Anda di halaman 1dari 11

Adwa Ala As Sunnah Al Muhammadiyah

( Abu Rayyah )

Disusun sebagai Tugas Mata Kuliah Study Hadits

Pembimbing :

Dr. Wahidul Anam, M.Ag.

Disusun Oeh :

Dewi Rohmah Arifani (927.002.19.003)

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM


PASCA SARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hadist berkedudukan setelah Al Qur’an sebagai sumber ajaran. Al Qur’an
dijadikan pedoman hidup umat, sampai sekarang isinya tidak pernah berubah, baik
lafadz ataupun maknanya. Maka para ulama sepakat Al Qur’an terjamin kebenarannya.
Berbeda dengan hadits, yang masih ada diragukan kebenarannya, karena hadist yang
bersumber dari nabi, lalu melalui perawi yang tak terhitung jumlahnya. Dan hadist
memiliki beberapa tingkatan dalam kualitas kebenarannya, alasan tersebut menjadi
salah satu faktor yang membedakan antara Al Qur’an dan Hadits.
Pada masa klasik, hadits karena berkedudukan setelah Al Qur’an di pandang
sangat sakral, para ulama mempercayai semua permasalahan bisa terselesaikan melalui
hadits. Mereka langsung mempercayai tanpa pernah mencoba mencari lebih dalam
terkait kebenaran setiap hadits. Pada era kontemporer, beberapa ulama memiliki
pemikiran berbeda dari para ulama klasik. Ulama kontemporer tidak menganggap
hadits hal yang sakral. Dan beranggapak hadist belum pasti semua benar. Ulama
kontemporer lebih memiliki pemikiran yang terbuka, mereka beranggapan perlu
menelisik lebih dalam terkait kebenaran suatu hadits.
Salah satu tokoh ulama kontemporer adalah Mahmud Abu Rayyah. Tokoh
yang sering dianggap kontroversi dan ekstrim. Abu Rayyah memiliki semangat untuk
mengubah keadaan umat islam yang dirasa terlalu jumud, dia memiliki pemikiran yang
menganggap bahwa sebuah hadits itu belum tentu benar, hadits harus terlebih dulu
dikoreksi, dikritisi dan digali lebih dalam supaya mengetahui kebenaranya. Sehingga
menurut Abu Rayyah umat islam jangan asal patuh dan mengikuti ajaran atau
pemahaman ulama terdahulu.
Abu Rayyah memiliki beberapa karya salah satunya yang terkenal yakni
Adwa’ Ala As Sunnah Muhammadiyah, karya yang menibulkan kemarahan para
ilmuwan ortodoks, karena dianggap jalan pikiran yang ada dalam karya tersebut terlalu
bersebrangan. Banyak sekali yang tergugah untuk memberi kritikan dan sanggahan.
Mengenai bagaimana pemikiran Abu Rayyah dalam karya tersebut, akan di paparkan
lebih lanjut didalam makalah ini.
2.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana Profil Penulis Kitab Adwa ala as Sunnah Muhammadiyah?

2. Bagaimana Riwayat Hidup yang melatarbelakangi Pemikiran Abu Rayyah?

3. Bagaimana Pemikiran Rayyah dalam Kitab Adwa ala Sunnah Muhammadiyah?

2.3 Tujuan Masalah

1. Untuk Mengetahui siapa Abu Rayyah

2. Untuk Mengetahui Riwayat Hidup yang melatarbelakangi Pemikiran Abu Rayyah

3. Untuk Mengetahui dan memahami bagaimana pemikiran Abu Rayyah dalam


Karyanya Adwa’ Ala As Sunnah Muhammadiyah
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Biografi dan Riwayat Hidup Abu Rayyah

Memiliki nama panjang Mahmud Abu Rayyah, dilahirkan pada tahun 1889 di
negara Mesir. Pada usia 81, Abu Rayyah meninggal pada tahun 1970 Dikenal sebagai
orang yang ukup unik karena pemikirannya berbeda dengan kebanyakan ulama. Bahkan
beliau sampai masukkan dalam kategori orang yang inkar al sunnah. Rayyah
mengidolakan seorang yang bernama Muhammad Abduh dan Muhammad Rida.
Karena pada faktanya dia pernah belajar di sekolah yang didirikan idolanya yakni di al
dakwah wa al irsyad. Rayyah termasuk pelajar yang aktif ikut dalam berbagai lembaga
kursus terutama yang berbau ketuhanan.1

2.2 Riwayat Hidup yang Melatar Belakangi Pemikiran Abu


Rayyah

Setelah menghabiskan masa mudanya dengan berkecimpung di dunia sastra


Arab, suatu ketika dia menemukan hal yang ganjal dalam sebuah hadist yang
diriwayatkan Abu Hurairah, yakni hadist yang berbunyi

‫ج قَا َل قَا َل‬ ِ ‫ْث ع َْن َج ْعفَ ٍر ع َْن اَأْل ْع َر‬ ُ ‫َح َّدثَنَا يَحْ يَى ب ُْن بُ َكي ٍْر َح َّدثَنَا اللَّي‬
‫صاَل ِة‬َّ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّم ِإ َذا ُأ ِّذنَ بِال‬َ ِ ‫ال َرسُو ُل هَّللا‬ َ َ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ ق‬ ِ ‫َأبُو هُ َر ْي َرةَ َر‬
َ ‫ض َراطٌ َحتَّى اَل يَ ْس َم َع التَّْأ ِذينَ فَِإ َذا َسكَتَ ْال ُمَؤ ِّذ ُن َأ ْقبَ َل فَِإ َذا ثُ ِّو‬
‫ب‬ ُ ُ‫ان لَه‬ ُ َ‫َأ ْدبَ َر ال َّش ْيط‬
‫َأ ْدبَ َر فَِإ َذا َسكَتَ َأ ْقبَ َل فَاَل يَزَا ُل بِ ْال َمرْ ِء يَقُو ُل لَهُ ْاذ ُكرْ َما لَ ْم يَ ُك ْن يَ ْذ ُكر ُ َحتَّى اَل‬
‫صلَّى‬ َ ‫يَ ْد ِر‬
َ ‫ي َك ْم‬

Penafsirannya yang membuat dia terheran, yang sebagiannya berbunyi “Bila setan
mendengar seruan untuk shalat (adzan) maka dia lari seraya terkentut-kentut....”
Hadits ini tergolong Shahih berdasar sanadnya. Tetapi menurut Rayyah yang ganjil
terkait etika pengucapannya. Dia berfikir, Nabi mana mungkin dalam pembicaraannya
1
Redaksi Ar Rahmah. https://www.arrahmah.co.id/2018/09/16344/mengenal-abu-Rayyah-kritikus-
hadis-asal-mesir.html. Diakses pada 08 Desember 2019 jam 22:28
mengeluarkan sesuatu yang cenderung kasar ataupun aneh. Dia mulai merasa beberapa
sabda Nabi yang diriwayatkan Abu Hurairah tidak memiliki retorika yang baik,
sehingga tergugahlah rasa keingintahuannya lebih dalam terhadap hadits – hadits yang
diriwayatkan Abu Hurairah.

Selain Abu Hurairah, dia juga mulai tertarik mengkritiki ulama – ulama yang
mempelajari hadits namun literaturnya tidak luas, yang pada akhirnya sama seperti
yang lain, kembali ke empat madzab saja. Rayyah merasa kecewa dengan ulama
kebanyakan yang hanya fokus pada Sanad untuk mengkritisi sebuah hadits. Dia merasa
para ulama seharusnya juga memperhatikan dari sisi Tekstual atau sisi matan.
Rayyah merasa para ulama lebih tunduk terhadap fikih yang bersumber dari
hadits, ketimbang hadits itu sendiri. Rayyah menganggap banyak yang tidak pernah
mengkritisi dan mencari tahu lebih dalam terkait kebenaran sebuah perkataan yang
mengatasnamakan Nabi. Mereka dianggap Rayyah terlalu mengikuti Ijma’ dari masa-
masa klasik. Rayyah berpendapat bahwa para ulama hanya mempersoalkan hukum
yang remeh yang tidak terlalu penting bagi kaum Muslim Modern. Karena
pemikirannya yang berbeda dari kebanyakan para ulama ini, ketika Abu Rayya
mengeluarkan karya dalam kajian hadis banyak menyulut kemarahan para cendekiawan
muslim ortodoks, gagasan – gagasannya dianggap terlalu bersebrangan dengan para
ulama. Sehingga orang islam banyak yang kurang menyukai Mahmud Rayyah.

2.3 Pemikiran Abu Rayyah dalam Karya Adwa ala as Sunnah


Muhammadiyah

Kitab ini hasil pembelajaran dan pengamatan Rayyah tentang Sejarah Sunnah
slama ini. Berangkat dari keraguannya tentang keshahihan sebuah Sunnah.
Menggunakan Pendekatan Sejarah dalam menganalisis. Beberapa bab yang ada dala
kitab yaitu : dugaan rekayasa Rayyah terhadap beberapa kitab yang dianggap tidak
menyampaiakan baik perbuatan maupun perkataan nabi. Dan lebih berisi karangan
namun para ulama pada masa Nabi, dan ulama setelahnya. Beberapa spesifikasi
pemikiran Abu Rayyah diantaranya ;

1. Pembukuan Hadits
Rayyah berpendapat mengenani waktu dalam mencatat hadits kurang bisa
dipercayai, karena menurut Rayyah pencatatan dilakukan sebelum adanya hadits.
Banyak ulama pada masa itu yang dikritik oleh Abu Rayyah, salah satunya Abdullah
bin Amr dengan karyanya yang berjudul Ash Shadihah yang dianggap Rayyah tidak
memiliki makna. Kemudian Rayyah juga berpendapat bahwa Imam Syihab Zuhri
dalam menulis hadits adanya dorongan bani umayyah. Sesuai dengan perkataan Abd
Al Barr bahwa Zuhri tidak mau menulis sampai adanya para petinggi yang
menyuruhnya, jadi tidak boleh ada yang melarang menulis hadits.2
Dengan pendapat seperti itu, Abu Rayyah banyak mendapat
penolakan dari para ulama konservatif. Mereka memiliki pendapat, hadits yang
diriwayatkan secara lisan dan mengandalkan ingatan yang luar biasa masyarakat
arab pada masa itu apalagi dilakukan sejak abad pertama, sampai adanya muslim
ataupun bukhari, merupakan metode yang sudah sangat sempurna.
Al Siba’i berpendapat, tidak mungkin ada permasalahan antara hadits
yang sempat penulisannya dilarang dengan yang dibolehkan mencatatnya. menurut
dia, bahwa pelarangan hanya terkait pencatatan resmi hadits, dan masalah perizinan
selalu gampang diperoleh. Berkaitan dengan dilarangnya membuat daftar resmi
yakni mencoba memberlakukan hadits sama dengan Al Qur’an. Jadi, menurut
pandangan Siba’i pelarangan itu sebagai petunjuk menulis hadits dilakukan sejak
zaman Nabi.3
Tuduhan yang ditujukan untuk Zuhri tidak menggugurkan sama
sekali otentitas hadits sama sekali tidak menujukan ada niatan untuk memalsu hadits,
justru menunjukkan proses pelestarian ataupun proses pemeliharaan hadits konsisten
berjalan.4

2. Al Sunnah dan Posisinya dalam Ajaran Islam5


Dalam pemikiran mengenai Sunnah, Rayyah memberikan gagasan yang
sama dengan ulama kebanyakan. Yakni Al Sunnah berkedudukan setelah Al Qur’an.
Rayyah memiliki gagasan terkait pembagian dalam sunnah, yakni ada dua : As
Sunnah ‘Amaliyah dan As Sunnah al qauliyah . As Sunnah al Qauliyah dijadikan
pada posisi ketiga dari agama. Urutan yang dijadikan pedoman pengajaran yakni Al
Qur’an, Al Sunnah Al Amaliyah, baru terakhir As Sunnah Al Qauliyah.

2
Suryaadi, yang membela dan yang Menggugat. (yogyakarta: CSS Suka Press. 2011), hlman. 104.
3
Junyboll, Kontroversi Hadis di Mesir (1890-1960). Terjemah oleh Ilyas Hasan. (Bandung: Penerbit
MIZAN, 1999), hlman. 57- 58.
4
Suryaadi, yang membela dan yang Menggugat. hlman. 106
5
Abu Rayyah, Adwa Ala Al-Sunnah Al-Muhammadiyyah (Kairo: Dar al-Ma’arif), hlman 10 - 11.
3. Adallah Shahabah (Keadilan Para Sahabat)6
Menurut Rayyah dalam hadits harus mempertimbangkan aspek abdullah
Shahabah yang artinya keadilan para sahabat. Adil dalam eksiklopedia dunia
memiliki arti “keadaan seimbang”. Artinya sebuah perbuatan yang dilakukan
berdasar pada akal dalam dirinya yang dilakukan secara sadar, bukan sama sekali
keluar karena dorongan hawa nafsu.
Berbicara mengenai sahabat, perlu diketahui bahwa mengenai biografi, latar
belakang kehidupan, dan sebagainya yang menyangkut diri seorang sahabat, masih
perlu diselidiki ulang, karena sebagai orang yang pertama yang dalam menerima
hadits dari Nabi. Rayyah berpendapat, dalam hal keadilan dalam diri seorang
sahabat perlu dikaji. Menurutnya seorang Sahabat harus memiliki kualifikasi yakni
seorang yang pernah melihat nabi, atau juga bisa hidup pada zaman yang sama
dengan Nabi.

4. Kritik atas Pemikiran Abu Hurairah


Rayyah mengkritik Hurairah dalam bukunya, diantaranya terkait nama
Hurairah yang bermacam-macam, banyak sebutannya. Nama Abu Hurairah tidak
cukup familiar pada masa pra islam. Banyak para ulama menyebutkan nama Abu
Hurairah, tetapi berbeda-beda. Beberapa contohnya An Nawawi menuturkah bahwa
nama asli Hurairah yakni Abdur Rahman bin Sakhr, kemudian Al Waqidi
berpendapat bahwa nama Hurairah yakni Abdullah bin Amr, Abd Syam, Umair bin
Amir atau Abd Umar. Ada yang berpendapat pula bahwa Hurairah memiliki sebutan
Abd Syam, Abd Ghanan sebelum dirinya mengaku islam. Dari banyaknya sebutan
untuk Hurairah Umar bin Al Fallas berpendapat, yang benar adalah Abd Umar dan
Bani Ghanem. Selain permasalahan banyaknya sebutan nama, mengenai sejarah
kehidupan Hurairah sebelum masuk islam juga dipermasalahkan. Dia dikenal orang
yang miskindan tidak memiliki teman, kerabat, dan ibu.7
Abu Rayyah menyatakan bahwa Abu Hurairah memiliki satu misi yang
penting ketika mendekati nabi, yaitu untuk mendapatkan makanan. Jadi dengan kata
lain Abu Rayyah berpendapat, Abu Hurairah mendekati nabi hanya unruk

6
Ibid.
7
Suryadii, Yang membela dan Yang Menggugat, hlman. 153.
mengenyangkan perutnya, hanya karena motivasi materil saja. Bahkan setara terang-
terangan Abu Rayyah menyebut Abu Hurairah adalah seorang yang rakus.8
Abu Rayyah merasa Abu Hurairah terlalu berlebihan dalam menulis hadits
dilihat dalam jumlahnya yang sangat banyak hanya dalam waktu singkat, dengan
waktu kebersamaan dengan nabi cuma tiga tahun, sedangkan yang lain tidak menulis
hadits sebanyak hurairah. Keraguan Rayyah terhadap Abu Hurairah di dasarkan oleh
pertimbangan hubungan kedekatan Hurairah dengan Nabi dalam waktu sesingkat itu.
Abu Rayyah berpendapat tidak mungkin Abu Hurairah bisa dianggap
kedudukannya lebih tinggi dari Sahabat yang lain. Contohnya Abdullah bin ‘Amr
dan. Abu Hurairah dikatakan, beliau pernah mengakatakan tidak mungkin ada
seorang yang meriwayatkan hadits melebihi Abdullah bin Amr. Namun, pada
faktanya Abu Hurairah meriwayatkan hadits lebih banyak ketimbang Abdullah bin
Amr. Rayyah merasa Hurairah pada masa para sahabat besar masih hidup, dia tidak
mungkin brani meriwayatkan hadits sebanyak yang dia mau, karena mungkin
ditakutkan para sahabat besar tidak menyukai kegiatannya9.
Pada masa khalifah Umar bin Khatab, Abu Hurairah menjadi bekerja di
Bahrain. Karena Abu Hurairah terlalu banyak menulis hadits, Umar suatu ketika
memarahinya. Umar sampai mengeluarkan cambuk dan mengatakan “engkau telah
meriwayatkan sedemikian banyak hadits, mana mampu engkau berdusta atas nama
nabi”. Rayyah juga mengatakan, selain Umar yang sempat marah juga ada Aisyah
yang mencurigai Abu Hurairah karena banyaknya riwayat-riwayat haditsnya.
Rayyah berpendapat bahwa hadits yang diriwayatkan Hurairah banyak
terpengaruh oleh sifat rakusnya. Bertepatan pada masa pada waktu itu juga,
pergolakan politik berlangsung, Hurairah dianggap berada pada kubu muawiyyah
lalu menulis hadits yang melihatkan keberpihakannya, disesuaikan juga
kebijakannya. Abu Hurairah meriwayatkan hadits melampaui batas-batas pada masa
kekuasaan Muawwiyah. Banyak hadits yang dikeluarkan Hurairah dengan niat
menggiring opini untuk memandang rendah keluarga Keluarga Nabi SAW dan
keluarga Ali.
Rayyah juga berpendapat bahwa ulama hadits yang mengatakan Hurairah
seorang periwayat hadits yang mudallis, dibuktikan dari hadits yang
diriwayatkannya berasal dari orang-orang yang hanya pernah bertemu langsung tapi
8
Shociniim, Telaah Pemikiran Hadis Mahmud Abu Rayyah Dalam Buku Adwa Ala Al-Sunnah
Muhammadiyyah. hlman. 291.
9
Shociinim, Tela’ah Pemikiran Hadis Abu Rayyah Dalam Buku Adwa’ ‘Ala Al-Sunnah
Muhammadiyyah, halaman. 291 - 292.
bukan mendengar secara langsung dari Nabi, dan juga orang yang hidup dalam masa
yang sama dengan Nabi tapi tidak pernah bertemu langsung, dan mendapat hadits
dari orang yang sudah tua serta pelupa (pikun).
5. Metode Abu Rayyah dalam Mengkaji Hadits
Dalam penelitian dan pengkajian sebuah Hadits, Abu Rayyah menggunakan
metode History atau Sejarah. Artinya Abu Rayyah akan lebih menggali hadits
tersebut dari asal usulnya. Mulai dari bagaimana isi hadits yang diriwayatkan, dia
akan fokus apakah secara konteks isi hadits, dirasa patut atau benar tidaknya
dikatakan langsung oleh Nabi. kemudian terkait dengan waktu hadits di riwayatkan,
Abu Rayyah meneliti detail kapan hadits di riwayatkan dengan menghubungkan
pada sebuah kejadian-kejadian yang dialami Nabi, dan sampai dihubungkan juga
dengan kehidupan perawinya untuk membuktikan betul kebenaran haditsnya.
Kemudian Abu Rayyah juga meneliti terkait perawinya, bagaimana sanadnya,
hingga diteliti juga bagaimana kemampuan setiap perawi, apakah sudah sesuai
dengan kualifikasi seorang yang berhak meriwayatkan sebuah hadits atau
tidak.Misal menurut Abu Rayyah seorang yang meriwayatkan hadits haruslah
seorang yang hidup pada zaman nabi, pernah bertemu, dan mendengar ataupun
melihat langsung apa yang dikatakan nabi. Bahkan Abu Rayyah juga meneliti latar
belakang kehidupan atau asal usul setiap perawi, dia merasa latar belakang seorang
perawi sangat berpengaruh untuk membuktikan kebenaran sebuah hadits.
BAB III
KESIMPULAN

Pengarang Kitab Adwa’ Ala As Sunnah Muhammadiyah memiliki nama panjang


Mahmud Abu Rayyah, pada 1889 lahir di Negara Mesir. Pada usia 81, Abu Rayyah
meninggal pada tahun 1970 Dikenal sebagai orang yang ukup unik karena pemikirannya
berbeda dengan kebanyakan ulama. Bahkan beliau sampai masukkan dalam kategori orang
yang inkar al sunnah. Rayyah mengidolakan seorang yang bernama Muhammad Abduh dan
Muhammad Rida.

Rayyah menghabiskan masa mudanya dengan berkecimpung di dunia sastra Arab,


suatu ketika dia menemukan hal yang ganjal dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Abu
Hurairah. Selain Abu Hurairah, dia juga mulai tertarik mengkritiki ulama – ulama yang
mempelajari hadits namun literaturnya hanya kembali ke empat madzab saja.. Rayyah merasa
kecewa dengan ulama terdahulu yang hanya fokus pada Sanad untuk mengkritisi sebuah
hadits. Dia merasa para ulama seharusnya juga memperhatikan dari sisi Tekstual atau sisi
matan.

Beberapa spesifikasi pemikiran Abu Rayyah diantaranya ; terhadap Pembukuan


Hadits, Rayyah berpendapat bahwa waktu dalam mencatat hadits kurang bisa dipercayai,
karena menurut Rayyah pencatatan dilakukan sebelum adanya hadits. Kemudian
pemikirannya tentang Sunnah dan kedudukannya, pemikiran mengenai Sunnah Rayyah
membagi dua bagian : As Sunnah ‘Amaliyah dan As Sunnah al qauliyah . As Sunnah al
Qauliyah dijadikan pada posisi ketiga dari agama. Urutan yang dijadikan pedoman
pengajaran yakni Al Qur’an, Al Sunnah Al Amaliyah, baru terakhir As Sunnah Al Qauliyah.
Ketika pemikitannya tentang Adallah Shahabah Menurut Rayyah, dalam hadits harus
mempertimbangkan aspek abdullah Shahabah yang artinya keadilan para sahabat. Adil dalam
eksiklopedia dunia memiliki arti “keadaan seimbang” . Artinya sebuah perbuatan yang
dilakukan berdasar pada akal dalam dirinya yang dilakukan secara sadar, bukan sama sekali
keluar karena dorongan hawa nafsu. Yang terakhir kritikannya atas Abu Hurairah mulai dari
kritikannya atas nama Abu Hurairah yang berbeda-beda, kemudian dianggap mendekati nabi
hanya karena kerakusannya. Dan meragukan Abu Hurairah dalam meriwayatkan hadits yang
terlalu banyak dengan jangka waktu dekat dengan nabi yang sebentar.

DAFTAR PUSTAKA

Mahmuud Abu Rayyah, Adwa ‘Ala Al-Sunnah Al-Muhammadiyyah (Kairo: Dar al-

Ma’arif,tt)

Suryaadi, Yang membela dan Yang Menggugat (yogyakarta: CSS Suka Press, 2011)

Junyboll, Kontroversi Hadis di Mesir (1890-1960). Terjemah Ilyas Hasan. (Bandung:

Penerbit MIZAN, 1999)

Shocinim, Telaah Pemikiran Hadis Mahmud Abu Rayyah Dalam Buku Adwa Ala Al Sunnah

Muhammadiyyah dalam Hunafa.

Redaksi Ar Rahmah. https://www.arrahmah.co.id/2018/09/16344/mengenal-abu-Rayyah-

kritikus-hadis-asal-mesir.html. Diakses pada 08 Desember 2019 jam 22:28

Anda mungkin juga menyukai