Adwa Ala As Sunnah Al Muhammadiyah
Adwa Ala As Sunnah Al Muhammadiyah
( Abu Rayyah )
Pembimbing :
Disusun Oeh :
Memiliki nama panjang Mahmud Abu Rayyah, dilahirkan pada tahun 1889 di
negara Mesir. Pada usia 81, Abu Rayyah meninggal pada tahun 1970 Dikenal sebagai
orang yang ukup unik karena pemikirannya berbeda dengan kebanyakan ulama. Bahkan
beliau sampai masukkan dalam kategori orang yang inkar al sunnah. Rayyah
mengidolakan seorang yang bernama Muhammad Abduh dan Muhammad Rida.
Karena pada faktanya dia pernah belajar di sekolah yang didirikan idolanya yakni di al
dakwah wa al irsyad. Rayyah termasuk pelajar yang aktif ikut dalam berbagai lembaga
kursus terutama yang berbau ketuhanan.1
ج قَا َل قَا َل ِ ْث ع َْن َج ْعفَ ٍر ع َْن اَأْل ْع َر ُ َح َّدثَنَا يَحْ يَى ب ُْن بُ َكي ٍْر َح َّدثَنَا اللَّي
صاَل ِةَّ صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّم ِإ َذا ُأ ِّذنَ بِالَ ِ ال َرسُو ُل هَّللا َ َض َي هَّللا ُ َع ْنهُ ق ِ َأبُو هُ َر ْي َرةَ َر
َ ض َراطٌ َحتَّى اَل يَ ْس َم َع التَّْأ ِذينَ فَِإ َذا َسكَتَ ْال ُمَؤ ِّذ ُن َأ ْقبَ َل فَِإ َذا ثُ ِّو
ب ُ ُان لَه ُ ََأ ْدبَ َر ال َّش ْيط
َأ ْدبَ َر فَِإ َذا َسكَتَ َأ ْقبَ َل فَاَل يَزَا ُل بِ ْال َمرْ ِء يَقُو ُل لَهُ ْاذ ُكرْ َما لَ ْم يَ ُك ْن يَ ْذ ُكر ُ َحتَّى اَل
صلَّى َ يَ ْد ِر
َ ي َك ْم
Penafsirannya yang membuat dia terheran, yang sebagiannya berbunyi “Bila setan
mendengar seruan untuk shalat (adzan) maka dia lari seraya terkentut-kentut....”
Hadits ini tergolong Shahih berdasar sanadnya. Tetapi menurut Rayyah yang ganjil
terkait etika pengucapannya. Dia berfikir, Nabi mana mungkin dalam pembicaraannya
1
Redaksi Ar Rahmah. https://www.arrahmah.co.id/2018/09/16344/mengenal-abu-Rayyah-kritikus-
hadis-asal-mesir.html. Diakses pada 08 Desember 2019 jam 22:28
mengeluarkan sesuatu yang cenderung kasar ataupun aneh. Dia mulai merasa beberapa
sabda Nabi yang diriwayatkan Abu Hurairah tidak memiliki retorika yang baik,
sehingga tergugahlah rasa keingintahuannya lebih dalam terhadap hadits – hadits yang
diriwayatkan Abu Hurairah.
Selain Abu Hurairah, dia juga mulai tertarik mengkritiki ulama – ulama yang
mempelajari hadits namun literaturnya tidak luas, yang pada akhirnya sama seperti
yang lain, kembali ke empat madzab saja. Rayyah merasa kecewa dengan ulama
kebanyakan yang hanya fokus pada Sanad untuk mengkritisi sebuah hadits. Dia merasa
para ulama seharusnya juga memperhatikan dari sisi Tekstual atau sisi matan.
Rayyah merasa para ulama lebih tunduk terhadap fikih yang bersumber dari
hadits, ketimbang hadits itu sendiri. Rayyah menganggap banyak yang tidak pernah
mengkritisi dan mencari tahu lebih dalam terkait kebenaran sebuah perkataan yang
mengatasnamakan Nabi. Mereka dianggap Rayyah terlalu mengikuti Ijma’ dari masa-
masa klasik. Rayyah berpendapat bahwa para ulama hanya mempersoalkan hukum
yang remeh yang tidak terlalu penting bagi kaum Muslim Modern. Karena
pemikirannya yang berbeda dari kebanyakan para ulama ini, ketika Abu Rayya
mengeluarkan karya dalam kajian hadis banyak menyulut kemarahan para cendekiawan
muslim ortodoks, gagasan – gagasannya dianggap terlalu bersebrangan dengan para
ulama. Sehingga orang islam banyak yang kurang menyukai Mahmud Rayyah.
Kitab ini hasil pembelajaran dan pengamatan Rayyah tentang Sejarah Sunnah
slama ini. Berangkat dari keraguannya tentang keshahihan sebuah Sunnah.
Menggunakan Pendekatan Sejarah dalam menganalisis. Beberapa bab yang ada dala
kitab yaitu : dugaan rekayasa Rayyah terhadap beberapa kitab yang dianggap tidak
menyampaiakan baik perbuatan maupun perkataan nabi. Dan lebih berisi karangan
namun para ulama pada masa Nabi, dan ulama setelahnya. Beberapa spesifikasi
pemikiran Abu Rayyah diantaranya ;
1. Pembukuan Hadits
Rayyah berpendapat mengenani waktu dalam mencatat hadits kurang bisa
dipercayai, karena menurut Rayyah pencatatan dilakukan sebelum adanya hadits.
Banyak ulama pada masa itu yang dikritik oleh Abu Rayyah, salah satunya Abdullah
bin Amr dengan karyanya yang berjudul Ash Shadihah yang dianggap Rayyah tidak
memiliki makna. Kemudian Rayyah juga berpendapat bahwa Imam Syihab Zuhri
dalam menulis hadits adanya dorongan bani umayyah. Sesuai dengan perkataan Abd
Al Barr bahwa Zuhri tidak mau menulis sampai adanya para petinggi yang
menyuruhnya, jadi tidak boleh ada yang melarang menulis hadits.2
Dengan pendapat seperti itu, Abu Rayyah banyak mendapat
penolakan dari para ulama konservatif. Mereka memiliki pendapat, hadits yang
diriwayatkan secara lisan dan mengandalkan ingatan yang luar biasa masyarakat
arab pada masa itu apalagi dilakukan sejak abad pertama, sampai adanya muslim
ataupun bukhari, merupakan metode yang sudah sangat sempurna.
Al Siba’i berpendapat, tidak mungkin ada permasalahan antara hadits
yang sempat penulisannya dilarang dengan yang dibolehkan mencatatnya. menurut
dia, bahwa pelarangan hanya terkait pencatatan resmi hadits, dan masalah perizinan
selalu gampang diperoleh. Berkaitan dengan dilarangnya membuat daftar resmi
yakni mencoba memberlakukan hadits sama dengan Al Qur’an. Jadi, menurut
pandangan Siba’i pelarangan itu sebagai petunjuk menulis hadits dilakukan sejak
zaman Nabi.3
Tuduhan yang ditujukan untuk Zuhri tidak menggugurkan sama
sekali otentitas hadits sama sekali tidak menujukan ada niatan untuk memalsu hadits,
justru menunjukkan proses pelestarian ataupun proses pemeliharaan hadits konsisten
berjalan.4
2
Suryaadi, yang membela dan yang Menggugat. (yogyakarta: CSS Suka Press. 2011), hlman. 104.
3
Junyboll, Kontroversi Hadis di Mesir (1890-1960). Terjemah oleh Ilyas Hasan. (Bandung: Penerbit
MIZAN, 1999), hlman. 57- 58.
4
Suryaadi, yang membela dan yang Menggugat. hlman. 106
5
Abu Rayyah, Adwa Ala Al-Sunnah Al-Muhammadiyyah (Kairo: Dar al-Ma’arif), hlman 10 - 11.
3. Adallah Shahabah (Keadilan Para Sahabat)6
Menurut Rayyah dalam hadits harus mempertimbangkan aspek abdullah
Shahabah yang artinya keadilan para sahabat. Adil dalam eksiklopedia dunia
memiliki arti “keadaan seimbang”. Artinya sebuah perbuatan yang dilakukan
berdasar pada akal dalam dirinya yang dilakukan secara sadar, bukan sama sekali
keluar karena dorongan hawa nafsu.
Berbicara mengenai sahabat, perlu diketahui bahwa mengenai biografi, latar
belakang kehidupan, dan sebagainya yang menyangkut diri seorang sahabat, masih
perlu diselidiki ulang, karena sebagai orang yang pertama yang dalam menerima
hadits dari Nabi. Rayyah berpendapat, dalam hal keadilan dalam diri seorang
sahabat perlu dikaji. Menurutnya seorang Sahabat harus memiliki kualifikasi yakni
seorang yang pernah melihat nabi, atau juga bisa hidup pada zaman yang sama
dengan Nabi.
6
Ibid.
7
Suryadii, Yang membela dan Yang Menggugat, hlman. 153.
mengenyangkan perutnya, hanya karena motivasi materil saja. Bahkan setara terang-
terangan Abu Rayyah menyebut Abu Hurairah adalah seorang yang rakus.8
Abu Rayyah merasa Abu Hurairah terlalu berlebihan dalam menulis hadits
dilihat dalam jumlahnya yang sangat banyak hanya dalam waktu singkat, dengan
waktu kebersamaan dengan nabi cuma tiga tahun, sedangkan yang lain tidak menulis
hadits sebanyak hurairah. Keraguan Rayyah terhadap Abu Hurairah di dasarkan oleh
pertimbangan hubungan kedekatan Hurairah dengan Nabi dalam waktu sesingkat itu.
Abu Rayyah berpendapat tidak mungkin Abu Hurairah bisa dianggap
kedudukannya lebih tinggi dari Sahabat yang lain. Contohnya Abdullah bin ‘Amr
dan. Abu Hurairah dikatakan, beliau pernah mengakatakan tidak mungkin ada
seorang yang meriwayatkan hadits melebihi Abdullah bin Amr. Namun, pada
faktanya Abu Hurairah meriwayatkan hadits lebih banyak ketimbang Abdullah bin
Amr. Rayyah merasa Hurairah pada masa para sahabat besar masih hidup, dia tidak
mungkin brani meriwayatkan hadits sebanyak yang dia mau, karena mungkin
ditakutkan para sahabat besar tidak menyukai kegiatannya9.
Pada masa khalifah Umar bin Khatab, Abu Hurairah menjadi bekerja di
Bahrain. Karena Abu Hurairah terlalu banyak menulis hadits, Umar suatu ketika
memarahinya. Umar sampai mengeluarkan cambuk dan mengatakan “engkau telah
meriwayatkan sedemikian banyak hadits, mana mampu engkau berdusta atas nama
nabi”. Rayyah juga mengatakan, selain Umar yang sempat marah juga ada Aisyah
yang mencurigai Abu Hurairah karena banyaknya riwayat-riwayat haditsnya.
Rayyah berpendapat bahwa hadits yang diriwayatkan Hurairah banyak
terpengaruh oleh sifat rakusnya. Bertepatan pada masa pada waktu itu juga,
pergolakan politik berlangsung, Hurairah dianggap berada pada kubu muawiyyah
lalu menulis hadits yang melihatkan keberpihakannya, disesuaikan juga
kebijakannya. Abu Hurairah meriwayatkan hadits melampaui batas-batas pada masa
kekuasaan Muawwiyah. Banyak hadits yang dikeluarkan Hurairah dengan niat
menggiring opini untuk memandang rendah keluarga Keluarga Nabi SAW dan
keluarga Ali.
Rayyah juga berpendapat bahwa ulama hadits yang mengatakan Hurairah
seorang periwayat hadits yang mudallis, dibuktikan dari hadits yang
diriwayatkannya berasal dari orang-orang yang hanya pernah bertemu langsung tapi
8
Shociniim, Telaah Pemikiran Hadis Mahmud Abu Rayyah Dalam Buku Adwa Ala Al-Sunnah
Muhammadiyyah. hlman. 291.
9
Shociinim, Tela’ah Pemikiran Hadis Abu Rayyah Dalam Buku Adwa’ ‘Ala Al-Sunnah
Muhammadiyyah, halaman. 291 - 292.
bukan mendengar secara langsung dari Nabi, dan juga orang yang hidup dalam masa
yang sama dengan Nabi tapi tidak pernah bertemu langsung, dan mendapat hadits
dari orang yang sudah tua serta pelupa (pikun).
5. Metode Abu Rayyah dalam Mengkaji Hadits
Dalam penelitian dan pengkajian sebuah Hadits, Abu Rayyah menggunakan
metode History atau Sejarah. Artinya Abu Rayyah akan lebih menggali hadits
tersebut dari asal usulnya. Mulai dari bagaimana isi hadits yang diriwayatkan, dia
akan fokus apakah secara konteks isi hadits, dirasa patut atau benar tidaknya
dikatakan langsung oleh Nabi. kemudian terkait dengan waktu hadits di riwayatkan,
Abu Rayyah meneliti detail kapan hadits di riwayatkan dengan menghubungkan
pada sebuah kejadian-kejadian yang dialami Nabi, dan sampai dihubungkan juga
dengan kehidupan perawinya untuk membuktikan betul kebenaran haditsnya.
Kemudian Abu Rayyah juga meneliti terkait perawinya, bagaimana sanadnya,
hingga diteliti juga bagaimana kemampuan setiap perawi, apakah sudah sesuai
dengan kualifikasi seorang yang berhak meriwayatkan sebuah hadits atau
tidak.Misal menurut Abu Rayyah seorang yang meriwayatkan hadits haruslah
seorang yang hidup pada zaman nabi, pernah bertemu, dan mendengar ataupun
melihat langsung apa yang dikatakan nabi. Bahkan Abu Rayyah juga meneliti latar
belakang kehidupan atau asal usul setiap perawi, dia merasa latar belakang seorang
perawi sangat berpengaruh untuk membuktikan kebenaran sebuah hadits.
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Mahmuud Abu Rayyah, Adwa ‘Ala Al-Sunnah Al-Muhammadiyyah (Kairo: Dar al-
Ma’arif,tt)
Suryaadi, Yang membela dan Yang Menggugat (yogyakarta: CSS Suka Press, 2011)
Shocinim, Telaah Pemikiran Hadis Mahmud Abu Rayyah Dalam Buku Adwa Ala Al Sunnah