُ ع ْنهُ قَا َل َر َّ ي
َ َُّللا َ ض ِ ع ْن ْاْل َ ْع َرجِ قَا َل قَا َل أَبُو ُه َر ْي َرة َ َر َ ع ْن َج ْعفَ ٍر َ ْث ُ َحدَّثَنَا َيحْ َيى ب ُْن بُ َكي ٍْر َحدَّثَنَا اللَّي
س َكتَ ْال ُم َؤذ ُِن أ َ ْقبَ َل ْ
َ ط َحتَّى ََل يَ ْس َم َع التَّأذِينَ فَإِذَاٌ ض َرا ُ ُطا ُن لَه َ ش ْي َّ سلَّ َم إِذَا أُذِنَ بِال
َّ ص ََلةِ أ َ ْدبَ َر ال َ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا َ
َ
صلى قا َل َّ َ
َ ي ك ْم َ َّ ُ ْ ْ ُ َ ُ ْ ُ َ ُ ُ ْ
َ سكتَ أقبَ َل فَل يَ ال بِال َم ْر ِء يَقول له اذك ْر َما ل ْم يَكن يَذك ُر َحتى َل يَد ِْر ُ َز َ َ ْ َ َ َ َ
َ ب أدبَ َر فإِذاْ َ ُ َ
َ فَإِذا ث ِو
َ سلَ َمةَ ِم ْن أ َبِي ُه َري َْرة َ س ِمعَهُ أَبُو َ الرحْ َم ِن إِذَا فَعَ َل أ َ َحدُ ُك ْم ذَلِكَ فَ ْليَ ْس ُج ْد
َ سجْ دَت َ ْي ِن َو ُه َو قَا ِعدٌ َو َّ ع ْب ِدَ سلَ َمةَ ب ُْن َ أَبُو
)ع ْنهُ (رواه البخاري َّ ي
َ َُّللا َ ض ِ َر
Artinya : Abu Hurairah berkata, bahwa Rasulullah Saw. bersabda: jika adzan salat
dikumandangkan, maka setan akan lari terbirit-birit sambil terkentu-kentut.(HR. Bukhori).2
Abu Rayyah menilai bahwa Nabi tidak mungkin pernah mengungkapkan kata aneh
dan remeh seperti itu. Oleh karenanya, rasa keingin tahuan yang mendalam terarah pada figur
Abu Hurairah dan literatur hadisnya. Setelah beberapa lama fokus konsentrasinya pada hal
ini, akhirnya menemukan hipotesis bahwa setiap literatur hadis harus diteliti kembali
kekuatan tekstualnya. Keraguannya tetap bertumpu pada ungkapan yang disandarkan pada
Nabi, dimana hadis tersebut sedikitpun tidak memiliki retorika indah yang ada dalam
1 G.H.A Cjuynboll, Kontroversi hadits di mesir, (Jakarta : Mizan 2000), hal 59-61
2 Mahmud Abu Rayyah, Adwa’ Ala Al Sunnah Al Muhammadiyyah, (Cairo : Darr Al Ma’arif,Tt), hal
2
berbagai literatur hadis yang dibacanya. Dan masih banyak lagi hadis yang dipermasalahkan
retorikanya oleh Abu Rayyah.
Abu Rayyah beranggapan bahwa ulama al-Azhar selama beberapa abad terakhir tidak
lagi melakukan studi kritis terhadap literatur hadis seperti itu, mereka hanya berseteru tentang
gagasan sekilas Fiqh al-Madzahib al-Arba’ah. Sedangkan keharusan taqlid dalam
mempelajari fiqih tidak dapat diterima oleh pengikut Muhammad Abduh dan Rashid Ridla.
Mereka mengungkapkan bahwa para ulama lebih bersikap apatis terhadap aturan fiqih yang
terlampir dalam sebuah hadis dibanding dengan hadis itu sendiri, seolah-olah kitab fiqih yang
tersaji masih belum memuaskan. Abu Rayyah juga sering berkata, bahwa mereka tidak kritis
terhadap otentisitas ungkapan yang diatributkan pada Nabi, berabad-abad lamanya mereka
berada pada kedunguan dalam mengikuti ijma’. Mereka hanya mempermasalahkan aspek-
aspek hukum remeh yang sudah tidak relevan lagi bagi umat muslim era modern.
Karya besar Abu Rayyah ialah Adwa’ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah yang
diterbitkan Pada tahun 1958 H. Sebuah kitab yang difokuskan dalam kajian hadis. Kerangka
umum kitab tersebut bisa dikategorikan sebagai historiografy hadis, karena penulis sengaja
menginginkan sejarah sebagai approach dan pisau analisis dalam menjelaskan jati diri hadis.
Akan tetapi keadaan tersebut berbalik arah, dengan kemarahan para cendikiawan ortodoks
karena pemikiran Abu Rayyah yang tertuang di dalam bukunya dinilai kontroversial,
terutama pembahasan mengenai Abu Hurairah, sehingga mereka tergerak untuk memberikan
respon kritis dan logis atas tuduhan-tuduhan di dalam tulisannya. karya Abu Rayyah yang
lain adalah Shaikh al-Madirah; Abu Hurairah al-Daws, yang merupakan transformasi dari
satu bab khusus mengenai Abu Hurairah dalam Adwa’.
3
Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, dan
ketetapannya.
Abu Rayyah memang tidak meletakkan pemaknaan kata al-hadith secara terpisah,
akan tetapi pemikirannya bisa terbaca bahwa dia memposisikan hadis sebagai sesuatu yang
baru. Sebelum meletakkan al-sunnah dalam pemahamannya, dia mengawali pemahamannya
dengan pembagian al-sunnah itu sendiri menjadi dua macam : Pertama, al-Sunnah al-
‘amaliyyah. Kedua, al-Sunnah al-qauliyyah. Adapun al-Sunnah al-qauliyyah, Abu Rayyah
menjadikannya pada derajat ketiga dari agama. Ajaran Islam menurut Abu Rayyah adalah al-
Qur’an, al-Sunnah al-amaliyyah, kemudian al-Sunnah al-qauliyyah.3
Ulama-ulama konservatif pada masa ini menolak pendapat Abu Rayyah. Mereka
beranggapan bahwa periwayatan secara lisan, berdasarkan daya ingat orang Arab yang luar
biasa dan pencatatan sebagiannya selama abad pertama, yang pada akhirnya mengakibatkan
terwujudnya himpunan Bukhari dan Muslim, merupakan metode yang hampir tidak ada
cacatnya untuk melestarikan material suci ini. Bahkan menurut al-Siba’i, sesungguhnya tidak
ada kontradiksi antara hadis yang melarang pencatatan dan hadis yang membolehkannya. Ia
berpendapat bahwa pelarangan hanya menyangkut pembuatan daftar resmi hadis-hadis,
sedangkan izin untuk mencatat hadis-hadis dengan mudah diberikan. Yang dimaksudkannya
pelarangan pembuatan daftar resmi adalah memperlakukan hadis seperti al-Quran. Dengan
demikian menurut al-Siba’i pelarangan tersebut menunjukan bahwa penulisan sudah ada
sejak jaman Nabi. Adapun tuduhan terhadap al-Zuhri sama sekali tidak menggugurkan
otensitas hadis dan tidak menunjukan adanya indikasi dorongan untuk memalsukan hadis,
3 Mahmud Abu Rayyah, Adwa’ Ala Al Sunnah Al Muhammadiyyah, (Cairo : Darr Al Ma’arif,Tt), hal 12 - 14
4
tetapi justru menunjukan bahwa mata rantai pemeliharaan dan pelestarian hadis berjalan
berkesinambungan tanpa terputus, sehingga tidak mengizinkan adanya ruang kerugian lagi.4
Berbicara tentang sahabat, sahabat juga sangat urgen untuk dikaji. Karena sahabat
merupakan rawi pertama dalam penerimaan hadis dari Nabi. Sehingga, menurut Abu Rayyah
keadilan sahabat sangat penting untuk dikaji. Definisi sahabat kita ketahui pada umumnya
adalah seseorang yang pernah melihat Nabi, atau hidupnya sezaman dengan Nabi. Senada
dengan hal tersebut, mengutip Ibnu Shalah dalam mukaddimahnya mengatakan bahwa
dikalangan ‘ulama hadis bahwa sahabat adalah orang-orang yang meriwayatkan hadis secara
langsung dari Nabi walaupun hanya satu hadis yang diriwayatkan. Tidak hanya itu, dikatakan
pula sahabat apabila seseorang telah bertemu dengan Nabi walaupun dalam mimpi. Namun,
pendapat ini hanyalah sedikit.
Pertama, menurut jumhur ‘ulama hadis bahwa sahabat semuanya adil كل الصحابة عدول.
Kedua, kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa semua sahabat itu adalah adil terkecuali bagi
mereka yang mengikuti dan terlibat perang shiffin.
Ketiga, sebagian ‘ulama berpendapat bahwa semua sahabat boleh diuji keadilannya. Pendapat
ini kebanyakan dilontarkan oleh ‘ulama- ‘ulama khalaf seperti Muhammad Abduh, Rasyid
Ridha, Mahmud Abu Rayyah dan lainnya. Menurut mereka bahwa sahabat itu adalah
manusia biasa yang boleh jadi khilaf atau alpa.
4 Mahmud Abu Rayyah, Adwa’ Ala Al Sunnah Al Muhammadiyyah, (Cairo : Darr Al Ma’arif,Tt), hal 88
5
Sehingga, menurut hemat kami pemikiran Abu Rayyah tentang Adallah Shahabah
dapat disimpulkan bahwa menurut pandangan Abu Rayyah perlu adanya kajian ulang
terhadap keadilan sahabat.5
رحم هللا ام رأ سمع مقالتى فوعاها ثم أداهاكما سمعها فرب مبلغ أوعى من سامع
Semoga Allah merahmati seseorang yang mendengar perkataanku kemudian menjaganya
dan menyampaikan secara apa adanya. Seringkali banyak orang yang diberi tahu lebih
paham dari pada pendengar.
Analisis yang berdasarkan logika memiliki dua macam. Pertama, ketika ulama
modern melakukan istinbath atas suatu ayat maupun hadis yang belum diperhatikan oleh
generasi sebelumnya (para ulama dan ahli hakikat). Apabila pengutipan secara makna
diperbolehkan maka akan menghasilkan kontroversi yang besar. Terlebih perawi tersebut
tidak menganggap terdapat pertentangan redaksi. Kedua, apabila perubahan lafal Rasul itu
diperbolehkan maka ketika hadis sampai pada perawi selanjutnya, ia pun akan melakukan hal
yang sama yakni melakukan perubahan lafal. Bahkan hal tersebut lebih pasti. Karena perawi
pertama pun telah berani merubah lafal syari’ (Rasulullah Sallallahu 'Alaihi wasallam).
Ketika hal ini terjadi hingga tingkat atau thabaqat ketiga dan keempat maka pasti makna
hadis telah terdistorsi . Hal demikian terus terjadi hingga tidak ada lagi hubungan redaksi
awal dengan redaksi akhir.6
Dalam bukunya ‘Adwa ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah, salah satu Sahabat Nabi
yang menjadi fokus kritikan Abu Rayyah, ialah Abu Hurairah. Sebelum Abu Rayyah, yang
pertama kali melakukan kritik atas Sahabat ini ialah seorang Syi’ah Lebanon, A. Syarafuddin.
Sehingga, Abu Rayyah merupakan penulis kedua yang melancarkan serangan pribadi
terhadap Abu Hurairah. Beliau memaparkan kritikan atas Abu Hurairah dengan panjang
lebar, mengkhususkan satu bab penuh untuk membahasnya, yaitu halaman 167 sampai
5 Mahmud Abu Rayyah, Adwa’ Ala Al Sunnah Al Muhammadiyyah, (Cairo : Darr Al Ma’arif,Tt), hal 48
6 Mahmud Abu Rayyah, Adwa’ Ala Al Sunnah Al Muhammadiyyah, (Cairo : Darr Al Ma’arif,Tt), hal 50
6
dengan halaman 198. Kemudian bab tersebut dia kembangkan menjadi bab tersendiri, yang
berjudul “Syekh al-Madi’rah; Abu Hurairah ” 7
Abu Rayyah memulai kritikannya kepada Abu Hurairah dengan nama-namanya yang
berbeda-beda. Namanya tidak dikenal pada masa pra Islam dan pada masa Islam. Al-Nawawi
mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Abu Rayyah bahwa nama Abu Hurairah adalah
Abdur Rahman bin Sakhr. Al-Qatb al-Halaby mengatakan bahwa Abu Hurairah disatukan
dengan nama bapaknya, Al-Zahabi mengatakan hal sama dan nama itu terkenal dengan nama
Abdur Rahman bin Sakhr. Sebelum masuk Islam Abu Hurairah bernama Abd Syam, Abd
Ghanam. Sementara al-Waqidi mengatakan bahwa nama Abu Hurairah adalah Abdullah bin
Amr, Abd Syam, Umair bin Amir atau Abd Umar. Diantara sekian banyak nama Abu
Hurairah menurut Umar bin al-Fallas yang paling shahih adalah Abd. Umar dan Bani
Ghanam. Dalam hal ini Abu Rayyah mencukupkan dengan menyebut kunyah atau julukannya
yaitu Abu Hurairah. Selain perbedaan nama, Abu Hurairah juga tidak diketahui secara jelas
asal muasal serta sejarahnya sebelum masuk Islam.
Abu Rayyah menyatakan bahwa ketika Abu Hurairah berusaha mendekati Nabi,
terdapat satu satu misi yang penting dilakukannya yaitu mendapatkan makanan. Dalam
bukunya “Syaikh al - Madirah” , ia secara tegas menyatakan bahwa Imam Bukhari meriway
atkan hadits yang menyebutkan “bi syiba’ bathnihi ” atau “lisyiba’ bathnihi” untuk
mengenyangkan perutnya. Dengan analisa bahasanya, Abu Rayyah memahami bahwa Abu
Hurairah mendekati Nabi karena motivasi materil saja. 53 Abu Rayyah juga berusaha
menurunkan nilai Abu Hurairah dengan menguraikan tentang reputasi Abu Hurairah sebagai
orang yang rakus, seperti yang disebutkan oleh Al-Tsa’ labi dalam bukunya yang berjudul
Tsimar al-Qulub fi al-Mudaf wa al-Mansub . Dalam buku tersebut disebutkan bahwa Abu
Hurairah rakus kalau sedang makan, dan terutama menyukai madirah (hidangan yang berupa
susu dan daging). Hal ini membuat Abu Hurairah mendapat julukan Syaikh al-Madirah .
Abu Hurairah adalah sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadit Nabi Saw, ia
meriwayatkan hadits sebanyak 5374 hadits. Abu Hurairah masuk Islam pada tahun 7 H, tahun
7 Mahmud Abu Rayyah, Adwa’ Ala Al Sunnah Al Muhammadiyyah, (Cairo : Darr Al Ma’arif,Tt), hal 167 - 169
7
terjadinya perang Khaibar, Rasulullah sendiri memberikan julukan “Abu Hurairah” , ketika
beliau sedang membawa seekor kucing kecil. Julukan dari Rasulullah Saw Itu semata
kecintaan beliau kepadanya. Ia datang kepada Nabi Saw di tahun ke 7 H sewaktu berada di
Khaibar. Data ini diperjelas oleh Ibn Sa’ad dalam kitab al -Thabaqat al-Kubra yang
menyatakan bahwa keturunan Al-Daus termasuk di dalamnya Abu Hurairah mendatangi Nabi
pada saat kampanye menentang Khaibar. Pada saat itu Nabi memerintahkan kepada sahabat
untuk membagi harta rampasan perang kepada Abu Hurairah karena kemiskinannya,
kemudian Abu Hurairah bergabung dengan ahli suffah. Meskipun ada sumber-sumber lain
yang menyebutkan bahwa Abu Hurairah masuk Islam sebelum hij rah atas dorongan Thufail
bin ‘Amr. Dalam kitabnya Syaikh al-Madlirah, Abu Rayyah menggugat laporan Thufail
tersebut dengan menunjukkan bahwa perawi riwayat itu, Hisyam bin al- Siba’i al -Kalbi (w.
206 H/ 821 M) bukanlah sumber yang dapat dipercaya di mata para ahli biografi klasik. Dan
ini telah disebutkan bahwa lebih tepatnya Abu Hurairah masuk islam pada perang Khaibar,
abad ke 7 H. Abu Hurairah memiliki kedekatan dengan Nabi Saw, sehingga memungkinkan
kalau Abu Hurairah lebih banyak tahu dibandingkan Sahabat lainnya. Apalagi dengan masa
yang cukup, yaitu sekitar 3,5 tahun. Jika d ibandingkan dengan ‘Aisyah, walaupun beliau istri
Nabi, namun tidak menutup kemungkinan periwayatan Hadis Abu Hurairah dibandingkan
‘Aisyah.
8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nama asli Rayyah ialah Mahmud Abu Rayyah, ia dilahirkan di tahun 1887 H dan
wafat pada tahun 1970 M tepatnya di usia 83. ‘Abduh dan Ridla merupakan dua tokoh yang
sangat dikagumi, terpesona dengan nalar pemikiran mereka, hingga pesona gemilang
pemikiran mereka terpancar dalam diri Abu Rayyah, yang meneruskan pembibitan
pemikiran tersebut.
9
DAFTAR PUSTAKA
10